Friday, 9/05/03 6:53
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


KUNCINYA NIAT DAN AMAL NYATA
(Catatan Untuk Nasih, Al-Hidayat, dan Riyadi)
Oleh : Imam Mardjuki

WACANA Islam liberal yang dipropagandakan Jaringan Islam Liberal (JIL) telah membuka ruang perdebatan menarik dari berbagai kalangan umat Islam.

Tanggapan pro-kontra terus bergulir di berbagai media massa dan forum ilmiah. Tulisan ini hendak menangkap benang merah dari tiga tulisan pro-kontra mengenai Islam liberal yang dimuat harian ini, yang ditulis oleh Muhammad Nasih (30/9/2002), Rokhim al-Hidayat (11/10/2002) dan Doni Riyadi (18/10/2002).
Nasih, aktivis JIL, menilai Islam tidak mungkin tanpa adjektif, tak ada Islam tanpa embel-embel, tak ada Islam thok. Islam liberal didedikasikan untuk menyaingi dominasi pemikiran dari apa yang disebutnya Islam fundamentalis yang dinilai dogmatis dan antimodernitas.

Pendiri dan anggota JIL menisbatkan Islam liberal yang dianutnya sebagai Islam subtantif, Islam kontekstual, Islam modernis, Islam kultural dan Islam moderat. Sementara Islam fundamentalis disejalankan dengan Islam formal, Islam tekstual-skriptualis, Islam tradisional, Islam politik dan Islam ekstrem.

Muhammad Saw, nabi yang menerima wahyu Islam, mungkin akan geleng-geleng kepala bila melihat rumusan yang terkesan guthak gathuk mathuk itu. Sebab, Nabi Saw tak pernah memberi embel-embel adjektif apapun di belakang kata "Islam" yang diwahyukan dan diajarkannya. Rasul Saw juga tidak pernah mengajarkan istilah kafir subtantif atau formal, kafir kontekstual atau tekstual, kafir modernis atau tradisional, kafir kultural atau politik, serta kafir moderat atau ekstrem.

Pengistilahan seperti itulah yang dikhawatirkan al-Hidayat -dalam tanggapan terhadap tulisan Nasih- akan sangat membahayakan keutuhan umat Islam. Al-Hidayat menilai pemikiran JIL sejalan dengan para orientalis Barat yang mengotak-kotakkan dan memecah belah umat Islam.

Namun demikian, sebagai produk kekritisan intelektual, pemikiran-pemikiran aktivis JIL yang "genit" dan terkesan "nakal" harus tetap diapresiasi secara arif. Tokoh-tokoh JIL seperti Ulil Abshar Abdalla dan Luthfie Asy-Syaukani yang berlatar belakang disiplin ilmu filsafat memang jagoan membuat istilah-istilah semacam itu. Pihak yang tidak sependapat dengan pemikiran JIL harus menyikapi secara dewasa tanpa emosional serta menanggapi secara intelektual-argumentatif pula. Seperti tulisan Riyadi yang telah mengkritik dengan menunjukkan sepuluh kekeliruan paradigma Islam liberal.

Niat dan Amal
Pendapat pro-kontra Islam liberal sebenarnya memiliki benang merah atau bisa dipertemukan pada dua hal, yakni niat (tujuan) dan amal nyata. Innamal a'maalu bin niyat. Wainna likullimri-im ma nawa, kata Nabi Saw. Sesungguhnya semua amal itu tergantung niat (tujuan). Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya (HR. Muslim). Kalau tujuan JIL dengan Islam liberalnya ingin memajukan Islam maka ini sejalan dengan kalangan "Islam fundamentalis" yang memperjuangkan tegaknya Islam. Hanya ijtihad perjuangannya saja yang berbeda. Analoginya, bila JIL punya program TV "Islam Warna-warni" yang digugat itu, maka bisa dikatakan ijtihad JIL dan kelompok Islam lainnya adalah "Ijtihad Warna-warni".

Artinya, pro-kontra bisa diarahkan ke wilayah kondusif, produktif dan kooperatif, untuk bersama-sama mencapai tujuan yang sama: penegakan Islam. Hal ini sekaligus akan menepis tuduhan terhadap JIL sebagai antek dan agen pemikiran orientalis Barat serta peraup kepentingan pragmatis sesaat.

Sebaliknya, bila JIL bermaksud menghentikan laju kebangkitan Islam di Indonesia, maka tuduhan di atas menjadi terbenarkan dan JIL tentu tak layak membawa-bawa nama Islam dalam liberalisasi pemikiran yang diusungnya. Di sini, JIL yang berideologi antiteokrasi (kontra syariat Islam) akan berhadapan secara berlawanan dengan kelompok Islam yang mendukung penerapan syariat Islam. Akibatnya, pintu dialog antarkedua kubu menjadi tertutup.

Bahasa Kenyataan
Kenyataan berbicara lebih jelas dan konkret ketimbang semua bahasa lainnya. Oleh karena itu, pendukung Islam liberal dan pendukung syariat Islam, yang notabene berbeda dalam ijtihad perjuangan, harus menunjukkan kebenaran niat dan pemikirannya dalam bentuk praktik nyata kehidupan keseharian yang sesuai dengan Islam, seperti disiplin peribadatan dan kemuliaan akhlak.

Pendukung Islam liberal harus menunjukkan secara nyata bahwa prinsip dasar pemikirannya seperti antiteokrasi, pluralitas, pemihakan pada minoritas dan tertindas, kebebasan beragama dan berkepercayaan, benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam yang rahmatan lil 'alaamin.

Sebaliknya, pendukung syariat Islam juga harus menunjukkan secara nyata bahwa mereka memang benar-benar ingin menerapkan syariat Islam. Mereka harus membuktikan bahwa isu syariat Islam bukan sekadar jargon atau komoditas politik untuk meraup suara umat Islam dalam pemilu. Mereka harus bisa membuka mata dunia bahwa syariat Islam bukan diskriminatif terhadap minoritas, tetapi rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.

Akhirnya, kelak kenyataanlah yang menunjukkan siapa yang benar ucapannya. Allahu a'lam bishshowab.

"Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu."

(noname)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1