Republika
: Jumat, 07 Juni 2002
Di
kalangan pemikir Islam, Yusuf Al Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan
pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan
itu tak lain karena Qaradhawi memiliki cara atau metodologi khas dalam
menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, ia diterima
kalangan dunia Barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara
ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuat Qaradhawi
kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama
di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Muslim.
Kapasitas
keilmuan Qaradhawi sesungguhnya tak lepas dari latar belakang pendidikan
dan keluarganya. Dilahirkan dari keluarga sederhana pada 1926 di Desa
Shafth Turab, Provinsi Manovia, Mesir, sejak kecil Qaradhawi sarat dengan
didikan keagamaan. Tidak heran jika pada umur sembilan tahun, ia sudah
hafal 30 juz Alquran. Kecintaannya terhadap lembaga pendidikan Islam
ternama, Al Azhar, membuat tekad bulatnya menempuh pendidikan dasar
hingga pendidikan tingginya di lembaga ini. "Saya cinta Al Azhar sejak
kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah satu ulamanya. Al Azhar
menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan ilmu pengetahuan.
Atas bimbingan ulama Al Azhar, orang-orang bodoh bisa belajar dan para
pelaku maksiat mau bertobat," katanya dalam satu kesempatan ceramah
di Kairo, Mesir beberapa waktu lalu.
Fanatisme
Madzhab
Corak terpenting metodologi Islam Qaradhawi adalah Taysir (memudahkan)
dalam pemahaman dan praktik keagamaan. Baginya, metodologi Taysir akan
dapat membebaskan dari belenggu madzhab tertentu, yang sementara ini
dijadikan referensi dari seabrek permasalahan, baik di dalam ibadah
maupun muamalah. Kendatipun di dalamnya terdapat ta'sir wa tadlyiq yang
tampak terdapat kelemahan bukti dan pijakan-pijakan konstitusional,
bila dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain. Karena madzhab tertentu
kadang kala mempersempit dalam beberapa masalah. Padahal apabila kita
tinjau dari segi syariah dengan teks-teksnya, maqashid dan warisan para
fuqaha', terdapat kelenturan dan keluwesan yang memberikan solusi terhadap
segala masalah. Karena menurut Qaradhawi, syariah itu ibarat dokter
yang memberikan obat pada setiap penyakit.
Pandangan
fanatisme madzhab ia kategorikan sebagai taklid buta, yang merupakan
perbuatan tercela dan merintangi kemajuan umat Islam. Sebab ulama-ulama
Islam yang memiliki kredibilitas, secara riil mencela taklid serta mengingkarinya.
Muqallid dalam pandangan mereka bukanlah orang yang alim, melainkan
adalah pengekor. Karena taklid adalah menerima ucapan orang lain tanpa
ada hujjah. Sedangkan ilmu adalah mengetahui kebenaran dengan dalil.
Sebagaimana Ibnu al-Jauzi mengatakan, seorang muqallid tidaklah dapat
dipercaya dengan apa yang diikutinya. Karena taklid menghapus manfaat
akal. Akal dijadikan untuk menelaah dan berpikir. Dalam kaitan ini,
Qaradhawi mengutip pendapat pembaru Muslim Mesir, Muhammad Abduh, "Sesungguhnya
taklid itu walaupun ada dalam kebenaran, tapi pada hakikatnya merupakan
hal yang membahayakan. Begitu juga, meski taklid bermanfaat akan sampai
pula pada kesesatan. Maka taklid adalah sesat yang hanya pantas dilakukan
oleh hewan."
Berkaitan
materi tentang Taysir fikih, Yusuf Al Qaradhawi membidik persoalan-persoalan
yang memiliki persinggungan dalam dua hal:
Pertama, apabila terdapat sebagian madzhab yang agak keras dalam urusan-urusan
yang berhubungan dengan masalah thaharah, misalnya Imam Syafi'i, maka
dalam hal ini tidak ada kelaziman bagi manusia untuk mengikutinya. Oleh
karena itu, ketika berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, seorang
ahli fikih bisa menggunakan madzhab Malik, bahwa semua (binatang) yang
dapat dimakan dagingnya, maka kencing dan kotorannya suci. Dan air tidak
najis kecuali mengalami perubahan. Ini seperti yang diperkuat dan difatwakan
oleh Ibnu Taymiyah. Dalam buku Ihya Ulumuddin (bab thaharah), Imam Ghazali
mengatakan, "saya ingin madzhabnya (Syafi'i) dalam masalah air seperti
madzhabnya Malik."
Kedua,
dalam menghadapi perbedaan pendapat yang tidak dijelaskan oleh Quran
dan Hadis, kemudian muncul sebuah pendapat yang dianggap lemah dan pada
sisi lain orang menganggapnya kuat, maka sebaiknya memilih yang mudah
saja. Karena sesuatu yang dipermasalahkan tidak sama dengan sesuatu
yang sudah mendapat kesepakatan. Ini erat kaitannya dengan amanat ilmiah.
Dalam konteks inilah, bagi Qaradhawi, masalah-masalah ijtihad tidak
ada kemunkaran di dalamnya. Namun yang terpenting, tetap mempertahankan
otensitas agama. Ia lalu memberi contoh, Syaikh Al Azhar, Syaikh Muhammad
Musthafa Al Maraghi, ketika menyikapi masalah yang dilakukan oleh manusia
di pasar-pasar dengan ungkapan-ungkapan yang menjurus pada talak, beliau
tidak berfatwa bahwa saat itu talak telah terjadi. Namun senggama antara
suami dan istri tetap sah, karena ini sangat berhubungan dengan mempertahankan
otensitas agama.
Pandangan
tidak ada fanatisme dalam bermadzhab, bagi Qaradhawi justru akan sangat
mempermudah kita menjalankan agama. Islam, dengan karakteristiknya yang
mudah, menuntut umatnya menjalankan perintah Islam tanpa ia merasa terbebani
untuk suatu amalan yang ia sendiri tidak mampu. Inilah yang terus digelorakan
Qaradhawi, yang kemudian ia rumuskan dalam bentuk karakteristik moderasi,
satu bentuk pemahaman dan praktik keagamaan yang sangat moderat dan
bisa diterima oleh kalangan awam sekalipun.
Dasar
utama moderasi, terutama moderasi fikih, Qaradhawi adalah Alquran dan
Hadis. Ia misalnya mengutip ayat 143 surat Al-Baqarah, yang dijadikan
landasan penting bagi moderasi keislaman ini. Qaradhawi juga menyebut
satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai landasan pendukung,
"Ah, kerjakanlah oleh kalian semampu kalian, sebab Allah tidak akan
pernah bosan hingga kalian sendiri bosan." Hal ini ditegaskan Rasulullah
ketika melihat salah seorang sahabat berlebihan dalam menjalankan ibadah.
Karya
dan penghargaan
Dalam
lentera pemikiran dan dakwah Islam, kiprah Dr. Yusuf Al Qaradhawi menempati
posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer. Waktunya yang ia habiskan
untuk berkhidmat kepada Islam, berceramah, menyampaikan masalah-masalah
aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara, menjadikan pengaruh
sosok sederhana yang pernah dipenjara pemerintah Mesir ini, sangat besar
di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pergerakan Islam kontemporer.
Melalui
karya-karyanya, ia mengilhami kebangkitan Islam modern. Hingga kini,
sekitar 125 buku ia tulis, dalam berbagai dimensi keislaman. Sedikitnya
ada 13 aspek kategori dalam karya-karya Qaradhawi, seperti masalah-masalah;
fikih dan ushul fiqh, ekonomi Islam, Ulum Alquran dan Sunnah, akidah
dan filsafat, fikih perilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan
Islam, penyatuan pemikiran Islam, pengetahuan Islam umum, serial tokoh-tokoh
Islam, sastra, dan lainnya.
Sebagian
dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa
Indonesia. Tercatat, sedikitnya 55 judul buku Qaradhawi yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. [hery sucipto]