MAKTABAH ABU SALMA AL-ATSARI

 

نصيحتي لإخوة سلفيين

PERMATA NASEHAT TUK SAUDARAKU SALAFIYYIN

(Revisi)

 

 

Dari Abu Salma bin Burhan at-Tirnatiy

Kepada saudara-saudaraku tholibul ‘ilm shoghir dan awwamus salafiy yang gemar menghembuskan bara fitnah perpecahan dan ashabiyah syakhshiyah.

 

 

أَعُوْذُ بِرَبِّ العَرْشِ العَظِيْمِ مِنْ فِئَةٍ بَغَتْ عَلَيَّ فَمَا لِيْ غَوْضُ إِلاَّ نَاصِرٌ

Aku berlindung kepada Rabb pemilik arsy dari gangguan golongan yang berbuat aniaya kepada diriku, aku tiada memiliki seorang penolongpun melainkan Ia.

 

Allah Ta’ala berfirman :

 

لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ أَتَوأ وَّيُحِبُّون أَن يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ العَذَابِ وَلَهُمْ عَذَبٌ عَلِيْمٌ

 

Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali Imran : 188)

 

Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbaly berkata dalam kitabnya, Al-Farqu bainan Nashihah wat Ta’yiir hal. 34-38 berkenaan ayat ini :

 

Bahwa seseorang yang menghendaki mencela seorang yang lain dan merendahkannya serta menyampaikan aibnya agar manusia menjauhi orang tersebut, entah disebabkan adanya permusuhan antara keduanya sehingga ia senang menyakitinya atau karena takut tersaingi dalam hal harta atau kepemimpinan atau dikarenakan sebab-sebab tercela lainnya. Maka, tiada lain untuk mencapai maksudnya, kecuali dengan menampakkan celaan terhadap orang tadi dengan alasan dien

Barangsiapa yang ditimpa dengan makar seperti ini, maka bertakwalah kepada Allah, memohon pertolongan kepadanya dan bersabarlah, karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertaqwa…

 

RasuluLlah shalallahu ‘alaihi wa Sallam :

 

لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوا أَوْرَاتَهُم فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعُواهُ  يَتَّبِعُ اللَّهُ أَوْرَتَهُ...

 

…Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah mencari-cari kekurangan mereka kelak Allah akan menyingkapkan kekurangan-kekurangannya (dishahihkan Albany dalam shahih Jami’us Shaghir : 7985)

 

Wahai saudara-saudaraku yang gemar mencela dan tajassus (mencari-cari kesalahan)… wahai saudaraku yang melempar debu dan menghembuskan asap …

 

مََا أَنْتَ الحَكَمِ التُرْضَى حُكُومَتُهُ                      وَلاَ الأَصِيلِ وَلاَ ذِي الرَأْيِ الجَدَلِ

Engkau bukanlah hakim yang dianggap keputusannya

            Dan bukan pula orang yang ahli dalam berdebat…!!!

 

إنَّ خَوْضَ المَرْءِ فِيمَا لاَ يَعْنِيْهِ                                   وَفِرَارُهُ مِنَ الحَقِّ مِنْ أَسْبَابِ عِثَارِهِ

Sesungguhnya keterlibatan seseorang dalam hal yang bukan urusannya

dan ia lari dari kebenaran adalah salah satu sebab kefrustrasiannya

 

Ingatlah wahai saudaraku

 

قَوْمٌ إِذَ الشَّرُّ أَبْدَى نَاجِذَيْهِ لَهُمْ                                    طَارُوا إِلَيْهِ زَرَفَاتٍ وَوُحْدَانٍ

Bila kejelekan menampakkan kedua taringnya pada suatu kaum maka mereka

akan menyerangnya secara berkelompok dan sendiri-sendiri

 

Wahai saudaraku yang gemar menghabiskan waktu untuk mencela dan menggunjing…

 

لاَ تَتَفَكَّهُوا  بِأَعْرَاضِ النَّاسِ فَشَرُّ الخُلُقِ الغِيْبَةُ

Janganlah kalian merusak kehormatan orang lain karena sesungguhnya sejelek-jelek akhlak adalah menggunjing

 

لاَ تَخُضْ فِيْ حَدِيْثٍ لَيْسَ مِنْ حَقِّكَ سِمَاعُهُ

Janganlah kalian menyelam ke suatu pembicaraan yang kalian tidak berhak mendengarkannya

 

Kepada saudaraku yang dizhalimi dengan gunjingan, celaan dan makian…

 

اصْبِرْ عَلَى مَضَضٍ الحَسُوْدِ فَإِنَّ صَبْرَك قَاتِلْه                 النَّرُ تَأْكُلُ بَعْضُهَا إِنْ لَمْ تَجِدْ مَا تَأْكُلُهُ

Bersabarlah terhadap ulah orang yang dengki karena sesungguhnya kesabaran itulah yang memadamkannya

Api itu akan memakan dirinya sendiri bila tiada ada yang dilahapnya

 

Dan adapun tuduhan-tuduhan mereka kepada ustadz-ustadz dan ulama-ulama kita…

 

أَعَاذَكَ اللَّه مِنْ سِهَامِهِم                  وَمُخْطِئٌ مَنْ رَمِيُّهُ القَمَرُ

Semoga Alloh melindungi dari bidikan anak panah mereka

Sungguh naïf orang yang membidikkan anak panahnya ke bulan

 

Wahai para pencela yang dibakar kedengkian…

 

وَلَوْ لاَ احْتِقَارُ الأُسَدِ شَبَّهْتُهُمْ بِهَا                     وَلَكِنَّهَا مَعْدُودَةٌ فِيْ البَهَائِمِ

Seandainya bukan penghinaan terhadap singa maka saya serupakan mereka dengannya

Akan tetapi singa jarang didapat diantara binatang ternak

 

Walaupun…

شِرَاءُ النُّفُوسِ بِالإِحْسَانِ خَيْرٌ مِنْ بَيْعِهَا بِالعُدوَانِ

Membeli jiwa dengan berbuat kebajikan itu lebih baik daripada menjualnya dengan permusuhan

 

Wahai saudaraku yang terbakar hasad dan iri dengki, ingatlah…

 

وَمَنْ يَكُ ذَا فَمٍ مُرٍّ مَرِيْضٍ                 يَجِدُ مَرًّا بِهِ المَاءَ الزُّلالا

Barangsiapa yang merasa sakit mulutnya karena sakit

Niscaya air yang tawar akan terasa pahit baginya

 

Wahai saudaraku

أَنْتَ تَرْقُمُ عَلَى المَاءِ

أَنْتَ تَنْفُخُ فِيْ رَمَادٍ

أَنْتَ تَحْصُدُ مَا زَرَعْتَ

أَنْتَ تُضِيْئُ لِلنَّسِ وَتَحْتَرِكُ

Engkau melukis di atas permukaan air

Engkau meniup abu

Engkau menuai apa yang engkau tanam

Engkau menerangi manusia namun dirimu terbakar

 

مَتَى يَبْلُغُ البُنْيَانُ يَوْمًا تَمَامُهُ             إِذَ كُنْتَ تَبْنْيْهِ وَغَيْرُكَ يَهْدِمُ

Kapankah sebuah bangunan akan berdiri sempurna

Apabila kau membangunnya namun orang lain merobohkannya

 

Teruntuk ustadz-ustadzku yang dicela dan difitnah dengan kedustaan, janganlah bersedih karena…

 

لاَ يَضُرُّ السَحَابَ نُبَاحُ الكِلاَبِ

Gonggongan anjing-anjing itu tidak membahayakan awan

 

Dan kepada para pencela ingatlah pula

 

لاَ يَحْمُدُ السَّيْفُ كُلَّ مَنْ حَمَلَهُ

Pedang itu tidak memuji setiap orang yang membawanya

 

Aduhai…

رَسْمِ دَارٍ وَقَفْتُ فِي طِلَلِهِ                              كِدْتُ أَقْضِي الحَيَاةَ مِنْ جَلَلِهِ

Telah berapa banyak bekas-bekas rumah yang aku telah berhenti pada bekas reruntuhannya

            Yang hampir saja umurku kuhabiskan untuk itu…

 

Wahai saudaraku… apakah engkau seperti orang yang berkata…

 

وَنَنْصُرُ مَوْلاَنَا وَ نَعْلَمُ أَنَّهُ                              كَمَا النَّاسِ مَجْرُومٌ عَلَيهِ وَجَارِمٌ

Dan kami membela teman-teman kami dan kamipun tahu

bahwa mereka sama dengan manusia lainnya terkadang dianiaya dan terkadang menganiaya

 

Wahai saudaraku yang dulu engkau adalah sahabat karibku…

 

أَتَهْجُرُ لَيْلَى بِالفِرَاقِ حَبِيْبَهَا                           وَمَا كَانَ نَفْسًا بِالفِرَاقِ تَطِيْبُ

Apakah Laila hendak berhijrah meninggalkan kekasihnya?

Padahal tidaklah jiwa itu merasa senang berpisah dengan kekasihnya

 

Namun sekarang kau katakan…

 

لاَ نَسَبَ اليَوْمَ وَلاَ خُلَّةً                                 اتُّسَعَ الخَرْقُ عَلَى الرَّاقِعِ

Tidak ada nasab pada hari ini dan tidak pula hubungan persahabatan

Perpecahan benar-benar telah melebar atas keretakan yang ada

 

Tidakkah kau ingat nasehat seorang ahli hikmah…

 

يَاابْنَ الكِرَامِ أَلا تَدْنُو فَتُبْصِرَ مَا                      قَدْ حَدَّثُواكَ فَمَا رَاءٍ كَمَنْ سَمِعَا

Hai anak orang-orang yang mulia, tidakkah kau mendekat yang menyebabkan kamu

dapat melihat tentang apa yang

mereka bicarakan mengenai dirimu, karena sesungguhnya orang yang melihat itu tidak sama dengan orang yang mendengar

 

Apakah kita hanya mendengar saja ataukah juga telah melihat???

Padahal seorang yang arif berkata….

 

خُذْ مَا تَرَاهُ وَدَعْ شَيْئًا سَمِعْتَ بِهِ                     فِي طَلْعَةِ البَدْرِ مَا يُغْنِيْكَ عَنْ زُحَلِ

Ambillah yang kamu lihat dan tinggalkan yang kamu dengar tentangnya

Dalam munculnya bulan tidak lagi dibutuhkan bintang zuhal

 

Namun engkau wahai saudaraku yang terbakar kedengkian dan kebencian…

Engkau seperti pembawa kayu bakar untuk ditiup, namun ingatlah…

 

فَأَصْبَحْتَ أَنّى تَأْتِهَا تَسْتَجِرْ بِهَا                       تَجِدْ حَطَبًا جَزِلاً وَنَارًا تَأجَّجَا

Manakala engkau mendatanginya untuk memenuhinya dengan kayu api

Maka engkau akan menemukan banyak api yang menyala terus

 

Wahai para pelontar abu, penghembus api…

berhati-hatilah engkau akan abu yang akan mengotorimu dan api yang akan membakarmu…!!!

 

Adapun saudara kamu yang takut bermain api…

Mereka berkata

قَالُوا سَكَتَّ وَ قَدْ خُوْصِمْتَ قُلْتُ لَهُمْ                 إِنَّ الجَوَابَ شَرِّ المِفْتَاحُ

وَالصُّمْتُ عَنْ جَاهِلٍ أَوْ أَحْمَقٍ شَرَفٌ                وَفِيهِ أَيْضًا لِصَوْنِ العِرْضِ إصْلاَحُ

Manusia bertanya berkata, mengapa engkau diam padahal engkau dihujat, kukatakan pada mereka

Sesungguhnya jawabanku nanti akan membuka pintu kerusakan

Dan diamku dari orang jahil dan pandir adalah suatu kemuliaan

Dan di dalam diam itu pula terdapat kebaikan untuk terpeliharanya kebaikan

 

وَجَدْتُ سُكُوْتِي مَتْجَرًا فَلَزِمْتُهُ                         إذَ لَمْ أَجِدْ رِبْحًا فَلَسْتُ بِخَاصِرِ

Kutemukan dalam sikap diamku modal dasar maka kulazimi diamku

Meski ku tak dapat keuntungan namun ku tak rugi darinya

 

وَذِي رَحَمٍ قَلَّمْتُ أَظْفَارَ ضِغْنِهِ                         بِحِلْمِي عَنْهُ وَهُوَ لَيْسَ لَهُ حِلْمٌ

Aku potong kuku-kuku kedengkian kerabatku

dengan kesabaranku padanya sedangkan ia tidak memiliki kesabaran

 

Mereka senantiasa mendengarkan nasehat ustadz-ustadz mereka yang menasehatkan…

 

اسْتَغْنِ مَا اغْنَاكَ رَبُّكَ بِاالغِنَى                                    وَإِذَا تُصِبُكَ خَصَاصَةُ فَتَجَمَّلْ

Bersikap lapanglah selama Alloh menganugerahimu kekayaan padamu

Dan mana kala kamu tertimpa kesusahan maka bersabarlah

 

وَإِذَا تُصِبُكَ خَصَاصَةٌ فَارْجُ الغِنَى                    وَإِلَى الَّذِي يُعْطِي الرَّغَائِبَ فَازْغَبْ

Apabila kamu ditimpa kesusahan maka mohonlah kecukupan

Dan kepada Tuhan yang Maha Memberi segala yang diinginkan, mintalah!

 

Aduhai…

شِرَاءُ النُّفُوسِ بِالإِحْسَانِ خَيْرٌ مِنْ بَيْعِهَا بِالعُدوَانِ

Membeli jiwa dengan berbuat kebajikan itu lebih baik daripada menjualnya dengan permusuhan

 

Kepada saudaraku yang didhalimi dengan tuduhan-tuduhan dan fitnah…

Ingatlah nasehat Syaikhuna al-Fadhil Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilaly as-Salafy yang menasehatkan kita dalam kitabnya ar-Riya’u hal. 68-69 sebagai berikut :

 

“Perhatikanlah orang yang mencelamu, apabila ia jujur dan bermaksud menasehatimu haruslah engkau contoh ia dan janganlah kau marah, karena dia telah memberitahu kekurangan-kekuranganmu. Apabila ia tidak bermaksud menasehatimu, maka ia telah berbuat kejahatan atas dirinya sendiri, dan engkau mendapatkan manfaat dari ucapannya karena ia telah memberitahukanmu apa-apa yang sebelumnya tak kau ketahui, dan mengingatkanmu apa yang engkau lupa akan kesalahan-kesalahanmu. Apabila dia memberikan tuduhan dusta atasmu, padahal engkau terbebas dari kesalahan-kesalahan tersebut, maka berfikirlah engkau dari tiga hal berikut ini :

Pertama, kalau engkau bersih dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan, tapi engkau tidak selamat dari kesalahan-kesalahan lain, karena sesungguhnya manusia itu memiliki banyak kesalahan yang ditutupi Allah, tidak diperlihatkannya kepada orang lain jumlahnya lebih banyak. Maka ingatlah akan nikmat yang diberikan Allah kepadamu sehingga Allah tidak perlihatkan kepada si penuduh kekurangan-kekuranganmu yang banyak, Allah tutupinya dari si penuduh sehingga ia menyebutkan kesalahan-kesalahan yang engkau terbebas darinya.

Kedua, bahwa tuduhan ini merupakan penghapus dosa-dosamu jika engkau sabar dan ikhlash mencari ridha Allah.

Ketiga, bahwa orang yang bodoh ini telah melakukan kejahatan yang membahayakan diennya, ia mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah, sebagaimana firmannya :

Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tak bersalah. Maka, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS an-Nisa’ : 112)

Jadilah engkau lebih baik darinya (penuduh/pendusta itu), maafkanlah dan mohonkanlah ampun untuknya, bukankah kau suka apabila Allah merahmatimu dan memeliharamu..”

 

Subhanallah, maha suci Allah yang berfirman :

Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satupun dosa atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapatkan adzab yang pedih. Tetapi orang-orang yang sabar dan memaafkan, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS asy-Syuura : 40-43)

 

Namun, tidaklah engkau salah, wahai saudara-saudaraku yang dianiaya dengan tuduhan-tuduhan keji dan dusta, membalas tuduhan mereka… karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman :

 

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ (البقرة)

Oleh karena itu barang siapa yang menyerang kalian maka seranglah ia dengan seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (QS Al-Baqoroh : 194)

 

وَجَزَاؤُا سَيِّئَةٍ سَيَّءَةٌ مِثْلُهَا (الشورى)

Dan balasan atas kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS Asy-Syuro : 40)

 

لا يُحِبُّ اللَّهُ الجَهْرَ بِالسُّوء مِنَ القَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا (النساء)

Alloh tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terang-terangan kecuali oleh orang-orang yang dianiaya. Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nisaa’ : 148)

 

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَالِك لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ (الشورى)

Akan tetapi, orang-orang yang sabar dan memaafkan sesungguhnya yang demikian ini termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS Asy-Syura : 43)

 

Wahai saudaraku…

Lihatlah nasehat emas berikut ini…

Syaikhuna al-Fadhil Abu Harits Ali Hasan al-Halaby al-Atsary –hafidhahullah- menasehati kita dalam salah satu muhadhorohnya syarhus sunnah di salah satu Masjid di Yordania pada tanggal 19 Rabi’ul Awwal 1417 H sebagai berikut :

 

“Kami kaum muslimin khususnya penuntut Ilmu pemula, seperti kita semua ini (Subhanallah, lihatlah bagaimana tawadhu’nya beliau yang menyatakan diri beliau penuntut ilmu pemula, bandingkanlah dengan kita yang pemula namun sudah merasa alim kabir, peny.), tidaklah mereka berhak untuk mengkategorikan bahwa Imam ini termasuk ahlus sunnah, adapun imam itu tidak termasuk ahlus sunnah. Orang ini di jannah dan orang ini di neraka. Orang ini firqah sesat dan orang ini mubtadi’. Vonis terhadap orang lain itu haknya para imam ahli ilmu dan ulama’ ummat yang selalu Allah tampilkan setiap zaman, sebagaimana dalam sabda Nabi :

“Yang membawa Ilmu di setiap generasi adalah orang-orang adilnya. Mereka menghilangkan perubahan dari ahli ghuluw, pegangan dari orang-orang bathil dan ta’wil dari orang-orang jahil.” Dan hadits; “Senantiasa ada sekelompok dari ummatku di atas kebenaran, tidaklah membahayakan orang-orang yang memusuhi dan menyalahi mereka.”

Kalau begitu tugasmu adalah engkau memperbaharui aqidah dan manhajmu, dan istiqomahlah di atas perintah Rabb-mu, berpegangteguhlah dengan sunnah nabimu. tetapi janganlah kau lampaui kemampuanmu, janganlah lompat tangga, dan jangan memvonis orang lain tanpa ilmu, sesungguhnya vonis dan iqomatul hujjah adalah milik ulama’ di zamannya…”

 

Syaikhuna al-Fadhil Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr as-Salafy al-Atsary juga menasehatkan kita pada saat soal jawab pada pertemuan tertutup du’at salafiyyah ketika Dauroh fi Masaa-il aqdiyyah wa manhajiyyah lid du’at salafiyyah 17-21 Maret 2002 di Masjid Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebagai berikut :

 

Syaikh ditanya, “Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah berpecah belah, apakah nasehat anda kepada kami dalam menyikapi perpecahan yang ada di kalangan orang-orang yang intishab sebagai salafiy yang menimbulkan perpecahan dan sikap saling membenci???

Syaikh menjawab, “Aku melihat banyak soal-soal yang senada, di sini aku temukan soal seperti yang lalu dan telah dijawab oleh Syaikh Salim. Namun, di sini aku menambahkan bahwa tak ada seorangpun yang dapat mengkritik prinisip-prinsip dasar da’wah salafiyyah, aqidah maupun manhajnya. Karena da’wah ini berasal dari ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan ciptaan manusia. Namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara thullabul ‘ilm sebagaimana yang diterangkan Syaikh Salim dalam jawabannya tadi (Syaikh Salim menjawab pertanyaan ini sebelum Syaikh Musa, dan beliau mengisyaratkan yang dimaksud orang-orang tersebut adalah Haddadiyun*, peny.). Dari sini kami peringatkan kepada du’at salafiyin untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap da’wah salafiyyah yang telah tersebar di seantero dunia sebagaimana menyulutnya api jika disulut minyak. Sampai-sampai terdapat lahan da’wah subur di suatu negeri yang seluruh penduduknya salafiy. Ini adalah realita yang tak dapat disangkal, apalagi sebagian ikhwan telah mendatangi tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu, berbagai macam perbedaan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah salafiyyin jangan sampai dicampuri oleh orang-orang awwam.  Hendaklah mereka menyerahkan hal ini ke tangan para ulama’ dan menyibukkan diri mereka dengan hal-hal yang bermanfaat seperti tazkiyatun nafsi maupun menuntut ilmu. Janganlah mereka menyibukkan diri dengan isu-isu yang disebarkan dan jangan pula ikut campur menyebarkan isu-isu ini, tetapi hendaklah mengecek kebenaran akan berita yang mereka dengar, kemudian mengembalikannya kepada para ulama Rasikhin. Hendaklah mereka menyibukkan diri dengan aib-aib yang ada pada diri mereka. Karena dengan membuat laris isu-isu yang tak jelas ini akan membuat para pemuda bingung dan akhirnya merekapun menjadi mangsa syaithan dari jin dan manusia. Wallahu a’lam

[Haddadiyun = penisbatan terhadap pengikut al-Haddad, kelompok dari Yaman yang berintisab dengan manhaj salafy, sedangkan mereka pada hakikatnya bermanhaj mutasyaddid menyelisihi manhaj salafy yang gemar mencela para ulama’ robbaniyun sebagai mubtadi’ dan lain sebagainya, mereka mencela Ibnu Hajar al-Asqolani, Imam Nawawi, Imam Ibnul Qoyyim, bahkan Syaikhul Islam. Bahkan mereka membakar kitab Fathul Bari’ dikarenakan adanya ta’wil terhadap ayat-ayat sifat dan mereka menganggapnya sebagai kitab sesat. Syaikh Salim mengindikasikan munculnya kelompok New Haddadi ini dan memperingatkan akan bahayanya, dan beliau berpesan agar waspada terhadap mereka, jangan tergesa-gesa mengambil berita, untuk senantiasa bertabayyun dan mentahqiq terhadap segala bentuk issu, karena mereka adalah ahlul fitnah di tengah-tengah salafiyyin saat ini, peny.]

 

Subhanallah, perhatikanlah nasehat terakhir Syaikh tentang larangan beliau bagi orang awam yang ikut campur dalam masalah fitnah…!!! Ketahuilah, sesungguhnya menyibukkan diri dengan aib-aib kita jauh lebih bermanfaat daripada mengurus aib-aib yang kita tak memiliki pengetahuan yang nyata akannya… karena betapa banyak permasalahan-permasalahan yang masih terhijabi dari kita, dan kita memandang permasalahan tersebut dengan kekerdilan ilmu kita, kependekan akal kita dan keparsialan pemahaman kita… maka perhatikanlah…!!!

 

Perhatikan pula nasehat asy-Syaikh al-Muhaddits al-Ashr, Mujaddid haadza zaman, al-Allamah Samahatus Syaikh, Abu Abdillah Muhammad Nashiruddin al-Albany as-Salafy –rahimahullah- kepada para thulabul ‘ilm, perhatikanlah dan renungkanlah, semoga Allah merahmatimu…

 

MUTIARA NASEHAT SYAIKH ALBANY TERHADAP THOLABUL ‘ILM

 

“Aku nasehatkan untuk saya pribadi khususnya dan untuk saudara-saudaraku kaum muslimin pada umumnya agar bertaqwa kepada Allah. Diantara bagian-bagian taqwa yang akan aku nasehatkan adalah :

Pertama, Hendaklah kalian menuntut ilmu syar’i dengan ikhlash karena Allah, janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan, ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum.

Kedua, diantara penyakit yang menimpa para penuntut ilmu syar’i adalah ujub dan lupa daratan, dia merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani berpendapat sendiri tanpa mengambil bantuan dan penjelasan ulama’ salaf. Sebagaimana mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan taufiq kepada mereka, berupa ilmu yang benar dan adab-adabnya, bahkan mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan mereka menyangka bahwa mereka telah memiliki kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapat-pendapat yang mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka nampaklah pendapat-pendapat ini dari pemikiran-pemikiran yang tidak matang, mereka menyangka bahwa fatwa-fatwa tersebut adalah ilmu yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Maka, mereka sesat dengan pemikiran-pemikiran tersebut dan menyesatkan banyak manusia, dan kalian mengetahui semuanya diantara dampak negatif dari fenomena tadi adalah munculnya kelompok-kelompok di sebagian negeri islam mengkafirkan kelompok-kelompok lainnya dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, tidak bisa kami kemukakan dalam kesempatan yang singkat ini, karena pertemuan kami ini sekarang khusus sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada para penuntut ilmu dan juru da’wah, oleh karena itu saya nasehatkan saudara-saudara kami dari ahli sunnah dan ahli hadits di seluruh negeri islam agar mereka sabar dalam menuntut ilmu, dan agar mereka tidak tertipu dengan ilmu yang mereka miliki sekarang. Mereka harus mengikuti jalan yang telah digariskan, jangan sekali-kali mereka bersandar dengan mengandalkan semata-mata pemahaman mereka atau mereka beri nama dengan ijtihad mereka. Saya sering sekali mendengar dari saudara-saudara kami mereka mengatakan dengan sangat mudahnya, “saya berijtihad” atau “saya berpendapat demikian” tanpa memikirkan  akibat-akibat yang ditimbulkan dari ucapan-ucapannya. Mereka tidak mengambil bantuan dari kitab-kitab fiqh dan hadits serta pemahaman ulama terhadap kitab-kitab tersebut. Yang ada hanya hawa nafsu dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, sedangkan penyebabnya adalah ujub dan lupa daratan. Oleh karena itu, sekali lagi aku nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar menjauhi segala akhlak yang tidak islami, di antaranya agar mereka tidak tertipu oleh ilmu yang telah didapatkannya serta tidak tergelincir ke dalam ujub.

Ketiga, terakhir, agar mereka menasehati manusia dengan cara yang lebih baik, menjauhi cara-cara yang kasar dan keras dalam berdakwah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl : 125)

Allah berfirman dengan ayat tadi karena kebenaran itu sendiri berat atas manusia atau menerimanya, dan berat atas jiwa-jiwa mereka, oleh karena itu secara umum jiwa manusia sombong untuk menerimanya, kecuali sedikit orang yang dikehendaki Allah untuk langsung menerimanya. Apabila beratnya kebenaran itu atas jiwa manusia ditambah dengan beratnya cara berupa kekasaran dalam da’wah, maka itu berarti menjadikan manusia lari dari da’wah kebenaran. Kalian tentu mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat orang lari (dari kebenaran). Beliau mengulanginya tiga kali. Sebagi penutup, saya memohon kepada Allah Ta’ala agar jangan menjadikan kami sebagai orang-orang yang membuat orang lain lari dari kebenaran, akan tetapi jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memiliki hikmah dan orang-orang yang mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. (Disarikan dari Hayatul Albany, Juz I hal. 452-455 oleh Ustadz Fariq Qoshim Anuz)

 

Perhatikanlah pula nasehat asy-Syaikh al-Allamah Faqiihuz Zaman Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah- dalam salah satu muhadharahnya :

 

MUTIARA NASEHAT SYAIKH IBNUL UTSAIMIN KEPADA PENUNTUT ILMU

 

Sangat disayangkan sekali ketika saya mendengar tentang orang-orang yang termasuk memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima kebenaran, meskipun demikian kami dapatkan mereka berpecah-belah, masing-masing di antara mereka memiliki nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti ini sesungguhnya tidak benar, sesungguhnya dien Allah Subhanahu wa Ta’ala itu satu, dan ummat islam adalah ummat yang satu. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman :

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertakwalah kepada-ku.´(QS Al-Mu’minun : 52)

Dan Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS an-An’am : 159).

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula :

Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang dien yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. Yakni, tegakkan dien dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya.” (QS asy-Syuura : 13)

apabila hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita, maka seharusnya kita praktekkan bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu pembahasan, saling berdiskusi dalam rangka ishlah (perbaikan), bukan untuk mendiskreditkan atau membalas dendam, karena sesungguhnya siapa saja yang membantah orang lain atau adu argumentasi dengan maksud mempertahankan pendapatnya atau untuk menghinakan pendapat orang lain dan bermaksud untuk mencela bukan untuk ishlah, maka hasilnya tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, pada umumnya demikian.

Kewajiban kita adalah untuk menjadi ummat yang satu. Saya tidak mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki kesalahan, bahkan manusia itu memiliki kesalahan, disamping memiliki kebenaran. Hanya saja pembicaraan kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki kesalahan, maka bukan cara yang benar untuk memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan mendiskusikannya, apabila terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap mempertahankan kebatilannya, maka saat itu saya memiliki alasan bahkan wajib atas saya untuk menjelaskan kesalahannya, dan mentahdzir manusia dari kesalahan orang tersebut, dengan demikian segala urusan akan menjadi baik.

Sedangkan perpecahan dan bergolong-golongan, maka sesungguhnya yang demikian tidak disukai oleh siapapun, kecuali oleh musuh islam dan musuh kaum muslimin. (disarikan dari Zaadud da’iyah ilallah, hal. 26-28, oleh Ust. Fariq Qoshim Anuz)

 

Di sini ana nukilkan pula permata nasehat dari lisan yang mulia asy-Syaikh al-Faqih al-Mujaddid Haadza Zamaan al-Mufti al-‘aam al-Allamah Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz –rahimahullah-

 

MUTIARA NASEHAT SYAIKH IBNU BAZZ TERHADAP THOLIBUL ‘ILM

 

Segala puji bagi Allah, Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Adapun setelah itu :

Adalah tidak diragukan lagi, bahwasanya menuntut ilmu termasuk seutama-utama amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, termasuk sebab-sebab kesuksesan meraih surga dan kemuliaan bagi pelakunya. Termasuk hal yang terpenting dari perkara-perkara yang penting adalah mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu, menjadikan menuntutnya karena Allah bukan karena selain-Nya. Dikarenakan yang demikian ini merupakan jalan yang bermanfaat baginya dan juga merupakan sebab diperolehnya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.

Dan sungguh telah dating sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda, “Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan harumnya bau surga di hari kiamat.” Dekeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dan dikeluarkan pula oleh Turmudzi dengan sanad yang di dalamnya ada kelemahan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu dengan maksud untuk membantah ulama, atau mengumpulkan orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”

Maka kunasehatkan kepada tiap-tiap penuntut ilmu dan kepada setiap muslim –yang mengetahui perkataan ini- untuk senantiasa mengikhlaskan segala macam amalan karena Allah, sebagai pengejawantahan firman Allah : “barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia beramal sholih dan tidak mensekutukan Allah di dalam peribadatan sedikitpun.” (QS Al-Kahfi : 110). Dan di dalam shohih Muslim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : “Allah Azza wa Jalla Berfirman, Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari kesyirikan, barangsiapa yang beramal suatu amalan yang mensekutukan-Ku dengan selain-Ku, kutinggalkan ia dengan sekutu-Nya.”

Aku wasiatkan pula kepada tiap tholibul ‘ilm dan tiap muslim untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa segala urusannya diawasi oleh-Nya, sebagai implementasi firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang takut dengan Rabb mereka yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Mulk : 12) dan firmannya, “Dan bagi orang-orang yang takut dengan Tuhannya disediakan dua surga.” (QS ar-Rahman : 46).

Berkata sebagian salaf, “Inti dari ilmu adalah takut kepada Allah”. Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Cukuplah takut kepada Allah itu dikatakan sebagai ilmu dan cukuplah membangkang dari-Nya dikatakan sebagai kejahilan.”. Berkata sebagian salaf : “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah nsicaya dia lebih takut kepada-Nya.” dan menunjukkan kebenaran makna ini sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang lebih takut kepada Allah daripada kalian dan aku lebih bertakwa kepada-Nya daripada kalian.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Oleh karena itulah, kekuatan ilmu seorang hamba terhadap Allah adalah merupakan sebab kesempurnaan takwa dan keikhlasannya, wuqufnya (berhentinya) dia dari batasan-batasan Allah dan kehati-hatiannya dari kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama’” (QS Fathir : 28). Maka ulama yang mengetahui Allah dan agamanya, mereka adalah manusia yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, serta mereka adalah orang  yang paling mampu menegakkan agama-Nya. Di atas mereka ada pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Rasul dan Nabi –‘alaihimush sholaatu was salaam-  kemudian para pengikut mereka dengan lebih baik.

Nabi mengabarkan termasuk tanda-tanda kebahagiaan adalah fahamnya seorang hamba akan agama Allah. Bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Barangsiapa dikehendaki Allah atasnya kebaikan niscaya ia akan difahamkan akan agamanya”, dikeluarkan di dalam shahihain dari hadits Mu’awiyah Rahiallahu ‘anhu. Tidaklah hal yang demikian ini melainkan dikarenakan faham terhadap agama akan mendorong seorang hamba untuk menegakkan perintah Allah, untuk takut kepada-Nya dan memenuhi kewajiban-kewajiban-Nya, menghindari apa-apa yang membuat-Nya murka. Faham terhadap agama akan membawanya kepada akhlak yang mulia, amal yang baik, dan sebagai nasehat kepada Allah dan hamba-hamba-Nya.

Aku memohon kepada Allah Azza wa jalla untuk menganugerahkan kita, seluruh penuntut ilmu dan kaum muslimin seluruhnya, dengan pemahaman di dalam agama-Nya dan istiqomah di atasnya. Semoga Allah melindungi kita dari seluruh keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita, sesunggunya Allahlah pelindung dari hal ini dan Ia maha memiliki kemampuan atasnya.

Semoga Shalawat dan Salam tercurahkan kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.

(diterjemahkan dari Mansyurat Markaz Imam Albany lid Dirasat al-Manhajiyah wal Abhatsil Ilmiyyah (Surat edaran Markaz Imam Albany tentang pelajaran manhaj dan riset ilmiyah) yang berjudul min durori kalimaati samahatis syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz –rahimahullah- Nashihatu Lithullabatil ‘ilm oleh Abu Salma bin Burhan)

 

Terakhir ana nukilkan mutiara nasehat Syaikhul Masyayikh dari Madinah, Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr as-Salafy al-Atsary –Hafidhahullah- dalam kitab beliau Rifqan ahlas sunnah bi ahlis sunnah tentang masalah caci maki dan tahdzir :

 

MUTIARA NASEHAT SYAIKH ABDUL MUHSIN ABBAD

1.      Hendaknya orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta mentahdzir terhadap mereka, hendaklah ia merasa takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukan diri dengan memeriksa aib-aibnya supaya ia terlepas dari aibnya tersebut, dari pada ia sibuk dengan aib-aib orang lain, dan menjaga kekekalan amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagiakannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada hari yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.

2.      Hendaklah ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanfaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan tahdziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfa’at dan bermanfa’at, maka diantara pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah bahwa ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis, apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur, orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at, serta manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka manfa’at, justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari kejahatannya.

3.      Bahwa ia menganjurkan kepada para generasi muda dari Ahlus Sunnah pada setiap tempat untuk menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfa’at dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syeikh Bin Baz dan Syeikh Bin Al ‘Utsaimin, dari pada menyibukan diri mereka dengan menelepon si fulan dan si fulan untuk bertanya; (apa pendapat engkau tentang si fulan atau si fulan?), dan (apa pula pandanganmu terhadap perkataan si fulan terhadap si fulan?), dan (perkataan si fulan terhadap si fulan?).

4.      Hendaknya ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang hal orang-orang yang menyibukan dirinya dengan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada tim komisi pemberi fatwa di Riyadh untuk bertanya tentang hal mereka tersebut, apakah mereka tersebut berhak untuk dimintai fatwanya dan boleh menuntut ilmu darinya atau tidak?, dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang hal seseorang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada tim komisi pemberi fatwa tentang apa yang diketahuinya tentang halnya untuk sebagai bahan pertimbangan dalam hal tersebut, supaya hukum yang lahir tentang celaan dan tahdziran timbul dari badan yang bisa dipercaya fatwa mereka dalam hal menerangkan siapa yang boleh diambil darinya ilmu dan siapa yang bisa dimintai fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya badan resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa dalam hal mengetahui tentang siapa yang boleh dimintai fatwanya dan diambil darinya ilmu, dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam seperti hal-hal yang penting ini, sesungguhnya diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak menjadi urusannya.

5.      Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasehati dirinya, hendaklah ia memalingkan perhatiannya dari mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai. Ketika mempergunakan jaringan internet hendaklah menghadapkan perhatiannya pada web site Syeikh Abdul ’Aziz bin Baz -رحمه الله- dan membaca berbagai karangan dan fatwanya yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh satu jilid, dan fatwa tim komisi fatwa yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh jilid, begitu juga web site Syeikh Muhammad bin ‘Utsaimin -رحمه الله- dan membaca buku-buku dan fatwa beliau yang cukup banyak lagi luas.

Sebagai penutup saya wasiatkan kepada para penuntut ilmu supaya mereka bersyukur kepada Allah atas taufik yang diberikanNya kepada mereka; ketika Allah menjadikan mereka diantara orang-orang yang menuntut ilmu, dan hendaklah mereka menjaga keikhlasan mereka dalam menuntut ilmu tersebut dan mengorbankan segala yang berharga untuk mendapatkannya, serta menjaga waktu untuk selalu sibuk dengan ilmu. Sesungguhnya ilmu tidak bisa diperoleh dengan cita-cita belaka serta tetap kekal dalam kemalasan dan keloyoan (diterjemahkan dari kitab Rifqan ahlas sunnah bi ahlis sunnah oleh Ust. Abu Hasan al-Maidany. PERHATIAN : Beberapa ulama’ mentahdzir orang-orang yang menyebarkan buku ini sebagai shohibul fitnah ataupun mubtadi’, namun beberapa kibarul Ulama’ dalam www.alisteqama.net seperti Syaikh Sholih Fauzan al-Fauzan dan Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, mentazkiyah buku ini dan menganjurkan untuk menyebarkannya. Termasuk yang mentazkiyah risalah ini adalah syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazairy. Syaikh Sholih Alu Syaikh, Syaik Sholih as-Suhaimy, dll.)

 

Kuakhiri risalah ini dengan menukil ucapan seorang penyair…

 

إِنَّ لِلَّهِ عِبَادً فُطَنَا               طَلَّقُوا الدُّنْيَ وَخَافُوا الفِتَنَا

نَظَرُوا فِيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا        أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحبٍّ وَطّنَا

جَعَلُوهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوا          صَالِحَ الأَعْمَالِ فِيهَا سُفُنَا

Sesungguhnya Alloh memiliki hamba-hamba yang cerdik

Mereka ceraikan dunia dan takut akan fitnah

Mereka renungkan dan ketiku itu mereka mengertilah

Bahwa dunia bukanlah tempat tinggal ‘tuk hidup abadi

Mereka jadikan dunia bagaikan samudera

Dan mereka jadikan amal sholih sebagai bahteranya

 

wahai saudaraku…

حَيْثُمَا تَسْتَقِمْ يُقَدِّرْ لَكَ اللَّهُ نَجَاحًا

Sekiranya engkau menempuh jalan yang lurus niscaya Alloh akan memastikan kesukesan bagimu

 

شِرَاءُ النُّفُوسِ بِالإِحْسَانِ خَيْرٌ مِنْ بَيْعِهَا بِالعُدوَانِ

Membeli jiwa dengan berbuat kebajikan itu lebih baik daripada menjualnya dengan permusuhan

 

Wa nas’alullah salaamah wal ‘aafiyah

Alhamdulilahi Robbil ‘Aalamin.

 

Akhukum fillah

Abu Salma bin Burhan at-Tirnaatiy

Bangil, 20 Mei 2006

 

HOME >>

Hosted by www.Geocities.ws

1