KUNCINYA
NIAT DAN AMAL NYATA
(Catatan
Untuk Nasih, Al-Hidayat, dan Riyadi)
Oleh : Imam Mardjuki
WACANA Islam liberal yang
dipropagandakan Jaringan Islam Liberal (JIL) telah membuka
ruang perdebatan menarik dari berbagai kalangan umat Islam.
Tanggapan pro-kontra terus bergulir di berbagai media massa
dan forum ilmiah. Tulisan ini hendak menangkap benang merah
dari tiga tulisan pro-kontra mengenai Islam liberal yang dimuat
harian ini, yang ditulis oleh Muhammad Nasih (30/9/2002),
Rokhim al-Hidayat (11/10/2002) dan Doni Riyadi (18/10/2002).
Nasih, aktivis JIL, menilai Islam tidak mungkin tanpa adjektif,
tak ada Islam tanpa embel-embel, tak ada Islam thok. Islam
liberal didedikasikan untuk menyaingi dominasi pemikiran dari
apa yang disebutnya Islam fundamentalis yang dinilai dogmatis
dan antimodernitas.
Pendiri dan anggota JIL menisbatkan Islam liberal yang dianutnya
sebagai Islam subtantif, Islam kontekstual, Islam modernis,
Islam kultural dan Islam moderat. Sementara Islam fundamentalis
disejalankan dengan Islam formal, Islam tekstual-skriptualis,
Islam tradisional, Islam politik dan Islam ekstrem.
Muhammad Saw, nabi yang menerima wahyu Islam, mungkin akan
geleng-geleng kepala bila melihat rumusan yang terkesan guthak
gathuk mathuk itu. Sebab, Nabi Saw tak pernah memberi embel-embel
adjektif apapun di belakang kata "Islam" yang diwahyukan
dan diajarkannya. Rasul Saw juga tidak pernah mengajarkan
istilah kafir subtantif atau formal, kafir kontekstual atau
tekstual, kafir modernis atau tradisional, kafir kultural
atau politik, serta kafir moderat atau ekstrem.
Pengistilahan seperti itulah yang dikhawatirkan al-Hidayat
-dalam tanggapan terhadap tulisan Nasih- akan sangat membahayakan
keutuhan umat Islam. Al-Hidayat menilai pemikiran JIL sejalan
dengan para orientalis Barat yang mengotak-kotakkan dan memecah
belah umat Islam.
Namun demikian, sebagai produk kekritisan intelektual, pemikiran-pemikiran
aktivis JIL yang "genit" dan terkesan "nakal"
harus tetap diapresiasi secara arif. Tokoh-tokoh JIL seperti
Ulil Abshar Abdalla dan Luthfie Asy-Syaukani yang berlatar
belakang disiplin ilmu filsafat memang jagoan membuat istilah-istilah
semacam itu. Pihak yang tidak sependapat dengan pemikiran
JIL harus menyikapi secara dewasa tanpa emosional serta menanggapi
secara intelektual-argumentatif pula. Seperti tulisan Riyadi
yang telah mengkritik dengan menunjukkan sepuluh kekeliruan
paradigma Islam liberal.
Niat dan Amal
Pendapat pro-kontra Islam liberal sebenarnya memiliki benang
merah atau bisa dipertemukan pada dua hal, yakni niat (tujuan)
dan amal nyata. Innamal a'maalu bin niyat. Wainna likullimri-im
ma nawa, kata Nabi Saw. Sesungguhnya semua amal itu tergantung
niat (tujuan). Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang
diniatkannya (HR. Muslim). Kalau tujuan JIL dengan Islam liberalnya
ingin memajukan Islam maka ini sejalan dengan kalangan "Islam
fundamentalis" yang memperjuangkan tegaknya Islam. Hanya
ijtihad perjuangannya saja yang berbeda. Analoginya, bila
JIL punya program TV "Islam Warna-warni" yang digugat
itu, maka bisa dikatakan ijtihad JIL dan kelompok Islam lainnya
adalah "Ijtihad Warna-warni".
Artinya, pro-kontra bisa diarahkan ke wilayah kondusif, produktif
dan kooperatif, untuk bersama-sama mencapai tujuan yang sama:
penegakan Islam. Hal ini sekaligus akan menepis tuduhan terhadap
JIL sebagai antek dan agen pemikiran orientalis Barat serta
peraup kepentingan pragmatis sesaat.
Sebaliknya, bila JIL bermaksud menghentikan laju kebangkitan
Islam di Indonesia, maka tuduhan di atas menjadi terbenarkan
dan JIL tentu tak layak membawa-bawa nama Islam dalam liberalisasi
pemikiran yang diusungnya. Di sini, JIL yang berideologi antiteokrasi
(kontra syariat Islam) akan berhadapan secara berlawanan dengan
kelompok Islam yang mendukung penerapan syariat Islam. Akibatnya,
pintu dialog antarkedua kubu menjadi tertutup.
Bahasa Kenyataan
Kenyataan berbicara lebih jelas dan konkret ketimbang semua
bahasa lainnya. Oleh karena itu, pendukung Islam liberal dan
pendukung syariat Islam, yang notabene berbeda dalam ijtihad
perjuangan, harus menunjukkan kebenaran niat dan pemikirannya
dalam bentuk praktik nyata kehidupan keseharian yang sesuai
dengan Islam, seperti disiplin peribadatan dan kemuliaan akhlak.
Pendukung Islam liberal harus menunjukkan secara nyata bahwa
prinsip dasar pemikirannya seperti antiteokrasi, pluralitas,
pemihakan pada minoritas dan tertindas, kebebasan beragama
dan berkepercayaan, benar-benar sesuai dengan nilai-nilai
Islam dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Islam yang rahmatan lil 'alaamin.
Sebaliknya, pendukung syariat Islam juga harus menunjukkan
secara nyata bahwa mereka memang benar-benar ingin menerapkan
syariat Islam. Mereka harus membuktikan bahwa isu syariat
Islam bukan sekadar jargon atau komoditas politik untuk meraup
suara umat Islam dalam pemilu. Mereka harus bisa membuka mata
dunia bahwa syariat Islam bukan diskriminatif terhadap minoritas,
tetapi rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Akhirnya, kelak kenyataanlah yang menunjukkan siapa yang benar
ucapannya. Allahu a'lam bishshowab.
|