Saturday, 10/05/03 8:31
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


BERPOLITIK CARA MUSLIMAH
Oleh : Doni Riadi

Ada pelajaran yang menarik dari prinsip hacking. Walaupun sepintas lalu aktivitas tersebut terasa ilegal namun sang webmaster yang situsnya di-hack justru diuntungkan. Karena hacker tersebut secara tidak langsung membantunya membangun sistem proteksi yang lebih kuat dengan memperbaiki titik lemah yang dijadikan 'pintu masuk' hacker.

Dengan analogi hacker tersebut, kritik dan serangan pemikiran dari beberapa pihak kepada umat Islam, sebenarnya dapat kita gunakan sebagai media memperbaiki diri. Dalam terminologi SWOT, ini disebut change weakness become strength. Beberapa 'titik lemah' itu menurut frame Islam Liberal diantaranya adalah masalah hak-hak perempuan alias keadilan gender, pluralisme, hukum waris, dan hukuman balasan setimpal (qishas).

Kultur Politik Muslimah
Penulis mengambil satu saja isu klasik namun cukup relevan dan mempengaruhi gerak aktivis dakwah sehari-hari, yaitu isu pemberdayaan perempuan. Lebih spesifik lagi, adalah masalah kultur politik muslimah. Politik yang dimaksud tentu saja politik dalam makna luas bukan sekedar politiknya parpol tetapi semua gerakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Ketika kita beraksi memperjuangkan nasib umat, maka logikanya, kita harus memiliki dasar argumen kuat yang membuat kita melakukan aksi. Penguasaan dan pemahaman materi yang komprehensif atas sebuah isu dapat memperkuat motivasi aksi, lebih dari sekedar ikut arus.

Disebut ikut arus, karena muslimah seringkali hanya berperan sebagai penambah jumlah massa atau untuk menciptakan kondisi sejuk yang non anarkis. Karena itu, dalam berbagai kesempatan aksi, kita dapat menemukan fenomena banyak muslimah yang menutup mukanya dengan saputangan. Simbol bahwa ia ikut dengan keterpaksaan atau sekedar solidaritas. Walaupun mungkin ada motivasi lain seperti takut panas, takut dikenali sehingga ortu marah, atau takut diidentifikasi aparat.

Untuk dapat menguasai materi, maka kita dituntut untuk mengakses banyak informasi via berbagai media dan narasumber, adu wacana, sharing dan diskusi interaktif, tidak menjadi peserta pasif an sich dari seminar-seminar yang one way traffic atau forum doktrinasi lainnya. Jadi, tuntutan untuk melek wacana itu murni untuk penguatan pergerakan dan karakteristik diri sang muslimah sendiri, bukan untuk mengejar status subyektif agar dicap sebagai teman yang enak diajak bicara.

Kenyataannya, umumnya para muslimah tak memiliki stamina kuat untuk dapat berpartisipasi aktif dalam penguatan wacana sospol. Mereka cenderung untuk mengandalkan orang lain dan menikmati hasil jadinya saja di akhir sesi lalu mengucapkan kata sepakat atas kebijakan forum atau pimpinan. Jika tidak diantisipasi, maka pelan namun pasti, muslimah telah menciptakan budaya paternalistik yang dapat membunuh potensi daya kritis.

Melawan Kodrati ?
Namun jika kita berpikir empatik, ada paradigma lain yang mengatakan bahwa muslimah memang memilih pendekatan yang berbeda dengan laki-laki sesuai dengan kecenderungan kodratinya. Walaupun sama-sama mengkritisi kondisi sospol, muslimah lebih suka menghadapinya lewat aksi-aksi yang mengeksplorasi perasaan atau sindiran-sindiran lewat karya imajinasi ketimbang aksi lugas. Itulah sebabnya secara umum, muslimah lebih banyak membaca Annida daripada Saksi, dan lebih lihai dalam karya dakwah tulisan fiksi ketimbang yang nonfiksi. Jadi, kita tak dapat memaksa muslimah untuk berpolitik sesuai kacamata laki-laki. Itu sama saja dengan meminta laki-laki untuk juga menguasai materi kerumahtanggaan yang selama ini didominasi perempuan.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem patriarki-lah yang kurang memberi kesempatan muslimah untuk tampil. Dalam rangka memperbesar kesempatan itu muncul-lah ide kuota persentase perempuan dalam setiap kerja dimana perempuan ada didalamnya. Bahkan, pernah disebutkan dalam sebuah persyaratan bantuan dana join research se-Asia, tertulis secara eksplisit kalimat bahwa proposal yang diajukan seorang perempuan 'lebih diminati' untuk ditindaklanjuti oleh sang funding.

Tapi, betulkah karena faktor kesempatan ? Dalam banyak kasus justru musilmah sendirilah yang menolak ketika diminta tampil sebagai pembicara atau panelis untuk menyampaikan ide-idenya di depan publik multigender, dengan dalih kurang etis dan kurang syari'i. Pada akhirnya, hal ini menyebabkan masyarakat kurang mengenal pandangan tokoh-tokoh perempuan dari kalangan aktivis dakwah. Padahal, umat membutuhkan pencerahan mengenai apa dan bagaimana feminisme yang benar.

Sehingga jika kita sederhanakan, ada dua cara pandang besar yang berbeda menyoal keterlibatan politik muslimah. Pertama, yang menginginkan muslimah berpolitik lebih lugas dan kedua, yang menginginkan peran politik muslimah menurut cara muslimah sendiri. Cara pandang yang kedua ini, mungkin mirip dengan istilah Ratna Megawangi menyoal feminisme : Membiarkannya Berbeda.

Manakah yang terbaik ? Jawabannya alami, tergantung pada muslimah itu sendiri melalui renungan atas potensi diri. Muslimah yang satu mungkin cocok dengan berpolitik secara lugas tapi tidak untuk yang lain. Yang perlu dicarikan solusinya bersama adalah muslimah yang tidak memilih satu pilihan pun, alias tetap seperti apa adanya. Sekali lagi, untuk dicarikan solusinya bukan untuk dituding-tuding sebagai penyebab image bahwa muslimah itu tak memiliki kompetensi.

Nah, jika akhirnya banyak lahir muslimah pada umumnya yang memiliki karakter kuat, maka tak ada alasan bagi rival perang pemikiran untuk mendeligitimasi cara Islam dalam memperlakukan perempuan. Dari sisi ini, mereka tak akan bisa meng-hack Islam lagi.
Waallahu a'lamubisshowab.

(Tulisan versi edited dimuat di Kolom 1269 Male Majalah Annida, 28 Februari 2003)

"Keinginan agar keistimewaanmu diketahui orang bukti tidak adanya kejujuran dalam kehambaanmu."

(Ahmad Athailah, ulama)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1