STUDI SINGKAT TENTANG AHLI SUNNAH
WAL JAMA’AH
Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad
Ibrahim al-Hamd
Definisi Sunnah.
Menurut
bahasa “Sunnah” berati cara dan jalan hidup. Di dalam qasidah Mu’allaqat-nya
yang terkenal, Lubaid bin Rabi’ah berkata,
مِنْ
مَعْشَرٍ
سَنَّتْ
لَهُمْ
آباؤُهُمْ # وَلِكُلِّ
قَوْمٍ
سُنَّةٌ وَ
إِمَامُهَا
Dan
setiap kaum memiliki cara hidup dan pemimpinnya.[1]
Penyair lain
berkata:
رَبِّ
وَفِّقْنِيْ
فَلاأََعْدِلُ
عَنْ # سُنَنِ
السَّاعِيْنَ
فِي خَيْرِ
سُنُنِ
Agar
aku tak menyimpang
Dari
jalan hidup mereka yang berjalan
Di
atas jalan hidup yang terbaik.[2]
Ibnu
Manzhur berkata : “Kata Sunnah berarti jalan hidup yang baik
maupun yang buruk. “
Khalid
bin Utbah Al-Hudzali berkata,
فَلاتَجْزَعَنَّ
مِنْ
سِيْرَةٍ
أَنْتَ سِرْتَهَا
# فَاَوَّلُ
رَاضٍ
سُنَّةً مَنْ
يَسِيْرُهَا
terhadap
jalan hidup yang kau lalui
Karena
orang pertama yang merestui jalan hidup
adalah
orang yang tengah melalauinya.[3]
Sedangkan
menurut istilah para ulama aqidah, “Sunnah”
adalah petunjuk Rasulullah r
dan sahabat-sahabatnya, baik berupa ilmu (pengetahuan), i’tiqad (keyakinan),
ucapan, maupun perbuatan. Dan itulah “Sunnah” yang wajib diikuti; penganutnya
dipuji dan penentangnya dicela.”
Istilah
Sunnah juga dipakai untuk menyebut sunnah-sunnah ibadah dan i’tiqad, di samping
menjadi lawan dari istilah “bid’ah”.[4]
Oleh
karena itu, jika dikatakan, “Si Fulan termasuk Ahli Sunnah,” maka itu berarti
ia termasuk orang yang mengikuti jalan yang lurus dan terpuji.[5]
Definisi Jama’ah.
Menurut
bahasa, “Jama’ah” diambil dari kata dasar jama’a (mengumpulkan)
yang berkisar pada al-jam’u (kumpulan), al-ijma’ (kesepakatan),
dan al-ijtima’ (perkumpulan) yang merupakan antonim (lawan kata) at-tafarruq
(perpecahan).
Ibnu
Faris berkata, “Jim, mim, dan ‘ain adalah satu dasar yang
menunjukkan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan, jama’tu asy-syai’a jam’an (aku
mengumpulkan sesuatu).[6]
Menurut
istilah para ulama aqidah, “Jama’ah” adalah generasi Salaf dari umat ini,
meliputi para sahabat Nabi r, para tabi’in, dan semua orang yang
mengikuti mereka dengan baik sampai hari Kiamat. Mereka adalah orang-orang yang
bersepakat untuk menerima kebenaran yang nyata dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.[7]
Ahli
Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang menjalani sesuatu seperti yang
dijalani oleh Nabi r dan sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh pada Sunnah Nabi r, yaitu para sahabat, para tabi’in, dan para
imam petunjuk yang mengikuti jejak mereka. Mereka adalah orang-orang yang
istiqomah dalam mengikuti Sunnah dan menjauhi bid’ah, di mana saja dan kapan
saja. Mereka tetap ada dan mendapatkan pertolongan sampai hari Kiamat.[8]
Mengapa
mereka disebut demikian? Karena mereka berafiliasi (menisbatkan diri) kepada
Sunnah Nabi r dan bersepakat untuk menerimanya secara lahir-batin; dalam
ucapan, perbuatan, maupun keyakinan.[9]
Nama Lain Ahli Sunnah wal
Jama’ah.
Ahli
Sunnah wal Jama’ah memiliki sejumlah nama lain.[10]
1.
Ahli
Sunnah wal Jama’ah.
2.
Ahli
Sunnah (tanpa Jama’ah).
3.
Ahli
Jama’ah.
4.
Jama’ah.
5.
Salafush
Shalih.
6.
Ahli
Atsar (Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi r).
7.
Ahli
Hadis. Karena mereka lah orang-orang yang mau mengambil Hadis Nabi r, baik secara riwayah (periwayatan)
maupun dirayah (pemahaman), dan siap mengikuti petunjuk Nabi r, secara lahir-batin.
8.
Firqah
Najiyah (Golongan yang
Selamat). Karena, mereka selamat dari keburukan, bid’ah, dan kesesatan di
dunia, serta selamat dari api Neraka pada hari Kiamat. Hal itu disebabkan
mereka mengikuti Sunnah Nabi r.
9.
To’ifah
Manshuroh (Golongan yang
Mendapatkan Pertolongan). Yaitu, golongan yang mendapatkan bantuan dari Allah Ta’ala.
10.
Ahli
Ittiba’. Karena, mereka
selalu mengikuti (ittiba’) Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar generasi
Salafush shalih.
Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal
Jama’ah : Mafhumuha Khashaishuha wa
Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim
oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu
[1] Diwan Lubaid bin Rabi’ah, hal. 179
[2] Bait syair ini tidak diketahui penciptanya (anonim).
Bait ini biasa dipakai oleh para ahli Nahwu sebagai syahid atas
keharusan me-nasab-kan fi’il mudlari’ sesudah fa’ as-sababiyah
yang didahului dengan tholab (permintaan)
murni. Dan tholab yang ada di sini adalah doa. Lihat Syarh
Alfiyah Ibnu Malik karya putra penyusunnya; Syarh At-Tashrih ‘
[3] Lisanul Arab, 13/225
[4] Mabahits fi Aqidah Ahli As-Sunnah, hal. 13
[5] Lisanul Arab, 13/226
[6] Mu’jam Maqayis Al-Lughah, 1/479, materi jama’a
[7] Lihat Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah karya
Syaikh DR. Muhammad Khalil Harras, hal.61, tahqiq: Alwi As-Saqqaf; dan Syarh
Al-Aqidah Ath-Thohawiyah karya Ibnu Abil Iz Al-Hanafi, hal. 382
[8] Lihat Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal.
13-14
[9] Lihat Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah karya
Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan, hal. 10; dan Fathu Rabbi Al-Bariyyah bi
Talkhish Al-Hamawiyah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 10
[10] Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, hal.
512; Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah karya Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan,
hal. 9-10; dan Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 14-16