UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN
1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
-
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan untuk mencapai
masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
-
bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan
pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi
peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan
berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan
masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan,
dan pertanggungjawaban kepada masyarakat;
-
bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi
daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu
diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa
sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas,
dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
-
bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah Yang Berhak
Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat
dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang
yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Mengingat :
-
Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18,
Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945;
-
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, Serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
-
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839;
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
-
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam
kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan
pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan
tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
-
Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah,
adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-
Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah
Propinsi atau Bupati bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah
Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah;
-
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Desentralisasi adalah Desentralisasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
-
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan
Negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang
selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan
Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
-
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber
dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
-
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang
mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau
manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban
untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang
lazim terjadi dalam perdagangan;
-
Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN
di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
-
Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan
APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
-
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi;
-
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan tertentu;
-
Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang
diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan
dalam Lembaran Daerah.
BAB II
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan tugas
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan tugas
Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi
dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban
APBN.
(3) Penyelenggaraan tugas
Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa
dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
(4) Penyerahan atau
pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan
kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota
diikuti dengan pembiayaannya.
BAB
III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN
DESENTRALISASI
Bagian
Pertama Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan
Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi
adalah:
-
Pendapatan Asli
Daerah;
-
Dana Perimbangan;
-
Pinjaman Daerah;
-
Lain-lain Penerimaan yang
sah.
Bagian Kedua Sumber
Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari:
-
hasil pajak Daerah;
-
hasil retribusi Daerah;
-
hasil perusahaan milik
Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan;
-
lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah.
Pasal 5
(1) Ketentuan mengenai pajak
Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai
perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga Dana
Perimbangan
Pasal 6
(1) Dana Perimbangan terdiri dari:
-
Bagian Daerah dari
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
-
Dana Alokasi Umum;
-
Dana Alokasi Khusus.
(2) Penerimaan Negara dari
Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen)
untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk
Daerah.
(3) Penerimaaan Negara dari
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh
persen) untuk Daerah.
(4) 10% (sepuluh persen)
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen)
penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi
bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
(5) Penerimaan negara dari
sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan
sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Daerah.
(6) Penerimaan Negara dari
sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan
imbangan sebagai berikut:
Penerimaan Negara dari
pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi
dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat
dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
Penerimaan Negara dari
pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi
dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan
30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
(1) Dana Alokasi Umum
ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari
Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
(2) Dana Alokasi Umum untuk
Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan
masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen)
dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan pada ayat
(1).
(3) Dalam hal terjadi
perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan perubahan tersebut.
(4) Dana Alokasi Umum untuk
suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah
Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam
APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
(5) Porsi Daerah Propinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah
Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi
di seluruh Indonesia.
(6) Dana Alokasi Umum untuk
suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian
jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang
ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
(7) Porsi Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi
bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
(8) Bobot Daerah ditetapkan
berdasarkan:
- kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
- potensi ekonomi Daerah.
(9) Penghitungan dana alokasi
umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5),
ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pasal 8
(1) Dana Alokasi Khusus dapat
dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN.
(2) Kebutuhan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
-
kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum;
dan/atau
-
kebutuhan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional;
(3) Dana Alokasi Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana
reboisasi.
(4) Dana reboisasi dibagi
dengan imbangan:
-
40% (empat puluh persen)
dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi
Khusus.
-
60% (enam puluh persen)
untuk Pemerintah Pusat.
(5) Kecuali dalam rangka
reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari
APBD sesuai dengan kemampuan Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana
Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan
setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari
penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dan rumus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8),
serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pinjaman Daerah
Pasal 11
(1) Daerah dapat melakukan
pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian
anggarannya.
(2) Daerah melakukan pinjaman
dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat.
(3) Daerah dapat melakukan
pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang
merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk
pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan
masyarakat.
(4) Daerah dapat melakukan
pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka
pengelolaan kas Daerah.
Pasal
12
(1) Pinjaman Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan persetujuan
DPRD.
(2) Pinjaman Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya.
(3) Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah
diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal
13
(1) Daerah dilarang melakukan
Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman
Daerah yang ditetapkan.
(2) Daerah dilarang melakukan
perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas
keuangan Daerah.
(3) Pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
14
(1) Semua pembayaran yang
menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu
prioritas dalam pengeluaran APBD.
(2) Dalam hal Daerah tidak
memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah
Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut
dengan Dana Alokasi Umum kepada
Daerah.
Pasal
15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima Dana
Darurat
Pasal
16
(1) Untuk keperluan mendesak
kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang berasal dari
APBN.
(2) Prosedur dan tata cara
penyaluran Dana Darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi
APBN.
BAB IV
PENGELOLAAN
DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DEKONSENTRASI
Pasal
17
(1) Pembiayaan dalam rangka
pelaksanaan Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
bersangkutan.
(2) Pertanggungjawaban atas
pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat melalui
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
bersangkutan.
(3) Administrasi keuangan
dalam pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah
dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan
Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan
pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi
diadministrasikan dalam Anggaran Dekonsentrasi.
(5) Dalam hal terdapat sisa
anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana
Dekonsentrasi, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas
Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan
pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut
tentang pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN
DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN TUGAS
PEMBANTUAN
Pasal
18
(1) Pembiayaan dalam rangka
pelaksanaan Tugas Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
(2) Pertanggungjawaban atas
pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
menugaskannya.
(3) Administrasi keuangan
dalam pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara
terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan
Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan
pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Tugas Pembantuan
diadministrasikan dalam Anggaran Tugas Pembantuan.
(5) Dalam hal terdapat sisa
anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas
Pembantuan, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas
Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan
pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut
tentang pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGELOLAAN
DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DESENTRALISASI
Bagian
Pertama Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan dalam Pelaksanaan
Desentralisasi
Pasal
19
(1) Semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan
dikelola dalam APBD.
(2) Semua penerimaan dan
pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan
Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
(3) APBD, Perubahan APBD, dan
Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBD, Perubahan APBD, dan
Perhitungan APBD merupakan Dokumen
Daerah.
Pasal
20
(1) APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN
ditetapkan.
(2) Perubahan APBD ditetapkan
dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya tahun anggaran.
(3) Perhitungan APBD
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran yang bersangkutan.
Pasal
21
Anggaran pengeluaran dalam
APBD tidak boleh melebihi anggaran
penerimaan.
Pasal
22
(1) Daerah dapat membentuk
dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu.
(2) Dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicadangkan dari sumber penerimaan
Daerah.
(3) Setiap pembentukan dana
cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
(4) Semua sumber penerimaan
dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran
atas beban dana cadangan diadministrasikan dalam
APBD.
Pasal
23
(1) Ketentuan tentang
pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan
Daerah.
(2) Sistem dan prosedur
pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah
sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Bagian Kedua Laporan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal
24
(1) Kepala Daerah
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD
mengenai:
-
pengelolaan keuangan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal
22;
-
kinerja keuangan Daerah
dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan
Desentralisasi.
(2) DPRD dalam sidang pleno
terbuka menerima atau menolak dengan meminta untuk menyempurnakan
laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Laporan pertanggungjawaban
keuangan Daerah merupakan Dokumen
Daerah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal
25
Pemeriksaan atas pelaksanaan,
pengelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
26
Ketentuan tentang pokok-pokok
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
SISTEM
INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal
27
(1) Pemerintah Pusat
menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan
Daerah.
(2) Informasi yang dimuat
dalam sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Pasal
28
(1) Daerah wajib menyampaikan
informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah
Pusat termasuk Pinjaman Daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
VIII
SEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
PUSAT DAN DAERAH
Pasal
29
(1) Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bertugas mempersiapkan
rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengenai perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur dengan
Keputusan Presiden.
BAB IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
30
(1) Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Daerah sepanjang
tidak bertentangan dan belum disesuaikan dengan Undang-undang ini
masih tetap berlaku.
(2) Penyesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
setelah Undang-undang ini diberlakukan.
Pasal
31
(1) Dalam APBN dapat
dialokasikan dana untuk langsung membiayai urusan Desentralisasi
selain dari sumber penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3.
(2) Ketentuan pada ayat (1)
hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya
Undang-undang ini.
(3) Pembiayaan langsung dari
APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan
Pasal 19 ayat (1).
(4) Setiap tahun anggaran,
menteri-menteri teknis terkait menyusun laporan semua proyek dan
kegiatan yang diperinci menurut:
-
sektor dan subsektor untuk
belanja pembangunan;
-
unit organisasi
departemen/lembaga pemerintah non departemen untuk pengeluaran
rutin;
-
proyek dan kegiatan yang
pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan
kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua
belanja.
(5) Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada
DPR.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
32
Dengan berlakunya
Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah, Yang Berhak
Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
33
Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di
Jakarta pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF
HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PROF. DR. H. MULADI,
S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 72
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25
TAHUN 1999 TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
UMUM
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat
adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam Pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa
daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat
daerah administrasi.
Pembangunan daerah sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan
prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani
yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan
daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, Daerah mempunyai kewenangan
dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan
pertanggung-jawaban kepada masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan, maka pemerintahan
suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi
alokasi yang meliputi, antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk
barang dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi yang meliputi,
antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan,
dan fungsi stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan,
ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada
umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sedangkan
fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah, karena Daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta
standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu
diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing
wilayah. Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat
penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara jelas dan
tegas.
Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab di Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan
pemerintahan Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.
Sumber-sumber pembiayaan
pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber
pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari
dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dana perimbangan merupakan
sumber pembiayaan yang berasal dari bagian Daerah dari Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari
sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana
perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat
tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan
melengkapi.
Bagian Daerah dari penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan
penerimaan dari sumber daya alam, merupakan sumber penerimaan yang pada
dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana alokasi umum
dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi
daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat
pendapatan masyarakat di Daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang
maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi
khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus
Daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti
bencana alam, kepada Daerah dapat dialokasikan Dana Darurat. Dengan
demikian, Undang-undang ini selain memberikan landasan pengaturan bagi
pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, juga memberikan
landasan bagi perimbangan keuangan antar Daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut perlu memperhatikan
kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri,
pertahanan-keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal, agama,
serta kewajiban pengembalian pinjaman Pemerintah Pusat.
Undang-undang ini juga mengatur
mengenai kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang bersumber
dari penerimaan Daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi
dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan
Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah agar dapat diketahui oleh
masyarakat sehingga terwujud keterbukaan.
Dalam pengelolaan keuangan
Daerah. Dalam hal pemeriksaan keuangan Daerah dilakukan oleh instansi
pemeriksa fungsional. Di samping itu, untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan sistem alokasi kepada Daerah, diatur pula sistem informasi
keuangan daerah dan menetapkan Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena
antara lain beberapa faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepada
Daerah belum memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu, berbagai jenis
pajak yang merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan
tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan lagi melalui berbagai
peraturan perundangan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat
yang berkembang dalam mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan
Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.
Berdasarkan uraian di atas,
Undang-undang ini mempunyai tujuan pokok antara lain
:
-
Memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
-
Menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif,
bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti.
-
Mewujudkan sistem perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan
pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi
Daerah dengan penyelenggararaan pemerintahan daerah yang transparan,
memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada
masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya
untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian
sumber keuangan Daerah yang berasal dari wilayah daerah yang
bersangkutan.
-
Menjadi acuan dalam alokasi
penerimaan negara bagi Daerah.
-
Mempertegas sistem
pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah.
- Menjadi pedoman pokok tentang keuangan
Daerah.
PASAL DEMI
PASAL
Pasal
1
Pasal ini menegaskan arti
beberapa istilah yang digunakan dalam Undang-undang ini, dengan maksud
untuk menyamakan pengertian atas istilah-istilah tersebut, sehingga
dapat dihindarkan kesalahpahaman dalam
menafsirkannya.
Pasal
2
Ayat (1) Cukup
jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Penyerahan atau pelimpahan
kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dapat
dilakukan dalam rangka Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah
Pusat kepada Daerah dalam rangka Desentralisasi dan Dekonsentrasi
disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta
pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan
penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut.
Sementara itu, penugasan dari
Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka Tugas Pembantuan disertai
pengalokasian anggaran.
Pasal
3
Huruf a Yang dimaksud dengan
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh Daerah dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf b Cukup
jelas
Huruf c Cukup
jelas
Huruf d Lain-lain penerimaan
yang sah, antara lain, hibah, Dana Darurat, dan penerimaan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
4
Huruf a Cukup
jelas
Huruf b Cukup
jelas
Huruf c Jenis penerimaan
yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan,
antara lain, bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik Daerah.
Huruf d Lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah, antara lain, hasil penjualan aset tetap Daerah dan
jasa giro.
Pasal
5
Ayat (1) Jenis-jenis pajak
Daerah dan retribusi Daerah disesuaikan dengan kewenangan yang
diserahkan kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Penyesuaian
tersebut dilakukan dengan mengubah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ayat (2) Cukup
jelas
Pasal
6
Ayat (1) Dana Perimbangan
yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan sumber
pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis
penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Huruf a Yang dimaksud dengan
bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian Daerah dari
penerimaan Negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, antara
lain, di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam,
kehutanan, dan perikanan.
Huruf b Penggunaan dana ini
ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah.
Huruf c Cukup
jelas
Ayat (2) Pembagian lebih
lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3) Pembagian lebih
lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4) Cukup
jelas
Ayat (5) Bagian Daerah yang
berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor
pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari
Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut:
-
Sektor kehutanan dibagi sebagai
berikut:
1) 80% (delapan puluh
persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan
perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas
persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar
64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen)
dari penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan dibagi dengan perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas
persen);
-
bagian Kabupaten/Kota
penghasil sebesar 32%(tiga puluh dua persen);
-
bagian Kabupaten/Kota lainnya
dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua
persen).
-
Sektor pertambangan umum dibagi
sebagai berikut:
1) 80% (delapan puluh persen)
dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) dibagi dengan
perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas
persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar
64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen)
dari penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty)
dibagi dengan perincian:
- bagian Propinsi sebesar 16%(enam belas
persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar
32% (tiga puluh dua persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam
Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen).
-
80% (delapan puluh persen)
dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan
dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di
Indonesia.
Ayat (6)
Huruf a Bagian Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a ini dibagi dengan perincian
sebagai berikut:
- bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar
3% (tiga persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6%
(enam persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam
Propinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen).
Huruf b Bagian Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ini dibagi dengan perincian
sebagai berikut:
- bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar
6% (enam persen);
- bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar
12% (dua belas persen);
- bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam
Propinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen).
Pasal
7
Ayat (1) Dana Alokasi Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan jumlah seluruh alokasi umum
untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Kenaikan Dana Alokasi Umum akan
sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat
kepada Daerah dalam rangka Desentralisasi.
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Penyesuaian
persentase sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditetapkan dalam
APBN.
Ayat (4) dan Ayat (5) Rumus
Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini
adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu
Propinsi tertentu =
Jumlah Dana
Alokasi
Bobot Daerah Propinsi yang
bersangkutan
Umum untuk Daerah
X
.
.
Propinsi
Jumlah bobot dari seluruh Daerah Propinsi
Ayat (6) dan Ayat (7) Rumus
Dana Alokasi Umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini
adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu
Kabupaten/Kota tertentu =
Jumlah Dana
Alokasi
Bobot Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan
Umum untuk Daerah
X
.
Kabupaten/Kota
Jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota
Ayat (8) Bobot Daerah
ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan
variabel-variabel yang relevan.
-
Kebutuhan wilayah otonomi
Daerah paling sedikit dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk,
luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat
dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
-
Potensi ekonomi Daerah antara
lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima Daerah
seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber
daya manusia, dan Produk Domestik Regional Bruto.
Ayat (9) Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga menyusun dan atau menjaga
kemutakhiran data yang merupakan variabel dalam rumus tersebut. Dengan
demikian Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
sebagai instansi yang objektif dan independen dapat menjaga keterbukaan
dan transparansi dalam pengalokasian Dana Alokasi
Umum.
Pasal
8
Ayat (1) Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf a Kebutuhan yang tidak
dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, adalah kebutuhan yang
bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya
kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan kebutuhan beberapa jenis
investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil,
saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer.
Huruf b Termasuk, antara
lain, proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4)
Huruf a Dana reboisasi
sebagaimana dalam ayat (4) huruf a ini hanya digunakan untuk pembiayaan
kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil.
Huruf b Dana reboisasi
sebagaimana dalam ayat (4) huruf b ini digunakan untuk pembiayaan
kegiatan reboisasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (5) Untuk menyatakan
komitmen dan tanggung jawab Daerah dalam pembiayaan program-program yang
merupakan kebutuhan khusus tersebut, maka perlu penyediaan dana dari
sumber APBD sebagai pendamping atas Dana Alokasi Khusus dari
APBN.
Pasal
9
Cukup
jelas
Pasal
10
Pokok-pokok muatan Peraturan
Pemerintah tersebut, antara lain:
-
tata cara penghitungan dan
penyaluran bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari
pembagian Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, sumber daya alam sektor kehutanan, sektor
-
pertambangan umum, sektor
pertambangan minyak dan gas alam, dan sektor perikanan untuk Daerah
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
rumus Dana Alokasi Umum yang
memuat bobot Daerah Propinsi, bobot Daerah Kabupaten/Kota, mekanisme
penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
-
Dana Alokasi Khusus yang memuat
persentase minimum dana pendamping, sektor/kegiatan yang tidak dapat
dibiayai, penggunaan Dana Alokasi Khusus, dan peranan menteri yang
membidangi perencanaan pembangunan nasional dan menteri teknis terkait
serta mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
11
Ayat (1) Pinjaman dalam
negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau lembaga komersial
dan/atau penerbitan obligasi Daerah.
Ayat (2) Mekanisme pinjaman
dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat mengandung pengertian
bahwa Pemerintah Pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek
mengenai dapat tidaknya usulan Pinjaman Daerah untuk diproses lebih
lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan Pinjaman Daerah
secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah Pusat
atas usulan termaksud.
Ayat (3) Yang dimaksud
dengan pinjaman jangka panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka
waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran
kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua
biaya lain, sebagian atau seluruhnya akan dilunasi pada tahun-tahun
anggaran berikutnya. Jangka waktu pinjaman jangka panjang tersebut tidak
boleh melebihi umur ekonomis prasarana tersebut.
Ayat (4) Yang dimaksud
dengan pinjaman jangka pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu
kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya
pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga
dan/atau semua biaya lain, akan dilunasi seluruhnya dalam tahun anggaran
yang bersangkutan.
Pasal
12
Ayat (1) Persetujuan DPRD
terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan
secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan Daerah
untuk membayar dan batas maksimum pinjaman.
Ayat (2) Yang dimaksud
dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan
Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban
pinjaman tersebut maupun pengeluaran lainnya seperti gaji pegawai serta
biaya operasional dan pemeliharaan.
Ayat (3) Ketentuan ini
dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas
kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman
tersebut.
Pasal
13
Ayat (1) Batas jumlah
Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman maksimum yang dapat diterima oleh
Daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan Daerah untuk meminjam
maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan
tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup
kewajiban pembayaran pinjaman.
Ayat (2) Penjaminan yang
dimaksud pada ayat ini adalah penjaminan Daerah terhadap antara lain
pinjaman perusahaan milik Daerah dan pinjaman swasta dalam rangka
pelaksanaan proyek Daerah.
Ayat (3) Peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain, adalah Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Kepegawaian, Undang-undang
Perbendaharaan Negara, dan KUHP.
Pasal
14
Ayat (1) Dengan menempatkan
kewajiban Daerah atas pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dalam
pengeluaran APBD, pemenuhan kewajiban termaksud diharapkan mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan
Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat
menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas
pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan
APBD tidak tercapai.
Ayat (2) Pelaksanaan
ketentuan ayat ini dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan
Daerah.
Pasal
15
Pokok-pokok muatan Peraturan
Pemerintah tersebut, antara lain, jenis dan sumber pinjaman, sektor yang
dapat dibiayai dengan dana pinjaman, batas maksimum pinjaman, jangka
waktu pinjaman, dan tata cara mendapatkan
pinjaman.
Pasal
16
Ayat (1) Yang dimaksud
dengan keperluan mendesak adalah terjadinya keadaan yang sangat luar
biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan pembiayaan dari
APBD, yaitu bencana alam dan/atau peristiwa lain yang dinyatakan
Pemerintah Pusat sebagai bencana nasional.
Ayat (2) Cukup
jelas
Pasal
17
Ayat (1) Kewenangan dan
tanggung jawab sehubungan dengan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi, mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai APBN
dan perbendaharaan negara. Dana pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi
tersebut tidak merupakan penerimaan APBD.
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4) Cukup
jelas
Ayat (5) Cukup
jelas
Ayat (6) Cukup
jelas
Ayat (7) Pokok-pokok muatan
Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, pengalokasian dan
pengadministrasian keuangan pelaksanaan Dekonsentrasi oleh Gubernur
beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan,
pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan,
sesuai dengan mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi
APBN.
Pasal
18
Ayat (1) Cukup
jelas
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4) Cukup
jelas
Ayat (5) Cukup
jelas
Ayat (6) Cukup
jelas
Ayat (7) Pokok-pokok muatan
Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, bentuk dan struktur Anggaran
Tugas Pembantuan, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan
pelaksanaan Tugas Pembantuan oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang
meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan
pemeriksaan/pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, sesuai mekanisme
keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pasal
19
Ayat (1) Yang dimaksud
dengan dicatat dan dikelola dalam APBD termasuk dicatat dan dikelola
dalam perubahan dan perhitungan APBD.
Ayat (2) Ketentuan ini untuk
menjamin bahwa semua penerimaan dan pengeluaran yang dikelola Gubernur
atau Bupati/Walikota dengan perangkatnya digolongkan dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi atau dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi
atau dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Sebagai contoh pungutan
Puskesmas merupakan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
dan diadministrasikan dalam APBD.
Ayat (3) Cukup
jelas
Ayat (4) Cukup
jelas
Pasal
20
Ayat (1) Cukup
jelas
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Cukup
jelas
Pasal
21
Ketentuan Pasal ini berarti Daerah
tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu
mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya dan mendorong Daerah untuk
meningkatkan efisiensi pengeluarannya.
Pasal
22
Ayat (1) Ketentuan ayat ini
memberi peluang kepada Daerah apabila diperlukan untuk membentuk dana
cadangan bagi kebutuhan pengeluaran yang memerlukan dana relatif cukup
besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Ayat (2) Dana cadangan dapat
disediakan dari sisa anggaran lebih tahun lalu dan/atau sumber
pendapatan Daerah.
Ayat (3) Peraturan Daerah
tersebut, antara lain, menetapkan tujuan dana cadangan, sumber pendanaan
dana cadangan, dan jenis pengeluaran yang dapat dibiayai dengan dana
cadangan tersebut.
Ayat (4) Dana cadangan
dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan,
disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi
harus dicantumkan dalam APBD.
Diadministrasikan dalam APBD
berarti dicatat saldo awal, semua penerimaan dan pengeluaran, serta
saldo akhir dalam bentuk rincian dana cadangan
tersebut.
Pasal
23
Ayat (1) Pokok-pokok muatan
Peraturan Daerah tersebut, antara lain, kerangka dan garis besar
prosedur penyusunan APBD, kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD,
prinsip-prinsip pengelolaan kas, otorisasi pengeluaran kas, tata cara
pengadaan barang dan jasa, prosedur melakukan pinjaman, dan
pertanggungjawaban keuangan.
Ayat (2) Sistem dan prosedur
pengelolaan keuangan Daerah meliputi, antara lain, struktur organisasi,
dokumentasi, dan prosedur terperinci dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan, yang bertujuan untuk mengoptimalkan efektivitas, efisiensi,
dan keamanan. Selain itu, sistem dan prosedur tersebut harus dapat
menyediakan informasi kepada Pemerintah Pusat secara akurat dan tepat
pada waktunya.
Pasal
24
Ayat (1) Laporan
pertanggungjawaban keuangan tersebut dinyatakan dalam satu bentuk
laporan.
Ayat (2) Penolakan laporan
oleh DPRD harus disertai dengan alasannya.
Proses lebih lanjut dari
penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah tersebut mengikuti mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah.
Ayat (3) Cukup
jelas
Pasal
25
Cukup
jelas
Pasal
26
Pokok-pokok muatan Peraturan
Pemerintah tersebut, antara lain:
- prinsip-prinsip bagi transparansi dan
akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD,
pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi,
dan sebagainya, serta pedoman bagi sistem dan prosedur
pengelolaan;
- pedoman laporan pertanggungjawaban yang
berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen
kegiatan, dan standar akuntansi Pemerintah Daerah, serta persentase
jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan
pemerintahan umum.
Pasal
27
Ayat (1) Sumber informasi
bagi sistem informasi keuangan Daerah terutama adalah laporan informasi
APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
Ayat (2) Cukup
jelas
Ayat (3) Pokok-pokok muatan
Keputusan Menteri Keuangan tersebut, antara lain, instansi yang
bertanggung jawab menyusun dan memelihara sistem informasi keuangan
Daerah, prosedur perolehan informasi yang diperlukan, dan tata cara
penyediaan informasi kepada instansi pemerintah dan
masyarakat.
Pasal
28
Ayat (1) Cukup
jelas
Ayat (2) Pokok-pokok muatan
Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, jenis informasi, bentuk
laporan informasi, tata cara penyusunan, dan penyampaian informasi
kepada Menteri teknis terkait.
Pasal
29
Ayat (1) Rekomendasi
tersebut, antara lain, mengenai penentuan besarnya Dana Alokasi Umum
untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan rumus yang telah ditetapkan dan
kebijakan pembiayaan Daerah.
Ayat (2) Pokok-pokok muatan
Keputusan Presiden tersebut, antara lain, jumlah dan kualifikasi
anggota, tata cara pengangkatan, masa kerja, serta tugas dan tanggung
jawab anggota Sekretariat.
Pasal
30
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1) Ayat ini
memungkinkan pengalokasian dana APBN guna membiayai urusan
Desentralisasi secara langsung untuk masa peralihan dua tahun anggaran.
Ketentuan ini, antara lain, memungkinkan dana APBN untuk menyelesaikan
proyek yang pelaksanaannya telah dimulai dengan dana APBN sektoral
sebelum berlakunya Undang-undang ini. Ketentuan ini bertujuan untuk
mengurangi secara bertahap, dalam jangka waktu dua tahun tersebut,
jumlah anggaran pembiayaan urusan Desentralisasi yang sebelumnya
dibiayai langsung dari Pusat melalui departemen teknis.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Yang dimaksud
dengan setiap tahun anggaran dalam ketentuan ini adalah untuk 2 (dua)
tahun anggaran dalam masa peralihan.
Ayat (5) Cukup
jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3848
|