MEMBACA DAN
MENULIS SEBAGAI DUA AKTIFITAS INTELEKTUAL
YANG SALING MELENGKAPI DAN MENDUKUNG
Oleh
: Hernowo
Nun, demi
pena dan apa-apa yang mereka tulis.
[Al-Quran, Surah Al-Qalam (68): ayat 1]
Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan pena.
[Al-Quran, Surah Al-`Alaq (96): ayat 4]
Membaca dan menulis bagaikan sepasang suami-istri yang, dalam
kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer.
Membaca akan menjadi kegiatan yang efektif apabila disertai
menuliskan hal-hal yang terbaca. Begitupun sebaliknya; menulis
akan menjadi kegiatan yang efektif apabila didampingi oleh
membaca. Dua aktivitas intelektual ini---yakni, membaca dan
menulis---memang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana
saja. Namun, menggabungkan kedua aktivitas tersebut secara
bersamaan dan saling mendukung belum tentu dapat dilakukan
oleh setiap orang.
Bagaimana caranya agar kita mau dan mampu menjalankan dua
aktivitas tersebut secara bersamaan dan efektif? Apakah mungkin
kita melakukan hanya satu aktivitas namun terjalankan secara
efektif---misalnya membaca saja atau menulis saja? Apabila
tidak mungkin, aktivitas yang mana dahulu yang sebaiknya dijalankan---apakah
membaca dulu atau menulis dulu? Bagaimana caranya agar kita
dapat membiasakan diri untuk menulis atau membaca, namun hati
kita tetap
dalam keadaan yang menyenangkan?
Tulisan ini tidak diarahkan untuk menjawab, apalagi memecahkan,
pertanyaan-pertanyaan di atas. (Pertanyaan-pertanyaan di atas
akan dicoba dipecahkan bersama saat diskusi berlangsung.)
Tulisan ini hanya ingin memberikan, insya Allah, sebuah perspektif
baru dalam memandang aktivitas membaca dan menulis. Untuk
menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai dua aktivitas
yang saling melengkapi dan mendukung, kita memang memerlukan
rumusan-rumusan baru mengenainya.
Ada tiga buku yang akan digunakan sebagai bahan rujukan dalam
membahas topik kita kali ini. Pertama, The Accelerated Learning
Handbook (Kaifa, Desember
2001) karya Dave Meier. Kedua, The Power of Reading: Insights
from the Research (Libraries Unlimited, Inc., 1993) karya
Stephen Krashen. Dan ketiga, Opening Up:
The Healing Power of Expressing Emotions (The Guilford Press,
1997) karya James W. Pennebaker.
Membaca dengan Menggunakan “SAVI Approach”
Dalam buku Meier, saya temukan sebuah cara-baru belajar yang
memungkinkan seluruh potensi yang ada di dalam diri kita terlibat
dalam pembelajaran tersebut.
Meier menamakan cara-baru belajar tersebut dengan istilah
“SAVI Approach” atau “Pendekatan Gaya SAVI”. SAVI adalah akronim
dari Somatis (bersifat raga), Auditori (bersifat suara), Visual
(bersifat gambar), dan Intelektual (bersifat merenungkan).
Menurut Meier, apabila sebuah pembelajaran dapat melibatkan
seluruh unsur SAVI ini, maka pembelajaran akan berlangsung
efektif sekaligus atraktif. Sebagai contoh kasus, sayaakan
mencoba menerapkan “Pendekatan SAVI”-nya Meier ini pada saat
kita melakukan aktivitas membaca buku. (Perlu kita ketahui
bersama bahwa membaca merupakan salah satu bentuk pembelajaran).
Pertama, membaca
secara Somatis. Ini berarti bahwa saat kita membaca, kita
perlu melibatkan fisik kita. Membaca akan efektif apabila
posisi tubuh kita dalam
keadaan yang relaks, tidak tegang. Apabila selama membaca,
kita mengalami rasa jenuh, cobalah menghentikan proses pembacaan
sejenak, dan gerakkanlah seluruh tubuh kita. Dengan menggerakkan
seluruh tubuh kita, insya Allah, pikiran dan perasaan kita
akan merasa segar kembali.
Kedua, membaca
secara Auditori. Kadang-kadang kita menemui beberapa kalimat
yang kita baca yang sulit sekali kita cerna. Atau, pada saat
membaca, tiba-tiba
kita menemukan baris-baris kalimat yang menarik namun kita
sulit berkonsentrasi untuk memahaminya. Apabila terjadi demikian,
cobalah kalimat-kalimat tersebut
kita baca secara keras, sehingga telinga-lahir kita mendengarnya
secara jelas. Insya Allah, dengan begitu, kita akan dapat
lebih cepat dan akurat memahami
kalimat tersebut.
Ketiga, membaca
secara Visual. Menurut Eric Jensen---seorang pakar pendidikan
yang tekun meneliti hubungan learning dan brain---benak kita
akan merasa “fun” apabila pada saat pertama kali menyerap
informasi, benak itu diberi informasi dalam bentuk gambar
(ikon atau simbol atau ornamen) dan informasi itu memiliki
kekayaan warna. Buku yang mampu membuat para pembacanya merasa
senang, sebaiknya memang diberi sentuhan visual atau dalam
bahasa yang lain---menggunakan bahasa rupa.
Keempat, membaca
secara Intelektual. Kata “intelektual” yang digunakan di sini
perlu diberi catatan khusus. Arti “intelektual” yang digunakan
di sini tidak melulu berhubungan dengan kegiatan berpikir
yang kering, melainkan kegiatan menggabungkan atau merumuskan
yang kaya akan nuansa. Ini hanya dapat dicapai apabila kita
memfungsikan potensi intelek kita untuk menuju sebuah perenungan
yang intens. (Perenungan intens, yang dicapai secara efektif,
sama dengan menulis atau---dalam bahasa saya---"mengikat makna").
Ada kemungkinan, perenungan yang intens ini akan mengarah
kepada pemberian makna berkaitan dengan aktivitas membaca
kita.
Menulis dalam Sorotan Krashen dan Pennebaker
Pennebaker adalah seorang psikolog dari Universitas Texas.
Dia melakukan riset yang berhubungan dengan stres, emosi,
dan kesehatan. Dalam bukunya yang,
secara bebas, dapat diartikan sebagai “blak-blakan” (opening
up), dia mencoba menunjukkan kaitan menulis dengan kesehatan.
Menurutnya,
seseorang yang dapat mengekspresikan dirinya secara sangat
bebas secara tertulis, akan tertolong dari serangan depresi.
Bahkan, dalam salah
satu artikelnya yang berjudul menarik, “Writing Your Wrongs”,
Pennebaker menunjukkan bahwa dengan menuliskan secara total
“dosa-dosa” kita atau hal-hal
yang membuat kita mengalami trauma, kita akan diantarkan menuju
keadaan fisik dan nonfisik yang sehat.
Tak beda jauh
dengan Pennebaker, Krashen---seorang peneliti bahasa---menunjukkan
bahwa menulis dapat membantu kita dalam memecahkan masalah
yang menggayuti benak kita. Bahkan, lebih jauh, secara amat
menarik---dengan merujuk ke pelbagai penelitian tentang kaitan
menulis dengan membaca---Krashen
membuktikan bahwa tulisan yang baik hanya dapat dilahirkan
dari orang yang banyak membaca.
Dua hal penting
yang dicatat Krashen dan menjadikan penelitiannya tersebut
memberikan makna baru bagi aktivitas membaca dan menulis,
adalah, pertama,
“writing style does not come from writing, but from reading”
(kekhasan atau kebisaan menulis tidak dibentuk oleh aktivitas
menulis, melainkan oleh aktivitas membaca). Di tempat lain,
dia bahkan menyatakan secara tegas bahwa “writing quantity
is not related to writing quality” (banyaknya menulis tidak
berkaitan dengan kebermutuan menulis).
Kedua, “actual
writing can help us solve problems and make us smarter” (menulis
akan membantu memecahkan pelbagai masalah dan membuat seseorang
bertambah pintar). Di tempat lain, dia juga mengatakan bahwa
“language acquisition comes from input, not output; from comprehension,
not production”
(penguasaan bahasa berasal dari masukan [pemahaman] bukan
keluaran [produksi]).
Nah, sebagai
penutup tulisan sederhana ini, saya ingin mengisahkan pengalaman
Stephen King. King, seperti kita ketahui, adalah rajanya novel-fiksi
horor. Secara sangat impresif, dia menulis buku berjudul On
Writing: A Memoir of the Craft (Pocket Books, 2000). Apa saja
yang ditulis oleh King dalam memoarnya itu? Menakjubkan. Sebab
King merumuskan secara sangat menarik hal-hal yang berkaitan
dengan membaca dan menulis (yang digali dari pengalamannya
sebagai penulis novel kondang) hampir persis dengan apa yang
ditulis oleh Stephen Krashen!***
(Sumber
: Bengkel
Cerpen Annida)
|