Friday, 9/05/03 7:22
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


DARI PECINAN MENUJU 'PECI-NAN'
Oleh : Doni Riadi

Pengantar
Membangun persepsi kebangsaan adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah komunitas manusia yang memiliki kesamaan historis dan heroisme perjuangan melawan kolonialisme. Persepsi kebangsaan itu dibutuhkan tidak saja untuk melahirkan semangat perjuangan tanpa mengenal rasa lelah. Akan tetapi juga untuk menjalankan fungsi perekat sekaligus pemersatu kekuatan bangsa, yang di dalamnya terkandung heterogenitas etnis, ras, agama dan kelas.

Penulis mendesain judul Dari Pecinan Menuju 'Peci-nan' ini, dimaksudkan untuk membangun sebuah persepsi positif bahwa etnis Tionghoa di Indonesia, yang diwakili dengan kata Pecinan merupakan komponen bangsa yang tak berhak untuk didiskriminasi karena mereka juga 'peci-nan' . 'Peci-nan', yang dalam bahasa Indonesia berarti mengenakan peci (songkok) adalah representasi dari kebudayaan rumpun melayu. Peci telah ditetapkan menjadi busana nasional sehingga tidak menjadi identik dengan identitas Islam. Itu berarti bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari kesatuan integral pluralistik bangsa dan menempati posisi yang ekuivalen dengan etnis-etnis lainnya di Indonesia.

Akar Perlakuan Diskriminatif
Namun, hingga hari ini diskursus tentang perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa masih terus menjadi topik pembicaraan. Seiring dengan impian kesamaan status dan hak warga negara yang tak kunjung menjadi kenyataan.
Sejarah membuktikan bahwa sebelum kedatangan kolonialis dari daratan Eropa, kondisi kehidupan beragama dan suku-suku bangsa di Indonesia berlangsung harmonis (peaceful coexistence) dan tanpa adanya prasangka sosial (social prejudice). Menurut Benny G. Setiono (2002), jauh sebelum Cornelis Houtman datang ke Banten pada 23 Juni 1596, harmonisasi antara etnis Tionghoa dengan penduduk dan penguasa setempat telah tercipta dengan baik.

Bahkan, kedatangan Laksamana Ceng Ho (Sam Po Kong) di bandar Simongan Semarang pada 1410 dan 1416 dengan ribuan pasukannya, tidak dengan misi menginvansi tetapi murni untuk berdagang, menjalin hubungan dengan Majapahit dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Terlebih, para walisongo yang termashyur itu pun konon juga merupakan keturunan Tionghoa, termasuk Raden Patah yang menjadi Sultan pertama kerajaan Islam Demak.
Dalam kacamata Indonesianis Prof. Ben Anderson, harmonisasi itu kemudian menjadi hancur ketika kolonial Belanda datang dan menjalankan politik Devide and Rule di tanah jajahannya. Salah satu sistemnya yang berlangsung lama dan berdampak besar adalah penerapan Pass and Zoning System.

Menurut catatan Siaw Tiong Djin (1998), sistem yang diterapkan dari 1863 hingga 1930-an itu memaksa orang-orang Tionghoa untuk tinggal dan beraktivitas di daerah yang hanya dihuni oleh golongannya saja (wijkenstelsel), sehingga timbullah komunitas Pecinan atau China Town. Eksesnya adalah terciptanya 'dinding pemisah yang tebal' antara orang Tionghoa dengan mayoritas penduduk Indonesia.

Kondisi ini diperparah dengan strategi ekonomi Belanda yang membenturkan kepentingan pedagang-pedagang Tionghoa dengan pedagang mayoritas penduduk (Islam), sehingga meletupkan konflik-konflik horizontal dan membangun image ekonomi negatif. Begitu juga strategi militer, dengan mempersenjatai orang-orang Tionghoa yang berkiblat ke Belanda (aliran Chung Hwa Hui) sebagai kekuatan garis depan. Mereka sering dibenturkan melawan perjuangan anti kolonial rakyat, sehingga membentuk image orang Tionghoa antek penjajah.

Etnis Tionghoa kemudian menerima stigma negatif baru, ketika ditengarai temasuk dalam kubu komunis bersama Soekarno dan PKI. Tionghoa dinilai oleh Soeharto harus ikut bertanggungjawab dalam tragedi Gerakan 30 September 1965. Kedekatan etnis Tionghoa dengan Soekarno, membuat Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebagai media aspiratif etnis Tionghoa paling populer saat itu harus menerima kenyataan dibubarkan. Padahal, tokoh-tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siaw Giok Tjhan pernah terlibat aktif dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan dan era sesudahnya.

Sehingga praktis, orang-orang Tionghoa harus mengemban tiga stigma negatif berat sekaligus : antek penjajah, penjahat ekonomi, dan komunis. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya.
Untuk mendapatkan dukungan publik, banyak peraturan dan Undang-Undang yang bersifat rasialis dikeluarkan pada era ini. Kebijakan rezim penguasa saat itu menimbulkan penderitaan yang berat bagi etnis Tionghoa, termasuk berakibat pada matinya geliat kesusastraan melayu Tionghoa.

Pada saat yang sama, Soeharto juga 'memelihara' segelintir elit Tionghoa kaya, yang digunakan sebagai kambinghitam jika kemudian rakyat menggugat ketidakadilan dari kebijakan ekonomi sang penguasa. Hasilnya, frekuensi kerusuhan rasial terbanyak tercatat di era Soeharto. Kondisi ini tidak saja menciptakan sikap inferiority complex, tetapi juga melahirkan perasaan kecewa, dendam dan sakit hati sebagian etnis Tionghoa terhadap kaum 'bumiputera'.


Jalan Panjang Menuju 'Peci-nan'
Di Indonesia, ada dua mazhab (metode) besar dalam usaha menghilangkan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Yang pertama adalah "Integrasi Wajar" yang digagas oleh Baperki pada masa Soekarno dan kedua, adalah "Asimilasi Total" yang dikonsep oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) pimpinan K. Sindhunata.

Eksperimentasi "Asimilasi Total" resmi dimulai sejak Soeharto berkuasa hingga ia mengakhiri rezimnya pada 1998. Selama lebih dari 30 tahun, varians-varians "Asimilasi Total" banyak diterapkan di Indonesia. Perubahan nama tiga suku kata khas Tionghoa menjadi nama Indonesia, anjuran kawin lintas etnis, pindah agama ke salah satu agama resmi pemerintah, dan pelarangan penggunaan bahasa Tionghoa, adalah sebagian dari varians tersebut. Filosofi dari kebijakan ini adalah menghilangkan identitas dan segala hal yang berbau Cina/Tionghoa dari pribadi seseorang agar dapat lekas berbaur atau berasimilasi dengan identitas ke-Indonesiaan.

Sedangkan "Integrasi Wajar" adalah antitesis dari konsep "Asimilasi Total". "Integrasi Wajar" lebih menekankan pada aspek ideologis pluralistik kebangsaan, dimana agama, etnis, ras, keturunan, warna kulit, dan status sosial bukanlah menjadi faktor utama penentu kewarganegaraan. Melainkan sejauh mana sikap patriotik, rasa kepemilikan, perasaan senasib sepenanggungan, solidaritas sosial, dan pengorbanan dalam mengabdi kepada bangsa. Sehingga, ciri khas yang menjadi identitas etnis seperti ciri biologis, bahasa dan budaya adalah sebuah anugerah dari Allah dan menjadi hak asasi manusia yang tidak perlu dieliminasi.

Terlepas dari pro dan kontra mana metode yang terbaik, kedua metode tersebut sama-sama memiliki kebenaran yang bersifat nisbi. Terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seorang individu. Contohnya, apresiasi masyarakat yang diberikan kepada Soeripto, seorang etnis Tionghoa muslim dan mantan Sekjen Dephutbun, sama nilainya dengan apresiasi kepada Kwik Kian Gie yang tetap seorang Budhis. Akan tetapi berbeda dengan Bob Hasan walaupun ia telah mengubah namanya dan memeluk agama Islam.

Sehingga substansi solusi permasalahannya bukan pada persoalan memilih salah satu dari metode tersebut, tetapi terletak pada bagaimana mengintegralkan segenap upaya untuk mengeliminasi perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa menjadi suatu solusi yang bersifat sistemik dan holistik (menyeluruh).

Unsur yang bertanggungjawab dalam hal ini setidaknya tiga pihak, pertama adalah pemerintah, kedua etnis Tionghoa sendiri, dan ketiga masyarakat mayoritas. Ketiga-tiganya harus memberikan kontribusi positif sesuai dengan relevansi bidangnya masing-masing.

Kontribusi yang bisa diberikan pemerintah adalah : pertama, menciptakan sistem dan hukum yang kondusif dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat antirasialisme atau lebih tepat lagi antisinicisme, sekaligus memonitoring pelaksanaanya di lapangan. Pasca reformasi, usaha itu telah dimulai dengan dikeluarkannya Inpres No. 26/1998 pada tanggal 16 September 1998 yang ditujukan kepada seluruh jajaran birokrasi agar menghapuskan istilah "pribumi" dan "non pribumi". Juga Inpres No. 4/1999 yang menegaskan Kepres No. 56/1996 tentang pencabutan pemberlakuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI) bagi etnis Tionghoa.

Kedua, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan fasilitas publik tanpa diskriminasi etnis, termasuk dalam usaha meniti karir di birokrasi (PNS), polisi, militer, BUMN, dan kuliah di Universitas Negeri, yang selama ini masih sulit ditembus oleh etnis Tionghoa.

Ketiga, melakukan pendidikan antirasial secara sistemik kepada masyarakat, misalnya lewat sekolah-sekolah melalui revisi buku-buku sejarah. Revisi dimaksudkan untuk memberi apresiasi lebih terhadap peran warga Tionghoa dalam historis perjuangan merebut kemerdekaan, ataupun melalui media lainnya seperti penerbitan karya intelektual, pembuatan buku, dan apresiasi seni budaya.

Keempat, me-reformasi sistem dan mentalitas aparat penegak hukum dan keadilan. Sikap independen dan profesional, antisuap dan antikorup mutlak dibutuhkan sehingga dapat melaksanakan tugasnya tanpa diintervensi penguasa untuk mengeruk keuntungan dari etnis Tionghoa seperti yang dialami pada masa Orde Baru.

Bagi masyarakat Tionghoa sendiri, mereka dapat berpartisipasi dengan : pertama, mempertegas jati dirinya sebagai bagian integral bangsa Indonesia dengan 'membongkar' ekslusivitas 'The Great Wall', yaitu Pecinan maupun komunitas sejenis. Pilihan terbaik adalah dengan bertempat tinggal menyatu dengan masyarakat yang lintas kultural, etnis dan agama. Sehingga, dengan demikian etnis Tionghoa dapat setiap saat berinteraksi, terlibat, dan berpartisipasi, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.

Kedua, berpartisipasi dalam bidang politik dengan mengirimkan wakilnya duduk di parlemen melalui mekanisme Pemilu yang jujur dan demokratis. Keterwakilannya di parlemen selain untuk memperjuangkan kepentingan etnis Tionghoa, juga untuk mengemban misi yang lebih mulia yaitu mengabdikan diri berjuang demi kepentingan tanah air dan bangsa. Keterwakilan ini dapat diraih, baik dengan bergabung dengan partai lain maupun dengan membentuk partai sendiri. Dalam hal ini, orang Tionghoa harus meninggalkan perdebatan mengenai pencantuman kata Tionghoa sebagai nama partai. Karena kelak, proses seleksi alami akan menampilkan partai dengan metode terbaik yang akan dapat terus eksis berkiprah.

Ketiga, menjalankan ekonomi etis. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari keunggulan berbisnis etnis Tionghoa khususnya dalam bidang distribusi, retail, dan service, hendaknya juga didedikasikan untuk kepentingan sosial. Sebagian keuntungan yang diperoleh dapat disumbangkan untuk pembangunan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, pengembangan jalan dan industri di pedesaan, dan kebutuhan sosial lainnya. Setidaknya dari sini akan lahir persepsi baru bahwa etnis Tionghoa memiliki sikap filantropis (dermawan) dan kepekaan sosial yang tinggi. Apalagi jika kemudian, aktivitas perekonomiannya dilakukan dengan cara yang sportif dan jujur, akan menambah empati publik terhadap pengusaha Tionghoa.

Sedangkan masyarakat pada umumnya, dapat memberikan sumbangsih dengan memberikan dua jaminan, yaitu jaminan keamanan dan jaminan keimanan, bagi etnis Tionghoa. Jaminan keamanan adalah kebutuhan mendasar setiap manusia, sehingga masyarakat harus dapat menciptakan kondisi aman di lingkungan pemukimannya.

Sedangkan yang dimaksud jaminan keimanan adalah masyarakat hendaknya tidak melakukan intimidasi keimanan (akidah) sebagai kompensasi dari usaha pembauran. Dalam Islam, dikenal terminologi Laa ikraha fiddien yang berarti tidak ada paksaan dalam agama. Sehingga, justru akan lebih memberi arti jika seseorang meyakini nilai-nilai Islam bukan karena paksaan tetapi karena 'menemukan' atau karena merasakan keindahan-keindahan Islam lewat akhlak dan perilaku pemeluknya sehari-hari.

Harapannya, setelah dianggap 'mengenakan peci', etnis Tionghoa otomatis akan memiliki ikatan emosional terhadap kampung halaman dimana ia tinggal. Soekarno, seperti yang dikutip H.L Runtu (1998) memberi ilustrasi dengan sangat baik : "Tak peduli, apakah kau punya rahang Batak atau mata sipit, asalkan dihatimu ada perasaan rindu akan tanah air ini sebagai kampung halamanmu, dan perasaan senasib…itulah kebangsaan…". []

(Tulisan ini menjadi Pemenang III Lomba Menulis Artikel Tingkat Mahasiswa Se-Jateng-DIY yang diselenggarakan oleh Sinology Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Maret 2003)

 

"Ilmu itu tiang untuk kesempurnan akal. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagaia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka."

(Prof. Dr. Hamka)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1