Depan
Istilah Keris
Kerisologi
Seniman
Keris
Agenda
Buku
Keris
Kontak Java Keris
FAQ
Tips
Milis
Java Keris
Daftar
Web Keris
Buku Tamu
|
Kerisologi
Apa Itu Keris?
Sebelum
membahas masalah keris dan budayanya, sebaiknya ditentukan dahulu
batasan-batasan mengenai apa yang disebut keris. Hal ini perlu karena
dalam masyarakat sering dijumpai pengertian yang keliru dan kerancuan
mengenai apa yang disebut keris.Saya berpendapat, sebuah benda
dapat digolongkan sebagai keris bilamana benda itu memenuhi kriteria
berikut:
1.
Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris
(termasuk pesi) dan bagian ganja. Bagian bilah dan pesi
melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan
ujud yoni. Dalam falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan
falsafah Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambang
akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan.
2.
Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja.
Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong,
ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga suku bangsa
Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan kedudukannya,
harus senantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta, juga
pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang,
makin tunduklah orang itu.
3.
Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 - 38
cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan
Filipina Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek
adalah keris Buda dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni hanya
sekitar 16 - 18 cm saja.
Tetapi
keris yang dibuat orang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm,
atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran fullpen, tidak
dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk
keris-kerisan.
4.
Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam,-
minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua,
semisal keris Buda, tidak menggunakan baja.
Dengan
demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam
lainnya, tidak dapat digolongkan sebagai keris. Begitu juga
"keris" yang dibuat bukan dengan cara ditempa, melainkan
dicor, atau yang dibuat dari guntingan drum bekas aspal tergolong bukan
keris, melainkan hanya keris-kerisan.
Meskipun
masih ada beberapa kriteria lain untuk bisa mengatakan sebuah benda
adalah keris, empat ketentuan di atas itulah yang terpenting.
Keris
Budaya Nusantara
Thailand, Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Jadi, boleh
dikatakan budaya keris dapat dijumpai di semua daerah bekas wilayah
kekuasan dan wilayah yang dipengaruhi Kerajaan Majapahit. Itulah
sebabnya beberapa ahli budaya menyebutkan, keris adalah budaya
Nusantara.
Keris
tertua dibuat di Pulau Jawa, diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Di
kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda. Sesuai
dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya, bentuknya
masih sederhana. Tetapi bahan besinya menurut ukuran zamannya, tergolong
pilihan, dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan
cara pembuatan keris yang kita kenal sekarang. Keris Buda hampir tidak
berpamor. Seandainya ada pamor pada bilah keris itu, maka pamor itu
selalu tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarannya
tidak direncanakan oleh Sang Empu.
Sesuai
dengan perkembangan budaya masyarakatnya, bentuk bilah keris juga
mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk,
pendek, dan tebal, secara berangsur menjadi menjadi lebih tipis, lebih
langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi
lebih indah.
Ricikan
atau komponen keris yang semula hanya berupa gandik, pejetan,
dan sogokan, dari zaman ke zaman bertambah menjadi aneka macam.
Misalnya, kembang kacang, lambe
gajah, jalen, jalu
memet, lis-lisan,
ada-ada, janur, greneng, tingil, pundak sategal,
dan sebagainya.
Meskipun
dari segi bentuk dan pemilihan bahan baku, keris selalui mengalami
perkembangan, pola pokok cara pembuatannya hampir tidak pernah berubah.
Pada dasarnya, pola pokok proses pembuatan keris: membersihkan
logam bahan besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, dan
kemudian memberinya bentuk sehingga disebut keris.
Pada
zaman sekarang pembuatan keris masih tetap dilakukan secara tradisional
di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu (Sulawesi Tenggara), Taman
Mini Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Sri
Begawan (Brunai Darussalam). Pembuatan keris masa kini masih tetap
menggunakan kaidah-kaidah lama. Beberapa di antar para empu dan pandai
keris itu bahkan masih tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan
puasa selama masa pembuatan kerisnya.
Karena
budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, Benda ini mempunyai
banyak nama padanan. Di pulau Bali keris disebut kedutan. Di
Sulawesi, selain menyebut keris, orang juga menamakannya selle
atau tappi. Di Filipina, keris dinamakan
sundang. Di
beberapa daerah benda itu disebut kerih, karieh, atau kres.
Demikian pula bagian-bagian kelengkapan keris juga banyak mempunyai
padanan. Walaupun demikian bentuk keris buatan daerah mana pun masih
tetap memiliki bentuk yang serupa. Dan, juga bentuk bagian-bagiannya pun
tidak jauh berbeda.
Bukan
Alat Pembunuh
Walaupun oleh sebagian peneliti dan penulis bangsa Barat keris
digolongkan sebagai jenis senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan
semata-mata untuk membunuh. Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam
pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk ‘sipat
kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang keris juga
dianggap memiliki kekuatan gaib.
Bagi
yang percaya, keris tertentu dapat menambah keberanian dan rasa percaya
diri seseorang, dalam hal ini pemilik keris itu. Keris juga dapat
menghindarkan serangan wabah penyakit dan hama tanaman. Keris dapat pula
menyingkirkan dan menangkal gangguan makhluk halus. Keris juga dipercaya
dapat membantu pemiliknya memudahkan pemiliknya memudahkan mencari
dipercaya dapat dimanfaatkan tuahnya, sehingga benda
itu dianggap bisa memberikan bantuan keselamatan bagi pemilik dan
orang-orang sekitarnya.
Memang
ada keris-keris yang benar-benar digunakan untuk membunuh orang,
misalnya keris yang pada zaman dulu dipakai oleh algojo keraton guna
melaksanakan hukuman bagi terpidana mati. Begitu pula keris-keris yang
dibuat untuk prajurit rendahan. Namun kegunaan keris sebagai alat
pembunuh ini pun sifatnya seremonial dan khusus, misalnya Kanjeng Kyai
Balabar milik Pangeran Puger. Pada abad ke-18 keris ber-dapur
Pasopati itu digunakan oleh Sunan Amangkurat Amral untuk menghukum mati
Trunojoyo di alun-alun Kartasura.
Keris
adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni
bentuk, serta seni perlambang,. Pembuatannya selalu disertai doa-doa
tertentu, berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus. Doa pertama
seorang empu ketika akam mulai menempa keris adalah memohon kepada Yang
Maha Kuasa, agar keris buatannya tidak akan mencelakakan pemiliknya
maupun orang lain. Doa-doa itu juga diikuti dengan tapa brata dan
lelaku, antara lain tidak tidur, tidak makan, tidak menyentuh lawan
jenis pada saat-saat tertentu.
Bahan
baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini
ada empat macam.
Pertama,
batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsur titanium. Bahan
pamor yang kedua adalah nikel. Sedangkan bahan pamor lainnya adalah
senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok. Biasanya, pamor jenis
ketiga ini adalah besi yang yang disebut pamor Luwu. Sedangkan bahan
yang keempat adalah senyawa besi dari daerah lain, yang bila dicampurkan
pada bahan besi dari daerah tertentu akan menimbulkan nuansa warna serta
pemanpilan yang berbeda.
Besi
dan pamor ditempa berulang-ulang lalu dibuat berlapis-lapis. Pada zaman
ini, umumnya paling sedikit 64 lapisan. Untuk pembuatan keris
berkualitas sederhana diperlukan lapisan sebanyak 128 buah. Sedangkan
yang kualitas baik harus dibuat lebih 2.000 lapisan. Baru setelah itu,
untuk mendapat ketajamanan yang baik, disisipkan lapisan baja di
tengahnya.
Segala
benda yang tipis akan menjadi jauh lebih kuat bilamana benda itu dibuat
berlapis-lapis. Teori ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak
berabad-abad yang lampau. Mereka menemukan teori ini, dan
mempraktikkannya, sekitar 7 atau 8 abad sebelum teknologi pembuatan
tripleks atau kayu lapis (plywood) ditemukan dan diproduksi orang
Barat pada awal abad ke-16.
Pemilihan
akan batu meteorit yang mengandung unsur titanium, juga merupakan
penemuan nenek moyang kita yang mengagumkan. Karena titanium ternyata
memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis unsur logam lainnya. Unsur
titanium itu keras, kuat, ringan, tahan panas, dan juga tahan karat.
Dalam peradaban modern sekarang, titanium dimanfaatkan orang untuk
membuat pelapis hidung pesawat angkasa luar, serta ujung roket dan
peluru kendali antar benua.
Kaitannya
dengan Budaya Lain
Selain
berfungsi sebagai senjata, baik secara fisik maupun secara spiritual,
keris juga merupakan salah satu kelengkapan pakaian adat -- baik di
Pulau Jawa, maupun di pulau-pulau lain di luar Jawa. Selin itu masih ada
beberapa fungsi keris lainnya, dalam budaya Indonesia, dan juga budaya
Malaysia, Brunai, serta Thailand Selatan. Pada masa silam keris dapat
berfungsi sebagai benda upacara, sebagai tanda ikatan keluarga atau
dinasti, sebagai atribut suatu jabatan tertentu, sebagai lambang
kekuasaan tertentu, dan sebagai wakil atau utusan pribadi pemiliknya.
Pada zaman dulu, seorang utusan raja baru dipandang sah bilamana ia
membawa serta salah satu keris milik raja yang mengutusnya. Bilamana
seorang pegawai kerajaan (abdidalem) menduduki jabatan tertentu, pada
upacara wisuda ia akan mendapat sebilah keris jabatan dari atasannya.
Sampai kini, di kerajaan Brunei Darussalam, tradisi semacam itu masih
tetap dilestarikan.
Dulu,
kekuasaan seorang raja baru akan dipandang sah oleh rakyatnya manakala
raja mengenakan salah satu keris pusaka kerajaan pada saat penobatan. Di
Pulau Jawa, terutama pada masyarakat suku bangsa Jawa di Jawa Tengah dan
sebagian Jawa Timur, kalau pengantin pria berhalangan hadir pada upacara
pernikahan, ia boleh mewakilkan dirinya dengan sebilah keris miliknya.
Jadi, keris itulah yang akan dipersandingkan dengan pengantin putri di
pelaminan. Adat yang demikian juga ada di pada masyarakat Bali. Di
Sumatra Barat seorang pemuda yang hendak berangkat merantau biasanya
dibekali sebilah keris oleh orang tuanya, sebagai perwujudan ikatan
keluarga dan doa restu orang tua.
Dari
berbagai prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa diketahui bahwa keris
pernah juga menjadi salah satu kelengkapan sesaji pada upacara keagamaan
pada waktu itu. Bahkan di desa-desa tertentu di Pulau Jawa, pada akhir
masa penjajahan Belanda, untuk melaksanakan upacara bersih desa masih
pula disertakan sebilah keris kecil yang disebut keris sajen. Bersih
desa adalah suatu upacara selamatan tradisional untuk memohon pada
Yang Maha Kuasa agar warga desa, termasuk sawah ladangnya, terhindar
dari gangguan penyakit dan hama tanaman, terlindung dari ancaman
berbagai bencana alam. Upacara ini juga dimaksudkan untuk memperbaharui
semacam kesepakatan atau agreement dengan makhluk halus penghuni desa
itu (Sing Mbahureksa - Bhs. Jawa) untuk tidak saling mengganggu
dengan penduduk desa. Keris sajen adalah keris kecil yang dibuat
amat sederhana. Keris ini dalam berbagai buku yang ditulis orang Barat
disebut sebagai keris Majapahit.
Jadi,
penyebutan keris kecil yang sederhana itu sebagai keris Majapahit oleh
sebagian orang Barat adalah salah!
Yang
benar adalah keris sajen. Atau, keris sesaji.
Memang,
budaya keris amat erat kaitannya dengan berbagai budaya lain dalam
masyarakat berbagai suku bangsa di Indonesia.
Budaya
Asli Indonesia
Keris
adalah budaya asli Indonesia. Walaupun pada abad ke-14, nenek moyang
bangsa Indonesia pada umumnya beragama Hindu dan Budha, tidak pernah
ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara lain.
Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata
tradisional itu dengan kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di
Pulau Jawa ditemui adanya gambar timbul (relief) yang menggambarkan
adanya senjata yang berbentuk keris,maka pada candi yang ada di India
atau negara lain, bentuk senjata semacam ini tidak pernah ada.
Bahkan
senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk
senjata yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri itu.
Dalam kitab Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak
ditemukan satu pun senjata yang bernama keris. Jenis senjata yang ada
dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya, gada,
pedang, dan cakra. Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua
cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang!
Beberapa
buku yang ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini Iran)
dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa dengan keris
yang ada di Indonesia. Ini pun keliru!
Beberapa
jenis senjata kuno buatan Persia memang dihiasi dengan semacam lukisan
atau kaligrafi pada permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik hiasan
itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada permukaan yang
dilakukan bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah dengan menggores
permukaan bilah itu sehingga timbul alur, kemudian ke dalam alur goresan
itu dibenamkan (dijejalkan) kepingan tipis logam emas atau kuningan.
Jadi,
teknik hias yang digunakan orang Iran adalah teknik inlay, yang oleh
orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama
sekali bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau
susulan. Sedangkan pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya
lapisan-lapisan dari dua (atau lebih) jenis logam yang berbeda nuansa
warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya
berwarna kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang
keperakan. Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari
satu macam logam, yakni baja melulu.
Memang
teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa dengan teknik
pembuatan baja Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga terbuat
dari paduan dua logam yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun
menampilkan gambaran semacam pamor pada permukaan bilahnya.
Tetapi
meskipun teknik pembuatannya hampir sama, niat dan tujuan pembuatan
kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan tujuan utama
membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris dibuat untuk
benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel -
Bhs. Jawa), diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah
setelah keris itu jadi.
Di
Indonesia, keris yang baik pada umumnya selain berpamor juga diberi
hiasan tambahan dari emas, perak, dan juga permata. Hiasan ini
dibuat
untuk memuliakan keris itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap
kerisnya. Pemberian emas dapat juga sebagai anugrah dari raja atas
penghargaan terhadap jasa Si Pemilik keris itu.
Hiasan
yang dinilai paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah keris
diberi kinatah atau tinatah. Permukaan bilah keris dipahat
dan diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar timbul
(relief) dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela
motif hiasan berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau
berlian.
Jika
hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau
lebih, disebut kinatah kamarogan.
Jenis
motif kinatah juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah, pada
bilah keris adalah kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah
gajah singa.
Hiasan
sinarasah emas seperti yang dilakukan orang Persia kuno, tergolong
lebih sederhana dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah, selain
digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan untuk
membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki pengaruh
gaib. Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll.
Ditinjau
dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua golongan
besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan
keindahan lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris
tayuhan, yang lebih mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri
atau esoteri).
Ditinjau
dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi atas 240 dapur
keris. Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat dibagi atas dua
golongan besar, yaitu keris yang lurus dan yang berkelok-kelok bilahnya.
Yang berkelok-kelok bilahnya itu disebut keris luk. Jumlah kelokan atau
luknya, mulai dari tiga sampai dengan 13. Keris yang luknya lebih dari
13, dianggap sebagai keris yang tidak normal (tetapi bukan berarti tidak
baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan motif hiasan pamor
pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor.
Keris
yang dibuat dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton, umumnya
diberi gelar Kyai, Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain gelar,
keris juga diberi nama. Gelar dan nama keris itu tercatat dan disimpan
dalam arsip keraton. Sedangkan keris milik keraton biasanya disimpan
dalam ruangan khususyang disebut Gedong Pusaka.
Keris-keris
yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita rakyat, yang
paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman Kerajaan
Singasari. Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas pesanan Ken
Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris terkenal
lainnya adalah Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka Keraton Majapahit
yang konon pernah dicuri oleh Adipati Blambangan. Ada lagi keris Kyai
Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang, sewaktu berperang melawan
Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan Pajang.
Sedangkan
di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal adalah
keris Si Ginje.
Cara
Memakai
Cara
mengenakan keris sewaktu seseorang memakai pakaian adat, berbeda antara
daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Selain itu dalam satu
daerah, kadang-kadang cara pemakaian itu juga berbeda antara lapisan
masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat sosialnya.
Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu akan dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini pada setiap daerah,
setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya.
Di
Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama
dengan kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian
dan penguburan.
Di
Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya
di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang bagian
belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan miring ke arah tangan
kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi keris itu.
Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang
ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan
kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada
gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah.
Di
Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain,
di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada
situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi.
Di
daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia,
Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis,
Goa, Makassar, Luwu, dll, keris biasanya dikenakan dengan cara
menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si
Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangan kanan.
Pada
sebagian suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris
adalah sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal. Barangkali seperti
melihat orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu.
Perjodohan
Sebagai
benda antik yang banyak penggemarnya, nilai sebilah keris selain
ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis bahan bakunya, juga oleh
umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka itu akan
makin dihargai. Namun penilaian terhadap mutu sebilah keris bukan hanya
berdasar umur, juga keutuhan, serta beberapa faktor lainnya.
Para
penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman umum dalam menilai sebuah
keris. Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh. Yang
dimaksudkan adalah, perkiraan asal pembuatan keris itu (tangguh),
relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada cacat, gripis, aus, atau
lepas salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada pula penggemar
keris yang menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan bahan
besinya, bahan pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem
pembuatannya dan wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris
itu.
Di
beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta tosan
aji, terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji, setelah
itu ada Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta dan Jakarta ada Pametri
Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian pada tahun 1990,
di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan Penggemar Tosan
Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris itu mengadakan
sarasehan dan diskusi untuk membahas budaya keris dari berbagai segi.
Jual
beli dalam dunia perkerisan biasanya diistilahkan dengan perjodohan.
Sedangkan harganya, pada umumnya disebut mas kawin. Bilamana sebilah
keris diberikan kepada seseorang tanpa mas kawin, Si Penerima keris itu
harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si Pemberi. Di
Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar atau
imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah
jemputan.
Istilah
perjodohan dalam dunia perkerisan timbul karena anggapan sebagian besar
pecinta keris bahwa tidak sembarang keris dapat cocok dengan seseorang.
Keris yang dianggap sesuai dan cocok bagi Si A, mungkin tidak cocok
dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan sesuai tuah atau isoterinya,
disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul karena anggapan bahwa
istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila digunakan untuk menyebut
adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika seseorang akan
menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus berkata:
"Boleh saya tahu berapa mas kawinnya?".
Bahkan,
dulu bilamana seseorang menginginkan keris milik orang lain, ia bukan
menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan ingin melamar
keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris bapak yang
ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."
Itu
semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa dulu, yakni nenek moyang
kita, sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat atas
tingginya kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.
Siraman
Pusaka
Khususnya
di Pulau Jawa, ada tradisi memandikan atau mencuci dan mewarangi keris
setahun sekali, pada saat-saat tertentu. Di Keraton Surakarta, baik
Keraton Kasunanan maupun Keraton Mangkunegaran tradisi mencuci keris itu
disebut Siraman Pusaka, diselenggarakan pada setiap bulan Sura menurut
kalender Jawa, atau Muharam menurut sebutan kalender Hijrah. Begitu pula
di Yogyakarta, baik Keraton Kasultanan maupun Keraton Pakualaman.
Tradisi
itu kemudian ditiru oleh orang-orang di luar keraton, baik di Jawa
Tengah, maupun di Jawa Timur. Mereka pun membersihkan kerisnya pada
bulan Sura setiap tahun. Tetapi di beberapa daerah lain, tradisi
membersihkan keris ini ada yang dilakukan pada bulan Maulud menurut
kalender Hijrah.
Sebenarnya,
tradisi tahunan semacam itu tidak selalu menguntungkan. Dengan mencuci,
membersihkan, dan mewarangi keris setiap tahun, bilah keris akan cepat
aus. Seharusnya, keris yang masih terawat baik tidak harus disirami
setiap tahun, karena air jeruk yang digunakan sebagai pembersih pada
hakekatnya juga melarutkan sebagian besi di permukaan keris itu. Sebilah
keris yang terawat dengan baik, cukup dibersihkan dan diwarangi tiga
atau empat tahun sekali.
Asal
Usul Keris
Keris
dan tosan aji serta senjata
tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah
nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun
pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu
itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat
menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu
bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang,
para ahli baru dapat meraba-raba.
Gambar timbul (relief) paling kuno yang
memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di
Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat bentuk
tulisannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar tahun 500
Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah
bahasa Sanskerta.
Prasasti itu menyebutkan tentang adanya
sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada
beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau
pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu
wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga
teratai.
Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah
lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian, sedangkan bunga
teratai lambang harmoni dengan alam.
Beberapa Teori
Sudah banyak ahli kebudayaan yang
membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji
lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah
perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor
atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain
pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa.
Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada
tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan
15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang
banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan
Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau
senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya,
lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana.
Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang
mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga
menjadi senjata genggam.
Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS.
Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan
perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang
hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan
bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa.
Katanya, senjata tikam dari kebudayaan
perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil
yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik,
bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di
Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak
pinggang.
Perkembangan bentuk dasar senjata tikam
itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua
itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan
terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya
agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.
Dalam kaitannya dengan bentuk keris di
Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang
berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini
serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir
lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder,
jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul,
patra ageng, umpak-umpak, dlsb.
Dalam sejarah budaya kita, patung atau
arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan
sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia
dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan
kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi
atau janin dalam kandungan ibunya.
Ada sebgian ahli bangsa Barat yang
tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau
15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang
jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS
STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan,
tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa
waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu,
keris menempati kedudukan yang istimewa.
Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit
Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan
di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan
(dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di
pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu
berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku
Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu
tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris.
Sementara itu istilah ‘keris’ sudah
dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang
ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi,
menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah
bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek
punukan, wesi penghatap.
Kres yang dimaksudkan pada kedua
prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek
punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula.
Pada lukisan gambar timbul (relief)
Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar
beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang
kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada
reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di
Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga,
menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris.
Sementara itu edisi pertama dan kedua
yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk
Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan
sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk
keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi.
Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda.
Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam
Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan,
keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang,
bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi
nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor
Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu
itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang
hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.
Mengenai keris ini, banyak yang
menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang
stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu
diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi
Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.
Ada pula yang menduga, budaya keris
sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan
atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu
dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa
Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada
Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or
gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas).
Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe
keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan
angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di
Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat
gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi
kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota
Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang
menyandang keris pendek lurus.
Gambar yang jelas mengenai keris
dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari,
pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang
di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India,
karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung
itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Pada zaman-zaman berikutnya, makin
banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada
dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun
tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa
(tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya
digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di
Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu
tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.
Cerita mengenai keris yang lebih jelas
dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam
laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan
pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.
Ketika itu ia datang bersama rombongan
Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di
Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu
memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga
tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau
berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris.
Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These
daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best
steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof
human or devil faces and finished carefully.
Laporan ini membuktikan bahwa pada
zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor
dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata
ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat
dari emas, cula badak, atau gading.
Tak pelak lagi, tentunya yang
dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang
ini.
Gambar timbul mengenai cara pembuatan
keris, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu,
terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi.
Cara pembuatan keris yang digambarkan
di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman
sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya
berupa keris, tombak, kudi, dll.
Teori Itu Tak Selalu Benar
Bagi sebagian besar pecinta keris dan
tosan aji di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, teori-teori yang dikemukakan
oleh para ahli Barat itu banyak sekali mengandung kelemahan, dan terkadang
bahkan tidak logis.
Satu hal yang tidak ‘tertangkap’
dalam alam pikir para ahli Barat, adalah bahwa keris dibuat orang (para
empu) sama sekali bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat pembunuh.
Banyak buku yang ditulis orang Barat menyebut keris sebagai salah satu
senjata tikam atau stabbing weapons. Buku-buku Barat pada umumnya
memberi kesan bahwa keris serupa atau sama saja dengan belati atau ponyard (poignard).
Padahal ada perbedaan sangat besar dan
mendasar di antara mereka. Belati, sangkur, atau poyard memang sengaja
dibuat untuk menusuk lawan, melukai atau membunuhnya, sedangkan keris tidak.
Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka atau sipat kandel,
yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan dan kesejahteraan
pemiliknya.
Kekeliruan lain yang terasa agak
menyakitkan hati, adalah penyebutan keris-keris sajen sebagai keris
Majapahit oleh sebagian buku yang ditulis oleh orang Barat. Bagi orang
Indonesia, terutama suku bangsa Jawa, keris Majapahit adalah salah satu
produk budaya yang indah dan relatif sempurna -- yang sama sekali tidak
dapat disamakan dengan keris sajen yang dibuat amat sangat sederhana.
Dari uraian ringkas di atas, cukup
beralasan bagi kita kalau memperkirakan bahwa keris sudah mulai dibuat di
Indonesia, Di Pulau Jawa, pada abad ke-5 atau 6. Tentu saja dalam bentuk
yang masih sederhana.
Keris mencapai bentuknya seperti yang
kita kenal sekarang, diperkirakan baru pada sekitar abad ke-12 atau 13.
Budaya keris mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Majapahit, seperti yang
telah dilaporkan oleh Ma Huan. Pada kala itulah budaya keris menyebar sampai
ke Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunei Darussalam, Filipina Selatan,
Kamboja atau Champa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand
bagian selatan.
Budaya keris terkadang disalah
mengertikan oleh sebagian peneliti Barat, sehingga hasil tulisan mereka
terkadang tidak sesuai dengan alam budaya bangsa Indonesia.
Kontribusi
SUWARSONO LUMINTU, disunting Bambang
Harsrinuksmo.
Aspek Eksoteri dan
Esoteri
Ilmu perkerisan terbagi menjadi dua aspek bahasan,
yakni mengenai eksoteri dan esoterinya. Sebagian orang menganggap kedua aspek
itu sama pentingnya, sebagian lagi menilai yang penting eksoterinya, dan yang
lain menganggap sebaliknya. Apapun anggapan dan penilaian Anda, itu akan
mencerminkan sikap pribagi Anda pada budaya keris.
Lebih lanjut mengenai eksoteri
keris.
Lebih lanjut mengenai esoteri keris.
|