Saturday, 10/05/03 9:54
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


DIBALIK PENAHANAN SOERIPTO
Oleh : Doni Riadi

Hingga saat ini, Soeripto, masih ditahan di Polda Metro Jaya. Menurut petinggi Polda, yang dikutip berbagai media di Indonesia, penahanan Soeripto tidak ada hubungannya dengan Bom Bali tapi semata-mata karena ia menjadi tersangka mark up tender pembelian helikopter semasa Soeripto masih menjabat sebagai Sekjen Dephutbun di masa pemerintahan Gus Dur.

Dalam konteks jurnalisme Indonesia, yang cukup lama terpasung dalam kultur jurnalisme tiran selama Soeharto berkuasa, maka ucapan petinggi atau pejabat negara masih merupakan referensi utama sebagai sumber berita. Dalam perspektif ide jurnalisme perdamaian, kebiasaan tersebut dikenal dengan sebutan jurnalisme pejabat atau jurnalisme omongan dan merupakan antiklimaks dari jurnalisme akar rumput (grass root journalism) .

Diluar parameter kevalidan berita, sesungguhnya jurnalisme pejabat, khususnya di negara yang hendak mereformasi diri seperti Indonesia, adalah potret langkah mundur dari besarnya usaha untuk membentuk masyarakat yang lebih kritis dan cerdas. Ketergantungan terhadap omongan pejabat oleh media dan akhirnya juga oleh masyarakat, terkadang menafikan nilai kebenaran yang terjadi sesungguhnya, apalagi jika kebenaran itu 'kebetulan' sedang berada di sisi rakyat.

Kasus penahanan Soeripto setidaknya mencerminkan hal itu. Beruntung kemudian, kuasa hukum Soeripto bersama Menhutbun semasa Soeripto menjadi Sekjen (Nurmahmudi Ismail, red) melakukan konferensi pers memberikan klarifikasi sekaligus mempertanyakan alasan aparat sesungguhnya melakukan penahanan terhadap Soeripto, yang menurut mereka lebih berbau politis.

Beberapa hal berikut memang menguatkan anggapan bahwa Soeripto ditangkap karena alasan politis;
Pertama, Statusnya sebagai wakil ketua tim investigasi Bom Bali yang dibentuk oleh MUI. Dengan kemampuan intelejennya, Soeripto menjadi core atau inti dari aktivitas tim investigasi independen itu dengan berperan sebagai thinktank, yang hasilnya dipublikasikan MUI pada hari Rabu (27/11).

Penangkapan Soeripto ditengarai merupakan kesengajaan untuk dapat sedikit menghambat laju kemajuan pengumpulan fakta tim independen itu. Tim inilah yang diharapkan masyarakat menjadi parameter pembanding dari Tim Investigasi Polri yang dipimpin I Made Mangku Pastika. Pemikiran ini menjadi logis, karena hingga saat ini, semua para tersangka yang baik yang tertangkap maupun yang masih buron adalah sosok yang 'biasa-biasa' saja, yang dianggap tidak cukup punya kemampuan untuk melakukan peledakan setaraf mikronuklir sebagai bahan utama bom yang diledakkan di Bali.

Modus penangkapan ini jika dianalisis mempunyai kemiripan dengan modus penangkapan pelaku peledakan WTC, yang dapat dilakukan dengan waktu cepat dan terarah oleh agen federal AS. Disebut terarah, karena Bush waktu itu langsung menuding Islamic terrorism sebagai dalangnya. Padahal aksi-aksi bom di Indonesia sebelumnya jarang dapat terungkap oleh polisi Indonesia.

Ditambah dengan keanehan-keanehan lain, seperti hilangnya jenazah warga Australia, yang memberikan indikasi adanya upaya untuk menjauhkan proses investigasi dari keterlibatan pihak asing dan mendekatkannya dengan pihak-pihak tertentu yang di sebut sebagai JI, yang menurut AS adalah kepanjangan tangan Al-Qaidah di Asia tenggara.

Kedua, aktivitas dan kebijakannya yang meng-counter opini pemerintah soal pelaku peledakan Bom Bali, yang dipublikasikannya melalui forum-forum ilmiah di banyak universitas di kota-kota besar Indonesia dan juga di media. Dengan data yang dimilikinya, Soeripto adalah tokoh yang pertama kali meragukan Amrozy dkk sebagai pelaku utama Bom Bali. Ia menjuluki Amrozy dkk sebagai 'agen yang dikorbankan' dari sebuah jaringan besar kerja intelejen.

Propaganda yang dilakukan oleh Soeripto ini nampaknya terbaca oleh pihak-pihak tertentu yang merasa bahwa propaganda yang dilakukan Soeripto akan memberikan hasil kontradiktif dengan propaganda yang telah dirancang sebelumnya, sehingga tak ada jalan lain untuk mengeliminasinya selain menahannya secara legal formal. Dan kebetulan Soeripto pernah mempunyai 'batu sandungan' berupa dugaan mark up tender helikopter, yang sedianya akan digunakan sebagai alat mobilitas dalam menangkap para penjarah hutan. Titik lemah Soeripto inilah yang kemudian dijadikan alasan utama untuk menjadikannya sebagai seorang tahanan.

Kartu Truf
Ketiga, Soeripto memiliki banyak 'kartu truf' tentang kebusukan-kebusukan pejabat negara. Ketika penulis berjumpa dengannya pada sebuah diskusi terbatas di Purwokerto, saat ia menjadi nominasi Jaksa Agung, Soeripto mengatakan bahwa banyak pihak yang tidak menghendaki dirinya memegang suatu institusi penegakan hukum, karena dikhawatirkan nanti penjara dipenuhi dengan 'orang-orang besar dan populer' sehingga berpengaruh signifikan terhadap roda perekonomian dan dapat mengganggu kestabilan negara.

Salah satu diantaranya adalah Soeripto pernah menolak mentah-mentah tawaran dari orang dekat presiden yang berjanji akan menjadikannya Jaksa Agung dengan catatan tidak mengutak-atik konglomerat hitam. Presiden akhirnya menetapkan MA Rachman sebagai Jaksa Agung yang belakangan ketahuan menyembunyikan sebagian kekayaannya yang seharusnya ia laporan kepada KPKPN sebagai kewajiban seorang aparatus negara. Bahkan perkembangan terbarunya, para konglomerat itu sedianya akan dibuatkan surat R&D (Release and Discharge) yang akan menghapuskan kewajibannya membayar hutang kepada negara, dimana wewenang penandatanganan R&D itu ada di Menko Ekuin atau Jaksa Agung dengan seizin Presiden.

Soeripto juga pernah mengeluh, karena tekadnya untuk tidak berkompromi sedikitpun dengan pelaku KKN, tidak didukung oleh sistem. Dari empat berkas lengkap yang ia masukkan ke Kejakgung, hanya berkas Bob Hasan yang ditindaklanjuti, sehingga hanya Bob Hasanlah yang menerima vonis bersalah dari pengadilan. Menurutnya, mengapa pilihan kejaksaan jatuh pada Bob Hasan, karena saat itu Bob Hasanlah yang paling powerless atau yang paling lemah posisi tawarnya terhadap rezim saat itu, selain juga alasan untuk sekedar memuaskan publik atau membangun image bahwa kejaksaan Agung telah berkerja dengan sungguh-sungguh.

Bahkan tekadnya untuk menggulung habis mafia hutan yang melibatkan aparat Dephutbun mendapatkan perlawanan dari dalam Dephutbun sendiri. Maka, ia pun banyak menerima fitnah, dari isu nepotisme dengan Menhutbun hingga tuduhan rencana makar terhadap presiden Gusdur. Belakangan Gusdur akhirnya meminta maaf pada Soeripto setelah Soeripto membawa kasusnya ke pengadilan. Bahkan, isu mark up ini pada awalnya juga merupakan hasil konspirasi dari internal oknum-oknum Dephutbun yang ingin mengenyahkan Soeripto.

Keempat, Bukti yang prematur. Aparat sebenarnya tidak harus menunggu waktu hingga sekarang ini jika memang telah memiliki bukti yang kuat atas keterlibatan Soeripto, penahanan bisa dilakukan sejak dulu-dulu. Penahanannya yang berbarengan dengan penanganan aparat terhadap kasus Bom Bali memperkuat kecurigaan banyak pihak, bahwa ia memang sengaja ditahan untuk 'mengunci mulutnya', karena Soeripto memang tidak mempan suap.

Apalagi, menurut kuasa hukumnya, sebenarnya proposal pembelian helikopter itu sudah melalui sepengetahuan Menhutbun dan bahkan disetujui oleh DPR, walaupun juga diakui adanya disinformasi yang mengakibatkan adanya perbedaan harga helikopter di proposal dengan harga pasaran.

Terlepas dari adanya konspirasi yang membuat Soeripto ditahan, maka kemungkinan skenario yang akan dijalankan aparat dalam menghadapi tekanan dari publik adalah pertama, tetap menahan dengan menolak surat penangguhan penahanan dari kuasa hukumnya, dan kedua, melakukan penangguhan penahanan. Pada alternatif pertama, aparat kemungkinan akan mempersulit dan memperlama prosesnya baik di level penyidikan maupun di kejaksaan hingga Tim Investigasi Pastika menyelesaikan tugasnya. Sedangkan pada alternatif kedua, aparat akan memainkan propaganda berikutnya yang bertujuan untuk mendelegitimasi Soeripto sehingga kepercayaan publik kepadanya menjadi berkurang.

Belajar dari fenomena penahanan tokoh kritis seperti Soeripto, menyusul penahanan tokoh-tokoh berpengaruh sebelumnya seperti Habib Rizieq dan Abu Bakar Ba'asyir, maka kita akan merasakan adanya sebuah sindrom yang sedang diidap oleh pemerintah saat ini. Sindrom itu adalah rasa ketidakberdayaan negara ini terhadap konspirasi tekanan internasional yang bersinergi dengan kepentingan domestik politik dan tingginya tingkat ketergantungan negara ini terhadap bantuan internasional.

Menurut Faudzil Adhim (2002) yang mengutip Selligman, sindrom itu disebut Learned Hopelessness yang berarti ketidakberdayaan yang dipelajari, karena tetap melakukan sesuatu yang tidak berdaya dengan basis ketidakberdayaannya. Sehingga parameter kebijakan pemerintah tidak lagi berpijak pada bagaimana meraih kecintaan rakyatnya, tetapi berpijak pada bagaimana meraih pujian dari negara-negara adidaya.

(Tulisan ini menjadi pemantik diskusi internal Kajian Strategis (Kastrat)
KAMMI Daerah Semarang, Desember 2002)

"Ilmu itu lebih utama dari harta, karena ilmu itu menjagamu sedangkan harta malah engkau yang harus menjaganya."

(Ali bin Abi Thalib)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1