In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


ADA APA DENGAN CINTA ACEH ?
Oleh : Imam Nur Azis

"Kegagalan" pemerintah menangani kasus pemberontakan GAM di Aceh secara cepat mengindikasikan berbagai inkonsistensi kebijakan Megawati. Pemerintah tentu keberatan jika operasi pemulihan keamanan di negeri rencong ini di katakan gagal. Bahkan di berbagai media massa acap kali yang terberitakan adalah "keberhasilan demi keberhasilan" TNI. Alih-alih Mega merasa sedih, Presiden kita justru merasa gembira dengan kesuksesan yang telah dicapai dari darurat militer di Serambi Mekah.

Mungkin saja Mega telah lupa janjinya. Bahwa dia tidak akan menumpahkan darah setetespun untuk Aceh. Demi cintanya pada Aceh, sembari menangis dikatakan bahwa pemerintahnya akan memberi sentuhan seorang Cut Nya' ("mother's touch"). Nyatanya, tidakkah ia ingat bahwa sebagian besar korban operasi pemulihan keamanan ini adalah juga anak bangsa? Siapakah yang rugi akibat ratusan gedung sekolah dibakar? Siapakah yang tercekam saat diusir dan dipaksa keluar dari kampung mereka untuk hidup sebagai pengungsi? Siapakah penduduk yang ditangkap dan dicurigai sebagai GAM? Siapakah yang ditembak mati karena dianggap anggota GAM? Sebagian besar korban dari mereka merupakan kaum sipil, orang jompo, para ibu dan anak-anak.

Tidak banyak kalangan kritis yang menyoal saat darurat militer ditandatangani dan operasi militer diberlakukan untuk Aceh. Atas nama keutuhan NKRI, seolah semua pihak tersihir mengamini genderang perang yang ditabuh Panglima TNI. Ketika di Jakarta diindikasikan ada belasan titik yang biasa dicurigai tempat berkumpulnya komunitas Aceh, Gubernur Sutiyoso bahkan meminta warga DKI untuk ekstra hati-hati terhadap ancaman pengeboman.

Bandingkan dengan maraknya demo ketika kalangan militer mencoba menggulirkan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang mirip dengan pengesahan darurat militer kali ini. Yang kita saksikan kini, kantor sebuah LSM diporak-porandakan oleh ratusan massa Pemuda Panca Marga mengatasnamakan kaum nasionalis penjaga keutuhan NKRI yang menolak terhadap kritik militerisme di Aceh. Siapakah yang menggerakkan massa ini? Mengapa tindakan fasis anarkis ini dibiarkan terjadi telanjang di depan mata sampai mereka memaksa pengurus LSM tersebut menyanyikan lagu "Indonesia Raya", dipukuli, dan diteror?

Sebelumnya, sejumlah kegagalan diplomasi internasional menohok kabinet Megawati. Pemerintah Swedia ternyata kukuh untuk tidak menyerahkan pentolan GAM yang bermukim di sana. Sehingga pemerintah berpikir untuk "mengancam" menurunkan tingkat hubungan bilateral kedua negara, kalau perlu pengusiran duta besar. Ketua MPR Amien Rais bahkan juga ikut-ikut "genit" menyarankan memboikot produk Swedia seperti Volvo yang dipakainya. Tidak cukup itu, kini Kementrian Luar Negeri sedang melobby internasional untuk memasukkan GAM sebagai organisasi teroris.

Seharusnya pemerintah belajar dari "kegagalan" Gus Dur tatkala ia mulai "menginternasionalisasi" persoalan dengan mengundang LSM asing the Henry Dunant Center (HDC) untuk menjadi mediasi Aceh dan RI. Ketika itulah GAM seolah duduk sejajar mewakili rakyat Aceh dengan pemerintah.
Tidak banyak yang mengerti, sebagian besar pentolan HDC ini jika kita telusuri di namebase.org memiliki hubungan langsung dengan CIA dan kaum globalis dari Council on Foreign Relation, the Aspen Institute, Trilateral Commission, CSIS, dan Brooking Institute yang sarat dengan kepentingan politis. Orang-orang ini juga berpengalaman "memisahkan" Timor Timur dari RI dan berbagai negeri sempalan di bekas Yugoslavia. Sebagian juga adalah kaum merkantilis global pemilik atau petinggi multi national companies atau MNC's seperti Freeport (Henri Kissinger), Bata (Bata Thomas), dan Rio Tinto. Sebagian lagi mereka yang memiliki jaringan lobi di PBB dan dekat dengan kalangan pelobi Senator di AS.

Selain itu, di Serambi Mekah inilah terdapat cadangan gas alam cair (liquid natural gas/LNG) terbesar di dunia yang sedang dieksploitasi multi national companies seperti Exxon. Pada saat yang sama, di sinilah tonggak awal pemerintah RI memberikan keistimewaan dengan otonomi khusus rakyat Aceh untuk menegakkan syariah Islam secara legal formal. Namun, disana pula lah konon kartel perdagangan ganja menggurita dan menjadi bahan bakar eskalasi konflik antar GAM dan TNI.

Pihak GAM -seperti diketahui banyak pihak- mencitakan negara Aceh yang sekuler dan modern. Dengan posisi demikian, masyarakat internasional sebagian memberikan simpati atas perjuangan mereka. Apalagi, di Barat sedang digencarkan "Culture Rights " yang mengakomodasi setiap etnis memiliki hak menegakkan budaya mereka, jika perlu dengan mendirikan negara berbasis etnik seperti di bekas Yugoslavia.
Selain trauma atas kaum Islamis yang implisit sedang menjadi target kampanye "War on terrorism", secara ekonomis kalangan borjuis kapitalis global sangat berkepentingan apabila Aceh menjadi negara mungil independen seperti Timor Timur. Jatah "upeti" yang mereka bayar, menurut mereka tentu tidaklah perlu sebanyak jika selama ini diberikan lewat pemerintah pusat.
Dan bagi kalangan militer, konflik Aceh ini merupakan tiket proyek berharga untuk kembali memainkan peran signifikan dalam kancah politik sipil yang kian terpuruk di era reformasi ini. Andai saja secara politis militer dapat merebut hati rakyat tanah rencong dan "memenangkan" pertempuran territorial di sana "at all cost", bukan tidak mungkin kompensasi penguasaan pos jabatan teritorial yang saat ini dipegang sipil akan dialihkan ke mereka. Dalam keadaan damai saja, beberapa jabatan penting setingkat Gubernur kini berhasil "dikuasai" kalangan militer.

Inilah mungkin harga mahal operasi militer yang kelak harus dibayar pemerintah Megawati. Jika memasukkan GAM sebagai organisasi teroris internasional, sama artinya kita mengakui GAM adalah gerakan internasional. Padahal selama ini pemerintah ingin membatasi seolah mereka adalah kaum pemberontak, separatis dan menjadi bagian dari masalah nasional.

Bagi GAM, preseden ini akan makin meningkatkan resistensi mereka untuk lebih menjaring simpati internasional, sembari mengeksploitasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini dipraktikkan TNI. Konsekuensinya, nama dan citra Indonesia akan semakin terpuruk.

Belum lagi, kelambanan operasi kemanusiaan di Aceh ini akan semakin menambah jumlah pengungsi RI sebagai negara dengan internally displaced persons /IDP's (pengungsi) terbesar di dunia. Selama ini saja total jumlah pengungsi kita sudah mencapai 2 juta jiwa setelah berbagai konflik di Ambon, Poso, Sampit, Nunukan, dan Timor Barat. Siapa kelak yang mampu menyelesaikan kerumitan penderitaan yang kini dialami pengungsi ini, dan sampai kapan? Tidak mudah menjawabnya memang. Sekali lagi, inilah mungkin harga mahal operasi militer yang kelak harus dibayar pemerintah Megawati.


 

"lebih baik mencegah seorang sahabat dari kejatuhan daripada mengangkatnya bangkit setelah ia jatuh."

(noname)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1