BANGKITKAN KEHEBATANMU-2
Oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Ada lagi
yang perlu kita perhatikan agar bisa menjadi penulis pilihan.
Jika kamu mau membangkitkan kehebatanmu dalam menulis, ada
baiknya kamu simak dengan seksama apa saja yang bisa melejitkan
kemampuanmu. Agar kita bisa duduk lebih enak, saya mencoba
meraciknya dengan pengalaman pribadi.
Selengkapnya, inilah hal-hal penting yang perlu kamu miliki:
I
Am Not a Me Too
Raksasa perusahaan komputer dari Taiwan, Acer, boleh berbangga.
Jika orang umumnya malu menenteng produk-produk China karena
selalu diasosiasikan dengan kualitas kelas dua atau bahkan
lebih buruk dari itu, Acer memiliki tempat yang berbeda.
Memiliki Acer rasanya sama seperti memiliki komputer
merk Compaq atau Hewlett Packard –keduanya sekarang
melakukan merger. Jika memiliki barang produksi China seringkali
karena alasan “daripada tidak punya”, memiliki Acer justru
membanggakan. Membeli Acer adalah pilihan, bukan terdesak
oleh keadaan.
Di
balik sukses besar Acer, ada satu sikap yang menarik
untuk kita catat. Sejak awal, pendiri Acer telah memancang
komitmen anti me too. Secara harfiah, me too
berarti “aku juga”. Orang atau perusahaan yang me too
suka meniru produk yang sukses atau gaya orang beken. Karena
Daniel Goleman sukses dengan teori emotional quotient,
orang ramai-ramai bikin buku dengan teori “baru” yang mirip.
Saya pernah baca buku seperti itu, isinya ternyata nyaris
tak berbeda dengan buku Seven Habitsnya Steven Covey.
Ada juga buku lain yang menawarkan teori dengan muatan Islam,
tetapi nyaris tak ada bedanya dengan buku-buku motivasi karya
Maxwell atau Covey. Bedanya, ada dalilnya dari Al-Qur’an,
meski perlu dipertanyakan apakah itu dalil atau mencocokkan
dalil sesuai dengan teori yang ingin diangkatnya (damj
an-nash ithar al-khash).
Meskipun produk-produk me too (termasuk tulisan), awalnya
bisa menarik perhatian, lama-lama bisa ditinggalkan tanpa
ucapan selamat tinggal. Daya tarik di awal muncul bisanya
lebih bersifat substitutif (pengganti). Kalau nggak bisa beli
Supra-X produksi Honda, Super-X pun tak apa-apa.
Alasan lain yang menggerakkan orang untuk meminati adalah
karena belum ada yang sesuai dengan value (nilai) yang
diyakininya. Tetapi, pelahan-lahan produk me too akan
dilupakan orang. Atau bisa juga tetap dicari dengan malu-malu.
Artinya orang tetap “memerlukan”, hanya saja mereka tak cukup
percaya diri untuk menyebutkan.
Nah, kalau kamu ingin jadi penulis yang diperhitungkan (tidak
hanya satu dua tahun), ikrarkanlah dengan mantap, “I
am not a me too. Saya bukan orang yang me too,
yang suka ikut-ikutan.” Meski awalnya karyamu tak banyak dibaca
orang, kelak kamu akan tahu bahwa karyamu termasuk a few
good ones. Karya-karya pilihan. Yakinlah, setiap manusia
memiliki keunikan. Karena itu, kamu justru akan memiliki ciri
khas yang mengesankan tanpa sibuk-sibuk mencari gaya yang
memikat bila kamu cukup percaya diri untuk menjadi diri sendiri.
So, be yourself. Jadilah dirimu sendiri. Kalau karya
Mbak Helvy bagus, tulisan Boim jenial dan gaya Emha nakal
sekaligus bengal, biarkan saja mereka berjalan seperti itu.
Tetaplah kamu menjadi dirimu sendiri.
Jangan Biarkan Editor Mengubah Tulisanmu
Seorang teman pernah menulis buku. Cukup tebal.
Atas dasar isinya yang bagus, editor memutuskan untuk menerima.
Selanjutnya editor menyerahkan kembali tulisan tersebut untuk
diperbaiki penulisnya.
Apa yang terjadi kemudian? Teman saya ini nyaris
tak melakukan perubahan apa-apa. Sebaliknya, dia bersiap-siap
menulis buku berikutnya. Alasan dia, “Kan ada editor. Nanti
biar diperbaiki editor. Kalau naskahnya sudah bagus, editornya
malah nggak punya kerjaan.”
Saya begitu kagum pada teman saya ini. Dia begitu
khawatir editor kehabisan pekerjaan sampai-sampai tulisannya
tidak diurus oleh editor. Bukunya tidak jadi terbit karena
editor tidak betah menggarap tulisannya. Editor selalu lebih
tertarik mengemas tulisan lain yang lebih mudah dicerna.
Teman saya hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang memiliki
sikap mental menyedihkan. Sikap mental seperti ini membuat
kita tidak bisa berkembang. Sebaik-baik racikan seorang editor,
tetap akan lebih baik racikan asli penulis. Mengedit sangat
berbeda dengan menulis. Seorang penulis yang hebat pun bisa
ngos-ngosan kalau harus memperbaiki tulisan yang amburadul.
Energi yang dipakai untuk mengemas ulang tulisan yang membingungkan,
jauh lebih banyak dibandingkan membuat satu buku yang menakjubkan.
Itu sebabnya, di awal-awal perjalanan saya menulis, saya memancang
satu tekad, “Saya harus menulis dengan sempurna, sehingga
editor tidak perlu mengubah sedikit pun.”
Tekad ini memacu saya untuk selalu memperbaiki kualitas tulisan.
Buat saya tidak ada kata berhenti untuk belajar, tak terkecuali
belajar menulis agar lebih baik lagi. Keberhasilan menulis
buku-buku best seller, tidak berarti saya telah mencapai
kesempurnaan. Buktinya, masih saja ada yang harus diubah oleh
editor, misalnya karena menulis kata “yang” dua kali. Meski
ada yang mengatakan kesalahan itu tidak begitu berarti, tetapi
itu menunjukkan bahwa saya masih harus belajar agar editor
tak perlu lagi menambahi atau mengurangi apapun dalam tulisan
saya.
Kita Nggak Butuh Mood
Salah satu berhala yang banyak dipuja oleh penulis –apalagi penulis
fiksi—adalah mood. Mereka bisa menulis dengan baik
kalau sedang mood. Sebaliknya mereka akan berhenti
menulis kalau lagi nggak ada mood. Lama-lama mereka
dikuasai mood. Mereka menulis atau tidak, tergantung
kepada mood atawa suasana hati.
Saya tidak tahu sejak kapan penulis sangat tergantung kepada mood.
Begitu tergantungnya sampai-sampai mereka percaya mood
sangat menentukan lancar tidaknya menulis. Padahal kitalah
yang seharusnya menentukan diri kita sendiri. Kalau kita membiasakan
diri untuk menulis kapan saja; dalam suasana gaduh atau tenang,
dalam suasana penuh semangat atau dingin tak bergairah, kita
akan lebih produktif sekaligus melahirkan tulisan yang lebih
berbobot. Satu hal yang harus kita pompakan: menulis karena
memang ada yang harus kita sampaikan. Kalau mood sedang
tidak bersahabat dengan kita, jangan dikasih hati. Tetaplah
menulis. Insya-Allah, kita akan terbiasa sehingga dapat menulis
dengan bagus anytime anywhere ‘kapan saja, dimana saja’.
Ssst…! Jangan Cepat Ge-eR
Satu lagi, jangan cepat Ge-eR alias gedhe rasa. Kalau tulisan
kita nggak dimuat, jangan cepat-cepat berkesimpulan bahwa
tulisan kita mutunya menyedihkan. Boleh jadi editor lagi sumpeg
berat saat baca tulisan kita, sehingga secepat kilat membuangnya
di keranjang sampah. Boleh jadi tulisan kita terlalu pendek,
sehingga tanggung kalau dimuat. Atau sebaliknya, tulisan kita
terlalu panjang. Atau ketikan kita amburadul penuh coretan
sehingga editor ogah memperhatikan. Itu sebabnya, kita perlu
perhitungkan saat mengirim tulisan.
Begitupun kalau tulisan kita dimuat atau buku kita laris, jangan
cepat Ge-eR. Cobalah untuk memahami lebih jauh kenapa
buku kita laris? Karena tulisan kita memang bagus, ada pasar
fanatik, atau karena kita diuntungkan oleh situasi. Melalui
usaha untuk terus memahami, insya-Allah kita akan mampu melahirkan
tulisan yang benar-benar memiliki kehandalan yang obyektif.
Nah, bagaimana? Sudah siap menulis?
OK. Tajamkan pena dan ubahlah dunia dengan tulisanmu!!!
[]
(Sumber
: Bengkel
Cerpen Annida)
|