In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


MENELADANI KEPAHLAWANAN
DIPONEGORO

Oleh : Imam Mardjuki

Setiap tahun, Hari Pahlawan 10 November selalu kita peringati. Tapi sudahkah kita mewarisi jiwa dan semangat kepahlawanan para bunga bangsa yang telah berjuang dengan tetesan darah dan air mata? Sudahkah kita mengalihkan penghargaan kepada mereka dari peringatan seremonial ke peneladanan nyata, sehingga slogan "bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya" betul-betul bermakna? Pada momentum Hari Pahlawan inilah kita harus melakukan instrospeksi.

Para pahlawan negeri ini tentu sedih bila menyaksikan wajah Indonesia saat ini. Ratusan juta rakyat masih hidup dalam kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam negeri ini. Krisis moral telah menjadi penyakit akut masyarakat. Pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan dan tindakan-tindakan kriminal lainnya terjadi hampir tiap hari. Sayangnya, para pejabat negara tak kunjung mampu mengentaskan bangsa ini dari jeratan krisis multidimensi. Sebaliknya, para pemegang amanat rakyat di eksekutif dan para wakil rakyat di legislatif malah asyik memperkaya diri. Alih-alih diberantas, korupsi malah makin merajalela dan sulit diatasi.

Semua itu membuktikan bahwa para penyelenggara negara sekarang belum meneladani para pahlawan. Penghargaan kita selama ini hanya sebatas seremonial saja, sementara pengorbanan dan pengabdian total para pahlawan kepada bangsa dan negara belum kita warisi secara nyata. Slogan heroik "merdeka atau mati" belum jadi pilihan kita dalam menghadapi problem rumit bangsa ini. Kita masih menjadi orang-orang kerdil yang hanya memikirkan diri sendiri ketimbang memikirkan nasib bangsanya yang lebih besar.

Lalu model kepahlawanan macam mana yang bisa kita teladani? Tulisan ini akan mengurai karakter kepahlawanan salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia lahir 11 November 1785. Dengan demikian, di bulan November selama dua hari berturut-turut kita memperingati dua hari bersejarah: Hari Pahlawan dan Hari Kelahiran Diponegoro.

Mempelajari sejarah hidup Diponegoro (wafat 8 Januari 1855) dan prestasi kepahlawanannya, kita akan mendapati potret seorang putra terbaik bangsa. Dialah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya, dialah anak bangsa yang mencintai bangsanya melebihi cintanya pada diri dan keluarga. SK Presiden RI No 087/TK/Tahun 1973 yang menetapkannya sebagai pahlawan nasional adalah salah satu pengakuan formal betapa figur Diponegoro patut diteladani. Ada tiga karakter kepahlawanan yang menonjol pada diri putra sulung Sultan Hamengku Buwono III itu.

Pertama, karakter kerakyatan. Meski putra raja, Diponegoro yang sewaktu kecil bernama Ontowiryo lebih suka tinggal bersama rakyat di Desa Tegalrejo daripada di keraton. Pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830) salah satunya disebabkan oleh perlawanan Diponegoro atas perampasan tanah-tanah milik rakyat oleh perkebunan-perkebunan pengusaha Belanda. Pembelaannya yang besar kepada rakyat membuahkan dukungan luas dari kaum bangsawan, ulama dan petani, ketika Diponegoro memutuskan untuk melawan kolonialisme Belanda dengan taktik perang gerilya. Jadilah Perang Diponegoro sebagai perlawanan rakyat terbesar yang pernah dialami Belanda selama menjajah Jawa, hingga Belanda menyebutnya Perang Jawa (Java Oorlog). Dalam sejarah Asia, perang ini juga disebut pemberontakan rakyat/petani. Kecintaan rakyat yang besar pada Diponegoro menjadikan mereka tidak menggubris tawaran menggiurkan dari Belanda sebesar 20.000 ringgit bagi siapa yang bisa menangkap Diponegoro hidup atau mati.

Hal ini tidak terjadi pada pemimpin kita saat ini. Kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali tidak berpihak pada rakyat. Di sektor ekonomi, pemerintah lebih senang membebankan besarnya anggaran negara kepada rakyat yang sudah menderita, daripada menerapkan program penghematan dalam penyelenggaraan negara. Rakyat terus dibebani dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Harga BBM, tarif listik, telepon dan air PDAM terus menanjak naik.

Di sektor politik pun demikian. Kebijakan elite politik sering tak senafas dengan aspirasi rakyat. Tak heran bila ada partai politik memilih seorang tersangka penindas konstituennya untuk menjadi gubernur yang jelas-jelas ditentang oleh rakyat. Bahkan seorang terpidana pun bisa memimpin lembaga DPR yang katanya terhormat. Kepastian dan ketegasan hukum seakan hanya berlaku untuk rakyat kecil, namun tak berdaya di hadapan pejabat negara. Dan kabar mutakhir, dalam kasus bom Bali ada tanda-tanda kalau pemerintah rela mengorban rakyatnya sendiri untuk kepentingan asing.

Karakter Kebangsaan
Karakter kepahlawanan Diponeogoro berikutnya adalah karakter kebangsaan. Diponegoro dikenal cinta tanah air dan antikolonial. Tahun 1822, dia memilih keluar dari keanggotaan Dewan Mangkubumi akibat masuknya Residen Belanda sebagai anggota dewan tersebut yang memiliki hak perwalian terhadap Sultan Hamengku Buwono V yang kala itu berusia sangat muda (3 tahun). Saat perang melawan Belanda, dia berobsesi untuk menyatukan empat keraton di Jawa Tengah, yaitu Ngayogyakarta, Pakualaman, Kasunanan dan Mangkunegaran, yang dulunya satu namun terpecah-belah karena politik adu domba Kolonial Belanda.

Tapi bangsa Indonesia hari ini adalah bangsa yang semakin renta yang tak lagi memiliki wibawa dan kharisma. Tengoklah pengaruhnya dalam percaturan ekonomi dan politik di ASEAN saja. Betapa sering kita mengalami penghinaan oleh bangsa sekecil Singapura sekalipun. Mereka menuduh kita sarang teroris dan menyebabkan angka resiko negara (country risk) kita meningkat. Pada saat yang sama, Singapura bekerjasama dengan pengusaha pasir lokal, terus saja mengeruk garis pantai kita hingga mereka bertambah besar luas wilayahnya berkali lipat. Dan kita diam saja.

Di Malaysia, TKI kita diusir dan kita sama sekali tidak melakukan perlawanan. Nyaris tidak ada diplomasi untuk membela diri dan membela kepentingan jutaan anak bangsa yang diusir dan dicambuk seperti kambing dan sapi. Jadi, di ASEAN saja kita begitu tidak berdaya dan kelihatan tidak bertenaga, bagaimanakah lagi jika berhadapan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Karakter kepahlawanan Diponegoro yang ketiga adalah karakter keagamaan. Sejak kecil Diponegoro tertarik dengan kehidupan keagamaan. Dia diasuh dan dididik oleh neneknya, Ratu Ageng (janda Sultan Hamengku Buwono I) yang dikenal shalehah. Sikap sebagai seorang Muslim yang taat ditunjukkan Diponegoro ketika awal tahun 1823, dia difitnah oleh Belanda sebagai penyebab kematian Sultan HB IV tahun 1822. Dia menyelesaikan masalah besar ini dengan banyak tafakkur, berdzikir dan berkonsultasi dengan para ulama/kiai, seperti Kiai Abdani, Kiai Tapsiranom, dan Kiai Mojo, yang kemudian diangkatnya sebagai penasehat spiritual saat perang. Diponegoro dan pengikutnya menyebut perang melawan Belanda sebagai "Perang Suci" melawan kejahatan dan kedhaliman. Bahkan konon, Diponegoro dijuluki sebagai amirul mu'minin ing tanah Jawi (pemimpin orang beriman di tanah Jawa).

Menyaksikan berita di media massa kita akan miris. Setiap hari tindak kriminal terjadi. Pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan dan tindakan-tindakan kriminal lainnya makin akrab dilakukan oleh masyarakat kita. Sementara di level pemerintahan, korupsi bukannya berhenti tapi justru lebih parah dibanding saat Orde Baru.

Inti masalahnya adalah moral pemerintah dan masyarakat di ambang kebobrokan. Dan obat mujarab untuk mengobati penyakit moral adalah agama. Wajar bila ada sekelompok umat Islam yang menuntut diberlakukan syariat Islam untuk mengatasi kebobrokan moral yang menjadi problem utama bangsa ini.

Bangkit
Karakter kerakyatan, kebangsaan dan keagamaan itulah yang harus diteladani oleh bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya. Bangsa Indonesia harus bangkit dari krisis dengan kesadaran bahwa memang kita harus bangkit. Kita tidak punya pilihan. Para pahlawan kita dulu berteriak, "Merdeka atau Mati!", sebuah teriakan yang menyempitkan pilihan dalam situasi sulit. Dengan teriakan itu rakyat akan bersatu dan memiliki visi dan pikiran dasar yang sama. Dengan begitu, bangsa kita akan lebih mudah menggalang diri dan menyusun agenda bersama untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Akhirnya, rakyat dan pemimpinnya bersatu dalam agenda tunggal menyelamatkan bangsa dari kehancuran.

Semoga ribuan pahlawan tidak gugur sia-sia dan hanya tinggal nama. Semoga kepahlawanan mereka tidak sekadar menjadi teks cerita. Dan semuanya tergantung bagaimana kita meneladaninya.


---------------------------------

Keterangan:
Data-data sejarah Diponegoro di atas diambil dari buku Babad Tanah Jawi edisi Meinsme,
Sejarah Pahlawan Nasional, dan Sejarah Islam Indonesia.

 

"Sejatinya, kematian itu adalah akhir dari sebuah kehidupan di dunia dan awal dari sebuah kebangkitan. Kematian tidak hanya pemutus dan penghancur sebuah fase kehidupan, yaitu kehidupan dunia, tetapi juga sebuah perpindahan dari suatu fase kehidupan ke fase yang lain, dari satubabak ke babak yang lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain."

(Ibnu Qayyim Al-Jauzi)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1