Saturday, 10/05/03 9:49
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


STRATEGI MENGHADAPI
SERBUAN PEMIKIRAN

Oleh : Doni Riadi

Sekali lagi, pil pahit harus kita telan, menambah jumlah koleksi pil-pil pahit yang telah kita telan sebelumnya. Kita terpaksa harus menerima kenyataan bahwa sampai saat inipun, dinegeri ini, cara umara memperlakuan ulama -sebagai parameter pemahaman umara terhadap agama- masih seperti zaman-zaman sebelumnya, zaman para sahabat dan salafussholeh, berjuang keras mengeluarkan ummat dari kegelapan menuju cahaya.

Ulama, yang sejatinya memiliki tingkat 'keseganan' kepada Allah paling tinggi diantara manusia-manusia lainnya, karena mereka lebih mengetahui kekuatan Allah yang sesungguhnya, telah diperlakukan dengan sangat tidak santun dan tidak manusiawi atas dasar tuduhan-tuduhan yang sesungguhnya masih diragukan tingkat validitasnya.

Namun, sebagaimana Islam menghendaki umatnya agar bijak dan cerdas dalam mengambil hikmah dari segala sesuatu dan mengambil kelapangan setelah datangnya kesulitan, maka fenomena seperti diatas sebenarnya memberikan pelajaran sebagai berikut : pertama, mengetahui tingkat pemahaman umara terhadap dien ini. Kedua, mengetahui seperti apa sejujurnya penilaian dan sikap umara selama ini kepada ulama; ketiga, mengetahui tingkat kesungguhan atau political will umara dalam melindungi rakyatnya, sekaligus keempat, mengetahui sejauh mana tingkat patriotik pemimpin bangsa ini terhadap negaranya. Dan kelima, mengetahui seberapa besar dampak 'perang pemikiran' yang sedang melanda di negeri ini.

Salah satu parameter dampak 'perang pemikiran' ini, menurut Dr. Irwan Prayitno (2002) dapat kita lihat dari perspektif politik, termasuk didalamnya adalah kebijakan-kebijakan publik umara. Karena, 'perang pemikiran' memang menggunakan 3 dimensi kehidupan utama sebagai senjatanya, yaitu : politik, ekonomi dan militer. Idealnya, setelah kita mengetahui tingkat destruktivitas 'perang pemikiran' yang kita rasakan saat ini, maka sebuah langkah sistematis harus kita susun sebagai bentuk dari perlawanan. Harus sistematis, karena 'perang pemikiran' itu sendiri juga merupakan sebuah serangan pemikiran yang bertubi-tubi secara sistematis, teratur dan terancang dengan baik yang dilakukan oleh umat yang kuat terhadap umat yang lemah untuk merubah kepribadiannya sehingga menjadi pengikut umat yang kuat tersebut [1].

Dalam konteks kekinian, 'perang pemikiran' yang sistematis itu sekarang menjelma pada propaganda antiterorisme, sebuah isu klasik namun dikemas dengan kemasan baru. Dimulai sejak naiknya Bush Yr sebagai presiden AS dari Republiken yang mewarisi sifat hawkish alias suka perang, maka banyak tempat-tempat di dunia kemudian menjadi tidak aman. Momentum 'WTC' dan Bali Blast betul-betul dimainkan dengan sangat cantik untuk menyudutkan umat Islam, walaupun berkali-kali Bush dan sekutunya menyatakan bahwa mereka tidak memburu umat Islam tetapi teroris.

Tapi, amalan perbuatan selalu memiliki nilai lebih sahih dari manisnya perkataan. Realitanya, umat Islamlah yang memang menjadi korban. Kehancuran Afghanistan dan penangkapan ulama-ulama haraki di seluruh dunia adalah sedikit contoh nyata sasaran sesungguhnya dari propaganda antiterorisme ini. Selain kehancuran fisik, mereka juga mengancam kehancuran mental umat Islam dengan menstigmatisasi bahwa Islam adalah teroris, padahal justru Islamlah korban teroris. Indikasi pelaku sesungguhnya dari teror-teror besar didunia tidaklah menunjukkan Islam sebagai pelakunya, namun lebih sebagai rekayasa agar dunia menuding Islam sebagai pelakunya.

Kehancuran Mental
Mereka sangat berkepentingan dengan hancurnya mental umat Islam dengan munculnya rasa rendah diri atas statusnya sebagai pemeluk agama Islam, karena dari sana paling tidak akan lahir dua kondisi, yaitu : pertama, umat Islam akan terkagum-kagum pada agama, ideologi, kebudayaan, bahasa, adat, gaya hidup milik orang lain, dan kedua, umat Islam menjadi benci terhadap apa saja yang menjadi miliknya. Dampak dari sifat seperti ini adalah hilangnya immunitas, keteguhan jati diri, dan melahap apa saja yang datangnya dari luar tanpa seleksi.

Inilah yang menjadi jawaban, mengapa umara bangsa kita sedemikian mudahnya mengkloning produk hukum antiterorisme milik AS dengan menamainya sebagai Perpu No 1 Tahun 2002 Antiterorisme, bahkan mengajukannya sebagai UU dengan memberikan draft rancangannya kepada DPR untuk disahkan sesegera mungkin. Dari sana jugalah lahir tindakan-tindakan yang tidak manusiawi terhadap ulama yang ditengarai sebagai teroris, yang sejatinya adalah warga negaranya sendiri yang mestinya negara wajib melindungi dari invasi tuduhan dan fitnahan bangsa asing.

Cara yang paling jitu melawan propaganda adalah juga dengan propaganda, namun dengan kondisi perekonomian umat Islam dunia yang sedang tidak menguntungkan maka melawan dengan propaganda lewat media membutuhkan energi yang cukup besar walaupun itu bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah dengan memperkuat pertahanan mental internal dan paradigmatik umat Islam.

Pengamat senior dari Universitas Washington, Prof. Emeritus Daniels Lev turut memberikan advice agar Indonesia tidak mudah hanyut terbawa arus keinginan negara-negara barat dalam isu terorisme karena akan memberikan hasil yang kontradiktif terhadap geliat pembangunan di Indonesia. Begitu juga dengan Noam Chomsky yang menulis buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai Maling Teriak Maling untuk menyebut bahwa AS-lah sesungguhnya teroris nomor satu dunia dan bahkan mendapatkan support dari International for Human Right Watch di New York yang menobatkan Amerika sebagai Pelanggar HAM No. 1 di dunia.

Pertahanan internal itu antara lain adalah dengan mengembalikan izzah dan harga diri ke pangkuan umat Islam (3:139 dan 63:8). Hal ini dapat diperoleh antara lain dengan cara : pertama, merubah dulu penguasa yang tidak memperhatikan Islam dan umatnya menjadi penguasa yang menerapkan Islam dan membela umatnya, karena didalamnya terkandung kekuatan hukum, tentara, polisi, dan kewenangan mengatur perekonomian negeri yang dapat dimanfaatkan sebagai bekal perlawanan.

Kedua, mengembalikan kemandirian dan melepaskan ketergantungan khususnya ekonomi kepada lembaga-lenbaga mereka seperti IMF. Penelitian Johnson dan Schaefer (1997) selama tahun 1965-1995 menunjukkan bahwa perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. Bahkan 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi lebih miskin. Alih-alih recovery, IMF malah menimbulkan krisis berulang-ulang (roller coaster), contohnya Mexico, Argentina, dan Indonesia.

Kemandirian, dapat diperoleh dengan sebuah kepercayaan diri bahwa potensi yang dimiliki umat dapat menjawab permasalahan. Setidaknya, umat Islam memiliki : Pertama, potensi sumber daya alam sangat besar yang mempengaruhi jalannya urat nadi perekonomian dunia seperti bahan tambang khususnya minyak, hasil hutan, dan lautan. Kedua, potensi Sumber daya manusia yang menurut PBB, Islam adalah agama nomor satu dalam kecepatan pertambahan jumlah pengikut, pada tahun 2000 jumlahnya telah mencapai 2 milyar atau 28 % dari jumlah penduduk dunia, sehingga merupakan aset yang luar biasa baik dari segi politik, ekonomi, dan militer.

Ketiga, potensi ideologis. Islam adalah sebuah ideologi yang berdiri di atas akidah yang lurus dan sahih, dengan akidah tersebut seorang muslim memiliki ketangguhan ruhiah yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Kepahlawanan syuhada Palestina adalah contohnya, atau semboyan prajurit Islam yang legendaris yaitu " Anda sedang berhadapan dengan pasukan yang mencintai mati seperti kalian mencintai hidup kalian".

Namun, aset-aset itu memang tidaklah mudah untuk sungguh-sungguh dapat dioptimalkan. Umat Islam tidak saja menghadapi 'perang pemikiran' dari barat, tetapi juga dari khianatan kawan seiring atau musuh dalam selimut. Banyak stigma negatif ditujukan kepada usaha untuk melaksanakan agama secara kaffah, sebagai radikalisme atau fundamentalisme justru oleh sebagian umat Islam sendiri.

Sehingga, 'perang pemikiran' nyata-nyata membutuhkan perhatian dan kontribusi penuh tidak saja dari suatu bangsa tetapi juga bangsa-bangsa lain yang memiliki kesamaan akidah Islamiyah di seluruh penjuru dunia. Frame persatuan dan kesatuan menjadi prioritas dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut eksistensi Islam di kemudian hari. Dan hal yang bisa kita lakukan sebagai pemuda muslim setidaknya adalah berani menjadi prajurit untuk berbenturan terhadap pemikiran-pemikiran.

Berani menerima tantangan ? []

[1] lebih lengkapnya silahkan membaca ma'raji dari Dr. Irwan Prayitno, Kepribadian Dai : Al-Ghazw Al-Fikri, Pustaka Tarbiatuna, 2002, yang berisi Pengertian 'Perang Pemikiran', Tahapan-tahapan, Sarana yang digunakan, Bahayanya, Sebab-sebab Jahiliyah, dan opini Abu Ridho yang berjudul Makna di Tengah Kegalauan Serbuan Peradaban.

(ditulis sebagai bahan diskusi Rohis MIPA UNDIP pada indahnya bulan Ramadhan 1423 H
di Masjid Arridho Bukit Kencana, November 2002)


" Harta akan hancur berantakan karena lama ditimbun zaman, tetapi ilmu tidak akan rusak dan musnah walau ditimbun zaman."

(Ali bin Abi Thalib)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1