HISTORY

 

 

          

Kerajaan Sriwijaya dan Melayu
• Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan kuno (tua) yang megah dan jaya. Kerajaan ini dikenal hamper oleh setiap bangsa yang berada di luar Indonesia karena letaknya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai. Dari tepian sungai Musi di Sumatra Selatan, pengaruh Sriwijaya terus meluas hingga mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa Bagian Barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasainya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritime yang besar di zamannya. Kemudian ada beberapa berita asing yang berkaitan tentang Kerajaan Sriwijaya, diantaranya :
• Berita Arab
Di pusat kerajaan Sriwijaya ditemukan perkampungan–perkampungan orang Arab sebagai tempat tiggal sementara. Juga keberadaan Sriwijaya diketahui dari sebutan orang-orang Arab trhadap Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau Sribusa.

• Berita India
Raja Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola.
• Berita Cina
Pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya telah menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Cina, yang sering singgah di Sriwijaya untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke India maupun ke Romawi.

Pembentukan dan Pertumbuhan
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Kehidupan Politik
1. Raja Dapuntang Hiang ( Tahun 671-685)
Penaklukan Kerajaan Melayu dengan menduduki wilayah Minangtamwan. Prasasti Kedukan Bukit(683), Talang tuo (684) kota kapur, karang bahi dan palas pasemah
2. 718 masehi sri indrawarman
3. 775 m – 787 Dharnindra menguasai Sriwijaya
4. 792-835 M Samaratungga memerintah Sriwijaya
5. 860 M Balaputradewa Naik Tahta
Pada masa pemerintahanya, sriwijaya mengalami kejayaan, dan kerajaan Sriwijaya berkembang pesat. Dia meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Disamping itu juga menjalin hubungan dengan kerajaan- kerajaan di luar Indonesia, bahkan pada pemerintahanya kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
6. Tahun 990.
7. Tahun 1006
8. Tahun 1003
9. Tahun 1008
Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok. Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 diduga masuk Islam.
Budaya
Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak Chaiya dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya” atau “Langgam/Gaya Sriwijaya” yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

Kerajaan Melayu
Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國)merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya pada tahun 682.
Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching. yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang) dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.
Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.
Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina.
Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.