In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful


DIBALIK INSIDEN
PESAWAT TEMPUR AS

Oleh : Imam Nur Azis

Drama segerombolan Jet F 18 Hornet AS yang bermanuver di atas Pulau Bawean Kamis lalu menyiratkan makin tiada bergiginya pemerintah RI. Setelah teridentifikasi, tamu-tamu udara yang tidak diundang tersebut bahkan sempat mengunci posisi senjata (locked missile) jet tempur AURI yang dikirim untuk menyelidiki keberadaan mereka. Dalam “hukum” udara, penguncian adalah langkah terakhir sebelum sebuah jet tempur melancarkan serangan atau penghancuran lawan. Sangatlah janggal jika insiden ini tidak ditafsirkan upaya “confrontational” AS kepada pemerintah RI yang mencoba “friendly” selama paska teror Bom Bali tahun lalu.

Manuver udara jet dengan suara gelegarnya seolah makin memanaskan situasi di darat dalam perdebatan parlemen soal pertanggung gugatan prosedur pembelian Sukhoi. Megawati merasa tersudut dengan ungkapan keras pembantunya, Menperindag Rini Suwandi yang merasa hanya “sendika dawuh” atas skandal pembelian tersebut. Konon pihak oposan sang Presiden sedang menyiapkan langkah lanjut untuk meng”impeach” Megawati dalam Sidang Tahunan MPR bulan depan.

Dua drama di atas memang secara tidak langsung bertautan. Namun keduanya sama-sama menyuarakan keprihatinan mendalam akan cermin buram carut marutnya pengelolaan negara ini. Dalam keadaan terjepit saat pilot kita tidak berkutik menghadapi provokasi jet tempur AS, sangatlah mustahil jika keadaan ini berbalik. Seandainya pemerintah Bush mendapati pilot kita bermanuver di wilayah territorial mereka tanpa ijin, sangat mungkin pesawat jet tempur Sukhoi kita sudah hancur dirudal. Dengan sekutu erat di NATO seperti Jerman dan Prancis, AS berani mengancam berbagai sanki ketika keduanya tidak merestui agresi ke Irak. Turki yang juga sudah lama berteman dengan AS pun harus menelan pil pahit ketika harus “diusir” keluar dari perbatasan di wilayah perang Irak meski sudah menunjukkan loyalitas mereka semasa agresi tersebut.

Apakah ada jaminan kalau kita “berteman” dengan AS maka kita akan aman? Dari beberapa fakta di atas, nampaknya tidak. Paska perang dingin, negeri Paman Sam ini sudah mentasbihkan diri sebagai pemenang. Dengan logika “zero-sum game” mereka telah menikmati “kue” kekuasaan yang tertinggal , sebagaimana Trotsky melukiskan kaum Bolsheviks mengambil kekuasaan di jalanan. Sejak kubu Demokrat Clinton yang dua kali menjabat, kalangan neo-Conservative berupaya mendesakkan kepentingan agar kebijakan luar negeri AS lebih agresif. Namun, lobi-lobi dan desakan mereka belum juga berhasil meski nyaris saja Clinton berhasil di”impeach” lewat kasus asusila dengan Monica Lewinsky. Hingga akhirnya, melalui Bush Yunior (Partai Republik), kalangan “neo-cons” ini mendapatkan kendaraan menjalankan impian kebijakan invasionis.

Paska insiden 9/11 menjadi momentum bersejarah bagi psikologis bangsa Amerika. Seolah apapun yang lebih buruk bakal terjadi dan mungkin saja menimpa mereka. Kalau saja dikatakan besok akan ada seekor naga yang turun dari langit memakan patung Liberty, seolah mereka juga yakin. Konstitusi AS yang begitu tinggi menjunjung HAM kini dengan mudah dicampakkan oleh doktrin Keamanan Nasional atas nama perang melawan terorisme. Lewat doktrin ini para “Neo-Cons” menerjemahkan “security measurement” sebagai segala potensi yang mampu menciptakan ancaman atau persaingan terhadap kepentingan keamanan AS di seluruh dunia. Tentu saja pandangan berbau waham (hegemonik) ini bertentangan dengan konstitusi awal AS yang banyak memberikan kebebasan individu (civil liberties). Namun semuanya menjadi nampak tidak berarti dan tidak menarik tatkala “war against terrorism” dikobarkan George W. Bush.

Konstitusi AS pada hakikatnya telah dikangkangi sekelompok “hawkist” yang mengelilingi sang presiden. Amerika kini sudah dikuasai segelintir elit washington yang begitu paranoid, agresif, dan invasionis terhadap negara lain seperti ancaman mereka kepada “tiga poros setan”, iran, irak dan korut. Pada galibnya sikap Washington ini membelah kesatuan bangsa dan negara bagian di AS menjadi diametral terhadap pusat. Biaya perang yang demikian besar harus ditanggung dari pajak seluruh warga yang tidak semua menyetujui kebijakan “neo-cons”. Tatkala sumber-sumber pembiayaan tersebut tidak lagi di dapat di seluruh negara bagian AS, tidak ada cara lain kecuali mereka harus “menghisap” ke sumber-sumber pendapatan dari negara lain seperti Irak.

Operasi-operasi ini berhasil dan terus akan berlanjut ketika institusi negara begitu kuat mengatasi kepentingan warga negara.

Dari paparan diatas, tidak ada jaminan bahwa AS akan menghentikan revolusinya di berbagai negara termasuk di RI. Yang kita butuhkan adalah kemandirian untuk berani menunjukkan pada bangsa lain bahwa negara kita memiliki identitas dan kedaulatan yang tidak dapat di dikte oleh siapapun.

Kita berharap Megawati berani mengambil posisi tersebut, namun dari realitas politik menunjukkan kesatuan sikap ini agaknya sulit terwujud. Jadi ketika Aceh makin bergolak, Papua yang belum terurus, dan elit politisi yang makin sibuk korupsi bersiaplah jika RI dimasukkan sebagai “failed state” oleh AS. Salah satu contoh ini tergambar secara anekdotal sebagaimana dalam program film teve di AS “Smallville” yang menggambarkan Superman dimasa muda. Ketika salah satu episode menceritakan bagaimana pasukan AS memerangi terorisme di berbagai negara yang disana tertulis “Aceh Province, Indonesia”. Nah, paling tidak publik AS sudah “disiapkan” untuk tidak kaget jika kelak ini terjadi.

 

Dimuat di Majalah Saksi Edisi 21/Juli 2003

 

 
 
  "lebih baik mencegah seorang sahabat dari kejatuhan daripada mengangkatnya bangkit setelah ia jatuh."

(noname)
 
 
         
     
 

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1