Thursday, 8/05/03 8:04
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


NASIB KAUM MISKIN KOTA PASCARAMADHAN
Oleh : Doni Riadi

Masih hangat dalam ingatan, di bulan Ramadhan kemarin, banyak organisasi dan lembaga bahkan artis tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dermawan dengan 'melibatkan' kaum fakir (miskin) dalam berbagai acara yang dikemas baik berupa buka puasa bersama maupun kunjungan ke yayasan dan panti sosial. Semakin mendekati lebaran, masyarakat pun disuguhi fenomena melonjaknya jumlah anak di bawah umur mencari nafkah dengan mengamen di bus kota, lampu merah maupun persimpangan jalan. Para peminta-minta juga banyak menghiasi tempat ibadah, pusat keramaian dan di sudut-sudut kota lainnya, termasuk para pemohon sumbangan atas nama yayasan yang dilakukan door to door di komplek-komplek perumahan.

Terlepas dari keyakinan akan tingginya nilai kemuliaan bulan Ramadhan sehingga memotivasi orang untuk berlomba-lomba beramal, sesungguhnya masyarakat kota dihadapkan pada sebuah realita bahwa kemiskinan di sekitar lingkungannya telah sedemikian kronis. Sehingga konsekuensi logisnya, masyarakat kota akan turut menerima dampak dari ekses kemiskinan itu, baik dampak psikologikal maupun material, jika tidak memberikan respon dan kepedulian serius.

Menurut PBB, yang mencanangkan tahun 1997-2006 sebagai dasawarsa pertama program pengentasan kemiskinan, dari 6 milyar penduduk bumi sekitar 1,2 milyar berpenghasilan kurang dari satu dolar setiap harinya, atau dengan kata lain hidup dalam kemiskinan absolut. Sedangkan 2,8 milyar orang memiliki penghasilan kurang dari 2 dolar perhari. Artinya, sekitar 4 milyar penduduk bumi hidup dalam kemiskinan.

Indonesia, menurut Bank Dunia (2001) 'menyumbang' sekitar 40 juta rakyat miskin atau 10-20 persen dari keseluruhan jumlah penduduknya. Dan potret kaum miskin kota dalam bentuk pemukiman kumuh, premanisme, anak jalanan, pekerja anak, pengemis, dan tuna wisma adalah parameter sosial paling mudah dalam mengukur keberhasilan usaha pengentasan kemiskinan sekaligus sebagai alat ukur keseimbangan pembangunan wilayah.


Beragam Paradigma Menyikapi Kemiskinan
Pelbagai metode pendekatan dalam pengentasan kemiskinan sebenarnya telah banyak dilakukan tidak saja oleh pemerintah tetapi juga dari masyarakat sendiri melalui beragam aktifitas dari pola rumah singgah, pendampingan, hingga tindakan represif aparat seperti razia kaum miskin kota. Namun, nampaknya eksperimentasi tersebut belum menampakkan hasil yang cukup signifikan untuk mengentaskan kemiskinan.

Beragam pendekatan memang menjadi keniscayaan dalam program pengentasan kemiskinan, atau dengan kata lain kita memang harus 'mengepung' kemiskinan dari semua lini. Akan tetapi, paradigma yang digunakan sebagai dasar pendekatan itu sebenarnya merupakan paradigma klasik yang dapat kita jadikan sebagai sebuah pelajaran yang berharga agar tak menuai kegagalan yang sama di kemudian hari.

Dr. Yusuf Qordhowi (1996) menganalisis setidaknya ada 5 paradigma besar yang memberikan hasil kontraproduktif dalam pengentasan kemiskinan. Pertama, pemikiran bahwa kemiskinan adalah hal yang suci. Sehingga baginya, kemiskinan bukanlah suatu keburukan yang perlu diatasi dan problem yang harus dipecahkan. Kemiskinan bagi penganut pemikiran ini adalah karunia Allah kepada hamba-Nya karena akan semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta, suatu hal yang sulit didapatkan jika dirinya bergelimang dengan harta. Pemikiran ini menafikan fakta bahwa tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Pemikiran ini tidak saja populis di kalangan penganut animisme namun juga di sebagian penganut agama samawi (langit) khususnya yang menjalani prosesi kerahiban dan sufi.

Kedua, pemikiran fatalis, yang memandang kemiskinan sebagai suatu bencana atau ujian dan merupakan takdir dari Allah sepanjang masa yang tidak dapat diganggu gugat, sehingga kontribusi pemikiran ini dalam menghadapi kemiskinan adalah sebatas seruan atau himbauan agar kaum miskin sabar dan rela atas takdir kemiskinan yang dideritanya.

Ketiga, pemikiran yang mengandalkan kebajikan individu. Tidak ada batasan dan mekanisme yang jelas dalam membantu orang miskin dalam pemikiran ini. Sehingga, kaum miskin tidak mempunyai hak dan bagian yang pasti ukurannya selain berharap kepada apa-apa yang didermakan oleh orang-orang saleh dan baik hati atau dengan kata lain kaum miskin tergantung pada kesukarelaan dan kebajikan individu-individu.

Keempat, pemikiran kapitalisme, yang berpendapat bahwa kaum miskin bertangungjawab atas kemiskinannya sendiri dan tidak lantas menjadi beban negara atau orang kaya karena setiap orang memiliki kebebasan mempergunakan hartanya yang didapat dari usaha dan kerja keras masing-masing. Varians dari pemikiran ini adalah adanya jaminan sosial dimana pemerintah an sich yang memberi bantuan kepada kaum miskin yang biayanya diambil dari Anggaran Belanja Negara.

Kelima, pemikiran sosialisme Marxis, yang berpendapat bahwa kemiskinan tidak akan pernah lenyap selama kapitalis dan sumber penghasilannya belum dimiliki oleh kaum miskin atau proletar melalui perjuangan kelas. Konsekuensinya, pemikiran ini menolak prinsip kepemilikan individu khususnya aset yang bersifat produktif dan memiliki pengaruh luas terhadap publik.

Penanganan Terpadu
Berkaca pada paradigma kontraproduktif diatas, maka akan sangat disayangkan jika pada pascaramadhan, kedermawanan individu itu kemudian lenyap tak berbekas tergantikan kembali oleh sifat acuh tak acuh terhadap kaum miskin. Justru, di bulan Syawal yang notabene-nya berarti bulan peningkatan, maka sikap kepedulian terhadap kaum miskin seharusnya juga mengalami peningkatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Artinya, penyantunan yang diberikan tidak hanya sebatas sedekah temporer dan sukarela seikhlasnya tetapi santunan yang sistemik, terukur, dan terorganisasi, sehingga tidak hanya memberikan kepuasan sementara tetapi juga menjadi jaminan bahwa santunan yang diberikan akan mengangkat kaum miskin dari kemiskinannya melalui rancangan program-program pengentasan .

Sebuah pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan secara terpadu dapat memberikan hasil lebih signifikan. Keterpaduan itu meliputi SDM dan lembaga pelaksana yang mensinergikan antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat dan kaum miskin kota itu sendiri. Juga meliputi strategi dan mekanisme pengentasan, yang termasuk didalamnya analisis berbagai perspektif tentang akar kemiskinan, klasifikasi kaum miskin dan karakteristik penanganan berdasarkan klasifikasi tersebut.

Pengalaman empirik membuktikan bahwa bekerja adalah solusi yang paling jitu dalam mengurangi angka kemiskinan. Namun ada hambatan klasik untuk dapat bekerja, karena dalam Teori Pembangunan Neo-Klasik menurut Nugroho SBM (2002) kemiskinan juga lahir karena kurangnya modal dan keterampilan kerja. Sehingga dalam hal ini, sebuah pemerintah kota seharunya tidak usah ragu-ragu untuk membentuk satuan khusus yang bertugas untuk mengentaskan kemiskinan dan memberikan pos dana besar dalam APBD-nya untuk memfasilitasi kaum miskin dalam merintis enterpreunership-nya, dengan mengucurkan bantuan modal dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan atau dengan menggandeng sektor swasta dalam memberi peluang kaum miskin kota bekerja. Sedangkan pengawasan dan pendampingan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Dana santunan tersebut, dapat juga diperoleh dari lembaga yang dipercaya dalam mengumpulkan dana dari masyarakat. Setelah DPR-RI mengesahkan Undang-Undang yang mengatur tentang Zakat Nasional, maka pemerintah telah memberi lisensi dan rekomendasi kepada organisasi pengelola zakat yang dipandang memiliki kredibilitas dan profesional dalam mengelola dana masyarakat yang didedikasikan kepada kaum miskin tanpa memandang suku, agama, rasa dan golongan. Lembaga tersebut diantaranya adalah Dompet Dhuafa, BAZNAS, PKPU, YDSF, DSUQ, BMM, LAZIS, BAZIS, dan MER-C. Dukungan juga diperoleh dari dompet-dompet kepedulian yang digalang oleh media massa, organisasi nirlaba dan yayasan-yayasan sosial lokal serta LSM yang mengkhususkan diri pada pendampingan kaum miskin kota, seperti anak jalanan.

Apabila pemerintah dan masyarakat kota telah menunjukan kerja optimal dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajibannya mengentaskan kemiskinan secara humanis, namun geliat kaum miskin kota tetap nampak dominan di jalan-jalan dan penjuru kota, barulah dipilih pendekatan-pendekatan yang kurang humanis.

Sebagai pembanding, pemerintah New Delhi di India memasang kamera di perempatan lampu merah, untuk memantau para pengendara yang memberi tip kepada pengemis. Mereka yang ketahuan memberi akan dikenai hukuman kurungan beberapa hari. Shock terapy ini didesain untuk menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kaum miskin kota untuk tidak mencari nafkah dengan meminta-minta, khususnya di jalan-jalan. Namun sekali lagi, jika pemerintah dan masyarakat kota belum menunjukkan political will yang baik dalam mengentaskan kemiskinan, maka kaum miskin kota sama sekali tidak berhak untuk dikenai tindakan-tindakan non humanis, dari siapapun datangnya.[]

(Tulisan versi edited dimuat di Buletin 'Mutiara Keadilan Semarang Edisi Desember 2002)

"Janganlah engkau memasuki dunia yang dapat membahayakan akhiratmu, dan jangan pula meninggalkannya, sehingga engkau minta-minta pada orang lain."

(Lukman Al-Hakim)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1