Penulis
: Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Abdussalam
Nuh
Penterjemah : Abu Ikrimah Bahalwan
Editor : Abu Salma
al-Atsari
9.
Permulaan dakwah al-Ikhwan dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran dan Cara Pandang
Mereka
Al-Ikhwan didirikan pada tahun 1928, yakni kurang
lebih 4 tahun setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah[1].
Keruntuhan itu berpengaruh besar terhadap pemikiran jama’ah Al-Ikhwan.
Sebenarnya, tanpa berpretensi apapun, jama’ah ini tidak ditegakkan di atas
landasan teguh yang dengannya jama’ah ini berkiprah. Landasan jama’ah ini hanya
bersifat teoritis, dan tidak menyentuh amaliyah. Padahal, upaya mendirikan
kembali khilafah, adalah hal yang sangat tidak mungkin terlaksana kecuali
dengan melewati jalan dasar-dasar yang kokoh. Rupanya para pemimpin mereka
telah melalaikan perkara yang krusial ini. Pergaulan mereka dengan
partai-partai politik sekuler berpengaruh besar terhadap pemikiran jama’ah.
Anda akan mendapati pemikiran partai-partai sekuler telah meracuni cara pandang
para pemimpin jama’ah, terutama yang terpenting adalah metode perekrutan massa
ke dalam barisan jama’ah mereka.
Sesungguhnya
jama’ah ini melihat bahwa partai-partai politik itu dapat mencaai kekuasaan dan
posisi strategis melalui cara penghimpunan massa yang memungkinkannya berkuasa
di dalam gedung parlemen. Lalu mereka yakin inilah satu-satunya jalan terdekat
untuk mengembalikan khilafah yang telah lenyap. Mereka lalu mencurahkan segala
kemampuan untuk menggalang massa, padahal jam’ah ini mengetahui bahwa
kebanyakan massa tersebut memiliki aqidah yang sesat yang layak bagi Alloh
menguasakan orang-orang kafir atas mereka dan mencabut dari mereka kemuliaan
yang pernah dimiliki oleh generasi terdahulu.
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra’du : 11)
Namun,
kesibukan jama’ah ini dalam menghadapi lawan-lawan politiknya –yaitu partai
sekuler modern- membuatnya lalai dan tidak perduli terhadap prinsip-prinsip
syari’ah. Mereka tidak menjadikan syari’ah sebagai ukuran kebenaran ketika
terjadi benturan dengan pandangan-pandangan politis. Bahkan opini publik yang
terletak pada dukungan massa itulah kebenaran yang dicari oleh para pencarinya.
Hal itu pula yang membuat ucapan-ucapan Al-Ikhwan yang tertulis di
buku-buku mereka bertentangan dengan perilaku pergerakan mereka, diantaranya
slogan “dakwah kami terikat pada al-Kitab, as-Sunnah dan aqidah salafiyah.”
10. Jika kalian menta’ati mayoritas manusia
di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan anda dari jalan Alloh
Ya,
itulah rahasia perselisihan antara jama’ah Al-Ikhwan dan para da’i
manhaj salafi. Itulah fitnah massa, yakni massa (kaum muslimin, ed.)
yang kita ingin menegakkan daulah Islamiyyah di tengan-tengah mereka.
Namun, mereka lalai dalam masalah prinsip laa ilaaha illallahu yang
merupakan kunci kejayaan dan kekuasaan di bumi, dan telah mengubah para
penggembala kambing menjadi penggembala bangsa-bangsa. Maka sebagian mereka ada
yang menyembah batu, sebagian lain menyembah pohon dan kuburan. Para ulama
mereka sebagian berasal dari kalangan sufiyah yang justru berjuang keras
mempertahankan kesyirikan, sebagian yang lain berasal dari kalangan Asy’ariyah
dan Jahmiyah yang tidak mengetahui apakah Rabb mereka berada di atas Arsy
ataukah di bawah kaki mereka?!! Maha suci Alloh dari semua hal ini.
Secara
alami keyakinan ini bersarang di dalam jiwa mereka, lalu menjadi agama yang
disucikan, bahkan mungkin mereka siap mati membelanya. Maka siapa saja yang
ingin menghimpun massa, ia harus menghindari konfrontasi dalam masalah-masalah
ini. Jika tidak, pengaruh politik mereka akan merosot.
Di
dalam masalah inilah kami berselisih di dalam dakwah. Jama’ah al-Ikhwan
menganggap bahwa aqidah salafiyah hanya merupakan teks-teks mati yang tertulis
di dalam kitab-kitab aqidah yang tidak wajib diungkapkan dan dijelaskan kepada
massa jika pengungkapan itu dapat membuat mereka lari dan membenci kita. Dan
apabila massa telah membenci kita, lalu bagaimana kita bisa memperoleh
kekuasaan politik untuk mengembalikan khilafah? Sedangkan kalangan salafiyun
mengatakan bahwa sesungguhnya Islam tidak memandang dari jumlah banyak atau
sedikit, bahkan tidak ada dalil yang membolehkan berdiam diri dari syirik
kepada Alloh dan pengingkaran sifat-sifatnya (ilhad).
Adapun
kekuasaan dan pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam, hal itu
merupakan pemberian Alloh yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba yang
bertakwa sebagai balasan atas komitmen mereka kepada agama-Nya. Alloh Ta’ala
berfirman :
“Bahwasanya
bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh” (QS Al-Anbiya’ : 105)
dan
firman-Nya yang lain :
“Musa Berkata kepada kaumnya: "Mohonlah
pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan
Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.
dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-A’raaf : 128)
Alloh
berfirman kepada para pengikut Rasul-Nya :
“Kami
pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu, Dan kami pasti akan
menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah
untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut
kepada ancaman-Ku”. (QS Ibrahim 13-14)
Alloh
Azza wa Jalla telah memperingatkan kita melalui pribadi Rasul-Nya yang
mulia agar tidak tertipu oleh jumlah yang banyak. Alloh Ta’ala berfirman
:
“Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(QS al-An’am : 116)
Para
pembaca!!!
Jika
anda telah memahami hal ini, berarti anda telah mengetahui asal dan sumber
perselisihan kami. Pandangan Al-Ikhwan terpengaruh oleh situasi dan
kondisi tempat berkembangnya jama’ah tersebut. Mereka bergerak tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip dakwah menurut syara’ dan jalan salaf, yakni
metode yang diambil dari dakwah semua rasul yang dengannya kaum muslimin pernah
berkuasa di atas bumi dan dengan lenyapnya hal itu kaum kuffar mampu menjajah
negeri-negeri muslim. Tentu saja Al-Ikhwan harus membantah
dakwaan ini dan mempertahankan cara dakwah mereka selama ini. Dan kami tidak
pernah mengharamkan adanya pembelaan. Kita semua berdaya upaya mencari
kebenaran. Namun, kami memiliki dalil-dalil kuat yang –menurut kami- sulit bagi
mereka untuk menangkisnya.
11.
Pembelaan al-Ikhwan.
Pembelaan
al-Ikhwan al-Muslimun beranjak dari ucapan yang dikemukakan oleh
asy-Syaikh Hasan al-Banna rahimahullahu, “Marilah kita beramal dalam
hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi satu sama lain dalam hal-hal
yang kita perselisihkan.” Juga ucapan beliau rahimahullahu tentang
kompromi antara aqidah as-Salaf dengan aqidah al-kholaf[2]
dan meredakan perselisihan tajam antar keduanya. Beliau berkata, “Hal
terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin sekarang ini adalah
keharusan adanya penyatuan shaff (barisan) dan penyatuan persepsi
semampu kita.” (Majmu’ah ar-Rasa’il hal. 452).
Demikian
pula apa yang dikatakan oleh ash-Shobuni, “Sekarang ini bukan waktunya
lagi menghujat para pengikut berbagai madzhab, tidak kepada Asy’ariyah tidak
pula kepada al-Ikhwan, bahka tidak pula kepada kaum shufi.[3]
Berkata
pula Hasan at-Turabi[4]
yang ditujukan kepada Jama’ah Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah Sudan,
“Mereka menganggap penting masalah-masalah aqidah dan syirik penyembahan kubur,
tetapi mereka mengabaikan syirik politik. Marilah kita sementara membiarkan
para quburiyun itu thowaf di sekeliling kubur mereka, hingga kita bisa
duduk dalam gedung parlemen. (Majalah al-Istiqomah, Rabi’ul Awwal 1408
H, hal, 26).
12.
Sesungguhnya hukum hanyalah milik Alloh
Sebenarnya,
persoalan hakimiyah dalam pengertian komprehensifnya harus meliputi
setiap masalah keagamaan dan keduniaan, serta meliputi pula dakwah kepada Alloh
Azza wa Jalla. Sebagai amalan yang bersifat ta’abbudi, hal-hal di
atas harus memiliki persyaratan-persyaratan yang tanpanya ibadah seseorang akan
tertolak. Syarat tersebut meliputi : ikhlas dan ashwab (benar)
menurut tuntunan. Jika suatu amalan dimaksudkan untuk memperoleh ridha Alloh
namun tidak mengikuti jalan para nabi dan rasul, maka amalan itu batil.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa
melakukan suatu amaan yang bukan termasuk perkara kami, maka amalan tersebut
tertolak.” Jika sesuatu amalan sesuai dengan jalan para rasul namun tidak
ikhlas karena Alloh semata, amalan tersebut juga batil
Maka
kami menghendaki hukum syara’ dalam masalah hakimiyah ini dan dalam
masalah lainnya. Sebab, kami adalah yang pertama kali –sebelum lainnya- yang
akan bertahkim kepada syari’ah. Tidak boleh kita mengajak manusia untuk
berhukum kepada syari’ah lalu kita sendiri berhukum kepada konsep-konsep
pemikiran dan pandangan-pandangan politik. Jika demikian, maka amalan kita
adalah batil bagaimanapun tingginya nilai keikhlasan kita.
Demikian
pula al-Ikwan, mereka telah bersepakat dengan kami bahwa dakwah mereka
terikat kepada al-Kitab dan as-Sunnah serta jalan as-Salaf ash-Shalih.
Kalau begitu, marilah kita merealisasikan ucapan-ucapan kita ke dalam tataran
amalan praktis dengan menengok kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa Sallam serta sejarah as-Salaf ash-Shalih. Dengan
demikian, sempurnalah kesempatan syar’i di antara ara aktivis dakwah Islam.
Jika tidak, maka tanggung jawab perpecahan dan pertikaian terletak di pundak
mereka yang menyelisihi syara’. Hukum bukanlah milik penguasa, bukan
pula milik fiqhul waqi’ dan bukan milik produk pemikiran manusia, juga
bukan milik gerakan politik!!! Sesungguhnya hukum hanyalah milik Alloh!!!
13.
Dakwah Para Rasul ‘alaihim as-Salam
Saudaraku kaum muslimin!
Jika
kita membuang segala pemikiran politik produk manusia, lalu berhukum kepada
wahyu samawi, maka kita memiliki Kitabullah Azza wa Jalla yang melalui
sejarah panjang kemanusiaan, membawa kepada kita metode dakwah yang shahih,
yakni metode dakwah manusia-manusia terbaik pilihan Allah Azza wa Jalla
yang oleh-Nya telah dipersiapkan untuk masalah agung dan amat mulia ini.
Al-Qur’an penuh dengan kisah orang-orang pilihan itu serta metode dakwah
mereka. Inilah Nuh ‘alaihis Salam yang menempuh tugas mulia ini selama
950 tahun, seluruhnya dihabiskan untuk mencela aqidah kaumnya tentang lima
orang yang shalih, yaitu : Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, Wadd dan Nasr.
Ia tidak berbasa-basi dengan kaumnya dan tidak pula bermanis muka. Tetapi ia
mengatakan kebenaran kepada mereka, kebenaran yang diperintahkan Alloh untuk
menyampaikannya. Lalu kaumnya membenci dan menjauhi dirinya. beliau ‘alaihi
as-Salam amat mementingkan perkara ii sehingga harus berdakwah siang dan
malam, terang-terangan maupun secara rahasia. Alloh Ta’ala berfirman :
“Nuh berkata: "Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku
Telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka
lari (dari kebenaran). Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian Sesungguhnya Aku
Telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian
Sesungguhnya Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan
diam-diam” (QS Nuh : 5-9)
Maka lihatlah wahai saudaraku kaum muslimin, semoga
anda dimuliakan Alloh! 950 tahun!!! Dan tidak pernah berbicara kepada kaumnya
sekalipun tentang syirk al-Hakimiyah, aga anda mengerti dari kisah ini
berapa berat kedudukan syirk watsani khurofi (syirik keberhalaan dan
penuh dengan khurofat, pent.). mengapa tidak tanya kepada Nuh,
“mengapa kaummu membencimu?” “mengapa mereka tidak menerima seruanmu?” karena
yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mengetahui bahwa al-Hidayah bukanlah
urusan para penyeru, ia adalah urusan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Tidak
ada kewajiban bagi para da’i melainkan hanyalah berdakwah, menerangkan dan
menyampaikan ajaran-Nya.
Jika kita mengikuti dengan seksama sejarah para
nabi, sulit rasanya kita mengabaikan semua hal di atas. Bahkan, kebenaran yang
tidak diliputi keraguan sedikitpun membuktikan bahwa perhatian terhadap syirk
khurofi, terutama dalam masalah do’a kepada selain Alloh, anda akan
menemukannya sebagai poros dan inti permusuhan mereka dengan kaumnya. Simaklah
kisah Ibrahim, Hud, Musa dan masih banyak yang lain. Yang paling akhir adalah
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau datang kepada
ummat manusia yang berada di bawah cengkeraman dua super power Persia
dan Romawi Timur. Yang terakhir ini menguasai dunia dengan undang-undang Yunani
dan Romawi. Demikian pula halnya kaum Quraisy, mereka berhukum kepada
thaghut-thaghut kabilah mereka. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
pada awal dakwahnya sama sekali tidak mementingkan masalah ini. Beliau memulai
dakwahnya itu di antara kaumnya, membangun perbantahan dan memusatkan perhatian
dalam masalah syirk khurofy, misalnya penyembahan al-Latta, al-‘Uzza,
penyembahan malaikat dan orang-orang salih dan sebagainya. Sebab beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam mengetahui dengan yakin bahwa pembersihan hati manusia
dari kedustaan-kedustaan ini adalah kunci kekuasaan, dan beliau berhasil
mencetak manusia-manusia yang kelak akan mengobrak-abrik singgasana Kisra
(Persia) dan Kaisar (Romawi Timur). Sebenarnya beliau telah menubuwatkan
kejadian itu dengan mengatakan, “Kalian akan menguasai Singgasana Kisra dan
Kaisar.” Dikatakannya hal ini kepada ‘Adi bin Hatim, Suraqah bin Malik dan
kepada para sahabat lainnya tatkala mereka sedang menggali khondaq
(parit), bahkan dikatakannya pula kepada kaum musyrikin Quraisy, “Katakanlah
Laa ilaaha illa Allahu, sebuah kalimat yang kalian dengannya akan menguasai
orang ‘ajam dan dengannya pula kalian akan memerintah bangsa Arab.” Lebih
jauh lagi, sekelompok musyrikin berolok-olok ketika mereka melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang tertindas di Makkah dengan
mengatakan, “Ini dia datang kepada kalian raja-raja dunia.” Mereka
mengatakan demikian dengan maksud
mengejek dan menghina. Hal ini akan menjadi semakin lebih jelas jika
anda melihat dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada kaum
Nasrani. Mereka semuanya –atau sebagian besarnya- berada di bawah kekuasaan
imperium Romawi Timur yang memiliki sistem perundang-undangan sendiri yang
bahkan masih digunakan sebagai salah satu
sumber sistem hukum dunia modern. Walau demikian, sebagian besar isi perdebatan
al-Qur’an yang ditujukan kepada mereka justru berkenaan dengan ‘aqidah mereka
tentang ketuhanan Isa atau ketundukan mereka yang membabi buta kepada
fatwa-fatwa para pendeta dan rahib mereka tanpa disertai dalil. Al-Qur’an sejak
awal tidak pernah berbicara tentang syirik kekuasaan politik padahal semboyan
mereka adalah, “Serahkan bagi Alloh apa yang menjadi bagian-Nya dan serahkan
kepada Kaisar apa yang menjadi bagiannya[5]”,
yang merupakan dikotomi antara urusan agama dan politik. Adapun sejarah para
ulama salaf, mereka berbicara panjang lebar tentang sikap mereka dalam
menghadapi golongan-golongan yang menyelisihi al-Asma’ wash-Shifat dan
hal-hal lain dalam masalah ‘aqidah. Maka siapa lagi yang masih bersikeras
mengatakan bahwa penghimpunan massa tanpa landasan ‘aqidah adalah amal islami?
Demi Alloh, mereka tidak memiliki sumber rujukan melainkan kepada partai-partai
sekuler! Siapa yang mengatakan selain itu, hendaknya ia mengajukan dalil, jika
tidak maka takutlah kepada Alloh tentang umat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, jangan memalingkan mereka dari agama ini, jangan menghalangi mereka
dari jalan Alloh hanya sekedar untuk kepentingan politik produk manusia.
14. Kemungkaran Batal karena Kemajuan Zaman
Saudaraku
kaum muslimin!!!
Telah
kami paparkan kepada anda beberapa contoh dari kisah para nabi ‘alaihimus
salam dan penentangan mereka yang keras dan gigih terhadap syirik
al-khurofi al-watsani, yang bagi mereka telah mengharuskan dakwah
sungguh-sungguh siang dan malam walau harus bermusuhan yang memakan waktu 1000
tahun. Telah timbul banyak peperangan antara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dan kaumnya karena masalah syirik jenis ini, sehingga seorang anak
membunuh ayahnya, seorang ayah membunuh anaknya, mereka saling berlepas diri
dan berpecah, tak ada kesibukan lain yang dapat memalingkan mereka dari masalah
ini; tidak masalah jihad, tidak karena takut musuh dan yang lain dari itu.
Inilah Musa ‘alaihis salam yang dikejar-kejar
oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Ketika ia telah menyeberangi laut, beberapa
orang bodoh dari kaumnya melihat sebagian kaum musyrikin sedang menyembah
berhala dengan cara beri’tikaf di sekitarnya. Maka mereka meminta kepada Musa ‘alaihi
salam untuk membuatkan berhala seperti itu[6],
padahal tidak diragukan lagi bahwa mereka telah bersyahadat dan mengakui
kenabian Musa, beriman kepada Taurat, hari kiamat dan para malaikat. Lalu apa
yang dikatakan Musa kepada mereka? Apakah ia berkata, “Ini bukan waktunya
bertengkar dengan sahabat-sahabatku, sedang kita masih terusir dan belum lagi
menetap! Lebih baik dan lebih utama kita menunda masalah ini hingga kita telah
mendirikan sebuah negara”, atau dengan ucapan-ucapan sejenis ini dari
pemikiran-pemikiran politis! Jawabnya, tidak! Bahkan beliau menghardik,
mencerca dan membodohkan perbuatan khurofat yang busuk ini. Demikian pula
ketika mereka menyembah sapi, beliau begitu marah kepada mereka sehingga
dibantingnya al-Alwah[7]
yang berisi kalam Alloh, dan beliau mencengkeram kepada dan jenggot saudaranya
(Harun, ed.) lalu mencelanya dengan amat keras karena telah
mengabaikan pesannya dan membiarkan mereka.
Juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
tidak pernah menganggap remeh perkara syirik baik syirik akbar maupun syirik
asghar, baik sebelum tegaknya daulah Islamiyyah maupun sesudahnya.
Beliau adalah manusia yang paling bersemangat mempersatukan hati umatnya
sehingga beliau pernah memberi harta kepada muslimat al-fath[8],
yang hampir menyebabkan fitnah di kalangan kaum Anshor[9],
namun lihatlah kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika mereka
menuju medan peperangan Hunain dan melalui sebuah pohon yang dinamakan Dzatu
Anwaath, mereka melihat kaum musyrikin menggantungkan senjata-senjata
padanya untuk mendapatkan kekuatan magis dalam pertempuran. Kalangan muslimat
al-Fath berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami Dzatu Anwath
sebagaimana milik mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
menukas, “Allahu Akbar!!! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian
telah mengatakan seperti perkataan Bani Isra’il kepada Musa, Buatkan bagi
kami tuhan seperti tuhan-tuhan mereka.” (Shahih, Riwayat Tirmidzi).
Padahal pada waktu itu sebagian besar dunia berada di bawah kekuasaan Romawi
Timur dan Persia, sementara kaum Muslimin sedang bersiap-siap memasuki medan
peperangan, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengatakan, “Mereka
itu orang-orang yang baru masuk Islam dan masih belum mengerti, sementara
diantara mereka banyak orang-orang baik. Buktinya, mereka ikut bersama kita
untuk memerangi kaum musyrikin sedangkan bumi penuh dengan musuh-musuh yang
berupaya menghancurkan kita, menunggu kesempatan menyerang kita, berkonspirasi
menghalangi dakwah kita. Mereka itu kaum musyrikin, Yahudi, Nasrani, atheis dan
sekuleris imperialis.” Tidak!!! Beliau tidak mengatakan ini, bahkan
sebaliknya, beliau segera mencela perbuatan syirik khurofi itu dan seketika itu
menjelaskan hukumnya kepada mereka.
Inilah metode para nabi dan rasul serta orang-orang
yang menapaki jejak mereka: memerangi syirik dan khurofat dalam setiap waktu
dan kesempatan walaupun dakwah itu membutuhkan waktu yang lama. Namun, kini
muncul di depan kita dakwah baru dengan konsep-konsep baru dan menginginkan
segala sesuatu yang baru!!! Maka syirk at-tasyri’ mereka namakan dengan
nama modern syirk as-siyasi. Kami menganggap hal itu tidak menjadi soal,
yang penting kita sama berupaya menghapuskannya. Adapun tentang syirk
watasni, mereka mengatakan: “Tidak wajib mencurahkan perhatian atasnya, dan
tidak perlu bermusuhan dengan manusia untuk memberantasnya.” Kami bertanya,
mengapa? Bukankah berdo’a kepada selain Alloh adalah bentuk syirik yang
memenuhi mushhaf al-Qur’an yang mulia dan celaan atas perbuatan ini?!!
Bukankah penyembelihan dan nadzar untuk selain Alloh adalah syirik yang banyak
disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi?!!
Bukankah keyakinan bahwa para imam Syi’ah yang ma’shum
(bebas dari dosa) wajib diikuti perintahnya tanpa perlu reserve, tanpa
membantah dan tapa dalil adalah syirik sebagaimana halnya kaum Nasrani dalam
permasalahan tasyri’? bukankah pengakuan Syi’ah bahwa mereka memiliki
al-Qur’an yang turun kepada Fathimah setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam adalah kufur tanpa perlu diperdebatkan lagi? Bukankah pengakuan bahwa
Alloh ada di segala tempat, mungkin berada di telapak kaki kita, di atas kepala
kita, di dalam perut kita, di dalam WC dan tempat-tempat najis, bukankah itu
kufur? Bukankah berpegang kepada postulat-postulat Yunani di dalam masalah
‘aqidah yang diambil dari buku-buku filsafat karangan kaum kafir Yunani Kuno
seperti Aristoteles, Socrates dan selainnya, bukankah ini syirik di dalam tasyri’? saudara-saudara kami tersebut menjawab, “Ya tidak ragu lagi bahwa
semua itu syirik dan kufur, tapi sudah usang!”. Kami menjawab, “Apakah terdapat
dalil dari wahyu samawi, yang dakwah kita tegak untuk berhukum padanya, dan
kita juga mengatakan kepada manusia bahwa dakwah kita terikat kuat dengannya?”.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya kemungkaran itu akan gugur hukumnya dengan
berlalunya waktu, dan pelaku yang mengimaninya berubah menjadi saudara kita
walaupun mereka masih tetap melakukan kemungkaran itu, mengajak manusia
melakukannya, banyak perpustakaan sekarang ini dipenuhi oleh buku-buku yang
membelanya dan menghiasi kemungkaran itu sehingga tampak indah di hadapan
manusia, bahkan mayoritas manusia tertipu oleh para propagandis kemungkaran
itu.” Apakah ada dalil yang menyuruh kita meninggalkan para pelaku syirik
‘kuno’ lalu beralih untuk memerangi pelaku syirik modern yang baru?!!
Kami coba menjawab
mewakili saudara-saudara kami, “Adapun dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
atau dalam ‘aqidah generasi umat pilihan, omongan macam begitu tidak akan
pernah ditemukan walau hanya dalil seberat biji sawipun.” Namun demikian,
marilah kita mengingat bahwa para pemimpin jama’ah ini mayoritasnya adalah
lulusan fakultas-fakultas hukum[10]
yang mempelajari undang-undang jahiliyah produk manusia.
Ternyata terdapat sebuah
pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidna Mesir -plagiat KUHP Perancis-
yang menyatakan bahwa suatu tindak pidana jika tergolong jenis pelanggaran akan
dianggap kadaluwarsa setelah lewat masa tiga tahun, jika tergolong jenis
kriminalitas akan dianggap kadaluarsa setelah lewat lima tahun. Maka kami
menduga mungkin mereka menggunakan pasal ini sebagai dalil.
Semoga dalil itu juga
sampai ke tangan saudara kami, DR. Muhammad Gharib, pengarang buku
berjudul Wa ja’a Daur al-Majusi (Telah tiba masa berkiprahnya orang Majusi) yang membahas berbagai
macam kekufuran orang-orang Majusi Syi’ah
Rafidhah. Hatinya penuh kebencian terhadap mereka
sebagai wujud ghirah (kecemburuan) terhadap agama Alloh, karena Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya tidak membolehkan berdiam diri dari kekufuran Majusi ini. Lalu beliau
berkata, “Ketika saya memberitahukan tentang
perasaan sakit dan pedih dalam hati saya (tentang kekufuran ini) kepada
saudara-saudara saya para juru dakwah, mereka menganggap aneh ucapan saya
walaupun diantara mereka terdapat para pemimpin sebagian jama’ah. Saya bahkan
mendengar mereka menentang sikap saya dengan mengatakan, “dengan ketertarikan
anda pada masalah-masalah seperti ini berarti anda telah mempersembahkan
bantuan agung kepada kaum nasionalis. Kami berada dalam posisi yang berbeda
dengan posisi anda. Kami mengeluhkan tentang bahwa komunisme, salibisme,
kapitalisme, nasionalisme dan sekulerisme. Sedangkan anda berbicara tentang
gerakan-gerakan dan madzhab-madzhab yang telah usang dimakan zaman!!![11]”.”
Saya (penulis) katakan,
wahai saudara Muhammad Gharib, segala sesuatu telah berubah menjadi modern.
Hendaklah anda tertarik dengan kekufuran modern –komunisme,
sekulerisme, kapitalisme- dan tinggalkanlah
kekufuran kuno sebab kekufuran itu telah kadaluwarsa dengan kemajuan zaman!
Tidakkah anda baca KUHP Perancis di atas?!! Benar, jika hukum buatan manusia
itu bukan dalil mereka, maka saya tidak tahu dalil lain apakah yang mendasari
pendapat mereka!
(bersambung
ke bagian III)
[1] Tepatnya didirikan pada bulan Dzulhijjah 1347 H yang
bertepatan dengan bulan Maret 1928 di kota Ismailiyiah oleh tujuh orang
perintis: Hasan al-Banna, Hafizh Abdul Hamid, Ahmad al-Hashary, Fu’ad
Ibrahim, Abdurrahman Hazbullah, Ismail ‘Izz dan Zaki al-Maghribi. pent.
[2] Manhaj al-Kholaf adalah manhaj generasi pasca
salaf yang tidak menggunakan manhaj pendahulu mereka, yakni as-Salaf
ash-Sholih di dalam memahami agama. Namun mereka di dalam memahami aqidah
Islamiyyah cenderung menggunakan manhaj falsafi aqlani yang bid’ah, yakni
manhajnya kaum filsuf dan ahli kalam. Diantara golongan al-Kholaf adalah
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan selainnya. ed.
[3] Muhammad ‘Ali ash-Shobuni adalah salah satu tokoh
Ikhwani, mengajar mata kuliah sirah nabawiyah di Fakultas Syari’ah dan Dirasah
Islamiyyah, Makkah Mukarromah. Beliau memiliki beberapa tulisan, yang paling
terkenal adalah Shofwatut Tafasir. Aqidahnya adalah Asy’ariyah tulen
sebagaimana tampak dalam pembahasan di dalam buku-bukunya tentang ayat sifat.
Beberapa ulama ahlus sunnah telah membantah kesalahan-kesalahan aqidah dan
manhaj yang ada pada dirinya. Beliau juga menjadi staf konsultan Rabithah
al-‘Alam al-Islamiy tentang I’jaz al-Qur’an (Mukjizat Al-Qur’an). ed.
[4] DR. Hasan bin Abdullah at-Turabi adalah pakar hukum
dan politisi Sudan. Ia merupakan pemimpin al-Ikhwan Sudan yang pernah
belajar di Sorbonne. Ia menguasai banyak bahasa Eropa dan pernah menjadi dekan
fakultas hukum Universitas Khortoum dan jaksa agung pada masa rezim Ja’far
Muhammad Nimeri. Namun, pada masa-masa akhir rezimnya, Nimeri menahan
at-Tirabi bersama 200 pemimpin al-Ikhwan lainnya dengan tuduhan kudeta.
Ia dibebaskan kembali setelah kudeta 5 April 1985 yang menghantarkan Shadiq
al-mahdi ke jenjang kursi Perdana Menteri. Hasan at-Turabi kembali ditahan
pada tahun 1989 ketika terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Jendaral Umar
al-Bashir. Namun melalui National Islamic Front (NIF), ia mampu
mempengaruhi pemerintahan yang baru secara ideologis dan organisatoris. ed.
At-Turabi memiliki pemikiran-pemikiran yang agak liberal apabila dibandingkan
dengan pimpinan al-Ikwan lainnya. Ia pernah mengeluarkan ucapan-ucapan
controversial yang merusak sendi-sendi syariat Islamiyyah, terutama yang
berkaitan dengan masalah kewanitaan dan gender. Banyak para ulama yang telah
membantah akan penyimpangan-penyimpangannya. pent.
[5] Sebagaimana di dalam The Gospel of Barnabas
pasal 31. pent.
[6] Lihat QS Al-A’raaf : 138. pent.
[7] Jamak dari luh, yakni kepingan batu atau kayu
yang tertulis padanya Taurat yang diterima oleh Nabi Musa ‘alaihi salam
sesudah bermunajat 40 malam di gunung Thursina, sebagaimana firman Alloh Ta’ala
yang artinya : “Dan Telah kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat)
segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; Maka (Kami
berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu
berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya…” (QS
Al-A’raaf : 145), dan juga dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
yang menceritakan percakapan Nabi Musa ‘alaihi salam dan Nabi Adam ‘alaihi
salam di hadapan Alloh Azza wa Jalla yang mengatakan, “… dan
Alloh telah menuliskan bagimu (Taurat) dengan tangan-Nya” (HR Bukhari no.
6614 dari Abu Hurairoh). ed.
[8] Orang-orang yang masuk Islam pada saat penaklukan kota
Makkah. pent.
[9] Pada waktu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dan para sahabat berada di Ji’ranah, suatu daerah dekat Makkah, terjadi
peristiwa sebagai berikut : Ghanimah (harta rampasan perang) dari perang
Hunain (8 H) oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dibagi menjadi lima
bagian, dan yang seperlima (sebagai hak Alloh dan Rasul-Nya) diberikan kepada
mereka yang dulu paling sengit memusuhi Islam, yakni muslimat al-fath.
Ini untuk melunakkan hati mereka. Maka seratus unta masing-masing diberikan kepada
Abu Sufyan dan anaknya Mu’awiyah, lalu Harits bin al-Harits
bin Qaladah, Harits bin Hasyim, Suhail bin Amr dan Huwaitib
Abdul ‘Uzza. Kepada mereka yang kedudukannya kurang dari yang tadi, diberi
50 ekor unta. Jumlah muslimat al-fath yang dilunakkan hatinya ini
mencapai puluhan orang. Inilah yang menyebabkan ketidakpuasan sebagian kalangan
sahabat Anshar, namun akhirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dapat
meredakannya. pent.
[10] Mayoritas pimpinan al-Ikhwan adalah ahli
hukum dan pengacara Mesir, misalnya DR. Sa’id Ramadhan al-Buthi, lalu Mursyid
‘Amm yang kedua DR. Hasan Isma’il al-Hudhaibi adalah seorang
pengacara kondang. Demikian pula tokoh mereka yang digantung semisal Ibrahim
ath-Thayyib, Ahmad Nushair, Hindawi Duwair, Abdul Qodir ‘Audah dan lain
lain –rahimahumullahu jami’an wa ghofarallahu lahum-. pent.
[11] Sungguh ucapan ini sama dengan ucapan para muta’shshibin
(fanatikus ) hizbiyah semisal syabab Hizbut Tahrir. Editor
telah sering mendengarkan dan membaca ucapan-ucapan seperti ini pada majelis dan
forum-forum mereka. Sehingga, para pembaca jangan heran apabila mereka rela
bersekutu dengan firqoh-firqoh sesat semisal shufiyah, syi’ah dan
semacamnya untuk membantah dan memerangi dakwah salafiyah ahlus sunnah. Sebagai
bukti silakan baca tulisan-tulisan syabab mereka dalam forum-forum di
website mereka. Semoga Alloh memberikan hidayah kepada kita semua dan mereka. ed.