If there are images in this attachment, they will not be displayed.  Download the original attachment
Page 1
Ma’had Al-Zaytun
Sebuah Gerakan Keagamaan
Dalam Perspektif Hermeneutika
Oleh
Tim Peneliti INSEP
(Indonesia Instutute for Society Empowerment)
Jakarta
Bekerjasama dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI
2004
Editor
Ahmad Syafi’i Mufid
Husein Hasan Basri
Tim Peneliti
Ahmad Syafi’i Mufid (INSEP)
Ibnu Hamad (Universitas Indonesia)
Fuaduddin, TM (Puslitbang Penda)
Ali Bowo Tjahjono (Unissula – Semarang)
Ghofar Shidiq (Unissula – Semarang)
Husen Hasan Basri (INSEP)

Page 2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dan syukur kepada Allah atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya, kami
tim peneliti Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP) Jakarta dapat menyelesaikan
penelitian ini sebagaimana rencana yang telah ditetapkan. Penelitian ini dilakukan untuk
memberikan informasi akademik terhadap wacana “pro dan kontra” di seputar Ma’had Al-Zaitun,
Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai
pertanyaan yang dialamatkan kepada lembaga tersebut. Dengan demikian, laporan penelitian ini
dapat menjadi bagian dari solusi masalah umat Islam yang berkaitan dengan ketidapercayaan
masyarakat (social distrust) antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Laporan penelitian ini terdiri atas tiga dokumen yang antara satu dengan yang lain saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dokumen pertama berisi laporan lengkap hasil penelitian
Ma’had Al-Zaitun dalam bentuk sebuah buku. Dokumen kedua berupa ringkasan hasil penelitian.
Ringkasan ini disajikan untuk pembaca yang ingin mengetahui informasi tentang Ma’had secara
garis besar. Dokumen yang ketiga berupa Executive Summary yang hanya memuat inti temuan
serta implikasi hasil penelitian. Bagian ketiga ini hanya sekitar tiga halaman dan diharapkan dapat
dibaca oleh top executive atau pimpinan Departemen Agama. Mudah-mudah dengan membagi
hasil penelitian ini menjadi tiga dokumen dapat membantu para pembaca menemukan informasi
yang diinginkan.
Kami menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dan masih menyisakan berbagai
pertanyaan tentang masa depan subjek atau sasaran penelitian. Apakah proses transformasi yang
dilakukan oleh sekelompok orang atau tokoh pendiri Ma’had ini akan tetap berlanjut? Bagaimana
mereka mengembangkan pendidikan model baru ini benar-benar menjawab kebutuhan akan
pendidikan masa depan yang berorientasi kepada keluasan ilmu pengetahuan dan kesamaptaan
jasamani atau dalam istilah mereka “basthatan fil 'ilmi wal jismi”? Jika kita sepakat dengan Richard
Crawford dalam bukunya In the Era of Human Capital, Harper Business, 1991 menyatakan
bahwa pada era manusia sebagai capital; talenta, kecerdasan dan pengetahuan adalah sebagai
kekuatan ekonomi dunia maka beberapa dasawarsa yang akan datang kita dapat membuktikan
kebenaran pernyataan tersebut atau menolaknya. Oleh karena itu penelitian tentang subjek yang
sama dengan focus yang berbeda tentu masih sangat terbuka.
Penelitian ini berhasil diselesaikan berkat bantuan, fasilitas dan kerjasama dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapakan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang
Agama dan Diklat Kegamaan Departemen Agama RI yang telah memberikan kepercayaan kepada
kami untuk melaksanakan penelitian. Begitu juga ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada seluruh eksponen khususnya Syeikh Ma’had Al-Zaitun yang telah sudi menerima tim ini
dan memberikan kesempatan wawancara dan pengamatan. Begitu juga informan kami dari
kalangan yang kontra Ma’had Al-Zaitun, aktifis atau mas’ul di berbagai daerah, para saksi dan wali
santri, yang tentu saja untuk menjaga privasi mereka tidak kami sebut nama-nama beliau, kami
ucapkan terima kasih dan sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan
kepercayaan, bantuan dan kerjasama sehingga lahir karya ini benar-benar bermanfaat kepada
siapa saja, tidak saja kepada mayarakat luas tetapi juga bagi lembaga subjek kajian itu sendiri.
Amien.
Jakarta, 17 Februari 2004
Tim Peneliti

Page 3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi, ii
I.
PENDAHULUAN, 1
A. Latar Belakang, 1 - 4
B. Gerakan Keagamaan Islam di Indonesia, 4 - 8
C. Kerangka Konseptual, 8 - 9
D. Masalah, Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian, 9 - 10
E. Metodologi Penelitian, 10 - 11
II.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MA’HAD AL-ZAYTUN, 12
A. Latar Belakang Berdiri, 12 - 34
B. Perkembangan Ma’had Al-Zaytun, 34 - 37
C. Ma’had Al-Zaytun dalam Wacana Pro dan Kontra, 37 - 42
III.
DOKTRIN DAN AJARAN, 43 - 48
A. NII dan Pemikiran Politik Pencetusnya, 48 - 50
B. Doktrin Teologis dan Penjabarannya, 50 - 55
C. Doktrin Hijrah, 55 - 56
D. Doktrin Infaq dan Shadaqah, 56 - 61
E. Bai’at dan Imamah, 61 - 63
F. Doktrin Tazkiyah, 64 - 66
IV.
SISTEM PENDIDIKAN, 67
A. Fisik, 67 - 69
B. Organisasi dan Manajemen Ma’had Al-Zaytun, 69 - 73
C. Membangun Budaya Ma’had Al-Zaytun, 73 - 74
V.
PENDANAAN MA’HAD AL-ZAYTUN, 75
A. Dana Awal Ma’had Al-Zaytun, 75 - 80
B. Sumber Dana Ma’had Al-Zaytun, 80
1. Dana Pendidikan Santri, 80 - 81
2. Usaha Ma’had, 81 - 82
3. Tamu, 82
4. Donatur, 82 - 83
5. Luar Negeri, 83
VI.
MA’HAD AL-ZAYTUN: METAMORFOSA SEBUAH GERAKAN KEAGAMAAN, 84
A. Kerangka Penafsiran, 84
B. Ma’had Al-Zaytun Metamorfosis dan Institut Suffah-nya DI/TII, 84 - 86
C. Ma’had Al-Zaytun:
Bukan Sekedar Metamorfosis, Sebuah Tinjauan Ekonomi-Politik, 86 - 88
D. Menerka Masa Depan Hasil Metamorfosa, 88
VII.
KESIMPULAN DAN REKOMNENDASI, 89
A. Kesimpulan, 89
B. Rekomendasi, 90
DAFTAR PUSTAKA, 91 - 95
GLOSSARY, 96 - 99

Page 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dapat dikatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang khas karena Islam tidak hanya mengurusi
persoalan pribadi, ia juga merupakan sekumpulan nilai yang mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan.
Islam adalah sekumpulan peraturan Tuhan yang harus dilaksanakan oleh setiap pribadi muslim. Cita-cita
ideal Islam adalah mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi peraturan-peraturan Tuhan tersebut.
Karena sifatnya yang demikian, para pengikut agama ini merasa perlu menciptakan sebuah tatanan atau
pranata di mana cita-cita Islam tersebut dapat terwujud di muka bumi ini.
Cita-cita yang demikian membuat sebagian kelompok muslim memandang perlu menciptakan
sebuah pranata yang mampu mengaplikasikan peraturan-peraturan Tuhan secara sempurna, yaitu negara
yang berlandaskan Islam. Mereka menganggap bahwa negara adalah sebagai perantara untuk dapat
menerapkan ajaran Islam. Oleh karena mewujudkan idealitas Islam merupakan sebuah kewajiban, maka
mewujudkan perantaranya pun wajib pula. Namun bagi sebagian yang lain, terwujudnya ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari tidak tergantung pada ada tidaknya negara; berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari bergantung pada komitmen individual kaum muslim dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya.
Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Karena bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan budaya, maka Islam di Indonesia menjadi berwajah plural. Islam
juga termanifestasikan dalam beragam budaya lokal. Oleh karena itu, ketika syari’ah diusulkan dan
diperjuangkan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh terjadi perbedaan dalam pemahaman
syari’ah itu sendiri. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual merupakan sejumlah faktor yang
mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman umat Islam terhadap syari’ah. Kecenderungan intelektual
yang berbeda dalam upaya memahami syari’ah dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai
suatu doktrin. Munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya, menunjukkan bahwa
ajaran-ajaran Islam itu multi interpretatif.
1
Perbedaan faham dan interpretasi mengenai hubungan Islam dan negara juga muncul di kalangan
kaum muslim di negeri ini. Munculnya perbedaan ini telah ada sejak dimulainya bangsa ini mempersiapkan
kemerdekaannya. Pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah muncul perbedaan mengenai apa yang menjadi
dasar negara Indonesia merdeka? Ada sebagian yang mengusulkan dasar negara kita adalah Islam, tetapi
ada juga yang mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka adalah pandangan-pandangan hidup modern
seperti kebangsaan, demokrasi, kemanusiaan dan seterusnya. Ketika kompromi telah disepakati bahwa
dasar negara adalah Pancasila, sebagimana pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, dan dibentuklah panitia
sembilan yang ditugasi merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maka muncul lagi diskusi
tentang perlu tidaknya mencantumkan syari’at Islam ke dalam landasan dasar negara yang biasa disebut
dengan Piagam Jakarta. Meski sempat disepakati bahwa sila pertama Piagam tersebut berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, namun kemudian tanpa alasan
yang jelas dan dapat diterima kelompok Islam, kesepakatan ini dihilangkan begitu saja pada saat
pengesahan dasar negara Pancasila pada 18 Agustus 1945, sehingga menimbulkan kekecewan sebagian
kalangan Islam.
2
Penghilangan tujuh kata pada sila pertama Pancasila (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluknya) telah menjadi pemicu bagi lahirnya gerakan Darul Islam di Indonesia. Mereka menuntut
agar syari’at Islam diberlakukan atau mendirikan negara Islam di Indonesia. Salah satu gerakan Islam yang
menuntut hal ini adalah gerakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat. Gerakan ini
kemudian memproklamirkan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (NKA-NII) di bawah
kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949.
3
1Lihat kata pengantar Bahtiar Effendy, “Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan Yang Memungkinkan Antara
Doktrin dan Kenyataan Empirik,” dalam M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001),
hal. xii-xiii.
2
Banyak publikasi menyebutkan bahwa Bung Hatta menerima laporan dari opsir Angkatan Laut bala tentara
Jepang bahwa masyarakat Indonesia bagian timur berkeberatan dengan pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta,
dan jika tidak dihapus mereka tidak mau merdeka bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang lain. Akhirnya, tujuh
kata dalam Piagam Jakarta tersebut dicoret dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat antara lain, Daniel S.
Lev. Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, terj.
H.Zaini Ahmad Noeh (Jakarta, Intermasa, 1986), Cet. II, hal. 60-62.
3
Versi lain, Kartosuwirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada hari-hari sekitar menyerahnya
Jepang. Menurut Alers, Sekarmaji Kartosuwirjo memproklamasikan Darul Islamnya sejak 14 Agustus 1945, tetapi
menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta 17 Agustus
1945. Lihat C. Van Dijk. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hal. 5.

Page 5
Usaha Kartosoewirjo dan para pengikutnya mendirikan negara Islam menemui jalan buntu. Pada
tahun 1962 gerakan ini ditumpas oleh Soekarno dan pada tanggal 17 Agustus 1962 Kartoseowirjo diganjar
hukuman mati. Meskipun hukuman mati telah ditimpakan kepada pimpinan DI/NII, para pengikut gerakan ini
tidak pernah kehilangan semangat untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam. Mereka terus
melakukan gerakan-gerakan bawah tanah dan terus bergerak untuk mengembangkan anggotanya.
4
Terjadinya perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru ternyata tidak membuat gerakan
ini mendapatkan kebebasannya. Dengan menggunakan sandi Operasi Khusus, rezim Orde Baru melakukan
penangkapan besar-besaran terhadap aktivis NII. Namun tidak sedikit tokoh-tokoh NII yang dapat
meloloskan diri dari operasi ini sehingga mereka mampu meneruskan cita-cita gerakan. Mereka terus
melakukan pengkaderan-pengkaderan secara sembunyi, termasuk mengkader seseorang yang di kemudian
hari dikenal sebagai Syekh Ma’had Al-Zaytun, AS Panji Gumilang.
5
Jatuhnya pemerintah Orde Baru menandai babak baru dalam sejarah Islam Indonesia. Babak baru
ini memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai
bentuknya. Berbagai peluang yang lebih besar bagi perkembangan Islam di Indonesia dimanfaatkan oleh
umat Islam. Karena ajaran Islam bersifat multi interpretatif, maka beragam perjuangan untuk menjalankan
ajaran-ajaran Islam bermunculan dalam rangka mengisi peluang tersebut. Sebagian kaum muslim ada yang
mengekspresikan kebebasan itu dengan cara mendirikan partai politik.
6
Di tengah-tengah eforia politik, muncul varian organisasi keagamaan yang mendirikan dan
mengembangkan lembaga pendidikan pesantren yang “berjenis baru”. Pesantren jenis baru itu bernama
Ma’had Al-Zaytun, yang dibangun di desa Mekarjaya, Indramayu, Jawa Barat. Kekhasan persantren ini
terutama pada aktivitas para santrinya yang ditujukan pada pembinaan watak pribadi yang mandiri yang
diarahkan untuk mengembangkan budaya toleransi dan budaya perdamaian.
7
Selain membangun watak
kemandirian, Ma’had juga sangat concern terhadap pengembangan kesehatan jasmani para santri dan
sekaligus kemampuan intelektual yang unggul. Dalam bahasa Ma’had cita-cita tersebut terlukis dalam
semboyan “basthatan fil 'ilmi wal jismi”.
Pesantren yang diresmikan Presiden Habibie pada 1999 itu merupakan gambaran sistem pesantren
modern yang hidup dari dukungan sumber daya pertanian. Pesantren ini milik Yayasan Pesantren
Indonesia, dan dibangun di atas tanah 200 hektar, dengan lahan pendukung 1000 hektar yang mulai digarap
untuk usaha peternakan, perikanan, pertanian dan tanaman hutan. Pembangunan pesantren modern
dengan daya dukung pertanian itu bertujuan menanamkan filosofis pertanian dalam proses belajar para
santri.
8
Ma’had Al-Zaytun itu terus mengalami perkembangan yang pesat. Sarana prasarana pendidikan
terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah santri. Selama beberapa tahun pesantren ini dikenal
luas oleh masyarakat Islam. Santri-santrinya datang dari seluruh Indonesia, bahkan santri-santrinya pun ada
yang berasal dari luar negeri, terutama Malaysia dan bahkan ada datang dari Afrika Selatan.
Perkembangan dan kemajuan yang dialami Ma’had Al-Zaytun menjadi fenomenal dan kontroversial.
Belum genap dua tahun, datang tudingan dan tuduhan yang dialamatkan ke pesantren itu. Di kalangan
masyarakat Indramayu sendiri tersiar bahwa Ma’had Al-Zaytun menganut ajaran dan akidah yang berbeda
dan sesat.
9
Bahkan Keluarga Besar Para Orang Tua Korban Kejahatan NII Ma’had Al-Zaytun mendatangi
DPR dan meminta DPR untuk membentuk tim khusus guna menyelesaikan soal Al-Zaytun. Reaksi terhadap
kesesatan Al-Zaytun datang bertubi-tubi baik dari perorangan maupun lembaga dalam berbagai acara, mulai
dari diskusi, tabligh akbar, bedah buku, sampai kesaksian para korban. Sebagian besar dari reaksi itu
mengatakan bahwa Ma’had Al-Zaytun adalah “sesat”.
10
Di sisi lain muncul juga anggapan dari masyarakat bahwa Al-Zaytun murni lembaga pendidikan yang
menerapkan kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional secara terpadu. Mereka
berpendapat bahwa isu-isu yang disebarluaskan oleh orang dan kelompok tertentu tidak lebih sebagai upaya
memecah belah umat Islam dan sekaligus upaya penghancuran Islam oleh orang Islam sendiri.
11
Jenderal
Purnawirawan AM Hendropriyono, kepala BIN, dalam sambutannya ketika meresmikan dimulainya
4
S.Yunanto, et.al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung
(FES) bekerjasama dengan The Ridep Institute, 2003), hal. 63. Tanggal 24 April 1962 Imam Kartosoewirjo terluka
dalam suatu tembak-menembak. Ia tertawan pada tanggal 4 Juni 1962, dan diadili pada bulan Agustus. Pada tanggal 12
September (pada sidang peradilan) hakim ketua mengumumkan, bahwa Kartosoewirjo tidak akan dapat memberi
kesaksian karena ia telah ditembak mati. Lihat Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan:
Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal. 32.
5
S. Yunanto, et.al., hal. 64.
6
Dari 48 partai peserta pemilu 1999 terdapat 19 partai yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam. Suatu
partai dikatakan partai Islam bila namanya atau asasnya atau lambangnya mengandung unsur Islam, lihat Sudirman
Teba, Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001).
7
Harian Pelita, 27-8-1999.
8
Harian Pelita, 27-7-1999.
9
Harian Media Indonesia, 8-4-2001.
10
Majalah Sabili, No. 20 TH. IX 4 April 2002/21 Muharram 1423.
11
Harian Pelita, 28-7-2001

Page 6
pembangunan gedung Dr. Ir. H. Muhammad Soekarno pada 14 Mei 2003 menyatakan akan membela
pesantren ini dengan seluruh kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan dia menyebut orang-orang
yang selama ini mendiskreditken Ma’had Al-Zaytun sebagai “Iblis”.
12
Muncul sikap pro dan kontra di masyarakat seputar Ma’had Al-Zaytun mendorong Depag, lewat
Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, untuk melakukan penelitian terhadap pesantren itu. Hasil
penelitian Depag itu di antaranya mencatat; pertama, bahwa Al-Zaytun merupakan lembaga pendidikan
yang berobsesi menjadi lembaga pendidikan Islam modern dan unggul. Kedua, komunitas Al-Zaytun dalam
memahami ayat al-Qur'an dan Hadits bercorak rasional dan kontekstual. Ketiga, walaupun interaksi sosial
internal di kalangan komunitas Al-Zaytun cukup dialogis dan berkultur islami, namun interaksi sosial external
seperti dengan masyarakat sekitar dan pejabat pemerintah cukup terbatas.
13
Kesimpulan hasil penelitian itu
menyiratkan bahwa Depag belum berhasil menemukan bukti-bukti kesesatan Al-Zaytun.
Terhadap hasil penelitian Depag, pihak MUI tidak menerima begitu saja. Kemudian MUI membentuk
tim peneliti MUI tentang Ma’had Al-Zaytun. Dari hasil penelitian itu ditemukan; pertama, indikasi kuat adanya
hubungan antara Al-Zaytun dengan NII KW9 yang bersifat historis, finansial dan kepemimpinan. Kedua,
terdapat penyimpangan faham dan ajaran Islam yang diperaktekkan organisasi NII KW9. Ketiga, tidak
ditemukan adanya penyimpangan ajaran Islam dalam sistem pendidikannya — kecuali dalam masalah zakat
fitrah dan qurban yang dianggap ada penyimpangan.
14
Sikap prokontra tidak membuat pihak pesantren untuk berhenti terus mengembangkan
pesantrennya. Bahkan dalam ulang tahunnya yang ke-3 Syekh Panji Gumilang berencana membangun
gedung-gedung mercusuarnya seperti masjid yang berkapasitas 100.000 jamaah, menara yang lebih tinggi
dari Monumen Nasional (Monas), ruang belajar berlantai empat dengan nama “Gedung Jendral Besar
Soeharto”, dan landasan pesawat.
15
Pengembangan Ma’had Al-Zaytun itu terus berlangsung sampai
sekarang.
Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan Ma'had Al-Zaytun memunculkan dua hal yang
berlawanan; di satu sisi menimbulkan resistensi sebagian masyarakat muslim terhadap pesantren itu karena
terindikasi terkait dengan gerakan NII yang dilarang pemerintah
16
dan dicurigai berfaham keagamaan yang
sesat yang pada akhirnya berimplikasi pada keharusan membubarkan Al-Zaytun, dan pada sisi yang lain
Mahad Al-Zaytun adalah aset umat Islam yang harus dijaga dan dipertahankan.
Sebenarnya Ma’had Al-Zaytun itu apa? Gerakan pendidikan, gerakan pemberontakan sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh DI/TII, gerakan keagamaan dengan nama NII KW9, atau gabungan dari semua
itu? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu perlu untuk melakukan
sebuah penelitian yang dapat memberikan gambaran yang holistik tentang eksistensi pesantren jenis baru
itu dan relasinya dengan gerakan keagamaan di masa lalu. Selanjutnya, penelitian ini difokuskan pada
empat aspek, yakni sejarah, ajaran, pendidikan dan pendanaan. Keempat fokus penelitian tersebut dilihat
sebagai satu kesatuan yakni teks keagamaan, dalam perspektif ekonomi politik. Walaupun penelitian
terhadap ajaran dan faham keagamaan (teks keagamaan) serta sejarah latar belakang berdirinya pesantren
tersebut telah dilakukan pihak MUI dan Depag, tetapi hasil penelitian Depag terfokus pada masalah etnografi
lembaga pendidikannya. Padahal sebuah lembaga pendidikan memiliki hidden curriculum (kurikulum
tersembunyi) yang tidak diangkat dalam penelitian Litbang. Sementara hasil penelitian MUI cukup berhasil
mengungkap apa yang dipandang sebagai “kesesatan ajaran” dan keterkaitan Ma’had Al-Zaytun dengan NII
KW9. Namun, apa yang disebut oleh tim peneliti MUI dengan “konsep-konsep ajaran agama Islam yang
diselewengkan serta terjadinya eksploitasi dan pemaksaan, sehingga anggota tergiring untuk melakukan
tindakan kriminal” tidak disebutkan ajaran yang mana yang dimaksud. Begitu juga dengan penyelewengan
dengan menggunakan simbol agama seperti “shadaqah istighfar, shadaqah tahkim, dan shadaqah
munakahat” tidak dijelaskan apa yang menyimpang dari simbol-simbol tersebut Sedangkan adanya
keterkaitan Ma’had Al-Zaytun dengan NII KW9, hasil penelitian tim MUI masih merupakan informasi yang
berasal dari satu sumber yakni pihak yang kontra. Tim peneliti hanya mewawancarai pihak-pihak yang
kontra dengan pihak Ma’had Al-Zaytun tanpa melakukan trianggulasi. Oleh karena itu keempat dimensi itu
penting untuk diteliti kembali, terutama dimensi sejarah politik yang sama sekali belum diteliti, karena bisa
melihat keberadaan Ma’had Al-Zaytun secara holistik. Khusus untuk dimensi sejarah politik, dimensi ini
sangat penting untuk diteliti karena bila orientasi politik Ma’had Al-Zaytun tidak berbeda dengan orientasi
politik NII yakni mendirikan negara Islam maka akan menghambat proses negoisasi demokrasi di Indonesia.
Lebih jauh lagi proses menuju Indonesia sebagai negara bangsa yang utuh akan terhambat.
B. Gerakan Keagamaan Islam di Indonesia
12
Majalah Al-Zaytun, No. 31- 2003 dan CD
13
Lihat Ma'had Al-Zaytun di Indramayu, Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf, Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2002).
14
Lihat Tim Peneliti Ma'had Al-Zaytun Majelis Ulama Indonesia, Laporan Lengkap Hasil Penelitian
Ma’had Al-Zaytun Haurgeulis Indramayu, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2002).
15
Majalah Sabili, No. 05 TH. X 19 September 2002/H2 Rajab 1423.
16
Gerakan DI dilarang pemerintah karena ingin membuat negara dalam negara.

Page 7
Gerakan keagamaan dalam sejarah Indonesia adalah sesuatu yang bersifat latent. Berdasarkan
data yang ada, secara garis besar terdapat empat macam model gerakan dalam sejarah social Islam.
Gerakan yang dimaksud adalah pertama, gerakan purifikasi sufisme; kedua, gerakan purifikasi ala Wahabi,
dan ketiga gerakan modernisme maupun fundamentalisme dan yang keempat gerakan dan pemikiran
masyarakat madani (civil society). Pada awal penyiaran Islam di Nusantara, gerakan keagamaan yang
bercorak pemurniaan sufisme sudah terjadi. Gerakan tersebut muncul di dua kerajaan Islam yakni Acch dan
Demak. Di Demak, gerakan keagamaan itu timbul berkaitan dengan sosok seorang wali yang dianggap
murtad. Wali yang dimaksud adalah Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang. Dia dituduh mengajarkan
ajaran sesat yakni "manunggaling kawula gusti", atau menyatunya seorang hamba dengan Tuhannya.
Tokoh ini mendapat pengikut-pengikut setia dari kalangan bangsawan Majapahit satu diantaranya yang
terkenal dan kemudian menjadi penguasa di Pengging, Kebo Kanigara. Setelah meninggal, penguasa
Pengging ini digantikan oleh anaknya yang bungsu, Kebo Kenanga. Penguasa Pengging yang terakhir inilah
yang menjadi murid Syekh Siti Jenar. Gerakan ini berhasil “dilemahkan” oleh dewan walisongo, tetapi
gerakan keagamaan yang mengarah pada praktik “penyatuan hamba dengan Tuhannya” terus menerus
muncul. Terakhir berkembang dalam bentuk gerakan aliran kebatinan.
17
Gerakan keagamaan yang
dipandang bercorak pemurnian (purifying) sufisme muncul juga di Aceh yakni pemurnian tasawuf emanatif
(wujudiyah) yang berpandangan bahwa yang hakiki hanyalah Tuhan, manusia adalah pancaran dzat Tuhan
belaka. Karenanya usaha utama manusia adalah bagaimana menyatukan diri dengan Tuhan. Pandangan
yang dianggap meremehkan syari’at ini dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan murid-muridnya di
Sumatera. Lawan dari ajaran yang pertama menyatakan tidak ada “wahdah al wujud” atau menyatunya
hamba dengan Tuhannya, melainkan kesatuan kesaksian atau “wahdah as syuhud”. Ulama yang
menentang faham wahdatul wujud di Sumatera adalah Nuruddin Ar Raniri. Tokoh ini berhasil menghentikan
laju perkembangan faham wahdah al wujud, dan kemudian menjadi landasan bagi menguatnya faham
fiqhiyah dalam masyarakat Islam.
18
Gerakan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh tasawuf emanasi terus berlangsung hingga abad
XVII. Di Jawa misalnya, terdapat banyak tokoh yang dihukum berat karena ajaran-ajarannya yang dianggap
bid’ah. Selain Syekh Siti Jenar yang dihukum mati pada awal kerajaan Demak, masih ada empat tokoh yang
diadili oleh para penguasa pada zamannya karena mengajarkan faham tersebut kepada umum dan bukan
karena ajaran atau faham itu sendiri. Empat orang tokoh yang dimaksud adalah Sunan Panggung,
bangsawan Demak, Ki Bebeluk yang hidup pada zaman kerajaan Pajang, Syekh Among Raga pada zaman
Sultan Agung Mataram dan Ki Cabolek (H. Ahmad Mutamakin) pada masa pemerintahan Kasunanan
Kartasura.
19
Gerakan keagamaan berikutnya adalah reformisme yang mengarah kepada ortodoksi ajaran yang
berkaitan dengan teologi (aqidah) dan praktik peribadatan (fiqh). Gerakan ini berusaha menghilangkan
sinkretisme dan faham-faham lama dalam kehidupan umat Islam dengan cara memperbaharui ajaran (baca
pemahaman) dan praktik yang sesuai dengan dasar-dasar Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Gerakan
ini secara elegant muncul dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan seperti dikembangkan oleh kaum
Padri di Sumatera Barat dan pesantren di Jawa. Kaum Padri sebenarnya adalah penganut mazhab Hambali
yang sedang memperluas pengaruh secara radikal dan menggunakan kekerasan terhadap penganut faham
Syi’ah (Adat). Faham ini muncul di Minangkabau pada tahun 1803 sepulang tiga orang Minang dari Tanah
Arab, ketika revolusi Wahabi sedang berkobar. Mereka adalah Haji Sumanik, dari Tanah Datar, Haji Piobang
dari Lima Puluh Kota dan Haji Miskin dari Agam.
20
Berbeda dengan kaum Padri, pesantren di Jawa juga
berperan dalam puritanisasi ajaran agama Islam. Namun gerakan yang dikembangkan tidak radikal.
Caranya melakukan perubahan ke arah ketaatan dalam menjalankan syariat dan tetap teguh dalam
melaksanakan ajaran tasawuf. Peranan pesantren dalam perkembangan gerakan Islam di Jawa juga
sebagai lembaga pendidikan yang melakukan pemurnian ajaran dan parktek keagaman dengan cara
menggabungkan antara syari’at dan tarekat. Di lembaga inilah faham lama dan baru bertemu dan terjadilah
bangunan Islam dengan corak Jawa yang dipimpin oleh para kyai. Di Jawa, pemimpin agama lebih lazim
17
De Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di ]awa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 71. Ajaran ini dilambangkan dalam Serat Dewaruci, dimana dikatakan Arya
Sena masuk dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga kiri. Untuk penjelasan lebih lanjut lihat, Simuh, Mistik Islam
Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, (Jakarta: UI-Press, 1988),
hal. 289-307.
18 Gambaran singkat tentang hal ini dapat dibaca antara lain dalam tulisan A. Johns, “Tentang Kaum Mistik
Islam dan Penulisan Sejarah” dalam Taufik Abdullah, (ed). Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di
Indonesia., (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987), hal. 94.
19
Kelima tokoh tersebut dipersalahkan karena mengajarkan faham sufisme yang dianggap menyimpang dan
dituduh mengabaikan syari’at. Pembahasan tentang masalah tersebut dapat dilihat pada Ahmad Syafi'i, Tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah: Kebangkitan Kembali Agama di Kajen, (Tesis Magister Antropologi, Program Studi
Antropologi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta: 1990), hal. 39-43.
20
Lihat Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao: Teror Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833,
(Jakarta: Tandjung Pengharap, 1964). Tentang gerakan Wahabi masuk Minangkabau lihat hlm. 124- 267. Juga Mansor
M.D dkk, Sedjarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970).

Page 8
disebut “kyai” dibanding ulama. Seorang kyai adalah sarjana muslim yang menguasai bidang tauhid atau
kalam, fiqh dan sekaligus juga seorang ahli sufi.
21
Gerakan keagamaan yang ketiga adalah gerakan yang bercorak modernis dan fundamentalis.
Gerakan keagamaan ini sebagian tumbuh menjadi organisasi atau partai politik dan sebagian lainnya tetap
dalam bentuk gerakan.
22
Menurut Mukti Ali, modernisme adalah paham yang bertujuan memurnikan Islam
dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan mendorong kebebasan
berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks Al-Qur’an dan Hadis yang sahih. Fazlur Rahman
memberikan arti modernisme sebagai fenomena keagamaan yang menunjukkan adanya usaha untuk
melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di
dunia Islam. Sementara Bassam Tibi menekankan pada “akulturasi budaya” yakni integrasi ilmu
pengetahuan dan teknologi ke dalam Islam dan menghindari aspek negatif dalam penerapannya.
23
Sementara fundamentalis adalah gerakan keagamaan yang menekankan pada reformasi keagamaan
secara literer dan menekankan pada pemurnian doktrin. Seringkali aktivis gerakan ini disebut kelompok
ortodok yang rigid dan ta’asub yang bercita-cita menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh
Masehi, yakni doktrin Islam pada zaman klasik. Menurut Bassam Tibi, fundamentalis adalah aliran
keagamaan yang menolak segala hal yang baru dari yang telah ada dalam doktrin. Fazlur Rahman
menyebutnya sebagai kelompok “anti intelektual”, sedangkan Fouad Ajami menambahkan ciri
fundamentalisme adalah menafikan pluralisme. Bagi kaum fundamentalis, dunia ini hanya ada dua jenis
masyarakat, yaitu apa yang disebut Sayyid Qutub sebagi al-nidlam al Islami (tatanan social yang Islami) dan
al-nidlam al jahili (tatan social Jahiliyah).
24
Gambaran tentang sikap seorang fundamentalis seperti di atas dicontohkan oleh sebuah peristiwa
seorang prajurit Mesir yang melompat dari truk militer dalam sebuah parade di Cairo pada tanggal 6 Oktober
1981, dan menembak Presiden Anwar Sadat sehingga meninggal dunia. Kelompok pembunuh tersebut
dikenali sebagai Islam fundamentalis. Istilah fundamentalis sangat tidak mudah untuk diterapkan dalam
Islam, sebab istilah tersebut aslinya berasal dari gerakan Kristen di Barat. Namun demikian, Islam
fundamentalis seringkali dikaitkan dengan para pembaharu pra modern seperti Ahmad bin Hambal (w. 855)
dan Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 1328) dan juga gerakan revivalis Muhammad Ibn A’bdul Wahab (1703 -1792).
25
Di Indonesia gerakan modernis diidentifikasi sebagai golongan pembaharu. Bagi mereka Islam itu
sesuai dengan tuntutan zaman. Islam itu berarti kemajuan, tidak menghambat ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kedudukan wanita. Golongan pembaharu juga terbelah dua yakni bersikap toleran seperti
Muhammadiyah tetapi ada juga yang keras sebagaimana Persatuan Islam.
26
Perkembangan terkini, gerakan
modernis sebagaimana Muhammadiyah sudah dianggap statis dalam hal pemikiran dan gerakan
keagamaan (baca ad din), sehingga banyak dikritik oleh gerakan fundamentalis. Gerakan yang terakhir ini
muncul dengan nama “usrah” atau “hakarah”. Dari sekian banyak harakah, kelompok Salafi adalah yang
paling aktif menyerang kelompok-kelompok lain, terutama kaum tradisional dengan slogan-slogan lama
seperti anti kemusyrikan, bid’ah, dan sejenisnya. Selain gerakan fundamentalis seperti Salafi, gerakan yang
bercorak “usrah”, sebuah gerakan Islam yang sangat “tertutup” dan eksklusif juga terus berkembang. Satu di
antara gerakan “usrah” yang masih aktif adalah Nagara Islam Indonesia (NII) dengan berbagai macam faksi,
sebagaimana akan dibahas dalam bab dua.
Gerakan keagamaan yang keempat adalah usaha membangun masyarakat sipil (civil society) atau
masyarakat madani. Kecenderungan ini bermula dari antitesa terhadap gerakan Islam struktural (politik).
KegagaJan politisi Islam dalam berbagai event politik, menggugah kalangan cendekiawan muda Islam untuk
menggugat “Islam Politik”. Mereka mulai bergerak dalam lingkaran-lingkaran studi yang mempertanyakan
berbagai macam isu ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Gerakan ini belakangan dikenal sebagai gerakan
Islam kultural dan dipelopori oleh kelas menengah Islam perkotaan. Dimulai dari kampus-kampus, kantor-
kantor dan masyarakat umum, kajian-kajian dan aksi keagamaan, gerakan Islam kultural mulai
21
Peranan Pesantren dalam masyarakat Jawa dapat dilihat antara lain; Zamakhsyari Dhofir, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
22
Azyumardi Azra membagi gerakan Islam yang mengusung isu “murni atau orisinil” dalam dua kategori
yaitu revivalisme Islam pramodernis dan yang kedua adalah neorevivalis. Termasuk dalam kategori pertama adalah
gerakan kaum Padri di Sumatera Barat sedang yang termasuk dalam ketegori kedua adalah Islam Jamaah dan gerakan-
gerakan Islam yang menyebut dirinya sebagai harakah-harakah (yang berarti gerakan). Darul Arqam di Malaysia dan
Ihwanul Muslimin di Timur Tengah juga berawal dari gerakan revivalis tetapi kemudian berkembang menjadi gerakan
politik. Lihat Ayumardi Azra, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka,
1999), hal. 46- 57.
23
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina,
1999), hal. 13 - 16.
24
Ibid., hal. 18.
25
John. O.Voll, “Fundamentalism in the Sunni Arab World: Egypt and the Sudan” dalam Martin E. Marty
and R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1991), hal.
345-350.
26
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 319-333.

Page 9
menancapkan pengaruh. Salah seorang diantara pelopor gerakan ini adalah Nurcholish Madjid. Belakangan
dengan lokomotif Abdurrahman Wahid, cendekiawan muda NU banyak yang bergerak dalam kelompok ini.
Bahkan kolaborasi dari berbagai eksponen gerakan keagamaan, gerakan social dan kebudayaan muncullah
sekian banyak organisasi social yang dikenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Munculnya
da’i-da’i baru dari kalangan kelas menengah perkotaan, organisasi cendekiawan muslim (ICMI), Lembaga-
lembaga pengembangan ekonomi umat melalui Baitulmal wa Tamwil (BMT), perbangkan Syari’ah (Bank
Muamalat) serta lembaga keuangan syariah lainnya adalah indikator kebangkitan gerakan civil society di
kalangan umat Islam. Partisipasi politik yang kritis dan non sektarian ditunjukkan secara nyata dari gerakan
ini. Kelas menengah perkotaan Islam ini tidak lagi terikat kepada salah satu partai politik Islam, tetapi
menyebar ke semua partai, termasuk partai nasionalis dan bahkan sosialis.
27
Perubahan social budaya yang sangat cepat, sejak awal abad dua puluh hingga era globalisasi pada
awal abad dua puluh satu, seringkali dihubungkan dengan muncul dan meluasnya sejumlah gerakan
keagamaan baru. Gerakan keagamaan merupakan usaha-usaha untuk memperkenalkan bentuk-bentuk
baru dari agama. Apa yang disebut dengan “baru”? Bukankah pengertian ‘baru’ itu berlebih-lebihan? Agama
adalah gejala social, ia tidak pernah selamanya statis, perubahan selalu saja terjadi (endemic). Sejarah
agama telah dicatat sebagai sebuah perjuangan terus menerus antara kekuatan-kekuatan kelembagaan
(institusionalisi) dan kekacauan. Gerakan keagamaan merupaknn respon terhadap perubahan social dan
sekaligus memberikan makna terhadap perubahan. Ada yang mengambil bentuk pro-active dan reaktif,
semuanya mengindikasikan adanya tekanan perubahan secara penuh dalam kebudayaan dan masyarakat.
Gerakan keagamaan juga berusaha untuk muncul kembali menundukkan perubahan social tersebut dengan
cara penafsiran baru dan eksperimen-eksperimen melalui respon praktis.
28
Ciri-ciri gerakan-gerakan baru
adalah: (1) menawarkan sebuah kebangkitan kembali (revitalisasi) budaya keagamaan dengan
membersihkan sistem keagamaan yang mapan dan kaku, (2) terkadang dengan membangun kembali
sesuatu yang telah hilang dengan pengurangan (3) usaha yang lebih jelas untuk menentukan skema
penyelematan dan (4) menjanjikan mobilitas spiritual yang lebih cepat dan prospek penyelamatan yang lebih
baik. Gerakan keagamaan dapat berkembang (evolusi) jika dapat menemukan makna untuk
mengembangkan perasaan kasih sayang (attachment), investasi (investment) untuk masa depan dan
terpenuhinya kesenangan bagi para anggota. Sebuah kelompok keagamaan dapat mengembangkan
penghargaan (reward) dengan cara mengurangi ketegangan dengan lingkungan sosio cultural di sekeliling,
salah satunya adalah jika sebuah sekte menjadi denominasi atau gereja. Untuk itu gerakan keagamaan
harus mengembangkan pancang-pancang dalam hal persesuaian (conformity) pada gerakan.
29
Kajian ini melihat Ma’had Al-Zaytun sebagai sebuah gerakan keagamaan. Sebagai sebuah gerakan
dapat saja ia merupakan sesuatu yang memang benar-benar baru atau sebuah revitalisasi gerakan lama
dengan cara menggunakan sebagian dari apa yang dianggap masih relevan dari gerakan lama, tetapi juga
membersihkan sistem ajaran dan gerakan yang dianggap sudah tidak sesuai. Dalam hal demikian, bisa saja
sebuah gerakan keagamaan menjadi semakin akomodatif atau sebaliknya. Perubahan-perubahan gerakan
dapat dikenali dengan melihat corak dan orientasi masa depan yang dibangun melalui visi dan misi atau
program perjuangannya.
C. Kerangka Konseptual
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam membawa ajaran-ajaran mengenai berbagai segi kehidupan
manusia agar manusia berbuat kebaikan. Sumber ajaran-ajarannya ialah Al-Qur’an dan Hadits. Kedua
sumber ajaran Islam ini tidak berisikan aturan-aturan detail bagi seluruh tata kehidupan manusia. Hampir
seluruh ajaran Islam sebagaimana yang difahami dan dipraktikkan merupakan penafsiran dari kedua sumber
pokok tersebut. Hasil penafsiran itulah yang kelak banyak diajarkan baik secara individual maupun komunal,
baik secara informal (pengajian), non-formal (pesantren) maupun formal (sekolah). Perbedaan penafsiran
disebabkan oleh perbedaan dalam memahami konteks (asbab an nuzul dan asbab al wurud) ayat dan
sunnah nabi serta penerapannya di berbagai tempat dan waktu. Pertikaian politik setelah nabi Muhammad
wafat juga menjadi pemicu lahirnya mazhab yang tentu saja melahirkan penafsiran dan pemahaman yang
berbeda. Apalagi setelah munculnya kerajaan-kerajaan (khalifah) yang dibangun atas tradisi masa lalu
(dinasti), mengakibatkan Islam seringkali ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dinasti tersebut. Dengan
kata lain Islam kemudian menjadi komoditas.
Semula - pada masa Nabi dan Sahabat - pengajaran Islam tidaklah menjadi komoditas. Pengajaran
27
Bandingkan dengan Robert W. Hefner, “Bangkitnya Kelas Menengah Muslim, Islamisasi dan Demokrasi”
dalam Moeflich Hasbullah (ed), Asia Tenggara Konsentrasi Baru Kebangkitan Islam, (Bandung: Fokus Media, 2003),
hal. 134-165.
28
James A. Beckford (ed), New Religious Movement and Rapid Social Chane, (London: SAGE Publications
Inc. 1986), introduction, hal. ix-xv.
29
Lihat Rodney Stark and William Sims Bainbridge, A Theory of Religion, (New Brunswick, New Jersey:
Rutgers University Press, 1996), hal. 273- 276.

Page 10
Islam dilakukan atas dasar panggilan (jihad) di jalan Allah. Akan tetapi sejalan dengan semakin
berkembangnya masyarakat maka pengajaran Islam berkembang pula ke arah yang lebih komersial. Oleh
karena dalam perkembangan selanjutnya Islam banyak dikaitkan dengan aliran-aliran, maka seringkali
pengajaran Islam juga dihubungkan dengan mazhab yang dipakai. Interaksi antara mazhabiyah (ideologis)
dan lembaga pendidikan yang lebih komersial sering bersifat saling menopang.
Watak dari komersialiasi lembaga pendidikan untuk menopang penyebaran ideologi paling banyak
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memiliki perjuangan politik. Biasanya oleh mereka yang secara vis
a vis menjadi lawan dari mainstream yang ada; misalnya kelompok sosialis melawan kaum kapitalis. Akibat
tekanan liberalisme politik dan ekonomi yang kapitalistik, kelompok-kelompok kritis itu semakin tak berdaya
kecuali melakukan upaya apa yang disebut memperjuangkan ideologi melalui jalan ekonomi; tidak lagi
melalui jalan fisik (revolusi).
Secara konseptual, perubahan paradigma perjuangan ini dianalisis dengan teori ekonomi politik
(political-economic). Teori ini merupakan salah satu varian dari Marxis, yang memandang bahwa ideologi
tergantung pada kekuatan ekonomi. Dalam pandangan teori ini, untuk memperjuangkan politik, melalui
institusi apapun - sekolah, media massa, pariwisata, dan sebagainya - haruslah dikaitkan dengan sistem
ekonomi guna memperoleh nilai tukar dari komersialisasi ideologi tersebut, dan sebaliknya perjuangan
ideologis memiliki sumber modal yang memadai dari sana.
30
Selanjutnya, teori ekonomi-politik dari institusi yang begerak dalam bidang pengetahuan dan
informasi seperti media massa, juga lembaga pendidikan, dicirikan oleh tiga hal:
31
Pertama, komodifikasi, yaitu proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Informasi atau
pengetahuan yang semula merupakan sesuatu yang mesti diberikan untuk kebaikan manusia (nilai guna)
dikomodifikasi menjadi sebuah komoditas untuk dijual (nilai tukar). Informasi dan pengetahuan merupakan
sesuatu yang dijual sebagai komoditas.
Media massa dan sekolah, misalnya, merupakan lembaga sosial yang sering mengalami
komodifikasi ini. Media atau sekolah yang awalnya lembaga sosial sering berubah fungsi menjadi lembaga
ekonomi. Oleh karena akar teori ekonomi politik ini adalah sangat ideologis, maka perubahan fungsi
ekonomi dari media atau sekolah itu tidak menghilangkan sama sekali fungsi politiknya. Ketika menjual
informasi atau pengetahuan, media dan sekolah melakukannya dalam rangka menopang kepentingan
ideologis yang mereka usung.
Kedua, spatialisasi, yaitu proses mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.
Ruang dan waktu dijadikan sarana untuk mendatangkan uang. Keduanya merupakan perpanjangan
organisasional dari kelompok yang memiliki kekuasaan. Proses ini dilakukan dengan alat-alat transportasi
dan teknologi komunikasi. Keduanya dipakai untuk mengerucutkan waktu yang dibutuhkan guna
memindahkan barang, manusia dan pesan dalam rangka menopang kinerja kelompok pemilik kekuasaan
tadi. Dalam industri, hal ini akan melahirkan jaringan atau kerajaan bisnis. Dalam usaha media, proses ini
menciptakan fenomena jaringan bisnis media atau konglomerasi media; sedangkan dalam bidang lain,
seperti sekolah, menciptakan jaringan kerja (networking) dalam bentuk cabang atau perwakilan.
Ketiga, strukturasi, yaitu penciptaan hubungnn antar agen dalam sebuah tatanan sosial, yang
ditandai pula dengan adanya hubungan atas dasar kekuasaan (power). Dalam strukturasi ada pembedaan
antara struktur atas (supra structure) dan struktur bawah (base structure) beserta aktornya masing-masing.
Antara kedua struktur dan aktor tadi bersifat saling mempengaruhi, bahkan bisa terjadi pertarungan
kekuasaan (strugle of power).
Dalam strukturasi juga terdapat perbedaan kelas (social class): kelas penguasa dan kelas pekerja.
Atas dasar kelas, dalam struktur muncul persoalan hegemoni kekuasaan: masalah dominasi siapa yang
menguasai siapa. Kelompok penguasa yang hegemonik lazimnya berupaya mempertahankan struktur
dengan cara melakukan sentralisasi atas ruang dan waktu. Mereka mengontrol ruang dan waktu (timeless
and spaceless) agar tidak dikendalikan oleh kelas lain.
32
Fenomena pengembangan Ma’had Al-Zaytun tampaknya cocok dengan konsepsi ekonomi politik ini.
Mengacu pada hasil penelitian terdahulu, bahwa Ma’had Al-Zaytun memiliki faham keagamaan tertentu dan
memiliki hubungan, baik historis, finansial, dan kepemimpinan dengan NII KW9
33
maka dapat dibaca bahwa
pembukaan pesantren ini adalah perwujudan dari konsep ekonomi politik tersebut. Seperti kita akan
tunjukkan dalam interpretasi (bab VI), bagaimana Ma’had Al-Zaytun melakukan komodifikasi, spatialisasi,
dan strukturasi, dengan bukti-bukti yang pantas dan perlu.
30
Pendekatan ini dimodifikasi dari teori ekonomi politik untuk institusi media massa. Pemodifikasian ini
cukup tepat karena ada kesejajaran antara media massa dan sekolah, dua lembaga yang bergerak dalam informasi dan
pengetahuan. Selanjutnya lihat, Denis McQuail, Mass Communication Theory, An Introduction, (second edition;
London: Sage Publication, 1983), hal. 64-65.
31
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, (London: Sage Publication, 1996), Bag. II hal.
135-246.
32
Priyono, Herry B, Antony Giddens: Suatu Pengantar, (Jakarta: KPG, 2002).
33
Lihat Tim Peneliti Ma'had Al-Zaytun Majelis Ulama Indonesia, Laporan Lengkap Hasil Penelitian
Ma’had Al-Zaytun Haurgeulis Indramayu, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2002).

Page 11
D. Masalah, Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Dari kerangka konseptual di atas, beberapa pertanyaan pokok, berkaitan dengan fenomena Ma’had
Al-Zaytun yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah, pertama, latar belakang berdirinya Ma’had Al-
Zaytun, faktor apa yang mendorong berdirinya Ma’had Al-Zaytun yang berkaitan dengan gerakan
keagamaan tertentu. Kedua, doktrin dan ajaran seperti apa yang dimiliki Ma’had Al-Zaytun. Apakah terdapat
doktrin dan ajaran sebuah kelompok keagamaan tertentu yang mempengaruhi doktrin dan ajaran Ma’had Al-
Zaytun. Ketiga, sejauhmana pemahaman terhadap Islam, sebagai sebuah faktor pengaruh, mempengaruhi
pandangan, sikap dan perilaku politik Ma’had Al-Zaytun. Keempat, sistem pendidikan seperti apa yang
dipakai oleh Ma’had Al-Zaytun, terutama berkaitan dengan hidden curriculum-nya, dan kelima, dari mana
sumber pendanaan Ma’had Al-Zaytun, baik dana awal maupun sumber dana setelah Ma’had Al-Zaytun
berdiri.
Oleh karena itu, fokus yang akan diteliti adalah; pertama, menyangkut sebab-sebab (baik langsung
maupun tak langsung) berdirinya Ma’had Al-Zaytun serta faktor apa yang mempengaruhi berdirinya Ma’had
Al-Zaytun. Kedua, doktrin dan ajaran yang dipraktekkan di Ma’had Al-Zaytun. Ketiga, persepsi atau
pandangan, sikap, dan perilaku pesantren tersebut menyangkut Islam. Keempat, berkaitan dengan sistem
pendidikan Ma’had Al-Zaytun, terutama hidden curriculum-nya, dan kelima, sumber dana awal dan dana
pasca Ma’had Al-Zaytun berdiri.
E. Metodologi Penelitian
Pendekatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis yang bersifat multi dimensional.
Pendekatan ilmu sejarah diarahkan untuk meneliti aspek sejarah, pendekatan ilmu politik dan ilmu
kependidikan ditujukan untuk meneliti aspek politik, dan untuk meneliti aspek teks akan digunakan
pendekatan hermeneutik. Bagi hermeneutika, metode penafsiran yang dipakai dalam riset, seluruh hasil
temuan mulai dari sejarah dan perkembangan pesantren, doktrin dan ajaran, sistem pendidikan, dan sistem
pendanaan pesantren serta struktur fisik dan sosial di pesantren adalah teks. Semuanya bisa dicarikan
artinya dan ditemuan sistem maknanya. Pada analisis, kita akan melihat “apa dan siapa” Al-Zaytun dari
perspektif teori ekonomi politik dengan menggunakan metode penafsiran hermeneutika tadi.
Unit Analisis. Unit analisis penelitian adalah Ma’had Al-Zaytun, bukan yang lain. Artinya, penelitian
ini berkisar pada: apa itu Ma’had Al-Zaytun, kapan Ma’had Al-Zaytun didirikan, di mana Ma’had Al-Zaytun,
siapa Ma’had Al-Zaytun, kenapa Ma’had Al-Zaytun, dan bagaimana Ma’had Al-Zaytun. Kalau menemukan
hal-hal lain tetap dalam konteks Al-Zaytun. Unit-unit yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah; 1)
individu yang meliputi syekh Ma’had, para pengurus Yayasan Pesantren Indonesia atau Eksponen, para
koordinator wilayah, para mudaris, para santri, dan para orangtua santri, 2) Lembaga yang meliputi sejarah
pembentukan dan perkembangan lembaga Ma’had, dan 3) Informan yang pernah memberikan keterangan
tentang keterkaitan Al-Zaytun dengan NII.
Surnber dan Teknik Pengumpulan Data. Penelitian ini menggunakan dua sumber data. Pertama,
data-data yang diperoleh hasil wawancara dengan responden penelitian, informan, juga peristiwa, dan fakta
yang didapati dari hasil observasi. Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen teknis,
seperti observasi lapangan, wawancara mendalam (indepth interviewing), dan diskusi terfokus. Kedua
adalah sumber-sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data-data kepustakaan berupa buku, majalah,
surat kabar, dan hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya.
Teknik Analisis Data. Analisa terhadap data menggunakan metode dan prinsip trianggulasi. Data-
data yang dikumpulkan, mula-mula disajikan dan dianalisa secara deskriptif. Ada tiga tahapan dalam analisa
data. Pertama, hasil pengamatan lapangan didiskripsikan dalam bentuk laporan awal, hasilnya adalah
gambaran umum tentang Ma’had Al-Zaytun. Tahap kedua adalah menganalisis diskripsi Ma’had Al-Zaytun
yang mencakup relasi tenaga yang ada di dalam “struktur fungsional” dengan komponen Ma’had Al-Zaytun
yang di luar (struktur teritorial), dan analisis ketiga adalah membaca perkembangan Ma’had Al-Zaytun dalam
perspektif gerakan keagamaan secara hermeunetik.
Wilayah Penelitian. Penelitian dilakukan di Ma’had Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat.
Untuk melengkapi data-data primer dan sekunder dilaksanakan wawancara dan pengamatan di Jakarta,
Tangerang, Bekasi, Rangkasbitung, Menes (Pandeglang), Semarang, Bandung dan beberapa daerah
lainnya yang dianggap memiliki kaitan dengan Ma’had Al-Zaytun dan NII.
Laporan penelitian Ma’had Al-Zaytun terdiri atas enam bab utama. Bab yang dimaksud, pertama
pendahuluan yang menjelaskan mengapa penelitian ini perlu, masalah penelitian dan pembatasannya,
konseptualisasi, kerangka teori, metode pendekatan dan teknik pengumpulan data, analisa data dan
sistematika laporan penelitian. Bab kedua memaparkan faktor kesejarahan, hubungan Ma’had Al-Zaytun
dengan gerakan keagamaan masa lalu, peran tokoh utama dalam sebuah gerakan keagamaan yang
bercorak fundamentalistik dan varian-variannya. Sejarah yang dipaparkan di sini berusaha menjawab
adakah keterkaitan antara Ma’had Al-Zaytun dengan NII serta perubahan-perubahan yang terjadi. Bab
ketiga berisikan ajaran dan doktrin Ma’had Al-Zaytun. Ajaran dan doktrin yang dikembangkan oleh NII juga
dikaji dan dianalisis apakah ada hubungannya dengan pelajaran dan praktek keagamaan yang ada di
lingkungan Ma’had Al-Zaytun. Pembahasan mengenai ajaran dan doktrin Ma’had Al-Zaytun juga
dibandingkan dengan materi yang sama yang diajarkan dalam gerakan NII. Diskripsi tentang pendidikan

Page 12
menggambarkan lingkungan fisik, sosial dan kultural termasuk simbol-simbol yang dipergunakan oleh
Ma’had Al-Zaytun dijelaskan dalam bab keempat. Bab keempat ini juga memperlihatkan hubungan antara
institusi “fungsional” dengan Struktural (Ma’had Al-Zaytun dan Yayasan Pesantren Indonesia) dan juga
hubungannya dengan wali santri. Bab kelima menjelaskan dana yang dipergunakan oleh Yayasan
Pesantren Islam membangun Ma’had Al-Zaytun. Masalah dana ini merupakan isu yang paling krusial dalam
kaitannya antara Ma’had Al-Zaytun dengan para penentangnya. Dari sajian data pada bab ini dapat
diketahui bahwa lembaga ini memang benar-benar dipercaya oleh banyak kalangan untuk mengelola
amanat, yang berupa tanah, serta sumbangan-sumbangan lainnya. Sejarah, ajaran dan doktrin,
penyelenggaraan pendidikan dan pendanaan dalam penelitian ini dilihat sebagai sebuah gerakan
keagamaan. Dan, gerakan keagamaan yang mengalami metamorfosa dari fundamentalis ideologis berubah
menjadi ideologis ekonomis yang dalam penelitian ini dilihat sebagai sebuah teks. Analisis ini ditulis dalam
bab keenam. Laporan penelitian diakhiri dengan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap masalah
penelitian yang diintrodusir pada bab satu. Sebagai penelitian pesanan untuk sebuah kebijaksanaan tentu
saja, saran tindak lanjut juga disertakan. Kesimpulan dan rekomendasi ditulis pada bab ketujuh.

Page 13
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
MA’HAD AL-ZAYTUN
A. Latar Belakang Berdiri
Kondisi kaum Muslim Indonesia yang secara kualitas jauh ketinggalan dengan kaum yang lain
berakibat pada lemahnya sumber daya manusia Indonesia, mendorong “sebuah kelompok” berbuat sesuatu
menempuh jalan memintas untuk menutup jurang tersebut.
34
Jalan memintas yang mereka maksud adalah
bukan yang berkonotasi negatif dan destruktif, namun yang mereka maksud dengan “jalan memintas” adalah
mengejar ketertinggalan yang begitu jauh, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tidak lain dan tidak
bukan yang mereka maksud adalah perbaikan kualitas pendidikan umat Islam Indonesia.
35
Awalnya, sekolompok mahasiswa mengadakan diskusi intensif tentang model pendidikan Islam
yang representatif. Mahasiswa yang melakukan diskusi intensif itu adalah sekelompok mahasiswa ITB yang
mempunyai jaringan dengan AS Panji Gumilang. Dalam perkembangan selanjutnya, diskusi tersebut
menghasilkan beberapa pemikiran lanjutan berupa ide pendirian sebuah lembaga dan pemilihan lokasi.
36
Menurut mereka kondisi umat Islam Indonesia ternyata masih tergolong kaum yang belum mandiri
dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Mereka menyoroti kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang memadai di kalangan umat Islam Indonesia. Justru, mereka melihat bahwa umat Islam
Indonesia hanya menonjol dalam sisi kuantitasnya. Bagi mereka kondisi tersebut adalah realita yang tidak
bisa dibantah.
37
Kesamaan visi di antara mereka menghasilkan keputusan untuk memilih sistem pendidikan
pesantren. Untuk itu, mereka mendirikan sebuah sarana yang bernama Yayasan Pesantren Indonesia (YPI).
Yayasan ini berdiri pada tanggal 1 Juni 1993 bertepatan dengan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1413 H.
Untuk yang pertama kalinya YPI berkantor di sekretariatnya yang ada di desa Padaasih, kecamatan Cibogo,
kabupaten Subang berdasarkan akta pendirian tertanggal 25-01-1994 nomor 61 oleh notaris Ny. Ii Rokayah
Sulaeman SH dan terdaftar di kepanitraan pengadilan negeri Subang pada tanggal 28-01-1994. Yayasan ini
berazaskan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan YPI adalah ikut mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.
Untuk mencapai tujuan itu, yayasan akan melakukan berbagai usaha yang halal. Salah satunya mendirikan
pondok-pondok pesantren.
38
Untuk mematangkan sikap pilihan terhadap sistem pesantren, rnereka melakukan kunjungan ke
berbagai pesantren di Indonesia, termasuk di Malaysia. Mereka melihat visi, misi, dan tujuan pesantren-
pesantren tersebut. Dari hasil kunjungan ke berbagai pesantren, mereka kemudian mengadopsi pola-pola
pesantren yang mereka anggap baik, dan memperbaiki pola-pola pesantren yang kurang baik yang nantinya
akan dijadikan term of references dalam mengembangkan Ma’had Al-Zaytun.
39
Pada tahun 1994, mereka menemukan beberapa desa, salah satunya desa Gantar (Mekarjaya),
Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Tahun 1995 mereka mensurvei areal pesawahan untuk studi kelayakan
mendirikan bangunan.
40
Setelah menemukan tempat tersebut, mereka membeli lahan tanah yang ada di
desa Mekar Jaya, Suka Slamet, dan Tanjung Kerta dengan sistem plot yang dibebankan kepada setiap
kepala desa atas permintaan YPI Al-Zaytun dengan menggunakan “cukong tanah” yang dikoordinir langsung
oleh kepala desa.
41
Karena dianggap cocok, pada tanggal 17 Mei 1995 mereka mendirikan cabang Yayasan Pesantren
Indonesia (YPI) di kabupaten Indramayu kecamatan Haurgeulis Desa Mekarjaya dengan nomor akte: 34
oleh notaris yang sama, dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Indramayu pada tanggal 22 Mei
1995.
42
Dan nanti tempat ini merupkan cikal bakal berdirinya “Ma’had Al-Zaytun” yang merupkan salah satu
34 Yang dimaksud “sebuah kelompok” adalah para pendiri Yayasan Pesantren Indonesia. Mereka itu adalah pengurus yayasan yang
terdiri dari; 1) ketua Yayasan, K.H.Syarwani, 2) Wakil Ketua, K.H. Imam Supriyanto, 3) Sekretaris, H. Imam Prawoto, 4)
Bendahara, H. Ahmad Prawiro Utomo, 5) Anggota, H. Ikhwan Triatmo dan H.M. Natsir Suaidi. Lihat, Majalah Al-Zaytun, Edisi
Perdana, Januari 2000, hal. 37. Dalam data Ma’had Al-Zaytun itu tidak tercantum nama AS Panji Gumilang. Tetapi AS Panji
Gumilang menjabat sebagai “Syekh” Ma’had Al-Zaytun.
35 Lihat “Ma’had Al-Tarbiyah Wa al-Dirasah Al-Islamiyah Al-Zaytun”, dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi Perdana, Januari 2000, hal.
13
36 Wawancara dengan Didi Rudita, koordinator Ma’had Al-Zaytun wilayah Semarang, tanggal 15 November 2003. Sekelompok
mahasiswa itu adalah mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam pengajian Lembaga Kerasulan (LK) Muhamad Karim Hasan.
37 “Ma’had Al-Tarbiyah Wa al-Dirasah Al-Islamiyah Al-Zaytun”, dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi Perdana, Januari 2000.
38 Berdasarkan Akte Pendirian Yayasan Pesantren Indonesia yang dikeluarkan oleh Notaris Ii Rokayah Sulaeman, SH di Subang,
tanggal 25 Januari 1994, No. 61.
39 Wawancara dengan Abdul Halim, salah seorang eksponen Ma’had Al-Zaytun, tanggal 3 November 2003.
40 Lihat Catatan Syamsi Rendra, seorang eksponen Ma’had Al-Zaytun, dengan judul “Pesona dan Harapan”, dalam Majalah Al-
Zaytun Edisi Perdana, Januari 2000, hal. 8.
41 Dikutip dari “Pernyataan Sikap Bersama Badan Perwakilan Desa (BPD) Suka Slamet, Mekarjaya tentang Keberadaan Yayasan
Pesantren Indonesia (YPI) Ma’had Al-Zaytun”. Pernyataan itu bertanggal 20 Mei 2001 dan ditandatangani oleh Ketiga ketua BPD
tersebut dan perwakilan anggota masyarakat.
42 Berdasarkan Akte Pendirian Cabang Indramayu Yayasan Pesantren Indonesia yang dikeluarkan oleh Notaris Ii Rokayah

Page 14
usaha YPI.
Untuk mengatur jalannya yayasan, para pendiri yayasan mengadakan rapat Badan Pendiri Yayasan
pada tanggal 13 Agustus 1996. Disamping mengangkat Badan Pengurus Yayasan, rapat juga menghasilkan
keputusan tentang Badan Wakaf YPI. Badan ini adalah mereka yang diangkat dan ditugasi secara langsung
oleh yayasan untuk bertindak, berbuat dan berlaku sebagai Nadhir Wakaf.
43
Sampai tanggal 4 September
1996, total tanah wakaf Yayasan Pesantren Islam berjumlah 570.188 meter persegi.
44
Mereka memilih lembaga pesantren – di Malaysia disebut “Mahad” – dengan mempertimbangkan
bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Dalam pidato AS Panji Gumilang pada
peresmian Ma’had Al-Zaytun mengatakan:
Mengapa pendidikan yang ditempuh berbentuk pesantren (ma’had)?, menurut pemahaman
kami, kehidupan pesantren merupakan suatu lembaga (emberio) kehidupan masyarakat yang
dapat mewujudkan kebersamaan, keterbukaan, kebebasan, tolong menolong, saling hormat
menghormati, yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan berjiwa mandiri. Sebab kehidupan
pesantren (ma’had) yang selalu mencontoh dan dicontohi oleh kehidupan para pembimbing
dan kyai dengan contoh yang baik yang tak henti-hentinya. Sehingga akan menimbulkan suatu
kebiasaan positif yang tak henti-hentinya dilaksanakan di perkampungan (ma’had) tersebut.
45
Menurut AS Panji Gumilang pesantren jauh lebih dahulu hadir sebelum pemerintah kolonial
menggagas politik etis yang salah satunya mendidik kader-kader bangsa Indonesia dengan sistem
pendidikan modern ala kolonial Belanda. Karena itu, katanya, pesantren dikenal sebagai benteng pendidikan
umat yang telah hadir berabad-abad.
46
Lebih lanjut ia mempertanyakan mengapa Islam di Indonesia mampu
bertahan dari serangan kaum penjajah dibanding di Cordova, Spanyol yang terkikis Islamnya. Ia menjawab:
Ternyata setelah diselediki di Indonesia ada pesantren. Andainya tidak ada pesantren, Cordova yang
kesekian akan terwujud di Indonesia.
47
Untuk menerapkan kurikulum yang komprehensif dan up to date di pesantren, mereka menempuh
sikap modern, yakni sikap yang sanggup mengantisipasi perkembangan zaman yang selalu mengalami
perubahan. Oleh sebab itu motto pendidikan Ma’had Al-Zaytun yang mereka kembangkan adalah
“Pesantren spirit but modern system”. Sebuah lembaga pendidikan yang disemangati oleh kemandirian
pesantren, dan menggunakan sistem modern. Lembaga pesantren ini akan dihuni oleh para individu santri
yang berakhlak mulia, berpengalaman luas, berfikiran bebas, dan berbadan sehat.
48
Pada awal tahun 1995 itu juga mereka merintis pembangunan fisik. Agar termenej secara rapi,
mereka membentuk tim Insinyur yang menangani apa yang mereka sebut dengan “proyek pembangunan
Ma’had Al-Zaytun”. Tim insinyur ini pada perkembangan selanjutnya disebut “Tanmiyah Ma’had Al-Zaytun”
atau Tim Pembangunan Ma’had Al-Zaytun. Tim insinyur ini adalah para alumnus ITB Bandung dan ITS
Surabaya. Tim dipimpin –tahun 2000 mungkin juga sebelumnya–oleh Ir. Djamal M. Abdat, alumnus Teknik
Sipil ITB tahun 1984, dan beranggotakan delapan tim pembangunan, yaitu; arsitek, teknik sipil, mekanik,
kelistrikan, dan beberapa penanggung jawab di bagian personalia. Mereka terdiri dari Ir. Asrur Rifa (lulusan
Teknik Sipil ITS Surabaya tahun 1989), Ir. Bambang T.A. Syukur (alumnus Arsitektur ITB tahun 1985), Ir.
Abdurahman, Ir. A. Hanif, Ir. Armand A.R, Abbas Ali Nasution, Usman Azhari, dan Rahmat Ramadhan.
Proyek pembangunan ini didasari oleh misi dan visi Ma’had Al-Zaytun. Oleh karena itu manajemen proyek
adalah manajemen ilahiyah yang bermakna manajemen tauhid atau manajemen proyek terpadu dan
terkendali tanpa batas waktu dalam satu kesatuan sistem. Oleh karena itu pada pembangunan awal Ma’had
Al-Zaytun tidak membutuhkan waktu dan dana yang banyak. Antara merencanakan dan membangun tidak
terlalu lama. Begitu juga dalam pengerjaan konstruksi, mereka berperan sebagai konsultan sekaligus
kontraktor bahkan menjadi sub-sub kontraktor. Menurut mereka untuk membangun gedung Abu Bakar,
misalnya, biaya yang dikeluarkan hanya sepertiga jika dikerjakan oleh orang luar.
49
Untuk mengerjakan proyek pembangunan di lapangan, mereka mengangkat para karyawan sebagai
pelaksana pembangunan awal Ma’had Al-Zaytun. Karyawan yang bermukim di lingkungan Ma’had Al-Zaytun
pada waktu itu berjumlah 1.550 orang. Mereka direkrut dari para anggota sebuah kelompok pengajian.
50
Di
antara karyawan itu terdapat 40 orang yang menangani bagian erection, yaitu salah satu sub unit kerja
Sulaeman, SH di Subang, tanggal 17 Mei 1995, No. 34.
43 Berdasarkan Risalah Rapat Yayasan Pesantren Indonesia, tanggal 13 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh Notaris Ii Rokayah
Sulaeman, SH.
44 Bedasarkan “Lembaran Tanah Wakaf beserta Nomor Akte Wakaf dan Luasnya” yang ditandatangani oleh Wakil Ketua YPI,
Imam Supriyanto, dan Sekretaris YPI, Imam Prawoto. Dalam lembaran terdapat 89 Nomor Akte Wakaf.
45 Lihat pidato AS Panji Gumilang pada peresmian Ma’had Al-Zaytun, dalam Majalah Al-Zaytun Edisi perdana Januari 2000, hal.
54-55.
46 Pidato Syekh Al-Ma’had pada kunjungan Tim Komisi VII DPR-RI, Oktober 1999 (tanpa teks) disarikan oleh ‘Alim Al-Shiddiqie
dengan judul “Pesantren Mempertahankan Eksistensi Indonesia”, dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi 15 - 2001.
47 Ibid.
48 Ibid.
49 “Tim Pembangunan Ma’had Al-Zaytun, Membangun Monumen Abad 21”, dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi 11-2000, hal. 16-22.
50 Anggota kelompok pengajian yang direkrut menjadi Muwadhof (karyawan) adalah dari umat (anggota) atau mas’ul (pejabat) NII
KW9 tingkat desa yang berprestasi. Data ini didapat dari hasil wawancara dengan Sukanto, mantan lurah NII KW9, tanggal 13
Desember 2003.

Page 15
fabrikasi yang bertanggung jawab mengenai konstruksi baja dan pembesian, dari mulai bahan baku sampai
menjadi bahan yang siap dipasang menjadi konstruksi bangunan. Tahap awal pembangunan tersebut dalam
tempo sekitar 3 tahun (sampai tahun 1998) mereka berhasil mendirikan 2 gedung pendidikan yang bernama
Abu Bakar Ash-Shidik, Umar Ibn Al-Khatab dan satu unit asrama Al-Mushthofa. Sejak Juli 1999, 1 unit
gedung pendidikan dan 1 unit gedung asrama difungsikan sepenuhnya. Kemudian mereka membangun
fasilitas-fasilitas dasar penunjang antara lain; dapur, kantin pelajar dan kantin tamu, kantor pos, wartel,
barbershop, ruang serba guna, ruang tunggu tamu, ruang taklimat untuk tamu, dan masjid Al-Hayat.
Berbarengan dengan pembangunan fisik, mereka membentuk koordinator wilayah (Korwil) yang
disebar ke daerah-daerah yang tugasnya untuk mensosialisasikan keberadaan Ma’had Al-Zaytun sekaligus
merekrut calon siswa. Koordinator-koordinator itu membentuk ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara.
51
Setelah pembangunan kelas, asrama, dan fasilitas penunjang lainnya serta pembentukan
koordinator-koordinator wilayah selesai, mereka mulai mengadakan pengumuman penerimaan siswa baru,
tenaga pengajar dan murabbi untuk tahun ajaran pembelajaran pertama, yakni 1 Juli 1999. Pengumuman
yang dikeluarkan tanggal 5 Maret 1999 dan ditandatangani oleh Syekh Ma’had itu akan menerima siswa-
siswi berjumlah 1.584 orang. Sedangkan tenaga pengajar dan murabbi yang akan diterima sebanyak 296
orang, terdiri dari murabbi sebanyak 159 orang dan mudarris sebanyak 137 orang.
52
Setelah diseleksi,
siswa-siswi yang diterima berjumlah 1459. Pada tahun yang sama, tepatnya 27 Agustus 1999, Presiden B.J.
Habibie meresmikan Ma’had Al-Zaytun.
53
“Sejarah” lahir dari ide (History from Idea). Ide memiliki peranan dalam proses dan peristiwa sejarah.
Menurut Collingwood semua sejarah adalah sejarah pemikiran.
54
Sejarah Al-Zaytun lahir dari ide sebuah
kelompok yang ingin membangun sistem pendidikan yang baik. Diskusi-diskusi panjang mereka tentang
membangun pendidikan “menjadi sebab” lahirnya Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang di dalamnya
terdapat Ma’had Al-Zaytun. Akan tetapi “sebab langsung” bukanlah suatu sebab yang sungguh-sungguh;
sebab langsung hanyalah merupakan suatu titik dalam suatu rantai peristiwa, trend, pengaruh, dan
kekuatan-kekuatan yang pada titik itu akibatnya mulai nampak. “Sebab langsung” –diskusi-diskusi panjang
tentang membangun pendidikan– merupakan petunjuk yang baik untuk menemukan anteseden-anteseden
yang lebih tepat diberi sebutan “sebab yang sebenarnya” atau “sebab tak langsung”.
55
Pertanyaannya,
kenapa mereka “memilih berdiskusi tentang sistem pendidikan? Ada “sebab apa” mereka melakukan itu?
Atau faktor-faktor apa saja yang menggerakkan hingga terjadi diskusi panjang tentang membangun
pendidikan?
Menurut ketua YPI, H. Syarwani, seperti disebutkan dalam penelitian Litbang Depag, bahwa
pendirian Ma’had Al-Zaytun ada kaitannya dengan masalah “perjuangan gerakan NII” yang tidak mengalami
perkembangan yang signifikan. Di Multazam mereka melakukan perenungan tentang strategi meneruskan
langkah-langkah perjuangan NII ke depan. Karena kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah dan
tidak pernah menang, mereka memilih “pendidikan” sebagai garis perjuangan politik.
56
Dalam wawancara
Tim Peneliti dengan Syekh Ma’had, AS Panji Gumilang, ditanyakan seputar orientasi politiknya. Jawabannya
didapat bahwa orientasi politik –persepsi, pandangan, dan prilaku– Syekh Ma’had juga adalah
“pendidikan”.
57
Hal ini diakui sekaligus dikuatkan juga oleh Ules Suja’i, salah seorang penasehat Ma’had Al-
Zaytun sekaligus penasehat NII, yang mengatakan bahwa “pendidikan” menjadi pilihan gerakan NII. Lebih
lanjut Ules Suja’i berkata:
… bagi saya masalah NII sudah tidak menjadi bahan pembicaraanlah, dan sekarang ini mah
masalah pendidikan saja itu yang sekarang dipentingkan gitu, sebab dari dulu kalau menurut
analisa saya perjuangan kita yang begini ini memang karena kurang keilmuan termasuk orang
yang memegang peran. Sekarang ada teman yang benar-benar di situ perjuangannya
masalah pendidikan dan pembinaan maka saya sangat setuju sekali. Walaupun ini makan
waktu panjang, memang keadaan umat Islam masih begini sih..... kita merasakan, yang kedua
memang kelemahan, coba pak Adah sendiri bilang, kita sejak 1962 kita berdakwah hasilnya
malah pecah-pecah, itu menunjukkan kita tidak mampu, kan. Jadi perjuangan harus ada
51 Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai koordinator lihat “Pionir itu Bernama Koordinator” dalam majalah Al-
Zaytun Edisi 10-2000, hal. 48. Koordinator-koordinator itu dibentuk oleh Yayasan Pesantren Islam yang diambil dari
Bupati NII KW9 yang ada di wilayah Jakarta dan 5 wilayah besar lainnya yang kemudian disebar ke wilayah-wilayah di
Indonesia. Wawancara dengan Sukanto, mantan lurah NII KW9, tanggal 13 Desember 2003.
52 Lihat Salinan Lembaran Ma’had Al-Zaytun Nomor: 01 (Ma’lumat Tahun Pembelajaran Pertama), dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi
II, Februari 2000. Antara pengumuman yang ditandatangani Syekh Ma’had dengan pengumaman dari Panitia berbeda dalam
penerimaan tenaga pengajar dan murabbi. Pengumuman yang ditandatangani Syekh berjumlah 296 orang sedangkan pengumuman
panitia berjumlah 160 orang.
53 Majalah Al-Zaytun, Edisi perdana Januari 2002, hal. 8-15.
54 R.G. Collingwood, The Idea of History, (USA : Oxford University Press, 1976), hal. 302
55 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press), 1986, hal.
154-155.
56 Lihat, Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf (editor), Ma’had Al-Zaytun di Indramayu, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan, 2002).
57 Wawancara Tim Peneliti dengan AS Panji Gumilang tanggal 31 Oktober 2003, pukul 21.00-24.00, di Wisma Al-Ishlah Ma’had
Al-Zaytun.

Page 16
regenerasi. Lalu sekarang robah strateginya dari strategi revolusi kepada strategi seperti
semboyan yang ada di Zaytun yaitu “Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi
dan Budaya Perdamaian” robah yang seperti itu bisa saja.
58
Perubahan strategi perjuangan yang dikembangkan oleh mereka menghasilkan apa yang bisa dilihat
sekarang, yaitu Ma’had Al-Zaytun. Berbicara tentang Ma’had Al-Zaytun sebagai perubahan strategi
perjuangan sebuah kelompok, maka hal itu ada kaitannya dengan sebuah organisasi yang bersifat gerakan.
Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang acapkali sering disebut-sebut ada kaitannya dengan Ma’had Al-
Zaytun. Sebagai sebuah faktor, sejarah NII dan para aktornya mempengaruhi atas berdirinya Ma’had Al-
Zaytun. Anteseden berupa “kondisi NII dan para aktornya” bisa menjadi salah satu sebab berdirinya
Yayasan Pesantren Islam dimana Ma’had Al-Zaytun sebagai salah satu usaha unggulannya. Berikut ini akan
dilihat peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kondisi NII dan para aktornya yang mempengaruhi jalannya
sebuah sejarah.
Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) pasca Kartosuwiryo merupakan periode-periode yang sulit
untuk diketahui dikarenakan gerakan tersebut sejak tertangkapnya Imam Kartosoewirjo, 4 Juni 1962, dan
adanya “ikrar bersama” sebagian besar mantan komandan Tentara Islam Indonesia (TII), 1 Agustus 1962,
dianggap sudah berhenti. Para komandan TII itu berikrar untuk setia kepada UUD 45 dan Pancasila,
menyesali diri dan mencaci maki perjuangan NII, dan tidak akan mengulangi perjuangan NII.
59
Kondisi
tersebut menyebabkan sangat sulit untuk memastikan siapa yang bisa melanjutkan perjuangan NII.
Walaupun pada waktu itu terdapat pribadi-pribadi yang masih menginginkan melanjutkan
perjuangan NII, tetapi perjuangan mereka terpencar dan bercampur dengan sebagian yang sudah kompromi
dengan penguasa RI. Akibatnya kondisi demikian memunculkan saling curiga dan saling ketidakpercayaan
di antara mereka.
60
Pribadi-pribadi yang dalam perjuangannya tercampur dengan sebagian yang sudah
kompromi dengan penguasa RI adalah sekitar 100 pasukan yang dipimpin oleh Ismail Pranoto di Jawa
Tengah. Sesudah Imam Kartosoewirjo tertangkap, mereka terus mengadakan perlawanan sesuai dengan
amanat Imam tahun 1959.
61
Tetapi, bekas kawan-kawannya membujuk dengan tipuan bahwa di kota telah
ada “cease-fire” (gencatan senjata). Pasukan Ismail Pranoto tidak mengikuti bujukan itu maka akhirnya
diultimatum oleh para pembujuk itu, bila tidak menyerah akan digempur dan ternyata pasukan yang dipimpin
Ismail Pranoto dikejar-kejar tidak saja oleh pasukan TNI melainkan juga dibantu oleh bekas-bekas TII.
62
Setelah pengejaran terhadap pasukan Ismail Pranoto, sisa dari pasukan itu terus bergerilya dan
pimpinannya diambil alih oleh Kastolani, karena Ismail Pranoto pindah ke Yogyakarta mencari dukungan di
daerah tersebut. Selanjutnya pada awal tahun 1965, Ismail Pranoto mengutus Hanif dan Safri (Salman
Farisi) kepada Kastolani dengan pesan bahwa Ismail Pranoto akan berangkat ke Sumatra untuk
mengusahakan tempat di sana sebagai basis baru untuk bergerilya. Pada tahun 1967 pasukan yang
dipimpin Kastolani tinggal 12 orang lagi yang terdiri dari delapan orang militer dan empat orang sipil. Mereka
bertekad untuk tidak menyerah. Di saat-saat demikian itu datanglah dua utusan dari Kadar Solihat (mantan
Komandan Resimen TII) yaitu Khaeruddin, salah seorang bekas komandan Kompi TII Kebumen, dan
Abdullah. Khaeruddin memberitahukan masih adanya kekuatan Kahar Muzakar di Sulawesi, Daud Beureuh
di Aceh, dan pasukan Siliwangi yang separuhnya sudah NII di Jawa Barat . Dengan kalimat itu Kastolani dan
Zaenal Asikin merasa pasukannya akan diperintahkan untuk pindah tempat bergerilya ke luar Jawa. Utusan
Kadar Solihat itu menjanjikan ada tiga pilihan tempat bergerilya, yaitu; Sulawesi, Aceh atau Jawa Barat.
63
Tertipu oleh informasi tersebut maka Kastolani menuruti perkataan Khaeruddin. Kemudian Kastolani
mengirimkan empat orang personilnya yang sipil dengan diantar oleh Khaeruddin ke Jawa Barat. Setelah
satu minggu perjalanan, keempat personil tersebut dijemput di stasion kereta api Bandung oleh Fajri,
seorang bekas Resimen TII Banyumas. Fajri dan Khaeruddin yang bersekongkol dengan Kadar Solihat
membawa mereka ke jalan Kancra, yakni ke rumah Kadar Solihat. Keempat personil itu mengikutinya
dengan maksud dalam rangka bergerilya mencari kawan-kawan seperjuangan yang dalam dugaan sedang
menyusun kekuatan di kota. Setelah seminggu lamanya berada di rumah tersebut, mereka dibawa oleh
Kadar Solihat ke Tasikmalaya. Walaupun dibawa ke Brigif 13, mereka tidak curiga akan ditangkap karena
informasi sebelumnya bahwa Siliwangi separuhnya sudah NII dan yang membawa mereka atasannya,
Kadar Solihat. Mereka baru menyadari bahwa mereka ditangkap musuh saat mereka melakukan shalat
58 Wawancara Umar Abduh dengan Ules Suja’i, dalam Pesantren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII,
(Jakarta: Darul Falah, 2001), hal. 48.
59 Lihat dokumen tentang “Ikrar Bersama” para anggota NII yang ditandatangani di Bandung tanggal 1 Agustus 1962. Ada tiga
puluh dua tokoh DI/T'II yang menandatangani ikrar tersebut, yakni; Agus Abdullah, Djadja Sudjadi, Adah Djaelani, Hadji Zaenal
Abidin, Ateng Djaelani, Danu Mohamad Hasan, Mohamad Ghozi, Toha Mahfudz, Dodo Muhamad Darda, Tachmid, Cholil, Hasan
Anwar, Atjeng Abdullah Mudjahid, Maskun Sudarmi, Ateng Hadjar, Rachmat Slamet, Ules Sudja’i, Engkar Rusbandi, Hadji Yusuf,
Usman, Syarif Muslim, Hadji Zakaria, Bakar Misbah, Emod Hasan Saputra, Ahmad Mustafa Hidayat, Sobir, Mubaroq, Zainudin
Abd Rahman, Hadji Djunaedi, Tohir, Salam, dan O.Z. Mansyur. Lihat juga Mufry, TABTAPENII DATANG, tanpa penerbit dan
tanggal penerbitan, hal. 243.
60 Mufry, TABTAPENII DATANG, hal. 243
61 Wasiat Imam tahun 1959 berbunyi: “Jika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima dan yang
tertinggal hanya prajurit petit saja, maka prajurit petit harus sanggup tampil jadi Imam. Lihat. Mufry, TABTAPENII DATANG, hal.
223
62 Mufry, TABTAPENII DATANG, hal. 244
63 Ibid.

Page 17
dikawal oleh anggota TNI.
64
Sementara itu pasukan Kastolani yang di Jawa Tengah belum tahu adanya kejadian yang menimpa
kepada empat orang anak buahnya yang diutus ke Jawa Barat. Tujuh belas hari setelah anak buahnya
ditangkap, Khaeruddin datang kembali ke Kastolani untuk mengantar Kadar Solihat dan Sam’un, bekas
Komandan Kompi TII di Jawa Barat. Kedatangan mereka disertai tiga orang TNI yang menyamar dengan
berpakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui oleh Kastolani bahwa pada masing-masing
pinggangnya terselip pistol. Selama berlangsung pembicaraan, Kastolani bertanya kepada Kadar Solihat,
apakah keberadaannya diketahui musuh. Kadar Solihat meyakinkan bahwa mereka akan dimutasikan dalam
rangka melanjutkan perjuangan. Apa yang dilakukan Kadar Solihat tidak dicurigai oleh Kastolani. Kastolani
percaya akan perkataan Kadar Solihat karena mengingat pesan dari Ismail Pranoto yang berusaha
menyediakan tempat di Sumatra, dan pertemuan dengan Kadar Solihat sebagai hasilnya, serta Kastolani
percaya bahwa Siliwangi sudah banyak yang NII. Tidak lama kemudian, Kastolani diperintahkan naik ke
mobil pick up oleh Kadar Solihat. Bersama delapan TII dan lima orang penjemput, Kastolani meninggalkan
Brebes menuju markas Brigif 13 Galuh, Tasikmalaya Jawa Barat. Setelah sampai ke markas Brigif 13,
Kastolani baru sadar bahwa dirinya sudah tertipu.
65
Pada tahun-tahun itu sangat susah untuk saling percaya
mana kawan mana lawan di antara kader NII. Kondisi itu disebabkan oleh ketiadaan estafet kepemimpinan
NII pasca wafatnya Kartosoewirjo.
Setelah Imam Kartosoewirjo wafat, sejarah NII berkaitan erat dengan perdebatan di kalangan kader
NII tentang masalah kepemimpinan NII. Karena minimnya pemahaman warga dan aparat terhadap
ketatanegaraan NII serta perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Qanun Asasi NII, banyak faksi
dalam kalangan intern yang satu sama lain saling mengklaim paling berhak mewarisi kepemimpinan NII.
Menurut salah satu faksi NII mengatakan bahwa perjuangan NII sejak wafat Imam Kartosoewirjo
tidak akan mengalami perpecahan jika para kader NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan dalam Qanun
Asasi (UUD NII) Bab IV Pasal 12 ayat 2 yang berbunyi: “Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling
sedikit 2/3 daripada seluruh anggota”. Majlis Syuro yang dimaksud adalah sesuai dengan Qanun Asasi Bab
II Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Majlis Syuro terdiri atas wakil-wakil rakyat ditambah dengan utusan
golongan-golongan rnenurut aturan yang ditetapkan Undang-undang”.
66
Menurut mereka, karena sejak
proklamasi NII 7 Agustus 1949 sampai sekarang, NII dalam keadaan darurat perang sehingga belum ada
parlemen (Majlis Syuro). Dengan keadaan demikian, lanjut mereka, berlaku Undang-undang Pasal 3 ayat 2
yang menyatakan “Jika keadaan memaksa, hak Majlis Syuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan
Imamah”.
67
Oleh karena itu, menurut mereka bahwa Dewan Imamah memiliki kewenangan untuk
menetapkan undang-undang dalam bentuk maklumat-maklumat yang ditandatangani oleh Imam. Hal ini
sesuai dengan Bab XV tentang Perubahan Qanun Asasi NII Pasal 34 dalam hal “Cara Berputarnya Roda
Pemerintahan” pasal 1.
68
Maklumat yang dimaksud oleh mereka yang berkaitan dengan masalah roda kepemimpinan yang
ditetapkan oleh Dewan Imamah yang tercantum dalam Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) adalah
MKT No. 11 tahun 1959. MKT No. 11 antara lain:
“K.P.S.I dipimpin langsung oleh Imam - Plm. T.AP.N.I.I. Jika karena satu dan lain hal, ia
berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnya seorang Panglima
Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh.”
“Calon Pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara Anggota-Anggota K.T.,
termasuk di dalamnya K.S.U. dan K.U.K.T, atau dari dan diantara para Panglima Perang yang
kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggota-Anggota K.T.”
69
Mereka berpendapat bahwa calon pengganti Panglima Perang Pusat yang tercantum dalam MKT
No. 11 tersebut, setelah Imam awal berhalangan, tinggal satu lagi yaitu K.U.K.T (Kuasa Usaha
Komandemen Tertinggi). Mereka beranggapan bahwa yang lainnya, sebagian sudah gugur dan sebagian
lagi telah meninggalkan tugasnya atau desersi dari NII.
70
Karena tinggal satu, yakni K.U.K.T maka K.U.K.T
itulah yang langsung menjadi Imam tanpa ada pemilihan dari manapun. Menurut mereka hal itu bukan saja
karena calonnya tinggal satu, melainkan juga karena undang-undang sebelumnya sudah dituangkan ke
dalam MKT NO. 11 tahun 1959. Lebih lanjut mereka berkata bahwa K.U.K.T. yang satu ini adalah Abdul
Fatah Wirananggapati.
71
64 Ibid., hal. 245
65 Ibid., hal. 246
66 Lihat Lampiran A tentang Dokumen-dokumen Negara Islam Indonesia dalam Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam,
Dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
67 Mufry, TABTAPENII DATANG, hal. 177.
68 Mufry, TABTAPENII DATANG, hal, 177. Ayat itu berbunyi: “Pada umimnya roda Pemerintahan NII berjalan menurut dasar
yang ditetapkan Qanun Asasi dan sesuai dengan pasal 3 Qanun Asasi tadi, sementara belum ada Parlemen (Majlis Syuro), segala
undang-undang dalam bentuk Maklumat-maklumat yang ditandatangani oleh Imam” dan lihat juga Karl D. Jackson, Loc.Cit.
69 Mufry, TABTAPENII DATANG, Hal. 187. Purbawisesa artinya kekuasaan otomatis.
70 Ibid., hal. 237.
71 Ibid., hal. 238. Abdul Fatah Wirananggapati diangkat sebagai K.U.K.T pada tahun 1953 dan pada tahun itu juga tertangkap di
Jakarta setelah kembali dari Aceh melantik Daud Beureuh selaku Panglima Wilayah V TII Cik Di Tiro. Ia dipenjara selama sepuluh

Page 18
Setelah keluar dari penjara Nusakambangan tahun 1963, Abdul Fatah Wirananggapati tidak segera
melanjutkan estafet kepemimpinan NII. Ia tidak mempercayai siapa yang akan diajak untuk melanjutkan
estafet kepemimpinan NII jika kondisi NII yang pernah terjebak jaring musuh. Oleh karena itu langkah
pertama yang ditempuh Abdul Fatah Wirananggapati adalah mengadakan pendekatan kepada masyarakat
secara bertahap sehingga ditemukan kader-kader baru atau warga NII, dan berusaha menemukan personil
TII yang masih utuh terlepas dari nilai kompromi dengan musuh. Langkah kedua yang dilakukan Abdul Fatah
yakni menjelaskan kelanjutan perjuangan serta estafet pimpinan NII kepada yang ingin mengetahuinya.
Sebab menurut mereka masalah estafet kepemimpinan NII cuma bisa dijelaskan kepada yang sudah benar-
benar diketahui berkeinginan memahaminya.
72
Menurut mereka sangat terbatasnya penemuan tentang estafet kepemimpinan NII disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu; 1) kebanyakan umat tidak memiliki wawasan mengenai perundang-undangan NII
atau tidak menganggap penting sehingga mereka mengakui pemimpin itu cuma berdasarkan idolanya
masing-masing atau ikut-ikutan; 2) kebanyakan umat tidak memahami nilai hukum mengenai yang sudah
mundur dari NII, sehingga masih dianggap sebagai pimpinan, 3) adanya sebagian eks pimpinan TII yang
tidak sadar dalam monitoring serta arahan dari pemerintah RI, sehingga terpancing memunculkan
kepemimpinan, dengan tidak berdasar pada peraturan NII, 4) banyak eks tokoh TII yang tidak mengakui
kesalahan dalam hal “desersi” dari NII, sehingga yang sebenarnya menyerahkan diri kepada musuh, malah
disebutnya “Hudaibiyyah”, dan 5) banyaknya eks pimpinan TII yang tidak mau taubat menurut prosedur
hukum, sehingga menyepelekan Abdul Fatah Wirananggapati bahkan menjegal langkahnya.
73
Faktor-faktor tersebut menyebabkan Abdul Fatah Wirananggapati ditangkap kembali oleh
Pemerintah RI pada tahun 1975, dan dipenjarakan di Bandung. Selama ia mendekam dalam penjara dari
tahun 1975 sampai tahun 1983, selama itu pula terjadi perpecahan yang besar dalam tubuh umat yang
mengatasnamakan NII.
74
Kepemimpinan Abdul Fatah Wirananggapati kemudian divonis untuk diberhentikan oleh Dewan
Imamah dari tugasnya sebagai Imam. Pemberhentian Abdul Fatah Wirananggapati oleh Dewan Imamah
dilatarbelakangi oleh wawancara Abdul Fatah Wirananggapati di majalah Ummat tanggal 9 Desember 1996.
Dalam wawancara itu Abdul Fatah mengatakan bahwa terwujudnya baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur
(negeri sejahtra yang diridhoi Allah) itu tidak mesti mengambil nama Negara Islam Indonesia, yang penting
tiap muslim mempelajari Al-Qur’an. Dengan demikian, menurutnya, orang muslim itu akan menjalankan
syari’at Islam dan tidak perlu dengan kekuatan fisik dan senjata. Lebih lanjut Abdul Fatah mengatakan
bahwa butir-butir Pancasila itu berasal dari Al-Qur’an dan jelas ada ayat-ayatnya dalam Al-Qur’an. Tidak
setiap orang yang berpancasila itu muslim tetapi tiap muslim sudah pasti berpancasila. Ia berargumentasi
dengan Al-Qur’an Surat Bani Israil ayat 73, 74, dan 75; Hadits Rasulullah; Qanun Asasi Bab I Pasal 3 ayat 2,
Bab IV Pasal 13 ayat 1, Bab XV Pasal 34; Pedoman Darma Bakti tentang Sapta Subaya; dan Atibyan.
75
Terhadap wawancara Abdul Fatah Wirananggapati tersebut, Dewan Imamah membatalkan tugas
wajib sucinya karena tidak memenuhi bai’at dan harus bertobat. Setelah Dewan Hakim memutuskan vonis
yakni diberhentikan dari tugasnya sebagai Imam NII, dan diterima keputusan itu oleh Abdul Fatah
Wirananggapati. Maka Dewan Imamah bermusyawarah untuk memilih dan mengangkat Imam Negara Islam
Indonesia. Akhirnya dengan suara bulat pada tanggal 9 Ramadhan 1417 H/ 18 Januari 1997 Ali Mahfudz
secara resmi menjadi Imam Negara Islam Indonesia.
76
Sampai sekarang, saat penelitian ini dilakukan,
menurut mereka Ali Mahfudz adalah Imam Negara Islam Indonesia yang sah.
77
Di sisi lain, terdapat faksi NII yang mengatakan bahwa sejak wafatnya Kartosuwiryo, orang yang
berhak melanjutkan estafet kepemimpinan NII adalah Tengku Muhammad Daud Beureuh, pimpinan Negara
Bagian Aceh (NBA) yang memisahkan diri tahun 1953 dari NII, dan Kahar Muzakkar, pendiri Republik
Persatuan Islam tahun 1960. Karena Muzakkar meninggal 1965, orang yang berhak melanjutkan estafet
kepemimpinan NII adalah Muhammad Daud Beureuh.
78
Tetapi NII mengalami kevakuman kepemimpinan
dari tahun 1962-1966. Kondisi tersebut direspon oleh eks pimpinan dan tokoh TII –yang menurut faksi Abdul
Fatah Wirananggapati telah desersi dari NII– dengan cara melakukan usaha pembukaan kembali hubungan
interinsuler antara Jawa Barat-Aceh, dengan diutusnya wakil dari Aceh ke Jawa Barat, kemudian kunjungan
dari Aceh ini mendapatkan kunjungan balasan tahun 1967 dari Jawa Barat yang diwakili oleh Djadja Sudjadi
dan Kadar Solihat. Wakil dari Jawa Barat itu diterima oleh Tengku Muhamad Daud Beureuh. Usaha awal
mereka adalah menyusun kembali strategi jihad yang dipersiapkan untuk menyambut revolusi Islam menuju
“Fathul Mekkah”. Perjuangan yang diusung adalah meninggalkan sifat dan karakter militeristik maupun
struktur organisasi NII. Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan perencanaan program 1967-1973. Tetapi
tahun 1953-1963 di Nusakambangan. Karena di penjara membuat dirinya tidak banyak dikenal oleh warga NII apalagi dalam hal
jabatan KUKT-nya.
72 Ibid., hal. 247.
73 Ibid., hal. 248
74 Ibid.
75 Ibid., hal. 268
76 Ibid., hal. 271
77 Wawancara dengan Suherli, salah seorang mantan aparat NII KW 9, di Banten tanggal 6 Pebruari 2004.
78 Imam Kartosoewirjo merencanakan bahwa Imam NII kelak akan digilir antara dirinya, Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar.
Akan tetapi Daud Beureuh tidak menyukai gagasan ini sebab, katanya, rencana Kartosoewirjo itu tidak menjelaskan kekuasaan atau
pun struktur negara. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1990), hal. 255.

Page 19
program ini mengalami kebocoran karena ketidakpercayaan dan ketidakfahaman sebagian para kader.
Program ini juga megikutsertakan beberapa tokoh DI seperti Adah Djaelani yang sebenarnya dianggap
sudah indisipliner.
79
Sementara tahun 1968-1969 di Jawa Barat, Atjeng Kurnia menghimpun kembali bekas-bekas
panglima, seperti Adah Djaelani, Ateng Djaelani, Danu Muhammad Hasan, dalam satu wadah PRTI
(Persiapan Tentara Islam Indonesia) dengan 10 kader, yakni: Tahmid (pimpinan PRTI), Maman Tsani SH,
Sambas Suryana, Ir.Atjeng Sutisna, Ubad, Budiarto, Nanang, Ridwan, Ayep (adik isteri Atjeng Kurnia).
Karena perjuangan mereka tidak berhasil, maka diadakan pertemuan seluruh eksponen dan anak-anak
DI/TII secara internal. Pada 24 April 1971 pertemuan itu dilangsungkan di rumah Danu Muhammad Hasan
selama tiga hari di Jalan Madrasah 240 Bandung yang menurut Al-Chaidar pertemuan itu atas sponsor
Bakin. Pembicara yang hadir pada waktu itu Hispran, Djaja Sudjadi, Kadar Solihat, dan Maman Tsani.
Pertemuan itu menghasilkan pembagian-pembagian kontak NII, seperti pengangkatan tugas-tugas.
80
Pada tahun 1973 terbentuk susunan komando dengan mengakui pimpinan komando tertingginya,
yaitu Tengku Muhammad Daud Beureuh yang menjabat KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia). Pada
tahun 1975, susunan komando khususnya untuk seluruh Jawa sudah rampung terbentuk. Dalam sruktur
tersebut, Ateng Djaelani dan Zainal Abidin duduk sebagai Dewan Imamah. Atjeng Kurnia diangkat sebagai
panglima wilayah Jawa Barat, yang pada waktu itu Jawa Barat terbagi menjadi 3 bagian; Panglima Divisi I
Atjeng Kurnia, Panglima II Gubernurnya Ules Suja’i, dan Panglima Priangan Bagian Timur, Mia Ibrahim.
Untuk daerah Banten dan Bogor, Uci Nong. Untuk daerah Jawa Timur, Hasan dan Idris. Jawa Tengah,
Panglima I Saiful Imam untuk bagian Selatan, Panglima II Sutiko Abdurahman untuk bagian Surakarta,
Panglima III Haji Paleh untuk bagian Barat, Panglima IV Seno (alias Basyar atau Abdul Hakim) untuk bagian
Semarang.
81
Pembentukan struktur NII dan keberadaan Ateng Djaelani dan Zainal Abidin dalam struktur yang
dibuat menyebabkan perpecahan di antara para kader NII. Kelompok yang setuju dengan pembentukan
struktur NII disebut oleh Al-Chaidar dan Umar Abduh sebagai “NII struktural” atau “kelompok Sabilillah”.
82
Sedangkan kelompok yang tidak sepaham dengan strategi tersebut tergabung dalam wadah “Fillah” –
demikian al-Chaidar dan Umar Abduh menyebutnya– yang dipimpin oleh Djaja Sudjadi, Kadar Solihat, Haji
Yusuf, dan Abu Bakar. Mereka tidak ikut terlibat dengan alasan: pertama, tidak setuju pembentukan struktur
yang disponsori oleh orang-orang Ali Murtopo dan Bakin. Kedua, tidak rasional membentuk struktur
berdasarkan Komandemen tanpa aktivitas nyata. Ketiga, tidak setuju mengaktifkan kembali orang-orang
yang pernah indisipliner dari Negara dan Jihad, dan Keempat, bahwa pengangkatan Tengku Muhamad
Daud Beureuh adalah pengangkatan sepihak yang tidak sesuai dengan agenda kesepakatan hasil
pertemuan bilateral wakil Jawa Djaja Sudjadi dan wakil Sumatra Abu Daud.
83
Kedua kelompok NII tersebut
berjalan sesuai dengan program-program masing-masing. Namun, struktur pembangunan NII dalam
perjalanannya ternyata mengikuti program Fillah karena tidak ada yang cukup revolusioner.
84
Karena
pembentukan struktur tersebut disponsori oleh orang-orang Ali Murtopo dan Bakin yang berakhir dengan
perpecahan di antara mereka, maka program yang direncanakan mengalami kegagalan kembali.
Pembentukan struktur NII dengan melibatkan orang luar NII tidak saja menyebabkan perpecahan di
dalam tubuh NII, melainkan juga berakhir pada penangkapan terhadap para kader NII. Pada tahun 1977
disebabkan oleh adanya isu Komando Jihad –yang disinyalir rekayasa pihak intelejen– terjadilah
penangkapan besar-besaran terhadap kedua kelompok NII yang berbeda itu. Di antara NII yang struktural,
yakni: Danu Muhammad Hasan, Hispran (Haji Ismail Pranoto), dan Dodo Muhammad Darda. Sedangkan
sejumlah tokoh NII non-struktural, yakni Muhammad Daud Beureuh yang dihijrahkan ke Jakarta, Haji Saleh,
Jubli, Idris (Jawa Tengah), Hasan (Panglima Jawa Timur), Gaos Taufik (Sumatera), Bardan Kindarto
(Palembang), Timsar Zubil (Medan), Abdul Qadir Baradja (Lampung). Setelah ditangkap, mereka dikenakan
hukuman yang berbeda-beda, kecuali Ateng Djaelani dan Zainal Abidin yang tidak dihukum. Sedangkan
Adah Djaelani, Ules Suja’i, Atjeng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki, Toha Mahfudz, Sutiko Abdurahman,
Saiful Imam, dan Seno (alias Basyar ) lolos dari penangkapan.
85
Setelah keluarnya orang-orang NII dari penangkapan tahun 1978, orang-orang NII pecah dengan
melahirkan berbagai kelompok pengajian yang diwadahi oleh kelompok-kelompok NII. Kelompok-kelompok
ini membentuk pengajian dan kembali ke wadah awal dengan konsisten membawa wacana persatuan dan
jihad Islam dengan tidak membawa wadah NII dalam dua barisan, yakni pertama, barisan pertama yang
terdiri dari KMJ (Korp Mubaligh Jakarta), PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), GPI (Gerakan Pemuda
Islam), Gerakan Usroh yang dimotori oleh Abdullah Sungkar, Harokah Ikhwanul Muslimin yang dimotori oleh
Helmi Aminuddin. Kedua, barisan kedua yang tergabung dalam struktur “KW9” yang terdiri dari Abdullah
Hanafi dengan Misi Islam, pengajian Habib Idrus, pengajian Muhamad Sobari, Ahmad Sumargono dengan
KISDI, GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah) atau (Gerakan Pembela Kebenaran), dan Gerakan Laskar
79 Al-Chaidar, Sepak Terjang KW 9 Abu Toto Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Madani Press, 2000),
hal. 27.
80 Ibid. hal. 30.
81 Ibid., hal. 31-32
82 Al-Chaidar., hal. 33 dan Umar Abduh., hal. 187.
83 Al-Chaidar., hal., 32.
84 Al-Chaidar mendasarkan pendapatnya dari hasil kumpulan analisa wawancara dari Toni dan dari berbagai pihak. Ibid., hal. 33.
85 Ibid., hal. 35

Page 20
Kemanusiaan Bulan Sabit Indonesia.
86
Walaupun terjadi skisma besar-besaran di tubuh NII, tetapi NII masih berada di bawah komando
Adah Djaelani (1978-1996). Naiknya Adah Djaelani ke tampuk pimpinan NII adalah hasil dari “Musyawarah
Mahoni” di Tangerang tahun 1978. Ia naik karena Tengku Muhamad Daud Beureuh mundur, pendapat lain
menyebutkan adanya unsur kudeta seperti menurut Al-Chaidar. Menurut faksi yang masih memegang MKT
No. 11 tahun 1959, yaitu faksi Ali Mahfudz, bahwa Musyawarah Mahoni bertentangan dengan Qanun Asasi
NII. Karena para anggota yang ikut dalam musyawarah tersebut bukan wakil-wakil umat dan urusan
golongan NII, melainkan adalah pribadi-pribadi yang tidak berhak mengangkat pimpinan NII. Begitu juga
para peserta musyawarah tersebut bukan para anggota Dewan Imamah, melainkan terdiri dari sebagian
tokoh yang telah melarikan diri dari medan perang atau datang menyerahkan diri ke pihak musuh. Oleh
karena itu, menurut mereka, pengangkatan Adah Djaelani sebagai Imam NII bukan saja tidak baik melainkan
secara hukum tidak sah.
87
Usaha pertama Adah Djaelani adalah meneruskan koordinasi di antara wilayah-wilayah di
Indonesia. Namun pembentukan wilayah-wilayah tersebut sebatas teori karena belum ada aparat dan warga
yang mengisi wilayah-wilayah tersebut, kecuali wilayah I (Jawa Barat bagian Timur), wilayah VII (Jawa Barat
bagian barat), dan wilayah II (Jawa Tengah).
88
Pada masa Adah Djaelani ini terjadi perpecahan kembali di
antara kader-kader DI berkaitan dengan pembentukan struktur NII yang terintervensi oleh orang-orang luar
para kader.
89
Pada tahun 1978 Adah Djaelani Tirtapradja, selama dalam pengawasan der
1
pengendalian
pemerintah, ikut dalam KW9 khusus unruk daerah Jakarta, dengan mengangkat Seno sebagai Komandan
Pertama (sayap militer) dan Abdul Karim Hasan sebagai pimpinan KW9 (sayap sipil) untuk daerah tersebut.
Barisan kedua –yang telah disebutkan– yang tergabung dalam struktur KW9 di bawah pimpinan
Abdul Karim Hasan itu berkembang pesat. Hal ini berakibat pada berkembangnya dakwah NII sebagai
induknya yang ditandai dengan meningkatnya jumlah jamaah yang masuk ke dalam lembaga NII. Pada
masa ini kevakuman dakwah NII terisi oleh KW9 yang dikomandoi oleh Abdul Karim Hasan. Karena
prestasinya yang bagus, KW9 ini dijadikan sebagai Ummul Quura (pusat) Negara Islam Indonesia.
90
Pada tahun 1978 juga Abdul Salam
91
menyatakan bai’at dan bergabung dengan NII wilayah 9
pimpinan Seno alias Basyar dan diangkat sebagai mas’ul jajaran Imarah (bagian pendidikan, pertahanan
dan perhubungan) untuk daerah Banten dengan berganti nama menjadi Prawoto.
92
Pada tahun 1978 juga
Abdul Salam ditangkap dan ditahan di Bandung dalam kasus GPI. Peneliti melihat bahwa penangkapan
terhadap Abdul Salam atau Prawoto dikarenakan oleh keterlibatannya dalam kasus GPI dan dakwah NII.
Perkembangan selanjutnya, gerakan da’wah Abdul Karim Hasan pada tahun 1982 dijaring oleh
aparat keamanan dengan memakai Operasi Sapu Jagad. Sejak itu terulang kembali penangkapan massal
yang dilakukan aparat keamanan di Jakarta terhadap jajaran elite NII maupun KW9. Dengan gerakan
operasi itu banyak dari kalangan pejuang DI/TII atau elite NII yang dipenjarakan, diantaranya Adah Djaelani
(Imam/Panglima tertinggi NII), Atjeng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki Kartosoewirjo, Toha Mahfudz, Opa
Musthofa, Syaiful Imam, Djarul Alam, Ules Suja’i, Ahmad Husein Salikun alias Noor, Seno alias Basyar,
Hidayat, Gustam Efendi, dan Helmi Aminuddin bin Danu Mohammad Hasan. Sedangkan dari KW9 adalah
Abdul Karim Hasan, Dr Mu’adz, H. Muhammad Rais Abbas, dan para kadernya, antara lain Mohammad
Sobari, Ahmad Sumargono, Nurdin Yahya, Ali Syahbana, Fakhrur Razi, Amir, Hasan, dan Abdur Rasyid
alias Abud.
93
Setelah para elite NII dan elite KW9 bebas dari tahanan pada tahun 1983, mereka berbeda
pendapat dalam menyikapi dan memposisikan dirinya terhadap arah perjuangan NII dan KW9 selanjutnya.
Sejak itu dalam strukutur KW9 mulai terjadi polarisasi. Sebelumnya, Helmi Aminuddin bin Danu Muhammad
Hasan telah memilih garis perjuangan baru bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, qiyadah Sa’id
Hawwa, dan melepaskan NII.
94
Helmi Aminuddin adalah seorang lulusan universitas di Arab Saudi. Setelah kembali ke Indonesia
pada 1980-an, ia melakukan diskusi dengan teman-teman mengenai Islam di Kali Malang, Jakarta Timur.
Diskusi itu kemudian banyak dikunjungi oleh para pemuda yang umumnya berasal dari berbagai perguruan
tinggi dan sekolah-sekolah SMU. Helmi Aminuddin dan teman-temannya memilih Gerakan Ikhwanul
86 Ibid.
87 Mufry, Op.Cit., hal. 185
88 Lihat Milis DI dari Andrey Ismaelnikov, 16 September 1999. Ia menulis untuk menanggapi kelompok yang terus menyudutkan
pesantren Al-Zaytun dan KW IX Abu Toto.
89 Tentang adanya intervensi dari kalangan militer terhadap reorganisasi kader-kader DI/TII dibenarkan baik oleh yang pro NII KW9
seperti Milis DI dari Andrey Ismoelnikov maupun yang kontra seperti Al-Chaidar dan Umar Abduh.
90 Al-Chaidar, Op.Cit., hal. 99
91
Menurut Al-Chaidar yang mewawancari Ustad Amri bahwa Abdul Salam sudah aktif di NII sejak tahun 1975 tapi
jarang kelihatan kecuali dalam rapat struktur dan dia tidak pernah menjabat jabatan struktural, Ibid., hal.101.
92 Umar Abduh, Op.Cit., hal. 27
93 Ibid.
94 Untuk melihat lebih jauh tentang organisasi Ikhwanul Muslimin, lihat hasil penelitian mengenai Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia: Studi tentang Pandangan Politik Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Ikhwanul Muslimin, dan Laskar Mujahidin yang
dilakukan INSEP bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kementrian Riset dan Teknologi, hal. 78, tidak
diterbitkan.

Page 21
Muslimin sebagai model dakwahnva. Di kampus mereka mengadakan pengajian-pengajian kecil yang
disebut halaqah. Mereka menguasai LDK (Lembaga Dakwah Kampus) yang berurusan dengan penerangan
agama di kampus. Kelompok ini menyebut diri mereka usroh (keluarga). Usroh adalah unit terkecil kelompok
Ikhwanul Muslimin, anggotanya hanya terdiri dari 5 sampai 10 orang.
95
Pada akhir 80-an nama usroh tercemar akibat dari propaganda media massa yang tidak suka
melihat kelompok Ikhwanul Muslimin. Untuk mengatasi hal ini kelompok mereka mengganti nama usroh
menjadi tarbiyah (pendidikan). Sampai sekarang istilah tarbiyah digunakan untuk menyebut proses
pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin.
96
Pada era reformasi kelompok ini di
perguruan tinggi mendirikan HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus) dan KAMMI
(Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia). Kedua organisasi ini berjuang untuk mendukung dan
mengamankan reformasi.
97
Tercatat beberapa media dan lembaga kursus yang merupakan jaringan Ikhwanul Muslimin di
Indonesia, yakni: majalah Sabili, Gema Insani Press (GIP) –walaupun penerbitan ini tidak berhubungan
secara langsung dengan Ikhwanul Muslimin, namun orang-orangnya jelas merupakan aktivis Ikhwanul
Muslimin–, penerbit Pustaka Pelajar di Yogyakarta, dan lembaga kursus Nurul Fikri. Untuk menyebarkan
ideologi Ikhwanul Muslimin secara formal ke tengah-tengah masyarakat, mereka mendirikan sebuah partai
politik yang bernama Partai Keadilan (PK).
98
Karena tidak mencapai suara dua persen dalam Pemilu 1999,
partai ini tidak boleh mengikuti Pemilu 2004 maka mereka merubah Partai Keadilan (PK) menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).
Keluarnya Helmi Aminuddin diikuti oleh elite-elite KW9 lainnya. Mohammad Sobari, Ahmad
Soemargono, Ali Syahbnna, Dr Mu’adz dan Amir membuat kelompok sendiri, namun tetap bercita-cita
mendirikan Daulah Islam. Keluarnya Mohammad Sobari dan teman-temannya dari struktur NII karena tidak
puas dan kecewa dengan figuritas kepribadian Adah Djaelani.
99
Sedang Abdul Karim Hasan, Nurdin Yahya
dan Muhammad Ra’is Ahmad melanjutkan struktur NII KW9. Kelompok ini juga tidak terkait lagi dengan
struktur NII pimpinan Adah Djaelani.
100
Struktur NII KW9 pimpinan Abdul Karim Hasan ini yang mengalami perkembangan pesat.
Ketidakterkaitan KW9 ini dengan NII pimpinan Adah Djaelani dikarenakan mereka membuat aturan dan
ketetapan serta program tersendiri. Mereka mencetuskan ide tentang nama dan sekaligus faham “Lembaga
Kerasulan” atau (LK) sekitar tahun 1985. Pada hakekatnya Lembaga Kerasulan ini adalah NII KW9.
101
Lembaga Kerasulan adalah organisasi yang memiliki suatu keyakinan tentang pengertian kenabian.
Nama para nabi dan nubuwah (kenabian) bisa dimiliki oleh para pejabat atau elite Lembaga Kerasulan.
Mereka beralasan bahwa merekalah yang melanjutkan misi para nabi dan rasul untuk membangun dan
rnenegakkan daulah sekaligus khalifah. Untuk itu mereka memiliki keyakinan bahwa derajat mereka sama
dengan derajat nabi. Konsekuensinya, setiap yang memiliki gelar nabi (para aparat LK) berwenang untuk
menjelaskan tentang makna, maksud, terapan seluruh ayat-ayat al-Qur’an atau hadist-hadits nabi.
102
Lembaga Kerasulan tidak terlepas dari hasil-hasil fikiran para pencetusnya. Abdul Karim Hasan, misalnya,
membuat silabus tentang Lima Kerangka Pembinaan (Binayah al khamsah) dan Tiga Unsur Dasar
(Mabadiuts Tsalatsah). Ia juga memiliki faham periodesasi dalam fiqhul waqi’iy dalam memperjuangkan
Islam melalui pembagian masa dengan istilah periode Makkah dan periode Madinah. Implikasi dari ajaran
periodesasi tersebut antara lain, ketika periode Makkah, muncul ide tentang kebolehan meninggalkan shalat
dan menanggalkan jilbab.
103
Tahun 1987, Abdul Salam kembali dari Sabah, Malaysia, dan bergabung kembali dengan NII KW9
atau LK (Lembaga Kerasulan) daerah Menes Pandeglang, dengan nama panggilan Syamsul Alam atau Abu
Toto alias Toto Salam.
104
Penelitian ini tidak menemukan data apakah saat Syamsul Alam atau Abu Toto
bergabung dengan NII KW9 atau Lembaga Kerasulan mengetahui doktrin NII KW9 yang baru yang sudah
diwarnai oleh ajaran Lembaga Kerasulan tersebut. Karena Syamsul Alam (AS Panji Gumilang) dekat dengan
Abdul Karim Hasan yang sedang menjabat Komandan KW9, tahun 1989 Syamsul Alam kemudian masuk
dalam struktur kepemimpinan NII KW9. Jabatan yang dipegangnya sebagai staff Luar Negeri.
105
Tahun
1990, Syamsul Alam diangkat sebagai orang ke-3 struktur KW9 dan membidangi urusan penggalian dana
ummat. Sebagai pejabat yang membidangi penggalian dana umat, ia mencari dukungan kebijakan tentang
Harakat Qurban yang ia ceruskan dengan melakukan lobby kepada Adah Djaelani, dan ia memperoleh
dukungan dari Adah Djaelani.
106
95 Hubungan Agama dan Negara di Indonesia:......., hal. 90-93.
96 Ibid., hal. 94
97 Ibid., hal. 96
98 Ibid., hal. 96-98
99 Umar Abduh, Loc.Cit., hal. 65.
100 Ibid.
101 Ibid., hal. 66
102 Ibid.
103 Ibid., hal. 67
104 Umar Abduh., Loc. Cit. Dalam masa kaburnya di Sabah Malaysia, menurut Umar Abduh, tahun 1986 Prawoto direkrut oleh
pihak intelejen, dan tahun 1987 pihak intelejen menyusupkannya ke dalam gerakan LK. Keberadaan Prawoto mampu mempengaruhi
dan meyakinkan Abdul Karim Hasan agar kembali kepada manhaj NII dan menggerogoti struktur kewilayahan NII. Ibid., hal. 189.
105 Al-Chaidar, Op.Cit., hal. 101.
106 Ibid.

Page 22
Konflik intern muncul dalam KW9 sepeninggal Karim Hasan pada tahun 1992 ketika kepemimpinan
dipegang oleh Muhammad Rais. Namun kepemimpinan itu tidak berjalan lama setelah Muhammad Rais
dimasukan kembali ke penjara oleh aparat keamanan tahun 1993. Syamsul Alam menggantikan posisi
Muhammad Rais sebagai pemimpin NII KW9. Pengangkatan itu dilakukan oleh Adah Djaelani dan dengan
sikap Adah itu NII KW9 pecah kembali. Kelompok Adah Djaelani dan Ules Suja’i di satu sisi dan kelompok
Tahmid, Mia Ibrahim, Ajengan Masduki, Dodo Muhammad Darda, Maskur, dan pak De di sisi lain.
107
Pengangkatan diri Syamsul Alam sebagai Komandan Tertinggi KW9 lebih dikarenakan orang kedua
setelah Muhamad Rais sakit dan akhirnya wafat. Juga tidak adanya yang melantik atau mengangkat dirinya
karena para elite NII masih berada dalam tahanan. Disamping itu karena kecerdikan Syamsul Alam sendiri
yang memiliki akses dan berani menemui Adah Djaelani.
108
Nama panggilan Syamsul Alam diganti Abu Toto
atau Abu Ma’arif/Ma’aariq.
Pada masa kepemimpinan Abu Toto, NII KW9 berkembang lebih pesat. Hal ini dikarenakan
program-program Abu Toto yang radikal. Menurut salah seorang pendukung Abu Toto, hanya dengan cara
radikal kemenangan dapat diraih. Ia bahkan mencontohkan bahwa kesuksesan Rasulullah adalah dengan
cara yang radikal dan keras sekaligus manusiawi. Langkah yang sama pun ditempuh oleh Abu Toto untuk
menciptakan kader-kader mujahid yang siap tampil memimpin Indonesia dan dunia di masa-masa yang
akan datang.
109
Seperti gerakan yang sudah-sudah, proses pembentukan kader-kader mujahid ditafsirkan
oleh lawan-lawan Abu Toto sebagai bentuk mengeksploitasi umat. Abu Toto dituduh telah membuat aturan
serta paham atau ta’wil baru terhadap fiqih maupun tafsir dan syari’at melalui qoror-qoror.
110
Kuat tidaknya sebuah gerakan keagamaan tergantung dari sikap soliditas yang dibangun oleh para
anggotanya. Karena kurangnya soliditas di antara para anggota NII KW9, gerakan mereka cepat tercium
oleh aparat keamanan. Pada bulan Agustus tahun 1994, seratus lebih warga Pandeglang, Jawa Barat,
diperiksa aparat keamanan. Mereka adalah peserta sebuah kelompok pengajian yang kegiatan-kegiatannya
bertentangan dengan Pancasila, dan berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Kegiatan
“kelompok Pandeglang” ini diketahui bermula dari salah seorang penduduk desa Cadasari yang hendak
membuat surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian. Karena harus meminta surat keterangan dari
kepala desa, orang tersebut diperintahkan oleh sang kepala desa untuk berhenti dalam kelompok pengajian
yang dimasukinya. Ketika surat pernyataan orang tersebut dibawa ke Polres, aparat keamanan merasa
curiga sehingga ia diperiksa. Dari orang inilah kegiatan kelompok pengajian tersebut terbongkar sampai ke
level pemimpinnya. Menurut beberapa tokoh kelompok Pandeglang itu, kegiatan mereka terbongkar setelah
terjadi perpecahan di dalam organisasi.
111
Menurut beberapa orang aktivis “kelompok Pandeglang” bahwa
atasan mereka adalah SR. Lebih lanjut menurut mereka seperti diberitakan harian Republika:
Sejak sekitar dua tahun lalu, keluarga SR memang menghilang dari Pandeglang. Rumahnya di
Menes sudah hampir ambruk karena tak berpenghuni, tetapi ia masih memiliki beberapa
kebun yang diurus orang lain. Para tetangganya ada yang mengatakah bahwa SR alumnus
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu berada di Malaysia, di Surabaya atau di Kalimantan.
Namun beberapa pimpinan “kelompok Pandeglang” mengaku yakin bahwa SR alias Abu Toto
sebenarnya berada di Jakarta, dan tetap memberikan perintah-perintahnya ke jajaran “pejabat”
yang di bawahnya.
112
Penangkapan terhadap para anggota NII tidak membuat sang pemimpin berhenti untuk berjuang.
Pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1995, program yang dikembangkan oleh Abu Toto semakin progresif,
yaitu dengan menetapkan besarnya infaq dan program-program keuangan yang dikenai target-target
tertentu. Hal ini merupkan semata-mata sebagai batu ujian bagi para aparat dan jamaah dalam rangka
pembinaan umat. Terhadap gerakan Abu Toto yang agresif itu memunculkan hasil-hasil beberapa kelompok
yang berbeda. Ada kader yang berhasil menjalankan dan memenuhi program-program itu, ada kader yang
sukses walaupun dengan cara yang melanggar garis, dan ada pula kader yang kurang sukses. Dalam
sebuah gerakan, jika ada kader yang kurang sukses ditegur oleh pemimpinnya. Karena sakit hati, mereka
yang kurang menerima atas teguran itu menganggap sebagai sebuah kemarahan dan akhirnya mereka
keluar dari komunitas bersangkutan.
113
Tetapi keluarnya para kader dari NII KW9, menurut Al-Chaidar, Umar
Abduh, dan Sukanto karena adanya ajaran yang sesat yang diperaktekkan dalam program-program KW9.
Tahun 1996, Adah Djaelani mengangkat Abu Toto menggantikan posisi ke-imamahan dirinya dalam struktur
NII.
Sebagai gerakan keagamaan, NII KW9 memiliki struktur organisasi, keanggotaan, pembinaan warga
dan aparat, serta program organisasi.
114
107 Ibid.
108 Milis DI dari Andrey Ismaelnikov, 16 September 1999.
109Ibid.
110 Lihat Umar Abduh, Op.Cit., hal. 70-95
111 Harian Republika, 16 Agustus 1994.
112 Harian Republika, 13 Agustus 1994.
113 Milis DI dari Andrey Ismaelnikov, 16 September 1999.
114 Data-data tentang organisasi, rekruitmen anggota, program organisasi, dan target serta tujuan organisasi NII KW9 diambil dari
wawancara Tim Peneliti dengan Sukanto, mantan anggota NII 1996-2001, pada hari Sabtu tanggal 13-12-2003. Data-data juga

Page 23
Struktur Organisasi. Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, NII KW9 mempunyai struktur
organisasi sebagai berikut. Skema awal susunan kepemimpinan KW9 tahun 1976 adalah:
Militer
Sipil
(Sumber dari buku Al-Chaidar, Sepak Terjang KW IX Abu Toto Syaekh A.S. Pandji Gumilang
Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosuwirjo, Jakarta: Madani Press, 2000, hal. 100)
diambil dari dokumen yang ditulis oleh Imam Shalahuddin dan Sukanto, keduanya mantan anggota NII, yang berjudul Mengapa
Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktivis NKA/KW9, Jakarta, 16 Juli 2003.

Page 24
Adapun struktur organisasi NII KW9 setelah KW9 menjadi pusat NII dan di bawah kepemimpinan
Abu Toto adalah sebagai berikut:
115
Untuk periode 1418-1423H/1997-2002M/ susunan pengurus Nil KW9 adalah sebagai berikut:
116
E. Majlis Syuro/Dewan Syuro: Ketua; Miftah alias Jafar al-Syubbani. Wakil; M. Ihsan alias Fathan
Mubina
F. Imam/Presiden NII: Abdul Salam alias Abu Toto alias Abu Maa’ariq alias Syamsul Alam alias AS
Panji Gumilang (ASPG).
G. Dewan Fatwa: Adah Djaelani, Ules Sudja’i, dan H. Mursidi alias Abu Anshori.
H. Mahkamah Agung: Ketua; Ahmad Husein Salikun. Sekjen, Ahmad HS.
I. Majelis (Kementrian):
a. Majlis/Kementrian Pembangunan Sekretariat Negara: Oji alias Abdul Halim. Asal
Pondok Aren Tangerang. Meninggalkan Pondok Aren tahun 1991/1992 karena dikejar
pihak keamanan dalam kasus NII di Pondok Aren. Oji/Abdul Halim adalah anak dari H.
Mursidi. Istri Abdul Halim adalah keponakan ASPG.
b. Majlis/Kementrian Pembangunan Dalam Negeri: Nurdin alias Joni alias Yahya alias Abu
Tsabit.
c. Majlis/Kementrian Pembangunan Luar Negeri: AS Panji Gumilang.
d. Majlis/Kementrian Pembangunan Pertahanan: Handoko alias Abd. Rauf alias H.
Syarwani. Dia merangkap juga sebagai ketua YPI Ma’had Al-Zaytun dan Menhankam.
115 Data tentang Bagan Struktur ini didapat dari hasil wawancara Tim Peneliti dengan Sukanto, mantan anggota NII 1996-2001,
pada hari Sabtu tanggal 13-12-2003.
116 Lihat “dokumen tentang daftar nama-nama pimpinan teras jaringan organisasi ASPG” yang ditulis oleh salah seorang aktivis
Ma’had Al-Zaytun. Dokumen itu dikeluarkan pada bulan Maret 2002. Dokumen tersebut didapat dari hasil penelitian Tim MUI.

Page 25
e. Majlis/Kementrian Pembangunan Pendidikan: AS Panji Gumilang.
f. Majlis/Kementrian Pembangunan Keuangan: Asmadi alias Aseng alias Ali alias Iskandar
alias Saefullah atau Syaf Allah.
g. Majlis/Kementrian Pembangunan Penerangan: Edi Suaidi alias Abu Hanifah.
h. Majlis/Kementrian Pembangunan Urusan Hukum dan syari’at: Azwar alias Abu Qosim.
i. Majlis/Kementrian Pembangunan Aparatur Negara: Taufiq.
j. Majlis/Kementrian Pembangunan Kesehatan: A. Mufakkir alias Abdullah Al-Hayyi.
k. Majlis/Kementrian Pembangunan Kesejahteraan Umat: Jazuli alias Roby alias Silmi
Aulia.
l. Majlis/Kementrian Pembangunan Logistik dan Pembekalan: Idris Darmin alias Furqon
Perwira Negara.
m. Majlis/Kementrian Pembangunan Perdagangan: Tjarsadi alias Abdul Jabbar.
n. Majlis/Kementrian Pembangunan Kerja Raya: Masrur Anhar.
o. Majlis/Kementrian Pembangunan Peningkatan Produksi Pangan: Imam Supriyanto alias
Imam Abdul Aziz.
J. Sekretaris Jendral (Sekjen):
a. Sekretariat Negara: Edi alias insan Hadid.
b. Kementrian Dalam Negeri: Yasin alias Mahdi.
c. Kementrian Luar Negeri: Muhammad Nasir alias Abdul Qadir.
d. Kementrian Pendidikan: Abdul Salam.
e. Kementrian Keuangan: Umar.
f. Kementrian Penerangan: Imam Prawoto alias Aziz An-Naba.
g. Kementrian Aparatur Negara: Hilman alias Badar.
h. Kementrian Peningkatan Produksi Pangan: Abdul Rozak.
K. Gubernur-gubernur:
a. Wilayah 1 (Jabar Utara): Mustawa.
b. Wilayah 2 (Jateng): Mizan Shiddiq.
c. Wilayah 3 (Jatim): Deden alias Anshory.
d. Wilayah 7 (Jabar Selatan): Abu Fatin
e. Wilayah 9 (Jakarta Raya): Agus Kumis alias Lukman Hakim
Dari nama-nama yang tercantum dalam Majlis Syuro, Presiden, Dewan Fatwa, Mahkamah Agung,
Dewan Syura, Kementrian Pembangunan, Sekjen, dan Mas’ul Wilayah, hampir semua tercantum juga dalam
komposisi struktur Ma’had Al-Zaytun dan menduduki posisi elite di Ma’had Al-Zaytun sejak Ma’had Al-Zaytun
didirikan tahun 1995 sampai penelitian ini berlangsung. Di antaranya sebagai berikut:
Nama
Jabatan
di Ma’had Al-Zaytun
Jabatan
di NII/Tahun
1. Adah Djaelani
Penasehat Ma’had Al-Zaytun
Tokoh NII KW9 (1993-2002)
dan Dewan Fatwa (1997-2002)
2. Ules Suja’I
Penasehat Ma’had Al-Zaytun
Tokoh NII KW9 (1993-2002)
dan Dewan Fatwa (1997-2002)
3. Ahmad Husein Salikun
Penasehat Ma’had Al-Zaytun,
tidak aktif lagi di Ma’had Al-
Zaytun
Mahkamah Agung
(1997-2002)
dan Tokoh NII KW9
(1993-2002)
4. Jafar al-Syubani
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Ketua Majlis Syuro/
Dewan Syuro (1997-2002)
5. AS Panji Gumilang
Syekh Ma’had Al-Zaytun
Imam/Presiden NII,
Kementrian
Pembangunan
Luar Negeri dan Pendidikan
(1997-2002)
6. KH Syarwani
alias Handoko
Ketua YPI
Menurut
Sukanto
(mantan
Lurah NII), pada bulan Agustus
2003 dipecat dari jabatannya.
Kementrian
Pembangunan
Pertahanan (1997-2002) dan
tokoh NII sejak 1993-2002
7. Djarsadi Abd. Al-Jabbar
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
dan penulis di Majalah Al-
Zaytun.
Kementrian
Pembangunan
Perdagangan (1997-2002)
8. Abd Halim alais Oji
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Sekretaris Negara (1997-2002)
9. Nurdin alias Joni alias
Yahya alias Abu Tsabit
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Dalam Negeri (1997-2002)

Page 26
10. Syaefullah alias
Iskandar
Eksponen Ma’had Al-Zaytun,
pernah terlibat konflik dengan
Tibmara dan Garda Ma’had
pada September 2001.
Kementrian
Pembangunan
Keuangan (1997-2002)
11. Imam Supriyanto
Wakil Ketua
Yayasan Pesantren Indonesia
Kementrian
Pembangunan
Peningkatan Produksi Pangan
(1997-2002)
12. Imam Prawoto
Sekretaris Yayasan Pesantren
Indonesia
Sekjen
Kementrian
Penerangan (1997-2002)
13.Abu Hanifah
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Penerangan (1997-2002)
14. Abu Qasim
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Urusan Hukum dan Syari’at
(1997-2002)
15. Taufiq Abdullah
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Aparatur Negara (1997-2002)
16. H. Silmi Auliya
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Kesejahteraan Umat
(1997-2002)
17. Idris Darmin alias
Furqon Prawira Negara
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Logistik dan Pembekalan
18. Masrur Anwar
Eksponen Ma’had Al-Zaytun
Kementrian
Pembangunan
Kerja Raya
Struktur kepemimpinan organisasi NII KW9 memiliki tujuh tingkatan yang dinisbatkan dari
penciptaan tujuh lapis langit. Secara umum struktur kepemimpinan tidak berubah, hanya nama jabatan saja
yang mengalami perubahan. Perubahan nama jabatan sebagai suatu kebijakan negara dalam menjaga
keamanan. Setiap tingkatan struktural pemerintahan diisi oleh beberapa personil aparat dalam sebuah tim.
Jumlah personil tergantung dari tinggi rendahnya tingkatan dalam struktur. Untuk jajaran Idris (setingkat
kementrian) terdiri dari 11 orang, Nuh (setingkat propinsi) 9 orang, Hud (setingkat residen) 7 orang, Soleh
(setingkat kabupaten) 5 orang, Ibrahim (setingkat kecamatan) 5 orang dan Musa (setingkat desa) 3 orang.
Berikut nama-nama jabatan yang dipakai dalam struktur tujuh tingkatan:
117
C. Mudabbir (Komandan) bertindak sebagai Komandan. Untuk tingkatan Musa hanya ada 1
Mudabbir. Ibrahim dan Soleh ada 2 (Mudabbir Awwal dan Mudabbir Tsani). Sedangkan Hud dan
Nuh masing-masing 4 Mudabbir (Mudabbir Awwal, Tsani, Tsalis dan Rabi’).
D. Raqib bertindak sebagai kepala staff. Jabatan Raqib ada pada tingkatan Ibrahim sampai Nuh.
E. Katib bertugas sebagai sekretaris desa untuk tingkatan Musa.
F. Imarah bertindak sebagai kepala bagian pendidikan dan pertahanan & perhubungan. Untuk
tingkatan Musa hanya 1 Imarah. Ibrahim sampai Nuh ada 2 orang (Imarah Awal dan Imarah
Tsani).
G. Tsiqoyah bertindak sebagai kepala bagian keuangan. Jabatan ini ada di setiap tingkatan. Untuk
tingkatan Musa hanya 1 Tsiqoyah. Ibarahim sampai Nuh ada 2 orang (Tsiqoyah Awal dan
Tsiqoyah Tsani).
Mereka bertanggung jawab atas terlaksananya program daulah kepada Adam (Presiden). Dalam
pelaksanaan programnya mereka dibantu oleh Setia Usaha Kerja (SUK) dan wakil SUK yang kemudian
bertanggung jawab kepada Nuh (Gubernur) atas perputaran roda manajemen, administrasi idariyah, SUK
dan wakilnya. Setia Usaha Kerja membawahi bagian-bagian, yakni; penerimaan pendapatan, Ihsanul Mas’ul
(kesejahtraan aparat), masholihul ummah (kemaslahatan warga), belanja barang, proyek pembangunan,
hal inventaris daulah dan malja (markas), nadzir auqof wal arodhi, syu’unul ‘Am, dan data komputer.
Di bawah ini adalah bentuk struktur pemerintahan NII setelah mengalami perubahan-perubahan:
118
A. Struktur pemerintahan tahun 1988-1993. Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan
Adah Djaelani.
1. Markazul A’la
2. Al-Jazirah
3. Al-Wilayah
4. Ad-Dairah
5. Al-Mantiqah
6. Al-Muqata’ah
117 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Mengapa Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktivis NKA/KW9, Jakarta , 16 Juli
2003, hal. 32.
118 Ibid.

Page 27
7. Al-Qaryah
B. Struktur Pemerintahan tahun 1994-1997
1. Adam
2. Idris
3. Nuh
4. Hud
5. Soleh
6. Ibrahim
7. Musa
C. Struktur Pemerintahan Tahun 1998-1999. Perubahan nama struktur pemerintahan ini tidak
mengubah nama jabatan di setiap strukturnya. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang
pernah berjalan dalam pemerintahan Kartosuwiryo.
1. Imam
2. Komandemen Wilayah Besar
3. Komandemen Wilayah
4. Komandemen Daerah
5. Komandemen Kabupaten
6. Komandemen Kecamatan
7. Komandemen Desa
D. Struktur Pemerintahan Tahun 1999-2000
1. Imam
2. Riasyah Ulya
3. Riasyah Wilayah
4. Riasyah Daerah
5. Riasyah Kabupaten
6. Riasyah Kecamatan
7. Riasyah Desa
Struktur Pemerintahan Tahun 1999-2000 dalam pelaksanaannya mengacu ke arah pemerintahan
sipil. Tidak ada lagi penggunaan nama-nama yang berbau militeristik. Sistem ini mengacu kepada
rancangan PERPU I (Peraturan Pengganti Undang-Undang) tentang sistem kepegawaian. Hirarki yang ada
hanya menggunakan kode-kode yang nantinya akan dijadikan identifikasi kepegawaian. Nama-nama jabatan
seperti struktur pemerintahan sebelumnya diganti menjadi kode awal Q (Qaim). Untuk identifikasi tingkat
jabatan digunakan nomor urut. Contoh: untuk jabatan Riasyah Desa terdiri dari tiga personil. Maka orang
pertama sampai ketiga diidentifikasi dengan nomor, Q1, Q2 dan Q3. Begitu seterusnya untuk tingkatan di
atasnya.
E. Struktur Pemerintahan Tahun 2001
1. Majelis Syuro
2. Presiden
3. Kementrian
4. Gubernur Wilayah
5. Residen
6. District Official System
7. Onder District Official System
8. Petinggi Desa
Sistem di atas mengacu kepada PERPU II tentang sistem pemerintahan distrik. Sistem ini seiring
dengan klaim perluasan wilayah NII menjadi 28 Propinsi. Nama-nama jabatan dirubah dengan job
description yang lebih jelas. Penggunaan nama baru ini digunakan sama di setiap tingkatan. Contoh: untuk
tingkatan distrik (7 personil), terdiri dari; distrik officer, wakil distrik officer, sekretaris distrik, Kabag
Keuangan, Kabag Personalia, Kabag Pendidikan, dan Kabag Logistik.
Rekruitmen Anggota. Walaupun gerakan bawah tanah, NII KW9 memakai strategi dakwah sebagai
pola dan metode rekruitmen anggota. Metodelogi awal dakwah dan doktrin-doktrin adalah alat untuk
“menjerat” orang. Sebagian besar orang yang tertarik masuk NII KW9 adalah karena terpesonanya dengan
metodologi dakwah dan doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh mereka. Setelah calon anggota terjerat, ia
dibawa ke dalam sebuah pengajian. Materi pengajian itu terdiri dari; 1) doktrin aqidah yang terdiri dari
Rububiyah, Mulkiyah, dan Uluhiyah. Trilogi akidah mereka berdasarkan pada Mabadiuts Tsalah-nya Abdul

Page 28
Karim Hasan, 2) Akhlaq, 3) Ibadah, dan 4) Sejarah Islam. Versi sejarah Islam mereka adalah periode
Mekkah dan Madinah, periode Islam di Nusantara, periode pergerakan Islam di Indonesia dari mulai HOS
Cokroaminoto, SM Kartosoewirjo, sampai AS Panji Gumilang.
119
Berikut ini adalah salah satu kasus tahapan proses rekruitmen anggota dari mulai seseorang dijerat
menjadi calon anggota sampai menjadi anggota resmi NII KW9 yang dijelaskan oleh dua mantan anggota
NII KW9, Imam Shalahuddin dan Sukanto.
120
Menurut mereka bahwa metode dakwah NII KW9 mengacu kepada salah satu program negara,
yakni Hujumat Tabsyiriah (misi ofensif), sebuah program NII KW9 yang menjadi asas metode dakwah dan
pembinaan warga. Orang-orang yang telah tertarik oleh ajakan mereka akan menjadi “calon warga”.
Kemudian calon warga akan masuk dalam tahap pertama, yakni tahap tilawah. Calon warga yang akan
masuk dalam tahap tilawah harus dikawal dan dikondisikan oleh yang membawa atau muqori. Menurut
mereka, pengkondisian ini berkisar tentang pengkajian Al-Qur’an yang akan dihadirinya dan materi yang
akan disampaikan. Karena, kalau tidak diarahkan untuk mengkaji Al-Qur’an banyak di antara mereka yang
curiga terlebih dahulu dan kandas di tengah jalan. Lebih lanjut mereka menjelaskan, bila waktu yang sudah
disepakati tiba, sang muqori membawa calon warga ke tempat pengkajian yang telah dipersiapkan. Di
tempat tersebut sudah menunggu para pembina yang akan memberikan materi tilawah. Teknis
penyambutan diatur sedemikian rupa agar calon warga merasa nyaman.
121
Calon warga yang sudah mengerti tujuan kedatangannya diarahkan untuk segera mengikuti acara
pengkajian. Biasanya dalam penyampaian materi tilawah dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup dan
dengan peserta yang sedikit. Menurut mereka, cara ini dilakukan untuk meminimalisir penolakan dan
mengkondisikan tilawah dalam ruang komunikasi searah. Pola penyampaian materi disesuaikan dengan
status sosial dan tingkat pengetahuan agama calon warga bersangkutan. Walaupun disampaikan dengan
pola yang berbeda, tetapi materinya memiliki dasar silabus yang sama. Materi-materi yang disampaikan
terdiri dari lima bagian, yakni; materi aqidah, materi ibadah, materi negara, materi hijrah, dan materi
shadaqah. Uraian dan penjelasan materi-materi tersebut berdasarkan pada pemahaman mereka.
122
(penjelasan tentang materi-materi tersebut akan dijelaskan dalam bab III mengenai doktrin dan ajaran).
Setelah menerima materi-materi tersebut, calon bersangkutan siap untuk melaksanakan hijrah.
Shadaqah adalah syarat yang harus dipenuhi seorang calon dalam melaksanakan hijrah. Besarnya
shadaqah ditentukan seberapa besar dosa yang telah diperbuatnya selama hidup. Sebelum pelaksanaan
hijrah, menurut mereka, para pembina mengeluarkan ayat-ayat penting yang berkaitan dengan pelaksanaan
hijrah.
123
Setelah persyaratan hijrah terpenuhi, terutama masalah dana shadaqah hijrah, para pembina
membawa tilawahan ke jenjang forum musyahadatul hijrah. Menurut mereka, musyahadatul hijrah adalah
proses akhir seorang tilawahan menuju kepada pindahnya warga RI ke dalam NII KW9. Pengkawalan ketat
sang muqori (orang yang membawa calon) dibutuhkan sampai calon warga itu tiba ke tempat tujuan. Acara
yang dilakukan satu hari satu malam ini merupakan ritual syahadat menurut versi NII KW9.
124
Tata cara pelaksanaan musyahatul hijrah memakai prosedur baku, yakni menggunakan metode
daftar tunggu dan sistem quota. Peserta hijrah yang sudah masuk daftar tunggu akan mendapat panggilan
hijrah satu hari sebelumnya. Quota peserta untuk pelaksanaan hijrah sebanyak 20 orang. Acara hijrah
memiliki tempat yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Jadwal untuk pemberangkatan hijrah laki-laki
dilaksanakan setiap hari. Sedangkan untuk perempuan dilaksanakan dua hari sekali. Untuk mengantisipasi
kegagalan, sejak siang hari peserta hijrah dibawa ke malja (markas) desa tempat pertama kali dibina.
Menjelang sore, peserta hijrah dibawa ke tempat transit (halte bis, swalayan, terminal, dll), dan selanjutnya
diserahkan kepada petugas hijrah. Kemudian petugas hijrah membawa peserta ke posko khusus yang
disediakan untuk penampungan sementara. Antara jam 17.00 s/d 21.00 para peserta diharapkan sampai di
tempat tersebut. Untuk mematangkan persiapan, para pimpinan aparat Bupati atau aparat di atasnya
membimbing kembali tata cara hijrah yang akan dilaksanakan esok harinya. Kemudian jam 5.00 peserta
dibangunkan untuk pesiapan pemberangkatan. Dengan memakai kemeja putih dan celana hitam bagi laki-
laki dan busana muslim bagi perempuan, jam 6.00 para peserta dibawa ke tempat hijrah secara bertahap
yang setiap tahapnya terdiri dari sepuluh orang. Dengan menutup mata, kemudian para peserta diangkut
dengan kendaraan yang biasa digunakan untuk antar jemput hijrah, seperti mobil Panther, Kijang dan
Mitsubishi L300 menuju tempat hijrah. Sesampai di tempat hijrah peserta dijamu sarapan pagi. Selanjutnya
panitia menempatkan para peserta ke dalam sebuah ruangan yang kedap suara dilengkapi dengan
peralatan layaknya ruang kuliah.
125
119 Pengamatan terlibat dalam pengajian NII KW9, 12-13 Februari 2004 di Bekasi.
120 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Mengapa Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktivis NKA/KW9, Jakarta, 16 Juli
2003. Imam Shalahuddin aktif di NII KW9 dari tahun 1989-1996. Jabatan terakhir yang ia pegang adalah sebagai aparat kecamatan.
Sedangkan Sukanto terlibat di NII KW9 dari tahun 1996-2001. Terakhir ia menjabat aparat desa.
121 Ibid., hal. 3.
122 Ibid., hal. 4.
123 Ibid., hal. 21 ayat-ayat penting yang berkaitan dengan pelaksanaan hijrah di antaranya; QS. At-Taubah: 103, QS. Ali Imran:92,
dan QS. Al-Mujadilah: 12.
124 Ibid., hal. 23. pada tahun 80-90-an, program perekrutan umat belum gencar seperti sekarang, acara musyahadatul hijrah
dilakukan selama tiga hari tiga malam dan pembinaan awal perekrutan pun berbulan-bulan. Sedangkan pada tahun 1996-2003, ketika
dibentuk hujumah tabsyiriyah (misi ofensif), acara ini hanya membutuhkan waktu satu hari satu malam.
125 Ibid., hal. 57

Page 29
Materi hijrah disampaikan dalam dua sesi. Masing-masing sesi diisi oleh seorang pembina dari staff
gubernur dengan nama sandi Isa dan Ilyas yang mulai digunakan tahun 1996 atau sandi Malik dan Ridwan
yang mulai digunakan sejak tahun 2001. Sesi pertama disampaikan materi tentang mabadiuts tsalasah
(tauhid Rububiyah, Mulkiyah, dan Uluhiyah) dan diteruskan pada sesi kedua dengan materi sejarah
perjuangan Rasul dan sejarah NII KW9. Setelah kedua materi itu disampaikan, para peserta memasuki
acara puncak, yaitu proses serah terima perpindahan status kewarganegaraan. Dalam proses tersebut para
peserta diharuskan melepaskan atribut dan simbol kenegaraan RI dengan mengucapkan sepenggal kata-
kata yang telah ditentukan. Kata-kata itu berbunyi: “Dengan ini saya menanggalkan kewarganegaraan
Republik Indonesia dan mohon diterima sebagai warga Negara Islam Indonesia”. Setelah membacakan
bentuk bai’at ini, para peserta dianggap sah menjadi warga Negara Islam Indonesia. Untuk menyematkan
para peserta menjadi warga negara NII KW9, para petugas yang sekaligus sebagai syahid hijrah (saksi
perpindahan kewarganegaraan) membacakan proklamasi berdirinya NII dan mubaya’ah 9 (janji setia NII)
yang diikuti oleh seluruh peserta. Kemudian petugas hijrah meminta kepada para peserta hijrah untuk
membuat istmun tsani (nama kedua) yang akan digunakan sebagai nama resmi negara sekaligus nama
sandi dalam pergerakan. Setelah prosesi tersebut, petugas hijrah memberikan nasehat agar proses
perpindahan ini dirahasiakan kepada siapapun termasuk kepada pihak keluarga.
126
Pembinaan warga.
127
Sebagai gerakan keagamaan, NII KW9 memberikan metode pembinaan atau
yang mereka sebut dengan tazkiyah baik kepada warga baru ataupun warga lama. Tazkiyah merupakan
pengakaderan ummat secara hafdzul jannah (pengayoman) agar bisa dilihat ketangguhannya dalam
melaksanakan janji setia yang telah diucapkan dalam forum musyahadatul hijrah. Pembinaan kepada warga
diselenggarakan berjenjang dari tingkatan Desa sampai Daerah dengan kapasitas dan intensitas materi
yang berbeda. Dalam pemberian materi tazkiyah, sebagian besar hanya pengulangan dari materi-materi
sebelumnya. Intinya, dari pola pembinaan ini bertujuan agar warga harus rela memerankan dirinya sebagai
nabi Ismail yang dengan ketulusan dan keikhlasan hati siap dikorbankan untuk “disembelih” demi
kepentingan agama Allah. Selain sebagai media pengontrolan warga, tazkiyah ini diharapkan dapat
memberikan hasil maksimal dalam usaha memperjuangkan tegaknya NII KW9 di Indonesia. Bagi warga
baru, pemberian materi lebih banyak kepada kebutuhan rohani mereka, yakni untuk menanamkan mentalitas
sebagai seorang mujahid. Sedangkan bagi warga lama, pembinaan diarahkan kepada masalah teknis
pelaksanaan dan pemenuhan program negara.
Pengkaderan calon aparat.
128
Untuk mengkader calon aparat, NII KW9 menetapkan program
irsyad. Program yang dimaksudkan sebagai penataran calon aparat NII KW9 ini diberikan hanya kepada
warga pria. Dalam irsyad calon aparat akan diberikan materi-materi kenegaraan yang lebih mendalam
seperti pemahaman proklamasi bedirinya NII, khilafah, aklak mujahid, dan program negara.
Program Organisasi.
129
Program organisasi NII KW9 didasarkan pada konsep binayatul khomsah
karya Abdul Karim Hasan yang berpijak pada mabadi’uts tsalasah. Konsep binayatul khomsah terdiri dari;
binayatu al-Aqidah (pembangunan aqidah), binayatu al-Dzharfiyah (pembangunan teritorial), binayatul
Mas’uliyah (pembangunan keaparatan), binayatu al-Maliyah (pembangunan keuangan), dan binayatu al-
Shilah wal muwasholah (pembangunan komunikasi). Pada tahun 1995 konsep tersebut mendapat
penyempurnaan dan sekaligus dijadikan “Program Dasar Negara Islam Indonesia”.
Program Dasar Negara ini merupakan Garis-Garis Besar Haluan Negara, yaitu dijabarkan ke dalam
6 (enam) program besar: pertama adalah Hujumah Tabsyiriah. Program ini adalah misi ofensif dalam rangka
meningkatkan jumlah warga dan pembinaanya. Target yang harus dicapai:
1. Tahun 1416 H/1995 M jumlah warga diperkirakan menjadi 99.000 orang
2. Tahun 1417 H/1996 M jumlah warga diperkirakan menjadi 159.000 orang
3. Tahun 1418 H/1997 M jumlah warga diperkirakan menjadi 219.000 orang
4. Tahun 1419 H/1998 M jumlah warga diperkirakan menjadi 279.000 orang
5. Tahun 1420 H/1999 M jumlah warga diperkirakan menjadi 339.000 orang
6. Tahun 1421 H/2000 M jumlah warga diperkirakan menjadi 399.000 orang
7. Tahun 1422 H/2001 M jumlah warga diperkirakan menjadi 459.000 orang
Program ini dalam realisasinya tidak mencapai target. Di bawah ini tabel perbandingan jumlah warga
antara target dan realisasinya dari tahun 1995-2001:
No.
Tahun
Target
Realisasi
1.
1416 H / 1995 M
99.000 orang
68.147 orang
2.
1417 H / 1996 M
159.000 orang
109.934 orang
3.
1418 H / 1997 M
219.000 orang
129.982 orang
4.
1419 H / 1998 M
279.000 orang
112.905 orang
5.
1420 H / 1999 M
339.000 orang
137.593 orang
126 Ibid., hal. 58
127 Ibid., hal. 31-43
128 Ibid., hal. 43-54
129 Umar Abduh, Op.Cit., hal. 98-107 dan Imam Shalahuddin dan Sukanto, Loc.Cit.

Page 30
6.
1421 H / 2000 M
399.000 orang
162.088 orang
7.
1422 H / 2001 M
459.000 orang
168.660 orang
Kedua adalah program pendidikan (Tarbiyah). Untuk mencapai arah dan tujuan pendidikan,
pemerintah daulah menggariskan dan mengundangkan wajib belajar terhadap warga usia sekolah. Ada tiga
target yang harus dicapai dalam program ini, yaitu; target pencapaian program pendidikan formal, target
pencapaian pendidikan non-formal, dan target pencapaian program pengadaan sarana pendukung. Target
pencapain program pendidikan formal adalah pencapaian kuantitas dan kualitas. Dalam pelaksanaan
program ini, banyak. anak warga NII yang tidak bisa mengecam pendidikan, terutama di lembaga pendidikan
yang mereka miliki seperti Ma’had Al-Zaytun. Perbandingan anak-anak luar warga NII dan anak-anak warga
NII dari tahun 1999-2001 adalah 65,9 % : 34,1 %. Jadi anak-anak warga NII hanya 1/3 dari seluruh santri
Ma’had Al-Zaytun. Di bawah ini tabel perbandingan antara jumlah santri warga NII dengan jumlah santri dari
luar warga NII sejak tahun 1999-2001:
No.
Tahun
Jumlah Santri
Jumlah Santri
Warga NII
Jumlah Santri
non Warga
NII
Persentase
santri warga
NII
01.
1999
1.448
864
584
59,6%
02.
2000
1.685
395
1.290
23,4%
03.
2001
2.190
556
1.634
25,4%
Total
5.323
1.815
3.508
34,1%
Ketiga, program ekonomi (Iqtishodiyah). Sasaran program ini adalah menggerakkan perekonomian
warga serta mengarahkannya kepada sasaran perjuangan dan jihad. Bentuk penggerakan ekonomi adalah;
usaha bersama, usaha bersama yang dibimbing negara, dan usaha perorangan. Keempat, adalah program
kesehatan (shihah). Sasaran program ini, yaitu; (1) mengarahkan warga dan aparat berlaku dan bersikap
serta beraqidah bahwa kesehatan itu merupakan mahkota mujahid, (2) memberikan proteksi dan improvisasi
terhadap kesehatan umat, (3) memberikan bimbingan, dukungan, dan penelitian pada setiap terjadinya
suatu penyakit dan pengobatannya, dan (4) memberikan jaminan atas kemurnian, kebersihan dan
keselamatan dalam setiap bahan pangan dan makanan, pengobatan, kosmetika dan seluruh produk yang
dikonsumsi umat. Kelima, program pertahanan (Difa’). Sasaran program ini dalam tahapan pertama adalah
pengamanan segala aktifitas jihad dan perjuangan baik dalam bentuk ofensif seperti usaha da’wah maupun
bentuk defensif seperti penataan teritorial. Keenam, program keuangan (Maliyah). Sasaran program ini
adalah mewujudkan keanekaan sumber pendapatan dan efektifitas penggunaannya secara tepat guna dan
tepat sasaran.
Program-program tersebut diperkenalkan kepada para aparat dari tingkat daerah sampai desa
dalam acara forum irsyad (bimbingan dan penyuluhan) pada tanggal 16 Ramadlan 1415 H/ 16 Februari 1995
M. Pelaksanaan program-program tersebut mendapat momentum ketika Adah Djaelani mendukung
program-program tersebut, dan ia menyerahkan jabatan Imamah NII kepada AbuToto.
Ada dua hal yang bisa kita lihat dari sejarah NII pasca Kartosuwiryo, yakni; pertama, krisis
kepemimpinan yang berakhir dengan “skismatik” besar-besaran dalam tubuh gerakan, dan kedua, konspirasi
pihak intelejen terhadap para anggota gerakan yang berakhir dengan penangkapan-penangkapan. Dua hal
di atas menjadi “faktor internal” dan sekaligus penyebab beralihnya strategi perjuangan mereka.
Pengalaman Abu Toto dan teman-temannya sendiri dalam gerakan dakwah di NII yang selalu berakhir
dalam perpecahan dan penangkapan “ditengok” oleh mereka sebagai bahan perenungan untuk dijadikan
babak baru perjuangan mereka ke depan. Politik yang digunakannya tidak lain dan tidak bukan kecuali
“Ma’had Al-Zaytun”. Dengan kata lain bahwa “sebab langsung” pendirian Ma’had Al-Zaytun adalah dari hasil
perenungan mereka di Multazam Mekah yang kemudian memilih jalur pendidikan dengan dilanjutkan
berdiskusi tentang sistem pendidikan yang baik. Sedangkan “sebab tak langsung” –lebih tepatnya disebut
“faktor”– adanya Ma’had Al-Zaytun adalah “Sejarah NII dan para aktornya”. Faktor ini juga akan kita lihat
dalam penjelasan selanjutnya berkaitan dengan perkembangan Ma’had Al-Zaytun yang diwarnai pro dan
kontra.
B. Perkembangan Ma’had Al-Zaytun
Pasca peresmian Presiden Habibie, Ma’had Al-Zaytun banyak didatangi tamu-tamu. Kunjungan
tamu-tamu tersebut memiliki tujuan yang beragam. Ada yang datang untuk menengok anak dan familinya,
ada yang sekedar silataruhmi, ada juga yang bermaksud melihat dan menilai langsung Ma’had Al-Zaytun.
Mereka datang dari berbagai penjuru nusantara dan mancanegara, dari berbagai lapisan masyarakat.
Semua tamu yang berkunjung umumnya memberikan sumbangan untuk Ma’had Al-Zaytun. Berdasarkan
daftar penerimaan tamu Ma’had Al-Zaytun selama satu tahun, dari 1 Juli 1999 s.d 30 Juni 2000, tamu yang
berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun berjumlah 219.299 orang yang terdiri dari 68.228 laki-laki, 118.621
perempuan, dan 32.450 anak-anak.
130
Satu tahun kemudian, yakni dari 1 Juli 2000 s.d 30 Juli 2001, para
130 Majalah Al-Zaytun, Juni-Juli 2000, hal. 111.

Page 31
tamu yang berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun berjumlah 202.697 orang yang terdiri dari 202.517 orang dari
Dalam Negeri dan 180 orang dari Luar Negeri.
131
Selama periode 1 Juli 1999 s/d Juli 2003 tamu yang
berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun berjumlah 687.796 orang terdiri dari 269.001 laki-laki, 327.150 perempuan
dan 96.675 anak-anak.
132
Untuk memberikan informasi berkaitan dengan Ma’had Al-Zaytun, mereka menerbitkan sebuah
majalah yang bernama “Majalah Al-Zaytun”. Majalah ini dirancang sebagai media komunikasi dan sarana
penghubung YPI-Ma’had Al-Zaytun kepada seluruh masyarakat. Edisi perdana majalah ini diterbitkan pada
bulan Januari 2000. Susunan redaksi terdiri dari; Pengarah besar: Imam A. Prawoto, Dewan redaksi: Ahmad
Za’eem dan Abd. Al-Hamid, Fotografer: Abd. Al-Wahid dan M. Ridwan, Divisi Artistik: Abd. Al-Ma’ruf dan M.
Al-Kautsar, dan Redaktur Pelaksana adalah Abbas AH Nasution.
Pada bulan September 2000 Ma’had Al-Zaytun mempersiapkan beberapa guru terpilih untuk
memperdalam pengetahuan tentang ilmu jurnalistik melalui program jurnalistik Ma’had Al-Zaytun bekerja
sama dengan Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) Jakarta. Sebanyak 27 guru ditambah tujuh staff
redaksi majalah Al-Zaytun dan dua eksponen Ma’had mengikuti pelatihan jurnalistik dari tanggal 11
September-13 Oktober 2000.
133
Sebagaimana yang dicita-citakan sebelumnya yang menginginkan pendirian Ma’had Al-Zaytun di
mana-mana, mereka membangun “pendidikan asas” Ma’had Al-Zaytun di Gresik, Jawa Timur. Peletakan
batu pertama pembangunan Ma’had Asas Al-Zaytun itu tanggal 18 Maret 2000.
134
Menurut Syekh Ma’had,
pendidikan asas Ma’had Al-Zaytun dibangun di Subang, Labuan Banten, dan di Riau. Pendirian Ma’had
Asas Al-Zaytun yang terakhir terdapat di sebuah desa bernama Tanjung Pura di kelurahan Pergah,
kecamatan Rupat, Bengkalis, Riau. Ma’had Asas Al-Zaytun itu diresmikan pada 25 Juni 2003.
Ungkapan “tidak ada hari tanpa membangun” mungkin cocok dialamatkan kepada Ma’had Al-
Zaytun. Betapa tidak, pada bulan Mei tahun 2000 Ma’had Al-Zaytun secara terus menerus membangun
gedung-gedung. Gedung pendidikan yang diberi nama gedung Usman Ibnu Affan yang peletakan batu
pertamanya pada tanggal 20 Mei, disusul gedung Ma’had I’dadi atau gedung persiapan pada tanggal 23
Mei. Pembangunan yang sedang berjalan dan sudah selesai selama tahun 2000 adalah asrama Al-Fajr,
asrama An-Nur, Mess Asrama karyawan (8 unit), workshop Fabrikasi Baja, Workshop Fabrikasi besi,
Batching Plant, bangunan percetakan, rumah makan 3, pondasi rumah makan 4,5,6, laboratoriurn kultur
jaringan, laboratorium perikanan (hatcheri 6 unit), struktur masjid Ma’had asas Subang, pondasi rumah
Syekh ma’had, penggalian pondasi gedung Ali, lapangan olahraga Palagan Agung, dan Wisma Tamu Al-
Ishlah.
135
Pada pertengahan September 2001 di Ma’had Al-Zaytun terjadi semacam “keputusan” –oleh yang
kontra terhadap Ma’had Al-Zaytun dikatakan “dekrit” –yang dikeluarkan oleh AS Panji Gumilang.
136
Lahirnya
keputusan itu disebabkan konflik yang melibatkan beberapa eksponen Ma’had, di satu sisi, serta Garda
Ma’had (GM), Tibmara, dan Karyawan di sisi lain. Peristiwa itu terjadi tanggal 8 September 2001 yang
berawal dari Jabal Thoriq, seorang anggota GM, yang berbicara kepada Abu Tsabit, salah seorang
eksponen Ma’had, mengenai zona larangan bersepeda. Bahwa ada perbincangan dari beberapa karyawan
yang menyoroti tentang AS Panji Gumilang dan beberapa eksponen bersepeda pada malam hari yang
melalui zona larangan bersepeda. Abu Tsabit menangkap pembicaraan bahwa Tibmara dan GM tidak setuju
jika rombongan bersepeda melanggar zona larangan bersepeda. Tanggal 10 September 2001, hari Senin,
jam 19.00, Jabal Thoriq dipanggil oleh AS. Panji Gumilang, dan divonis provokator oleh AS. Panji Gumilang.
Kemudian jam 22.00, H. Syarwani mengumpulkan seluruh anggota Tibmara dan GM yang shift pagi di
kantor Tibmara. Ia menegur seluruh anggota Tibmara dan GM dan memvonis mereka sebagai provokator,
bahkan H. Syarwani menjelaskan bahwa Mu’amar Yasir tidak perlu dicontoh dan tidak perlu diikuti.
Keesokan harinya, jam 10.00 H. Syarwani mengumpulkan kembali seluruh anggota Tibmara dan GM yang
shift malam, dan ia menjelaskan seperti yang dilakukannya semalam.
Tanggal 13 September 2001, hari Kamis, jam 03.00, Syaifullah, salah seorang eksponen Ma’had,
menelpon ke operator menanyakan siapa yang akan menjemputnya dari Jakarta ke Ma’had. Pada saat itu
operator adalah Muhammad Nashor, anggota Tibmara, yang menjawab bahwa ia akan menanyakan terlebih
dahulu. Sesampai di Ma’had, Syaifullah langsung ke asrama al-Nur dan menelpon ke operator (Muhammad
Nashor) dengan menanyakan tentang kenapa tidak ada telpon balik. Ketika rapat kerja Pospenas ke-7
tanggal 13 Sepetember 2001, jam 14.00, Syaifullah memanggil Mu’amrnar Yasir, pimpinan Tibmara, yang
berakhir dengan ketegangan dan pertengkaran.
Tanggal 14 September 2001, hari Jum’at, jam 09.00, AS Panji Gumilang memanggil Muhammad
Nashor. Pada waktu itu Syaifullah dan H. Syarwani ikut dalam pertemuan. Dalam pemanggilan itu, AS Panji
131 Majalah Al-Zaytun, Edisi 17- 2001, hal. 43.
132
Data rekapitulasi pemasukan infaq dan shadaqah pengunjung Ma’had Al-Zaytun, tgl. 16 Januari 2003. Dari sejumlah tamu
yang berkunjung terdapat sejumlah mantan pejabat masa presiden Soeharto, yakni: Sudarmono SH, Harmoko, Abdul Gafur, Mbak
Tutut, Haryono Suyono dan Ismail Saleh SH; sejumlah pejabat masa pemerintahan Habibie, yakni: Sholeh Solahudin, Adi Sasono,
Agung Laksono, Tuti Alawiyah, Marwah Daud Ibrahim, dan Akbar Tanjung; dan sejumlah pejabat masa pemerintahan Megawati
seperti kepala BIN, Jendral Purnawirawan H.M. Hendro Priyono.
133Majalah Al-Zaytun, Edisi 9-2000, hal. 10-11
134 Lihat “Pembangunan Ma’had” dalam Majalah Al-Zaytun, Edisi III, Maret 2000, hal. 23.
135 Lihat Majalah Al-Zaytun, Edisi V, Mei 2000 dan harian Media Indonesia, 08 April 2001, hal.4.
136 Lihat sebuah dokumen yang berkaitan dengan kronologis keluarnya Dekrit. Dokumen ini dikeluarkan 26 September 2001.

Page 32
Gumilang menanyakan kejadian antara Muhammad Nashor dengan Syaifullah. Dalam pemanggilan itu
Muhammad Nashor ditanya tentang siapa AS Panji Gumilang. Muhammad Nashor menjawabnya dengan
kalimat “saya menunggu jawaban”. Mendengar jawaban tersebut, AS Panji Gumilang menimpal dengan
kata-kata “apa maksud ente”, “ayo jawab! Jangan diam saja! Kalau nggak mau jawab, ente nggak usah
tugas”. Kemudian AS Panji Gumilang menyuruh keluar M. Nashor sambil menunjuk H. Syarwani untuk
mengurusnya. Kemudian H. Syarwani mencari Mu’amar Yasir dan mengatakan bahwa M. Nashor habis
dipanggil oleh AS Panji Gumilang.
Tanggal 14 Sepetember 2001, jam 19.00, Misbah Al-Falah, anggota GM, dipanggil oleh AS Panji
Gumilang ke gedung Abu Bakar, dan di gedung itu sudah ada seluruh eksponen dan pimpinan Tanmiyah
beserta Anwar (komandan Rahmatan Lil-Alamin) dan Abd al-Rahman Faruq (komandan 3 Fabrikasi). Tujuan
pemanggilan Misbahul Falah berkaitan dengan dirinya yang menceritakan tentang penyelewengan kebijakan
dan dana yang dilakukan AS Panji Gumilang dan kroninya. Pada hari yang sama, jam 21.00, Mu’amar Yasir
mengutus Abdul Hakim dan Abdul Karim, seorang pengawal, untuk meminta tanda tangan Syaifullah tentang
kasbon operasional kendaraan yang sudah ditandatangani oleh Mu’amar Yasir dan H. Syarwani. Namun
Syaifullah tidak mau menandatangani bahkan ia mengatakan bahwa tanda tangan M. Yasir sudah tidak
berlaku di matanya. Kemudian M. Yasir mencari H. Syarwani dan mengatakan bahwa ia akan
menyelesaikan dengan cara sendiri dan akan mencari Syaifullah. Tetapi, H. Syarwani menahannya dan
melaporkan kasus ini kepada AS Panji Gumilang.
Konflik antara Syaifullah (eksponen Ma’had) dan M. Yasir (pimpinan Tibmara dan GM) terus
berlanjut. Akibatnya, perintah AS Panji Gumilang tidak lagi didengar oleh para anggota Tibmara dan GM.
Tanggal 15 September 2001, hari Sabtu, jam 17.00, AS Panji Gumilang masuk ke dalam gedung Abu Bakar
blok A di mana sudah berbaris seluruh Tibmara, GM dan Saiq (pengawal). Melihat Saiq, AS Panji Gumilang
bertanya: “siapa ente?” Dijawab oleh mereka: “Saiq, bi”. Lalu AS Panji Gumilang memerintahkan seluruh
saiq untuk keluar ruangan dan semua saiq langsung ke luar ruangan. AS Panji Gumilang berkata:
“Siapa yang mau membangkang? Ana Imam NII, lawan saya, saya hanya darah dan daging,
tidak ada apa-apanya, kenapa kalian dikumpulkan tidak mau? Kenapa kalian diam saja?
Kalian tahu siapa yang memanggil kalian? Ana panglima tertinggi TII, apa mau kalian? Ana
panglima TII, apa mau kalian? Ana panglima TII memerintahkan kepada salah satu maju ke
depan untuk membacakan Sapta Subaya.”
137
Karena tidak ada yang mau maju sampai tiga kali disuruh, AS Panji Gumilang keluar ruangan dan
barisan dibubarkan oleh M. Yasir. Kemudian AS Panji Gumilang memanggil M. Yasir menanyakan kenapa
barisan itu dibubarkan. AS Panji Gumilang mempertanyakan kenapa M. Yasir tidak memberikan
pemahaman supaya mau bersapta subaya. Pertanyaan itu dijawab oleh M. Yasir bahwasanya dia
bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut dan melakukan konsolidasi kepada pasukannya selama
tiga hari. Tidak lama setelah pertemuan dengan M. Yasir, tanggal 15 September 2001, hari Sabtu, jam
18.00, seluruh eksponen berada di ruangan khusus, yakni: AS Panji Gumilang, H. Syarwani, Abd Halim,
Syaifullah, Ja’far al-Tsubanni, Fathan Mubinan, Abu Fathir, Abu Muslim, Natsir, Dzul al-Qornain, Muhammad
Furqon PN, Salim Abdad, Taufik Abdullah, Abdullah al-Hayyi, Abdul Jabbar, Abu Qasim, dan Mu’amar Yasir.
Selanjutnya AS Panji Gumilang berkata:
Karena tanggung jawab ana selaku Imam NII, maka atas kejadian tadi sore, ana
mengeluarkan Dekrit. Dekrit ini tanpa meminta pertimbangan dari majlis apapun.
138
Isi dekrit berbunyi: “Negara dalam keadaan darurat tanpa tentara, karena Tibmara dan GM telah
dilucuti.” Pada jam 18.30, seluruh Tibmara dan GM berkumpul di gedung Abu Bakar blok A untuk dilucuti
seluruh pakaian dan atribut-atributnya. Saat Tim peneliti berkunjung ke Ma’had, Tibmara dan Garda Ma’had
tidak ada lagi. Untuk pengamanan seluruh aktivitas Ma’had Al-Zaytun dilakukan oleh Satpam Ma’had Al-
Zaytun.
Sampai sekarang, saat penelitian ini berlangsung, Salah satu pemandangan yang selalu dapat
dilihat dan tidak pernah berubah jika kita berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun adalah pembangunan fisik.
Disamping sedang membangun asrama dan ruang belajar, Ma’had Al-Zaytun masih membangun sebuah
masjid yang monumental yang diberi nama Rahmatan Lil ‘Alamin yang peletakan batu pertamanya tanggal 5
April 2000 dan sekarang dalam tahap penyelesaiannya. Di bagian utara masjid ini sedang dibangun waduk
yang diberi nama waduk Istisqo. Waduk ini dibangun untuk memanfaatkan kembali buangan air di asrama
santri, run off water dan over flow kolam-kolam penampungan sehingga bisa dimanfaatkan kembali sebagai
sumber air pertanian.
139
Gambaran tentang perkembangan Al Zaytun ke depan dapat dilihat antara laian pernyataan salah
seorang eksponen, M.Y.R Agung Sidayu, yang mengurus masalah hubungan luar negeri Ma’had Al-Zaytun
137 Ibid., hal. 21.
138 Ibid., hal. 23.
139 Pengamatan Tim Peneliti ke Ma’had Al-Zaytun pada tanggal 31 Oktober – 4 November 2003. Sampai dengan akhir Januari 2004
masjid masih dalam proses pembangunan. Diperkirakan masih memerlukan sekitar 40 % lagi pekerjaan untuk penyelesaiannya.
Kunjungan Tim Peneliti yang kedua kalinya dilakukan pada tanggal 15-16 Januari 2004.

Page 33
bahwa Ma’had Al-Zaytun telah memiliki tanah ribuan hektar di Houston, salah satu kota di negara bagian
Texas, Amerika. Lebih lanjut ia bercerita bahwa tanah itu adalah wakaf dari seorang pebasket NBA, Hakeem
Olajuwon. Bahkan program ICDL yang dikembangkan di Ma’had Al-Zaytun merupakan hasil dari negosiasi
dia dengan pihak ICDL.
140
Keterangan lainnya diperoleh tim peneliti waktu berkunjung untuk yang kedua
kalinya, bahwa Al-Zaytun juga telah mendapatkan tanah seluas sepuluh hektar di Afrika Selatan,
mendapatkan wakaf tanah sekluas 800.000 hektar dari pengusaha H. Probosutejo, 200 ha dari pemerintah
daerah Indramayu, dan 80 ha dari pemerintah daerah Pandeglang.
C. Mahad Al-Zaytun dalam Wacana Pro dan Kontra
Bai’at AS Panji Gumilang menjadi anggota NII menyebabkan sejarah Ma’had Al-Zaytun masuk
dalam perdebatan wacana pro dan kontra. Tetapi, apakah sejarah Ma’had Al-Zaytun bisa lain seandainya
AS Panji Gumilang tidak melakukan bai’at menjadi anggota NII. Jawabannya bisa beragam, yaitu AS Panji
Gumilang tidak akan mendirikan Ma’had Al-Zaytun atau Ma’had Al-Zaytun berdiri tanpa terlibat dalam
wacana pro dan kontra. Namun kenyataannya AS Panji Gumilang telah mendirikan Ma’had Al-Zaytun
sekaligus ia menjadi syekhnya dan memunculkan wacana pro dan kontra. Artinya, “muncul wacana pro dan
kontra” itu ada kaitannya dengan AS Panji Gumilang dan Ma’had Al-Zaytunnya.
Jika demikian, perlu memahami pengalaman seorang AS Panji Gumilang dari sejak kecil sampai
usia tertentu, di mana AS Panji Gumilang mendirikan Ma’had Al-Zaytun. Apa peran sesungguhnya dari sang
tokoh dalam sejarah. Apakah ia yang menentukan jalannya sejarah, atau ia tak lebih dari orang yang
kebetulan berada dalam kedudukan strategis. Kalau ia yang menentukan jalannya sejarah berarti
“pemikiran-pemikiran” seperti apa yang telah menghasilkan sejarah Ma’had Al-Zaytun.
Oleh karena itu, untuk memahami pengalaman-pengalaman tersebut, penulis mengutip Wilhem
Dilthey (1833-1911), seorang ahli filsafat Jerman, yang mengangkat konsep mengenai pengalaman dan
ungkapan. Ia menulis, bahwa “realitas bagi kita berada dalam kenyataan yang disadari yang ditentukan oleh
pengalaman internal”. Pengalaman, seperti halnya perasaan dan emosi, sebagai kata dan gambaran
“diungkapkan” melalui pikiran, kenangan dan kemampuan verbal kita.
141
Namun yang sulit dengan pengalaman adalah bahwa pengalaman merupakan hal yang bersifat
pribadi. Kesulitan dalam menghadapi pengalaman bisa diatasi kalau kita “mengatasi lingkup yang terbatas
dari pengalaman dengan cara menafsirkan ungkapan”, atau dengan kata lain, mendengarkan apa yang
dikatakan orang lain, dalam kata-kata, gambaran, dan tindakan mengenai hidup mereka. Akhirnya, sifat khas
dalam kepribadian seseorang dapat dilihat dari bagaimana dia membuat “kebertautan” antara pengalaman
lama dan pengalaman baru menurut proses timbal balik dan bagaimana dia bereaksi terhadap kenyataan.
Adanya “kesatuan” dan “kebertautan” dalam proses timbal balik itu mewujudkan sifat dan struktur
pengalaman hidup seseorang.
142
Menurut Edward M. Brunner, seperti yang dikutip Yos Santasombat, agar dapat menerapkan
konsep-konsep “pengalaman” dan “ungkapan” pada pengalaman hidup seseorang, kita harus membedakan
antara kehidupan sebagaimana adanya (realitas), kehidupan sebagaimana yang dialami (pengalaman), dan
kehidupan sebagaimana yang diungkapkan (ungkapan). Jurang antara realitas, pengalaman, dan ungkapan
serta kontradiksi yang ada di dalamnya merupakan masalah utama dalam sejarah lisan atau sejarah
pengalaman hidup.
143
Untuk memperoleh pandangan mengenai kehidupan orang lain adalah melalui
“pengalaman” dan “ungkapan” mereka.
Karena “realitas” dan “pengalaman” hanya bisa dialami oleh pribadi AS Panji Gumilang sendiri, tidak
oleh yang lainnya. Tim peneliti hanya mampu mengetahui lewat “ungkapan” (kehidupan sebagaimana yang
diungkapan), masalahnya sekarang adalah AS Panji Gumilang tidak bersikap terbuka dan tidak bersedia
untuk membuat refleksi mengenai kehidupan, perasaan, emosi, dan pengalaman serta tindakan-tindakannya
di masa silam.
144
Oleh karena itu, hanya dengan cara menafsirkan ungkapan atau mendengarkan apa yang
dikatakan orang lain kita bisa melihat sifat dan struktur pengalaman hidup AS Panji Gumilang.
Sebelum mendirikan Ma’had Al-Zaytun, pengalaman hidup AS Panji Gumilang bisa diketahui dari
orang lain yang pernah aktif di HMI, GPI, Mathlaul Anwar, dan NII, dimana AS Panji Gumilang terlibat di
organisasi-organisasi tersebut. Tetapi pengalaman hidup AS Panji Gumilang sesudah Ma’had Al-Zaytun
berdiri, terutama fikirannya, bisa dilihat dari tausyiyah, sambutan, khutbah dan pidatonya yang mengarah
kepada watak inklusifme Islam, pluralisme, toleransi, dan perdamaian.
Sewaktu sama-sama aktif di HMI dan berkuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Harun Asfar
menceritakan bahwa Abdul Salam Rasyidi sewaktu kuliah di IAIN aktif di Lembaga Pertanian Mahasiswa
Islam (LPMI) HMI cabang Ciputat. Disamping aktif sebagai ketua LPMI HMI, ia juga aktif sebagai mubaligh
yang berdakwah ke setiap mushola-mushola.
145
Menurut Effendi Yusuf, yang juga teman Abdul Salam
140 Wawancara dengan M.Y.R Agung Sidayu tanggal 1 Januari 2004.
141 Yos Santasombat, “Sejarah Lisan dan Potret Diri: Mewawancarai Elite Thai”, dalam Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan
Metode, Jakarta: LP3ES, 2000), hal. 126.
142 Asvi Warman Adam, Op.Cit., hal. xxi-xxii.
143 Yos Santasombat, Op.Cit., hal. 128.
144 Sebagaimana Tim Peneliti melakukan wawancara dengan AS Panji Gumilang pada hari Jum’at tanggal 31 Oktober 2003 pukul
21.00-24.00, seputar “pra-pendirinan Ma’had Al-Zaytun”, lebih khusunya lagi mengenai pengalaman hidup AS Panji Gumilang,
145 Wawancara dengan Harun Asfar di Ciputat bulan November 2003.

Page 34
Rasyidi di HMI dan IAIN, menceritakan bahwa dia sendiri yang membawa Salam Rasyidi ke Menes, Banten
untuk melakukan acara muhibah HMI cabang Ciputat, bahkan dia sendiri yang menyetujui pernikahan
keponakannya, Khatimah, dengan Salam Rasyidi. Setelah menikah dengan Khatimah, Salam Rasyidi
mengajar di Perguruan Mathlaul Anwar dan bahkan menjadi kepala sekolah Aliyah Mathlaul Anwar. Lebih
lanjut Effendi Yusuf mengatakan bahwa disamping sebagai guru, ia juga sebagai mubaligh. Pada awalnya,
dakwah Abdul Salam Rasyidi mendapat simpati dari masyarakat. Namun, setelah Abdul Salam Rasyidi ikut
pengajian H. Abdul Karim Hasan yang sudah aktif di NII, ia memperlihatkan perubahan, terutama dalam
ajaran ibadah. Effendi Yusuf berpendapat kemungkinan Salam Rosyidi ini sejak di IAIN Ciputat sudah
berkenalan dengan yang namanya H. Abdul Karim Hasan.
146
Kesukaan Salam Rasyidi sewaktu di Menes,
seperti yang dituturkan Effendi Yusuf, adalah bertani, bahkan kalau ia mau ke sawah berangkatnya jam 3
pagi.
147
Jabatannya sewaktu di HMI menjadi Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) ia coba
praktekkan tidak hanya di Menes tetapi juga di Ma’had Al-Zaytun.
Karena pengalaman AS Panji Gumilang di organisasi NII memiliki resistensi yang tinggi terutama
baik dari faksi-faksi NII yang lain atau dari para mantan faksi NII KW9, penjelasan selanjutnya akan
digambarkan pengalaman AS Panji Gumilang sewaktu terlibat di NII dari ungkapan, pendapat, dan
perkataan mereka. Ini penting untuk diangkat karena nantinya dapat memperlihatkan “hal apa sebenarnya”
yang menjadi wacana pro dan kontra, dan “antara siapa dengan siapa” pro dan kontra itu terjadi.
Adalah Al-Chaidar yang pertama kali mengaitkan AS Panji Gumilang dan Ma’had Al-Zaytun dengan
NII melalui buku Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh AS Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca
SM Kartosuwiryo yang cetakan pertamanya bulan Januari 2000.
148
Ia menulis antara lain bahwa Ma’had Al-
Zaytun sebagai sarang NII yang ajarannya bertentangan dengan Islam. Sedangkan pemimpinnya, yaitu AS
Panji Gumilang, pemimpin NII KW9.
149
Ia menyebut bahwa “faksi Abu Toto” yang memimpin pesantren Al-
Zaytun dan faksi Ali Hate (Sulawesi Selatan) adalah faksi-faksi yang masih aktif.
150
Sikap yang sama diikuti oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta dengan
menerbitkan buku Penyimpangan & Kesesatan Ma’had Al-Zaytun: tanggapan terhadap Majalah Al Zaytun.
Buku yang ditulis oleh Amin Jamaludin itu diterbitkan tahun 2001. LPPI adalah lembaga yang memusatkan
perhatiannya terhadap ajaran-ajaran agama yang sesat dan menyimpang, maka dalam bukunya itu M. Amin
Djamaludin menyoroti tentang penyimpangan dan kesesatan majalah bulanan Al-Zaytun. Majalah Al-Zaytun
edisi III Maret 2000 kolom renungan hikmah memuat judul “Memanfaatkan Moment Ied di Tahun 2000”,
isinya antara lain: “Secara sosial zakat fitrah dan berqurban adalah sarana untuk mensejahtrakan umat
bahkan pada zaman nabi Muhammad dana zakat fitrah dan qurban yang terkunipul telah sanggup
menguatkan Negara Madinah yang dipimpin Rasulullah.” Terhadap isi majalah Al-Zaytun tersebut, M. Amin
Djamaludin menanggapi bahwa dalam sejarah tidak pernah terjadi seperti apa yang diuraikan oleh majalah
tersebut. Menurut M. Amin Djamaluddin, yang benar terjadi adalah zakat dari zakat maal, tijarah dan
binatang ternak. Sebab zakat fitrah itu tidak pernah disimpan oleh Rasulullah melewati hari raya Iedul Fitri.
Isi majalah Al-Zaytun yang dianggap sesat oleh M. Amin Djamaluddin berkaitan dengan tauhid.
Dalam majalah Al-Zaytun No. 11 Th. 2000 hal. 31 dengan judul “Mengambil Hikmah Bulan Ramadhan”
berisi: … perumpamaan yang bertakwa itu termaktub sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahirn ayat
24-25: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabang menjulang ke langit pohon itu memberikan buahnya setiap
musim dengan seidzin Rabnya, Allah membuat perumpaman-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.” Oleh penulis kolom itu ditafsirkan bahwa secara filosofis perumpamaan tersebut
merupakan cerminan rububiyah (akar), mulkiyah (batang) dan uluhiyah (buah). Dengan demikian menurut
penulis kolom itu, segala bentuk kebaikan seperti tercermin dalam ayat tersebut harus terbentuk suatu
aturan undang-undang (rububiyah), negara (mulkiyah), dan umat (uluhiyah). Penafsiran itu ditanggapi oleh
M. Amin Djamaluddin dengan mengatakan bahwa kalau tauhid rububiyah diumpamakan akar, mulkiyah
batang, dan uluhiyah buahnya, maka penafsiran itu sangat ngawur, tidak mempunyai dasar, seenak perut,
semau gue, dan menjadikan sifat Tuhan sebagai mainan.
Selain Amin Jamaluddin yang aktif di LPPI, Umar Abduh menulis buku Pesantren Al-Zaytun Sesat?
Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII yang diterbitkan tahun 2001. Buku itu adalah hasil investigasi
penulisnya selama satu tahun. Buku itu diawali dengan lalar belakang berdirinya Ma’had Al-Zaytun terutama
yang berkaitan dengan pembebasan tanah. Menurut Umar Abduh, berdasarkan keterangan para mantan
korban NII KW 9, program pembebasan tanah untuk mendirikan teritorial Madinah NII kedua sudah
dicanangkan sejak tahun 1993 oleh Abu Toto dengan sandi Shodaqoh Arodhi yang ternyata banyak korupsi
dalam program ini. Dengan menyebut “sebuah proyek misteri”, Umar Abduh mengatakan bahwa modal awal
pendirian Ma’had Al-Zaytun adalah hasil dari kejahatan dan hasil mendholimi anggota NII KW 9. Lebih lanjut
buku itu menyoroti masa lalu Abu Toto saat aktif di NII KW9. Umar Abduh mencatat bahwa semasa NII KW9
baik di bawah kepemimpinan Muhamad Karim Hasan maupun Abu Toto yakni sejak tahun 1992-2000 telah
menimbulkan banyak korban. Secara riil yang lebih banyak dirugikan, baik moril maupun materil, oleh KW9
146 Wawancara dengan Effendi Yusuf tanggal 8 Februari 2004 di Menes, Banten.
147 Ibid.
148 Lihat Al-Chaidar, Sepak Terjang KW IX, Abu Toto Syaekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M.
Kartosuwirjo, (Jakarta: Madani Press, 2000).
149 Surat Kabar Media Indonesia, 08 April 2000, hal. 5.
150 Majalah Tempo, 5 Maret 2000, hal. 20.

Page 35
adalah umat Islam pada umumnya dan anggota NII pada khususnya. NII KW9 Abu Toto adalah sebuah
gerakan sesat yang mengatasnamakan NII di balik pesantren mewah Ma’had Al-Zaytun. Abu Toto telah
melakukan kesesatan dan penyesatan dalam aqidah, akhlak dan syari’ah. Umar Abduh juga menjelaskan
tentang persekongkolan gerakan Abu Toto dengan rezim thaghut.
Dengan keluarnya buku-buku tersebut, terutama menyangkut masa AS Panji Gumilang di NII yang
kelabu, resistensi masyarakat terhadap Ma’had Al-Zaytun mulai nampak. Salah satu resistensi masyarakat
yang disebabkan dan dilegitimasi oleh buku-buku tersebut adalah pihak komunitas pondok pesantren.
Melalui legitimasi buku-buku itu, komunitas pondok pesantren yang tergabung dalam RMI, BKSPPI, dan
Darunnajah Group melakukan pernyataan bersama terhadap rencana penyelenggaraan Pekan Olahraga &
Seni Pondok Pesantren Nasional (POSPENAS) I. Mereka menyatakan yang pada dasarnya tidak setuju
pelaksanaan POSPENAS I tersebut diselenggarakan di Ma’had Al-Zaytun. Pernyataan itu ditandatangani
oleh K.H Mahrus Amin (mewakili Darunnajah Group), K.H. A. Fudholi (RMI), dan K.H. Kholil Ridwan
(pimpinan BKSPPI).
151
Alasan yang dimunculkannya adalah bahwa Ma’had Al-Zaytun berkaitan dengan
sebuah gerakan sesat. Padahal isu gerakan sesat (NII KW9) yang dialamatkan kepada Ma’had Al-Zaytun
berasal dari informasi dari buku-buku tersebut.
Isu gerakan sesat Ma’had Al-Zaytun yang dimunculkan di dalam kedua buku tersebut dilegitimasi
juga oleh kalangan media massa. Salah satunya majalah Gatra, 15 Desember 2001 yang mengangkat
laporan khususnya dengan judul “Al-Zaytun, Misteri Panji Bertopeng”. Majalah tersebut menulis:
… Tampaknya, ada kemiripan antara Panji Gumilang dan tokoh Panji dalam film Panji
Tengkorak yang diproduksi pada tahun 1970-an. Kedua Panji itu sama-sama
menyembunyikan identitasnya. Bedanya, Panji Gumilang menyembunyikan identitasnya
dengan cara berdiplomasi, sedangkan Panji dalam film menyembunyikan jati dirinya lewat
topeng tengkorak yang dipakainya. Satu lagi yang bisa dicatat: Panji dalam film adalah sosok
pembela kebenaran, sedangkan Panji Gumilang dari Al-Zaytun masih diuji untuk membuktikan
diri sebagai tokoh yang benar.
152
Tulisan itu sebelumnya diawali oleh pengutipan majalah Gatra terhadap buku Umar Abduh, Al-
Chaidar, Forum Masyarakat Korban (FMK) NII KW9, dan FUUI yang sedang melakukan penyelidikan.
Sikap kontra mereka kalau dilihat dari latar belakang identitasnya adalah bahwa mereka pernah dan
bahkan sampai sekarang masih aktif di NII atau berteman dengan anggota atau mantan anggota NII. Al-
Chaidar adalah mantan NII KW9 yang bergabung dari tahun 1991 sampai 1996. Awalnya ia adalah aktivis
Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Islam pimpinan Helmi Aminuddin yang mantan NII KW9. Jabatan
terakhir di NII KW9 adalah Lurah. Selama lima tahun ia berhasil merekrut sekitar 2000 jama’ah yang patuh
dan taat hanya kepada Abu Toto dan berhasil menyetor kepada pimpinan tidak kurang dari 2 milyar. Karena
NII KW9 kering spritual dan kurang agama serta merasa teralienasi dari kehidupan sosial, ia keluar dari NII
KW9.
153
Menurut catatan Umar Abduh, Al-Chaidar sempat dimanfaatkan oleh dan memanfaatkan berbagai
jalur NII. Sekeluarnya dari NII KW9, Al-Chaidar pernah bergabung dengan struktur Dodo Tachmid
Kartosoewirjo, namun dalam waktu yang bersamaan dekat pula dengan jalur Abdul Fatah Wirananggapati.
Sekitar akhir bulan Juni tahun 2000, Al-Chaidar diberhentikan keanggotaannya dari NII oleh seorang tokoh
muda NII yang aktif di Majelis Mujahidin Indonesia.
154
Sampai sekarang Al-Chaidar aktif di salah satu faksi
NII.
155
Umar Abduh adalah aktivis pergerakan Islam. Ia adalah seorang aktivis yang keluar masuk penjara.
Ia pernah mendekam di Rumah Tahanan Militer di Surabaya bersama-sama dengan para aktivis Komando
Jihad yang ditangkap tahun 1977 dan tahun 1980. Setelah dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Budi
Utomo Jakarta, Umar Abduh sempat berkumpul dengan para aktivis NII KW9 yang ditangkap tahun 1981
seperti Mohammad Sobari, Fachrurrozi, Ali Syahbana, Abdul Karim Hasan, Nurdin Yahya dan Muhammad
Ra’is Ahmad. Oktober 1982 menjalani proses pengadilan di kota Jombang selama 3,5 bulan dan divonis
hukuman seumur hidup. Februari 1983 pindah ke LP Kalisosok Surabaya kemudian ia bertemu berkumpul
dalam satu blok dengan bapak H. Ismail Pranoto (tokoh senior NII struktur Adah Djaelani) dan Idris Darmin
(komandan KW III Jawa Timur). Dalam proses pengadilan tingkat II akhirnya ia divonis menjadi 15 tahun.
Tahun 1987 ia dipindahkan ke LP Cipinang Jakarta dan berkumpul bersama para aktivis, yakni AM Fatwa,
Abdul Qadir Djaelani, Adah Djaelani, Gerakan Usroh Ibnu Toyyib, dan Nurhidayat cs (kasus Lampung).
151 Lihat dokumen tentang “Pernyataan Bersama Komunitas Pondok Pesantren terhadap Rencana Penyelenggaraan POSPENAS I”.
Di antara pondok pesantren yang menolak itu adalah: Pondok Pesantren Putera-Puteri Al-Aziziyah Mamba’ul Ma’arif Denanyar
Jombang Jawa Timur, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Bangil (Asosiasi Pondok Pesantren Nahdhatul Ulama) Pasuruan, Pondok
Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, Pondok Pesantren Nurul Umah Yogyakarta, Yayasan Pondok Pesantren Islam
Miftachussunnah, Surabaya, pondok Pesantren Mansyaul Huda II, Tuban, Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, dan Pondok Pesantren
Hidayatul Mubtadi’ien Rembang-Bangil.
152 Majalah Gatra 15 Desember 2001, hal. 65.
153 Lihat penuturan Al-Chaidar kepada Umar Abduh, dalam Umar Abduh, Op.Cit., hal. 32-33.
154 Ibid., hal.208-209. Menurut catatan Umar Abduh juga bahwa Al-Chaidar secara terang-terangan menyatakan diri sebagai
penganut madzhab Islam kiri Hasan Hanafi. Ia menurut Umar Abduh memiliki hubungan interpersonal yang demikian dekat dengan
kepentingan intelejen militer maupun pribadi Hendropriyono dalam membuat karya tulis semacam buku putih tentang dosa-dosa
Hendropriyono di Lampung dengan judul “Lampung Bersimbah Darah”. Begitu juga ia mendapat order tulisan tentang GAM yang
isinya sangat betentangan dan menyerang keberdaan GAM dan Hasan Tiro.
155 Wawancara dengan Suherli dan Abu Shoffah di Raskasbitung tanggal 7 Februari 2004.

Page 36
Tahun 1989 ia dipindahkan kembali ke LP Kalisosok Surabaya hingga bebas Agustus 1992. Setelah bebas
ia bergabung dengan Lembaga Dakwah ‘Ad-Dakwah’ Tanjung Priok dari 1992-1993. Kemudian tahun 1997
ia menjadi Humas Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI). Menurut M. Amin Jamaluddin, sejak dia
berbeda dengan Urnar Abduh yang sering menghantam tentara dan teman, Umar Abduh tidak aktif lagi di
LPPI.
156
Amin Jamaludin masuk anggota NII tahun 1975 sampai sekarang. Ia anggota GPI wilayah Jakarta.
Ia ditangkap bersama Abu Toto pada tahun 1978, tetapi ia ditangkap dan ditawan di Jakarta sedangkan Abu
Toto dibawa ke Bandung. Ia berteman dengan Adah Djaelani. Ia dan Adah Djaelani pada tahun 1980
mengaji
bersama-sama di pengajian Hasanudin (almarhum) yang bertempat di Kramat. Sekarang ia
menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta.
Pada tahun 2002 M. Amin Jamaluddin menulis lagi sebuah buku yang berjudul Bunker Al-Zaytun:
Fakta Kesesatan Tafsir NII Panji Gumilang. Buku ini menyoroti tafsiran-tafsiran Al-Qur’an, yang menurut M.
Amin Djamaluddin sebagai versi NII Panji Gumilang. Buku ini tidak jauh berbeda dengan buku M. Amin
Djamaluddin sebelumnya yang menanggapi majalah Al-Zaytun. Tafsir-tafsir versi NII Panji Gumilang yang
disebut M.Amin Djamaluddin adalah (1) bukti kekuasaan Allah di Ufuk Timur Berdirinya Al-Zaytun (tafsiran
atas surat Fushilat; 53), (2) Negara yang diterima Allah hanyalah Negara Islam (tafsiran atas surat Ali Imran;
19 dan 85), (3) Kewajiban Berhijrah dari Mekah (RI) ke Madinah (NII) dan yang tidak hijrah masuk neraka
(tafsiran atas surat An-Nisa; 97), (4) Tidak sah sholat di RI (tafsiran atas surat Al-Anfal; 35), (5) Memotong
Burung Garuda (tafsiran atas surat Al-Baqarah; 67-71), (6) Pemagaran Umat (tafsiran atas surat Al-Anfal; 9),
dan (7) keluar dari jama’ah (tafsiran atas surat Ali Imran; 112).
Penerbitan buku tersebut semakin meramaikan isu gerakan sesat Ma’had Al-Zaytun. Sikap kontra
terhadap Ma’had Al-Zaytun semakin tajam. Puncaknya, pada tanggal 28 Januari 2002, Forum Ulama Ummat
Islam (FUUI) yang diketuai KH. Athian Ali Da’i mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ma’had Al-Zaytun yang
didasarkan pada hasil penelitian dan pengaduan dari masyarakat serta para korban.
157
Buku-bukti karya Al-
Chaidar, Umar Abduh, dan M. Amin serta surat pernyataan dari Asosiasi Pondok Pesantren diambil menjadi
bahan rujukan dalam menetapkan fatwa tersebut.
158
Menurut salah seorang yang menanggapi fatwa FUUI
mengatakan bahwa fatwa tersebut barangkali bermanfaat bagi masyarakat sebagai pedoman, agar bersikap
hati-hati terhadap ajaran atau gerakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi menurutnya, tidak satu
pun dari kesembilan butir fatwa tersebut ditemukan di Ma’had Al-Zaytun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
bahan atau dasar yang digunakan dalam melakukan investigasi sebagian besar adalah tentang hal-hal yang
berkenaan dengan apa yang disebut NII KW9 yang tidak ada kaitannya dengan Ma’had Al-Zaytun. Bahan
atau referensi yang paling banyak digunakan dalam investigasi tersebut, menurutnya, ternyata adalah buku
yang ditulis oleh Umar Abduh berjudul “Pesantren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek dalam
Gerakan NII”.
159
Akhirnya, ia merasa salut kepada Umar Abduh karena bukunya telah berhasil mengundang
perhatian banyak pihak, bahkan membuat heboh. Ia berharap masalah Ma’had Al-Zaytun diserahkan secara
proporsional kepada pihak atau instansi yang berkompeten.
160
Tahun 2002 merupakan puncak pro dan kontra masyarakat terhadap Ma’had Al-Zaytun. Puncak pro
dan kontra itu dipicu oleh adanya fatwa FUUI yang menyesatkan atas sebuah kelompok. Sejumlah tokoh
Islam, ulama, ormas Islam, para orangtua korban NII KW9, dan sebagian media massa bersuara keras dan
lantang menentang gerakan sesat yang dialamatkan kepada Ma’had Al-Zaytun. Mereka menggelar berbagai
acara, mulai dari diskusi, tabligh akbar, pengakuan saksi-saksi korban NII KW9, sampai membuat
pernyataan sikap.
161
Perguruan Islam As-Syafi’iyah pada tanggal 15 Maret 2002/1 Muharram 1423
mengadakan tabligh akbar mempermasalahkan gerakan sesat atas sebuah kelompok Islam. Dalam tabligh
akbar itu sejumlah ulama yang hadir di antaranya; K.H. Athian Ali M. Da’i (ketua FUUI), Ja’far Umar Thalib
(Komandan Laskar Jihad), Dr. Hidayat Nurwahid (Presiden PK), dan K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i.
156 wawancara dengan M. Amin Jamaluddin tanggal 13-12-2003 di Jakarta
157 Lihat Laporan “Fatwa FUU dan Resume Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) Forum Ulama Ummat Islam (FUUI)”
DzulQo’dah-Februari, 1422-2002. Fatwa FUUI menyatakan gerakan sesat dan menyesatkan adalah: faham dan gerakan yang
mengajarkan: 1) setiap muslim yang berada di luar gerakan tersebut dituduh kafir dan dinyatakan halal darahnya, 2) dosa karena
melakukan zina dan perbuatan maksiat lainnya dapat ditebus dengan uang dalam jumlah yang telah ditetapkan, 3) tidak ada
kewajiban mengqadha shaum Ramadhan, tetapi cukup hanya dengan membayar uang dalam jumlah yang telah ditetapkan, 4) untuk
membangun sarana fisik dan biaya operasional gerakan, setiap anggota diwajibkan menggalang dana dengan menghalalkan segala
cara, di antaranya menipu dan mencuri harta setiap muslim di luar gerakan tersebut termasuk orangtua sendiri, 5) taubat hanya sah
jika membayar apa yang mereka sebut “shodaqoh istighfar dalam jumlah yang telah ditetapkan, 6) ayah kandung yang belum masuk
ke dalam gerakan tersebut tidak sah menikahkan puterinya, 7) tidak wajib melaksanakan ibadah haji kecuali telah menjadi “mas’ul”
(pimpinan) dalam gerakan tersebut, 8) Qanun Asasi (aturan dasar) gerakan tersebut dianggap lebih tinggi derajatnya dibanding kitab
suci Al-Qur’an, bahkan tidak berdosa menginjak-injak mushaf Al-Qur’an, dan 9) Apa yang mereka sebut “shalat aktivitas” dalam
pengertian melaksanakan program gerakan dianggap lebih utama dari pada sholat fardhu.
158 Ibid.
159 Lihat tulisan “Menanggapi Fatwa FUUI” yang ditandatangani oleh Asmar Gutji, April 2002.
160 Ibid.
161 Organisasi-organisasi Islam dan kepemudaan yang membuat pernyataan sikap, di antaranya; Forum Komunikasi Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah (pimpinan Ja’far Umar Thalib), Ikatan Remaja dan Mahasiswa Masjid (IMAJID) Jawa Barat, Generasi Muda
Pembangunan Indonesia Jawa Barat, Badan Kerjasama Wanita Islam (BKSWI) Jawa Barat, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Perwakilan Jawa Barat, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bandung, Pesatuan Islam Isteri (PERSISTRI), Pemudi Pesatuan Islam.
Organisasi-organisasi tersebut dalam pernyataannya mendukung fatwa FUUI.

Page 37
Mereka menyerukan ajakan untuk berjihad memerangi kesesatan.
162
Hal yang menarik adalah laporan-laporan di media massa itu tak lepas rujukan dari nama-nama
seperti, Al-Chaidar, Umar Abduh, M. Amin Jamaluddin, dan K.H. Athian Ali. Sedangkan hal yang
diperdebatkan itu adalah ajaran NII KW9 yang sesat yang menurut mereka dianut AS Panji Gumilang
dengan Ma’had Al-Zaytun-nya. Oleh karena itu, Tim peneliti melihat munculnya wacana pro dan kontra
Ma’had Al-Zaytun berasal dari wacana yang diangkat oleh sekolompok orang yang pernah dan bahkan
sampai sekarang masih aktif di NII seperti Al-Chaidar dan Amin Jamaluddin, atau orang yang pernah
berteman dengan anggota-anggota NII seperti Umar Abduh. Wacana yang diangkat adalah gerakan sesat
yang oleh mereka dialamatkan kepada Ma’had Al-Zaytun. Selanjutnya, wacana gerakan sesat itu menjadi
opini publik, yang salah satunya melalui media massa, di kalangan masyarakat.
162 Majalah Sabili No. 20 Th IX 4 April 2002/21 Muharram 1423, hal. 63.

Page 38
BAB III
DOKTRIN DAN AJARAN
Membicarakan tentang hubungan agama dan negara, akan mengantarkan kita pada satu
pertanyaan klasik: “Apakah Islam itu agama atau negara?” Pertanyaan ini segera menggiring pikiran orang
kepada klasifikasi rasional dualistik terbatas yang menghipotesiskan dua kemungkinan, “Islam adalah
agama, bukan negara” atau “Islam adalah agama sekaligus negara”.
Merujuk kepada fakta-fakta sosial historis yang membingkai tema “agama dan negara” di masa
Rasulullah dan sahabat, Muhammad Abid al-Jabiri memaparkan beberapa data. Pertama, orang-orang Arab
ketika Nabi Muhammad diutus tidak mempunyai raja dan negara. Pada waktu itu sistem sosial politik di
Mekkah dan Yatsrib (Madinah) adalah sistem sosial kesukuan yang belum memenuhi persyaratan sebuah
negara, seperti berpijak pada wilayah teritorial tertentu dengan sejumlah penduduk yang tinggal di wilayah
tersebut dan adanya kekuasaan pusat yang bertindak mengatur masalah bersama sesuai undang-undang
dan kebiasaan, serta penggunaan kekerasan jika situasi menuntut. Masyarakat jazirah Arab sebelum Islam
tidak mengenal kekuasaan seperti ini, baik mereka yang di kota maupun yang di luar kota. Kedua, seiring
dengan diutusnya Nabi Muhammad, kaum Muslim mulai mempraktikkan agama baru yang bukan saja
merupakan sikap individual di hadapan Tuhan namun juga merupakan perilaku sosial yang teratur. Perilaku
sosial ini semakin berkembang dan teratur bersamaan dengan perkembangan dakwah Islam hingga
mencapai puncaknya setelah Nabi hijrah ke Madinah. Pada masa itu, meski pada praktiknya Rasulullah
merupakan seorang pemimpin, komandan sekaligus pembimbing masyarakat Muslim, beliau tidak pernah
menyatakan dirinya sebagai raja atau pemimpin negara. Beliau, dan juga kaum Muslim saat itu, tetap
menganggap dan memposisikan diri Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Perbedaan antara dua posisi ini
adalah bahwa seorang pemimpin politik dan komandan militer membatasi perhatiannya hanya pada
persoalan-persoalan dunia semata, yaitu soal pemerintahan dan politik serta hal-hal yang terkait dengannya
seperti soal-soal ekonomi, sosial dan budaya. Adapaun seorang yang berkedudukan sebagai Nabi dan
Rasul, perhatian dan dakwahnya terfokus pada persoalan akhirat, yakni hidup sesudah mati. Setelah itu
baru menengok pada hal-hal yang ditentukan oleh perkembangan dakwah dan amal serta pengaturan
masalah-masalah duniawi baik pada tatanan ibadah maupun hubungan antar manusia. Semua masalah
duniawi tersebut sesungguhnya bukan merupakan tujuan kenabian Muhammad melainkan dilaksanakan
semata-mata dalam rangka menyebarkan dan mempertahankan agama.
Ketiga, bahwa hal-hal yang ditentukan oleh perkembangan dakwah Islam berupa pengaturan
persoalan-persoaian dunia telah mencapai taraf yang mapan dan luas, sehingga para sahabat dekat Rasul
merasa bahwa ketiadaan Rasulullah akan berarti kekosongan institusional. Walhasil dakwah Nabi telah
berakhir bersamaan dengan terbentuknya satu negara atau sesuatu yang menyerupai negara. Jika agama
adalah wahyu Allah yang tidak seorang pun berhak mewarisi atau menggantikan Rasulullah, maka
pengaturan politik dan ekonomi masyarakat yang tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan dan penyebaran
dakwah membutuhkan adanya orang yang menjaga, mengatur serta memperhatikan perkembangannya
setelah Rasulullah wafat. Hal ini menunjukkan para sahabat menyadari bahwa dakwah Islam praktis telah
berkembang menjadi sebuah negara. Keempat, perdebatan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah yang
berakhir dengan pemba’iatan Abu Bakar sebagai khalifah merupakan perdebatan politik murni dan
diselesaikan berdasarkan pertimbangan kekuatan sosial politik kesukuan waktu itu. Dengan demikian para
sahabat menangani persoalan khilafah dengan penanganan politik murni. Mereka menganggap persoalan
itu merupakan persoalan ijtihadiyah, sehingga dalam hal ini mereka mempertimbangkan masalah kekuatan
(power), potensi, kemampuan serta kemaslahatan masyarakat dengan cara memperhitungkan logika
kesukuan yang berlaku waktu itu, bahwa orang-orang Arab tidak akan tunduk kecuali dipimpin oleh kaum
Quraisy. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa persoalan “hubungan antara agama dan negara” tidak
pernah terlontar di zaman Nabi maupun sahabat; dan sesungguhnya politiklah, dan bukan agama, yang
menjadi materi perdebatan dan perbedaan, dan dalam kerangka politik itulah dibuat kesepakatan dan
keputusan.
163
Kembali ke pertanyaan awal “Apakah Islam itu agama atau negara?” Apapun jawabannya, ada satu
hal yang tidak bisa dibantah, bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syariah. Jika aqidah terfokus pada
persoalan iman, maka syariah selain terdiri dari aturan-aturan ibadah yang termasuk bidang hubungan
manusia dengan Tuhan juga memuat hukum-hukum yang berwatak sosial yang mengatur hubungan
antarmanusia. Adanya hukum-hukum yang berwatak sosial ini mau tidak mau meniscayakan adanya satu
kekuasaan untuk bisa melaksanakannya, seperti pelaksanaan hukuman dan sanksi (al-hudud wa al-uqubat).
Selain itu, ada kewajiban mempertahankan wilayah teritorial Islam sebagai satu kewajiban keagamaan yang
termasuk dalam masalah jihad. Semuanya ini dibahas dalam suatu topik besar yang menjadi salah satu
cabang ilmu fiqh yaitu fiqh siyasah, yang salah satu bahasan pokoknya adalah masalah imamah.
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya
menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Terdapat perbedaan di kalangan
fuqaha tentang landasan berdirinya imamah atau negara Islam. Satu kelompok memandang bahwa imamah
merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, karena memelihara kemaslahatan adalah suatu kewajiban dan
163 Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari’ah, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah,
1996), h. 17-19.

Page 39
negara menjadi sarana yang vital untuk mencapainya, maka ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib.
Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa pendirian negara bukanlah salah satu asas atau dasar
agama, malainkan hanya kebutuhan praktis saja. Teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah tidak mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan pemerintahan dan politik. Demikian juga keduanya tidak terlibat dengan persoalan
hubungan antara agama dan negara secara rinci dan jelas. Oleh karena itu pertimbangan mendirikan negara
adalah kemaslahatan. Kalau tanpa negara sudah tercipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan.
164
Meskipun demikian, hingga awal abad ke-20, pandangan bahwa antara fungsi religius dan fungsi
politik imam atau khalifah tidak dapat dipisahkan begitu kental yang akhirnya melahirkan pendapat di
kalangan pemikir Muslim bahwa Islam merupakan agama dan negara sekaligus. Penegakan institusi
imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan
melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan
Islam. Abd al-Qadir Audah mengatakan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat
Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan fungsi Nabi Muhammad
SAW dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap
umat Islam.
165
Namun yang perlu diwaspadai adalah imamah itu harus ditegakkan dengan cara yang baik dan
dibangun di atas nilai-nilai kebenaran dan keluhuran Islam itu sendiri (nashr al-haqq bi al-haqq, menegakkan
kebenaran di atas landasan dan dengan cara yang benar pula), sehingga absah untuk disebut sebagai
khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah, karena tidak diintervensi oleh hawa nafsu atau dibangun di atas aqidah
yang menyimpang. Harus diakui, masalah imamah merupakan tema yang rentan dengan kepentingan politik
dan tunduk pada kebutuhan serta logika politik. Mereka yang berkepentingan sering mengedepankan
penafsiran terhadap sebagian teks-teks keagamaan secara berlebihan sehingga melampaui makna yang
terkandung oleh teks-teks itu sendiri.
Sampai saat ini, kita tidak pernah memperoleh kejelasan apakah Indonesia adalah negara agama
(Islam), atau negara sekuler, bahkan ada kecenderungan untuk menolak keduanya, bukan negara agama
pun bukan negara sekuler. Indonesia disebut bukan negara sekuler karena pemerintahannya sangat
memperhatikan masalah agama dan memberikan keleluasaan beragama, bahkan Departemen Agama
dibentuk untuk mengatur kegiatan keagamaan masyarakat. Tetapi, negara ini juga bukan negara agama,
karena tidak didasarkan pada agama tertentu. Ketidakjelasan ini mungkin yang ikut mendorong munculnya
kecenderungan politisasi agama; dan politisasi agama amat membahayakan kesatuan dan persatuan
bangsa.
166
Peranan agama (Islam) dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar, karena penduduk
Indonesia kebanyakan beragama Islam, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa dan
untuk memperoleh dukungannya kepada partai atau gerakan politik tertentu. Apalagi masih kuatnya
anggapan, kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk
mewakili kekuasaan-Nya di dunia. Anggapan demikian mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh
kekuasaan dan usaha mempertahankannya dijadikan bagian dari agama.
167
Menguak hubungan antara NII dengan Ma’had Al-Zaytun memang bukan perkara yang mudah.
Meskipun penelitian yang dilakukan oleh MUI telah mengungkap indikasi adanya hubungan dalam masalah
kepemimpinan dan alokasi finansial, tapi bagaimana dengan hubungan ideologis dan doktrinal di antara
keduanya. Menurut tim peneliti, penelitian MUI juga menghasilkan kesimpulan yang secara logika masih
dipertanyakan, di mana diyakini bahwa doktrin dan ajaran NII adalah sesat, namun di sisi lain tidak
ditemukan penyimpangan ajaran maupun perilaku keagamaan di Ma’had Al-Zaytun. Pertanyaannya adalah,
bila kepemimpinan dalam NII dan Ma’had Al-Zaytun dipegang oleh orang-orang yang sama atau dari sumber
yang sama, bagaimana hal itu tidak berimbas pada kesamaan ajaran dan ideologi? Selanjutnya, bagaimana
NII —yang dikatakan menyimpang — mau secara sukarela mengucurkan dana membiayai proyek besar
Ma’had Al-Zaytun kalau keduanya tidak sebangun dalam paham dan ideologi, atau paling tidak mempunyai
target dan tujuan yang sama?
Kesulitan mengungkap keterkaitan ideologis antara NII dan Ma’had Al-Zaytun agaknya bisa
dipahami bila kita memperhatikan struktur besar organisasi NII. Sebagaimana digambarkan dalam skema
struktur organisasinya,
168
NII terbagi dalam dua struktur; yang pertama adalah struktur teritorial yang
diwujudkan dalam hirarkis organisatoris dengan bentuk pengajian NII dengan para mas’ul atau aparatnya.
Struktur teritorial ini merupakan gerakan rahasia bawah tanah dengan doktrin dan ajaran yang dinilai
mendistorsi ajaran agama Islam dan mempunyai tujuan yang tidak kondusif bagi kelangsungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Struktur kedua adalah yang mereka sebut dengan struktur fungsional, yang dijelmakan dalam
bentuk proyek besar lembaga pendidikan Ma’had Al-Zaytun. Komunitas Ma’had Al-Zaytun inilah yang
dianggap oleh warga NII sebagai model dan miniatur yang menggambarkan masyarakat dengan tata cara
164 Drs. Muhammad Iqbal, M.Ag., Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal.
129.
165 Abd al-Qadir Audah, Al-Islam wa Audha’una al-Siyasah, (Kairo: al-Mukhtar al-Islam, 1978), hal. 5.
166 Prof. Dr. Musa Asy’ari, “Kata Pengantar”, dalam Prof. Dr. Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2002), hal. xi.
167 Ibid., hal. xii.
168 Lihat Skema Struktur Organisasi NII KW9 dalam Bab II.

Page 40
kehidupan yang dicita-citakan. Itulah gambaran al-Madinah al-Munawwarah pada zaman Nabi.
Sementara itu, untuk memutus rantai hubungan antara NII dan Ma’had Al-Zaytun demi
meminimalisasi kecurigaan yang barangkali akan timbul, di dalam struktur fungsional ini (Ma’had Al-Zaytun)
segala doktrin dan ideologi yang tidak populer (menyimpang) — sebagaimana terdapat di dalam struktrur
teritorial (pengajian NII) —tidak boleh diajarkan secara radikal, langsung, dan terbuka. Di sini doktrin dan
ideologi tersebut harus ditanamkan secara halus dan gradual sehingga tidak terkesan vulgar dan tidak
mengundang sorotan yang berlebihan. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh Ma’had Al-Zaytun sebagai
representasi struktur fungsional adalah mengekspos semua kelebihan dan keunggulan mereka untuk
menarik kekaguman masyarakat Indonesia.
169
Oleh karena itu, data-data dalam penelitian ini diusahakan
dapat mengungkap ada tidaknya hubungan ideologis, keterkaitan politis, dan kesamaan ajaran antara NII
dan Ma’had Al-Zaytun.
Sebagaimana dimaklumi bahwa konsep dasar dalam filsafat politik adalah konsep tentang negara.
Semua gagasan politik lainnya selalu dikaitkan dengannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
NII sebagai gerakan keagamaan (religious movement] yang menjadikan terwujudnya negara Islam sebagai
tujuan akhir (ultimate goal), juga selalu mengaitkan doktrinnya dengan usaha pembentukan negara Islam
yang dimaksud, sehingga setiap ajaran yang terdapat di dalamnya bisa dikatakan bersifat politis, baik itu di
bidang akhlah, ibadah, maupun mu’amalah. Maka tidak bisa dihindarkan, dalam tahapan-tahapan seperti itu
akan terjadi berbagai distorsi pemahaman terhadap Al-Qur’an, bahkan deviasi penafsiran, karena semuanya
mengacu pada program pembentukan negara.
Sementara itu, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya, ada lima hal yang dicanangkan
sebagai kerangka acuan program pembangunan NII yang diistilahkan dengan Binayatul Khamsah, yaitu
Binayatul Aqidah, Binayatul Dzarfiah, Binayatul Mas’uliyah, Binayatul Maliyah, dan Binayatul Shilah wal
Muwasholah.
1. Binayatul Aqidah
Binayatul Aqidah atau pembinaan aqidah merupakan program awal yang harus diikuti dan
diberlakukan oleh semua warga NII. Program ini mengacu pada firman Allah surat Ali Imran:164:
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah (tilawah), membersihkan (jiwa) mereka (tazkiyah), dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (ta’lim). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
rnereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Tafsiran secara operasional dari ayat ini adalah adanya kewajiban tilawah, tazkiyah, dan ta’lim bagi
setiap jama’ah dan aparat yang ada di bawah koordinasinya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban
tersebut adalah:
H. Tilawah. Program ini merupakan rekrutmen terhadap orang yang belum menjadi warga untuk
masuk ke dalam kelompok NII. Setiap anggota (umat) diwajibkan mengajak orangtuanya,
keluarganya, teman-temannya, dan siapa saja yang ditemuinya. Niat dari misi ini. Pada
awalnya adalah amar ma’ruf nahi munkar, tetapi ketika orang sudah masuk jama’ah dia
menemukan dirinya telah terperangkap dan sulit melepaskan diri lagi.
I. Tazkiyah. Program ini lanjutan dari program tilawah, yaitu proses pembersihan aqidah dari
pengaruh pemahaman keagamaan sebelumnya (brain-washing). Pembinaan dilakukan oleh
pimpinan yang berujung pada eksploitasi finansial dengan dalih bahwa misi memerlukan dana
dalam jumlah yang besar. Barangsiapa tidak mematuhi akan dicap dengan status munafiq atau
fasiq.
J. Ta’lim. Rapat laporan kerja harian para mas’ul atau umat. Dalam acara ini juga diberikan doktrin
untuk memperkuat keyakinan mereka tentang NII, bahwa di tangan mereka futuh Makkah
(pembebasan Indonesia) akan dimulai.
Inti pembinaan aqidah ini tidak lain menjadikan tauhid mulkiyah sebagai pressure oriented untuk
menjadikan politik pencapaian kekuasaan dan kedaulatan sebagai “panglima” dari pemikiran, kesadaran,
dan gerakan.
2. Binayatul Dzarfiah
Binayatul Dzarfiah ini merupakan pembinaan teritorial, dan program ini mengacu pada firman Allah
surat Al-Anbiya’: 105 yang berbunyi:
169 Wawancara Tim Peneliti dengan Sukanto, mantan aktivis NII, pada hari Sabtu tanggal 13 Desember 2003.

Page 41
“Sungguh telah Kami tetapkan dalam Kitab Zabur setelah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang sholeh.”
Tafsiran secara operasional dari ayat ini menerangkan bahwa sejak diproklamasikannya lembaga
NII oleh SM Kartosoewirjo, telah sah negara Indonesia ini diwarisi oleh orang-orang Muslim Indonesia. Maka
dibentuklah tujuh tingkatan hirarki struktural teritorial. Pembagian strukrur dan wilayah menggunakan sistem
sel untuk memudahkan memutuskan jaringan bila terjadi kondisi darurat, juga dalam gerakannya mereka
menggunakan kode-kode dan nama-nama samaran —yang mereka sebut sebagai ism tsani — agar tidak
mudah dikenali dan dideteksi olch orang-orang di luar kelompoknya.
3. Binayatul Mas’uliyah
Binayatul Mas’uliyah yang menjadi sarana pembinaan aparat ini mengacu pada QS. Al-An’am: 165:
“Dan Dialah yang menjadikan kami penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian
kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang telah
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya
Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsiran operasional dari ayat ini adalah demi lancarnya jalan roda pemerintahan, NII sangat
membutuhkan mas’ul atau aparat yang bertugas melaksanakan dan mengawal program negara. Kepada
jama’ah yang sudah masuk dalam lembaga NII diberi hak untuk menjadi mas’ul atau aparat tersebut, setelah
dia menyetorkan sejumlah dana yang ditetapkan oleh lembaga untuk keperluan pengangkatan dan
pelantikannya.
Untuk menjaga koordinasi di antara mereka, dibuatlah program mutasi dan perombakan aparat
struktural (tahawwul) yang sebenarnya dimaksudkan untuk membersihkan lembaga dari aparat-aparat yang
kritis dan bermasalah, di samping juga sebagai sumber pemasukan dana dari mas’ul yang akan dilantik dan
dinaikkan tingkatannya yang besarnya sesuai dengan jabatan baru yang akan diperoleh.
4. Binayatul Maliyah
Program pembangunan finansial ini dicarikan dasarnya dari QS. At-Taubah: 11 dan 103 yang
berbunyi:
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan rnenunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudara kamu seagama.” (QS. At-Taubah: 11).
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu karnu membersihkan dan mensucikan
mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Selain kedua ayat di atas juga banyak disitir ayat-ayat lain yang berkaitan infaq, zakat, dan
shadaqah. Tafsiran secara operasional dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa berinfaq, berzakat dan
bershadaqah merupakan satu keharusan bagi para warga, dan mengeluarkan harta menjadi bukti dari
kecintaan mereka kepada negara. Maka untuk lebih tertibnya manajemen dan sirkulasi keuangan
ditetapkanlah berbagai sumber keuangan negara. Sumber-sumber tersebut adalah nafaqah daulah, harakah
Ramadlan, harakah qurban, qiradl, akikah, shadaqah khas dan lain sebagainya.
Dalam praktiknya program binnyatul maliyah ini tidak lebih hanya merupakan mobilisasi dana dari
warga dan aparat yang diterapkan secara paksa, dan di lapangan hal ini menjadi beban berat bagi yang
bersangkutan sehingga terjadilah aksi tubarrirul washilah (menghalalkan segala cara) demi memenuhi target
dana yang harus disetor.
5. Binayatul Shilah wal Muwasholah
Program ini merupakan sarana komunikasi yang harus dibangun dengan mengacu pada QS. An-
Nisa’: 59:
“Hai orang-orang yang berirnan, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu…”.
Tafsiran operasionalnya adalah bahwa untuk menjalin komunikasi dari dua arah maka dibuatlah
program khusus tentang ini dengan menggunakan dua istilah. Komunikasi dari bawah ke atas diistilahkan
dengan ittishal dan komunikasi dari atas ke bawah memakai istilah silaturrahmi. Jalur ini dibuat untuk
menjaga nilai-nilai ketaatan dari umat dan memberi proteksi agar tidak terjadi infiltrasi dari pihak luar, di
samping juga sebagai sarana untuk mengawal seluruh program negara. Segala komunikasi harus tetap
dilakukan dengan prinsip kahfi, di mana antara satu idariyah dengan idariyah yang lain dibuat tidak saling

Page 42
mengenal.
170
Dari pengamatan dan penelitian di lapangan, gerakan NII ini bisa diidentifikasi dengan ciri-ciri
sebagai berikut. Pertama, pengajiannya bersifat eksklusif dan tertutup, biasanya dilakukan di sebuah
kamar/ruangan yang tidak diketahui pemiliknya. Pemberi materi pengajian tidak dikenal secara baik oleh
pesertanya, bahkan sering menggunakan nama samaran. Kedua, materi pengajian berupa kajian terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan menurut kepentingan mereka, sehingga pengambilan hujjah dari Al-
Qur’an terkesan sekedar mencari legitimasi atas sebuah pemahaman, tanpa rujukan dari hadits dan tafsir
bahkan bahasa Arab yang benar. Ketiga, orientasi gerakan terfokus pada mobilisasi dana, bahkan ada
persepsi di kalangan mereka bahwa harta orang-orang di luar kelompoknya adalah halal (untuk dijarah)
karena dianggap sebagai harta fa’i (harta rampasan perang). Keempat, banyak mengabaikan ibadah fardlu
semacam shalat dan puasa, dengan dalih aktivitas dakwah mereka lebih utama dari ibadah-ibadah ritual
tersebut; atau dengan anggapan bahwa saat ini mereka masih ada di “periode Mekkah” sehingga macam-
macam ibadah itu belum diwajibkan.
Hal yang terakhir ini mendapat tanggapan dari orang-orang yang mengaku konsisten dengan
perjuangan Kartosoewirjo. Mereka mengatakan:
“Negara Islam Indonesia diproklamasikan sebagai wadah terlaksananya hukum Islam, tempat di
mana Islam dijadikan dasar segala sesuatu, negara di mana al-Qur’an dan hadits shahih dijadikan hukum
tertinggi. Hal demikian jelas terundangkan dalam Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Jadi bila yang
mengaku sebagai warga NII, tetapi meremehkan syari’at apalagi sampai menganggap shalat tidak wajib,
maka orang tersebut bukan saja keluar dari pangkuan negara, malah keluar dari Islam sama sekali.”
171
A. NII dan Pemikiran Politik Pencetusnya
Diskursus tentang pergumulan Islam dalam kultur kebangsaan dan struktur kenegaraan, selalu
berkaitan erat dengan perkembangan politik dan agama, khususnya di Indonesia yang muncul jauh sebelum
kemerdekaan itu diproklamasikan. Pada zaman penjajahan Belanda, agama dipakai sebagai alat legitimasi
untuk melawan penjajah yang dipandangnya sebagai “orang kafir”. Pada saat itu, legitimasi agama atas
perjuangan melawan penjajah dipandang perlu untuk membangun semangat patriotisme dan memperkuat
nasionalisme dalam membangkitkan daya juang melawan penjajahan, yang secara fundamental memang
berlawanan dengan ajaran agama.
172
Sedangkan pada awal kemerdekaan, persoalan politik dan agama muncul melalui perdebatan
mengenai Piagam Jakarta, dan kemudian berlanjut hingga macetnya sidang Konstituante yang
membicarakan dasar negara. Di zaman Orde Baru muncul gerakan “Komando Jihad” di berbagai daerah,
dan ditengarai bermotif politik keagamaan. Pemerintah di berbagai negara Muslim agaknya merasa cemas
dan merasa tidak nyaman dengan adanya gerakan-gerakan yang diidentifikasi sebagai fundamentalis Islam.
Oleh karena itu, pemerintah Mesir di bawah kepemimpinan Jamal Abdul Nasser misalnya, mengambil
tindakan tegas terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin dengan menghukum gantung Sayyid Quthb dan tokoh-
tokoh lainnya.
173
Di Indonesia, pemerintahan Soekarno juga berusaha menghabisi gerakan DI/TII yang
memperjuangkan Negara Islam Indonesia (NII) dengan menghukum mati pendirinya SM. Kartosoewirjo pada
tahun 1962. Namun, sebagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir, gerakan NII di Indonesia tidak pernah mati
dengan kematian para tokohnya.
Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal
12 Syawal 1368H/ 7 Agustus 1949 merupakan kelanjutan perjuangan yang telah dirintis Sarikat Dagang
Islam (SDI) oleh KH Samanhudi (1905) yang dikembangkan menjadi Sarikat Islam (SI) oleh HOS
Cokroaminoto (1912). Selanjutnya pada tahun 1930 SI dirubah namanya menjadi Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII). Semenjak dipimpin HOS Cokroaminoto, maksud dan tujuan SI menjadi semakin jelas
sebagai sebuah organisasi Islam yang merupakan satu-satunya organisasi perjuangan yang menentang
penjajah di Indonesia yang berskala nasional, dan Kartasoewirjo merupakan salah seorang kader yang tetap
konsisten dengan ajaran-ajaran keislaman yang disampaikan oleh HOS Cokroaminoto dan bahkan
mewujudkannya dengan membentuk gerakan Darul Islam (NII). Lain halnya Semaun, ia berubah haluan ke
kiri dengan membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920, maupun Soekarno yang juga
dianggap tidak konsisten dengan garis perjuangan melalui aksinya mendirikan Partai Nasional Indonesia
(PNI) pada tahun 1927.
174
Di dalam salah satu bukunya, Kartosoewirjo membagi struktur masyarakat Indonesia waktu itu
menjadi tiga macam berdasarkan hukum dan haluannya serta dalam sikap dan pendiriannya. Pertama,
masyarakat Hindia Belanda sebagai penjajah yang sedang berkuasa. Kedua, masyarakat Indonesia yang
belum memiliki hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri; dan ketiga, masyarakat
Islam yang bernaung di bawah Darul Islam. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam
menurut Kartosoewirjo adalah sebagai berikut:
170 Al Chaidar, Sepak Terjang KW9 Abu Toto Toto Menyelewengkan NKA-NII Pasca SM Kartosoewirjo, (Jakarta: Madani Press,
2000), hal. 113-119.
171 Ibid., hal. xv.
172 Prof. Dr. Musa Asy’arie, Op.Cit., hal. ix.
173 Ibid., hal. x.
174 Suroso Abdul Salam, NII Dalam Timbangan Aqidah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), hal. 39-40.

Page 43
Masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terjangnya ke jurusan
Indonesia Raya supaya dapat berbakti kepada negeri tumpah darahnya, berbakti kepada ibu
Indonesia. Sebaliknya kaum Muslimin yang hidup dalam masyarakat Islam atau Darul Islam,
tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa pun juga melainkan mereka hanya
ingin berbakti kepada Allah yang Maha Esa belaka. Maksud dan tujuannya bukan Indonesia
Raya melainkan Darul Islam yang sesempurna-sempurnanya, tempat tiap-tiap Muslim dan
Muslimah dapat menjalankan hukum-hukum agama Allah (Islam) dengan seluas-luasnya, baik
yang berhubungan dengan syakhsiyah (pribadi) atau ijtima’iyah (sosial).
175
Di dalam pembahasan selanjutnya diuraikan bahwa sebab turunnya harkat dan martabat manusia
atau bangsa dikarenakan mereka mengingkari dan mendustakan agama Allah. Oleh karena itu manusia
harus hijrah; dan hijrah dari “Mekah Indonesia” ke “Madinah Indonesia” bukan berarti kita harus pindah
kampung dan negeri atau beralih daerah dan wilayah, melainkan hijrah itu dilakukan dalam bentuk sifat,
tabi’at, amal, I’tiqad, dan lain-lain. Untuk mencapai Darul Islam yang sempurna, manusia harus melepaskan
sifat, tabi’at, dan tingkah laku ke-Mekah-an dan beralih kepada sifat, tabi’at, dan tingkah laku ke-Madinah-an.
176
Untuk merealisasikan gagasan di atas, maka didirikanlah sebuah lembaga pendidikan yang diberi
nama Institut Suffah yang akan dijadikan aset awal bagi terwujudnya Darul Islam atau Negara Islam
Indonesia di kemudian hari. Di sini Kartosoewirjo terjun langsung mendidik para siswa dengan metode
pengajaran dan pendidikan yang pernah diterapkan HOS Cokroaminoto, yakni para siswa disamping
dibekali dengan pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga dididik dalam bidang
politik.
177
Dengan demikian, ada dua target yang hendak dicapai melalui lembaga pendidikan ini. Pertama,
membentuk kader-kader militan (mujahid) yang kuat aqidah dan menguasai ilmu agama Islam, sehingga
akhirnya mampu menggerakkan jihad fi sabilillah untuk menumbangkan dominasi penguasa zalim dalam
rangka menegakkan daulah Islamiyah. Kedua, mengondisikan suatu masyarakat yang Islami, mulai dari
pengenalan dan penerapan nilai serta sistem hidup yang Islami bagi setiap pribadi, dan penanaman ruh
jihad. Sebab jihad merupakan tindak lanjut hijrah. Oleh sebab itu hijrah tidak dianggap sah bila tidak diiringi
dengan jihad.
178
Institut Suffah ini disusun menurut sistem pesantren dan sekolah yang menghasilkan hubungnn
sangat erat dan akrab antara guru dan murid. Guru disamping sebagai pendidik dan pengajar, juga berfungsi
sebagai teladan bagi para siswanya di dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari,
sekaligus sebagai pemimpin dan pembimbing untuk membawa siswanya ke arah tujuan yang dicita-citakan.
Siswa lembaga pendidikan ini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Priangan, Banten, Wonorejo,
Cirebon, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. SM Kartosoewirjo, di samping berperan sebagai pimpinan
lembaga, juga melakukan sendiri tugas mengajarkan ilmu tauhid yang dijadikan dasar segala aktivitas dan
perjuangan.
179
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Kartosoewirjo dan jajarannya menghendaki agar
umat Islam Indonesia dapat menjalankan hukum Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Maka untuk
kepentingan ini, dirasa perlu adanya satu wadah yang tidak bisa ditawar-tawar yakni tegaknya Darul Islam
atau negara Islam di Indonesia. Hal ini juga telah dinyatakan di dalam Qanun Asasi, semacam UUD-nya NII,
yang dibentuk sebelum proklamasi NII, yang berbunyi sebagai berikut:
Sejak mula pertama Umat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial Belanda yang dulu,
maupun pada zaman pendudukan Jepang, hingga zaman Republik Indonesia sampai saat ini,
selama itu mengandung maksud yang suci, menuju satu arah yang mulia, ialah, “Mencari dan
mendapatkan mardhatillah, yang merupakan hidup di dalam satu ikatan dunia baru, yakni
Negara Islam Indonesia yang merdeka”. Dalam masa revolusi yang kedua ini, yang karena
sifat dan coraknya merupakan revolusi Islam, ke luar dan ke dalam, maka Umat Islam tidak
lupa kepada kewajibannya membangun dan menggalang suatu Negara Islam yang merdeka,
suatu Kerajaan Allah yang diridhai-Nya di atas dunia, ialah syarat dan tempat untuk mencapai
keselamatan tiap-tiap manusia dan seluruh umat, dhahir maupun batin di dunia hingga di
akhirat.
180
Dengan begitu jelas bahwa pemikiran politik Kartosoewirjo berujung pada obsesi pendirian Negara
Islam Indonesia, yang menurutnya menjadi wadah satu-satunya untuk mencapai kebahagiaan dan
175 SM Kartosoewirjo, Daftar Oesaha Hidjrah PSII, (Malangbong: Pustaka Darul Islam, 1948), hal. 2.
176 Ibid.
177 Suroso Abdul Salam, Op. Cit., hal. 45.
178 Melihat model pendidikan di Ma’had Al-Zaytun, boleh jadi pendirian perguruan ini terinspirasi oleh model pendidikan Institut
Suffah-nya Kartosoewirjo; atau mereka mencoba back to basic method dalam mengoperasikan gerakannya. Bandingkan juga antara
target pendidikan di Institut Suffah di atas dengan tujuan pendidikan Ma’had Al-Zaytun yang bisa disimpulk.m dari semboyannya
“Bashthotan fil ilmi wal jismi”.
179 Suroso Abdul Salam, Op. cit., hal. 46.
180 Mukaddimah Kanun Asasi NII, ditetapkan di Galunggung, 22 Syawal 1367 H/ 27 Agustus 1948. Lihat, Ibid, hal. 47.

Page 44
keselamatan dunia akhirat. NII adalah tujuan perjuangan Umat Islam Bangsa Indonesia. Doktrin ini selalu
mendapat penekanan khusus hampir dalam setiap tulisan Kartosoewirjo.
B. Doktrin Teologis dan Penjabarannya
Al-din yang secara etimologis berarti agama, di kalangan NII mempunyai pengertian yang lebih luas
yaitu sistem kehidupan yang diatur oleh hukum Islam (berdasarkan Al-Qur’an) yang dijalankan oleh suatu
komunitas (umat Islam) di dalam suatu wilayah pemerintahan (negara Islam).
181
Maka kehidupan beragama
itu hanya akan tercapai bila didasarkan pada hukum al-Qur’an, dilakukan oleh umat Islam, di negara Islam.
Konsep al-din seperti ini juga menjadi acuan di dalam Ma’had Al-Zaytun sebagaimana diungkap dalam
Majalah Al-Zaytun yang mengatakan bahwa al-din meliputi seluruh segi kehidupan manusia, di antaranya
segi hukum, kekuasaan dan masyarakat atau umat. Jika Allah memberi nama din dengan Islam, maka
hukumnya adalah hukum Islam, harus diundangkan; kekuasaannya kekuasaan Islam, harus dizhahirkan,
dan umatnya pun menjadi umat Islam, harus dihimpun kekuatannya.
182
Dalam ajaran NII, akidah berarti pengenalan dasar-dasar al-din tentang tauhid sebagai lawan
daripada syirik, yang dijadikan syariat bagi manusia dan keterikatannya.
183
Ajaran akidah NII yang
ditanamkan oleh SM Kartosoewirjo di dalam mengkader siswanya di Institut Suffah bertolak dari kalimat “La
ilaha illa Allah”. Kalimat “La ilaha illa Allah” ini dijabarkan dalam empat hal. Pertama, “La maujud illa Allah”
yang diartikan tidak ada yang maujud kecuali atas izin dan takdir Allah. Pengertian singkatnya adalah bahwa
setiap kejadian, baik yang disengaja oleh manusia atau tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia
atau tidak, baik maupun buruk, adalah atas kuasa dan kehendak Allah. Posisi makhluk, termasuk manusia,
tidak mempunyai peran sama sekali yang berpengaruh di dalam mewujudkan sesuatu. Daya ikhtiar dan akal
manusia, bagaimana pun besarnya, tidak akan mampu mewujudkan sesuatu tanpa izin dan kuasa Allah.
Ikhtiar dan akal manusia tidak lain hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan
kehendak Allah yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, manusia harus menyadari kelemahan dan
kekerdilannya di hadapan Allah. Segala hidup dan kehidupan bergantung mutlak kepada kuasa dan
kehendak Allah, sedang manusia tidak memiliki daya dan kuasa sedikit pun kecuali atas kehendak dan
kuasa Allah.
184
Keyakinan seperti ini jelas mengacu pada ajaran Jabariyah yang dikembangkan oleh Jahm ibn
Shafwan. Paham ini merupakan kebalikan dari paham Qadariyah yang menolak takdir. Pengikut paham
Jabariyah beranggapan bahwa pengaturan terhadap seluruh perbuatan makhluk hanyalah menjadi hak
Allah. Semua perbuatan makhluk, termasuk manusia, merupakan perbuatan yang bersifat paksaan (ijbar).
Manusia tidak mempunyai kemampuan bahkan pilihan apa pun terhadap semua yang diperbuatnya,
185
ia
bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang.
Kedua, “La ma’bud illa Allah” (tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah). Dengan didasari
keyakinan bahwa semua makhluk bergantung sepenuhnya kepada kudrat dan iradat Allah, maka manusia
harus meyakini bahwa semua yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia. Semuanya harus
dijadikan sebagai sarana dan medan pengabdian manusia kepada Allah. Seorang mukmin harus bertekad
bahwa segala takdir yang terjadi atas dirinya, di mana saja, kapan saja, dan bagaimana pun keadaannya,
hanya akan dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah saja. Inilah tauhid ibadah, sebab kalau
suatu perbuatan itu kosong dari nilai ibadah, dia akan terjebak pada syirik dan maksiat kepada Allah.
Ketiga, “La mathlub illa Allah” (tidak ada yang dicari untuk dita’ati atau dihindari kecuali perintah dan
larangan Allah saja). Setelah meyakini bahwa segala takdir yang datang tidak lain sebagai sarana ibadah
kepada Allah, maka manusia harus yakin bahwa semua takdir itu mengandung perintah dan larangan dari
Allah secara terperinci. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mewarnai kehidupan sehari-harinya
dengan warna Islam saja, dan jangan sampai sesaat pun lepas dari nilai Islam yang telah diyakini sebagai
agama Allah, yakni sistem hidup yang telah digariskan Allah, yang akan membawa kemaslahatan hidup di
dunia dan di akhirat. Demikianlah yang dimaksud dengan wahdatul mathlub yang berarti kebulatan gerak
dan langkah sepanjang aturan-aturan Allah saja.
Keempat, “La maqshud illa Allah” (tidak ada yang dituju/dimaksud kecuali keridhaan Allah). Selama
kita berada di jalan Allah dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari,
jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki yaitu keridhaan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat
riya’, takabur, ambisius, dan tujuan-tujuan duniawi lainnya yang dapat menghapuskan nilai amal kita. Semua
perbuatan kita harus dilandasi dengan niat ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah.
186
Penafsiran konsep “La ilaha illa Allah” oleh Kartosoewirjo sebagaimana diuraikan di atas bertahan
beberapa periode, dan untuk selanjutnya penafsiran tersebut mengalami distorsi. “La maujud illa Allah”
diartikan tidak ada yang wujud mutlak kecuali Allah, tidak diakui wujud suatu kepemimpinan kecuali
181 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Mengnpa Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktivis NKA/KW9, masih berupa
naskah dan belum diterbitkan.
182 A. Hani, “Hukum dan Implementasinya”, dalam majalah Al-Zaytun, edisi III, 2000, hal. 84.
183 Abdul Karim Hasan, Kitab al-Mabadi al-Tsalatsah, tanpa tahun. Sebuah buku yang menjadi rujukan bagi pengikut NII/NKA.
184 Suroso Abdul Salam, Op. Cit., hal. 51-52.
185 Abdurrahman ibn Shalih al-Mahmudi, Al-Qadha’ wa al-Qadar Fi Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah, (Riyadh: Dar al-Nasyr al-
Dauli, 1414 H), hal. 142.
186 Suroso Abdul Salam, op. cit., hal. 51-53.

Page 45
pemimpin pembawa amanat Allah, tidak ada yang diakui absah wujudnya kecuali agama atau kerajaan
Allah. “La ma’bud illa Allah” berarti tiada yang disembah kecuali Allah, tidak ada yang ditaati dan diberi
kesetiaan yang tulus kecuali pemimpin dan pembawa amanat Allah, tiada yang dijunjung tinggi kecuali
agama dan kerajaan Allah. Sedang “La mathlub illa Allah” mengandung makna tiada yang dicari dan
diusahakan kecuali rahmat dan ridha Allah, tiada yang dicari dan diusahakan kecuali kepuasan pemimpin
pembawa amanat Allah, tiada yang diusahakan dan diperjuangkan kecuali agama dan kerajaan Allah.
Akhirnya “La maqshud illa Allah” mengindikasikan bahwa tidak ada titik tujuan kecuali rahmat dan ridha
Allah, tidak ada titik tujuan kecuali kemuliaan pemimpin pembawa amanat Allah, dan tidak ada titik tujuan
kecuali kemenangan dan kejayaan agama atau kerajaan Allah.
187
Di dalam program kerja periode kepemimpinan Adah jaelani, pembinaan atau kaderisasi meliputi
pembinaan mental spiritual, material, dan ketrarnpilan. Di dalam mental spiritual dijelaskan bahwa
pembinaan ini mencakup bidang akidah, ideologi, syariah dan akhlak. Pembinaan akidah diarahkan pada
trilogi tauhid: rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyah. Tauhid rububiyah berarti meyakini bahwa tidak ada aturan,
ketentuan, dan keputusan lain kecuali al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sehingga kehidupan pribadi atau sosial
hanya boleh diatur oleh hukum atau syari’at Islam. Sedangkan tauhid mulkiyah adalah keyakinan bahwa
hanya ada satu lembaga kekuasaan tertinggi yakni mulkiyah Allah yang didelegasikan kepada ulil amri
dengan Darul Islam atau NII-nya. Ini menuntut konsekuensi bagi orang-orang yang beriman harus masuk ke
dalam Darul Islam tersebut secara keseluruhan dan keluar dari Darul Kufr. Sementara tauhid uluhiyah
mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut menjadi Tuhan, sehingga menuntut adanya perwujudan
kongkrit dari peribadatan manusia yang beriman dalam bentuk jamaah atau umat.
188
Dengan demikian, teologi NII berkisar dan bermuara pada tiga hal di atas: hukum Islam, umat Islam,
dan negara Islam. Di dalam Kitab al-Mabadi al-Tsalatsah diterangkan bahwa al-Qur’an sebagai landasan
syari’at pada dasarnya menjelaskan masalah negara. Surat paling awal (al-Fatihah) dan paling akhir (al-
Nas) dalam al-Qur’an, disamping merupakan konsep dasar trilogi akidah, juga menjadi konsep global
tentang sebuah negara Islam. Maka seluruh isi al-Qur’an yang diimplementasikan menjadi teknis
pelaksanaan hidup bernegara harus bisa dirujuk pada konsep dasar tersebut.
Surat al-Fatihah ayat 2, 4, dan 5 digunakan sebagai unsur pokok akidah (tauhid), begitu juga
dengan ayat 1, 2, dan 3 dari surat al-Nas. Ayat-ayat ini kemudian ditafsiri sebagai definisi al-din atau negara.
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
Al-Fatihah
Al-Nas
(2) Rabb al-‘alamin
(1) Rabb al-nas
(4) Malik yaum al-din
(2) Malik al-nas
(5) Iyyaka Na’bud
(3) Ilah al-nas
Ayat-ayat di atas sepadan, dan kesepadanan ini mengindikasikan trilogi tauhid. Kata Rabb berarti
rububiyah, Malik berarti mulkiyah, dan Ilah/ibadah berarti uluhiyah. Lebih lanjut kemudian trilogi akidah ini
ditafsirkan (sesuai dengan obsesi mereka tentang negara Islam), bahwa yang dimaksud dengan rububiyah
adalah undang-undang (hukum Islam), mulkiyah adalah tempat berlakunya undang-undang tersebut (negara
Islam), dan uluhiyah sebagai warga negara (umat Islam warga NII). Oleh karena itu, menurut mereka,
negara adalah wadah dan tempat pelaksanaan ibadah secara sempurna (kaffah). Sah tidaknya ibadah
tergantung pada sarana (tempat) dilakukannya ibadah itu, yakni negara, sehingga pembentukan NII/NKA
merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar.
189
Lebih lanjut, trilogi akidah Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah —lebih dikenal di kalangan pengikut
NII dengan singkatan RMU— dalam tafsir mereka digambarkan dengan perumpamaan pohon yang baik,
sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ibrahim: 24-25:
“Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan ini untuk
manusia supaya mereka selalu ingat.”
Pohon yang baik merupakan perumpamaan RMU atau negara yang haq (al-din al-haq). Akarnya
ditafsirkan sebagai hukum atau undang-undang (rububiyah), batangnya sebagai tempat/negara (mulkiyah)
dan buahnya sebagai umat (uluhiyah).
Penafsiran seperti ini juga dibeberkan oleh majalah Al-Zaytun dalam salah satu artikelnya yang
ditulis oleh salah seorang eksponen (pengurus inti) Ma’had Al-Zaytun. Setelah mengutip QS. Ibrahim: 24-25,
penulis artikel mengatakan, bahwa secara filosofis perumpamaan tersebut merupakan cerminan Rububiyah
(akar), Mulkiyah (batang), dan Uluhiyah (buah). Dengan demikian, segala bentuk kebaikan seperti tercermin
dalam ayat tersebut haruslah berbentuk suatu aturan —undang-undang— (rububiyah), negara (mulkiyah)
dan umat (uluhiyah). Apabila sebuah tatanan telah memenuhi tiga syarat tersebut maka umat berhak
menyandang gelar takwa.
190
Lebih lanjut oleh penulis artikel dijelaskan, iman itu terdiri dari tiga komponen,
187 Ibid, hal. 60-61.
188 Ibid, hal. 63. Lihat juga Umar Abduh, Pesantren Al-Zaytun Sesat?: Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII, (Jakarta: Darul Falah, 1422 H),
hal. 99-100.
189 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Mengapa Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktivis NII/KW9, hal. 14. (Masih merupakan naskah
buku dan belum diterbitkan).
190
Syamsi Rendra, “Mengambil Hikmah Bulan Ramadlan”, dalam Al-Zaytun, edisi 11, tahun 2000, hal. 31
.

Page 46
yaitu diucapkan dengan lidah, ditanamkan di dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Itu berarti iman
harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Untuk tujuan itu maka aturan-aturan Tuhan yang berupa
syari’ah harus dirumuskan dalam bentuk peraturan yakni undang-undang. Agar undang-undang Allah itu
dapat dilaksanakan maka diperlukan wadah atau tempat untuk mengaplikasikan undang-undang tersebut,
yang berupa negara. Suatu undang-undang memerlukan orang yang mengaplikasikannya dalam kehidupan,
begitu juga negara membutuhkan orang yang menjadi warga negara, dan itulah umat atau sekelompok
orang yang mengamalkan undang-undang peraturan Tuhan.
191
Pengkaitan masalah tauhid (rububiyah, mulkiyah, uluhiyah) dengan surat Ibrahim: 24-25, menurut
M. Amin Djamaluddin jelas tidak pas, karena kedua ayat ini tidak secara khusus berbicara masalah tauhid,
juga tidak membahas tentang ciri-ciri takwa sebagaimana yang tertulis dalam majalah Al-Zaytun, melainkan
tentang kalimat yang baik (kalimah thayyibah) yang secara umum bisa diartikan sebagai perbuatan baik atau
segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran;
192
bagaimana kalimat itu
berpengaruh di dalam kehidupan manusia: seperti pohon yang kuat, akarnya menghunjam ke bumi, dan
dahan-dahannya menjulang ke langit. Di samping itu, mengumpamakan rububiyah sebagai akar dan
mengartikannya sebagai undang-undang, mulkiyah batang (negara), dan uluhiyah buahnya (umat), adalah
merupakan bentuk penafsiran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan bahkan bathil karena
mempersonifikasikan (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya.
193
Sementara itu, hasil penelitian Depag
tidak mempermasalahkan penafsiran ini, dan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan bentuk ikhtilaf
biasa dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran.
194
Akan tetapi, dalam pandangan Abu Zahrah perbedaan pandangan harus dilihat pada akar
masalahnya. Menurutnya, perbedaan-perbedaan itu dipicu oleh berbagai hal, di antaranya: pertama,
perbedaan keinginan dan kecenderungan. Setiap orang berpendapat dalam kerangka keinginan dan
kecenderungan pribadi masing-masing. Keinginanlah -dan bukan hati nurani- yang membuat kita melihat
sesuatu menjadi penting. Kedua, perbedaan orientasi. Orientasi hidup seseorang membentuk metode
berpikir yang sesuai dengan orientasi itu, sehingga segala pendapat dan perbuatannya pun tidak lepas dari
lapangan orientasi tersebut. Ketiga, perbedaan kapasitas intelektual. Sebagian orang, dengan kapasitas
intelektual yang dimiliki, mampu mencapai inti dan hakikat objek kajian; akan tetapi sebagian yang lain
hanya bisa sampai pada kulitnya saja. Bahkan ada pula yang tersesat dalam belantara pemikirannya. Ini
tidak dialami oleh orang awam saja, hatta seorang ulama pun kadang dikuasai oleh “kecupatan” yang
menutupi pengamatannya sehingga tidak mampu memahami berbagai hakikat secara proporsional.
195
Model penafsiran seperti di atas, menyamakan rububiyah-mulkiyah-uluhiyah dengan undang-
undang-negara-umat dan mengumpamakannya sebagai akar-batang-buah, menurut hemat penulis,
mengacu kepada metode metafora yang berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek
atau konsep berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada
mulanya digunakan untuk makna tertentu dialihkan kepada makna lain, yang menurut Quraish Shihab,
dalam disiplin ilmu al-Qur’an disebut dengan ta’wil.
196
Dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, bahwa ta’wil
(interpretasi metaforis) ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-
sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna
lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada “makna dalam” (bathin) yang dikandungnya.
197
Masalah ta’wil ini tentu bukan perkara yang mudah dan dapat dilakukan oleh sembarang orang. Ada
kriteria-kriteria tertentu mengenai ayat-ayat yang boleh dita’wilkan, dan syarat-syarat khusus bagi mufassir
dalam menafsiri ayat dengan metodologi ta’wil. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah pencetus teologi
RMU ini adalah seorang mufassir yang mempunyai kapasitas dan kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan itu?
Quraish Shihab menyatakan, ada beberapa faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam
penafsiran, yaitu antara lain: subjektivitas mufassir, kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah,
kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat, kedangkalan pengetahuan tentang materi pembicaraan ayat/nash, dan
tidak memperhatikan konteks (asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, kondisi sosial masyarakat).
198
Di dalam majalah Al-Zaytun banyak sekali dijumpai ulasan-ulasan yang berujung pada teologi RMU.
Misalnya, ketika membicarakan tentang hukum dan implementasinya, dikemukakan:
Al-Dien meliputi seluruh segi kehidupan manusia, di antaranya segi hukum, kekuasaan dan
masyarakat atau umat. Jika Allah memberi nama Dien dengan Islam, maka hukumnya adalah
hukum Islam, harus diundangkan; kekuasaannya kekuasaan Islam, harus dizhahirkan; dan
umatnya pun menjadi umat Islam, harus dihimpun kekuatannya. Ketiganya adalah bagian dari
191 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf (ed.), Pesantren Ma’had Al-Zaytun, (Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan
Depag RI, 2002), hal. 75.
192 Lihat keterangan Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Depag RI, hal. 383.
193 M. Amin Djamaluddin, Bunker Al-Zaytun: Fakta Kesesatan Tafsir NII Panji Gumilang, (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 98.
194 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf, Op.Cit., hal. 76.
195 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Mesir: Darul Fikr al-Arabi,1994), hal. 2-3.
196 M. Quraish Shihab, “Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-fakta Aktual”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 1.
197 Nurcholish Madjid, “Masalah Ta’wil sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an”, Ibid., hal. 11.
198 Ibid., hal. 79.

Page 47
syari’at, dan syari’at adalah implementasi dari Al-Dien. Inilah konsep hukum menurut Islam.
Hukum adalah syari’at dan syari’at adalah Al-Dien. Karena itu yang pertama-tama ditanamkan
pada kesadaran anak manusia adalah tauhid (tauhid rububiyah), mengesakan Allah sebagai
Rabb (Al-Hakim), tidak ada Ilah selain Allah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Dan Dialah
yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi dan Dia pula yang memeliharanya
(penguasa bumi). Tidak ada yang lain tempat memohon dan tidak ada yang lain tempat
mengabdi (Luqman: 13-14; Al-Fatihah: 2-5; Al-Nas: 1-2).
199
Sementara itu, dalam sebuat artikel yang berjudul “Pema’naan Takbir”, seorang eksponen lain dari
Ma’had Al-Zaytun menulis tentang aplikasi takbir yang disandarkan pada surat Al-Nashr. Hanya saja konsep
tersebut tidak disertai dengan penjelasan yang memadai. Dia hanya mengatakan:
Dari perjalanan sejarah detik-detik terakhir perjuangan Rasul dan yang menjadi asbab
turunnya surat terakhir Al-Nashr (QS:110) maka kita dapat menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut. Pertama, takbir hendaknya dimaknakan akbaru bimilkiyatihi (mengagungkan
mulkiyahnya), tahmid hendaknya dimaknakan udhiru birububiyatihi (mendhohirkan hukumnya)
dan tahlil hendaknya dimaknakan ulia fiuluhiyatihi (meninggikan umatnya).
200
Demikianlah teologi RMU telah menjadi tema sentral dalam segala aspek pembahasan, baik di
kalangan NII maupun komunitas Ma’had Al-Zaytun. Selanjutnya, dalam ajaran NII teologi RMU di atas
dijabarkan dalam bentuk implementasi aktivitas yang dikategorikan sebagai ibadah. Beribadah secara
rububiyah berarti usaha bagaimana hukum Islam bisa ditaati oleh umat Islam. Langkah utamanya adalah
tabligh (QS. 5:67) untuk menuntun umat kepada jalan yang lurus dalam pelaksanaan hukum Islam. Aplikasi
di lapangan, secara teknis melalui dakwah berupa tabsyir (QS. 48:28) dan indzar (QS. 2:119) dengan
metode ta’lim (pengajaran), dan aplikasinya secara praktis dengan membentuk lembaga peradilan
(tahkim/mahkamah).
Beribadah secara mulkiyah berarti usaha menegakkan dan mempertahankan kekuasaan Islam.
Langkah yang ditempuh dalam hal ini adalah jihad fi sabilillah (QS. 22:78) baik dengan cara persuasif
(diplomasi secara damai) atau dengan kekerasan (perang). Aplikasi di lapangan dengan memobilisasi warga
dan aparat untuk mengawal dan mengamankan seluruh program negara. Sedangkan beribadah secara
uluhiyah berarti mengatur dan mengarahkan umat Islam ke dalam satu pola perjuangan. Untuk ini
ditekankan doktrin penghambaan kepada Yang Satu (Allah/negara) dan ketaatan kepada pimpinan. Aplikasi
di lapangan dengan membentuk sistem imamah yang sempurna demi tegaknya NII.
C. Doktrin Hijrah
Doktrin NII menandaskan bahwa negara yang mereka ciptakan adalah representasi dari negara
Madinah yang dibangun oleh Rasulullah s.a.w., sementara negara RI mereka identifikasi sebagai negara
Mekah yang penuh kemusyrikan dan kesesatan. Para pengikut NII mempersepsikan negara dan
pemerintahan RI sebagai negara dan pemerintahan thaghut, karena sistem pemerintahannya tidak Islami
dan hukum yang dipakai bukan hukum Islam. Oleh karena itu warga negara RI juga mereka kategorikan
sebagai orang-orang non-Muslim.
201
Dalam kondisi seperti itu, solusi satu-satunya yang dimiliki oleh warga negara RI adalah “hijrah” bila
mereka ingin selamat dunia akhirat. Dan hijrah itu, dalam doktrin NII, berarti menanggalkan
kewarganegaraan RI dan masuk menjadi anggota/warga negara NII.
202
Doktrin ini dicarikan landasannya
dari hadits Nabi: “la tashihhu al-ibadah biduni al-hijrah” (tidak sah pelaksanaan ibadah tanpa adanya hijrah),
dan QS. Al-An’am: 70:
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda
gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia".
Kemudian merujuk kepada QS. Al-Balad:10 yang artinya: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan”, mereka mengatakan bahwa yang, dimaksud dengan dua jalan ialah adanya dua wujud negara,
yang satu negara yang haq (NII-NKA) dan satunya negara bathil (NKRI).
203
Maka umat yang merasa lemah
secara sosial politik dan telah dizalimi oleh NKRI, dengan adanya NII-NKA, wajib menjadikan hijrah sebagai
199 A. Hani, “Hukum dan Implementasinya”, dalam majalah Al-Zaytun, edisi 111, 2000, hal. 84.
200 Taufiq Abdullah, “Pema’naan Takbir”, dalam Al-Zaytun, edisi 12, 2000, hal. 123.
201 Catatan materi “tilawah” pengikut pengajian NII/NKA.
202 Bandingkan dengan doktrin hijrah yang ditanamkan oleh Kartosoewirjo, yaitu manusia harus melepaskan diri dari sifat dan
tabiat serta tingkah laku ke-Mekkah-an (yang penuh kemungkaran) dan beralih kepada sifat, tabiat, dan tingkah laku ke-Madinah-an
(yang lurus dan penuh kebaikan). Lihat Suroso Abdul Salam, Op. cit., hal. 44.
203 Pandangan dan penafsiran yang sama persis seperti ini juga pernah diungkapkan oleh AS. Panji Gumilang di hadapan tim
peneliti ketika berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun pada tanggal 27Januari 2004.

Page 48
satu-satunya alternatif yang harus dipilih dan dilakukan.
204
Jadi meskipun NII adalah sebuah negara semu
karena sama sekali tidak memiliki dasar eksistensial (dalam kenyataannya tidak ada satu jengkal pun
tanah/wilayah di seantero Nusantara yang dikuasainya baik secara de facto maupun de jure), namun
dengan tegas dia telah membuat dikotomi antagonis antara RI sebagai “negara kafir” (penuh kebatilan dan
kemungkaran) berhadapan dengan NII sebagai “negara Islam” (penuh maghfirah dan warganya dijamin
masuk sorga) yang berkonsekuensi kepada kewajiban hijrah.
Iman-hijrah-jihad merupakan pola rangkaian ibadah yang terpadu. Diawali dengan peneguhan iman
di dalam hati, direalisasikan dalam bentuk hijrah, yang berkonsekuensi pada pelaksanaan jihad. Ketiganya
saling terkait dan menjadi satu kesatuan yang utuh, dan nilai kemenangan yang sempurna terletak pada
implementasi ketiga unsur tersebut, sebagaimana firman dalam QS. Al-Taubah: 20:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan inilah orang-orang yang mendapatkan
kemenangan.”
Doktrin hijrah biasanya ditanamkan dan dikomunikasikan melalui dialog sederhana seperti berikut:
- Apa itu hijrah?
- Pindah
- Pindah dari mana?
- Dari RI ke NII
- Kenapa hijrah?
- Karena di RI tidak berlaku hukum Islam
- Apa tujuan hijrah?
- Ibadah
- Apa itu ibadah?
- Menjadi umat Islam, tinggal di negara
Islam, mematuhi hukum Islam.
- Apa hukum hijrah?
- Wajib
- Apa itu wajib?
- Harus dikerjakan
- Kalau tidak dikerjakan?
- Dosa
- Kenapa dosa?
- Karena meninggalkan ibadah yang wajib
- Disebut apa dia?
- Kafir
205
Dengan dialog tersebut peserta akan digiring kepada asumsi bahwa nilai iman sangat ditentukan
pada kemauannya untuk melakukan hijrah. Orang yang belum berhijrah, dengan demikian, tidak sah
keimanannya dan tetap dalam kondisi kekafiran.
Pelaksanaan musyahadatul hijrah dilaksanakan pada tempat khusus dan pesertanya adalah calon
warga terpilih. Acaranya dilakukan secara terprogram dan sistematis dalam suatu seremoni yang meliputi
pembukaan, taftisy aqidah (seleksi atau ujian aqidah), iqrar mubaya’ah (pernyataan bai’at), lain-lain dan
penutup.
206
Musyahadatul hijrah ini berfungsi sebagai kontrak taslim (ketundukan secara suka rela) dan bukti
hijrahnya seseorang ke Madinah, sehingga ia secara sah dan resmi dianggap warga Madinah.
Sementara itu, di dalam majalah Al-Zaytun hanya disinggung bahwa hijrah artinya berpindah,
meninggalkan atau berpaling dan tidak mempedulikan lagi. Hijrah di kalangan muslimin mengandung
beberapa pengertian. Pertama, hijrah berarti kaum muslimin meninggalkan negeri asalnya yang berada di
bawah kekuasaan pemerintah kafir. Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah.
Dalam sejarah Islam, hijrah menjadi sebuah momentum dan tonggak sejarah bagi Rasul dan kaum muslimin
sebagai pertanda berakhirnya pra-Islam yang disebut masa Jahiliyah, serta merupakan titik balik bagi
keberuntungan seorang mukmin dan babak baru di dalam sejarah ke-Islam-annya untuk mempertahankan
tegak teguh berdirinya sebuah masyarakat (negara) Islam di Madinah.
207
D. Doktrin Infaq dan Shadaqah
Selanjutnya, setelah seseorang berhasil dihijrahkan maka doktrin yang kemudian diberikan adalah
masalah shadaqah dan infaq. Doktrin ini disampaikan dengan sangat hati-hati oleh para pembina, karena
banyak kasus penolakan terhadap dakwah NII —yang berarti juga kegagalan dalam merekrut jama’ah—
disebabkan oleh tekanan pendanaan yang berlebihan. Menurut mereka, shadaqah merupakan syarat yang
harus dipenuhi sebagai perwujudan dari niat yang tulus untuk melaksanakan hijrah.
208
Shadaqah ini memiliki
arti untuk membersihkan dan mensucikan calon warga dari seluruh dosa dan maksiat yang dilakukannya
selama hidup dalam kekafiran di negara RI, sesuai dengan QS. Al-Taubah: 103:
“Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, di mana dengan shadaqah itu kamu
rnembersihkan dan mensucikan mereka.”
Di samping itu shadaqah dianggap sebagai salah satu bentuk realisasi jihad dengan harta benda
204 Umar Abduh, op. cit., h. 156.
205 Catatan materi “tilawah” pengikut pengajian NII.
206 Umar Abduh, Op. cit., hal. 78.
207 A. Qasim, “Hijrah dan Hijriah”, dalam majalah Al-Zaytun, edisi V, 2000, hal. 65.
208 Besarnya shadaqah hijrah ditentukan oleh mas’ul (aparat) sesuai dengan tingkat penghasilan calon warga. Seorang anggota NII
(mahasiswa) yang diwawancarai peneliti pada 13 November 2003 mengatakan kena tarikan Rp 400.000,- ketika melakukan “hijrah”
itu dua tahun yang lalu.

Page 49
(QS. Al-Taubah: 20):
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan.”
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa NII dengan program binayatul maliyah-nya menetapkan
berbagai macam bentuk penggalangan dana dari berbagai sumber, di antaranya nafaqah daulah, harakah
Ramadlan, harakah qurban, harakah qiradh, akikah, tazkiyiah baitiyah, dan shadaqah khas. Nafaqah daulah
adalah infaq bulanan yang harus disetor kepada negara, hukumnya fardlu’ain bagi setiap warga dengan
nominal yang telah telah ditetapkan oleh negara (aparat), dan bila tidak terbayar maka dianggap hutang.
Harakah Ramadlan merupakan bentuk interpretasi dari zakat fitrah, di mana setiap jama’ah (bagaimana pun
kondisinya) diwajibkan membayar minimal Rp. 50.000,- sebagai ganti dari beras/kurma. Harakah qurban
dilaksanakan setiap hari raya Idul Adha dengan menyetor uang Rp 150.000,- sebagai ganti dari harga
seekor kambing. Harakah qiradh adalah simpanan wajib umat kepada negara, berupa uang dengan target
setara dengan nilai 40 gram emas. Simpanan ini dianggap sebagai pinjaman dan dijanjikan akan
dikembalikan dalam jangka waktu lima tahun. Sementara shadaqah khas meliputi shadaqah musyahadah
(penerimaan anggota/warga baru), shadaqah isti’zan (ijin bepergian/surat jalan), shadaqah istighfar
(pengakuan dosa dan memohon ampun), shadaqah munakahat (nikah), shadaqah tahkim (persidangan),
shadaqah tartib (pelantikan menjadi aparat) dan lain sebagainya yang besar shadaqahnya bervariasi
menurut situasi dan kondisi.
209
Penafsiran berlebihan yang tidak populer di kalangan umat Islam tentang zakat dan shadaqah juga
dilakukan oleh Ma’had Al-Zaytun. Zakat fitrah yang diwajibkan di kalangan mereka tidak lagi sebesar 3,5 liter
beras atau yang senilai/seharga dengan itu, tetapi Ma’had mewajibkan santrinya untuk mengeluarkan zakat
fitrah tahun 1424 H minimal sebesar Rp 50.000,- dengan batas maksimal yang tidak ditentukan. Hal itu
tergantung kepada kadar keimanan seseorang dan pengakuannya atas besarnya dosa yang telah dilakukan
selama setahun, karena tujuan zakat fitrah, menurut mereka, adalah untuk menghapus dosa-dosa yang
telah dilakukan selama setahun. Sehingga ada yang mengeluarkan zakat fitrah itu sampai jutaan rupiah.
210
Beberapa istilah berkaitan dengan penggalangan dana yang sama-sama populer di kalangan
jama’ah NII dan komunitas Ma’had Al-Zaytun di antaranya adalah apa yang disebut dengan “Harakah
Ramadlan” (gerakan penggalangan dana dengan memanfaatkan moment bulan Ramadlan dengan fidyah,
zakat fitrah maupun zakat maal-nya) dan “Harakah Qurban” (dengan mengganti hewan qurban yang akan
disembelih pada hari raya ‘Ied al-Adha dengan sejumlah dana untuk disetorkan atau diinfaqkan), serta
“tazkiyah baitiyah” — suatu istilah yang sangat asing bagi kita —yakni semacam pajak rumah tangga atau
barang mewah yang dimiliki oleh warga, seperti kendaraan, perangkat elektronik dan lain-lain.
211
Kalau ditelusuri, ternyata istilah dan praktek Harakah Ramadlan bermula dari qoror atau ketetapan
yang dibuat oleh imam/presiden atau petinggi NII berkaitan dengan suatu masalah. Qoror tentang Harakah
Ramadlan di lingkungan NII KW9 turun dan diundangkan pada tahun 1992. Inti qoror tersebut adalah
sebagai berikut:
C. Seluruh warga Madinah diwajibkan menyerahkan zakat fitrah yang namanya dirubah menjadi
Harakah Ramadlan.
D. Ukuran kewajiban Harakah Ramadlan ditimbang dari harga satu sha’ kurma atau seharga Rp
50.000,- (lima puluh ribu rupiah) yang dibebankan kepada setiap jiwa yang berstatus mustahaq.
E. Periode penyerahan berlangsung selama waktu shaum qobla ‘Iedul Fitri.
F. Penyerahan dan distribusi terpusat di KW9.
G.
Bila ini terlaksana maka kita berhak untuk berdoa: Taqabbalallahu minna wa minkum.
H.
Penanggung jawab ketetapan ditandatangani oleh Abu Ma’ariq.
212
Sedangkan ulasan tentang Harakah Ramadlan di Ma’had Al-Zaytun dipaparkan oleh Firman
Alamsyah, guru Ma’had Al-Zaytun, dengan artikelnya “Memanfaatkan Moment Ied di Tahun 2000” dan hasil
Harakah Ramadlan ini diekspos dalam majalah bulanan Al-Zaytun edisi III tahun 2000 dengan judul berita
“Gerakan Ramadlan di Ma’had Al-Zaytun Peroleh Lebih dari Rp 5 Milyar”.
Di dalam kedua tulisan itu disebutkan bahwa Ma’had Al-Zaytun mempopulerkan amaliah selama
puasa Ramadlan dengan istilah Harakah Ramadlan atau Gerakan Ramadlan. Warga ma’had menghadapi
bulan kemuliaan ini dengan gerakan bershadaqah dan berzakat secara aktual.
213
Kata “aktual” ini mendapat
aksentuasi dan penjelasannya dalam artikel Firman Alamsyah sebagai berikut:
209 Termasuk shadaqah khas juga, menurut pengalaman pribadi Al Chaidar, sumbangan dana untuk pembangunan Ma’had Al-
Zaytun. Lihat Al Chaidar, Op. cit., hal. 119.
210 Hasil wawancara dengan santri MAZ tanggal 22 November 2003. Lihat juga “Gerakan Ramadlan di Ma’had Al-Zaytun Peroleh
Lebih dari Rp 5 Milyar” dalam majalah Al-Zaytun, edisi 12 tahun 2000, h. 29-30. Lihat juga, Firman Alamsyah, “Memanfaatkan
Moment Ied di Tahun 2000”, dalam majalah Al-Zaytun, edisi 3, tahun 2000, hal. 10.
211 Lihat majalah Al-Zaytun, edisi 12 tahun 2000, hal. 29 dan edisi 3, hal. 11.
212 Umar Abduh, Op. cit., hal. 85.
213 Lihat majalah Al-Zaytun, edisi 12, 2000, hal. 29.

Page 50
Pada kesempatan ‘Ied al-Fithri kali yang pertama di awal Januari tahun 2000, Ma’had Al-
Zaytun telah memulai langkah yang tepat sekaligus berani, untuk mengelola sumber dana
dalam Islam, yakni dengan mengaktualkan nilai zakat fitrah. Ini dilakukan bukan untuk mencari
sensasi tapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas umat. Zakat fitrah tidak lagi dihargai
dengan 3,5 liter beras. Karena dosa setahun sudah tidak wajar lagi dibersihkan dengan 3,5
liter beras, dan sangat ironis jika hanya dengan 3,5 liter beras, kita bercita-cita
mensejahterakan umat.
Alhamdulillah, seluruh civitas Ma’had Al-Zaytun menyambut langkah ini dengan antusias
termasuk para santri dan wali santri pun menyambut dengan baik penuh kefahaman. Sehingga
pada kesempatan ‘Ied tahun itu, dari santri saja terkumpul dana zakat fitrah hampir mencapai
100 juta rupiah (hanya dari 1.235 muzakki), untuk itu kita layak berdoa: “Taqabbalallahu minna
wa minkum” .
214
Masalah penyucian dosa dengan zakat dan kadar yang harus dipenuhi ini mendapat penguatan dari
Syaikh al-Ma’had sebagaimana yang disebut dalam Al-Zaytun:
Zakat fitrah di Ma’had Al-Zaytun tidak ditanggapi dengan semangat konvensional yang hari ini
berlaku umum. Zakat Fitrah —atau lebih sering disebut Harakah Ramadlan— dinilai dengan
kepantasan menilai usaha pembersihan jiwa mwnusia apabila dinilai dengan kepentingan
aktual membersihkan diri sebagaimana yang dilakukan manusia modern dalam praktik
kesehariannya. Itulah zakat aktual. Seperti dalam berbagai kesempatan disinggung oleh
Syaikh al-Ma’had bahwa menunaikan zakat di sini adalah membersihkan jiwa seseorang yang
berpuasa dari hal-hal yang sia-sia dan memberikan makan kepada orang miskin (tuhratan lish-
shaim wa thu’matan lil masakin). Jika kita membersihkan jasad lahir saja setiap hari dengan
sabun dan alat-alat pembersih lainnya, memerlukan sejumlah biaya, maka mestilah minimal
sejumlah itu yang diperlukan membersihkan jiwa kita yang mungkin telah penuh noda selama
setahun.
215
Hasil penerimaan zakat fitrah ini (demikian juga zakat-zakat yang lain) diprioritaskan untuk
pembangunan Ma’had.
216
Penetapan zakat fitrah dengan nominal sebagaimana yang ditetapkan di dalam
Ma’had Al-Zaytun ini mendapat kritik dari LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) dengan alasan
bahwa kadar zakat fitrah itu didasarkan pada dalil qath’i, sebagaimana jumlah raka’at dalam shalat, yang
tidak mungkin dimasuki unsur ijtihad atau rasionalisasi, sehingga sifatnya adalah ta’abbudi yang harus
dilaksanakan sebagaimana contoh Rasulullah. Kalau pun itu dimaksudkan untuk fastabiqul khairat, maka
kelebihannya dianggap sebagai shadaqah biasa, dan tidak bisa seluruhnya dikategorikan sebagai zakat
fitrah saja. Di samping itu mengalokasikan hasil zakat fitrah hanya atau hampir seluruhnya untuk
pembangunan Ma’had merupakan aksi pemangkasan terhadap hak orang miskin, karena tujuan utama
zakat fitrah, selain sebagai tuhratan lish-shaim (pembersihan jiwa) juga thu’matan lil-masakin (memberi
makan orang miskin) agar di hari raya itu tidak dijumpai orang-orang miskin yang masih berkeliling
(meminta-minta) untuk mencukupi konsumsinya pada hari tersebut, sebagaimana yang banyak
dikemukakan secara eksplisit oleh hadits-hadits Nabi yang mu’tabar.
217
Sementara itu, Harakah Qurban juga berawal dari qoror yang ditetapkan pada tanggal 15 April 1992
yang intinya berisi:
1.
Setelah penetapan Iedul Fithri dengan Harakah Ramadlan, maka akan ditetapkan pula Iedul Adha
dengan gerakan Udhiya Qurban atau Nahar dengan istilah Harakah Qurban.
2. Menetapkan Harakah Qurban, melaksanakan pengamalan pada setiap pribadi yang punya
kesempatan/kemampuan.
3. Menetapkan harga binatang sembelihan: untuk kambing atau domba seharga Rp 150.000,- (seratus
lima puluh ribu rupiah), kerbau/sapi tujuh kali harga domba.
4.
Penetapan instruksi ini dimulai sejak diundangkan sampai tibanya Yaumul Mubarok (Futuh
Makkah).
5.
Adapun operasionalnya tidak dilaksanakan dengan menyembelih binatang sembelihan tetapi
dengan harga binatang sembelihan itu. Inilah yang dimaksud dengan Harakah Qurban, dari mana
pun arahnya, adalah untuk pemasukan KW9 seperti halnya Harakah Ramadlan. Adapun tentang
pendistribusiannya akan ditetapkan melalui syura.
218
Harakah Qurban sebagaimana yang dicanangkan di dalam qoror tersebut seakan-akan
214 Lihat majalah Al-Zaytun, edisi III, 2000, hal. 10.
215 Lihat majalah Al-Zaytun, edisi 12, 2000, hal. 30.
216 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf , Op. Cit., hal. 73. Lihat juga majalah Al-Zaytun, edisi 12, 2000, hal. 29.
217 M. Amin Djamaluddin, Op.Cit., hal. 101-106.
218 Umar Abduh, Op. cit., hal. 84.

Page 51
mendapatkan penjelasan dan rasionalisasinya dalam praktik di Ma’had Al-Zaytun. Hal itu bisa kita baca
dalam tulisan Firman Alamsyah dalam majalah bulanan Al-Zaytun. Di bawah ini sengaja dikutipkan ide
rasionaliasi Harakah Qurban secara agak panjang agar pemahaman pembaca bisa komprehensif.
Kalau pada ‘Iedul Fitri kita bisa melakukan satu harokah yang bermutu, maka pada ‘Iedul
Adha inipun kita harus melakukan hal yang sama bahkan harus lebih hebat lagi. Pada ‘Iedul
Fitri (hari kembali fitrahnya manusia) itu kita telah mengajak umat untuk berzakat fitrah dengan
Harokah Rarnadlannya, maka pada ‘Iedul Adha (hari berqurbannya manusia) kita mengajak
umat untuk berqurban, mengorbankan sesuatu yang dicintainya dan mendekatkan diri kepada
Allah.
Menurut bahasa, kata qurban berasal dari kata qorroba yang berarti “dekat”, sedangkan dalam
kamus Al-Munjid halaman 617, kata qurban diartikan: apa-apa yang bisa mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara menyembelih atau dengan yang lainnya. Jadi, yang namanya
berqurban itu tidak selamanya dengan menyembelih hewan; menyembelih hewan hanyalah
sekedar lambang dari pengorbanan.
Kalau kita lihat sejarah, dari sejak Nabi Adam as, qurban dilambangkan dengan bentuk yang
berbeda-beda. Nabi Adam as. telah memerintahkan berqurban kepada para putranya (Qabil
dan Habil), kemudian Qabil dan Habil melaksanakan perintah ayahnya itu dalam bentuk ternak
dan hasil sawah ladang. Allah Swt. telah memerintahkan berqurban kepada Nabi Ibrahim,
kemudian Nabi Ibrahim melaksanakan pengorbanannya dalam bentuk penyembelihan
terhadap anaknya (Ismail, yang kemudian Allah menggantinya dengan seekor qibas).
Sedangkan Muhammad Rasulullah melambangkan qurban dengan menyembelih ternak. Ini
membuktikan bahwa berqurban itu tidak harus dengan menyembelih hewan. Hakekat
pengorbanan adalah mengorbankan apa-apa yang paling dicintainya untuk kepentingan
(masyarakat) Islam. Maka selain dengan menyembelih hewan, berqurban itu bisa juga
dilaksanakan dalam bentuk yang lain.
Manfaat zakat dan qurban ditinjau dari aspek sosial adalah untuk memberi makan fakir dan
miskin. Memberi makan dalam arti luas adalah bukan hanya memberikan makan kepada
jasmani (perut), tapi termasuk juga di dalamnya memberi makan kepada rohani (akal dan
basyiroh). Makanan otak manusia bukan daging kambing, tapi makanan otak manusia adalah
ilmu. Ilmu secara formal bisa didapat lewat pendidikan, maka jika qurban dikeluarkan dalam
bentuk uang (misalnya), dan uang yang terkumpul digunakan untuk mernbangun sarana
pendidikan, gedung pembelajaran, asrama, masjid, perpustakaan, laboratorium, dan
kelengkapan lain yang menunjang pendidikan, itu berarti qurban yang kita keluarkan akan
lebih abadi (pahala/manfaatnya) bagi Islam dan umatnya. Dengan pendidikan kita bisa
menciptakan generasi Islam yang berotak jernih (brilian) dan sekaligus memiliki basyiroh yang
tajam. Dengan cara ini qurban menjadi lebih aktual, efektif dan efisien.
Inilah arti berqurban secara luas (arti yang sebenarnya) bukan arti yang sempit, yang hanya
mengandalkan berqurban dengan menyembelih hewan saja, hanya berorientasi kepada
kebutuhan jasmani (perut) saja. Inilah paradigma berqurban yang optimis dan berwawasan
masa depan, bukan pandangan berqurban secara sempit yang hanya memikirkan
kegembiraan fakir miskin di hari raya saja, tapi pandangan yang jauh ke depan memikirkan
nasib umat seratus bahkan seribu tahun yang akan datang.
219
Tentang Harokah Qurban ini, terlihat kerancuan pemahaman antara ibadah mahdlah dan ibadah
ghoiru mahdlah, atau telah terjadi pencampur-adukan antara ibadah dan mu’amalah. Hasan Al-Banna,
sebagaimana dikutip oleh Yusuf al-Qardhawi, telah mengisyaratkan satu kaidah yang amat penting untuk
membedakan antara urusan ubudiyah dan urusan mu’amalah duniawiah. Prinsip dalam ibadah adalah
melaksanakan ibadah itu dan membatasi diri dengan nash yang ada, tanpa melihat kepada alasan dan
tujuan. Sedangkan prinsip dalam mu’amalah ialah melihat alasan, rahasia dan tujuan. Kaidah ini dianggap
valid dan bersumber dari Al-Mufaqatnya Al-Syathibi.
220
Lebih lanjut Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, kaidah yang fundamental dalam urusan ibadah ialah
dengan menguji ketaatan mukallaf kepada Tuhannya dalam mengikuti perintah-perintah-Nya dan dalam
menjauhi larangan-larangan-Nya, apakah dia mengatakan seperti yang dikatakan orang-orang yang
beriman, “Kami mendengar dan kami taat”, ataukah seperti yang dikatakan orang-orang yang
membangkang, “Kami mendengar dan kami durhaka”. Bukan termasuk masalah yang urgen dalam ibadah
untuk mengetahui hikmah dan rahasianya secara rinci, tapi cukuplah dengan pengetahuan secara global,
sebab rahasia di balik shalat lima waktu atau thawaf tujuh kali pun tidak bisa diketahui secara sempurna.
219 Lihat majalah Al-Zaytun, edisi III, hal. 10-11.
220 Yusuf Al-Qardhawi, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), hal. 112.

Page 52
Oleh karena itu ibadah harus diterima dan dipatuhi dengan mengikuti nash, tidak berijtihad dengan akal
dengan mengkaji alasan dan tujuannya secara detail. Orang yang mengerti fiqh tidak akan memperbolehkan
bagi hujjaj untuk tidak menyembelih hewan qurban (bagi yang melakukan tamattu’ dan qiran) lalu mereka
menyerahkan (uang) penggantinya sebagai shadaqah yang harus dibayarkan, karena ini termasuk ibadah
yang didasarkan pada ketaatan dan dilaksanakan karena Allah semata.
221
E. Bai’at dan Imamah
Untuk mengikat anggota secara kuat dalam suatu ikatan jama’ah dan demi menjaga loyalitas
anggota terhadap organisasi NII/NKA, maka tiap anggota yang sudah siap bergabung dalam “perjuangan”
harus melakukan bai’at (sumpah setia). Akan tetapi, karena istilah bai’at ini sudah dikenal luas dan
diidentifikasi sebagai ciri gerakan eksklusif, NII/NKA mengganti istilah bai’at ini dengan istilah Musyahadatul
Hijrah.
222
Kepada para anggota/warga baru ditanamkan pentingnya bai’at dan keutamaannya, di mana
kesempurnaan berjama’ah hanya bisa dicapai setelah adanya bai’at, dengan mengutip sebuah hadits:
“Barangsiapa meninggal dan di pundaknya tidak ada bai’at, berarti ia mati dalam kondisi mati
jahiliyah.”
Arti pentingnya bai’at diungkapkan dengan menyitir QS. Al-Fath: 18 yang menyatakan bahwa
dengan bai’at kehidupan umat Islam akan selalu berada dalam keridhaan Allah:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang rnukmin ketika mereka berjanji setia (bai’at)
kepadamu di bawah pohon,
223
maka Allah rnengetahuai apa yang ada dalam hati mereka lalu
rnenurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan
yang dekat (waktunya).”
Berbai’at juga berarti satu fase perjuangan umat Islam dalam membebaskan diri dari anasir
kekafiran, sesuai dengan QS. Al-Mumtahanah: 4:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kamu (warga RI) dan dari apa-apa yang kamu sembah selain Allah (Pancasila dan UUD 45), kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami (warga NII/NKA) dan kamu (warga RI)
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja (dengan
meyakini kebenaran misi NII/ NKA).”
Begitu vitalnya masalah bai’at di kalangan NII/NKA, sampai-sampai ia diibaratkan sebagai ruh yang
menentukan “mati-hidup”nya keislaman seorang warga. Orang yang menyalahi bai’at atau keluar dari
gerakan NII/NKA dianggap telah mati ruh keislamannya. Kesakralan isi bai’at bagi mereka sejajar dengan
kesakralan isi al-Qur’an, bahkan —sebagaimana al-Qur’an— ia juga mampu mendatangkan karomah
(mendapat pahala) hanya dengan membacanya saja.
Selengkapnya redaksi baiat itu adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim,
Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi la haula wala quwwnta illa billah
Asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah
Wallahi, demi Allah
1. Saya menyatakan bai’at ini kepada Allah, di hadapan dan disaksikan Komandan Tentara/Pemimpin
Negara yang bertanggung jawab.
2. Saya menyatakan bai’at ini sungguh-sungguh karena ikhlas dan suci hati lillahi ta’ala semata-mata,
dan tidak sekali-kali karena sesuatu di luar dan keluar daripada kepentingan agama Allah, agama
Islam, dan Negara Islam Indonesia.
3.
Saya sanggup berkorban dengan jiwa, raga dan nyawa saya serta apa pun yang ada pada saya,
berdasarkan sebesar-besar takwa dan sesempurna-sempurna tawakkal ‘alallah bagi: a)
Menegakkan kalimatillah, li i’lai kalimatillah. b) Mempertahankan berdirinya Negara Islam Indonesia,
hingga hukum syariat Islam seluruhnya berlaku dengan seluas-luasnya dalam kalangan umat Islam
bangsa Indonesia di Indonesia.
4. Saya akan taat sepenuhnya kepada perintah Allah, kepada perintah Rasulullah dan kepada perintah
ulil amri saya, dan menjauhi segala larangannya dengan tulus dan setia hati.
221 Ibid., hal. 112-113.
222 Ibid., h. 78.
223 “Di bawah pohon” dalam ayat itu, menurut paham mereka, berarti di bawah landasan teologi RMU, di mana RMU ini mereka
personifikasikan dalam bentuk pohon yang baik.

Page 53
5. Saya tidak akan berkhianat kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada Komandan Tentara, serta
Pemimpin Negara, dan tidak pula akan membuat noda atas umat Islam.bangsa Indonesia.
6. Saya sanggup membela komandan-komandan Tentara Islam Indonesia dan pemimpin-pemimpin
Negara Islam Indonesia daripada bahaya, bencana, dan khianat dari mana dan apa pun jua.
7. Saya sanggup menerima hukuman dari ulil amri saya sepanjang keadilan hukum Islam bila saya
ingkar daripada bai’at yang saya nyatakan ini.
8. Semoga Allah berkenan membenarkan pernyataan bai’at saya ini, serta berkenan pula kiranya Ia
melimpahkan tolong dan karunia-Nya atas saya, sehingga saya dipandaikan-Nya melakukan tugas
suci ialah haq dan kewajiban tiap-tiap mujahid: menggalang Negara Kurnia Allah Negara Islam
Indonesia.
9.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
224
Dengan mengucapkan bai’at tersebut berarti warga telah melakukan kontrak jiwa dengan negara.
Dengan demikian secara otomatis seluruh milik warga menjadi milik negara yang tidak bisa diganggu gugat
oleh siapapun. Apabila negara membutuhkan dirinya, dalam kondisi apa pun ia harus siap melayani
keinginan negara tersebut, dan tidak ada kata menolak; karena hakikat bai’at ini, menurut ajaran NII/NKA,
adalah pemasrahan diri secara total lahir dan batin selama hidupnya. Segala pelanggaran akan berakibat
bencana bagi dirinya dunia akhirat.
Dalam musyahadatul hijrah ini benar-benar ditekankan doktrin loyalitas mutlak anggota terhadap
jama’ah, pimpinan dan organisasi NII/NKA. Sambil mengutip QS. Al-Mumtahanah 1-2 dan memberikan
tafsiran yang sesuai dengan kepentingannya, mereka mencoba memagari kesetiaan anggota untuk selalu
menjaga “rahasia negara” dan tidak membocorkan aksi-aksi gerakan bawah tanah mereka kepada orang-
orang yang mereka anggap sebagai musuh. Berikut bunyi ayat dan tafsiran mereka:
“Hai orang-orang yang beriman (warga dan aparat NII/NKA), janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu (warga dan aparat RI) menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (misi/risalah NII/NKA) karena rasa kasih sayang; padahal
sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka
mengusir Rasul dan mengusir kamu karena kamu beriman kepada Allah (menjadi warga
NII/NKA). Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad (bertilawah merekrut anggota) pada
jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku (restu negara) janganlah kamu berbuat demikian. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di
antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan
melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu (menyiksa dan mengintimidasi) dengan
menyakitimu, dan mereka ingin supaya kamu kembali kafir (menjadi warga RI lagi).”
Setelah seseorang menjadi warga NII, secara otomatis dia menyandang gelar mujahid NII atau
Tentara Islam Indonesia. Sebagai tentara, segala aktivitasnya tidak boleh lepas dari tata aturan yang telah
ditetapkan oleh para pimpinan negara. Oleh karena itu, disamping bai’at tersebut di atas —yang sering
disebut dengan Mubaya’ah Sembilan, karena terdiri dari sembilan poin— ada juga suatu sumpah prajurit
yang di kalangan NII populer dengan nama Sapta Subaya (tujuh sumpah prajurit). Landasannya adalah QS.
An-Nisa’: 59 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu…”
Adapun isi Sapta Subaya adalah sebagai berikut:
G. Seorang Tentara Islam Indonesia harus berdisiplin.
H. Seorang Tentara Islam Indonesia harus berani.
I. Seorang Tentara Islam Indonesia harus membela Pimpinan Negara, Komandan Tentara
sebagai tulang punggung negara.
J. Seorang Tentara Islam Indonesia harus jujur dan hemat.
K. Seorang Tentara Islam Indonesia harus bijaksana.
L. Seorang Tentara Islam Indonesia mencintai dan membela sesama Mujahid.
M. Seorang Tentara Islam Indonesia harus pantang menyerah.
Dengan demikian, ketaatan kepada pimpinan merupakan kewajiban mutlak yang tidak boleh
ditawar-tawar oleh seluruh warga NII. QS. Al-Anbiya’: 16 yang menyatakan “Allah tidak menciptakan langit
dan bumi dengan bermain-main”, ditafisirkan dalam doktrin NII bahwasanya negara tidak menjadikan aparat
dan warga kecuali dengan tuntutan agar tercipta kesungguhan dalam beramal jihad, menggalang kerjasama
yang rapi, dan harus menciptakan pola kerja yang terstruktur serta tidak menyimpang dari aturan yang telah
ditetapkan oleh negara. Dalam praktek di lapangan Sapta Subaya dijadikan rujukan kepatuhan warga dan
aparat setelah Mubaya’ah Sembilan. Sumpah prajurit ini terus diulang-ulang untuk mengingatkan warga agar
224 Catatan Pengajian warga NII.

Page 54
selalu menjaga mental dan kredibilitasnya sebagai mujahid.
Sapta Subaya ini ternyata juga bukan hal yang asing di lingkungan eksponen dan pimpinan Ma’had
Al-Zaytun. Satu peristiwa yang cukup berarti bagi sejarah perjalanan Ma’had Al-Zaytun adalah peristiwa
pembangkangan Tibmara atau Garda Ma’had (penjaga keamanan pesantren) pada pertengahan September
2001. Dokumen yang berhasil diperoleh oleh Tim Peneliti tentang peristiwa itu menyebutkan telah terjadi
konflik antara Syaikh al-Ma’had AS Panji Gumilang dengan beberapa personal pimpinan Tibmara/Garda
Ma’had yang menyebabkan para anggota Tibmara/Garda Ma’had tidak lagi mau mematuhi perintah Syaikh
al-Ma’had. Hal ini membuat AS Panji Gumilang marah, dan di hadapan semua anggota Tibmara/Garda
Ma’had yang berkumpul di gedung Abu Bakar, dia berkata dengan emosi tinggi:
“Siapa yang mau membangkang? Ana imam NII, lawan saya, saya hanya darah dan daging,
tidak ada apa-apanya. Kenapa kalian dikumpulkan tidak mau? Kalian tahu, siapa yang
memanggil kalian? Ana Panglima Tertinggi TII, apa mau kalian?Ana panglima TII
memerintahkan kepada salah satu maju ke depan membacakan Sapta Subaya.”
Sampai tiga kali AS Panji Gumilang memerintahkan, tapi tidak juga ada yang maju untuk
membacakan Sapta Subaya. Peristiwa ini, bagi AS Panji Gumilang, mengindikasikan bahwa Tibmara/Garda
Ma’had sudah tidak bisa diharapkan lagi loyalitasnya, sehingga akhirnya pada tanggal 15 September 2001
muncullah sebuah dekrit dari AS Panji Gumilang yang berbunyi: “Negara dalam keadaan darurat tanpa
tentara, karena Tibmara dan Garda Ma’had telah dilucuti”.
225
Sejak peristiwa tersebut, Ma’had Al-Zaytun
dijaga oleh Satpam biasa dengan seragam khusus yang berbeda dengan seragam Tibmara/Garda Ma’had.
F. Doktrin Tazkiyah
Pola perekrutan anggota NII/NKA agaknya paralel dengan teori BTBT (Buru Tangkap Bina Tata).
Untuk mencari anggota mereka memburu siapa pun dengan program tilawah, lalu ditangkap dan diikat
dengan bai’at dalam forum musyahadatul hijrah, dan selanjutnya dibina serta ditata dengan suatu doktrin
dan metode pembinaan yang disebut dengan tazkiyah.
Pada dasarnya materi doktrin tazkiyah berisi pendalaman dari materi-materi sebelumnya yang
berintikan satu hal, yakni warga harus rela memerankan dirinya sebagai Nabi Ismail yang dengan segala
keikhlasan hati siap dikorbankan untuk “disembelih” demi kepentingan syiar al-din. Segmentasi pembinaan
dalam doktrin tazkiyah ini diharapkan dapat memberikan hasil maksimal dalam usaha memperjuangkan
tegaknya NII/NKA di bumi Indonesia, di samping juga sebagai sarana dan media pengontrolan bagi
kepatuhan warga.
Tekanan arti penting tazkiyah ditujukan untuk memacu kesadaran warga agar memberikan seluruh
kemampuan lahir batin, harta dan tenaga, bahkan jiwa kepada negara. Dalam berbagai kesempatan selalu
ditanamkan satu doktrin, bahwa saat ini Negara Islam Indonesia masih miskin dan lemah, maka aksi-aksi
jihad diorientasikan pada usaha-usaha keras dan nyata (mengerahkan segala daya dan kemampuan) untuk
mengumpulkan dana dan umat (pendukung) sebanyak-banyaknya serta memperbesar dan memperluas
jaringan maupun organisasi kelembagaan NII. Termasuk di antaranya tugas mengambil kembali harta dan
kekayaan Negara (NII) yang masih berada di tangan masyarakat jahiliyah (warga negara RI) yang
diasumsikan sebagai hasil merampas harta kekayaan milik NII, karena bumi ini sesungguhnya telah
diwariskan kepada orang-orang yang shaleh (NII dan segenap warganya). Pengambilan kembali harta milik
NII tersebut bisa dilakukan dengan melalui cara dan jalan apapun.
226
Untuk merealisasikan cita-cita menegakkan NII/NKA, setiap warga dan aparat harus
memperjuangkannya dengan segala kemampuannya. Hal ini disandarkan pada QS. Muhammad: 7 yang
mereka terjemahkan:
“Hai orang-orang yang berirnan, jika kamu menolong (negara) Allah, niscnya Dia akan menolong
kamu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Maka, pengorbanan harta dan jiwa adalah sarana mengakbarkan (memaha-besarkan) Allah dan
untuk menjaga agar api perjuangan tetap berkobar. Oleh karena itu, mengacu pada konsep RMU, untuk
mengakbarkan Allah secara rububiyah (hukum), semua warga harus melaksanakan hukum Islam;
mengakbarkan Allah secara mulkiyah (negara) dengan menggalang dana untuk membangunnya; dan
mengakbarkan Allah secara uluhiyah (umat) mengimplikasikan kewajiban untuk berdakwah dan merekrut
warga sebanyak-banyaknya. Itulah yang dimaksud jihad bil amwal (dengan harta) dan jihad bil anfus
(dengan diri) sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Taubah: 20.
227
Senada dengan aktualisasi takbir berdasarkan konsep RMU di atas, salah seorang eksponen
225 Lihat transkrip dokumen yang dikeluarkan pada 26 September 2001 tentang kronologis keluarnya Dekrit, h. 21-23. Peristiwa
bubarnya Tibmara ini menyulut eksodus besar-besaran umat NII. Dikabarkan lebih dari 9000 warga dan mas’ul berbondong-bongong
keluar dari NII faksi Al-Zaytun. (Lihat Imam Shalahuddin dan Sukanto, Op.Cit., hal. 56).
226 Umar Abduh, op. cit., hal. 101. Sebagai contoh kasus, baca artikel “Wabah N Sebelas Melanda Kampus” dalam Forum
Keadilan, No. 46, 27 Februari 2000.
227 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Op. cit., hal. 34.

Page 55
Ma’had Al-Zaytun mengemukakan redefinisi takbir, tahmid dan tahlil. Menurutnya, takbir bisa dimaknai
dengan akbaru bi mulkiyatihi (mengagungkan mulkiyahnya), tahmid berarti udhiru bi rububiyatihi
(merealisasikan hukumnya), dan tahlil adalah uliya fi uluhiyatihi (meninggikan umatnya).
228
Dalam fase tazkiyah ini, di mana seseorang telah masuk begitu dalam dan berada dalam ikatan
emosional yang dernikian kuat dengan gerakan NII/NKA, ditemukan banyak deviasi interpretasi terhadap al-
Qur’an yang sangat jauh dari tafsiran mu’tabar yang bisa diterima oleh umat Islam pada umumnya. Sebagai
contoh, di dalam menjelaskan Rukun Iman; posisi negara disejajarkan dengan kedudukan Tuhan. Maka,
iman kepada Allah secara rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah berarti meyakini kebenaran NII/NKA. Mas’ul
(aparat NII) merupakan personifikasi dari malaikat karena sama-sama mengemban tugas dari Allah — yang
dalam konsep RMU adalah Negara — untuk mengurusi tugas dan urusan negara, di mana mereka tidak bisa
menolak perintah terscbut, sebagaimana yang dikatakan dalam QS. Fathir: 1:
“… Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk mengurus berbagai macam
urusan)…”;
dan QS. Al-Tahrim: 6:
“… Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Sementara itu, mengimani Al-Kitab identik dengan meyakini konsep RMU sebagai intisari al-Qur’an.
Dan al-Qur’an, bagi mereka, tidak lebih merupakan wacana yang harus diimplementasikan dalam
kehidupan; dan aplikasi al-Qur’an tidak lain adalah Qanun Asasi dan Qanun Uqubat (semacam UUD)
mereka. Iman kepada Al-Kitab juga dijadikan standar bagi kalangan NII/NKA dalam menutup semua pintu
untuk bersosialisasi dengan lingkungnn di luar kelompoknya. Landasan yang mereka gunakan adalah QS.
Ali Imran : 118-119:
“… Janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Kamu menyukai mereka
padahal mereka tidak menyukai kamu karena kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.”
Iman kepada Rasul berarti iman kepada pegemban risalah Allah. Dalam tafsir mereka, rasul adalah
warga NII/NKA yang diberikan mandat oleh negara untuk mengemban misi NII/NKA. Oleh karena itu,
mereka meyakini kerasulan tidak akan berakhir selama masih ada yang menyampaikan dakwah Islam
kepada umat manusia.
229
Sebagai orang yang memiliki derajat kenabian dan kerasulan maka mereka
mempunyai wewenang untuk membuat penafsiran sendiri tentang ayat-ayat al-Qur’an.
Sedangkan iman kepada hari akhir mengindikasikan keyakinan akan terjadinya fath Makkah atau
kemenangan NII/NKA atas RI, karena kiamat berarti qiyam al-ummat yakni bangkitnya umat NII/NKA
mengalahkan warga RI. Dalam hal ini, mereka merujuk pada QS. Al-Nur: 55 yang di antaranya berbunyi:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-
amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi… Dia benar-
benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa.”
Berkaitan dengan iman kepada qadha dan qadar, menurut terminologi NII/NKA, qadha berarti hasil
atau keputusan Allah yang harus diterjemahkan juga sebagai keputusan negara. Sedangkan qadar
mempunyai makna ukuran atau target dari Allah yang berarti pula program NII/NKA. Dengan demikian, iman
kepada qadha dan qadar ini harus diwujudkan dengan melaksanakan program yang telah diputuskan oleh
negara. QS. Al-Taubah: 105 menyatakan:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata…”
230
Penyimpangan di dalam menjabarkan pokok-pokok akidah ini berlanjut pada penyimpangan di
bidang ibadah, baik dari aspek terminologi maupun dalam aktivitasnya. Shalat ritual bagi mereka bisa diganti
dengan shalat universal berupa aktivitas melaksanakan —atau yang menunjang realisasi — program
NII/NKA, seperti perekrutan anggota baru dan usaha penggalangan dana. Aqimu al-shalat berarti aqimu al-
din (karena shalat adalah tiang agama), dan al-din dalam tafsiran mereka tidak lain adalah negara, hukum,
dan umat sesuai dengan konsep RMU.
231
Zakat menurut pendapat mereka adalah wujud pendanaan yang
228 Lihat, Taufiq Abdullah, “Pema’naan Takbir”, dalam majalah Al-Zaytun, edisi 12, tahun 2000, hal. 123.
229 Dalam praktik, mereka tidak pernah memakai bahkan mencela penggunaan kata-kata “la nabiyya ba’dah” yang sering
diucapkan pada pembukaan khutbah atau pidato. (Lihat Umar Abduh, op.cit., hal. 94.)
230 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Op.Cit., hal. 44-46.
231 Catalan “tilawah” pengikut pengajian NII/NKA.

Page 56
diberikan dalam rangka perjuangan menegakkan NII/NKA yang di antara fungsinya membersihkan dan
mensucikan jiwa dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Puasa berarti menahan diri, hidup dalam keprihatinan,
bersikap sederhana dan sabar selama dalam kondisi perjuangan. Sedangkan haji mempunyai pengertian
berkumpulnya duta-duta NII/NKA dari seluruh penjuru negeri untuk membicarakan perkembangan
perjuangan mereka.
“Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki atau dengan kendaraan yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27).
232
Semua paparan di atas menunjukkan bahwa NII dalam struktur teritorial, khususnya apa yang
disebut dengan KW9, telah banyak membuat penafsiran baru terhadap teks-teks agama. Sementara itu, dari
hasil penelitan juga dapat dikatakan bahwa secara umum kebebasan dalam menafsirkan nash nampaknya
juga menjadi madzhab di kalangan pimpinan Ma’had Al-Zaytun, khususnya nash yang berkaitan dengan
masalah ekonomi dan pemberdayaan umat, misalnya “thu'matan lil masakin” ditafsiri tidak hanya konsumsi
pada perut (makan) tapi juga konsumsi otak atau akal (ilmu) yang berujung pada pembolehan penggantian
zakat fitrah dan penyembelihan hewan qurban dengan sejumlah dana untuk sarana pendidikan. Pada
kesempatan lain, Syaikh al-Ma’had juga pernah menyampaikan penafsiran ayat “irji’i ila rabbiki radhiyatan
mardhiyyah” dalam surat al-Fajr sebagai ajakan untuk kembali kepada alam (back to nature).
233
Mengemukakan suatu penafsiran memang tidak dilarang, bahkan Al-Qur’an sendiri memerintahkan
kita untuk merenungkan ayat-ayatnya. Al-Qur’an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan
dan di mana pun. Oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk memahaminya dan merenungkan ayat-ayat
yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi, hasil pemikiran seseorang selalu dipengaruhi bukan saja oleh
tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, kondisi sosial politik, dan
sebagainya. Dengan demikian, kebebasan dalam merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itu harus disertai
dengan tanggung jawab yang justru menimbulkan pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan al-Qur’an,
sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan
pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.
234
Dapat dibayangkan bagaimana bila sesuatu itu dikerjakan oleh seseorang yang bukan ahlinya atau tidak
mempunyai wewenang disebabkan tidak dimilikinya kapasitas yang memadai. Tentu bukan saja dirinya
sendiri yang akan rugi, tapi juga akan memberikan dampak destruktif bagi orang lain.
232 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Op.Cit., hal. 47.
233 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf (ed), Op. Cit., hal. 82.
234 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997), hal. 77.

Page 57
BAB IV
SISTEM PENDIDIKAN
Gambaran visi Ma’had Al-Zaytun dapat diketahui dari pernyataan berikut: Melalui pendidikan,
umat Islam akan mampu mempersiapkan peserta didik (generasi umat mendatang) untuk berakidah yang
kokoh dan kuat terhadap Allah dan syariat-Nya, menyatu dalam tauhid, berakhlakul karimah, berilmu
pengetahuan luas, berketrampilan tinggi yang tersimpul dalam konsep basthotan fil ‘ilmi wal jismi, sehingga
sanggup, siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan negara, bangsa dan masyarakat antar
bangsa dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Ma’had Al-Zaytun bertekad mengemban misi untuk
mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam hal: 1) penguasaan Al-Qur’an secara
mendalam, 2) terampil berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa antar bangsa yang dominan, 3)
berpendekatan ilmu pengetahuan (berpikir rasional), 4) berketrampilan teknologi (bukan kerja mengandalkan
otot), 5) berjiwa mandiri, 6) penuh perhatian terhadap aspek dinamika kelompok dan bangsa, 7)
berdisiplin tinggi, dan 8) berkesenian yang memadai (moderen).
Dengan demikian lulusan atau out put Ma’had Al-Zaytun adalah sumberdaya manusia yang
berkualifikasi Ulul Albab, yaitu: sumberdaya manusia yang beriman, bertakwa, dan menguasai iptek
guna
mengejar ketertinggalan jauh dengan umat atau bangsa lain di dunia. Ulul Albab juga berrarti:
sumberdaya manusia yang pandai mempelajari dan mengungkap gejala-gejala alam untuk dijadikan sarana
ibadah. Pandai mengambil pelajaran dari pengalaman dan sejarah. Orang yang mampu membedakan
antara yang hak dan yang bathil serta mampu memilih yang hak dengan resiko apa pun.
Selain itu, lulusan Ma’had Al-Zaytun diharapkan menjadi sosok manusia Muslim yang mau dan
mampu menggunakan akalnya, yang dapat menyibak kesadaran umat akan ketertinggalannya, membimbing
umat kepada kemurnian tauhid, dan bergerak maju menuju kemenangan.
Gambaran tentang visi, misi dan tujuan Ma’had Al-Zaytun dapat dipahami dari semboyan atau motto
yang sering digunakan, seperti: basthotan fil ‘ilmi wal jismi; ulul albab; center of power, center of culture, dan
center of knowledge; pesantren spirit but modern system; dan moto: Ma’had Al-Zaytun sebagai Pusat
Pengembangan Pendidikan, Pengembangan Budaya Toleransi dan Pengembangan Budaya Perdamaian.
235
Berkaitan dengan sistem pendidikan yang akan dibahas dalam tulisan ini penelitian difokuskan
pada; gambaran fisik, organisasi dan manajemen, dan budaya Ma’had Al-Zaytun.
A. Fisik
Ma’had Al-Zaytun dibangun di daerah pertanian dan memiliki luas lahan 1200 ha. Dari luas tersebut
terbagi menjadi; lahan sarana pendidikan seluas 200 ha dan selebihnya 1000 ha sebagai lahan pendukung
yang dijadikan lahan perkebunan dan pertanian yang mengelilingi areal pendidikan. Saat kita masuk ke
gerbang utama Ma’had Al-Zaytun nampak gedung pembelajaran Abu Bakar As-Shidiq, Umar Ibn Al-Khattab,
Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Jendral Besar H.M. Soeharto. Gedung Abu Bakar As-Shidiq
dibangun dengan luas 10.000 meter persegi dengan bangunan empat lantai. Gedung ini memiliki 42 lokal
dan 98 toilet. Gedung Umar Ibnu Al-Khattab menempati areal seluas 12.500 meter persegi dengan
bangunan lima lantai dan memiliki lokal berjumlah 58 yang disertai 104 toilet. Sedangkan gedung Usman
Ibnu Affan dibangun dengan luas 17.000 meter persegi dengan bangunan 6 lantai. Gedung Usman ini
memiliki 100 lokal yang dilengkapi dengan 172 toilet. Sementara gedung Ali Ibnu Abi Thalib menempati areal
seluas 18.000 meter persegi dengan tujuh lantai. Gedung ini memiliki 100 lokal dan 180 toilet. Gedung
pembelajaran Jendral Besar Soeharto yang sedang dibangun dengan luas 20.000 meter persegi
direncanakan memiliki tujuh lantai. Ketika penelitian ini berlangsung, pembangunan gedung pembelajaran
Jendral Besar Soeharto baru menyelesaikan pembangunan pondasi dan basemen.
Setiap kelasnya berukuran 8 x 12 m yang dilengkapi meja dan kursi bagi 36 siswa yang menghuni.
Ma’had Al-Zaytun terdapat 199 kelas yang terdiri dari; kelas I berjumlah 25 kelas (15 kelas laki-laki, 10 kelas
perempuan), kelas II berjumlah 33 kelas (19 kelas laki-laki, 14 kelas perempuan), kelas III berjumlah 58
kelas (35 kelas laki-laki, 23 kelas perempuan), kelas IV berjumlah 45 kelas (26 kelas laki-laki, 16 kelas
perempuan, dan 3 kelas olahraga), dan kelas V berjumlah 38 kelas (19 kelas laki-laki, 15 kelas perempuan,
3 kelas olahraga, dan kelas khusus).
Sebagai sistem pendidikan yang berasrama, Ma’had Al-Zaytun memiliki asrama-asrama bagi para
siswa yang terletak di sebelah utara gedung pembelajaran. Gedung-gedung asrama ini untuk setiap unitnya
menempati lahan 22.000 M dan menampung sekurang-sckurangnya 1700 santri dengan kapasitas setiap
kamar dihuni 10 orang. Sampai saat ini ada asrama Al-Fajar dan Al-Madani untuk santri-santri laki-laki, dan
asrama Al-Mustafa dan Al-Nur untuk santri-santri perempuan. Luas setiap kamar santri berukuran 8 x 9
dengan jumlah kamar tiap asrama 170 kamar, kecuali Al-Madani berukuran 8 x 10 m dengan jumlah kamar
204 kamar. Di setiap kamar dilengkapi 3 kamar mandi dalam sebuah toilet, 1 ruang belajar, meja, kursi,
lemari pakaian, dan ranjang tidur yang bersusun ganda.
Tiap unit bangunan asrama dibuat dalam enam blok yang masing-masing bloknya menghadap ke
235 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf (editor), Pesantren Ma’had Al-Zaytun, Departemen Agama RI, Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.

Page 58
arah luar dengan jarak pandang yang terbuka bebas ke luar. Pada setiap lantai asrama terdapat suatu hall
besar yang berada di tengah-tengah gedung yang berukuran 30 x 32 m. Hall ini berfungsi sebagai wahana
komunikasi antar santri dengan berbagai ragam budaya dari berbagai suku bangsa.
Siswa kelas tertinggi dilibatkan secara langsung dalam aktivitas manajemen asrama, menjadi wali
kamar bagi kamar-kamar yang dihuni oleh santri kelas I dan kelas II. Penempatan santri di setiap kamar
asrama berdasarkan tingkatan kelas. Artinya, kelas satu tinggal sekamar dengan kelas satu.
Ke arah timur dari gedung pembelajaran terdapat Masjid Al-Hayyat. Masjid ini menempati areal
seluas 5.000 M dan luas bangunannya adalah 60 m x 60 m yang dapat menampung 6000 jamaah. Nama
masjid ini diambil dari nama seorang camat Kroya, M. Hayat, yang ikut serta dalam upacara peletakkan batu
pertama. Menurut Syekh, masjid ini pada masa yang mendatang akan dialihfungsikan menjadi gedung
perpustakaan. Disamping utara masjid Al-hayyat terdapat kolam dengan luas 1 ha dan kedalaman 6 m dari
bibir kolam. Kolam ini sebagai tempat penampungan air dari setiap saluran air yang berada di sekitar
gedung pendidikan bila musim hujan tiba, dan sekaligus sebagai pengembangbiakan ikan. Dari kolam ini
telah mengilhami eksponen untuk mengadakan shodaqoh untuk ikan (sodaqoh samak), yang diperuntukkan
bagi siapa saja yang berkeinginan bershodaqoh dengan memberikan uang Rp 1000 kepada penjaga kolam
yang akan diganti dengan satu bungkus makanan ikan dan siap ditebarkan ke kolam.
Di sebelah timur dan barat gedung pembelajaran terdapat sarana olahraga seluas 6,5 ha. Sarana
olahraga di arena gedung pembelajaran sebelah timur dilengkapi dengan sebuah lapangan sepakbola
lengkap dengan track atletik dengan standar teknis internasional seluas 1,3 ha. Komunitas Ma’had Al-Zaytun
menamakan lapangan sepakbola ini dengan kompleks Palagan Agung. Dan di kompleks Palagan Agung
juga terdapat dua lapangan berumput yang diperuntukkan bagi cabang olahraga hoki. Sarana olahraga di
arena pembelajaran sebelah barat terdapat enam buah lapangan yang terletak di Medan Satria Wiratama.
Lapangan ini berfungsi sebagai tempat pelatihan olahraga sehari-hari.
Di selatan masjid Al-Hayyat terdapat Wisma Tamu. Wisma ini menempati areal seluas 7.500 M
dengan pintu utama menghadap ke barat. Wisma berlantai lima ini terdiri dari 150 kamar tidur. Ada lima tipe
kamar, yaitu standard room, standard plus, special room, family room, dan suite room. Pertama, tipe kamar
standard room merupakan tipe kamar hotel standar yang di dalamnya berfasilitas toilet yang dilengkapi
dengan water heater, perlengkapan mandi, satu ruang tempat tidur, sebuah pesawat TV 17 inch, kulkas
mini, lemari, meja rias, telpon, seperangkat alat duduk, serta dua botol air mineral. Tipe kamar hotel standar
ini berjumlah 109 kamar dengan tarif per malam 10 sak semen (1 sak = Rp 22.500), yaitu Rp 225.000.
Kedua, tipe kamar standard plus. Fasilitas tipe standard plus, relatif sama dengan standard room, hanya
saja, tipe ini dilengkapi dengan balkon atau cabana. Tarifnya pun tidak jauh berbeda dengan standard room,
hanya selisih Rp 25 ribu. Jumlah tipe kamar ini adalah 15 kamar. Ketiga, tipe special room. Berbeda dengan
tipe standard room dan standard plus, kamar tipe special room memiliki luas dua kali lipat kamar standard
yang terdiri dari dua bagian yang dihubungkan dengan connecting room. Bagian pertama berfungsi sebagai
ruang tamu dan satu lagi sebagai ruang tidur. Hanya ada dua kamar tipe ini. Keempat, tipe family room. Bagi
anda.yang ingin menginap bersama anggota keluarga disediakan kamar tipe family room. Kamar ini hampir
sama dengan tipe kamar special room. Ada 12 kamar tipe ini yang berada di setiap lantai. Kelima, tipe suite
room. Tipe ini luasnya setara dengan tiga kamar standar yang disatukan. Ada dua kamar tipe ini yang
keduanya berada di lantai lima; satu menghadap ke utara dan satu lagi ke selatan. Wisma Tamu Al-Zaytun
dilengkapi dengan ruang pertemuan seluas 400 m berkapasitas 400 orang. Tarif yang dikenakan untuk
tempat pertemuan ini dihitung dalam kurs dolar: per meter persegi dikenakan biaya US$1.
Di Ma’had Al-Zaytun terdapat sarana dapur (kitchen) dan laundry. Peralatan maupun mesin yang
digunakan untuk kitchen dan laundry ini merupakan produk-produk canggih yang diimpor dari Swedia,
Hongkong dan Prancis. Bagian kitchen dilengkapi dengan; 1) ruang loading dock and cool room, yaitu
tempat untuk menyimpan dan mengawetkan sayuran, daging, dan bumbu-bumbu dapur, 2) ruang Cooking
Area, tempat berbagai bahan makanan diolah. Di tempat masak ini ada delapan pasang rice cooker merek
Fujimak (model FRC-22N) bersusun tiga. Tiap-tiap susun bisa digunakan untuk menanak nasi sebanyak 21
kg dalam waktu 40 menit, 3) ruang Fruit and Vegetable Preparation, yaitu tempat untuk mempersipakan
berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang akan diolah, 4) ruang Met and Fish Preparation, yaitu
ruangan khusus untuk memotong daging, 5) ruang Bakery Area, tempat khusus untuk membuat aneka kue
dan roti, dan 6) ruang Dishwhasing Area, tempat untuk mencuci peralatan dapur yang bersebelahan dengan
Bakery Area. Di ruangan ini difungsikan dua buah mesin otomatis pencuci peralatan dapur merek Zanussi
dan Electrolux (model WT-200), baik yang besar maupun yang kecil. Mesin yang kecil mampu mencuci
3.800 piring per jam yang dioperasikan oleh 2-3 orang saja.
Di sebelah timur kitchen terdapat ruang laundry area. Di ruang ini ada mesin-mesin cuci yang
canggih, seperti Flat work Ironers tipe FSS 48 buatan Swedia dan Aqua Clean. Mesin cuci Flat work Ironers
tipe FSS 48 ini mampu bekerja dalam tempo 25 detik kain basah yang dimasukan ke dalam mesin akan
keluar dalam keadaan sempurna. Selain kering pakaian juga telah disetrika dan telah berbentuk lipatan.
Sedangkan mesin cuci Aqua Clean yang dikeluarkan Electrolux mampu bekerja multi guna selain bisa
menggantikan dry clean (mesin cuci biasa) juga mampu mencuci jaket kulit. Mesin yang berkapasitas 22 kg
untuk pakaian biasa dan 12 kg untuk pakaian jas ini dilengkapi dengan alat kontrol bahan-bahan cuci kimia
yang akan disuplai melalui dosing pump sehingga formulanya dapat disesuaikan dengan kapasitas cucian
yang akan dimasukkan. Selain itu, mesin ini berada satu rangkai dengan mesin pengering yang dilengkapi
dengan wool press yaitu jenis pres yang hanya diperuntukkan untuk bahan pakaian wol.

Page 59
Jarak dari satu gedung ke gedung lain dipisah oleh jalan beton selebar kurang lebih empat meter,
dan dihiasi oleh pohon-pohon yang rindang. Bagi para pengunjung, jalan beton ini bisa berfungsi sebagai
tempat jalan santai. Di atas jalan beton dipasang papan nama dengan panah yang mengarah kepada tempat
lokasi gedung-gedung.
Di luar areal bangunan pendidikan, 1000 ha diperuntukkan untuk lahan pendukung berupa
perkebunan dan pertanian. Disebelah selatan areal bangunan pendidikan terdapat tanaman-tanaman yang
dikembangkan Ma'had Al-Zaytun dalam perkebunan, yaitu jeruk siam Garut, mangga, jati emas, jati genjah,
rumput king grass, eukalyptus, zaitun, tin dan kurma. Di areal ini juga didirikan bangunan untuk peternakan
sapi, kambing, itik, dan ikan. Di sektor selatan ini dibangun gedung kultur jaringan dan rumah hijau (green
house). Gedung rumah hijau ini seluas 567 m. Di dalam rumah hijau ini terdapat tujuh lokal dengan luas
masing-masing 9 x 9 m. Ruang-ruang itu difungsiknn sebagai penyimpanan tanaman-tanaman baru siap
ditanam atau siap dipasarkan. Sedangkan sebelah barat areal bangunan pendidikan, dikembangkan
pertanian berupa padi gogo, sayuran seperti kubis.
B. Organiasi dan Manajemen Ma’had Al-Zaytun
Syekh Panji Gumilang adalah Syekh Ma’had Al-Zaytun. Ia figur sentral dan elit utama dalam struktur
sosial Ma’had Al-Zaytun. Syekh Ma’had dalam pandangan warga komunitas Ma’had tidak hanya inisiator
dan manajer tetapi sebagai pemimpin (leader) yang mereka “kagumi” memiliki wawasan yang futuristik. Ia
memiliki pengalaman luas, berwibawa, tegas, kebapakan, pandai memanfaatkan peluang dan membangun
kerjasama. Ia merupakan pemimpin kharismatik yang disegani dan penuh wibawa oleh semua warga
ma’had.
236
Kedudukan dan pengaruh Syekh melebihi semua eksponen tak terkecuali ketua yayasan dan
penasehat ahli almarhum Prof. DR. A.R. Partosentono. Padahal secara struktural, yayasan lebih independen
dan lebih tinggi dari pada pimpinan Ma’had.
237
Kenapa Syekh mendominasi terhadap seluruh aktivitas
Ma’had sebagaimana disebutkan? Latar belakang kehidupan pribadi Syekh sendiri bisa menjawabnya. Pada
tahun 1993 Syekh Panji Gumilang menjadi Komandan Tertinggi NII KW9 dan pada tahun 1996 ia
menggantikan posisi keimamahan NII dari Adah Djaelani. Secara otomatis, walaupun Ma’had Al-Zaytun sub-
ordinasi dari Yayasan Pesantren Indonesia tetapi YPI adalah salah satu usaha negara yang diprogramkan,
dimana posisi Syekh AS. Panji Gumilang sebagai Imam.
238
Strukrur sosial dalam komunitas Ma’had Al-Zaytun terdiri dari unsur pengurus yayasan yang dikenal
dengan sebutan eksponen, mudarris, murabbi, muwadhof/karyawan, santri, serta para koordinator wilayah
(Korwil).
239
Eksponen (pengurus yayasan). Eksponen bertugas mengatur semua urusan pembangunan sarana
pendukung pendidikan, keuangan serta pengelolaannya. Mereka umumnya berlatar belakang sosial sangat
beragam; pengusaha, pejabat, tokoh masyarakat, pegawai negeri dan pensiunan. Mereka bertanggung
jawab atas ketersediaan semua kebutuhan Ma'had Al-Zaytun dan sekaligus mengelola sumber-sumber
keuangan dan pembiayaan pendidikan. Kelompok ini menempati strata atas di mana Syekh Ma'had berada.
Mudarris dan Murabbi direkrut secara terbuka dari berbagai latar belakang pendidikan umum,
agama dan pesantren, dengan perbandingan yang paling menonjol adalah: lebih banyak guru mata
pelajaran umum dari pada mata pelajaran agama.
Mudarris adalah guru yang diberi tugas mengajar mata pelajaran tertentu dan mengajar di kelas.
Sedang Murabbi adalah seorang pembimbing yang diberi tugas untuk memberikan pendampingan terhadap
santri di luar kelas. Murabbi membimbing santri baik dalam belajar, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler atau
bimbingan lainnya yang diperlukan santri. Seorang Mudarris berperan juga sebagai Murabbi, tetapi, tidak
semua Murabbi bertindak sebagai Mudarris.
240
Setiap Mudarris dan Murrabi dibina dan dikembangkan dengan terus menerus ditingkatkan ilmunya
dengan mengikuti studi lanjut S-1 bagi yang belum sarjana, dan S-2 untuk yang sudah S-1. Peningkatan
kualitas ilmu para Mudarris dan Murabbi dilakukan juga dengan pendidikan non formal di Ma’had Al-Zaytun
ketika libur.
241
Untuk kepentingan studi lanjut bagi Mudarris dan Murabbi,
Ma’had Al-Zaytun telah
melakukan kerjasama (Memorandum of Understanding) dengan berbagai perguruan tinggi.
Seorang mudarris yang merangkap sebagai murabbi memiliki jam kerja ‘hampir’ 24 jam sehari
semalam, karena begitu kegiatan belajar-mengajar santri selesai pada pukul 22.00, mereka melakukan
kontrol atau pengawasan terhadap santri yang tidak segera berisrirahat atau tidur sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Mereka juga melakukan pengawasan terhadap santri yang mencoba untuk berbuat
yang tidak sesuai dengan aturan, seperti santri laki-laki mencoba menyusup ke asrama santri putri. Begitu
juga pada pagi harinya, ketika santri harus bangun pada pukul 03.00 dini hari, para murabbi sudah bangun
lebih dahulu untuk kemudian membangunkan para santri. Tugas yang demikian berat, tetapi tidak diimbangi
236 Tim Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dan Diklat Keagamaan, Laporan lengkap Hasil Penelitian Ma’had Al-
Zaytun Indramayu, Departemen Agama Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Tahun 2000, hal. 13.
237 Ibid.
238 Umar Abduh, Loc.Cit.
239 Ibid. hal. 16
240 Imam Tolkhah dan Choirul Fuad Yusuf (editor), Op.Cit., hal. 37
241 Wawancara dengan Bp. Abdul Halim, 3 Oktober 2003.

Page 60
dengan imbalan atau gaji yang memadai, menjadi salah satu banyaknya mudarris dan murabbi yang
akhirnya keluar dari Ma’had Al-Zaytun.
242
Koordinator. Di samping memiliki tugas dalam hal rekrutmen para calon santri, yaitu mulai dari:
rekrutmen, bimbingan belajar, sampai pada mengantarkan calon santri mengikuti tes di Ma’had Al-Zaytun,
sampai pada menjemput santri ketika pulang ke rumah dalam rangka liburan, juga mempunyai tugas dalam
bidang penggalangan dana dalam bentuk penjualan majalah Al-Zaytun, mencari donatur, juga
mengumpulkan infaq, shadaqah dan zakat dari para hartawan atau simpatisan Ma’had Al-Zaytun. Dengan
demikian, seorang koordinator tidak bedanya dengan muwadhof, yang karenanya mereka memperoleh gaji
dari Ma’had Al-Zaytun.
Para koordinator juga seringkali berperan sebagai wakil orangtua yang karena sesuatu dan lain hal
tidak dapat hadir dan menjemput putra-putrinya pulang liburan, yaitu menerima raport para santri yang
kemudian diteruskan kepada masing-masing orangtua. Hal ini juga bisa terjadi, karena seringkali raport
sebagai bukti prestasi atau hasil belajar para santri belum selesai ditulis, maka kesempatan waktu yang lain,
koordinatorlah yang bertugas mengambil raport tersebut. Dengan demikian, koordinator juga berfungsi dan
berperan sebagai mediator antara santri dan orangtua dengan Ma’had Al-Zaytun.
Santri. Proses penerimaan santri oleh koordinator, dilakukan sejak bulan Agustus pada tahun
sebelumnya, dengan cara mendatangi orang-orang tertentu yang menurut pengakuan Didi Rudita
243
daftarnya sudah ada dan diberikan oleh Ma’had Al-Zaytun, jauh sebelum Ma’had Al-Zaytun berdiri. Melalui
orang-orang inilah, kemudian koordinator memperoleh petunjuk atau gambaran tentang kemungkinan orang-
orang atau anak-anak yang ingin dan mau menjadi santri.
Sistem seleksi yang dilakukan adalah seleksi terbuka dengan mendaftar melalui koordinator
244
yang
dirunjuk tiap kota di seluruh Indonesia, atau mendaftar langsung ke Ma’had Al-Zaytun. Para calon santri
yang mendaftar melalui koordinator, diberi atau memperoleh bimbingan oleh koordinator, khususnya untuk
hafalan Juz ‘Amma. Kegiatan ini dilakukan secara kelompok dalam satu koordinator, antara 15 sampai 20
anak calon santri, selama satu kali dalam satu minggu. Kegiatan ini akan meningkat volumenya ketika calon
santri libur sekolah atau menjelang tes masuk ke Ma’had Al-Zaytun, kira-kira bulan April, tahun berikutnya,
dengan sistem camp. Pada kesempatan ini pula, para santri memperoleh bimbingan belajar untuk mata
pelajaran IPA dan IPS serta bahasa Arab dan Inggris.
Jenis tes yang dilakukan meliputi: tes akademik dan sikap, dengan bentuk tes: tulis, lisan dan tahfid
(hafalan Juz ‘Amma). Setelah calon santri dinyatakan lulus seleksi, kemudian dilakukan penandatangan akte
notaris dan pembayaran biaya pendidikan yang ditetapkan dengan nilai tukar (kurs) dolar Amerika (USD).
Latar belakang santri, pada umumnya berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas dengan
berbagai profesi atau lapangan pekerjaan.
Pola pembinaan santri dilakukan dengan membagi atau mengelompokkan santri dalam jumlah kecil,
antara 10 sampai 12 santri di bawah bimbingan dan pembinaan satu murabbi, yang bisa terdiri dari mudaris
atau non mudaris, yang dalam waktu tertentu, secara periodik dilakukan perputaran atau pergantian
kelompok (rolling). Dalam bidang akademik, santri dibagi dalam beberapa kelas, yaitu kelas B, C, D, E, dan
F. Kelas A tidak ada, karena asumsinya A itu sempurna dan Yang Maha Sempurna hanya Allah swt.
Pembagian kelas tersebut didasarkan pada prestasi akademik santri, yaitu kelas B yang memiliki nilai di atas
9, kelas C di atas 8, kelas D di atas 7, kelas E di atas 6, dan kelas F dengan nilai 5 ke bawah. Santri yang
masuk dalam kelompok atau E dan F dikategorikan sebagai santri bermasalah, yang diakui oleh para
mudarris maupun murabbi sebagai santri yang ‘sulit’ untuk dididik. Pada kelompok atau kelas ini pendekatan
‘pembiasaan’ dalam bentuk hukuman seringkali diterapkan. Padahal seharusnya santri yang demikian
memperoleh konseling, tetapi sampai saat ini, tenaga konselor hanya berjumlah 5 orang, yang dirasa tidak
memadai dengan jumlah santri yang sangat banyak (ribuan). Para santri yang termasuk dalam kelompok
atau kelas ini, biasanya berasal dari latar belakang keluarga yang kaya, di mana mereka biasa hidup dengan
manja.
Pada tahun ajaran 1 Juli 2003, tahun ajaran ke-V, memulai pembelajaran untuk SLTP Kelas Dewasa
dalam rangka program khusus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kelas Dewasa (PKSLTPKD). Program ini
diberikan kepada para karyawan Ma’had Al-Zaytun, dari 3.000 karyawan Ma’had, 1.075 (35 %) karyawan
belum tamat SLTP. Namun yang mendaftarkan diri berjumlah 248 orang. Mereka merupakan karyawan yang
telah mendaftar dan menyerahkan ijazah SD. Mereka berusia 21 tahun hingga 40 tahun dengan membayar
sumbangan pendidikan Rp 20 ribu per bulan dan uang pangkal Rp 200 ribu. Setelah seleksi melalui tes Juz
‘Amma dan ujian tertulis, hanya 185 orang yang dianggap lulus. Jadwal belajar mereka pada malam hari,
yakni dari pukul 19.00-21.00 WIB. Artinya mereka hanya belajar dua jam setiap hari. Dengan mengikuti
kurikulum akselerasi, tanpa libur. Seluruh silabus SLTP akan diselesaikan dalam jangka dua tahun saja.
Mereka akan diikutkan ujian persamaan SLTP, dan akan mengikuti ujian semester setiap tiga bulan.
Muwadhof atau karyawan. Mereka berjumlah sekitar 3.000 orang dan merupakan tulang punggung
dan andalan Ma’had Al-Zaytun dalam pembangunan sarana fisik, pengaturan keamanan, penerangan listrik,
Puskes, kitchen, laundry, wartel, kedai cukur, pos, koperasi, kebersihan keliling, pertanian, perikanan dan
242 Wawancara dengan Didi Rudita, Koordinator Semarang, yang pada akhirnya mengundurkan diri sebagai koordinator karena gaji
yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tanggal 27 Februari 2004.
243 Koordinator Semarang, meliputi: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal, Kabupaten
Purwodadi, dan Kotamadya Salatiga.
244 Wawancara dengan Didi Rudita, Koordinator Semarang, 15 Nopember 2003.

Page 61
peternakan, dsb. Mereka bekerja 24 jam dengan tiga kali pergantian (shift). Sistem shift nampaknya sudah
lama diberlakukan untuk mengejar target kebutuhan sarana belajar, asrama serta sarana pendukung
lainnya. Untuk meratakan pengalaman dan menerapkan keadilan, muwadhof secara periodik mengalami
pergantian tugas, kecuali pada bagian-bagian tertentu yang memerlukan keahlian khusus.
245
Jumlah karyawan bertambah dari 1.550, pada saat awal pembangunan tahun 1995, menjadi kurang
lebih 3.000 karyawan pada saat penelitian ini berlangsung. Kalimat “sami’na wa atho’na” merupakan ucapan
yang keluar dalam setiap do’a pagi. Bagi mereka peraturan bukan sebagai beban. Salah seorang karyawan
mengatakan:
Peraturan bukan suatu beban bagi kami, namun lebih merupakan sarana pendidikan, karena
tempat ini adalah tempat pendidikan yang bisa berjalan dengan baik manakala kami sebagai
pekerja memiliki andil di dalamnya, bukankah pada dasarnya manusia adalah pendidik. Dan
kami juga merasa memiliki Ma’had Al-Zaytun yang sedang kami kerjakan. Karenanya kami
malu, jika apa yang kami ucapkan, bahwa akan selalu taat dengan apa yang diperintahkan
kami langar. Karena santri saja yang usianya masih belia mereka lebih senang bila hidup ini
teratur. Kalau itu yang terjadi, artinya kami membohongi diri sendiri, alias munafik.
246
Ma’had Al-Zaytun terus mengalami perkembangan dalam sistem pendidikan. Setelah berjalan satu
semester, Ma’had Al-Zaytun membuka sebuah program pendidikan di bidang agrikultur yang diberi nama
“Program Pendidikan Pertanian Terpadu” (P3T). Program tersebut diresmikan oleh Syekh Ma’had pada
tanggal 1 Januari 2000. Usaha mempersiapkan program P3T ini telah dilakukan oleh Ma’had Al-Zaytun
melalui pembicaraan dan diskusi panjang sejak dua sampai tiga tahun yang lalu dengan para ilmuan dari
IPB. Menurut Syekh Ma’had, program P3T ini merupakan cikal bakal dari fakultas pertanian Jami’ah Al-
Zaytun. Pada tahap awal, lamanya masa pendidikan program non degree ini adalah 18 bulan, yang dibagi
dalam 4 semester dengan 85 SKS. Materi perkuliahan akan terus dikembangkan hingga pada akhirnya
menjadi Program Strata Satu (S-1). Pada tahun pertama, program ini diikuti oleh peserta (mahasiswa)
sebanyak 76 orang. Sebelum terpilih menjadi mahasiswa P3T, mereka ini telah berkiprah nyata dalam
orientasi mahasiswa selama tidak kurang dari 24 hari, dari 14 Januari sampai 6 Februari. P3T diresmikan
mulai pembelajarannya 6 Februari 2000.
247
Dalam lagu mars Al-Zaytun terdapat kalimat “Demi Kejayaan Umat Islam Sedunia” dan “Galang
Persatuan umat manusia dunia”. Kalimat-kalimat itu mencerminkan bahwa cita-cita Ma’had Al-Zaytun tidak
hanya membangun umat Islam Indonesia tetapi juga bercita-cita membangun dunia Islam. Untuk
merealisasikan cita-cita tersebut, Ma’had Al-Zaytun memiliki Divisi Hubungan Internasional dan Education
Counselling Service yang langsung bertanggung jawab kepada Syekh Ma’had. Divisi ini bertugas untuk
mengakomodasikan tamu-tamu luar negeri, mengkoordinasikan kerjasama antara tenaga ahli Ma’had Al-
Zaytun dengan tenaga ahli luar negeri, mempersiapkan persetujuan MoU dengan lembaga-lembaga luar
negeri dan mempersiapkan pelaksanaannya, dan memonitor pendanaan dari luar negeri dan juga bertindak
sebagai local secretary lembaga kualifikasi internasional.
248
Dalam periode enam bulan di tahun ajaran pertama, Divisi Hubungan Internasional telah
menandatangani persetujuan MoU dengan lebih dari 100 lembaga pendidikan internasional. Ma’had Al-
Zaytun juga ditunjuk sebagai approve centre tiga lembaga kualifikasi internasional dari Inggris. Tiga lembaga
tersebut adalah Pitman Qualification, London Chamber of Commerce (LCCIEB), dan City and Guild
International. Sedangkan Education Counselling Service, disingkat ECS Ma’had Al-Zaytun, bertugas
menerbitkan publikasi-publikasi tentang Ma’had Al-Zaytun dalam berbagai bahasa asing. Terbitan pertama
berjudul “Ma’had al-Zaytun at a Glance” telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan
Prancis. ECS juga menerbitkan brosur-brosur tentang lembaga-lembaga pendidikan internasional. Oleh
karena itu lebih dari 1.000 lembaga pendidikan internasional telah diminta untuk mengirimkan informasi
tentang sistem dan fasilitas pendidikan yang mereka selenggarakan. ECS Ma’had Al-Zaytun diketuai oleh
M.Y.R. Agung Sidayu, adik kandung A.S. Panji Gumilang.
249
Sementara itu berkaitan dengan sistem manajemen terus mengalami pembaharuan. Biasanya
pembaharuan sistem manajemen Ma’had Al-Zaytun dilakukan setiap tahun. Sidang ini merupakan agenda
rutin tahunan yang diikuti perwakilan setiap unit yang ada di Ma’had Al-Zaytun. Segala persoalan, termasuk
di dalamnya kelemahan dari pelaksanaan program di setiap unit penunjang misi pendidikan dievaluasi pada
forum ini. Sidang ini bisa disebut juga forum “think tank” dalam menjalankan roda pendidikan di Ma’had Al-
Zaytun. Dalam pelaksanaan, sidang dipimpin oleh Syekh Ma’had A.S. Panji Gumilang. Biasanya Syekh
mengingatkan perlunya proses mendidik yang harus memiliki perencanaan jangka panjang (long term),
seperti yang diucapkan dalam Sidang Litbang Ma’had Al-Zaytun tanggal 13 Juni 2003.
250
Dalam sidang tahunan Litbang Ma’had Al-Zaytun tanggal 13 Juni 2003 dihasilkan beberapa
keputusan-keputusan; pertama, berkaitan dengan siswa. Mulai tahun 2003 siswa kelas tertinggi dilibatkan
245 Imam Tholkhah dan Choirul Fuad Yusuf (editor), Op.Cit., hal. 37.
246 Dikutip dari Majalah Al-Zaytun, Edisi, 11-2000, hal. 23-24.
247 Majalah Al-Zaytun, Edisi II, Februari 2000, hal. 14-15.
248 “Peningkatan Hubungan Internasional”, dalam majalah Al-Zaytun, Juni-Juli 2000, hal. 55-57.
249 Ibid.
250 Majalah Al-Zaytun, No. 32-2003, hal. 14.

Page 62
secara langsung dalam aktivitas manajemen asrama membantu petugas manajemen asrama 130, siswa
kelas tertinggi yang terpilih diberi tugas monjadi wali kamar bagi kamar-kamar yang dihuni oleh santri kelas I
dan kelas II, siswa kelas tertinggi yang terpilih ditunjuk menjadi pengawas pelaksanaan tahfidh al-Qur’an dan
penegakan perilaku disiplin di masjid —tugas yang tadinya hanya dilakukan para ustadz, penempatan santri
di setiap asrama diputuskan berdasarkan tingkatan kelas, tak lagi dilakukan penggabungan dengan kelas II
misalnya, prinsip-prinsip penjurusan siswa setingkat SLTA sesuai dengan minat dan kemampuan siswa,
kursus komputer yang diselenggarakan Al-Zaytun Global Information and Communication Technology
(AGICT), dan program tabungan bahasa. Kedua, beberapa alumni P3T dilibatkan sebagai salah satu
petugas manajemen asrama 130. Ketiga, rihlah ilmiah ke lembaga-lembaga negara.
251
C. Membangun Budaya Ma’had Al-Zaytun
Salah satu gambar yang sering terlihat saat masuk ke lokasi Ma’had Al-Zaytun adalah gambar
bendera merah putih yang ditulisi oleh kata Arab “Al-Zaytun”. Gambar itu menghiasi setiap ruang dan tempat
di Ma’had Al-Zaytun; di gedung pembelajaran, asrama, masjid, wisma Al-Ishlah, klinik, aula, wartel, dapur,
kantin, lapangan dan gedung olahraga, bank, serta di areal-areal pertanian dan perkebunan. Di kursi, meja,
topi, mobil, dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk pembangunan Ma’had Al-Zaytun tidak luput dari
hiasan gambar tersebut.
Moto yang digunakan Ma’had Al-Zaytun adalah “Ma’had Al-Zaytun sebagai Pusat Pengembangan
Pendidikan, Pengembangan Budaya Toleransi dan Pengembangan Budaya Perdamaian sebagai moto
utama.
252
Sebagai sebuah lembaga, Ma’had Al-Zaytun adalah pusat pendidikan yang memiliki karakter
toleran dan perdamaian. Interaksi antar komunitas Ma’had Al-Zaytun didasari pada nilai-nilai toleransi dan
perdamaian. Para santri datang dari berbagai suku, etnis, dan latar belakang sosial budaya yang berbeda.
Begitu juga tamu-tamu yang datang ke Ma’had Al-Zaytun berasal dari latar belakang sosial, budaya, agama,
dan politik yang berbeda.
Dalam mihrab masjid Al-Hayyat tertulis salah satu ayat suci Al-Qur’an, yakni “Wa Saariu’ ilaa
magfirotin min rabbikum wa janatin a’rduha as-samaawaati wa al-ardli u’idat lil mutaqqin”. Ayat ini
merupakan budaya Ma’had Al-Zaytun yang mencerminkan “budaya pertaubatan”. Karena itu karakteristik
dari Ma’had Al-Zaytun adalah “pemaaf” dan “tidak balas dendam”. Disamping itu, sistem pendidikan Ma’had
Al-Zaytun adalah kurikulumnya yang bersifat antisipatif adaptif dan akomodatif terhadap perkembangan
masyarakat, sains dan teknologi, dengan bobot yang lebih besar pada mata pelajaran-mata pelajaran sains.
Kurikulum tersebut disusun secara integrative, inovative dan modern, dengan memadukan antara kurikulum
dari Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Kurikulum Lokal yang disusun sendiri oleh
pihak Ma’had Al-Zaytun.
Pendidikan di Ma’had Al-Zaytun berlangsung secara every hour, tidak hanya every day, dilengkapi
dengan publikasi atau artikel-artikel ilmiah yang ditulis para mudaris, melalui majalah bulanan Al-Zaytun.
Pendidikan di Ma’had Al-Zaytun berorientasi pada penerapan teknologi pendidikan sekaligus ekonomi
pendidikan yang dikembangkan dalam bentuk Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T) dan Program
Teknik Terpadu (P2T). Orientasi pendidikan ini sejalan dengan moto basthotan fil’ilmi wal jismi.
Untuk mencapai every hour, sebagai budaya berlomba-lomba dalam kebaikan, dalam jangka
panjang Ma’had Al-Zaytun akan mengembangkan pendidikan di seluruh provinsi di Indonesia sekolah-
sekolah yang disebut dengan Ma’had Asas sebagai basis dari Ma’had Al-Zaytun yang sekarang ada (tahap
awal), yaitu tingkat SLTP (Tsanawi) dan SMU (Aliyah). Pada saat ini juga sedang dipersiapkan pendirian al
Jami’ah (Universitas) sampai dengan strata 3 (program Doktor) dengan menjalin berbagai kerjasama
dengan berbagai perguruan tinggi, seperti dengan Universitas Indonesia (UI) untuk pendirian Fakultas
Kedokteran; dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, untuk program pendidikan S-1 dan S-
2 bagi mudaris, dan dengan Instirut Pertanian Bogor (IPB) untuk penyelenggaraan Program Pendidikan
Pertanian Terpadu (P3T), serta kerjasama dengan lembaga pendidikan internasional.
Budaya Islam yang terlihat di Ma’had Al-Zaytun adalah menerapkan nilai-nilai dan etika secara
islami dibalut oleh budaya yang modern. Etika sosial di lingkungan Ma’had Al-Zaytun memakai simbol-
simbol Islam, seperti ucapan salam kalau bertemu dan panggilan abi, umi, akhi, dan ukhti sebagaimana
yang dilakukan di kalangan “pergerakan mahasiswa Islam baru” seperti di gerakan Tarbiyah dan Usroh.
Dalam rangka semangat penerapan hidup islami terlihat ada kecenderungan mengganti nama atau
melengkapi namanya dengan nama yang mereka anggap lebih “Islami”. Karenanya di kalangan komunitas
Ma’had Al-Zaytun terdapat nama-nama: Abu Salam, Abu Jihad, Abu Hyliah, Abu Hani' al-Ridla, Abu Kosim,
Silmi Aulia, Saeful Islam, Syekh Ma’had Al-Zaytun, (Tjarsadi) Abdul Al-Jabbar, Fatimah Zahra, Saifuddin
Ibrahim, Abd. Aziz Al-Falah, Rijal Al-Akbar, A. Alkhulaifi.
253
Budaya lain yang berlangsung atau berlaku di Ma’had Al-Zaytun, seperti: paham atau ajaran tentang
nahniyah; hum rijal wa nahnu rijal; shalat darurat (jama' qashar), adzan shubuh tanpa bacaan ‘ash-shalaatu
khairu min an-naum’; dan penafsiran Al-Qur’an yang longgar, merupakan hidden curriculum. Hidden
curriculum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada siswa (santri) di luar dokumen tertulis atau
kurikulum tertulis atau garis-garis besar program pengajaran (GBPP). Pada satu sisi hidden curriculum
251 Wawancara dengan Abdul Halim, salah satu eksponen Ma’had Al-Zaytun, tanggal 3 Oktober2003.
252 Ibid.
253 Imam Tolkhah dan Choirul Fuad Yusuf (editor), Op.Cit., hal.. 21.

Page 63
sering lebih efektif dalam merubah dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik (santri)
dari pada kurikulum tertulis yang lebih berorientasi pada kognitif atau pengetahuan. Hidden curriculum lebih
efektif karena diberikan dan ditanamkan serta dilakukan secara terus-menerus sampai membentuk sebuah
budaya atau tradisi.

Page 64
BAB V
PENDANAAN MA’HAD AL-ZAYTUN
Syekh Ma’had, AS Panji Gumilang, setiap ditanya dari mana Ma’had Al-Zaytun memperoleh dana
untuk membangun sarana dan prasarana serta penyelenggaraan pendidikan selalu menjawab bahwa
sumber dana Ma’had Al-Zaytun berasal dari umat Islam. Ketika KH Abdullah Syukri pimpinan Pesantren
Gontor berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun bertanya darimana dana untuk membangun sarana dan prasarana
pendidikan Ma’had Al-Zaytun (min ain hadza?) Jawabannya tetap bahwa dana Ma’had Al-Zaytun berasal
dari Allah (Minallah). Umat Islam menurut penuturan Syekh Ma’had sebenarnya kaya, persoalannya
bagaimana umat dan mereka yang punya duit percaya kepada kita. Lebih lanjut AS Panji Gumilang
mengatakan bahwa Ma’had Al-Zaytun “membangun kepercayaan” (trust building) dengan mengelolanya
secara amanah dan profesional. Kepercayaan adalah prasyarat bagi umat yang membantu dana serta
mereka yang punya duit percaya kepada Ma’had Al-Zaytun. Dengan kata lain kepercayaan umat menjadi
sebab mengalirnya dana ke Al-Zaytun. Dengan demikian jika Syekh Ma’had mengatakan bahwa Ma’had Al-
Zaytun adalah milik umat Islam dan kami hanya diberi amanah untuk menjalankan dan menjaga amanah
sebaik-baiknya adalah wajar, tidak mengada-ada.
Siapa yang dimaksud umat Islam oleh Syekh Ma’had dan eksponen Ma’had Al-Zaytun lainnya tidak
pernah dijelaskan. H. Syarwani selaku ketua Yayasan Pesantren Islam mengungkapkan bahwa kalaulah
semua orang yang memberi bantuan dana disebutkan jumlahnya sangat banyak dan orang-orang pasti tidak
akan percaya. Siapa saja yang dimaksud umat Islam? Berapa banyak umat Islam yang menyumbang?
Bagaimana dari umat yang banyak akhirnya bermuara ke Ma’had Al-Zaytun? Siapa saja yang terlibat atau
pengelola pengumpulan dana tersebut? Adakah keterkaitannya dengan sistem pemungutan dana yang
dilakukan oleh kelompok yang diduga kalangan tertentu sebagai “struktur NII”, ataukah ada pihak tertentu
yang memang membiayai Ma’had Al-Zaytun demi kepentingan politik mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja memerlukan jawaban-jawaban. Di bawah ini
digambarkan tentang “dana awal” pendirian Ma’had Al-Zaytun dan sumber-sumber dana saat Ma’had Al-
Zaytun setelah berdiri hingga sekarang.
A. Dana Awal Ma’had Al-Zaytun
Salah satu dana umat Islam yang seringkali disebut AS Panji Gumilang dan eksponen Ma’had Al-
Zaytun adalah dana para jama’ah NII KW9 melalui shodaqoh dan infaq mereka.
254
Menurut Amin Jamaluddin
salah satu dana awal pembangunan Ma’had Al-Zaytun berasal dari Adah Djaelani yang memberikan emas
kurang lebih mencapai 1,5 ton. Emas sebesar itu diserahkan Adah Djaelani, selaku Imam NII, kepada AS
Panji Gumilang bersamaan dengan penyerahan kepemimpinan NII dari Adah Djaelani ke AS Panji
Gumilang.
255
Kalau diperkirakan emas sebanyak 1.500 kg sama dengan 1.500.000 gram. Jika 1.500.000
gram x Rp 50.000 = Rp 75.000.000.000 (tujuh puluh lima milyar rupiah).
Benarkah informasi tentang dana awal tersebut? Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan
bahwa pencarian dana awal telah lama dilakukan oleh para pendiri Ma’had Al-Zaytun melalui rekrutmen
anggota dalam pengajian intensif baik secara individual atau kelompok (kecil) dari rumah ke rumah secara
bergiliran dan tertutup. Pembinaan calon anggota dilakukan secara bertahap dengan menanamkan “aqidah
Islam” yang bermuara kepada bai’at atau musyahadatul hijrah dengan membayar sejumlah uang. Dan sejak
itulah yang bersangkutan secara resmi menjadi anggota kelompok NII dengan kewajiban berbagai sedekah
dan infaq.
Dalam salah satu program kelompok NII terdapat program pendanaan atau Maliyah. Program
maliyah adalah salah satu program binayatul khomsahnya Abdul Karim Hasan yang kemudian
disempurnakan menjadi program-program negara. Pendanaan dalam komunitas NII KW9 ditafsirkan sebagai
wujud kesempurnaan ibadah dan kecintaan warga kepada NII KW9 dalam bentuk jihad harta.
256
Sebelum Ma’had Al-Zaytun berdiri, dan berlangsung sampai sekarang, terdapat sumber-sumber
keuangan negara yang diambil lewat program Mawarid Daulah dari para warga dan aparat NII KW9, yaitu;
Nafaqoh Daulah, Harokah Qiradl, Harokah Iddikhor, Harokah Romadhon, Harokah Qurban, Aqiqoh,
Shodaqoh Khossoh, Shodaqoh lain-lain, Hashilatul al-Kasab, dan dana pendidikan.
257
Nafaqoh Daulah adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh warga dan aparat.
Nafaqoh daulah dibagi menjadi dua; infak dan tazkiyah baitiyah. Infaq adalah kewajiban rutin yang
dikeluarkan warga dan aparat untuk negara sebesar US$ 25 per bulan per orang. Sedangkan tazkiyah
Maliyah adalah pembersihan seluruh harta yang dimiliki umat NII yang nominalnya sebesar 2,5% dari harta
yang dimiliki. Pendanaan dari hasil infaq dialokasikan untuk mizaniyah (APBN), ihsan mas’ul (gaji aparat)
dan tanmiyah (pembangunan Ma'had Al-Zaytun). NII KW9 memiliki kurs dolar sendiri yang ditentukan
penggunaannya sejak 1416 H/1995 M. Adapun perinciannya sebagai berikut:
258
254 Wawancara dengan M.Y.R Agung Sidayu tanggal 31 Februari 2003.
255 Wawancara dengan Amin Jamaludin, Ketua LPPI, tanggal 8 Desember 2003.
256 Imam Shalahuddin dan Sukanto, Op.Cit., hal. 90.
257 Ibid., hal. 91-98.
258 Ibid., hal. 92.

Page 65
Tahun 1416H/1995M
$1 = Rp 2.100
Tahun 1417H/1996M
$l = Rp 2.200
Tahun 1418H/1997M
$l = Rp 2.300
Tahun 1419H/1998M
$l = Rp 2.400
Tahun 1420H/1999M
$l = Rp 2.500
Tahun 1421H/2000M
$l = Rp 2.600
Tahun 1422H/2001M
$l = Rp 2.700
Tahun 1423H/2002M
$l = Rp 2.800
Tahun 1424H/2003M
$l = Rp 2.900
Kalau warga pada tahun 1995, sebelum Ma’had Al-Zaytun berdiri, berjumlah 68.147 orang maka
bisa diperkiraan dana yang terkumpul, yakni US$ 25 x 2.100 x 12 bulan x 68.147 orang adalah Rp
42.932.610.000 (empat puluh dua milyar sembilan ratus tiga puluh dua juta enam ratus sepuluh ribu).
Program Harokah Qiradl. Harokah Qiradl ditetapkan tanggal 15 Jumadil Ula 1414 H/30 Oktober
1993 M. Harokah Qiradl adalah pinjaman KW9 kepada umatnya yang akan dikembalikan dalam jangka
waktu lima tahun ditambah dengan faedahnya. Pengelola modal adalah Madinah Indonesia yang untuk hal
itu dibentuk badan pengelola yang bertanggung jawab kepada Madinah Indonesia.
259
Qiradl yang dimaksud
adalah modal dalam bentuk nominal emas murni (logam mulia) dengan harga mengikuti harga pasar emas
yang baku pada saat ijab qabul transaksi qiradl ini dilaksanakan.
260
Tentang adanya infak dan shadaqah di kalangan kelompok NII yang mengalir ke Ma’had Al-Zaytun
bisa dilihat dari pengalaman-pengalaman para anggota kelompok NII di bawah ini.
Endi (bukan nama sebenarnya) pada awalnya sekitar tahun 80an mengikuti pengajian
yang diberikan oleh N.A. Rasyid seorang muballigh asal Aceh yang memberikan pengajian
agama secara intensif dari rumah ke rumah warga di Ciputat. Rasyid awalnya mahasiswa
tugas belajar Fakultas Tarbiyah namun tidak sempat menyelesaikan kuliahnya dan lebih
banyak melakukan kegiatan-kegiatan dakwah melalui pengajian dan bisnis untuk menghidupi
keluarga. Setiap pengajian selalu diuraikan secara skematik, sistematis, logis dan berfikir
hitam putih. Semua yang diuraikan selalu didasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah yang
dijanjikan kebenarannya dan dijamin akan menjaga umat Islam dari kesesatan. Semua uraian
dijelaskan secara menarik dengan menggunakan papan tulis dan materinya lebih banyak
tentang aqidah. Menurut Rasyid bila seseorang belum benar aqidahnya maka semua
amalannya menjadi sia-sia. Karena orang yang batal imannya bisa menjadi kafir atau musyrik.
Salah satu rukun iman adalah percaya kepada Kitab-kitab-Nya (Al-Qur’an). Orang Islam wajib
menyakini kebenaran Al-Qur’an serta mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
mulai dari urusan ibadah, mu’amalat sampai urusan kemasyarakatan dan negara. Tidak ada
urusan ibadah, muamalah dan kehidupan lainnya yang tidak diatur Al-Qur’an. Barangsiapa
yang mempercayai dan mengamalkan sebagian Al-Qur’an dan menolak sebagian lainnya
tetap dihukum kafir, seperti pesan Al-Qur’an sendiri. Apalagi meyakini ada aturan atau hukum
yang lebih baik dari Al-Qur’an dan meninggalkan Al-Qur’an untuk kemudian menggantinya
dengan hukum lain, maka jelas-jelas orang tersebut kafir, musyrik dan dholim.
Rasyid yang pernah kuliah di IAIN, tapi tidak sempat menyelesaikan studinya, dalam
dakwahnya selalu membawa tawon (dalam sangkar) untuk pengobatan. Rasyid selalu
mengriktik pemerintah sebagai tidak Islami karena membolehkan judi, undian SDSB, minumun
keras, tempat pelacuran, dsb. Karenanya uang pemerintah diragukan kehalalannya (haram).
Namun dia tidak pernah menolak gajinya sebagai PNS, padahal uang pemerintah yang
diterima dianggap uang tidak Islami alias uang haram.
Setelah beberapa kali pengajian yang diselenggarakan secara bergilir dari rumah ke
rumah, ada sebagian peserta yang mengundurkan diri karena materinya dianggap terlalu
keras dan berbeda dengan faham keagamaan mainstream. Apalagi pengajiannya yang selalu
membahas politik, menyalahkan/mengkafirkan orang lain dan menganggap Islam yang
diamalkan masyarakat selama ini penuh bid’ah, khurafat, tahayul dan kemusyrikan. Padahal
kebanyakan masyarakat umumnya berasal dari kalangan Nahdhiyyin (Ahl As-Sunnah wa al-
Jamaah). Akibatnya orang seperti Hj. Syamsiyah melarang rumahnya dijadikan tempat
pengajian Rasyid.
Sebagian jamaah dapat menerima dan bahkan meneruskan pengajiannya ke
pengajian yang “lebih tinggi” tingkatannya sampai pada suatu saat mereka melakukan bai’at.
Sejak saat itulah Endi beserta sejumlah kawannya menjadi jamaah kelompok yang intensif
melakukan dakwah seperti yang dia peroleh dari gurunya. Pada saat itulah berkembang
pemahaman keagamaan di masyarakat apa yang disebut dengan konsep Hijrah, masa
pendadaran, periode Mekkah dan periode Madinah.
259 Ibid.
260
Ibid., hal. 93
.

Page 66
Anehnya mereka yang menjadi sasaran dakwah Rasyid umumnya berpendidikan
rendah, kurang mendalami ajaran Islam bahkan ada sebagian jama’ah yang sebelumnya
belum menjalankan shalat secara baik. Sehingga bila ditanyakan apa yang dimaksud dengan
hijrah, masa pendadaran, berbagai macam shadaqah, bai’at, periode Makkah dan Madinah
sama sekali kurang/tidak memahami sepenuhnya. Rasyid juga selalu mengajarkan akan
kewajiban jihad fi sabilillah dengan harta dan jiwa seperti yang banyak tercantum dalam Al-
Qur’an. Jihad adalah kewajiban bila ditinggalkan berarti tidak menjalankan Al-Qur’an.
Menurutnya pengumpulan infaq dan shadaqah tersebut didasarkan pada pemahaman ayat Al-
Qur’an yang mewajibkan orang mukmin untuk berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwanya.
Menurut Endi (56) setiap kordinator atau Mas’ul memiliki rata-rata 40 anggota dengan
latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang beragam; pedagang kaki lima, pemilik toko,
tukang ojek, pegawai swasta, pedagang keliling dsb. Setiap bulan memang ada jatah atau
jumlah yang harus disetor ke atasannya yang lebih tinggi. Bila jumlah tersebut tidak tercapai
maka kordinator (Mas’ul) biasanya memenuhi jumlah tersebut atau istilahnya nombok. Namun
pada saat ekonomi dirinya membaik, biasanya jumlah setoran itu dibayar dulu, kepada
anggota ditagih kemudian. Tapi tradisi selama ini menurut Endi, bila jumlah setoran shodaqah
belum mencukupi biasanya patungan di antara anggota jama’ah yang ada. Jadi tidak
selamanya memberatkan Mas'ul.
Berapa jumlah yang harus disetor setiap bulan? Endin berkeberatan rnenyebutkannya
dan hal tersebut bersifat “tertutup”. Yang mengetahui berapa besar jumlah setoran hanya
dirinya dan kordinator atasannya. Ketika didesak apakah harus cukup jumlahnya dan setiap
anggota menyerahkan sejumlah yang telah ditetapkan. Dijawab, ya namanya shodaqah tidak
mesti berapa jumlahnya. Jika memang sedang tidak ada uang, tidak diharuskan apalagi harus
memperolehnya dengan cara yang tidak halal.
Berdasarkan pengakuannya selama dia menjalankan tugas-tugas Mas'ul alhamdulillah
rizqi selalu ada. Tapi sebaliknya teman-teman yang menyatakan keluar dan tidak lagi
mengeluakan shodaqah dan infaq, menurutnya ada yang modal tokonya habis, ada yang
stroke dengan menghabiskan uang banyak untuk berobat, dan sebagainya. Mereka
memahaminya sebagai tidak memperoleh berkah dari rizki yang diterima karena memutuskan
kewajiban infaq dan shodaqah yang wajib dikeluarkan.
Dia sendiri merasa hawatir apa yang sudah dilakukan mungkin masih belum
mencukupi kewajibannya. Sebab antara yang dia peroleh dengan yang dikeluarkan sebagai
infaq dan shodaqah takut belum seimbang. Padahal menurut pengakuannya dia telah
menghabiskan sekitar 2-3 Ha tanahnya untuk menyumbang ke kelompoknya untuk kemudian
dikumpulkan sebagai dana pembangunan Ma’had Al-Zaytun.
Kapan diadakan rapat pengecekan hasil yang diperoleh dari pengumpulan dana yang
ada? Menurutnya ada forum rapat yang disebut “Musyahadah” yang menelusuri aliran dan
jumlah dana yang terkumpul. Biasanya jumlahnya tidak pernah berkurang dari angka-angka
yang mereka setor sebelumnya. Karena semua mas’ul atau kordinator bekerja dan terlibat
dalam pengumpulan dana didasarkan niat yang ikhlas untuk ibadah dan berjihad di jalan Allah
SWT.
Sekarang Endi tidak lagi menjadi Mas’ul atau menurutnya sudah berada pada hirarki
yang lebih tinggi lagi. Tugas mas’ul beralih kepada yang muda-muda yang sebelumnya sudah
berhasil mengajak anggota baru dalam kelompoknya. Menurutnya di daerah Ciputat terdapat
sejumlah kelompok yang dikordinir oleh sejumlah mas’ul yang setiap bulan dapat
mengumpulkan infaq dan shodaqah jumlahnya mencapai angka “juta”. Berapa persisnya Endi
tidak bersedia menyebutkannya.
Selain infaq bulanan, Endi juga ketika ditanyakan bagaimana Ma’had Al-Zaytun dapat
membayar 3.000 muwadhof (karyawan), ternyata menurut Endi setiap hari seorang anggota
mengumpulkan uang Rp 200,- khusus untuk membayar karyawan di luar infaq yang ada.
Artinya setiap orang urunan Rp 6.000,- khusus untuk membayar karyawan yang jumlahnya
3.000 orang.
Sebagai orang yang sudah dituakan di kalangan kelompok mereka tidak jarang ada
kordinator kelompok lain yang datang ke rumahnya untuk mengajak bergabung dan
memberikan dakwah perlunya menjadi anggota kelompok tersebut. Juga tidak jarang ada
kordinator kelompok yang kekurangan uang transport datang ke rumahnya dan biasanya
dibantu agar dapat melanjutkan perjalanan mereka.
Pada acara-acara tertentu seperti; peletakkan batu pertama dan peresmiannya
pembangunan masjid Rahmatan Lil ‘Alamin, perayaan 1 Muharram, Iedul Fithri datang
berombongan dengan jama’ah dan kordinator lain daerah Tangerang. Menurutnya di daerah
Ciputat terdapat sejumlah (banyak) kordinator. Tapi masing-masing orang tidak mengetahui.
Apalagi di kabupaten Tangerang dinilainya cukup banyak dan jumlahnya “besar”.
Endi berkeberatan menunjukkan siapa saja mas’ul yang ada di Ciputat atau
Tangerang. Hal demikian sebagai kode etik yang menjadi kesepakatan kelompok. Karenanya

Page 67
ketika Endi membaca Majalah Sabili No. 12 Th. XI 1 Januari 2004/9 Dzul Qaidah 1424 H
tentang korban-korban Al-Zaytun yang dikaitkan dengan NII KWIX kaki saya terasa seperti
mau copot bukan karena takut tetapi dirinya tidak pernah terbayangkan dan terkait dengan NII
KWIX bahkan mereka tidak mengetahui sama sekali.
Rasyid sendiri sekarang tidak ada lagi di Ciputat. Menurut informasi yang ia terima Rasyid
telah lama pergi ke Malaysia (sekitar tahun 85). Rasyid nampaknya dalam beberapa hal tidak
sejalan dengan pimpinan Ma’had Al-Zaytun dalam penggunaan dana khususnya dengan gaya
hidup pimpinan Ma’had Al-Zaytun yang dianggap “boros”. Di antaranya untuk membeli
kendaraan “mewah” (Mercy) yang digunakan AS Panji Gumilang. Ketika ditanyakan kepada
Endi tentang pembelian mobil mewah dan cara hidup AS Panji Gumilang, Endi menjawab
semua umat ada pemimpinnya. Katholik ada Paus dengan segala kebesarannya. Maka kita
perlu pemimpin atau imam. Maka wajar kalau Syaykh Ma’had Al-Zaytun menggunakan mobil
mewah dan memang seharusnya demikian sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin.
Bagi dirinya Ma’had Al-Zaytun adalah sebuah pesantren kebanggaan yang akan
mendidik anak-anak umat Islam menjadi SDM yang menguasai iptek, memiliki semangat
mengamalkan ajaran agamanya secara lebih Islami serta memiliki semangat jihad untuk
membantu saudara-saudara pada saat diperlukan. Endi memproyeksikan sampai tahun 2050
bila Ma’had Al-Zaytun berhasil maka kejayaan umat Islam akan tercapai. Umat Islam akan
diperhitungkan orang lain karena memiliki SDM yang handal dengan semangat jihad yang
tinggi.
Endi tinggal di rumahnya berdekatan dengan mmah saudara-saudaranya dan
orangtua. Satu tradisi masyarakat Betawi dimana setiap anak diberikan tanah, rumah dan
toko/warung tempat usaha. Ukuran rumahnya tidak terlalu kecil dengan letak yang tidak
teratur, masuk gang sempit yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Dilihat dari
kehidupan kesehariannya dan dari kondisi sosial ekonominya Endi terbilang masuk kelas
menengah bawah.
Menurut Tarman (50) -salah seorang yang pernah didatangi dan didakwahi Endi- Endi
sebelum pengajian yang berlangsung di rumahnya mendata dulu semua anggota keluarga.
Sebab nantinya kalau ada kewajiban infaq semua keluarganya harus dikenakan
infaq/shadaqah. Dan shadaqah tersebut harus diserahkan kepada atasannya tidak.boleh
kepada yang lain. Pada awal pengajiannya dirasakan sangat bagus sekali menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an seperti yang tertuang dalam tafsir Departemen Agama. Dia mengajak gurunya
yang memperkenalkan dirinya dengan nama Susanto dengan alamat desa Kampung Sawah.
Namun ketika dicoba untuk ditelusuri di alamat yang dikenalkan ternyata nama tersebut tidak
dikenal masyarakat.
Pada pengajian yang kedua guru Susanto tidak datang lagi. Pengajian langsung
diberikan oleh Endi. Dalam pengajiannya sudah mulai terlihat “tidak bener”, menafsirkan ayat
sepertinya semaunya saja. Bahkan pernah mengatakan bahwa shalat itu kan jaman dulu,
jaman Nabi, sekarang tidak perlu lagi. Mendengar penjelasan tidak perlu shalat lagi, oleh
Tarman langsung minta pengajiannya dihentikan dan tidak boleh datang lagi.
Ada teman Tarman, Madi (bukan nama sebenarnya) diminta untuk terus mengikuti
pengajian kelompok mereka. Sampai suatu saat Madi diajak ke suatu tempat dan dalam
perjalanan matanya ditutup dengan kain hitam. Sampailah di sebuah tempat seperti hal/aula
yang kedap suara. Di situ Madi dibai’at dengan membayar Rp 60.000,- Namun setelah dibai’at
justru Tarman tidak mudah memperoleh informasi lanjutan bagaimana pengajian dan
hubungannya dengan kelompok tersebut. Menurut Tarman, Madi tampaknya telah masuk
dalam kelompok mereka. Dia merasa takut sebab dalam bai’atnya ada hal-hal yang tidak
boleh dilanggar.
Imah, seorang pembantu rumah tangga (PRT) di Cimanggis, Ciputat sekitar 3 tahun
yang lalu sering minta izin kepada majikannya untuk ikut pengajian. Dia diajak oleh teman
sesama PRT yang berasal dari daerah yang sama. Setelah beberapa kali mengikuti
pengajian, dia dibawa dengan diangkut bus dengan mata tertutup sampai ke suatu tempat
seperti aula yang lokasinya tidak tahu. Di tempat tersebut diberikan pengajian oleh beberapa
ustadz. Anehnya waktu Dzuhur pengajian terus berlangsung, sehingga para peserta tidak ada
yang shalat Dhuhur. Jumlah mereka sekitar 40 orang; ada yang sarjana, pegawai, pedagang,
anak sekolah dan tentunya sejumlah PRT. Mereka istirahat untuk makan siang untuk
kemudian melanjutkan pengajian sampai Maghrib. Artinya peserta juga tidak shalat Ashar.
Pengajian berakhir dengan acara bai’at dengan membayar sejumlah uang. Majikannya baru
mengerti mengapa pembantunya tidak pernah punya uang. Semua gajinya habis setiap bulan.
Bahkan sering pinjam ke orang lain atau ke majikannya untuk keperluan yang tidak jelas.
Menurut pengakuannya selama berada di tempat tersebut seperti disandera, tidak
dibolehkan keluar atau ditemui oleh orang lain. Imah dapat keluar setelah ditebus Rp
1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) oleh Ramli pacar dia yang akhirnya benar-benar
jadi suaminya.
Slamet, anggota jama’ah masjid Al Khasyi’un Cimanggis, Ciputat, berasal dari Klaten

Page 68
dengan latar belakang pendidikan tamatan SMU tinggal “di masjid”. Karena belum
memperoleh pekerjaan sementara nyambi kerja di bengkel service dinamo yang juga
pemiliknya sesama anggota jamaah masjid Al Khasyi’un. Dia diajak temannya mengikuti
pengajian yang gurunya belum dikenal dan teman-temannya juga belum dikenal. Setelah
beberapa kali mengikuti pengajian akhirnya dia dibawa ke suatu tempat, menurut
pengakuannya sepertinya di daerah Tanjung Priok. Pada malam harinya akan diadakan bai’at.
Namun sebelum di-bai’at masing-masing ditanyakan apakah ada di antara saudaranya atau
keluarganya yang berasal dari ABRI. Slamet menjawab bahwa bapak saya ABRI, maka dia
batal di-bai’at sementara teman-temannya melakukan bai’at. Slamet tidak dikenakan
kewajiban pembayaran bai’at. Berbeda dengan teman-ternannya yang di-bai’at, tentunya
dikenakan kewajiban shadaqah.
Endi juga pernah mengajak peneliti untuk hijrah dengan pembayaran yang relatif
murah Rp 500.000,-. Menurutnya sebelumnya shadaqah untuk hijrah pernah mencapai Rp
2.500.000,- kemudian turun menjadi Rp 2.000.000,- lalu Rp 1.500.000,- dan turun lagi menjadi
Rp 1.000.000,- sampai akhimya menjadi Rp 500.000,- . Namun dijawab peneliti masih merasa
belum perlu hijrah karena masih merasa belum mampu memenuhi persyaratan dan kewajiban
orang hijrah.
Dalam ketentuan Qanun Negara Islam Indonesia (NII) pembagian Infaq Negara dibagi berdasarkan
persentasi sebagai berikut:
1. Desa (mungkin mas’ul) ………............................................... 25%
2. K. Kt. (Komandemen Kecamatan) ...................................…... 20 %
3. K.K. (Komandemen Kabupaten) ……..................................... 15 %
4. K.D. (Komandemen Daerah) ……........................................... 15 %
5. K.W. (Komandemen Wilayah) …….........................................15 %
6. K.T. (KomandemenTertinggi).......………….............................10%
261
Pertanyaannya apakah seorang mas’ul memang semata-mata hanya mengumpulkan dan menyetor
dana, ataukah dia sendiri rnemperoleh bagian sebagai mas’ul. Kalau mas’ul memperoleh bagian, berapa
persen haknya. Apakah ketentuan Qanun masih berlaku dalam kelompok mereka? Dari penelusuran
lapangan sulit mencari informasi tersebut. Dan bila melihat kondisi sosial ekonominya Endi tidak
memperlihatkan gambaran “kemakmuran” sebagai mas’ul. Sebaliknya keadaan sosial ekonominya
menunjukkan “di bawah/kekurangan”. Terlihat dari rumah tempat tinggal kecil, semi darurat (yang sudah tua)
dengan perabot seadanya (perlu perbaikan) dan semuanya warisan orang tua.
262
B. Sumber Dana Ma’had Al-Zaytun
1. Dana Pendidkan Santri
Sebagai lembaga pendidikan, Ma’had Al-Zaytun memiliki aturan-aturan resmi dalam penggalangan
sumber dana pendidikan santri. Dari tahun ke tahun, uang pendidikan santri yang harus dibayar kepada
Ma’had Al-Zaytun berubah-ubah, dari mulai US$1500, US$2000, sampai US$3000.
Pada periode 2000 dana pendidikan santri scbesar US$ 1500. Untuk santri warga negara Indonesia
diberikan kurs Rp 6.000 per satu dolar.
263
Dana tersebut untuk pembayaran pengadaan berbagai peralatan
selama tinggal di Ma’had Al-Zaytun dan dana partisipasi untuk pembelian seekor lembu dan perwatannya.
Disamping itu terdapat dana pendaftaran (administrasi, pemeriksaan kesehatan dan tes Narkoba, potret
pelajar, dan pelaksanaan ujian penyaringan) berjumlah Rp 250.000 dan dana administrasi notaris berjumlah
Rp 50.000. Berarti dana pendidikan santri yang harus dikeluarkan dari mulai pendaftaran sampai menjadi
santri Ma’had Al-Zaytun adalah Rp 9.300.000 dengan rincian: 1) dana pendaftaran: Rp 250.000, 2) dana
administrasi notaris: Rp 50.000, 3) dana pengadaan berbagai peralatan: Rp 3.000.000, dan 4) dana
partisipasi pembelian lembu: Rp 6.000.000. Kalau dikalkulasikan antara dana pendidikan santri dengan
jumlah santri pada tahun 2000 sebesar 9.300.000 x 1.725 santri = Rp 16.042.500.000 (enam belas milyar
empat puluh dua juta lima ratus ribu).
Ma’had Al-Zaytun juga mempopulerkan amaliah selama shaum Ramadhan dengan istilah Harakah
Ramadhan sebagai cerminan positif keagungan amaliah Ramadhan dengan gerakan shadaqah dan
berzakat. Selama bulan Ramadhan sampai Iedul Fithri 1421 H saja terkumpul sebanyak Rp 5.040.496.010,-
(Lima milyar empat puluh juta empat ratus sembilan puluh enam ribu sepuluh rupiah). Jumlah tersebut
berasal dari kalangan pengurus yayasan, karyawan pembangunan, mudarris/murabbi serta santri sebanyak
261 Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, Fakta dan Data Sejarah Darul Islam, S.M. Kartosoewirjo,
(Jakarta: Darul, 1999), hal. 107
262 Orang yang mengaku sebagai korban NII umumnya keluar dari organisasi ini disebabkan persoalan ekonomi dan kewajiban
memenuhi setoran dana. Wawancara dengan 5 orang korban NII dan keluarga korban di Jakarta, tanggal 8 Desember 2003.
263 “Kekuatan Intelektual Indonesia Baru” disampaikan dalam Pidato Syaykh Ma’had pada pembukaan pembelajaran Ma’had Al-
Zaytun tahun ajaran 1421 H/2000 M, tarikh 29 Rabi’ul al-Awwal 1421 H/l Juli 2000 M, majalah Al-Zaytun, Edisi Juni-Juli 2000, hal.
24.

Page 69
Rp 592.188.000,- dan dari umat Islam yang berada di luar MAZ sebanyak Rp 4.448.308.010.
264
Diperkirakan
pemasukan Harakah Ramadhan pada tahun-tahun berikutnya juga tidak berbeda dengan yang diperoleh
tahun 1421 H.
2. Usaha Ma’had
Program utama YPI adalah pendidikan ekonomi atau ekonomi pendidikan. Oleh karena itu Ma’had
Al-Zaytun mengembangkan berbagai usaha perekonomian yang berfungsi sebagai jalur pemasukan dana.
Di Ma’had Al-Zaytun terdapat dua kantin besar yang mampu menampung lebih dari 500 pengunjung. Setiap
hari tidak kurang dari 2.000 orang makan di dua kantin tersebut. Setiap hari kantin Ma’had Al-Zaytun
memperoleh omzet tidak kurang dari. Rp 22 juta (dua puluh dua juta rupiah). Omzet meningkat pada hari
Sabtu dan Ahad, mencapai sekitar Rp 40 juta (empat puluh juta rupiah).
Selain kantin, tersedia dua wartel dengan 10 Kamar Bicara Umum (KBU). Setiap hari rata-rata
menghasilkan keuntungan Rp 15 juta (lima belas juta rupiah). Selain itu juga ada fasilitas laundry yang
setiap bulan menghasilkan keuntungan tidak kurang dari Rp 82.500.000,- (delapan puluh dua juta lima ratus
ribu rupiah). Masih ada lagi koperasi yang menyediakan hampir semua bahan kebutuhan pokok seperti
pakaian, makanan dan lain-lain. Omzetnya per hari tidak kurang dari Rp. 12.000.000,- (dua belas juta
rupiah).
Demikian pula penerbitan majalah bulanan Al-Zaytun dengan oplah 3.000 exemplar dijual dengan
harga Rp 20.000,- . Padahal biaya penerbitan semuanya sudah ditanggung oleh pemasang iklan (Bank CIC,
Semen Gresik, supplier dan sejumlah toko bahan bangunan). Dengan demikian setiap bulannya memberi
pemasukan dana sekitar Rp 60.000.000,-.
Barang atau makanan yang disediakan di Ma’had Al-Zaytun memang terkesan mahal. Menu makan
siang yang terdiri dari seporsi nasi, sepotong ayam goreng, semangkuk sayur, sekerat tempe dan sepotong
buah dihargai Rp 15.000,-. Padahal di tempat-tempat lain harga yang ditawarkan dengan menu seperti itu
paling mahal Rp 8.000,-. Demikian juga barang dagangan yang dijajakan di koperasi, rata-rata lebih mahal
Rp 1.000 - Rp 2.500. Harga yang serba mahal ini kemudian melahirkan sebutan bahwa Al Zaytun memang
komersial atau pesantren yang dikomersialkan.
Dari tempat parkir saja dari data yang ada pada bulan Februari 2000 dapat menghasilkan Rp
8.141.500,- Sedangkan dari penjualan/shadaqah samak dan tuyur berjumlah Rp 3.833.450.-.Shadaqah
samak adalah penjualan makanan ikan yang setiap bungkus (1 ons) dijual Rp 1.000,-. Shadaqah tuyur
adalah penjualan jagung makanan burung dara perbungkus 1 ons Rp 1.000,-
Ma’had Al-Zaytun juga mengelola Wisma Ishlah sebuah hotel berbintang dengan harga sewa kamar
mulai dari kelas standar Rp 250.000, Rp 400.000, sampai Rp 500.000 per malam. Ruang rapat juga
disewakan dengan tarif per hari Rp 4.500.000. Pada saat pendaftaran santri baru wisma Ishlah sudah penuh
di-booking para wali calon santri. Demikian pula menjelang libur tingkat hunian wisma Ishlah cukup tingi. Ada
kamar tertentu yang sering di-booking oleh pejabat atau mantan pejabat selama berkunjung ke Ma’had Al-
Zaytun dengan alasan menengok cucu yang belajar di Ma’had Al-Zaytun.
Harus diakui bahwa manajemen Ma’had Al-Zaytun dalam mengelola peluang pemasukan dana
termasuk berhasil baik seperti dalam penggalangan dana membangun Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin yang
biayanya mencapai 100 milyar, dapat diperoleh dalam waktu tidak terlalu lama. Bahkan ada seorang
dermawan dari Jakarta (yang tidak mau disebut namanya) datang memberikan sumbangan yang jumlahnya
cukup banyak, setelah mendengar rencana Ma’had Al-Zaytun membangun masjid tersebut.
Menanggapi tentang kesan di Ma’had Al-Zaytun serba uang, Syekh Ma’had dan para pembantunya
mengatakan bahwa seluruh shodaqoh (istilah yang sering dipakai untuk menggantikan konsep harga) yang
masuk akan dikembalikan lagi kepada para santri dalam bentuk pembangunan fasilitas belajar yang
menunjang proses pendidikan. Ini yang dimaksud dengan konsep pendidikan ekonomi dan ekonomi
pendidikan. Artinya, out put yang dihasilkan harus memiliki wawasan dan kemampuan ekonomi,
menciptakan lapangan kerja, bukan pencari pekerjaan. Sebaliknya bagaimana Ma’had Al-Zaytun
mengembangkan ekonomi yang dapat menunjang kemandirian ekonomi Ma’had Al-Zaytun. Di masa datang
sumber dana Ma’had Al-Zaytun semakin terbuka karena kepercayaan masyarakat semakin meningkat serta
dukungan ekonomi Ma’had Al-Zaytun sendiri akan semakin kuat (pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan produk teknologi tepat guna lainnya).
3. Tamu
Infaq dan shadaqah yang diperoleh dari para pengunjung selama periode 1 Juli 1999 s/d Juli 2003
berjumlah 687.796 orang terdiri dari 269.001 laki-laki, 327.150 perempuan dan 96.675 anak-anak. Besarnya
pemasukan infaq dan shadaqah secara rinci adalah:
- 1 Juli 1999 - 30 Juni 2000 ……................... berjumlah Rp 6.338.962.680,-
- 1 Juli 2000 - 30 Juni 2001 ................……... berjumlah Rp 15.242.769.829,-
264 Lihat Gerakan Ramadhan di Ma’had Al-Zaytun Peroleh lebih dari Rp 5 Milyar, Majalah Al-Zaytun Edisi 12 - 2000, hal.29.

Page 70
- 1 Juli 2001 - 30 Juni 2002 ..........……......... berjumlah Rp 18.570.463.920,-
- 1 Juli 2002 - 30 Juni 2003 ……................... berjumlah Rp 30.235.201.928,-
- Juli 2003 ................……………………….. berjumlah Rp 2.569.600.375,-
Jumlah keseluruhan ………..……........................…… Rp 72.951.025.702,-
(tujuh puluh dua milyar sembilan ratus lima puluh satu juta dua puluh lima rupiah tujuh ratus dua rupiah).
Atau rata-rata penerimaan infaq dan shadaqah per bulan hampir mcncapai Rp 1,5 milyar.
265
4. Donatur
Kepercayan masyarakat di berbagai daerah juga terlihat semakin meningkat, terlihat semakin
banyaknya pejabat pemerintah Pusat, perguruan tinggi, pemerintah daerah, DPRD, pengusaha, tokoh
pendidikan, pengurus pesantren berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun. Sebagian Pemda meminta Ma’had Al-
Zaytun membuka cabangnya di daerah mereka dengan menyediakan lahan untuk komplek pendidikan
Ma’had Al-Zaytun, misalnya, Pemda Kabupaten Bengkalis menyediakan 3.000 Ha di Pulau Rupat. Ma’had
Al-Zaytun juga memperoleh 200 Ha di Indramayu untuk membangun SD dan SLTP dengan kurikulum
Ma’had Al-Zaytun.
266
Pemda Pandeglang menyediakan seluas 60 Ha, Pemda Kabupaten Kapuas
mengisyaratkan penyediaan lahan tanah tidak ada masalah dan tidak ada batas.
267
Kepercayaan masyarakat yang semakin meningkat juga terlihat dengan sumbangan atau hibah dari
H. Probosutejo (76) tanah seluas 800 Ha (delapan ratus Ha) terlelak di daerah Cibinong Bogor 14 Km dari
Tol Cibubur. Menurut penuturan H. Probosutejo yang disampaikan dalam sambutannya di masjid Al Hayat
setelah shalat Jum’at, bahwa dirinya selama ini mengenal Ma’had Al-Zaytun dari cerita orang dan berita di
media masa. Sebagian memberitakan bahwa Ma’had Al-Zaytun adalah sebuah kampus pendidikan modern
yang. Lebih lanjut, ia berkata:
Namun setelah datang sendiri ke Ma’had Al-Zaytun dan sejak turun dari kendaraan saya
melihat gedung-gedung menjulang tinggi dan megah, lingkungan yang ditata apik, bersih dan
asri yang belum pernah saya lihat sebelumnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Setelah saya shalat berjamaah saya kagum para santri datang berduyun-duyun memenuhi
masjid, dan membentuk shaf secara teratur terkenang dengan suasana shalat di masjid
Nabawi Madinah. Berdasarkan apa yang saya lihat langsung di sini saya benar-benar yakin
bahwa Ma’had Al-Zaytun merupakan sistem pendidikan yang paling baik saat ini untuk
mempersiapkan SDM yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis sekarang.
268
Sebelumnya, di kalangan masyarakat ada yang menghubungkan kemungkinan dana Ma’had Al-
Zaytun bersumber dari donatur keluarga Cendana beserta sejumlah mantan pejabat di masa pemerintahan
Presiden Suharto. Hal tersebut dikaitkan dengan kunjungan Soedharmono (sesepuh Ma’had Al-Zaytun),
Ismail Saleh, Akbar Tanjung, Haryono Suyono, Harmoko, Abdul Gafur, Agung Laksono, Tuti Alawiyah, dll.
Ketika peletakkan pembangunan masjid Rahmatan Lil ‘Alamin, sejumlah kelompok pengajian telah
menyatakan kesediaan membantu dana sampai milyaran rupiah (hampir mencapai 100 milyar). Karenanya
tidak berlebihan bila ada yang melihatnya pengumpulan dana Ma’had Al-Zaytun sebagai benluk "money
laundry" dari sejumlah pejabat yang selama ini memperoleh atau menumpuk kekayaan dengan cara tidak
halal (korupsi) kemudian membersihknnnya dengan berbuat kebaikan (infaq, shodaqah, zakat dsb.) untuk
mencari bekal di akhirat. Pemberian nama Ma’had dengan Al-Zaytun sebagian orang kemudian
mengkaitkannya dengan masjid At-Tin yang ada di TMII yang dibangun oleh Keluarga Cendana. Mereka
mendasarkan kepada surat At-Tiin yang menyebutkan nama At-Tiin dan Al-Zaytun. Ketika ditanyakan
kepada SM apakah ada keterkaitan antara Ma’had Al-Zaytun dengan nama masjid At-Tiin di TMII? SM
hanya menjawab kalau mau mengait-kaitkan boleh-boleh saja. Apa susahnya sih, dan kalau ada yang tidak
mau mengaitkan juga ya tidak apa-apa. Soal nama saja kok diributkan, apalah artinya nama.
5. Luar Negeri
Adakah kemungkinan dana dari luar negeri. Syekh Ma’had menjawab: “ya ada juga. Sebab mereka
juga umat Islam dan kalau mau membantu kita, kita tidak pernah menolak.” Menurut Ustadz Ibrahim ada
beberapa orang kaya dari Timur Tengah datang ke Ma’had Al-Zaytun memberikan zakat dan infaqnya.
Bahkan dia menyebutkan salah seorang Imam Masjidil Haram datang sengaja untuk menyerahkan bantuan
tsb.
Diskripsi pendanaan Ma’had al-Zaytun menunjukkan bahwa berbagai sumber dana yang mengalir
hanya ada satu yang mengindikasikan berasal dari jalur “strukrural”, yang oleh penelitian MUI disebut
sebagai NII. Bagi Ma’had al-Zaytun jalur strukrural ini telah diformat baru dengan nama Yayasan Pesantren
265 Diangkat dari data rekapitulasi pemasukan infaq dan shadaqah Ma’had Al-Zaytun, tgl. 16 Januari 2003.
266 Diangkat dari sambutan Syekh Ma’had pada saat menerima H. Probosutejo di Masjid Al Hayat 16 Januari 2004.
267 Majalah Al-Zaytun No.20-2001, hal.95.
268 Pengamatan langsung ketika H. Probosutejo memberikan sambutan di masjid Al-Hayat setelah Jum’atan, tanggal 16 Januari
2004.

Page 71
Indonesia yang struktur kewilayahan dan kepengurusan mirip dengan struktur kepemimpinan NII.

Page 72
BAB VI
MA’HAD AL-ZAYTUN: METAMORFOSA SEBUAH
GERAKAN KEAGAMAAN
A. Kerangka Penafsiran
Bagi hermeneutika, metode penafsiran yang dipakai dalam riset ini, seluruh hasil temuan mulai dari
sejarah dan perkembangan peantren, doktrin dan ajaran, sistem pendidikan, dan sistem pendanaan
pesantren serta struktur fisik dan sosial di pesantren adalah teks. Semuanya bisa dicarikan artinya dan
ditemukan sistem maknanya. Pada bab ini, kitaakanmelihat “apa dan siapa” Al-Zaytun dari perspektif ilmu
sejarah, teori gerakan keagamaan (religious movement) dan teori ekonomi-politik dengan menggunakan
metode penafsiran hermeneutika tadi.
Dalam menafsirkan secara hermeneutik, setiap teks tidaklah dipandang sebagai hal yang berdiri
sendiri, melainkan dilihat dalam sebuah sistem yang utuh, sehingga diperoleh sistem makna. Visualisasi
strategi penafsiran yang akan dipakai terpampang dalam penampang 1 di bawah.
Penampang 1: Strategi Penafsiran Teks Ma’had Al-Zaytun
B. Ma’had Al-Zaytun Metamorfosis dari Institut Suffah-nya DI/TII
Ma’had Al-Zaytun tak bisa dilepaskan dari NII; bahkan dari DI/TII sebagai awalan dari NII. Dalam
Bab I sudah dipaparkan hubungan antara Ma’had dan NII. Ternyata sejak pendiriannya, Ma’had ini
diprakarsai oleh orang-orang NII, didanai dan dikerjakan pembangunannya oleh jamaan pengajian NII serta
pengelolanya juga adalah tokoh-tokoh NII. Begitu juga para santrinya sebagian dari anak-anak NII
disamping dari orang-orang luar NII.
Jika ditelusuri hingga ke awal adanya DI/TII dengan tokohnya Kartosoewirjo maka tak pelak bisa
dikatakan bahwa pembangunan Ma’had ini merupakan kelanjutan realisasi dari gagasan (ide) sang Imam
pertama DI. Sebagaimana ditunjukkan dalam Bab III, Kartosoewirjo bercita-cita mendirikan Negara Islam
Indonesia, (NII). Ia menilai pada umumnya masyarakat Indonesia belum mengenal Islam, sehingga sulit
mengajak manusia Indonesia untuk hijrah; hijrah dari “Mekah Indonesia” ke “Madinah Indonesia”, dalam
bentuk NII tersebut. Oleh karena itu terlebih dahulu masyarakat Indonesia harus dididik mengenai ke-
Islamannya. Kemudian, Kartosoewirjo mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Institut
Suffah. Lembaga inilah yang menjadi aset awal bagi terwujudnya Darul Islam atau Negara Islam Indonesia

Page 73
di kemudian hari. Sebagaimana sudah dipaparkan, dalam lembaga ini Kartosoewirjo terjun langsung
mendidik para siswa dengan metode pengajaran dan pendidikan yang pernah diterapkan HOS
Cokroaminoto, yakni para siswa di samping dibekali dengan pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan
agama Islam, juga dididik dalam bidang politik.
269
Ada dua target yang hendak dicapai melalui lembaga
pendidikan ini. Pertama, membentuk kader-kader militan (mujahid) yang kuat aqidah dan menguasai ilmu
agama Islam, sehingga akhirnya mampu menggerakkan jihad fi sabilillah untuk menumbangkan dominasi
penguasa zalim dalam rangka menegakkan daulah Islamiyah. Kedua, mengondisikan suatu masyarakat
yang Islami, mulai dari pengenalan dan penerapan nilai serta sistem hidup yang Islami bagi setiap pribadi,
dan penanaman ruh jihad. Sebab jihad merupakan tindak lanjut hijrah. Oleh sebab itu hijrah tidak dianggap
sah bila tidak diiringi dengan jihad.
270
Dengan mengembangkan sejarahnya sendiri, bahwa Ma’had Al-Zaytun didirikan atas hasil renungan
di Multzam oleh sekelompok tokoh NII serta hasil diskusi sekelompok mahasiswa ITB mengenai masa
depan ummat Islam, bisa jadi pembentukan wacana seperti itu dilakukan untuk menutupi kecurigaan
masyarakat mengenai hubungan Ma’had dengan NII. Tetapi dengan menelusuri sejarah gerakan NII yang
mengalami pasang naik dan pasang surut, juga dalam hal gagasan, doktrin, kontinuitas para tokohnya,
hingga berdirinya Ma’had, maka sukar dibantah jika Ma’had yang bercita-cita membentuk lulusannya yang
basthotan fil ilmi wal-jism ada keterkaitan dengan NII. Cita-cita Kartosoewirjo jelas terlihat dalam Ma’had Al-
Zaytun.
Dengan kata lain, pendirian Al-Zaytun di satu sisi merupakan kelanjutan ide DI/TII dalam
mewujudkan NII (perspektif historis), di sisi lain Ma’had ini juga merupakan salah satu instrumen gerakan
keagamaan dari NII (perspektif religious movement). Jadi dari segi kesejarahan ini, ada dua dimensi
DI/TII/NII sekaligus dalam Al-Zaytun: berlanjutnya ide pendirian NII (history of ide) dari DI/TII yang
merupakan bagian dari gerakan keagamaan (religous movement) orang-orang DI/TII menuju Madinah
Indonesia.
Dari perspektif kesejarahan, para pemrakarsa dan pelaksana Al-Zaytun merupakan penerus
gagasan Institut Suffah-nya DI/TII. Ternyata pemikiran untuk mewujudkan NII melalui jalur pendidikan Al-
Zaytun adalah kelanjutan dari history of thought, history of ideas, atau intellectual history tokoh-tokoh DI/TII
dalam hal ini Kartosoewirjo. Menyesuaikan dengan jamannya, memang pendirian Ma’had Al-Zaytun tidak
hanya dipengaruhi pemikiran Kartosoewirjo, melainkan juga dipengaruhi oleh pemikiran Syekh AS Panji
Gumilang dan teman-temannya. Jadi disamping memiliki aktualitasnya sendiri, kehadiran al-Zaytun memiliki
dimensi-dimensi pertama teks, yang terdiri dari (1) genesis pemikiran, (2) konsistensi pemikiran, (3) evolusi
pemikiran, (4) sistematika pemikiran, (5) perkembangan dan perubahan, (6) varian pemikiran, (7) komunikasi
pemikiran, dan (8) internal dialectics dan kesinambungan pemikiran, serta intertekstualitas yang
berhubungan dengan DI/TII/NII; Kedua, konteks yang terdiri dari; (1) konteks sejarah, (2) konteks politik, (3)
konteks budaya, dan (4) konteks social, yang melingkupi pergerakan DI/TII/NII. Ketiga, hubungan antara
teks dan masyarakat, yang meliputi pengaruh pemikiran, implementasi pemikiran, diseminasi pemikiran, dan
sosialisasi pemikiran yang dilakukan NII, seperti pengajian, tilawah, dan sebagainya. Seperti sudah
dijelaskan, sejarah ide Ma’had Al-Zaytun dipengaruhi oleh Mabdaust Tsalasah-nya Muhammad Karim
Hasan dan tentu saja ideologi Kartosoewirjo dimana pemikiran Kartosoewirjo terpengaruh oleh HOS
Cokroaminoto. Selanjutnya, Cokroaminoto terpengaruh oleh pemikiran kaum pembaharu termasuk
Ahmadiyah. Dengan demikian terlihat bahwa Al-Zaytun adalah sebuah gerakan keagamaan yang
merupakan kelanjutan dari gerakan keagamaan sebelumnya, dalam hal ini DI/TII/NII. Sedangkan DI/TII/NII
juga merupakan hasil dari sebuah pemikiran berkaitan antara modernisme dan sekaligus fundamentalisme.
C. Ma’had Al-Zaytun: Bukan Sekedar Metamorfosis, Sebuah Tinjauan Ekonomi-Politik.
Sejak awal pendiriannya, seperti sudah diuraikan, pengembangan Al-Zaytun adalah sebuah bentuk
metamorfosa gerakan ideologis DI/TII dengan Institut Suffah-nya NII KWIX (selanjutnya disebut NII saja).
Dengan mengadopsi sistem pendidikan tersebut sebagai bagian dari gerakan keagamaan mereka, Al-
Zaytun kini berkembang dengan pesat. Agak berbeda sedikit dengan alasan Kartosoewirjo yang mendirikan
lembaga pendidikan dalam rangka penyiapan masyarakat untuk NII, maka pendirian Al-Zaytun di satu sisi
merupakan respon terhadap keadaan politik Indonesia dan di sisi lain tetap rnelanjutkan cita-cita Institut
Suffah. Berkenaan dengan respon politik, diakui para tokohnya, diantaranya oleh Ules Suja’i, salah seorang
penasehat Al-Zaytun sekaligus penasehat NII, yang mengatakan bahwa “pendidikan” menjadi pilihan
gerakan NII yang berkata:
.....bagi saya masalah NII sudah tidak menjadi bahan pembicaraanlah, dan sekarang
ini mah masalah pendidikan saja itu yang sekarang dipentingkan gitu, sebab dari dulu kalau
menurut analisa saya perjuangan kita yang begini ini memang karena kurang keilmuan
termasuk orang yang memegang peran. Sekarang ada teman yang benar-benar di situ
269 Suroso Abdul Salam, Op.cit., hal. 45.
270 Melihat model pendidikan di Ma’had Al-Zaytun, boleh jadi pendirian perguruan ini terinspirasi oleh model pendidikan Institut
Suffah-nya Kartosoewirjo; atau mereka mencoba back to basic method dalam mengoperasikan gerakannya. Bandingkan juga antara
target pendidikan di Institut Suffah di atas dengan tujuan pendidikan Ma’had Al-Zaytun yang bisa disimpulkan dari semboyannya
“Bashthotan fil ilmi wal jismi”.

Page 74
perjuangannya masalah pendidikan dan pembinaan maka saya sangat setuju sekali.
Walaupun ini makan waktu panjang, memang keadaan umat Islam masih begini sih.....kita
merasakan, yang kedua memang kelemahan, coba pak Adah sendiri bilang, kita sejak 1962
kita berdakwah hasilnya malah pecah-pecah, itu menunjukkan kita tidak mampu, kan. Jadi
perjuangan harus ada regenerasi. Lalu sekarang robah strateginya dari strategi revolusi
kepada strategi seperti semboyan yang ada di Zaytun yaitu “Pusat Pendidikan dan
Pengembangan Budaya Toleransi dan Budaya Perdamaian” robah yang seperti itu bisa
saja.
271
Jelas, dari sejarah pendirian ini bahwa semangat ideologis NII tidak hilang dengan berdirinya
Ma’had Al-Zaytun, malah bisa ditafsirkan sebagai cara rnengejawantahkan cita-cita NII dengan cara yang
lebih terbuka. Hambatan demi hambatan yang dialami gerakan ini membuat beberapa tokohnya memilih
melakukan modifikasi gerakan dalam bentuk pesantren. Bahkan pilihan atas bentuk pesantren itu sendiri tak
lepas dari gagasan awal berdirinya Institut Suffah. Untuk jelasnya kita bisa perbandingkan antara ide
Kartosoewirjo dan pandangan AS Panji Gumilang, tokoh dan pemimpin Ma’had Al-Zaytun.
Institut Suffah disusun menurut sistem pesantren dan sekolah yang menghasilkan hubungan
sangat erat dan akrab antara guru dan murid. Guru di samping sebagai pendidik dan pengajar, juga
berfungsi sebagai teladan bagi para siswanya di dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
sehari-hari, sekaligus sebagai pemimpin dan pembimbing untuk membawa siswanya ke arah tujuan yang
dicita-citakan. Siswa lembaga pendidikan ini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Priangan,
Banten, Wonorejo, Cirebon, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. S.M. Kartosoewirjo, di samping berperan
sebagai pimpinan lembaga, juga melakukan sendiri tugas mengajarkan ilmu tauhid yang dijadikan dasar
segala aktivitas dan perjuangan.
272
Sementara A.S. Panji Gumilang, pemimpin, Syekh Mahad Al-Zaytun ketika meresmikan berdirinya
ma’had berkata:
Mengapa pendidikan yang ditempuh berbentuk pesantren (ma'had)?,
menurut
pemahaman kami, kehidupan pesantren merupakan suatu lembaga (embrio) kehidupan
masyarakat yang dapat mewujudkan kebersamaan, keterbukaan, kebebasan, tolong
monolong, saling hormat menghormati, yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan berjiwa
mandiri. Sebab kehidupan pesantren (ma'had) yang selalu mencontoh dan dicontohi oleh
kehidupan para pembimbing dan kyai dengan contoh yang baik yang tak henti-hentinya.
Sehingga akan menimbulkan suatu kebiasaan positif yang tak henti-hentinya dilaksanakan di
perkampungan (ma'had) tersebut.
273
Dari dua pandangan itu tampak bahwa keduanya sangat berdekatan, mirip satu sama lain. Tentu
saja, pendapat yang terakhir, dari teori sejarah ide, tak bisa dilepaskan dari pemikiran pendahulunya
(Kartosoewirjo). Dengan kata lain, bukan hal baru jika Ma’had Al-Zaytun dibuka dan memakai sistem
pesantren. Sama saja dengan Kartosoewirjo yang terjun langsung mengelola Institut Suffah, maka demikian
pula dengan AS Panji Gumilang yang mengontrol Al-Zaytun. Kalau kita berada di kompleks Al-Zaytun akan
tampak bahwa segala aktivitas yang terjadi di sana pasti diketahui oleh Syekh.
Demikian pula dalam hal tujuan yang dicapai oleh kedua lembaga pendidikan ini. Institut Suffah
bertujuan membentuk generasi muslim yang cerdas otaknya dan kuat ototnya; sementara cita-cita manusia
muslim yang ingin dibentuk oleh Al-Zaytun terangkum dalam konsep basthotan fil’ilmi wal jismi yang pada
prinsipnya sama dengan cita-cita Institut Suffah. Sama dengan DI/TII, orientasi pembentukan negara Islam
harus melalui tahap penyiapan sumberdaya manusia yang memadai. Landasan menciptakan SDM yang
mumpunyai jiwa dan raganya (basthotan fil ‘ilmi wal jismi) merupakan jembatan menuju terciptanya negara
versi NII.
Namun begitu, di Al-Zaytun bukan berarti segala sesuatunya dilaksanakan dengan gratis.
Manajemen ma’had justru dikelola secara profesional. Di sini, nilai guna pendidikan beserta cita-cita NII di
dalamnya dikomodifikasi menjadi nilai tukar. Untuk masuk ke perguruan ini setiap peserta didik harus
membayar dengan harga yang cukup mahal. Bahkan tetamu umum yang menginap di kompleks pendidikan
ini mesti membayar penginapan yang telah tersedia, berupa wisma atau hotel; membayar parkir bagi yang
berkendaraan, dan membeli makan sendiri di kantin umum atau restoran hotel.
Tak ada yang gratis di lembaga pendidikan ini. Bukan hanya murid yang harus bayar, tetapi juga
karyawan (muwadhof) memberi sumbangan yang berarti terhadap pengembangan ma’had ini. Memang tidak
bersifat langsung materi, tetapi berupa pengabdian yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang
diberikan oleh pimpinan ma’had mengenai apa dan siapa Al-Zaytun itu, doktrin yang diambil dari ajaran NII
sendiri, yang jika ditelisik ke belakang adalah warisan dari doktrin DI/TII. Manajemen Al-Zaytun merupakan
penjabaran tiga prinsip menjadi world of view NII: rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah. Rububiyah adalah
271 Wawancara Umar Abduh dengan Ules Suja’i, dalam Pesatren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII,
Jakarta: Darul Falah, 2001, hal. 48.
272 Suroso Abdul Salam, op. cit., hal. 46.
273 Lihat pidato AS Panji Gumilang pada peresmian Mahad Al-Zaytun, dalam Majalah Al-Zaytun Edisi perdana Januari 2002, hal
54-55.

Page 75
undang-undang (hukum Islam), mulkiyah adalah tempat berlakunya undang-undang tersebut (negara Islam),
dan uluhiyah sebagai warga negara (umat Islam warga NII). Dengan doktrin ini para pemimpin ma’had
menuntut loyalitas penuh (sami’na wa atho’na) dari seluruh karyawannya.
Dalam situasi demikian itulah berlangsung proses spatialisasi dimana pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan di Ma’had mengontrol ruang dan waktu. Tak boleh ada waktu dan ruang yang dikendalikan oleh
pihak lain. Tak boleh ada dualisme dan oposisi. Penguasaan atas ruang dan waktu secara sentralistik
merupakan ciri dasar dari ma’had di sini. Hal ini antara lain tampak dari proses hingga dikeluarkannya dekrit
pembubaran “tentara” dalam “negara” Ma’had Al-Zaytun. Dalam peristiwa ini juga (lihat kembali Bab II) kita
menemukan bahwa pengendali utama dalam proses spatialisasi ini adalah A.S. Panji Gumilang. Termasuk
ke dalam proses spatialisasi ini adalah program “qobliyah jum’at” dimana Syekh Ma’had, A.S. Panji
Gumilang, mengevaluasi seluruh kegiatan ma’had selama satu Jum’at.
Proses spatialisasi ini selanjutnya dapat dilacak dalam pembukaan jaringan ma’had baik internal
jaringan NII maupun ke pihak-pihak eksternal dari perorangan/lembaga pemerintah dan swasta yang
bersimpati pada Al-Zaytun. Jaringan ini diberdayakan untuk menopang kehidupan ekonomi-politik Al-Zaytun.
Walaupun Ma’had ini berada di daerah yang relatif jauh dari pusat kota, jarak dan waktu bukan masalah
baginya untuk membuat pengelola Ma’had mengembangkan jaringan. Keduanya, waktu dan jarak dicoba
diatasi dengan instrumen doktrin bagi kalangan sendiri NII dan pengembangan persahabatan dan
perdamaian untuk kalangan luar NII.
Dan jika Al-Zaytun itu merupakan satu bentuk tahapan metamorfosa menuju NII, maka spatialisasi
juga tampak dari perekrutan karyawan Al-Zaytun yang tak lepas dari perekrutan anggota NII di berbagai
daerah. Dengan doktrin tazkiyah dan bai’ah NII merekrut anggotanya, untuk selanjutnya mereka akan
memberi dukungan moral dan material bagi ma’had.
Seperti sudah diperlihatkan, bahwa manajemen Ma’had itu merupakan pengejawantahan “kerajaan
ilahi” di muka bumi. Dengan demikian berarti terjadi strukturasi yang berisi pengaturan wewenang (otoritas)
dan pembagian kelompok sosial (class). Begitulah, dalam Al-Zaytun, di satu pihak ada pemusatan
kekuasaan di tangan Syekh -apalagi setelah pembubaran GM dan Tibmara- dan di pihak lain ada
pembagian kelas sosial ke dalam elit (imam dan para stafnya) dan karyawan dimana yang kedua selalu
harus patuh tak boleh membangkang kepada yang kedua. Sebagaimana sudah disebutkan juga, doktrin
bai’ah dan tazkiyah memperkuat sistem strukturasi ini.
Alhasil, ditinjau dari pendekatan ekonomi politik, Ma’had Al-Zaytun memiliki “kesempurnaan” dalam
mengembangkan ideologi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi. Komodifikasi pendidikannya ditopang oleh
spatialisasi jaringan yang dimilikinya dan dijalankan dengan strukturasi yang mantap berkat doktrin-doktrin
NII yang dikembangkannya.
D. Menerka Masa Depan Hasil Metamorfosa
Sudah menjadi dalil, setiap obyek yang mengalami metamorfosis akan menemukan bentuk
akhirnya. Seperti apakah kelak bentuk akhir metamorfosis dari Al-Zaytun? Sebagai lembaga pendidikan, Al-
Zaytun tampaknya akan terus menjadi lembaga pendidikan selamanya, karena hal itu merupakan amanat
sejarah DI/TII melalui Institut Suffah-nya. Metamorfosis yang terjadi dari gerakan bawah tanah NII menjadi
lembaga pendidikan sesungguhnya tak mengubah struktur dalam (deep structure) gerakan tersebut. Dapat
dilihat dalam struktur pengelola Al-Zaytun, bisa dikatakan seluruhnya adalah orang NII, dari pengurus teras
hingga muwadhof. Sebagian santrinya juga adalah berasal dari kalangan NII.
Begitu pula dalam hal doktrin dan sistem pengelolaan Ma’had yang memakai manajemen uluhiah,
penggunaan simbol-simbol “modern” tentang pesantren seperti pusat perdamaian, dan sebagainya hanyalah
bentuk adaptasi terhadap perkembangan jaman. Semangat utamanya mengemban ‘amanah sejarah’
perjuangan DI/TII tampaknya akan terus berlanjut. Al-Zaytun -seperti Institut Suffah- merupakan intrumen
penting untuk mencapai cita-cita NII, di satu pihak; dan di sisi lain merupakan tempat hidupnya orang NII
-paling tidak dari KW9- dengan berbagai macam proyek pembangunan dan jaringan pendanaannya.

Page 76
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
N. Mahad Al-Zaytun adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh para tokohnya
berdasarkan pemikiran ulang terhadap eksistensi sebuah gerakan keagamaan yang mereka
lakukan, yaitu NII KW-9. Menurut mereka gerakan bawah tanah yang mereka lakukan selama ini
ternyata tidak memungkinkan terwujudnya cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Setelah melalui diskusi panjang yang berakhir di Multazam, mereka berkesimpulan tentang
perlunya pengembangan lembaga pendidikan untuk menopang terwujudnya masyarakat Islam
di Indonesia. Untuk itu mereka mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YPI) yang salah satu
kegiatannya adalah mengembangkan Ma’had Al-Zaytun.
O. Di Mahad Al-Zaytun berlaku prinsip manajemen Mabadiuts Tsalasah, yang pada awalnya
konsep ini merupakan doktrin gerakan di NII. Dengan kata lain, dari segi doktrin yang
digunakan, terdapat hubungan yang erat antara Ma’had Al-Zaytun dan NII. Hubungan antara
keduanya juga dapat dilihat dari penggunaan konsep “basthotan fil ilmi wal jismi” di Ma’had Al-
Zaytun dalam membina anak didik Ma’had Al-Zaytun yang dalam sejarah NII, tepatnya DI/TII,
sebetulnya sempat dipakai oleh Institut Suffah-nya Kartosuwirjo, Imam Pertama DI/TII.
Sementara hubungan antara Ma’had Al-Zaytun dan NII dewasa ini terlihat dari dipakainya
jaringan NII untuk menopang lembaga pendidikan Ma’had Al-Zaytun baik dalam rangka
perekrutan sebagian pengurus, santri, pegawai, dan dana.
P. Di Ma’had Al-Zaytun, Islam dipandang sebagai way of life dan sekaligus harus terwujud dalam
kehidupan yang nyata. Sebagai realisasinya di lingkungan Ma’had Al-Zaytun berlaku aturan
bahwa semua warga harus menjadi “satu umat” sebagai jamaah yang dikontrol sepenuhnya
oleh Imam yaitu Syekh Ma’had. Namun demikian dalam tataran simbolik way of life NII tersebut
tidak ditampilkan secara terbuka di Ma’had Al-Zaytun oleh karena simbol-simbol NKRI, seperti
bendera merah putih, nama gedung/asrama, pemakaian kurikulum Diknas dan Depag, bukan
saja dipakai tapi bisa dikatakan dominan dalam lingkungan Ma’had Al-Zaytun.
Q. Ma’had Al-Zaytun menggunakan dana dari jaringan NII, baik dana awal maupun sumber
pendanaan setelah Ma’had Al-Zaytun berdiri. Mereka menggunakan jaringan struktur teritorial
NII KW-9 dalam pengumpulan dananya.
R. Meskipun ada hubungan historis, kepemimpinan, ajaran, dan pendanaan antara Ma’had Al-
Zaytun dan NII KW-9, ternyata dalam prakteknya gerakan yang dilakukan oleh NII KW-9 yang
bersifat fisik revolusioner tidak terlihat di Ma’had Al-Zaytun. Gerakan utama di Ma’had Al-Zaytun
adalah melalui pendidikan.
S. Munculnya wacana pro dan kontra Ma’had Al-Zaytun berasal dari wacana yang diangkat oleh
sekolompok orang yang pernah dan bahkan sampai sekarang masih aktif di NII seperti Al
Chaidar dan Amin Jamaluddin, atau orang yang pernah berteman dengan anggota-anggota NII
seperti Umar Abduh. Wacana yang diangkat adalah gerakan sesat yang oleh mereka
dialamatkan kepada Ma’had Al-Zaytun. Selanjutnya, wacana gerakan sesat itu menjadi publik
opini, salah satunya lewat media massa, di kalangan masyarakat. Wacana ini bisa dilihat tidak
lebih dari sebagai rule playing (permainan di antara mereka).
T. Hasil dari sebuah strategi perjuangan pendidikan itu, lewat Ma’had Al-Zaytun, baru dapat dilihat
setelah berlangsung selama satu generasi. Sebab sebuah gerakan meminta waktu yang
panjang untuk menuai hasil.
B. Rekomendasi
D. Proses metamorfosis yang dilakukan Ma’had Al-Zaytun perlu mendapat dorongan guna
penguatan sistem pendidikan di Indonesia.
E. Unsur-unsur yang kontra produktif terhadap proses demokratisasi dan wawasan kebangsaan
harus dihilangkan dari proses belajar mengajar di Ma’had Al-Zaytun.
F. MAZ sebagai center of excellent dan keberadaan Ma’had Asas Al-Zaytun di berbagai daerah
sebagai pheriperal adalah sama dengan konsep kejamaahan. Oleh karenanya dengan

Page 77
keberadaan Ma’had Asas tersebut masyarakat diharapkan melakukan penelitian-penelitian
lanjutan terhadap Ma’had Asas tersebut.

Page 78
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Salam, Suroso, NII Dalam Timbangan Aqidah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000).
Abduh, Umar, Pesantren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek Dalam Gerakan NII, Jakarta: Darul
Falah, 2001.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, Fakta dan Data Sejarah Darul Islam,
S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
__________ Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII
Pasca S.M. Kartosuwirjo, Jakarta: Madani Press, 2000.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Al Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari’ah, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah
al-Arabiyah, 1996).
Al-Mahmudi, Abdurrahman ibn Shalih, Al Qadha' wa al-Qadar fi Dhau’ al Kitab wa al-Sunnah, (Riyadh: Dar
an-Nasr al-Dauli, 1414 H).
Asy’ari, Musa, “Pengantar” dalam Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2002).
Audah, Abd. al-Qadir, Al-Islam wa Audha’una al-Siyasah, (Kairo: al-Mukhtar al-Islam, 1978).
Azra, Azyumardi, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 1999.
Beckford, James A. (ed.), New Religious Movement and Rapid Social Chane, London: SAGE Publications
Inc, 1986.
Collingwood, R.G., The Idea of History, USA: Oxford University Press, 1976.
De Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram,
(Jakarta: Grafiti Pers, 1985).
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
Dijk, C. Van, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983).
Effendy, Bahtiar, “Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan Yang Memungkinkan Antara Doktrin dan
Kenyataan Empirik,” M. Din Syamsuddin,
Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001).
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986).
Hasan, Abdul Karim, Kitab al-Mabadi al-Tsalatsah, tanpa tahun dan penerbit.
Hefner, Robert W., “Bangkitnya Kelas Menengah Muslim, Islamisasi danDemokrasi,” Moeflich Hasbullah
(ed.), Asia Tenggara Konsentrasi Baru Kebangkitan Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2003).
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001).
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
Jamaluddin, M. Amin, Penyimpangan & Kesesatan Ma’had Al-Zaytun (tanggapan terhadap Majalah Al-
Zaytun), Jakarta: Lembaga Penelitian & Pengkajian Islam, 2001.
______ , Bunker Al-Zaytun: Fakta Kesesatan Tafsir NII Panji Gumilang, (Jakarta: Darul Falah, 2002).
Johns, A., “Tentang Kaum Mistik Islam dan Penulisan Sejarah”, Taufik Abdullah (ed.), Sejarah dan
Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Kartosoewirjo, SM, Daftar Oesaha Hijrah PSII, (Malangbong: Pustaka Darul Islam, 1948).
Lev, Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-
lembaga Hukum, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1986.
Madjid, Nurcholish, “Masalah Ta’wil sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an”, dalam Budhy Munawar-
Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
McQuail, Denis, Mass Communication Theory, An Introduction, London: Sage Publication, 1983.
M.D, Mansor, dkk, Sedjarah Minangkaban, Jakarta: Bhratara, 1970.
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London: Sage Publication, 1996.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1988.
Parlindungan, Mangaraja Onggang, Tuanku Rao: Teror Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833,
Jakarta: Tandjung Pengharap, 1964.
Priyono, Herry B., Antony Giddens: Suatu Pengantar, Jakarta: KPG, 2002.
Quraish Shihab, M., “Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-Fakta Aktual”, dalam Budhy Munawar-
Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
________ , Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997).
Qardhawi, Yusuf al, Al-Siyasal al-Syar’iyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998).
Santasombat, Yos, “Sejarah Lisan dan Potret Diri: Mewawancarai Elite Thai”, dalam Sejarah Lisan Studi

Page 79
Asia Tenggnra: Teori dan Metode, (Jakarta: LP3ES, 2000).
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat
Jati, Jakarta: UI-Press, 1988.
Syamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Repuiblik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1990).
Stark, Rodney and William Sims Bainbridge, A Theory of Religion, New Brunswick, New Jersey: Rutgers
University Press, 1996.
Teba, Sudirman, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Tholkhah, Imam dan Choirul Fuad Yusuf (ed.), Ma’had Al-Zaytun di Indramayu, Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
Voll, John. O., “Fundamentalism in the Sunni Arab World: Egypt and the Sudan”,
Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed, Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1991.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, (Mesir: Darul Fikr al Arabi, 1994).
Artikel dan Dokumen
Abdullah, Taufiq “Pema’naan Takbir”, Majalah Al-Zaytun, edisi 12, Tahun 2000.
Akte Pendirian Yayasan Pesantren Indonesia yang dikeluarkan oleh Notaris Ii Rokayah Sulaeman, SH di
Subang, tanggal 25 Januari 1994, No. 61.
Akte Pendirian Cabang Indramayu Yayasan Pesantren Indonesia yang dikeluarkan oleh Notaris Ii Rokayah
Sulaeman, SH di Subang, tanggal 17 Mei 1995, No.34.
Alamsyah, Firman, “Memanfaatkan Moment Ied di Tahun 2000”, Majalah Al-Zaytun, edisi III Maret 2000.
Catatan materi tilawah pengikut pengajian NII/NKA.
Dokumen tentang daftar nama-nama pimpinan teras jaringan organisasi A.S Panji Gumilang.
“Gerakan Ramadlan di Ma’had Al-Zaytun Peroleh Lebih dari Rp 5 Milyar”,Majalah Al-Zaytun, edisi 12 tahun
2000.
Ikrar Bersama para anggota NII yang ditandatangani di Bandung tanggal 1 Agustus 1962.
Laporan Fatwa FUU dan Resume Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) Forum Ulama Ummat Islam (FUUI),
DzulQo'dah-Februari, 1422-2002.
Panji Gumilang, A.S., “Pidato Syaykh Al-Ma’had Pada Peresmian Ma’had Al-Zaytun, Tarikh 16 Jumada al-
Ula 1420 H/27 Agustus 1999M”, Majalah Al-Zaytun, Edisi Perdana Januari 2000.
-------, “Mengatasi Keterasingan dan Kemiskinan” disampaikan dalam Pidato Syaykh Ma’had Al-Zaytun pada
awal perkuliahan Mahasiswa Program Pendidikan Pertanian Terpadu pada 1 Februari 2000, Majalnh Al-
Zaytun,Edisi II, Februari 2000.
-------, “Kekuatan Intelektual Indonesia Baru” disampaikan dalam Pidato Syaykh Ma’had pada pembukaan
pembelajaran Ma’had Al-Zaytun tahun ajaran 1421 H/2000 M, tarikh 29 Rabi’ul al-Awwal 1421 H/1 juli 2000
M, Majalah Al-Zaytun, Edisi Juni-Juli 2000.
-------, “Khutbah Ied Al-Fithri Syaykh Ma’had Al-Zaytun 1 Syawwal 1420 H/ 8 Januari 2000 M, Majalah Al-
Zaytun, No. 12, 2000.
-------, “Pidato Syaykh Al-Ma’had pada kunjungan Tim Komisi VII DPR-RI, Oktober 1999 (tanpa teks)”
disarikan oleh ‘Alim Al-Shiddiqie dengan judul “Pesantren Mempertahankan Eksistensi Indonesia”, Majalah
Al-Zaytun, Edisi 15 -2001.
-------, “Pidato Syaykh Al-Ma’had pada 1 Muharram 1422 H” (tanpa teks), ditranskrip dengan judul “Pidato
dan Perintah Umum Syaykh Al-Ma’had A.S. Panji Gumilang,” Majalah Al-Zaytun, Edisi 15 - 2001.
-------, “Sambutan Syaykh Al-Ma’had dalam peresmian Semesta Ma’had Al-Zaytun 7 Januari 2001 (12
Syawwal 1421 H) di lapangan olahraga Palagan Agung Ma’had Al-Zaytun”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 16 -
2001.
-------, “Pidato Syaykh Al-Ma’had dalam Seminar Nasional Masyarakat Madani 19 Mei 2001 (tanpa teks) di
gedung Tan Sri Dato' Ismail Hussein, Ma’had Al-Zaytun”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 17 - 2001.
-------
r
“Sambutan Syaykh al-Ma’had dalam pemancangan kolom pembelajaran Ali Ibnu Abu Thalib, 17
Agustus 2001” disarikan dengan judul “Konsep Utama Indonesia Bangkit: Pendidikan”, Majalah Al-Zaytun,
Edisi 18 -2001.
-------, “Dzikir Jum'at Syaykh al-Ma’had pada 14 September 2001”, disarikan dengan judul “Generasi Arogan
Versus Generasi Ishlah”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 18-2001.
-------, “Menggali Potensi Syariaat Zakat” disampaikan dalam Khutbah Ied Al-Fithri Syaykh Ma’had Al-Zaytun
1 Syawwal 1422 H dalam Majalah Al-Zaytun, No. 20- 2001.
-------, “Berqurban Agar Tetap 'To Come into Exist”, disampaikan dalam Khutbah Ied Al-Adlha 1422 H/2002
M di Ma’had Al-Zaytun pada tarikh 10 Dzu al-Hijjah 1422 H/22 Februari 2002 M, Majalah Al-Zaytun, No. 22-
2002.
-------, “Abad XV Hijrah Merupakan Abad Kebangkitan Islam?” disampaikan pada pidato sambutan Syaykh
Al-Ma’had pada 1 Muharram 1423 H (14 Maret 2002 M) di Ma’had Al-Zaytun, Majalah Al-Zaytun, Edisi 22 –
2002.
-------, “Taushiyah Syaykh Al-Ma’had bagi seluruh Muwadhaf Ma’had Al-Zaytun di Gedung Al-Akbar pada 10
Muharram 1423 H/23 Maret 2002 (tanpa teks)”, ditranskrip dengan judul “Mempersiapkan Keseimbangan

Page 80
Intelektual Utara dan Selatan”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 23 - 2002.
-------, “Taushiyah Syaykh Al-Ma’had pada Penutupan Irsyad Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T)
Angkatan V tanggal 30 Mei 2002 di gedung Tan Sri Dato' Ismail Hussein Ma’had Al-Zaytun (tanpa teks)”,
ditranskrip dengan judul “Paradigma Petani dan Pertanian Berkualitas”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 24 - 2002.
-------, “Harapan dan Prospek Perubahan dari IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif
Hidayatullah Jakarta”, disampaikan dalam sarasehan Ikatan Alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal
5 Juni 2002 di Kampus IAIN Jakarta, Majalah Al-Zaytun, Edisi 24 - 2002.
-------, “Taushiyah Syaykh Al-Mahad pada Qabliyah Jum’at, 18 Oktober 2002, (tanpa teks)”, ditranskrip
dengan judul “Pangan Aktual Belajar dari India”, Majalah Al-Zaytun, Edisi 27 - 2002.
-------, “Indonesia Segera Masuk Agenda Sistem Internasional Globalisasi” disampaikan dalam Khutbah Ied
Al-Fithri Syaykh Ma’had Al-Zaytun 1 Syawwal 1423 H/5 Desember 2002 M, Majalah Al-Zaytun, No. 28-
2003.
-----, “Abad XV Hijrah Merupakan Abad Pengorbanan Menuju Kebangkitan Kembali Islam”, disampaikan
pada pidato sambutan peringatan 1 Muharram 1424 H/4 Maret 2003 M, Majalah Al-Zaytun, Edisi 29 - 2003.
-------, “Urgensi Wawasan Antar Bangsa Dalam RUU Sisdiknas”, diolah dari presentasi Syaykh A.S. Panji
Gumilang pada diskusi publik monyambut UU Sistem Pendidikan Nasional di Auditorium UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 26 April 2003, Majalah Al-Zaytun, Edisi 30 - 2003.
-------, “Mendidik Bangsa Dengan Pers”, diolah dari sambutan Syaykh A.S. Panji Gumilang kepada 40
wartawan Majalah GARDA, 31 Mei 2003 di Wisma Tamu Al-Ishlah Ma’had Al-Zaytun, Majalah Al-Zaytun,
Edisi 31 - 2003.
-------, “La Takdzib, Jangan Dusta”, disarikan dari Taushiyah Syaykh A.S. Panji Gumilang pada Qabliyah
Jum’at, 8 Agustus 2003, Majalah Al-Zaytun, Edisi 32-2003.
-------, “No Terorisme”, disarikan dari Taushiyah Syaykh A.S. Panji Gumilang pada Zikir Jum’at, 8 Agustus
2003, Majalah Al-Zaytun, Edisi 32 - 2003.
-------, “Pendidikan Merupakan Jalan Utama Bagi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia”, disampaikan pada
pidato penganugerahan Doctor of Management in Education and Human Resources Development dari
Internasional Management Centres Association (IMCA) Buckingham, United Kingdom & Revans University,
The University of Action Learning At Boulder Colorado, United States of America, tanggal 24 Mei 2003 M/23
Rabi' al-Awwal 1424 H.
“Peningkatan Hubungan Internasional”, Ma’had Al-Zaytun, Juni-Juli 2000.
Pernyataan Sikap Bersama Badan Perwakilan Desa (BPD) Suka Slamet, Mekarjaya tentang Keberadaan
Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) Ma’had Al-Zaytun, 2001.
Rendra, Syamsi, “Mengambil Hikmah Bulan Ramadlan”, Majalah Al-Zaytun, edisi 11, tahun 2000.
Risalah Rapat Yayasan Pesantren Indonesia, tanggal 13 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh Notaris Ii
Rokayah Sulaeman, SH.
Salinan Lembaran Ma’had Al-Zaytun Nomor: 01 (Ma’lumat Tahun Pembelajaran Pertama), Majalah Al-
Zaytun, Edisi II, Pebruari 2000.
Shalahuddin, Imam, dan Sukanto, Mengapa Harus Masuk NII/KW9: Sebuah Refleksi Mantan Aktwis
NKA/KW9, Jakarta , 2003.
Syafi'i, Ahmad, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Kebangkitan Kembali Agama di Kajen, Tesis Magister
Antropologi Program Studi Antropologi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta: 1990.
Tim Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dan Diklat Keagamaan, Laporan Lengkap Hasil
Penelitian Ma’had Al-Zatun Indramayu, Jakarta: Departemen Agama Balitbang Agama dan Diklat
Keagamaan, 2002.
Tim Peneliti Ma’had Al-Zaytun Majelis Ulama Indonesia, Laporan Lengkap Hasil Penelitian Ma’had Al-
Zaytun Haurgeulis Indramayu, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2002.
Tim Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP), Laporan Akhir Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia: Studi tentang Pandangan Politik Laskar jihad, Front Pembeln Islam, Ikhwanul Muslimin, dan
Laskar Mujahidin, Jakarta: INSEP bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
Kementrian Riset dan Teknologi, 2002.
“Tim Pembangunan Mahad Al-Zaytun, Membangun Monumen Abad 21”, Majalah Al-Zaytun, Edisi, 11-2000.
Koran dan Majalah
Harian Republika, 13 Agustus 1994.
-------, 16 Agustus 1994.
Harian Pelita, 27-7-1999.
-------, 28-8-1999.
-------, 27-8-2001.
Harian Media Indonesia, 8-4-2001.
Majalah Al-Zaytun, Nomor Perdana sampai Edisi 12 Tahun 2000 (Satu Tahun Al-Zaytun 2000), Ma’had Al-
Zaytun, 2001.
-------, No. 15 - Maret2001.
-------, No. 16 - April 2001.

Page 81
-------, No. 17 - Mei-Juni 2001.
-------, No. 18 - Agustus 2001.
-------, No. 20 - 2001.
-------, No. 22 – 2002.
-------, No. 23 - 2002.
-------, No. 24 - 2002.
-------, No. 27 - 2002.
-------, No. 28 - 2003.
-------, No. 29 - 2003.
-------, No. 30 - 2003.
-------, No. 31 - 2003.
-------, No. 32 - 2003.
Majalah Sabili No. 20 TH. IX 4 April 2002/21 Muharram 1423.
-------, No. 05 TH. X 19 September 2002/12 Rajab 1423.
Majalah Tempo, 5 Maret 2000.
Milis DI dari Andrey Ismaelnikov, 16 September 1999.

Page 82
Wawancara
Wawancara Tim Peneliti dengan Syekh AS Panji Gumilang tanggal 31 Oktober 2003, di wisma Al-Ishlah
Ma’had Al-Zaytun.
Wawancara Tim Peneliti dengan Abdul Halim, salah seorang eksponen Ma’had Al-Zaytun, tanggal 3
November 2003, di Ma’had Al-Zaytun.
Wawancara dengan Didi Rudita, koordinator Ma’had Al-Zaytun wilayah Semarang, tanggal 15 November
2003, di Semarang.
Wawancara dengan santri Ma’had Al-Zaytun tanggal 22 November 2003, di Semarang.
Wawancara dengan Sukanto, mantan anggota NII 1996-2001, tanggal 13 Desember 2003, di Jakarta.
Wawancara dengan M.Y.R Agung Sidayu, salah seorang eksponen Ma’had Al-Zaytun, tanggal 1 Januari
2004 dan tanggal 31 Februari 2003, di Tangerang
Wawancara dengan Amin Jamaludin, Ketua LPPI, tanggal 8 Desember 2003, di Jakarta.
Wawancara dengan Suherli, tanggal 7 Februari 2004, di Menes Banten.
Wawancara dengan Abd. Wahib Rasyidi, adik kandung A.S. Panji Gumilang, tanggal 22 November 2003, di
Gresik Jawa Timur.
Wawancara dengan Effendi Yusuf, tanggal 8 Februari, di Menes Banten.
Wawancara dengan Harun Asfar, teman waktu di IAIN dan di HMI, November 2003, di Ciputat.
Wawancara dengan Sudirman Abas, salah seorang mudarris Ma’had Al-Zaytun, di Ciputat.
Wawancara dengan Abdul Basyir, wali santri Ma’had Al-Zaytun, di Semarang.
Wawancara dengan M. Arifien, wali santri Ma’had Al-Zaytun, di Semarang.
Wawancara dengan Mutiaraninur, wali santri Ma’had Al-Zaytun, di Semarang.
Wawancara dengan Lembut, Mas’ul tingkat desa, di Bekasi.
Wawancara dengan Sutadi, Mas’ul tingkat Residen untuk Tanggerang-Bekasi, di Bekasi.
Wawancara dengan Ridha, Mas’ul tingkat kabupalen, di Bekasi.

Page 83
GLOSSARY
Binayatul Khomsah: Lima program dasar pembangunan Negara Islam Indonesia. Istilah ini sebagai tafsiran
dari Rukun Islam yang lima.
Binayatu Al-Aqidah: Pembangunan Aqidah.
Binayatu Al-Dzharfiyah: Pembangunan Teritorial.
Binayatul Mas’uliyah: Pembangunan Keaparatan.
Binayatu Al-Maliyah: Pembangunan Keuangan.
Binayatu Al-Shilah wal Muwasholah: Pembangunan Komunikasi.
Mabadiuts Tsalatsah: Tiga prinsip dasar, yang terdiri dari tauhid Rububiyah, Mulkiyah, dan Uluhiyah.
Rububiyah: Tauhid Rububiyah berarti meyakini bahwa tidak ada aturan, ketentuan, dan keputusan lain
kecuali Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sehingga kehidupan pribadi atau sosial hanya boleh diatur oleh hukum
atau syari’at Islam.
Mulkiyah: Tauhid Mulkiyah adalah keyakinan bahwa hanya ada satu lembaga kekuasaan tertinggi yakni
mulkiyah Allah yang didelegasikan kepada ulil amri dengan Darul Islam atau NII-nya. Ini menuntut
konsekuensi bagi orang-orang yang beriman harus masuk ke dalam Darul Islam tersebut secara
keseluruhan dan keluar dari Darul Kufr.
Uluhiyah: Tauhid Uluhiyah mengakui bahwa hanya Allah-lah yang patut menjadi Tuhan, sehingga menuntut
adanya perwujudan kongkrit dari peribadatan manusia yang beriman dalam bentuk jama’ah atau umat.
Manunggaling Kawula Gusti: Menyatunya seorang hamba dengan Tuhannya.
Wujudiyah: Sebuah konsep tasawuf yang berpandangan bahwa yang hakiki hanyalah Tuhan, manusia
adalah pancaran dzat Tuhan belaka.
Al-Nidlam Al-Islami: Tatanan sosial yang Islami. Istilah ini berasal dari Sayyid Qutub.
Al-Nidlam Al-Jahili: Tatanan sosial jahiliyah. Istilah ini berasal dari Sayyid Qutub.
Komodifikasi: Proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar.
Spatialisasi: Proses mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.
Strukturasi: Penciptaan hubungan antar agen dalam sebuah tatanan sosial, yang ditandai pula dengan
adanya hubungan atas dasar kekuasaan (power).
Tanmiyah Ma’had Al-Zaytun: Tim Pembangunan Ma’had Al-Zaytun.
Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT): Peraturan Pemerintah.
Lembaga Kerasulan: Organisasi yang memiliki suatu keyakinan tentang pengertian kenabian. Nama para
nabi dan nubuwah (kenabian) bisa dimiliki oleh para pejabat atau elite Lembaga Kerasulan. Mereka
beralasan bahwa merekalah yang melanjutkan misi para nabi dan rasul untuk membangun dan menegakkan
daulah sekaligus khalifah.
Mudabbir: Komandan, yakni nama jabatan yang dipakai dalam struktur tujuh tingkatan di NII KW9, ia
bertindak sebagai Komandan. Untuk tingkatan Musa hanya ada 1 Mudabbir. Ibrahim dan Soleh ada 2
(Mudabbir Awwal dan Mudabbir Tsani). Sedangkan Hud dan Nuh masing-masing 4 Mudabbir (Mudabbir
Awwal, Tsani, Tsalis dan Rabi’).
Mudabbir Awwal: komandan satu.
Mudabbir Tsani: komandan dua.
Mudabbir Tsalis: komandan tiga.

Page 84
Mudabbir Rabi’: komandan empat.
Raqib: kepala staff. Jabatan Raqib ada pada tingkatan Ibrahim sampai Nuh.
Katib: sekretaris desa hanya untuk tingkatan Musa.
Imarah: kepala bagian pendidikan, pertahanan dan perhubungan. Untuk tingkatan Musa hanya 1 Imarah.
Ibrahim sampai Nuh ada 2 orang (Imarah Awal dan Imarah Tsani).
Tsiqoyah: kepala bagian keuangan. Jabatan ini ada di setiap tingkatan. Untuk tingkatan Musa hanya 1
Tsiqoyah. Ibarahim sampai Nuh ada 2 orang (Tsiqoyah Awal dan Tsiqoyah Tsani).
Tsiqoyah Awal: kepala bagian keuangan pertama.
Tsiqoyah Tsani: kepala bagian keuangan kedua.
Ihsanul Mas’ul: kesejahteraan aparat
Markazul A’la: struktur pemerintahan NII paling tinggi. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-1993.
Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Al-Jazirah: struktur pemerintahan NII setingkat kementerian. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-
1993. Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Al-Wilayah: struktur pemerintahan NII setingkat propinsi. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-1993.
Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Ad-Dairah: struktur pemerintahan NII setingkat keresidenan. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-
1993. Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Al-Mantiqah: struktur pemerintahan NII setingkat kabupaten. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-
1993. Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Al-Muqata’ah: struktur pemerintahan NII setingkat kecamatan. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-
1993. Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Al-Qaryah: struktur pemerintahan NII setingkat desa. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1988-1993.
Struktur ini pertama kali dikenal di NII sejak pemerintahan Adah Djaelani.
Adam: struktur pemerintahan NII paling tinggi setingkat presiden. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun
1994-1997.
Idris: struktur pemerintahan NII setingkat kementerian. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Nuh: struktur pemerintahan NII setingkat propinsi. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Hud: struktur pemerintahan NII setingkat keresidenan. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Soleh: struktur pemerintahan NII setingkat kabupetan. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Ibrahim: struktur pemerintahan NII setingkat kecamatan. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Musa: struktur pemerintahan NII setingkat desa. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1994-1997.
Imam: struktur pemerintahan NII paling tinggi. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1998-1999.
Penyebutan Imam mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan Kartosuwiryo.
Komandemen Wilayah Besar: struktur pemerintahan NII setingkat kementerian. Stuktur pemerintahan ini
dipakai tahun 1998-1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam
pemerintahan Kartosuwiryo.
Komandemen Wilayah: struktur pemerintahan NII setingkat propinsi. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun
1998-1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan
Kartosuwiryo.

Page 85
Komandemen Daerah: struktur pemerintahan NII setingkat keresidenan. Struktur pemerintahan ini dipakai
tahun 1998-1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan
Kartosuwiryo.
Komandemen Kabupaten: struktur pemerintahan NII setingkat kabupaten. Struktur pemerintahan ini dipakai
tahun 1998-1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan
Kartosuwiryo.
Komandemen Kecamatan: struktur pemerintahan NII setingkat kecamatan. Struktur pemerintahan ini dipakai
tahun 1998-1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan
Kartosuwiryo.
Komandemen Desa: struktur pemerintahan NII setingkat desa. Struktur pemerintahan ini dipakai tahun 1998-
1999. Penyebutan Komandemen mengambil sistem yang pernah berjalan dalam pemerintahan
Kartosuwiryo.
Riasyah Ulya: struktur pemerintahan NII setingkat kementerian, yang dipakai tahun 1999-2000.
Riasyah Wilayah: struktur pemerintahan NII setingkat propinsi, yang dipakai tahun 1999-2000.
Riasyah Daerah: struktur pemerintahan NII setingkat keresidenan, yang dipakai tahun 1999-2000.
Riasyah Kabupaten: struktur pemerintahan NII setingkat kabupaten, yang dipakai tahun 1999-2000.
Riasyah Kecamatan: struktur pemerintahan NII setingkat kecamatan, yang dipakai tahun 1999-2000.
Riasyah Desa: struktur pemerintahan NII setingkat desa, yang dipakai tahun 1999-2000.
Presiden: struktur pemerintahan NII paling tinggi, yang mulai dipakai tahun 2001.
Kementrian: struktur pemerintahan NII setingkat kementerian, yang mulai dipakai tahun 2001.
Gubernur Wilayah: struktur pemerintahan NII setingkat propinsi, yang mulai dipakai tahun 2001.
Residen: struktur pemerintahan NII setingkat keresidenan, yang mulai dipakai tahun 2001.
District Official System: struktur pemerintahan NII setingkat kabupaten, yang mulai dipakai tahun 2001.
Onder District Official System: struktur pemerintahan NII setingkat kecamatan, yang mulai dipakai tahun
2001.
Petinggi Desa: struktur pemerintahan NII setingkat desa, yang mulai dipakai tahun 2001.
Muqori: orang yang membawa ke acara tilawahan.
Tilawah: suatu program dalam rangka merekrut para calon anggota.
Musyahadatul hijrah: prosesi perpindahan kewarganegaraan dari NKRI ke NII KW9.
Malj: markas yang digunakan dalam aktivitas gerakan.
Tazkiyah: program sambungan dari program tilawah.
Hafdzul jannah: pengayoman.
Mas’ul: pejabat.
Irsyad: program penataran calon aparat NII KW9 yang diberikan hanya kepada warga pria.
Ta’lim: Rapat Laporan kerja harian para pejabat.
Hujumah Tabsyiriah: salah satu program NII KW9 yang menjadi misi ofensif dalam rangka meningkatkan
jumlah warga dan pembinaanya.
Sapta Subaya: tujuh sumpah prajurit.

Page 86
Usroh: secara terminologis artinya keluarga.
Tarbiyah: pendidikan.
Halaqah: pengajian-pengajian kecil.
Tarkiz: pelaksanaan program dari jajaran bawah ke jajaran atas.
Tajhiz: pelaksanaan program dari jajaran atas ke jajaran bawah.
Syahid hijrah: saksi perpindahan kewarganegaraan.
Istmun Tsani: Nama kedua seseorang yangtelah berhijrah dari RI ke NII. Nama ini akan digunakan sebagai
nama resmi negara sekaligus nama sandi dalam pergerakan.
Tibmara dan Garda Ma’had (GM): Satuan pengamanan Ma’had Al-Zaytun.
Eksponen: Pengurus yayasan.
Hosted by www.Geocities.ws

1