Saturday, 10/05/03 9:44
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


AGAMA TAK MUNGKIN DISEKULERKAN
Oleh : Doni Riadi

Tulisan ini sebenarnya lahir karena didasari pada kepedulian terhadap saudara saya, Muhammad Nasih yang merasa jenuh dengan stagnasi perubahan bangsa ini dan ingin mencari sebuah perangkat alternatif yang lebih menjanjikan dari perangkat-perangkat yang sudah ada, hatta yang dipilihnya adalah Islam liberal.

Menurutnya, wawasan tentang sekularisasi agama belakangan ini telah mulai dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas bahkan membumi, tak seperti beberapa dasawarsa yang lalu ketika wacana ini memperoleh gelombang besar kritik dan kecaman. Masyarakat sudah dapat menerima alasan sekulerisasi agama yaitu agar senantiasa ada sentuhan baru pada agama sehingga ia tak usang oleh perubahan ruang dan waktu maupun agar agama tetap mampu memberikan kontribusi bagi perubahan global dan pembangunan peradaban modern.

Namun, sungguhkah demikian ? Jawaban dua dimensi sekaligus, subyektif dan obyektif tentu saja boleh dikedepankan sebagaimana pernyataan atau klaim Nasih tentang populisme ide Islam Liberal yang juga mengandung unsur subyektifitas.

Empat dekade yang lalu, wacana sekulerisasi dan liberalisasi memang hanya populer dikalangan tertentu saja, karena memang sang pemilik ide merupakan tokoh elitis masyarakat. Bahkan menurut Farid Achmad Okbah (2001) yang mengutip hasil penelitian Dr. Greg Barton , di Indonesia penarik gerbong liberal Islam di Indonesia hanya ada empat yaitu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden RI ke-4), Dr. Nurcholis Majid (ketua yayasan Paramadina), Johan Efendi (sekertaris Gus Dur di istana) dan Ahmad Wahid (telah wafat). Penelitian (1960-1990) yang sekaligus gerakan pemikiran ini ternyata telah mempelopori perkembangan lslam Liberal yang disebut Neo-Modernisme Islam.

Gerakan ini cukup mendapatkan sambutan dilingkungan para intelektual yang memiliki latar belakang modern yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam klasik, terutama kelas menengah kota. Walaupun pada perkembangannya, justru kelas inilah yang menjadi pengkrtitik paling tajam paham-paham Islam liberal, seperti yang dilakukan Dr. Daud Raasyid terhadap pemahaman definisi ahlul kitab ala Cak Nur pada tahun 1993.

Belakangan ini, khususnya setelah diwadahi dalam bentuk kelompok Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), penyebaran fikroh Islam Liberal dilakukan dengan sangat profesional. Didukung pasokan dana dari The Asia Foundation, KIUK mampu merambah penjuru-penjuru kota lewat jaringan siaran radio 68H diseluruh Indonesia, sempat menikmati jaringan 40 kota koran Jawa Pos, dan membuat media publikasi sendiri seperti brosur dan situs www.islamlib.com . Kontributor aktifnya pun semakin beragam, dari akademisi seperti Azyumardi Azra, wartawan seperti Goenawan Mohammad, maupun anak-anak muda seperti Ulil Absar Abdalla dan Masdar F Mas'udi dan tak ketinggalan dari kalangan NU seperti Said Agil Siradj.

Walaupun demikian, sesungguhnya paradigma Islam Liberal hanya laku pada segmen-segmen yang itu-itu juga, yaitu kaum terdidik menengah ke atas dan minoritas gereja dan sulit merakyat sebab pada akar bawah komunitas Islam masih anti-Baratisme, anti-Kristenitas, sungguh-sungguh tidak toleran kepada apa saja yang dipandang sebagai non-Islamik (Lihat: R. William Liddle, Islam, Politik, dan Modernisasi, Pustaka Sinar Harapan, 1997, h. 37). Faktor lainnya, karena pada saat yang bersamaan di kelas yang sama, di Indonesia menggeliat pula gerakan neo-revivalisme -meminjam istilah John L. Esposito-- , yaitu kaum muda yang bangkit, berkarakter tidak anti modernisme tetapi tetap konsisten dengan nilai-nilai klasik (sunnah).

Mereka inilah yang kemudian menjadi lawan tangguh dari liberalisasi dan sekulerisasi agama, yang menajdi cita-cita dari Islam Liberal. Karena cita-cita kaum neo-revivalis ini adalah tegaknya hukum syariah, suatu hal yang menjadi phobia atau nightmare bagi Islam Liberal. Berbagai counter kemudian dilakukan walaupun tidak secara jor-joran dalam menghadapi Islam liberal, lewat diskusi-diskusi lintas aliran hingga aksi massa, seperti yang dilakukan MMI pada saat menuntut dihentikannya penayangan Islam Warna-Warni buatan KIUK di dua stasiun TV besar beberapa waktu lalu yang dianggap menyesatkan. Dan seperti orang yang kebakaran jenggot, para aktivis Islam Liberal kemudian dengan begitu saja memberi stempel kepada mereka ini dengan sebutan picik, apriori, berotak dangkal, otoritarian, tidak canggih, dan tidak demokratis.

Konsep Sekularisasi Islam Liberal
Nasih masih berpegangan pada Cak Nur ketika beranggapan bahwa dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.. Kalimat kampanye sekulerisasi pada tahun 1970 itu kemudian dilengkapi dengan pernyataan Cak Nur ketika diwawancarai Kompas (1970) bahwa orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Karena sekularisasi adalah inherent dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum berarti jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini).

Dalam sekulerisasi, negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi, sehingga negara tak perlu campur tangan dalam urusan setiap pribadi. Dengan kata lain, "Render unto Caesar the things which are caesar' and unto God the thing which are God's"

Dan akhirnya, polemik sekulerisasi dan sekulerisme ini diakhiri sendiri oleh Cak Nur. Menurut Dr Syafii Maarif, kepada Jurnal Ulumul Quran (No 1, Vol 1 tahun 1993), pada tahun 1980-an Cak Nur mengirimkan surat ke Tempo tentang pengakuan kerancuan istilah "sekularisasi" dan "sekularisme" yang digunakannya., dan menyebutnya sebagai "misconception".

Sebelumnya, Endang Syaifuddin Anshari menyatakan bahwa berbicara tentang sekularisasi, mau tidak mau mesti mengacu pada sekularisme. Secara historis, sekularisme timbul di Barat sebagai reaksi terhadap Kristianisme. Sekularisme adalah paham yang menyingkirkan nilai-nilai Ilahi (agama wahyu) dalam persoalan dunia, negara, dan masyarakat. "Baik sekularisasi (menurut rumusan Nurcholish dan yang dianjurkannya itu) maupun sekularisme (yang ditentangnya itu) sama-sama mau membebaskan diri dari `tutelage' (asuhan) agama.

Padahal, ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam sekaligus meridhoinya (QS. Al-Maidah : 3), maka konsekuensinya adalah Islam merupakan sebuah petunjuk yang mengatur seluruh perikehidupan manusia. Imam Hasan Al-Banna dalam Syarah Ushul Isyrin megemukakannya dengan sangat baik bahwa Islam adalah sistem menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang. ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.

Kembalilah ke Jalan yang Lurus
Selain sekularisasi, isu utama Islam liberal yang dstruktif adalah masalah inklusivitas dan pluralitas agama. Aktivis JIL, Budhy Munawar Rachman (2000) mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut dan mengembangkan teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA). Inklusifisme mengandung pengertian bahwa agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis.

Tak perlu menggunakan nash atau dalil Al-Quran, cukup menggunakan logika sederhana saja, paradigma yang demikian itu langsung bisa dipatahkan. Kalau memang mereka konsisten dengan apa yang dikatakannya, tentunya kita akan mendengar kabar bahwa hari ini aktivis JIL beragama Islam, besoknya Kristen, lusa Zoroaster dan seterusnya, toh semua agama itu sama, tapi realitanya kita tak pernah mendengar hal yang demikian. Godspot (fitrah) -meminjam istilah ESQ Ari Ginanjar Agustian- setiap hamba Allah pastilah mengatakan bahwa hanya ada satu Dzat saja yang berhak disembah dan meyakini bahwa jalan yang sedang diikutinyalah yang (paling tidak) mendekati kebenaran, karena jikalau tidak maka untuk apa Allah mengizinkan syetan menggoda manusia selain karena dia ingin melihat sejauh mana seorang manusia mengaku mencintai-Nya.

Kelemahan utama JIL ini sesungguhnya terletak dari keengganannya menggunakan referensi agama secara benar, terjebak pada orbit Western-oriented serta tak muncul dari kajian ilmiah historis dengan sumber-sumber otentik, fenomena itu -meminjam istilah Adian Husaini-- disebut 'Arogansi Intelektual'. Argumentasi yang mereka kemukakan lebih banyak menggunakan logika-logika dangkal, dan suka mengembalikan arti kata kepada terminologinya untuk kemudian dimaknai berdasar rasional yang diyakininya.

Contohnya Islam yang diartikan sebagai agama, bukan sebagai sebuah dien yang memiliki arti lebih komplek, lalu mencari terminologi agama berdasar bahasa Sansekerta seperti yang ditulis Nasih, yang mengadopsi tulisan Haryo Sasongko yang berjudul "Agama dan Pluralisme Demokrasi".

Melekatkan Islam dengan Liberalisme jelas sama sekali tidak menjunjung Islam, malah sebaliknya. Islam diturunkan bukan sebagai pengekor, sebab ia berasal dari Allah, Sang Pencipta langit dan bumi. Islam seharusnya hanya tercermin melalui Allah dan Rasul Muhammad SAW saja dan para mujtahid yang memang memiliki kualifikasi untuk itu; bukan melalui pemikiran destruktif liberal seperti Fatima Mernissi, Arkoun, Charles Kurzman, Abdurrahman Wahid, atau Nurcholis Madjid.

Last, kehati-hatian dan kepedulian untuk mencegah seorang saudara agar tak jauh larut dalam kesalahan adalah hal yang paling utama dilakukan dalam prinsip persaudaraan dan tulisan ini dimaksudkan untuk itu. Sikap terbaik dalam menghadapi pendapat yang berbeda dengan kita termasuk gagasan islam Liberal ini sebenarnya adalah sebatas menjadikannya sebagai wacana dan sparing partner dalam memperkuat keimanan kita menuju jalan yang lurus, karena jika lebih dari itu maka kita berarti telah berani menggadaikan keimanan kita dengan hal yang sesungguhnya masih sangat absurd.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

(Dimuat di harian WAWASAN, 21 September 2002, sebuah Catatan Untuk Tulisan Mohammad Nasih
"Agama Perlu Disekulerkan, Mungkinkah ?" , WAWASAN Sabtu / 14 September 2002)


"Ketika engkau menangis di saat kelahiranmu, orang-orang disekelilingmu justru tertawa gembira.
Maka pastikan dirimu tertawa gembira ketika mereka menangis disaat kematianmu."


(Syair Arab)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1