Kompas, 15 Februari 2004

Hal 15.

Rubrik: Pustakaloka

Sebuah Ensiklopedi, Sebuah Persembahan, Sebuah Kehidupan

 

SEBUAH kegigihan dan kesungguhan yang patut diacungi dua jempol sekaligus, itulah kiranya pujian yang pantas bagi terbitnya Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo. Sebuah ensiklopedia dengan tebal lebih dari 600 halaman, memuat sekitar 2.000 entri, disusun relatif seorang diri, dan menguras hampir dua dasawarsa kehidupan penulisnya, sungguh bukan pekerjaan iseng.

DI zaman sekarang, sebuah ensiklopedia umumnya disusun oleh sebuah dewan berpuluh pakar. Ensiklopedia serupa pada umumnya juga sudah ada sehingga masalah penelusuran entri menjadi lebih mudah. Sementara, karya ini adalah ensiklopedia keris pertama yang pernah dibuat (edisi perluasan). Penulisnya dapat dikatakan betul-betul seorang diri menelusuri dan mengumpulkan entri serta menulis dari coretan kertasnya sendiri, secarik demi secarik. Dalam pengertian itulah, barangkali ia mengingatkan kita akan Marcus Porcius Cato (234-149 SM), sang penulis enkyklopaideia pertama di era Yunani kuno.

Signifikansi penerbitan ensiklopedia ini dipersangat oleh kenyataan bahwa banyak pihak yang sejauh ini masih beranggapan bahwa pengetahuan seputar keris bersifat sinengker (angker) sehingga alih-alih menuliskannya, bahkan menuturkannya saja orang tidak berani sembarangan. Akibatnya, pengetahuan keris lalu lebih menjadi tradisi lisan dibanding dengan tertulis, dan perlahan-lahan sedang melangkah menuju tubir senja.

DARI titik tolak pemahaman seperti itu, lalu juga sangat bisa dipahami jika karya ini masih dihinggapi banyak kekurangan dan kelemahan. Catatan pertama bersangkutan dengan masalah sumber entri dan penulisan. Keterbatasan perhatian membuat sumber-sumber penulisan juga menjadi terbatas sehingga berakibat pada keterceceran sejumlah entri yang sebetulnya sangat penting ataupun membuat dimensi pendalaman teks terkadang terasa kurang.

Sebagai contoh, entri Mahesa(pa)nular sama sekali tak tertera, padahal keris ini mempunyai konteks yang sangat signifikan dalam sejarah Kerajaan Mataram. Dalam Babad Keraton dikisahkan Amangkurat II meminta kopi model keris ini (beserta tombak KKA Pleret), namun ketika Pangeran Puger (kelak Paku Buwana I) justru hendak memberikan aslinya, Amangkurat II tidak berani mengambilnya. Makna mistis-simbolisnya ialah sebuah bukti bahwa Amangkurat II tidak dalam kapasitas menyandang kedua pusaka yang mempunyai karisma takhta keraton itu (MC Ricklefs, War, Culture and Economy in Java 1677-1726). Seandainya peristiwa ini memang benar adanya, pastilah ditulis dalam Babad Keraton secara pascaperistiwa, jadi sudah di era Pakubuwanan, sehingga seperti semua sejarah pesanan patut dicurigai sekadar pembenaran pengambilalihan takhta keraton oleh Paku Buwana I dari Amangkurat III (Sunan Mas), dengan alasan ia lebih mempunyai legitimasi supranatural dibanding dengan Amangkurat II (Amral). Kira-kira mirip legitimasi pada penulisan sejarah Serangan Fajar, Supersemar, atau kitab Sejarah Nasional kita yang sempat heboh dipergunjingkan itu.

 Betapapun, dalam konteks pembahasan kita, cukup jelas kiranya signifikansi Mahesapanular sebagai entri. Keris Si Turunsih, yang diberikan Amangkurat IV (Sunan Prabu) ke Pangeran Purbaya dengan makna simbolis lain, turun asih, juga tak tercatat dalam ensiklopedia ini.

Pada pendalaman teks, misalnya, perkataan "milik Pangeran Puger pada zaman Kerajaan Mataram Kartasura" pada keterangan entri KK Balabar bisa menyesatkan. Catatan sejarah memperlihatkan, keris itu mempunyai catatan sejarah jauh lebih tua. Keris ini bukan saja pernah dipakai Amangkurat II waktu membunuh Trunojoyo (Groneman, Garebeg), melainkan juga semacam pertanda takhta mahkota yang diberikan Amangkurat II kepada Amangkurat III menjelang kematiannya. Keris ini sempat terbawa Amangkurat III dalam pembuangannya ke Sri Lanka sehingga tercatat sampai tiga kali Pakubuwana I memintanya kembali lewat Belanda, dan menjadi hambatan psikologis bagi hubungan Belanda dengan rezim baru Mataram tersebut (MC Ricklefs, The Missing Pusakas of Kartasura 1705-1735, dalam Bahasa-Sastra-Budaya: Ratna Manikam Persembahan kepada Prof Dr PJ Zoetmulder). Selain itu, kalau catatan Ricklefs benar bahwa KK Balabar baru dikembalikan pada tahun 1737 setelah Amangkurat III meninggal, apakah benar Pangeran Puger (PB I) yang bertakhta hanya sampai tahun 1719 itu sempat memilikinya?

Catatan serupa mungkin dapat kita berikan pada perlunya upaya pencocokan pembabakan dalam perkerisan dengan pembabakan sejarah "baku"-setidaknya yang "sementara" ini disepakati para pakar. Catatan ini khususnya sangat perlu bagi era sebelum Singasari, yang terkesan tumpang-tindih dan banyak duplikatif.

Dalam pendekatan penulisan, karya ini bukan saja kerap tidak konsisten dengan sebuah format penulisan yang seragam, melainkan juga terkadang terlihat masih rancu antara format penulisan buku dengan penulisan ensiklopedia, terutama pada entri-entri bermuatan besar (pokok). Sebagai contoh, dalam entri "besi", di samping memberi keterangan detail mengenai besi dalam perkerisan juga menerangkan semua (masing-masing) jenis besi dalam perkerisan, sekaligus dengan keterangan lengkapnya seperti pada format buku. Akibatnya, ketika masing-masing jenis besi tersebut menjadi entri tersendiri dan harus diterangkan mendetail, terjadi tumpang-tindih sehingga mubazir.

Sementara itu, pada entri "tangguh" (tipologi) hal yang sama terjadi, tetapi referensi silang pada entri-entri derivatifnya (jenis-jenisnya) tidak konsisten: ada yang tertera, ada yang tidak tertera. Sebagai contoh, tangguh Demak atau Mataram ada, tetapi tangguh Majapahit tidak ada. Padahal, kita tahu tangguh Majapahit merupakan tangguh utama karena era ini dianggap masa keemasan perkerisan. Sudah seharusnyalah jika sebuah entri sudah dicantumkan, maka semua entri sekelas dalam rumpun tersebut sebaiknya juga dicantumkan.

Mungkin di antara tiga model penulisan entri besar beserta referensi silangnya, yang paling ideal adalah pada penulisan "dapur" (sosok). Pada entri induknya, makna dapur diterangkan detail, namun jenis-jenisnya hanya disebut saja. Jenis-jenis dapur tersebut lalu menjadi entri tersendiri dengan penjelasan mendetail, sementara pada entri induknya hanya diberi catatan referensi silang.

Model ini boleh dikatakan pilihan ideal dan paling sesuai dengan format ensiklopedia, bukan saja karena tidak tumpang-tindih, tetapi terutama juga karena user friendly. Dalam pengandaian, orang akan lebih mungkin menemui kesulitan pada entri detail tertentu dibanding dengan entri induknya. Sebagai contoh, pengguna mungkin akan lebih mencari arti "Malela-Kendaga" dibanding dengan arti "besi"; lebih mencari "Nagasasra" atau "Sabuk- inten" dibanding mencari arti "dapur" yang lebih elementer.

Konsistensi itu juga terlihat menjadi persoalan pada masalah proporsionalitas penulisan. Ada yang demikian panjang (legenda Baru klinting), ada yang sama sekali tidak ada (misalnya, legenda Joko Tole), ada yang pendek sekali (legenda Setan Kober). Padahal, ketiganya dapat dikatakan sebagai setara, dalam arti sama-sama legenda yang akrab di telinga kalangan perkerisan sehari-hari dan hanya berbeda kurun dan daerah penyebarannya saja.

Selain itu, ada beberapa catatan kecil. Misalnya, ada entri-entri yang perlu etimologi karena kata yang sama berbeda arti pada beberapa "wilayah" perkerisan maupun pada penerapannya pada rumpun-rumpun entri berbeda. Lalu, ada catatan yang tidak berbunyi apa pun, seperti harga-harga kayu dan gading (terlebih lagi di tahun 1994?); maupun referensi silang, yang bahkan bertentangan dengan pedoman "menggunakan" di muka sehingga terasa mubazir.

Sebaliknya, banyaknya catatan tersebut justru memperlihatkan betapa pelik dan repotnya membangun ensiklopedia dari nol mengenai pengetahuan yang jika tak segera dilestarikan sudah berada di tubir senja ini. Semua catatan ini justru memperlihatkan betapa Bambang Harsrinuksmo telah berupaya demikian serius dan gigih untuk mewujudkan proyek raksasanya ini. Sebuah proyek raksasa, yang bersama dengan enam volume ensiklopedia wayang dalam 3.000 halaman, menguras hampir dua dasawarsa kehidupannya dalam ketekunan yang sepi di tengah kepungan godaan dunia luar yang ingar dan gemerlap. Sungguh bukan pekerjaan main-main, tetapi sebuah persembahan; sebuah kehidupan yang indah!

Sungguh sayang, Beliau segera pergi seselesainya proyek raksasa ini. Entah masih ada lagikah yang mampu dan mau membaktikan segenap kehidupannya untuk sebuah pemahaman budaya bersama seperti ini, di zaman yang telanjur melihat kehidupan sekadar barang rutin dan remeh-temeh ini. Selamat jalan Pak Bambang...

 

Budiarto Danujaya Pencinta keris, Penikmat Sastra, dan Filsafat

 

Hosted by www.Geocities.ws

1