Tuesday, 13/05/03 21:55
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


BANGKITKAN KEHEBATANMU-2

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Ada lagi yang perlu kita perhatikan agar bisa menjadi penulis pilihan. Jika kamu mau membangkitkan kehebatanmu dalam menulis, ada baiknya kamu simak dengan seksama apa saja yang bisa melejitkan kemampuanmu. Agar kita bisa duduk lebih enak, saya mencoba meraciknya dengan pengalaman pribadi.

Selengkapnya, inilah hal-hal penting yang perlu kamu miliki:

I Am Not a Me Too

Raksasa perusahaan komputer dari Taiwan, Acer, boleh berbangga. Jika orang umumnya malu menenteng produk-produk China karena selalu diasosiasikan dengan kualitas kelas dua atau bahkan lebih buruk dari itu, Acer memiliki tempat yang berbeda. Memiliki Acer rasanya sama seperti memiliki komputer merk Compaq atau Hewlett Packard –keduanya sekarang melakukan merger. Jika memiliki barang produksi China seringkali karena alasan “daripada tidak punya”, memiliki Acer justru membanggakan. Membeli Acer adalah pilihan, bukan terdesak oleh keadaan.

Di balik sukses besar Acer, ada satu sikap yang menarik untuk kita catat. Sejak awal, pendiri Acer telah memancang komitmen anti me too. Secara harfiah, me too berarti “aku juga”. Orang atau perusahaan yang me too suka meniru produk yang sukses atau gaya orang beken. Karena Daniel Goleman sukses dengan teori emotional quotient, orang ramai-ramai bikin buku dengan teori “baru” yang mirip. Saya pernah baca buku seperti itu, isinya ternyata nyaris tak berbeda dengan buku Seven Habitsnya Steven Covey. Ada juga buku lain yang menawarkan teori dengan muatan Islam, tetapi nyaris tak ada bedanya dengan buku-buku motivasi karya Maxwell atau Covey. Bedanya, ada dalilnya dari Al-Qur’an, meski perlu dipertanyakan apakah itu dalil atau mencocokkan dalil sesuai dengan teori yang ingin diangkatnya (damj an-nash ithar al-khash).

Meskipun produk-produk me too (termasuk tulisan), awalnya bisa menarik perhatian, lama-lama bisa ditinggalkan tanpa ucapan selamat tinggal. Daya tarik di awal muncul bisanya lebih bersifat substitutif (pengganti). Kalau nggak bisa beli Supra-X produksi Honda, Super-X pun tak apa-apa. Alasan lain yang menggerakkan orang untuk meminati adalah karena belum ada yang sesuai dengan value (nilai) yang diyakininya. Tetapi, pelahan-lahan produk me too akan dilupakan orang. Atau bisa juga tetap dicari dengan malu-malu. Artinya orang tetap “memerlukan”, hanya saja mereka tak cukup percaya diri untuk menyebutkan.

Nah, kalau kamu ingin jadi penulis yang diperhitungkan (tidak hanya satu dua tahun), ikrarkanlah dengan mantap, “I am not a me too. Saya bukan orang yang me too, yang suka ikut-ikutan.” Meski awalnya karyamu tak banyak dibaca orang, kelak kamu akan tahu bahwa karyamu termasuk a few good ones. Karya-karya pilihan. Yakinlah, setiap manusia memiliki keunikan. Karena itu, kamu justru akan memiliki ciri khas yang mengesankan tanpa sibuk-sibuk mencari gaya yang memikat bila kamu cukup percaya diri untuk menjadi diri sendiri. So, be yourself. Jadilah dirimu sendiri. Kalau karya Mbak Helvy bagus, tulisan Boim jenial dan gaya Emha nakal sekaligus bengal, biarkan saja mereka berjalan seperti itu. Tetaplah kamu menjadi dirimu sendiri.

Jangan Biarkan Editor Mengubah Tulisanmu

Seorang teman pernah menulis buku. Cukup tebal. Atas dasar isinya yang bagus, editor memutuskan untuk menerima. Selanjutnya editor menyerahkan kembali tulisan tersebut untuk diperbaiki penulisnya.

Apa yang terjadi kemudian? Teman saya ini nyaris tak melakukan perubahan apa-apa. Sebaliknya, dia bersiap-siap menulis buku berikutnya. Alasan dia, “Kan ada editor. Nanti biar diperbaiki editor. Kalau naskahnya sudah bagus, editornya malah nggak punya kerjaan.”

Saya begitu kagum pada teman saya ini. Dia begitu khawatir editor kehabisan pekerjaan sampai-sampai tulisannya tidak diurus oleh editor. Bukunya tidak jadi terbit karena editor tidak betah menggarap tulisannya. Editor selalu lebih tertarik mengemas tulisan lain yang lebih mudah dicerna.

Teman saya hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang memiliki sikap mental menyedihkan. Sikap mental seperti ini membuat kita tidak bisa berkembang. Sebaik-baik racikan seorang editor, tetap akan lebih baik racikan asli penulis. Mengedit sangat berbeda dengan menulis. Seorang penulis yang hebat pun bisa ngos-ngosan kalau harus memperbaiki tulisan yang amburadul. Energi yang dipakai untuk mengemas ulang tulisan yang membingungkan, jauh lebih banyak dibandingkan membuat satu buku yang menakjubkan. Itu sebabnya, di awal-awal perjalanan saya menulis, saya memancang satu tekad, “Saya harus menulis dengan sempurna, sehingga editor tidak perlu mengubah sedikit pun.”

Tekad ini memacu saya untuk selalu memperbaiki kualitas tulisan. Buat saya tidak ada kata berhenti untuk belajar, tak terkecuali belajar menulis agar lebih baik lagi. Keberhasilan menulis buku-buku best seller, tidak berarti saya telah mencapai kesempurnaan. Buktinya, masih saja ada yang harus diubah oleh editor, misalnya karena menulis kata “yang” dua kali. Meski ada yang mengatakan kesalahan itu tidak begitu berarti, tetapi itu menunjukkan bahwa saya masih harus belajar agar editor tak perlu lagi menambahi atau mengurangi apapun dalam tulisan saya.

Kita Nggak Butuh Mood

Salah satu berhala yang banyak dipuja oleh penulis –apalagi penulis fiksi—adalah mood. Mereka bisa menulis dengan baik kalau sedang mood. Sebaliknya mereka akan berhenti menulis kalau lagi nggak ada mood. Lama-lama mereka dikuasai mood. Mereka menulis atau tidak, tergantung kepada mood atawa suasana hati.

Saya tidak tahu sejak kapan penulis sangat tergantung kepada mood. Begitu tergantungnya sampai-sampai mereka percaya mood sangat menentukan lancar tidaknya menulis. Padahal kitalah yang seharusnya menentukan diri kita sendiri. Kalau kita membiasakan diri untuk menulis kapan saja; dalam suasana gaduh atau tenang, dalam suasana penuh semangat atau dingin tak bergairah, kita akan lebih produktif sekaligus melahirkan tulisan yang lebih berbobot. Satu hal yang harus kita pompakan: menulis karena memang ada yang harus kita sampaikan. Kalau mood sedang tidak bersahabat dengan kita, jangan dikasih hati. Tetaplah menulis. Insya-Allah, kita akan terbiasa sehingga dapat menulis dengan bagus anytime anywhere ‘kapan saja, dimana saja’.

Ssst…! Jangan Cepat Ge-eR

Satu lagi, jangan cepat Ge-eR alias gedhe rasa. Kalau tulisan kita nggak dimuat, jangan cepat-cepat berkesimpulan bahwa tulisan kita mutunya menyedihkan. Boleh jadi editor lagi sumpeg berat saat baca tulisan kita, sehingga secepat kilat membuangnya di keranjang sampah. Boleh jadi tulisan kita terlalu pendek, sehingga tanggung kalau dimuat. Atau sebaliknya, tulisan kita terlalu panjang. Atau ketikan kita amburadul penuh coretan sehingga editor ogah memperhatikan. Itu sebabnya, kita perlu perhitungkan saat mengirim tulisan.

Begitupun kalau tulisan kita dimuat atau buku kita laris, jangan cepat Ge-eR. Cobalah untuk memahami lebih jauh kenapa buku kita laris? Karena tulisan kita memang bagus, ada pasar fanatik, atau karena kita diuntungkan oleh situasi. Melalui usaha untuk terus memahami, insya-Allah kita akan mampu melahirkan tulisan yang benar-benar memiliki kehandalan yang obyektif.

Nah, bagaimana? Sudah siap menulis?

OK. Tajamkan pena dan ubahlah dunia dengan tulisanmu!!! []


(Sumber : Bengkel Cerpen Annida)

"Hati lapang hidup 'kan tenang. Hati sempit hidup 'kan rumit. Hati takabur hidup 'kan hancur. Hati busuk hidup 'kan terpuruk."

(Abdullah Gymnastiar, Leader Manajemen Qolbu Bandung)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1