Resensi:
Mengungkap
Kaum yang Terpinggirkan Itu (Kedaulatan Rakyat)
Surat-Surat
yang Menanggapi Novel TAPOL.
|
EMAIL
dari Arief Santosa, redaktur budaya Jawa Pos,
dikirimkan pada ......
Kawanku,
Ngarto!
Betul, turinitas memang telah membelenggu
kreativitas kita. Sehingga aku sampai lupa berkirim
kabar denganmu. Padahal, aku kadang ingin ngobrol
via email bila waktu senggang. Oh, ya, tentang kuis
''Tapol'' sedang dalam persiapan. Terutama soal
hadiahnya. Meski cuma kaos eksklusif JP (per kuis 10
biji), namun perlu dipesankan dulu, kan. Yang jelas,
pasti kita adakan. Terus, soal Ika yang dari Tiga
Serangkai Solo, dia semula memang menghubungiku dan
mengatakan bahwa penerbitnya bermaksud menerbitkan
novelmu itu. Dia minta nomor telepon kantormu. Juga
emailmu, tapi belum tak kasih.Dia juga bilang bahwa
dia adalah lulusan Sastra Indonesia UGM. Masuk tahun
1990. Tahu kamu, tapi tak kenal aku.
Komentar
soal novelmu juga masih sering aku dengar. Beberapa
ingin tahu siapa dirimu, dan ingin kenalan. Di
antaranya dari Mbak Soya Herawati
(novelis-cerpenis), Bonarie Nabonenar, Tan Tjin
Siong, Dukut Imam Widodo --ketiganya juga
sastrawan-- serta Pak Sutopo, warga Semampir Tengah
II/39 Surabaya, telepon (031) 5939325. Umumnya
menilai karyamu oke. Hanya, pada bagian tertentu
dinilai kering seperti ketika kamu memaparkan
surat-surat tempo hari yang mereka nilai kurang
digarap. Tapi, setelah itu, mereka menilai novelmu
mulai hidup karena konflik yang terbangun hidup dan
bergerak. Khusus Pak Sutopo, ia mengaku sangat
tertarik dengan novel politismu itu. Bahkan, sejak
nomor satu dia kliping. Karena dia mengaku punya
referensi yang persis yang kamu pakai untuk
menceritakan kembali peristiwa G-30S PKI itu.
Mungkin dia akan menghubungi kamu di Tempo. Karena
yang menanyakan kamu, sebagian aku beri alamatmu di
Tempo. Semoga kamu tidak tersinggung atau terganggu.
Oh,
ya, Lusi Margiyani, teman kita itu juga menanyakan
ke aku soal novelmu itu. Dia sempat kaget membacanya
karena di dalamnya banyak cerita soal peristiwa
Kusumanegara, yang sebenarnya, juga melibatkan dia
dan diriku. Waktu peristiwa itu, aku bersama Gugun
Gondrong mengikuti di belakang, dari PN ke Jl
Kusumanegara, depan TMP. Tapi, begitu aparat
bergerak, aku dan Gugun lari kocar-kacir. Aku naik
vespa Gugun, sementara Gugun masuk rumah orang
sambil menyelamatkan kameranya. Saat itu, aku
sendiri sempat keblasuk masuk jalan buntu, di Jl
Kapas, tapi, alhamdulillah, tak sampai dikejar.
Padahal, kamu perlu tahu, waktu itu, aku belum
pernah mengendarai vespa sekalipun. Anehnya, dalam
kondisi terdesak seperti itu, tiba-tiba vespa
kustarter lalu meluncur sampai kampus lagi.
He...he...he...novelmu
itu betul-betul mengingatkanku pada peristiwa yang
aku ikut mengalaminya. Kamu hanya sedikit lupa bahwa
saat berbaris dari PN itu semua harus berada di
dalam kalangan rafia untuk mengantisipasi penyusupan
intel. Begitu dulu, Ngar. Jika ada kabar baru
secepatnya tak kirimkan. Trims's.
|