Perang Urat Saraf yang Mematikan

Maruli Tobing
(Kompas, 9 Februari, 2001)

 

MENJELANG bulan Oktober 1965, mendung menyelimuti Jakarta. Di sana-sini orang berbisik, mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tidak satu pun bisa menjawabnya, karena memang tidak satu pun tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Hanya firasat sosial yang bergetar mengisyaratkan kita akan memasuki tahap genting.

Gejolak pertarungan politik yang selama ini mengambil lahan subur di atas primordialisme, aliran, dan ideologi, tampaknya akan mencapai klimaks. Tidak seorang pun bisa menjawab apakah situasi itu akan menjebol tembok segregasi sosial yang lahir dari proses politik bertiraikan saling curiga itu.

Republik Indonesia tidak beda dengan manusia uzur. Sejak dwi tunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, nyaris tidak ada hari tanpa konflik terbuka. Heroisme melawan kolonial di masa silam tetap dilanggengkan dalam bentuk kekerasan yang diwakili para "jawara" politik.

Puncaknya, badai ekonomi dahsyat. Inflasi meroket sampai 600 persen menjelang pertengahan tahun 1965. Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, menjadi tumpuan harapan. Tetapi, dalam situasi demikian, ia pun tidak beda dengan nahkoda kapal yang bocor dan oleng di tengah hantaman angin puting-beliung di samudera luas. Sementara penumpang baku hantam, tanpa mempedulikan situasi gawat.

Kondisi psikologis demikian mewarnai Jakarta sejak pertengahan tahun 1965. Sulit dibedakan lagi antara kenyataan dan isu. "Ibu Pertiwi sedang hamil tua" begitu setiap hari kalimat yang diucapkan penyiar Suara Indonesia Bebas pada akhir siarannya, dan kemudian ditutup dengan kata, "Berontak!"

Kecuali agen CIA, tidak ada yang tahu persis lokasi radio yang frekuensinya begitu kuat hingga dapat ditangkap melalui gelombang pendek di seluruh Indonesia. Banyak yang menduga posisi pemancar tersebut di Malaysia atau Filipina Selatan.

Namun, Prof Roland G Simbulan dari University of the Philippines, dalam tulisannya mengenai peran rahasia CIA di Filipina, mengungkapkan hal lain.

Ia mengatakan, tahun 1965 pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang pendek, telah diterbangkan menggunakan pesawat pengangkut US Air Force C-130 dari pangkalan angkatan udara Clark, Filipina Tengah, menuju Jakarta. Radio ini ditempatkan di markas Jenderal Soeharto. Pengiriman radio itu atas perintah William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.

***

TERDAPAT ratusan tulisan dan komentar mengenai peristiwa sekitar bulan Oktober 1965 oleh para ilmuwan, pengamat, dan aktivis HAM di mancanegara. Namun, yang menarik adalah apa yang dikemukakan Sundhaussen dalam bukunya The Road to Power: Indonesian Military Politics, bahwa untuk memahami peristiwa G30S, pertama-tama harus mengamati isu yang berkembang saat itu.

Mengikuti alur pikir demikian, Dr Peter Dale Scott dari University of California, Berkeley, secara jelas menggambarkan trik disinformasi CIA yang begitu canggih hingga menimbulkan ketegangan luar biasa, khususnya antara PKI dengan kelompok Jenderal Nasution. Sebagian disinformasi diproduksi dalam pamflet gelap, yang disebarkan melalui jaringannya yang dulu terlibat dalam pemberontakan bersenjata. Pamflet ini, meminjam istilah Peter Scott, merekayasa paranoid.

Salah satu pamflet pada Agustus 1965 berbunyi antara lain, "PKI sudah siap tempur. Kelompok Jenderal Nasution berharap PKI lebih dulu menarik pelatuk. Namun, PKI tidak akan melakukan hal ini. PKI tidak akan membiarkan dirinya terprovokasi seperti dalam Peristiwa Madiun. Sekarang hanya ada dua pilihan: PKI atau kelompok Nasution. Tidak ada alternatif di luar itu.

Ralph McGehee, veteran CIA yang pernah bekerja selama 25 tahun (1952-1977) sebagai staf Counterintelligence CIA seksi Komunisme Internasional, menyebut proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA. Melalui tulisannya The Indonesian Massacres and CIA, yang sebagian disensor CIA karena menggunakan data rahasia negara yang belum boleh dipublikasikan kepada publik, ia menyebut dokumen palsu itu telah menggiring massa melakukan kekerasan. Sebab, demikian tambahnya, temuan dokumen itu akan disusul berita bohong mengenai ditemukannya kuburan massal korban kekejaman komunis.

Situasi Jakarta pada September 1965 amat sangat tegang. Di kalangan PKI beredar "dokumen" rencana jahat Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965, menyusul makin parahnya kondisi kesehatan Bung Karno. Jika kudeta ini berhasil, Angkatan Darat akan melenyapkan semua kader PKI. Sedang di kalangan militer menyebar dokumen rencana PKI untuk mengambil alih kekuasaan dan menghabisi para jenderal.

"Dokumen" ini muncul tidak lama setelah beredarnya isu memburuknya kesehatan Bung Karno. Isu ini menyebabkan lenyapnya sandang-pangan di pasaran.

Akan halnya isu mengenai memburuknya kesehatan Bung Karno, disebut-sebut bersumber dari hasil diagnosa tim dokter RRC yang memeriksa Bung Karno, yang laporannya dikirim ke Beijing. Walaupun nantinya tim dokter RRC kaget karena tidak pernah membuat laporan demikian, tetapi informasi palsu ini telanjur menimbulkan guncangan politik dalam masyarakat.

Menurut Ralph McGehee dan sejumlah mantan staf CIA lainnya, pola disinformasi merupakan prosedur baku dalam operasi rahasia CIA. Tujuannya mendiskreditkan pemimpin atau kelompok yang dianggap menghalangi kepentingan AS.

Kemudian melalui Divisi Pelayanan Teknis CIA, yang mempunyai jaringan atas ratusan media massa di AS dan di berbagai negara di dunia, informasi ini disajikan kepada publik sebagai suatu "temuan besar". Inilah juga yang dilakukan CIA untuk mematangkan situasi menjatuhkan Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Soekarno (1965-1966), Allende di Cile (1973), Juan Torres di Bolivia (1971), Arosemana di Dominika (1963), Joao Goulart di Brasil (1964), dan sejumlah kepala pemerintahan lainnya.

Pemalsuan dokumen itu begitu canggihnya, hingga sulit mengatakan itu palsu. Terbukti, misalnya, Subandrio sampai perlu melaporkan dokumen Dewan Jenderal itu sepekan sebelum meletusnya G30S. Bahkan sejumlah perwira yang loyal kepada Bung Karno terpancing bertindak. Inilah memang yang dihendaki pembuat dokumen palsu itu.

Perwira yang dipimpin Letkol Untung berencana menghadapkan para jenderal yang namanya tercantum dalam daftar Dewan Jenderal untuk menghadap Bung Karno. Mantan Panglima Angkatan Udara Omar Dani, yang baru saja menerbitkan biografinya, mengaku mendengar rencana ini dari Mayor Heru perwira intelnya. Sementara Kolonel Latief, empat jam sebelum meletusnya G30S, juga melaporkan adanya gerakan militer kepada Jenderal Soeharto.

Sebaliknya, kegusaran pimpinan TNI AD yang antikomunis makin sulit dibendung setelah pada awal September muncul berita di salah satu surat kabar Malaysia yang mengutip sebuah koran di Bangkok, bahwa sebuah kapal mengangkut senjata dari RRC sedang siap-siap berlayar menuju Indonesia. Diduga senjata tersebut untuk memenuhi permintaan PKI, yang selama ini menuntut Pemerintah RI mempersenjatai kaum buruh dan tani sebagai Angkatan V.

Berita dari luar negeri selalu dianggap kredibilitasnya tinggi, tetapi seandainya pun hendak dilakukan pengecekan, jelas bukan hal mudah. Surat kabar Thailand yang dikutip di Malaysia itu juga mengambil sumber "dipercaya" di Hongkong, yang hingga saat ini tidak diketahui siapa itu.

Dalam situasi psikologis demikian, sebuah pemantik kecil akan membuka katup banjir bandang amok. Mereka yang paham permainan perang urat saraf, sekarang tinggal menggelindingkan bola ke arah mana. Pemain akan berebut mengejarnya.

Para perwira pimpinan Letkol Untung makin gerah pada akhir September, mengingat rencana Dewan Jenderal melakukan kudeta 5 Oktober. Kasak-kusuk, sas-sus, dan ditemukannya kembali "dokumen" rahasia, membuat mereka terjerumus bertindak lebih dulu. Yang mengagetkan, seperti kata Omar Dani, para jenderal itu bukannya dibawa menghadap Bung Karno, tetapi tewas dibunuh.

Syam Kamaruzaman, tokoh misterius yang menjadi penghubung DN Aidit dengan militer, disebut-sebut memprovokasi Untung dan kawan-kawan, dengan memberi instruksi menembak jenderal-jenderal kontrarevolusi itu jika memang diperlukan demikian.

Sejumlah tulisan mengenai sekitar G30S menyebut Syam tadinya intel Kodam Jaya. Ia kenal baik dengan Soeharto pada waktu di Semarang. Ketika itu Syam menjadi kader salah satu parpol yang kelak dibekukan Bung Karno. Letkol Untung, Kolonel Latief, Brigjen Supardjo, Kolonel Suherman juga anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro.

Lebih menarik lagi, Brigjen Supardjo dan Kolonel Suherman, Asisten Intel Kodam Diponegoro, belum lama kembali dari pendidikan militer di AS. Ini artinya, seperti tulis Peter Scott, ia telah melewati prosedur seleksi ketat intelijen AS. Sedang Banteng Raiders, Batalyon 454 dan 530, yang selama ini disebut-sebut menjadi tulang punggung G30S, didatangkan dari Jateng atas perintah Jenderal Soeharto melalui radiogram. Dua batalyon Raiders ini pernah mendapat bantuan pelatihan dari Pentagon.

***

TANPA bermaksud mengungkap siapa yang bersalah dalam peristiwa berdarah tersebut, menjadi sangat logis jika sejumlah pimpinan Angkatan Darat yang antikomunis dan masyarakat luas lainnya kemudian bereaksi keras setelah terjadinya G30S.

Ditambah "bukti" pembantaian tujuh pahlawan revolusi secara "mengerikan", menjadi petunjuk akhir bahwa "dokumen" yang ditemukan selama ini otentik.

Menurut McGehee, pada 23 Oktober 1965 lagi-lagi "ditemukan" dokumen rahasia PKI. Temuan besar ini dimuat di sebuah surat kabar Jakarta yang masuk jaringan CIA. Isi berita tersebut antara lain, "ditemukan jutaan kopi teks proklamasi Gestapu....Teks... sangat jelas dicetak di RRC. Selain itu ditemukan pula topi serta perlengkapan militer dalam jumlah besar. Ini merupakan bukti yang tidak terbantah mengenai keterlibatan RRC... Sedang senjata dikirim dengan kapal laut dengan berkedok kekebalan diplomatik..."

Tanggal 30 Oktober 1965, masih menurut McGehee, Jenderal Soeharto, dalam pertemuan khusus dengan para jenderal dan perwira menengah lainnya, dengan nada gusar mengatakan, penemuan dokumen tersebut menunjukkan PKI berada di balik peristiwa G30S. Ia kemudian memerintahkan penumpasan komunis hingga ke akar-akarnya (communists be completely uprooted).

Sejak itulah militer mulai melancarkan kampanye berdarah untuk membasmi hingga ke akar-akarnya segala yang berkaitan dengan komunis. Elemen-elemen masyarakat yang terjangkit histeria sosial digerakkan membentuk pagar betis. Banjir darah terjadi di mana-mana. Jutaan manusia kehilangan orangtua, ibu, kakak atau adik.

Kedutaan RRC juga tidak luput dari amuk massa. Hubungan negara Tirai Bambu dengan RI yang tadinya begitu mesra, berubah menjadi musuh mengerikan. Hubungan diplomatik diputus. Suatu hal yang sangat didambakan AS untuk membendung pengaruh RRC.

Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, secara mengejutkan proses pembunuhan berjalan sangat sistematis. Aksi sepihak yang dilancarkan BTI (Barisan Tani Indonesia) merebut lahan "tuan tanah" pada masa sebelumnya, sekarang dibalas tanpa ampun.

Kombinasi panik, dendam, dan ketakutan yang diekspresikan dalam amuk itu makin gawat setelah setiap hari dikumandangkan melalui RRI: "dibunuh atau membunuh". Para pejabat militer di daerah meneruskannya dengan mengulangi kalimat itu setiap saat. Sedang pemancar gelap Suara Indonesia Bebas yang lokasinya entah di mana, memberitakan aksi pembalasan yang dilakukan PKI di sejumlah daerah, pertempuran sengit berlangsung di kompleks Merapi-Merbabu, CC PKI membangun basis gerilya di Blitar Selatan, dan lain sebagainya. Berita fiktif ini membakar kepanikan di banyak tempat.

Di luar Pulau Jawa, banjir darah paling dahsyat terjadi di Sumatera Utara. Korban terbesar buruh perkebunan. Di Sumut saja sedikitnya 100.000 korban tewas.

Di Tapanuli Utara, Selatan, dan Simalungun, tatanan adat terjungkal setelah milisi Komando Aksi Penumpasan G30S mulai bergerak menetralisir elemen-elemen komunis. Mereka tidak peduli apakah calon korban adalah paman, satu marga atau keluarga istrinya. Padahal hubungan yang dibentuk hirarki adat itu adalah simpul keutuhan sosial.

Sama seperti di Jakarta, sebelum terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, di kota-kota kecil seperti di Sumatera Utara beredar pula "dokumen" rahasia rencana jahat PKI.

***

KETIKA mayat-mayat mulai bergelimpangan, Kedubes AS di Jakarta memberi daftar nama 5.000 kader PKI di berbagai organisasi kepada Jenderal Soeharto. Berbekal dengan ini, Kostrad dan RPKAD bergerak cepat merontokkan organisasi komunis tersebut, sebelum mereka sempat berbuat sesuatu.

Publik AS mengetahui peristiwa itu setelah Kathy Kadane mengumpulkan informasi, kemudian menulisnya dalam Herald Journal (19/5/1990). Esok harinya San Francisco Examiner menurunkannya di halaman depan, kemudian disusul Washington Post hari berikutnya.

Markas CIA, melalui jubirnya Mark Mansfield, membantah keterlibatan badan intelijen ini dalam pembunuhan massal. "Tuduhan itu jelas tidak mempunyai substansi hanya karena memberi daftar nama semata-mata," ujarnya. Namun, bukti yang dikemukakan Kathy Kadane membuat khalayak AS kali ini tidak percaya pada kebohongan CIA.

Laporan Mansfield didasarkan pada pengakuan mantan Dubes AS di Jakarta, Marshall Green. Tetapi, demikian tambahnya, Green tidak begitu banyak tahu detail soal ini.

"Daftar nama kader PKI itu sangat membantu Angkatan Darat," ujar Robert J Martens, mantan staf seksi politik di Kedubes AS di Jakarta, yang ditugaskan menyusunnya. Daftar ini kemudian disampaikan Edward Master, Kepala Seksi Politik Kedubes AS, kepada Adam Malik untuk diteruskan kepada Jenderal Soeharto.

Disebutkan, setiap saat Kedubes AS selalu mendapat laporan dari markas Jenderal Soeharto mengenai "realisasi" daftar itu. "Amat sangat banyak yang berhasil ditangkap waktu itu," ujar Josepf Lazarsky, Kepala Perwakilan Stasiun CIA di Jakarta, bangga. Mengenai nasib mereka ini, Lazarsky berpegang pada ucapan Soeharto, "Jika ditahan terus siapa yang akan memberi makannya."

AS melalui CIA sesungguhnya tidak hanya terlibat dalam memasok nama-nama kader komunis. Dalam laporan Dubes Marshall Green ke Washington awal November tahun itu, dikemukakan adanya permintaan senjata dari jenderal Angkatan Darat untuk digunakan kelompok milisi di Jawa Tengah dan Jawa Timur menumpas PKI.

Hal itu juga dibenarkan Kathy Kadane dalam suratnya tujuh tahun kemudian setelah tulisannya yang menggegerkan itu. Dalam surat untuk editor New York Review of Books (10/4/ 1997) ia mengatakan, menit-menit Jenderal Soeharto memutuskan menumpas komunis, Pentagon mengapalkan mobil-mobil jip, lusinan radio lapangan, dan persenjataan. Salah satu radio dengan frekuensi tinggi dan yang paling canggih pada masa itu, dipasang di Kostrad, markas Soeharto. Antenanya, kata Kathy Kadane, kelihatan dipajang di depan. Melalui radio ini pula, intelijen AS tahu semua perkembangan, karena komunikasinya disadap.

Namun, AS bukanlah pemain tunggal. Direktorat kontra intelijen luar negeri Inggris, MI-6, dan Australia, juga terlibat dalam perang propaganda menjatuhkan Soekarno. Dalam bukunya Britain's: Secret Propaganda War 1948-77, Paul Lashmar dan James Oliver mengatakan, enam bulan sebelum pecahnya G30S, MI-6 mengirim Norman Reddaway ke Jakarta atas permintaan khusus Dubes Inggris untuk RI, Sir Andrew Gilchrist. Operasi rahasia yang selama ini dilakukan untuk menggerogoti Presiden Soekarno, dinilai kurang manjur.

Pemerintah Inggris sendiri sangat berkepentingan dengan jatuhnya Bung Karno untuk menghentikan kampanye konfrontasi ganyang Malaysia. Dalam hal ini MI-6 bergandengan dengan CIA.

Yang menarik adalah disebutnya nama Ali Murtopo, dalam hubungan rahasia stasiun MI-6 di Singapura. Ketika konfrontasi ganyang Malaysia sedang berlangsung, Ali Murtopo dikabarkan pernah ke Singapura. Informasi ini bocor sehingga menjadi bahan pembicaraan.

Persoalan sekitar G30S tidaklah sesederhana apa yang dibolehkan Orde Baru diketahui masyarakat selama ini. Jaringan intelijen asing yang sangat kompleks dan penuh liku, membuat mustahil memahaminya.

Sama halnya seperti kita tidak akan pernah tahu peran apa yang dimainkan Agustus C "Gus" Long, bos perusahaan minyak Texaco, korporasi raksasa dalam skala dunia. Perusahaan ini, berpatungan dengan Socal (Standard Oil of California), menguasai saham Caltex. Agustus 1965, Long yang juga Dewan Direktur Freeport ditunjuk sebagai anggota dewan penasihat intelijen Presiden AS untuk urusan luar negeri.

Sebelum jatuhnya Presiden Soekarno, Freeport mencoba lobi khusus melalui Presiden Kennedy dan adiknya, Robert Kennedy, agar bisa memperoleh kontrak penambangan. Bung Karno tidak bergeming, sehingga menimbulkan frustrasi eksekutif Freeport. Dalam tulisannya JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur, Lisa Pease mengatakan, dalam posisi sebagai penasihat intelijen Presiden AS untuk urusan luar negeri, Long banyak mengetahui ihwal jatuhnya Bung Karno. Maka tidak heran begitu UU PMA disahkan tahun 1967, yang pertama kali disetujui Soeharto adalah kontrak Freeport.

Selain Long, pada periode 1960-an sampai 1970-an masih ada nama "sakti" lainnya dalam jajaran dewan direktur, yaitu Robert Lovett. Mantan Asisten Menteri Peperangan (PD II) dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan ini, dijuluki sebagai "arsitek perang dingin". Periode setelah itu muncul nama-nama baru seperti mantan Menlu Henry Kissinger, menyusul lagi James Woolsey, mantan Direktur CIA.

Mantan Direktur CIA Asia Timur Jauh, William Colby, menyebut sukses menumpas komunis di Indonesia sebagai yang terbaik dan seperti dikehendaki.

Vietnam boleh jatuh ke tangan komunis. Kemudian akan menyusul negara-negara tetangganya. "Tetapi, kita tidak akan membiarkan hal ini terjadi pada Indonesia," kata Presiden Eisenhower tahun 1953. Selain pertimbangan posisinya yang strategis, kekayaan alamnya menempati urutan kelima di dunia. Tetapi, apakah untuk itu mayat-mayat bergelimpangan?

Tidak ada yang bisa menjawabnya, sama seperti bertanya pada mayat korban peristiwa mengerikan itu. AS dan segenap jaringan agen CIA, termasuk di Indonesia, akan menyimpan rapat rahasia ini. Sebab jika ini terkuak, Pemerintah AS akan terkena puting-beliung yang menghancurkan harga dirinya sebagai pendekar HAM, baik oleh Kongres maupun masyarakat internasional.

Tidak hanya itu, sangat mungkin pula diseret ke pengadilan internasional dan membayar kerugian bagi sedikitnya 5.000 korban daftar maut atau satu juta korban tewas keseluruhan, jika keluarga korban menuntutnya. Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut peristiwa ini sebagai hal amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan manusia.

Namun, agaknya kita tidak peduli walaupun para perwira TNI akan diseret ke mahkamah internasional berkaitan kasus Timtim, karena kita percaya Soeharto yang telah memvonis PKI. Kita juga tidak peduli ketika para eksekutif korporasi multinasional bergelimang dollar dan emas hasil "jarahan" dari Indonesia. Di bawah benderang sinar lampu di Manhattan, mereka menghitung laba yang tidak habis-habisnya. Sementara di Republik tercinta ini baku hantam sejak kemerdekaan hingga sekarang terus berlanjut.

Kita adalah katak dalam tempurung yang sejati.(mt)

Hosted by www.Geocities.ws

1