"Sayyid Sabiq rohimahulloh tidak pernah bosan untuk mengingatkan kaum
Muslimin akan posisi mereka di tengah umat yang lain dan bahwa mereka
wajib memegang kendali kehidupan agar bisa menggapai kebahagiaan dan
membuat orang lain berbahagia.”
Syaikh Sayyid Sabiq dilahirkan tahun 1915 H di Mesir dan meninggal dunia
tahun 2000 M. Ia merupakan salah seorang ulama al-Azhar yang
menyelesaikan kuliahnya di fakultas syari’ah. Kesibukannya dengan dunia
fiqih melebihi apa yang pernah diperbuat para ulama al-Azhar yang
lainnya. Ia mulai menekuni dunia tulis-menulis melalui beberapa majalah
yang eksis waktu itu, seperti majalah mingguan ‘al-Ikhwan al-Muslimun’.
Di majalah ini, ia menulis artikel ringkas mengenai ‘Fiqih Thaharah.’
Dalam penyajiannya beliau berpedoman pada buku-buku fiqih hadits yang
menitikberatkan pada masalah hukum seperti kitab Subulussalam karya ash-Shan’ani,
Syarah Bulughul Maram karya Ibn Hajar, Nailul Awthar karya asy-Syaukani
dan lainnya.
Syaikh Sayyid mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab
tetapi tidak menjelek-jelekkannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari
Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya
untuk pembaca, menghindari istilah-istilah yang runyam, tidak
memperlebar dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih
cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat
agar mereka cinta agama dan menerimanya. Beliau juga antusias untuk
menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani
al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum.
Juz pertama dari kitab beliau yang terkenal “Fiqih Sunnah” diterbitkan
pada tahun 40-an di abad 20. Ia merupakan sebuah risalah dalam ukuran
kecil dan hanya memuat fiqih thaharah. Pada mukaddimahnya diberi
sambutan oleh Syaikh Imam Hasan al-Banna yang memuji manhaj (metode)
Sayyid Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang bagus dan upayanya
agar orang mencintai bukunya.
Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis dan dalam waktu tertentu
mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang pertama sebagai
kelanjutan dari buku sebelumnya hingga akhirnya berhasil diterbitkan 14
juz. Kemudian dijilid menjadi 3 juz besar. Belaiu terus mengarang
bukunya itu hingga mencapai selama 20 tahun seperti yang dituturkan
salah seorang muridnya, Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
Banyak ulama yang memuji buku karangan beliau ini yang dinilai telah
memenuhi hajat perpustakaan Islam akan fiqih sunnah yang dikaitkan
dengan madzhab fiqih. Karena itu, mayoritas kalangan intelektual yang
belum memiliki komitmen pada madzhab tertentu atau fanatik terhadapnya
begitu antusias untuk membacanya. Jadilah bukunya tersebut sebagai
sumber yang memudahkan mereka untuk merujuknya setiap mengalami
kebuntuan dalam beberapa permasalahan fiqih.
Buku itu kini sudah tersebar di seluruh pelosok dunia Islam dan dicetak
sebagian orang beberapa kali tanpa seizin pengarangnya. Tetapi, ada
kalanya sebagian fanatisan madzhab mengkritik buku Fiqih Sunnah dan
menilainya mengajak kepada ‘tidak bermadzhab’ yang pada akhirnya menjadi
jembatan menuju ‘ketidak beragamaan.’
Sebagian ulama menilai Sayyid Sabiq bukanlah termasuk penyeru kepada
‘tidak bermadzhab’ sekali pun beliau sendiri tidak berkomitmen pada
madzhab tertentu. Alasannya, karena beliau tidak pernah mencela
madzhab-madzhab fiqih yang ada dan tidak mengingkari keberadaanya.
Sementara sebagian ulama yang lain, mengkritik buku tersebut dan menilai
Syaikh Sayyid Sabiq sebagai orang yang terlalu bebas dan tidak
memberikan fiqih perbandingan sebagaimana mestinya di dalam
mendiskusikan dalil-dalil naqli dan aqli serta melakukan perbandingan
ilmiah di antaranya, lalu memilih mana yang lebih rajih (kuat)
berdasarkan ilmu. Apa yang dinilai para penentangnya tersebut tidak pada
tempatnya. Sebenarnya buku yang dikarang Sayyid Sabiq itu harus dilihat
dari sisi untuk siapa ia menulis buku itu. Beliau tidak menulisnya untuk
kalangan para ulama tetapi untuk mayoritas kaum pelajar yang memerlukan
buku yang mudah dan praktis, baik dari sisi format atau pun content (isi).
Di antara ulama yang mengkritik buku tersebut adalah seorang ulama
hadits yang terkenal, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang
kemudian menulis buku ‘Tamaamul Minnah Bitta’liq ‘ala Fiqhissunnah”.
Kitab ini ibarat takhrij bagi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku
fiqih sunnah.
Syaikh Sayyid Sabiq merupakan sosok yang selalu mengajak agar umat
bersatu dan merapatkan barisan. Beliau mengingatkan agar tidak berpecah
belah yang dapat menyebabkan umat menjadi lemah. Beliau juga mengajak
agar membentengi para pemudi dan pemuda Islam dari upaya-upaya musuh
Alloh dengan membiasakan mereka beramal islami, memiliki kepekaan,
memahami segala permasalahan kehidupan serta memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hal ini agar mereka terhindar dari perangkap musuh-musuh Islam.
Beliau juga pernah mengingatkan bahwa Israel adalah musuh bebuyutan umat
ini yang selalu memusuhi kita secara berkesinambungan. Beliau pernah
bertemu dengan salah seorang pengajar asal Palestina yang bercerita
kepada beliau, “Suatu kali saya pernah melihat seorang Yahudi sangat
serius duduk menghafal Kitabulloh dan hadits-hadits Rosululloh. Lalu
saya tanyakan kepadanya, ‘Kenapa kamu melakukan ini.?’ Ia menjawab,
‘Agar kami dapat membantah kalian dengan argumentasi. Kalian adalah
orang-orang yang reaktif dan sangat sensitif, karena itu kami ingin
mengendalikan lewat sensitifitas kalian itu. Jika kami berdebat dengan
kalian, kami akan menggunakan ayat-ayat dan hadits Nabi kalian. Kami
juga akan menyebutkan sebagian permisalan dalam bahasa Arab yang
mendukung permasalahan kami sehingga kalian bertekuk lutut terhadap
seruan kami dan mempercayai kebenarannya.” (sumber: beberapa situs Islam
berbahasa Arab)
|