In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


AMANDEMEN UUD 1945 DAN
GERAKAN MAHASISWA

Oleh : Imam Mardjuki

KAMIS, 21 Mei 1998, bertepatan dengan peringatan hari Kenaikan Isa Almasih, menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, terhitung mulai pukul 09.05 WIB, Soeharto, tiran berusia 76 tahun yang telah berkuasa selama tiga dekade lebih, berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Peristiwa tersebut menjadi klimaks dari perjuangan gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa sebagai main factor-nya. Seluruh mahasiswa dan elemen proreformasi di segenap pelosok negeri merayakan kemenangan atas kejatuhan tokoh kunci rezim Orde Baru itu. Dan sejarah Indonesia pun kembali menemukan putaran baliknya menuju masa depan baru yang lebih baik, setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama tahun 1966.

Agenda mendesak yang segera dituntaskan oleh gerakan mahasiswa saat itu adalah menyusun visi reformasi sebagai parameter dan garansi bagi kepemimpinan nasional (presiden) yang baru, para penyelenggara negara, serta para elite politik agar mereka komitmen dan konsisten terhadap agenda-agenda reformasi total bangsa. Visi reformasi juga dimaksudkan untuk mengantisipasi munculnya reformis gadungan dari kekuatan pro status quo dan kelompok-kelompok pragmatis. Penulis sendiri bersama pengurus Senat Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jawa pernah secara khusus menyosialisasikan visi reformasi tersebut kepada pimpinan pusat lima partai politik pemenang Pemilu 1999 (PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKB) di Jakarta, beberapa hari setelah perolehan akhir suara diumumkan akhir Juli 1999 lalu.

Salah satu visi fundamental yang dicanangkan oleh gerakan mahasiswa adalah amandemen (perubahan) terhadap Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45), di samping visi penghapusan peran politik (dwifungsi) TNI, penegakan supremasi hukum, pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya, budaya demokratis yang egaliter, serta pertanggungjawaban mesin-mesin politik-ekonomi Orde Baru. Sehingga bagi mahasiswa, siapapun yang menolak amandemen UUD 45 berarti antireformasi.


Perlunya Amandemen
Mengapa UUD 45 harus diamandemen? Banyak alasan kuat yang bisa dikemukakan baik secara ilmiah, objektif, yuridis maupun historis. Pertama, UUD 45 adalah UUD sementara. Para pakar hukum tata negara telah mengemukakan bahwa para perumus UUD 45 sendiri sebenarnya menyadari bahwa UUD tersebut merupakan UUD sementara yang harus segera diselesaikan karena dorongan situasi strategis untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah pun tidak mendustakan hal itu. Soekarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ketika membuka sidang pertama PPKI pada Rapat Besar tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan: "… Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna."

Pernyataan Soekarno itu dibuktikan dengan adanya pembuatan konsitusi lain, yaitu UUD 1949, UUDS 1950, dan pembuatan UUD baru oleh Badan Konstituante tahun 1959 yang dihentikan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Status kesementaraan itu juga termaktub dalam UUD 45 pasal 3 dan butir 2 Aturan Tambahan. Dengan demikian, meskipun UUD 45 masih berlaku hingga sekarang, namun status kesementaraannya tidak berubah.

Alasan kedua, UUD 45 memiliki banyak kelemahan. Adnan Buyung Nasution mensistematisasikan kelemahan-kelemahan itu menjadi dua jenis, yaitu kelemahan konseptual dan kelemahan konstruksi hukum. UUD 45 yang hanya berisi 37 pasal terlalu sederhana untuk sebuah konstitusi negara. Dengan adanya kesederhanaan itu, pelaksanaan UUD 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang (UU). Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh pembuat UU sebagaimana terjadi selama ini.

Sistem pemerintahan yang memberi kekuasaan terlalu besar kepada presiden serta prinsip kedaulatan rakyat yang diwakilkan melalui MPR seperti diatur UUD 45, telah terbukti menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan, menimbulkan kekuasaan otoriter, korup dan menindas rakyat, serta menciptakan penyelenggaraan negara yang buruk. Pada awal pemberlakuan UUD 45 (1945-1949), perputaran roda pemerintahan sangat bergantung kepada presiden.

Banyaknya masalah yang tidak bisa diselesaikan UUD 45 telah melahirkan Maklumat Wakil Presiden No X soal kedudukan Komite Nasional Indonesia menjadi pembantu presiden, serta perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil ke parlementer. Periode 1959-1966, juga muncul pemerintahan otoriter dengan konsep demokrasi terpimpin yang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Sedang pada periode 1966-1998, UUD 45 juga tak mampu menghentikan munculnya pemerintahan otoriter Orde Baru yang otoriter, korup dan banyak melanggar hak asasi manusia.

Alasan ketiga perlunya amandemen UUD 45 adalah bahwa memiliki UUD baru merupakan kebutuhan mendesak reformasi konstitusional. UUD baru pada dasarnya kontrak sosial baru sebagai wujud kehendak bersama, yang harus dibuat dan ditentukan secara bersama pula. UUD baru milik bersama seluruh rakyat, bukan milik elite-elite politik di MPR. Oleh karena itu, penyusunan UUD baru harus berangkat dari jiwa dan semangat yang dapat dimengerti oleh seluruh rakyat.

Atas dasar alasan-alasan itulah, maka gerakan mahasiswa menetapkan amandemen UUD 45 bagian dari visi reformasi yang harus dilaksanakan sebagai bagian reformasi total. Reformasi konstitusi adalah agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi. Sebab tranformasi ke arah pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberi dasar bagi agenda-agenda reformasi dan demokrasi lainnya.

Problem Amandemen
Empat tahun sudah berlalu. Tiga presiden baru pasca-Soeharto pun sudah kita miliki: Bacharuddin Jusuf Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Namun proses dan agenda reformasi yang dipercayakan oleh mahasiswa dan rakyat kepada penyelenggara negara hingga kini belum menampakkan hasil memadai, bahkan cenderung tak tentu arah.

Amandemen UUD 45 yang diamanatkan kepada MPR terancam gagal. Saat proses amandemen yang digarap oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR makin berlarut-larut hingga memasuki tahap keempat tahun ini, tiba-tiba sejak awal April 2002 lalu muncul desakan agar proses amandemen dihentikan karena dinilai kebablasan. Desakan itu datang dari sejumlah anggota MPR, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi dan Koalisi Ornop. Tak kurang sekitar 200 anggota MPR dari FPDIP, FUG, FKB dan FKKI mengumpulkan formulir tanda tangan menolak amandemen oleh PAH I BP MPR, yang dibukukan dengan judul Sikap Politik Para Anggota MPR RI diterbitkan Yayasan Kepada Bangsaku dan Yayasan Pendidikan Tinggi 17 Agustus 1945.

Secara prinsip, tuntutan penghentian proses amandemen UUD 45 tersebut tentu berlawanan dengan visi reformasi. Namun melihat alasan yang dikemukakan, tuntutan mereka dapat dimaklumi. Mengingat proses dan seluruh materi perubahan yang telah dan akan diputuskan oleh MPR masih memiliki banyak kelemahan, diantaranya kerancuan dan pertentangan satu pasal dengan pasal lainnya. Selain itu, proses perubahan terkesan tertutup, hanya dilakukan dan ditentukan sendiri oleh MPR, tanpa melibatkan rakyat, tidak terbuka, sepotong-potong dan lebih banyak diwarnai kepentingan politik sempit fraksi-fraksi di MPR. Bahkan mereka menilai MPR telah gagal melakukan amandemen.

Kemandegan atau pemelencengan agenda amandemen UUD 45 memang sempat dikhawatirkan oleh gerakan mahasiswa, melihat konstelasi anggota MPR yang masih didominasi orang-orang Orde Baru. Dalam hal ini, MPR sekarang sebenarnya bagian dari masalah, sehingga sulit diharapkan bisa memecahkan masalah itu sendiri. Karenanya, proses amandemen tidak bisa hanya dilakukan dan ditentukan oleh MPR, tetapi harus melibatkan komponen rakyat secara luas dalam pengambilan keputusannya. Salah satunya muncul usulan pembentukan Komisi Konstitusi, yang diilhami oleh reformasi konstitusi di Filipiina saat revolusi tahun 1986. Namun prinsip mendasar yang harus dicatat adalah bahwa reformasi konstitusi tidak hanya melakukan amandemen, tetapi yang lebih mendasar adalah membuat rumusan konstitusi baru untuk masa depan Indonesia yang lebih demokratis.

Peran Mahasiswa
Proses amandemen UUD 45 yang tersendat-sendat menandakan bahwa proses reformasi terancam gagal. Nasib serupa juga menimpa agenda-agenda reformasi lainnya seperti belum terealisasinya penegakan supremasi hukum, penghapusan peran politik TNI dan pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya.

Menyikapi carut-marut arah reformasi dan kondisi perpolitikan mutakhir, gerakan mahasiswa telah mengeluarkan mosi tidak percaya kepada para elite politik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun perbaikan negeri tak cukup dengan mosi, sehingga gerakan mahasiswa harus segera melakukan konsolidasi kembali untuk terjun langsung mengawal dan mengamankan arah reformasi yang tak tentu arah, salah satunya mengamankan proses reformasi konstitusi.

Peran strategis mahasiswa bukan hanya sebagai pelaku perubahan (agent of change), tetapi juga pengarah perubahan (director of change). Saat ini, rakyat Indonesia membutuhkan peran director of change tersebut. Dalam posisinya sebagai moral force dan intelectual force, mahasiswa bisa berdiri di atas kepentingan rakyat dan berbicara kepada setiap unsur elite politik. Di sinilah mahasiswa bisa tampil sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power) di hadapan seluruh pelaku politik, untuk duduk satu meja membangun konsensus bersama mengenai Format Indonesia Masa Depan. Dalam main-frame inilah, gerakan mahasiswa bisa menjalankan fungsi social control dengan instrumen kekuatan massa (mass power) dan kekuatan institusi (institutional power) yang dimiliki.

Konsolidasi menuju terbentuknya koalisi strategis telah dimulai oleh BEM se-Jawa-Sumatera, KAMMI, HMI-MPO, LMND, FNPBI dan PRD, saat mereka berunjukrasa di gedung DPR/MPR, Maret 2002, menuntut pembentukan Pansus Bulog II dan pembubaran Partai Golkar. Koalisi lintas pemikiran dan ideologi ini mengulang sejarah gerakan mahasiswa yang sukses menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998 lalu. Jaringan koalisi ini diprediksi bakal meluas secara horisontal ke elemen-elemen gerakan mahasiswa lainnya, dan secara vertikal ke daerah-daerah di tanah air. Perluasan perlu dilakukan mengingat tugas mengamankan reformasi tak kalah berat dibandingkan dengan mengawali reformasi Mei 1998 lalu. Kesuksesannya membutuhkan skenario yang cerdik dan strategi yang jitu. Dan rakyat, insya Allah, akan kembali bergabung bersama mahasiswa untuk mengusung reformasi jilid kedua.[]


"Sejatinya, kepanikan merupakan refleksi dari sikap seseorang yang pada mulanya sangat mengandalkan pemecahan rasional dan kekuatan dirinya dalam memcahkan berbagai persoalan, sehingga kualitas hidupnya di set-up dalam bingkai paradigma rasionalistis-materialis-hedonistik : bahwa kebahagiaan sangat ditentukan oleh uang, kesuksesan ekonomi dan politik, kekuasaan, popularitas atau kepuasan seksual."

(Abu Ridho, Penulis Recik-Recik Spiritualitas Islam, 2002)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1