Aliran Frankfrut School mengembangkan model mereka tentang
budaya industri dari tahun 1930-an dan kemudian tidak menggembangkan inovasi-inovasi
baru untuk budaya media. Studi budaya Inggris muncul pada tahun 1960-an sebagai
sebuah proyek pendekatan terhadap budaya dilihat dari pandangan kritis dan berbagai
disiplin ilmu dimana didirikan di Inggris oleh Birmingham Centre for Contemporary
Cultural Studies.
Studi budaya Inggris berada dalam situasi dimana sebuah teori produksi sosial
dan reproduksi. Secara khusus memberikan pandangan bahwa budaya membentuk kepada
dominasi sosial atau untuk membuat orang mampu untuk mengadakan perlawanan dan
berjuang melawan dominasi. Masyarakat disusun seperti sebuah hirarki dan menaruh
sifat bermusuhan dengan relasi sosial yang dicirikan oleh penindasan terhadap
kelas bawah, gender, ras, entik, dan strata nasional.
Model Gramsci tentang hegemoni dan counterhegemony, studi budaya menganalisa
‘hegemoni’ atau aturan sosial dan bentuk budaya dominasi, dan mencari
kekuatan untuk melawan dan berjuang. Untuk Gramsci, masyarakat mempertahankan
stabilitas melalui sebuah kombinasi dari kekuatan hegemoni, dengan beberapa
institusi dan grup dengan cara kasar mengusahakan kekuatan untuk mempertahankan
batas-batas sosial (seperti polisi, militer, dan sebagainya). Sedangkan isntitusi
lainnya (seperti agama, pendidikan, atau media) semakin memperkuat dominasi
dengan membangun hegemoni, atau dominasi ideologi, dari sebuah tipe spesifik
perintah sosial (social order), seperti kapitalisme liberal, fasisme, sosial
demokrat, komunis, dan sebagainya.
Teori hegemoni ada dua, (1). Analisis dari sistem dominasi dan cara kelompok
politik meraih kekuatan hegemoni (seperti Thatcherisme, Reagenisme) serta (2).
Rancangan dari kekuatan counterhegemonic, kelompok, dan ide-ide yang dapat bertentangan.
Richard Jhonson, dalam sebuah diskusi di Universitas Texas, menekankan bahwa
harus dibuat sebuah perbedaan antara konsep yang pertama menunjuk pada kekuatan
struktural dari dominasi, yang mana berhubungan asimetris dengan kekuatan yang
ada dalam menempatkan konflik.
Intinya : Ada perbedaan antara istilah lawan kata dengan istilah perbedaan.
Kalai lawan kata seperti: lawan naik itu turun, lawan siang itu malam dimana
semuanya berbalikan, sedangkan istilah perbedaan itu menunjuk pada dua kekuatan
yang tidak sama dan ada dalam relasi sehari-hari, seperti: ada pimpinan maka
ada bawahan, ada pria maka ada wanita, ada hitam maka ada putih.
Poin penting disini adalah perjuangan melawan dominasi, melawan kaum bawahan.
Dalam cara pandang ini, studi budaya dapat dibedakan dengan aliran idealist,
tekstualist, dan teori risalah ekstrem uyang hanya mengenali bentuk bahasa sebagai
susunan dari budaya.
Studi budaya sebaliknya adalah materialis yang memiliki fokus pada material
asal dan efek budaya dan cara pandang bahwa budaya imbricated dalam proses dominasi
atau perlawanan.
Studi budaya, seperti juga teori kritik dari aliran Frankfrut, mengembangkan
model teori hubungan antara ekonomi, negara, masyarakat, budaya, dan kehidupan
sehari-hari, dan dengan demikian bergantung pada problematika dari teori sosial
kontemporer.
Arnowitz berpendapat studi budaya Inggris memiliki kecenderungan untuk mengabaikan
budaya tinggi (high culture), menghilangkannya, dengan sedikit perkecualian,
dari hasil penyelidikan mereka.
Studi budaya Inggris bagaimanapun juga secara umum gagal untuk mempertemukan
modernisme, ataupun bentuk lain budaya tinggi dan dengan demikian memperlihatkan
oposisi yang potensial dan subversi.
Sebuah Pertanyaan Terminologi
Inovasi studi budaya Inggris, kemudian untuk melihat pentingnya budaya media
dan bagaimana media terlihat dalam proses dominasi dan perlawanan. Raymod William
dan anggota aliran Birmingham bertanggung jawab terhadap penolakan istilah budaya
massa, ‘mass culture’ dimana mereka berpendapat memiliki kecenderungan
untuk menjadi elitis, menegakkan sebuah oposisi kembar antara tinggi danrendah.
Konsep ‘mass culture’ juga monolitik dan homogen dan dengan demikian
menetralisir kontradiksi budaya dan mencairkan praktek-praktek oposisi dan kelompok
menjadi sebuah konsep netral ‘mass’.
Selain itu ada penolakan juga terhadap istilah ‘budaya popular’’
(popular culture) yang mana John Fiske dan praktisi kontemporer studi budaya
memiliki masalah dalam mengadaptasi istilah populer memberi kesan bahwa budaya
media dibangun dari orang-orang. Istilah itu juga menutup seluruh fakta bahwa
budaya media dibangun dalam pola top-down dari budaya yang sering mengurangi
pendengar menjadi seorang penerima pasif.
Pada awalnya, itilah ‘popular’ digunakan oleh dua pendiri studi
budaya Inggris untuk menerangkan budaya pekerja yang relatif otonom. Di Amerika
Latin dan dimana-mana, kekuatan popular ‘popular force’ menggambarkan
kelompok pejuang yang melawan dominasi. Semenjak istilah ini dihubungkan di
USA dengan individu dan kelompok yang sering menolak kritikan dan pendekatan
terhadap budaya.
Konsekuensinya, bahkan kosakata studi budaya mengalami persaingan, tanpa ada
kesepakatan pada istilah-istilah dasar untuk mendiskripsikan. Belakangan ini,
aliran baru studibudaya mucul di Australia, Kanada, USA, dan ditempat lain,
menggunakan metode, konsep, strategi dan pendekatan berbeda.
Lebih dari itu, ada masalah dengan beberapa kosakata dasar dari berbagai macam
versi studi budaya kontemporer dan membuat kunci utama menjadi tidak tetap,
terus menerus mengalami perubahan dan pembaharuan-pembaharuan.
Dalam buku ini, penulis mengadopsi konsep ‘media culture’ untuk
merancang bahan subyek investigasi. Istilah ‘media culture’ memiliki
keunggulan yang menandakan dua hal, yaitu nature dan bentuk budaya industri
dan model produksi dan distribusi. Hal ini menghindari ideologi-ideologi seperti
istilah ‘mass culture’ dan ‘popular culture’ dan memberikan
perhatiankepada aliran produksi, distribusi, dan resepsi melalui budaya media
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.
Faktanya, perbedaan antara ‘budaya’ dan ‘komunikasi’
sangat kaku dan perlu ditata ulang. Tidak akan ada komunikasi tanpa adnya budaya,
dan tidak ada budaya tanpa komunikasi, jadi menggambarkan sebuah perbedaan yang
kaku antara keduanya, dan menganggap bahwa salah satu sisi itu adalah sebuah
obyek yang sah dari sebuah disiplin ilmu, sedangkan yang lain itu dipisahkan
dari sebuah perbedaan disiplin ilmu adalah sebuah contoh bagus dari sebuah kekaburan
(myopia) dan kesia-siaan dari kesewenangan divisi akademik pekerja.
Dalam banyak kasus, budaya Inggris menyajikan sebuah pendekatan yang memungkinkan
kita untuk menghindari kekecewaan dari bidang media atau budaya atau komunikasi
menjadi tinggi dan rendah, populer vs elite, dan untuk melihat seluruh bentuk
budaya media dan komunikasi sebagai kekayaan dari scrutiny dan kritik. Seperti
pendekatan multi kultur lain, ini turut membawa studi tentang ras, gender, dan
kelas sosial menuju garis lini studi tentang budaya media dan komunikasi. Ini
juga mengadopsi sebuahpendekatan kritik seperti aliran Frankfrut, menginterpretasikan
budaya dalam masyarakat dan situasi-situasi sosial budaya dalam bidang teori
sosial kontemporer dan oposisi politik.
Istilah ‘media culture’ juga memiliki keunggulan bahwa budaya kita
adalah budaya media, dimana media memiliki budaya jajahan, yang merupakan sarana
utama pendistribusian dan penyebaran budaya, dimana media komunikasi massa telah
menggantikan model budaya sebelumnya, seperti buku atau kata-kata yangdiucapkan,
dimana kita hidup dalam dominan dan tempat budaya dalam masyarakat kontemporer.
Sebuah Pertanyaan Politik
Media ikut menjadi kontrol sosial, media selalu berhubungan dengan kekuatan
dan membuka studi kebudayaan untuk perubahanpolitik dan manipulasi atau penjegalan
sejarah.
Media membantu untuk menajamkan pandangan kita tentang dunia, opini publik,
nilai perilaku, dan hal-hal penting lainnya yang merupakan suatu bentuk kekuatan
dan pertarungan sosial.
Richard Hoggart’s dalam bukunya ‘The Uses of Literacy’ (1958)
mengidentifikasikan bagaimana individumengkreasikan identitas mereka dan tinggal
di sekitar pusat kebudayaan mereka. Dalam buku ini, Hoggart lebih detail menjelaskan
bagaimana kelas pekerja dalam tradisi di Inggris menciptakan kebudayaan penentang
sebagai aliran kebudayaan yang utama atau mainstream, dan kemudiakn menciptakan
bagaimana mereka menjadi terkikis oleh pengembangan kebudayaan nasional dan
proses hegemony budaya yang dilakukan oleh negara, sekolah dan media.
Tahun 1960, studi kebudayaan di Inggris mulai mengindikasikan bagaimana kebudayaan
media memproduksi identitas dan cara melihat dan bertindak dari eprsatuan individu
menjadi aliran kebudayaan yang utama.
Fokus dari Birmingham Group adalah dalam kelas dan ideologi yang menjurus pada
penindasan dan akibat sistem dan pertarungan mewujudkan persamaan kelas dan
penindasan.
Studi tentang sub-kebudayaan di Inggris juga mencari agen baru untuk perubahan
sosial yang terlihat dalam sektor kelas pekerja yang bersatu dalam keberadaan
sistem dan ideologi yang konservatif dan partai.
Pemikiran Marxist juga mempengaruhi pertarungan dan perkembangan politik di
tahun 1960-an. Hal ini dapat ditemui dengan sering terjadinya pertentangan ketika
mencapai masalah paham feminis, yang juga ikut mempengarhui perkembangan paham
feminis, ketika ras menjadi faktor yang penting untuk studi yang mempengaruhi
pergerakan anti ras dewasa ini.
Studi budaya Inggris difokuskan pada pendidikan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan hegemoni borjuis, walaupun mendapat pertentangan di tahun 1960. kejayaan
guru terjadi ditahun 1970-an yang berpusat pada pemahaman populasi Authotarian
yang merupakan hegemoni konservatif yang baru.
Dengan kata lain, fokus budaya di Inggris terdapat dalam setiap peristiwa yang
menjadi media atau alat pertarungan dalam penghubung politik sekarang ini dan
pekerjaan utama mereka yang disusun dengan campur tangan politik. Studi mereka
mengenai ideologi, dominasi dan gerakan perlawanan dan kebudayaan politik, secara
langsung mempengaruhi studi budaya terhadap analisis peninggalan budaya, praktek
dan institusi yang mempengaruhi keberadaan kekuatan jaringan kerja dan menunjukkan
bagaimana kebudayaan diantara penyediaan alat dan dominasi kekuatan dan sumber
perlawanan dan pertarungan.
Fokus dari hal ini meninggalkan banyak media yang harus menjadi bagian dari
studi budaya, termasuk analisis mengenai bagaimana teks dihasilkan dalam konteks
politik ekonomi dan sistem prouksi suatu budaya, sebaik apapun audiens dan subjek
fasilitas dihasilkan oleh variasi institusi sosial, praktek dan ideologi. Sebagai
konsekuensinya dalam studi selanjutnya, maka diperkenalkan adanya ‘studi
media budaya’ untuk menggambarkan proyek analisis hubungan yang kompleks
antara teks, audiens, media industri, politik, dan konteks sejarah sosial dalam
memperkirakan yang spesifik. Dalam buku ini, fokusnya adalah beberapa bentuk
budaya yang dominan dalam masyarakat Amerika.
Fokus pada teks ddan audiens terhadap pengeluaran analisis dalam realis sosial
dan institusi dimana teks dihasilkan dan dipakai dalam studi budaya, seperti
penerimaan analisis yang gagal mengidentifikasi bagaimana audiens dihasilkan
melalui realita sosial mereka dan bagaimana beberapa budaya membantu menghasilkan
audiens dalan penerimaan mereka terhadap suatu teks. Tentu saja hanya ada fetishism
(jimat atau pemujaan) terhadap audiens dalam penekanan terhadap kepentingan
penerimaan dan susunan audiens dan makna akan menimbulkan adanya teks dan audiens
yang berjalan tanpa kritik dan menyenangkan dalam alat atau benda-benda budaya.
Pendekatan ini akan kehilangan kritik perspektif dan menimbulkan penjelasan
positif yang populis. Dengan pengalaman audiens atau apapun yang sedang diteliti.
Penelitian semacam ini juga kehilangan pandangan manipulasi dan efek konservatif
dalam media budaya tertentu, dan oleh karena itu menyediakan kepentingan budaya
industri sebagaimana mereka diatur dalam kelompok-kelompok yang menggunakan
budaya industri untuk mempromosikan kepentingan mereka.
Fiske, sebagai contoh membuat populer daerah perjuangan dimana audiens dominan,
menghasilkan arti dan kesenangan mereka, dan menghindari kontrol sosial dan
manipulasi. Pertarungan politik diganti menjadi ‘pertarungan’ untuk
makna dan kesenangan, dan sementara kekuatan melawan sama dengan penghindaran
terhadap tanggung jawab sosial, seperti dalam video anak-anak muda, di gedung,
pantai dan mal.
Dominasi kesederhanaan menjadi macet, kekuatan melawan dana perjuangan diterjemahkan
tanpa bahaya, yang menghasilkan ideologi budaya populer yang sama dengan kepentingan
kekuasaan. Kekuatan melawan tersebut tidak benar-benar menantang terhadap kekuatan
struktur, tidak juga mengubah kondisi material atau memperbaiki struktur tekanan
yang ditahan dengan menghasilkan makna-makna budaya populer.
Kesenangan audiens merupakan kajian dalam studi budaya. Reaksi melawan kesenangan
tersebut dalam teori radikal lainnya menyatakan dalam membuat perhatian itu
harus membayar untuk kesenangan orang melalui film populer, televisi atau bentuk-bentuk
budaya lainnya, dan kesenangan ini harus dihargai secara positif dan tepat.
Beberapa pendekatan uncritical mengabaikan khususnya antara tipe-tipe kesenangan
dan cara kesenangan itu dapat menjerat individu untuk konservatif, sexist, dan
posisi ras. Seperti, ketika film Rambo, Die Hard atau Terminator mengarahkan
kesenangan pada maskulinitas yang extreme dan perilaku kekerasan.
Kesenangan itu sendiri adalah sesuatu yang alami dan innoncent. Kita belajar
apa yang menyenangkan dana apa yang harus dihindari. Kita belajar kapan tertawa
dan kapan tersenyum. Sebuah sistem kekuatan dan hak yang mengkondisikan kesenangan
kita sehingga kita mencari kesenangan-kesenangan yang secara sosial disetujui
atau dihindari. Beberapa orang belajar tertawa pada lelucon ras dan lainnya
belajar merasa senang pada kekerasan yang brutal.
Belakangan ini studi budaya mencari keseimbangan antara ideologi dan perlawanan
serta hegemoni dan oposisinya. Keseimbangan ini dapat lebih jelas dalam artikel
Hall : ‘Encoding dan Decoding’ dan ‘Deconstruting the Popular’,
yang menyatakan kekuatan media massa membentuk dan menjalankan kontradiksi serta
efek dari budaya media. Studi budaya ini berusaha melakukan pembagian antara
teori manipulasi yang melihat budaya massa dan masyarakat pada umumnya sebagai
dominasi individu-individu, dan teori perlawanan yang menekankan pada kekuatan
individu untuk menentang, melawan, dan perjuangan melawan budaya dominan. E.
P. Thompson menekankan pada kemampuan pekerja untuk melawan dominasi kapital.
Sub-budaya Dick Hebdige yang menyatakan gayamusik rock dan budaya muda, keduanya
sebagai bentuk penolakan dan sebagai alat-alat komerial perusahaan yaitu dari
perlawanan sub-budaya kepada budaya konsumen dominan.
Teori sosial Frankfrut School selalu menempatkan objek analisanya dalam kerangka
kerja dari perkembangan kapitalisme kontemporer. Terkadang memimpin untuk mengurangi
keseluruhan budaya untuk komoditi, ideologi, dan instrumen dari peraturan dominasi
kelas, dan juga menjelaskan sumber dari massa secara menyeluruh dalam memproduksi
hasil-hasil budaya dalam produksi kapitalisme dan proses akumulasi, dan kekuatan
ini menekankan pada sumber ekonomi dan ideologi dasar dari berbagai benda-benda
dari budaya media. Frankfrut School menekankan pada manipulasi pada kekuatan
dan ‘seductiveness’ dari hasil-hasil budaya industri dan bagaimana
kekuatan itu dapat menggabungkan indicidu ke dalam pembentukan dolongan. Penekanan
juga pada bagaimana industri budaya memproduksi ‘sesuatu untuk semua orang,
jadi tidak ada yang dapat menghindar atau melarikan’, dan menganjuran
bagaimana perbedaan dan lurality merupakan alat untuk menggabungkan individu-individu
ke dalam keberadaan masyarakat.
A Postmodern Cultural Studies?
Pada kenyataannya , istilah ‘postmodern’ merupakan salah satu hal
yang paling membingungkan dan paling sering disalahgunakan dalam kamus teori
kritis kontemporer. Istilah ‘modern’ dan ‘postmodern’
digunakan untuk mengkover sebuah perbedaan yang membingungkan dari artifact
budaya, fenomena sosial, dan ceramah teoritik. Konsep postmodern mensyaratkan
penelitian yang konstan, klarifik dan kritis.
Seringkali penggunaan istilah ‘postmodern’ terhadap fenomena yang
menyangkal modern dan pidato yang berkaitan dengannya hanya digunakan sebagai
kesamaan untuk kejadian yang bersifat sementara dimana kita hidup, atau hal-hal
baru jaman ini, tanpa analisis substantif.
Masyarakat postmodern disamakan dengan manifesto komunis dimana manifesto adalah
hymne nyata menuju modernitas dan merupakan kunci dari teori-teori modern.
Berbagai penaliti di bidang studi budaya menggunakan ceramah tentang postmodern,
tapi pada umumnya gagal untuk menambah penopang dalam diskusi dan menggunakan
dalam berbagai jalan menurut pengertian mereka sendiri.
Banyak ahli-ahli teori postmodern atau siapa yang menyebarkan istilah postmodern,
sering mengeluarkan ungkapan dan istilah yang secara sepihak dan sewenang-wenang
disebut oleh mereka sebagai postmodern. Banyak dari contoh-contah dan istilah-istilah
yang mereka keluarkan mengutip dari kunci karakteristik modern atau artifak-artifak
sebagai contoh tentang postmodern. Apabila mereka gagal menjelaskan makna sebenarnya
dari istilah-istilah yang mereka keluarkan, mereka akan mengalihkan pada gejala-gejala
postmodern yang mendukung argumen mereka.
Salah satu usaha untuk menghubungkan studi budaya dengan teori postmodern ditemukan
dalam karya Dick Hebdige’s yang berjudul Hiding in the Light (1988). Hebdige
berkeinginan untuk menyelidiki peningkatan hidup yang sebenarnya dan dimensi
positif yang terbuka untuk diperdebatkan mengenai istilah ‘post’
dan untuk mengasimilasikan pengertian-pengertian kedalam suatu studi budaya.
Hebdige lebih memilih untuk percaya pada Raymond Williams, dimana Raymond Williams
mengungkapkan bahwa derajat kompleksitas semantik dan memberikan muatan yang
berlebihan mengenai ‘postmodernisme’ dimana
Setelah menggambarkan beberapa posisi penting dari teori postmodern, Hebdige
mulai menindas beberapa perspektif postmodern baru terhadap program neo-Gramscian
yang lebih tua dalam menghubungkan studi budaya terhadap proyek untuk mempromosikan
sosial radikal dan perubahan budaya, untuk membantu kesetiakawanan baru, perjuangan
baru, pergerakan baru untuk mempromosikan penyebab dari progresive tansformation
sosial. Tetapi, seperti yang Ia tunjuk, hal ini adalah suatu program yang berbeda,
suatu versi yang berbeda dengan Maxisme, daripada teori-teori yang telah ada
sebelumnya, dan lebih menjurus kearah program revolusioner sosialis orthodox.
Program neo-Gramscian sebagai pembanding tidak memiliki jaminan, tidak memiliki
aturan-aturan tertulis, tidak memiliki naratif dasar tentang emansipasi, tidak
memiliki pembahasan reduktif, tidak memiliki pembahasan berkaitan dengan kelas-kelas
dan kelompok-kelompok social, tidak memiliki basis perjuangan, tetapi masih
bertahan dengan harapan yang baru akan kesetiakawanan, bentuk perjuangan yang
baru, untuk mempromosikan radikalisme, dan untuk membawa cahaya kritis radikal
dalam media.
Menururt Baudrilland, Lyotard, dan kawan-kawan sekitar tahun 1970 mengemukakan
bahwa postmodernism adalah suatu seni, bagaimanapun juga, pidato adalah suat
elemen dari ‘postmodern culture’, ‘postmodern scene’,
atau ‘postmodern condition’ baru dan konsepsi yang luas dari era
baru postmodernisme.
Pidato dalam postmodernim adalah suatu kebudayaan dan konstruksi teoritikal,
bukan suatu peristiwa-peristiwa dalam bidang ketatanegaraan. Oleh karena itu,
tidak ada fenomena yang pada hakikatnya ‘postmodernism’, dimana
teori tersebut dapat dideskripsikan.
Sebagai konsekuensinya, konsep-konsep dari postmodernism hanya berupa konseptual
yang terkonstruksi yang dimaksudkan untuk melaksanakan interpretif tertentu
atau menjelaskan suatu masalah, dan konsep-konsep tersebut bukanlah suatu istilah
yang tampak (tranparan), dimana hal tersebut hanya merefleksikan kemapanan suatu
urusan negara.
Teori postmodern telah terpenetrasi hampir pada keseluruhan sektor kedisiplinan
pada tingkat akademis, memproduksi kritik-kritik dari teori modern dan alternatif
teori postmodern yang dipraktekkan dalam filosofis, teori sosial, politik, ekonomi,
antropologi, geografi, dan faktor akademik yang terkait.
Salah satu tujuan dari studi ini adalah untuk menjelaskan dan memagari sosial
budaya kita saat ini, juga menentukan kegunaan dan ketidakbergunaan dari pidato
postmodernisme akan menjadi satu dalam suatu masalah-masalah yang dikaji pada
studi selanjutnya.