Bung Hatta Kita

* AA Navis

SEMUA kita tahu, Mohammad Hatta seorang berwatak jujur dan disiplin, seorang Muslim yang saleh, seorang negarawan yang demokrat, seorang ekonom yang berideologi kerakyatan. Semua kita juga tahu, ia seseorang dibentuk dari gen dan lingkungan serta pengalaman hidupnya sedari kecil serta dimatangkan oleh ilmu pengetahuan yang diperolehnya.

Dalam buku Memoir, Bung Hatta menjelaskan bahwa asal-usul dari pihak ayahnya dari turunan ulama tarekat terkemuka, Syekh Abdurrahamn, yang dikenal sebagai Syekh Batu Hampar. Anak Syekh tersebut yang dipanggilnya Ayah Gaek Arsad, juga dikenal sebagai Syekh Batu Hampar.

Akan tetapi, masyarakat umum memanggil Tuanku nan Mudo, sebagaimana kelaziman pada ulama kaum tarekat, yang hingga kini masih berlaku. Selama berada di Bukittinggi, sekali enam bulan Bung Hatta menemui Ayah Gaek itu ke Batu Hampar. Kepadanyalah Bung Hatta bertanya dengan kritis tentang pemahaman tauhid dan akidah yang tidak masuk akalnya tapi diyakini masyarakat pada umumnya. Misalnya tentang keberadaan Tuhan di langit ketujuh dan perintahnya dilayani oleh malaikat dan bidadari. Meskipun tidak menganut ajaran tarekat, Bung Hatta menjadi Muslim yang saleh demi menghormati predikat moyangnya yang ulama terkemuka itu, di samping keyakinannya sendiri tentang agama yang dianutnya.

Namun, dalam buku itu Bung Hatta kurang menjelaskan asal-usul dari ibunya. Yang dikenalnya hanya ayah dari ibunya, seorang pengusaha angkutan pos antara Bukit Tinggi dan Lubuk Sikaping dengan menggunakan kuda, Ilyas Bagindo Marah dengan istrinya Aminah. Bung Hatta menyebut keduanya dengan Pak Gaek dan Mak Gaek. Ibu Bung Hatta bernama Saleha. Dua orang adiknya Saleh dan Idris.

Tidak ada keterangan dari mana asal-usul Pak Gaek dan Mak Gaeknya. Saleha menikah dengan Muhammad Djamil, cucu Syekh Batu Hampar. Dari pernikahan itu lahirlah Rafi'ah dan Bung Hatta. Ketika berusia 8 tahun, ayahnya meninggal. Ibunya menikah lagi dengan Haji Ning, pengusaha asal Palembang. Dari pernikahan itu lahir empat orang adik perempuan Bung Hatta.

Pada masa sekitar awal abad lalu, ketika masyarakat masih amat kuat menganut tradisinya, tidak terlihat kehadiran sistem matrilineal Minangkabau dalam kehidupan kaum keluarga Bung Hatta. Gelar adat, Bagindo Marah, yang dipakai oleh Pak Gaeknya serta bangunan rumah tempat mereka sekeluarga, berada di luar sistem budaya masyarakat Bukittinggi.

Lazim, laki-laki yang menikah diberi gelar oleh mamak atau pamannya. Kata yang dipakai pada gelar tersebut berakar dari bahasa Sansekarta. Yang memakai kata bukan berasal dari bahasa tersebut, biasanya dipakaikan kepada mereka yang salah satu atau kedua orangtuanya berdarah campuran dengan pendatang atau turunannya yang telah berintegrasi. Misalnya, letak kata Bagindo pada awal gelar adalah tidak lazim. Kata itu lazim dipakai pada urutan kedua. Misalnya Sutan Bagindo atau Datuk Bagindo.

Pemakaian kata Bagindo pada awal gelar dipakai oleh masyarakat pesisir Kabupaten Pariaman. Diletakkan sebelum nama aslinya. Misalnya Bagindo Ilyas. Kata Marah lazim dipakai oleh masyarakat pesisir Padang yang diletakkan sebelum nama aslinya. Misalnya Marah Ilyas. Kata itu berasal dari Aceh, Meurah, yang artinya raja kecil. Maka, gelar Bagindo Marah jelas tidak dipakai oleh penduduk asli Minangkabau dari tanah darat, yaitu tanah asal Minangkabau.

Menurut Prof AR Sjahrial, salah seorang keponakan Bung Hatta yang kini menetap di Padang, Pak Gaek Bung Hatta itu berasal dari Rao. Yaitu suatu nagari dekat perbatasan utara Sumatera Barat. Yang menurut antropologi Minangkabau termasuk daerah rantau yang menjadi daerah tempat pertemuan dan pembauran aneka suku bangsa. Demikian juga halnya jika melihat rumah tempat Bung Hatta dilahirkan di Bukitinggi yang bergaya lazimnya di wilayah rantau pesisir.

Juga menurut informasi dari Prof Sjahrial, bahwa nenek dari ibunda Bung Hatta disebut oleh anak-cucunya dengan panggilan Nenek Jawa. Seorang perempuan dari Jawa, tapi tidak pernah mau mengisahkan dari mana dia datang dan siapa namanya yang sebenarnya, serta siapa bapak anaknya. Diduga (ya, diduga) dia ikut seorang Belanda atau Indo ke Minangkabau beberapa waktu setelah Perang Padri usai. Mungkin Belanda itu meninggal pada pertempuran-pertempuran kecil yang banyak terjadi di masa itu. Hal itu kentara pada postur, kulit dan warna mata dari paman Bung Hatta, Saleh.

Mak Gaek Bung Hatta dikisahkan sebagai perempuan pemberani. Konon, bila ditemukannya sesuatu perlakuan pemerintah yang tak menyenangkan, dia akan datang ke Kantor Asisten Residen yang Belanda untuk menyatakan protes. Bila keluar rumah, di pinggangnya selalu terselip pistol kecil. Demikian pula bila dia mengantarkan Bung Hatta kecil pergi mengaji di sore hari ke surau Syekh Djamil Djambek yang berjarak hampir satu kilo meter dari rumahnya.

Ibunda Bung Hatta bersama seluruh anak dan suaminya yang Haji Ning tinggal bersama Pak Gaeknya, sebagaimana tradisi matrilineal. Namun, faktor posisi sentral Pak Gaek sebagai kepala rumah tangga memperlihatkan bahwa Bung Hatta berada di luar konstruksi sosial budaya Minangkabau. Sama seperti lazimnya dalam rumah tangga di kota-kota umumnya.

Kondisi rumah tangga semasa kecil demikian sangat berpengaruh dalam pola hidup Bung Hatta yang terlepas dari pola budaya Minangkabau tradisional yang lazimnya konservatif, adakalanya cenderung reaksioner. Sama halnya dengan pemuka gerakan nasional sezamannya yang berasal dari tanah kelahiran Minangkabau. Seperti Ibrahim Marah Sutan, Rustam Effendi, A Muis, Bahder Djohan, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, Hazairin, Syekh M Djamil Djambek, Syekh Abdullah Ahmad, dan lain-lainnya. Namun, pola egaliterian dan kosmopolitan yang menjadi ciri khas dari budaya Minangkabau sangat menonjol dalam karakter perjuangan mereka. Selanjutnya akan dibicarakan pada halaman lain.

Demikian pula pengalaman hidup dalam lingkungan pengusaha yang berkolaborasi dengan pemerintah dan perusahaan Belanda, seperti Pak Gaek dan Haji Ning, memberi pengaruh pada sikap mental Bung Hatta. Menurut Dr Meutia Hatta Swasono, putri tertua Bung Hatta, Pak Gaek yang pengusaha angkutan pos, sangat menuntut kerja tepat waktu, menyiapkan perangkat pendukung seperti petugas dan kuda harus bersih dan sehat, serta menuntut perawatan yang prima setiap hari. Apalagi mengingat rute perjalanan dari Bukittinggi ke Lubuk Sikaping melalui hutan belantara serta melewati bekas lokasi Perang Padri yang belum begitu lama usai.

Pengalaman hidup sedari kecil di rumah tangga demikian dan ditambah oleh sikap Mak Gaeknya yang nyinyir dalam memelihara aturan dan kemudian disiplin yang berlaku pada sekolah seperti HIS dan MULO, sangat kuat membentuk sikap mental Bung Hatta sebagaimana yang dikenal.

***

Pada awalnya kesepakatan antara Pak Gaek dan Ayah Gaek yang di Batu Hampar, ialah untuk menyekolahkan Bung Hatta ke Mesir guna melanjutkan tradisi keulamaan moyangnya. Sedianya keberangkatan bersama Pak Gaek yang akan menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Rencana itu batal karena tidak ada lagi kapal ke Tanah Suci itu, sehubungan Perang Dunia Kedua sudah di ambang pintu. Sebaliknya, sekolah Bung Hatta dipindahkan dari Sekolah Rendah Melayu ke HIS, yang berbahasa Belanda atas gagasan ayah tirinya, Haji Ning. Setamat dari HIS Bung Hatta melanjutkan ke MULO di Padang.

Dalam buku Memoir, Bung Hatta mengemukakan kekagumannya kepada seorang idealis bernama Taher Marah Sutan. Dia bekerja pada suatu kantor keagenan perkapalan di pelabuhan Teluk Bayur. Sorenya dia melaksanakan tugasnya sebagai sekretaris dari Syarikat Usaha di Kota Padang. Kata Bung Hatta: "Kalau tidak karena dia, Syarikat Usaha tidak menjadi pusat pertemuan orang-orang terkemuka dan cerdik pandai di Kota Padang." Dia seorang pekerja keras, kadang-kadang sampai pukul 20.00 dia masih di kantor itu. Pendidikannya hanya di sekolah dasar, namun dia bisa berbahasa Belanda dengan belajar sendiri atau berguru di mana dapat.

Syarikat Usaha adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial ekonomi. Pendirinya adalah Syekh Abdullah Ahmad, salah seorang dari tiga serangkai pembaharu faham Islam pada awal abad yang lalu. Dua orang lainnya ialah Syekh A Karim Amrullah dan Syekh M Djamil Djambek. Pada tahun 1906 atas dukungan para saudagar di Padang didirikannya sebuah sekolah agama yang pertama menggunakan bangku. Diniyah School "Adabiah" namanya. Meneladani Iqbal School di Singapura yang didirikan oleh sahabatnya Syekh Taher Djalaluddin dan Raja Haji Ali.

Selanjutnya, Syekh Abdullah Ahmad pun menerbitkan Majalah "Al Munir", seperti juga yang diterbitkan oleh Syeck Taher Djalaluddin dengan nama "Al Manar". Dari penerbitan majalah ini Syarikat Usaha tumbuh menjadi organisasi sosial ekonomi dengan berbagai bidang kegiatannya. Mulai dari pengurusan perguruan "Adabiyah" sampai kepada usaha percetakan, penerbitan, dan pertokoan kue kering.

Selanjutnya usaha menghimpun tukang kayu untuk secara bersama-sama mengerjakan order dari berbagai pihak, usaha mengelola bioskop yang diserahkan pemiliknya, bahkan juga semacam usaha asuransi jiwa. Untuk memberikan informasi diterbitkan organ bulanan seukuran tabloid bernama Syarikat Usaha pada 10 April 1914.

Dari bundelan organ tersebut dapat dibaca apa-apa saja kegiatan organisasi dan usaha yang sedang berjalan. Juga sumbangan dan derma pada simpatisan. Dari jumlah Rp 0,10 sampai Rp 240 dari Haji Ning. Juga diberitakan klaim asuransi Rp 100 atas kematian orangtua H Abdul Gani. Jumlah yang tidak sedikit untuk masa itu.

Agaknya pola kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang dibangun pada dekade pertama abad yang lalu itu, adalah sama semangatnya atau visinya dengan gerakan sosial ekonomi masyarakat Minangkabau ketika mendirikan Gerakan Seribu Minang atau "Gebu Minang" pada dekade akhir abad yang lalu. Yaitu organisasi yang menghimpun dana dari para perantau untuk membantu pemodalan usaha masyarakat di kampung halaman mereka, melalui Bank Perkreditan Rakyat itu.

Sangat boleh jadi dari hubungan dengan Taher Marah Sutan selaku sekretaris organisasi yang mengelola semua kegiatan Syarikat Usaha itu, Bung Hatta menemukan ide dari suatu sistem ekonomi kerakyatan. Organisasi Syarikat Usaha merupakan perserikatan orang-orang yang berusaha bersama atau bekerja sama, selain sesuai dengan pola budaya Minangkabau, juga sangat dibutuhkan oleh rakyat yang ingin bangkit dari dominasi sistem ekonomi yang kapitalistis.

Bung Hatta mungkin melihat bahwa organisasi usaha semacam itu memerlukan manajemen yang profesioal agar mampu sama-sama berdiri dengan perusahaan perorangan yang kapitalistis. Karena itulah dia memilih pendidikan ke bidang studi ekonomi di Jakarta kemudian dilanjutkannya ke Rotterdam.

***

Dalam perjalanan sejarah hidupnya, Bung Hatta cenderung dipandang orang sebagai negarawan dan koproklamator, RI daripada seorang ekonom kerakyatan. Gagasan ekonomi kerakyatan bagai tenggelam dalam gegap gempita gerakan politik. Pada masa Orde Baru gagasan ekonomi kerakyatan itu dipandang sebagai telah kuno oleh banyak pakar. Namun, demi penyamaran politik pro-ekonomi konglomerat, pemerintah menggunakan kebijaksanaan mendirikan Departemen Koperasi.

Seseorang yang mengikuti gerakan politik yang radikal ataupun nonkoperasi terhadap pemerintah yang berkuasa selalu sadar akan risiko ditangkap dan dibuang ke pulau jauh seperti Digul. Keikutan Bung Hatta dalam gerakan politik itu tentu saja oleh suatu motivasi yang kuat, kemudian dimatangkan oleh lingkungannya. Lingkungan yang dipilih dengan kesadaran maupun tidak.

Begitulah Bung Hatta yang lahir dan tinggal dalam lingkungan pengusaha yang berkolaborasi dengan pemerintah jajahan, akhirnya menjadi seorang politisi yang nonkooperatif terhadap pemerintah jajahan, adalah karena peristiwa yang menyinggung perasaannya seorang bocah yang masih lugu.

Dalam Memoir dikisahkan bahwa pada masa kecilnya, Bung Hatta setiap hari melihat serdadu Belanda menista secara fisik dan mental setiap orang kampung yang melewati pos tentara. Pos tentara yang terletak persis di depan rumahnya di Bukittinggi. Waktu itu tahun 1908 sedang terjadi Perang Kamang. Rakyat pedesaan tidak bisa lagi keluar-masuk Kota Bukittinggi dengan leluasa. Jiwa Bung Hatta tertusuk berat tampaknya. Meski dalam Memoir tidak dikisahkan secara emosional, namun dengan memuat peristiwa demikian dalam buku tersebut lebih menjelaskan bahwa peristiwa itu demikian mencekam dalam pada jiwanya.

Ketika bersekolah MULO di Padang, Bung Hatta sering bergaul dengan pemuka masyarakat yang bergabung dalam organisasi sosial-ekonomi Syarikat Usaha yang bertujuan meningkatkan harkat bangsa. Di sana dia mulai memahami apa fungsi seseorang sebagai bangsa dan fungsi seorang Muslim sebagai umat. Amat boleh jadi selama bergaul di sana, Bung Hatta memperoleh wawasan yang kemudian menjadikannya sebagai seorang tokoh besar yang konsekuen pada prinsip hidup dan ideologinya.

Dari pergaulan semasa remaja dengan para pemuka masyarakat Kota Padang itu, secara samar-samar Bung Hatta menemukan konsep kebersamaan hidup dan perjuangan orang-orang sehaluan dan sependeritaan dalam organisasi Syarikat Usaha, yang kemudian bermuara menjadi konsep koperasi ekonomi. Dari pengalaman kegiatan organisasi yang senantiasa terhalang oleh pemikiran sempit para anggota dan bangsanya, menumbuhkan pemikiran Bung Hatta akan arti pentingnya pendidikan politik bagi bangsa Indonesia daripada bentuk gerakan massal yang tergantung pada seorang tokoh.

Dari pengamatannya bagaimana cara pengurus Syarikat Usaha membuat keputusan, Bung Hatta melihat arti pentingnya musyawarah mufakat dalam suatu sistem kebersamaan, yang kemudian disebut demokrasi. Dari pergaulannya itu juga, Bung Hatta mengenal pola budaya bersuku-suku dan berkampung-kampung dari negeri kelahirannya, Minangkabau, menyadari bahwa manusia hidup bersama bukan bersatu.

Oleh karena itu, bersatu menuntut ketergantungan kepada seorang tokoh dan menuntut peleburan perbedaan-perbedaan. Pemikiran terakhir itu kemudian tersimpulkan ketika mendirikan organisasi Jong Sumantranen Bond sehabis pertemuan dengan Pengurus Jong Sumatra yang datang dari Jakarta, M Nazir Pamuntjak. Keragaman pemikiran kian berkembang waktu melanjutkan pendidikan di Jakarta ketika bertemu dengan banyak tokoh pemuda yang mulai memikirkan nasionalisme Indonesia.

Ikut sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia pada masa pendidikan di Belanda mengkristalkan pemikiran Bung Hatta tentang bentuk negara bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan. Setelah mengunjungi berbagai negara Eropa, terutama negara Skandinavia yang melaksanakan koperasi pada sistem ekonomi negara mereka, menurutnya tidak ada sistem lain yang terbaik selain sistem demokrasi dalam bentuk federasi serta sistem ekonomi kerakyatan dalam bentuk koperasi.

Sistem demokrasi dalam negara kapitalis sama halnya dengan negara monarki yang melaksanakan sistem demokrasi. Maka, dia tidak dapat berdamai dengan pola pemerintahan Belanda di Indonesia. Dan ketika Bung Hatta terpilih menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia, organisasi itu ikut terbawa napas radikal pula. Sehingga akibat pengajuan Westenenk, seorang bekas pejabat kolonial yang memimpin perang melawan rakyat Kamang dekat Bukittinggi, Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap beberapa pengurus.

***

Dalam hukum pembuangan ke Bandaneira, Maluku, oleh Pemerintah Hindia Belanda, Bung Hatta menulis buku berjudul Alam Pikiran Yunani. Buku yang berisikan sejarah pertumbuhan filsafat Yunani dari masa ke masa. Bahwa seorang seperti Bung Hatta yang berpikir realis dan rasional dalam masa pembuangannya di pulau sepi, seyogianya akan menulis konsep ekonomi rakyat yang jadi cita-citanya.

Jika mengingat Bung Hatta mendirikan PNI Pendidikan ketika PNI dibubarkan Sartono setelah Bung Karno dipenjarakan, tampaknya masalah pendidikan politik jadi prioritas pemikiran Bung Hatta. Pendidikan politik amat penting untuk mencapai dan mengisi kemerdekan agar Indonesia tidak menjadi negara demokrasi yang amburadul. Buku Alam Pikiran Yunani itu berisikan buah pikiran filsuf Yunani tentang susunan dan sistem pemerintahan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat.

Bukan suatu kebetulan barangkali apabila filsafat alam dan sistem kemasyarakatan dari negeri kelahiran Bung Hatta, Minangkabau, banyak persamaannya dengan apa yang tertera dalam buku filsafat Yunani tersebut. Misalnya, tentang hukum alam yang serba empat menjadi hukum dan etika budaya Minangkabau yang juga serba empat. Bahwa susunan ketatanegaraan yang terdiri dari polis-polis yang berdiri sendiri berbentuk federasi dalam ikatan sesamanya, sama halnya dengan sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yang terdiri dari berbagai koto (kota = benteng).

Pemerintahan di bawah pimpinan senat di Yunani, sama dengan Minangkabau dalam balairung adat. Sistem demokrasi egaliter serta dengan sistem ekonomi dalam masyarakat komunal di Yunani banyak persamaannya dengan apa yang dapat ditemukan dalam masyarakat Minangkabau.

Bukan suatu kebetulan, sistem demokrasi yang berakar dari pola budaya masyarakat egaliter Minangkabau sangat mempengaruhi pandangan Bung Hatta dalam bentuk dan sistem kenegaraan serta ekonomi kerakyatan yang dicita-citakannya. Akan tetapi, cita-citanya itu tidak semuanya berhasil diperjuangkannya di kala menyusun UUD Republik oleh karena sebagai negarawan berposisi minoritas, Bung Hatta kalah suara. Sebagai demokrat, dia menerima kemenangan kelompok mayoritas dalam permusyawarahan itu. Itulah salah satu ideologi yang tertanam dalam diri Bung Hatta yang terus-menerus dikumandangkannya sampai akhir hayatnya.

Namun, sebagai tokoh anti-otokrasi, Bung Hatta menunjukkan sikapnya yang nonkooperatif terhadap penjajahan dengan menghadang risiko dibui dan dibuang ke pulau di ujung Indonesia. Dan ketika Bung Karno sebagai Presiden RI mulai bersikap otoriter, Bung Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden. Hal yang sama dilakukannya juga ketika Sartono bersikap otoriter ketika membubarkan PNI tanpa minta persetujuan para anggota. Bung Hatta mendirikan PNI Pendidikan pada tahun 1932.

Namun, terhadap Republik Indonesia, Bung Hatta, seperti juga Sutan Sjahrir, sama sekali tidak berminat mendirikan negara baru, bahkan sama sekali tidak mau ikut pemberontakan PRRI yang berbasis di tanah kelahiran mereka itu dalam menentang Soekarno. Semangat ingin tetap bersama dan tidak terpecah dengan RI adalah sikap umumnya masyarakat Minangkabau. Sangat kentara terlihat ketidakberhasilan Van Mook mendirikan Negara Minangkabau seperti yang mudah saja dilakukannya di daerah-daerah lain pada masa revolusi dulu.

Sepertinya tidak ada dalam tradisi budaya Minangkabau untuk memecah-belah kampung halamannya karena tidak suka pada pimpinan yang ada. Juga tidak ada tradisi menjatuhkan pimpinan untuk diganti dengan yang lain. Tradisi mereka yang ada ialah kalau tidak suka pada pimpinan kampung halaman atau penghulunya, tinggalkan negeri itu. Pergi merantau. Menunggu pimpinan berganti.

Sikap Bung Hatta mendirikan partai baru karena tidak suka pada kepemimpinan Sartono membubarkan PNI, merupakan sikap umumnya para negarawan berasal dari Minangkabau. Umpamanya H Agus Salim keluar dari PSII dan mendirikan PSII Penyadar karena tidak setuju pada cara Kongres yang menetapkan formatur tunggal untuk menyusun pengurus baru.

Oleh karena itu, formatur tunggal adalah bentuk lain dari budaya otokrasi. H Agus Salim (umumnya utusan luar Jawa), menghendaki pengurus dipilih oleh anggota kongres secara demokratis. Demikian yang dilakukan M Yamin ketika keluar dari Partai Gerindo; Sjamsuddin St Makmur dari PRN; Hazairin dari PIR. Bahkan, Tan Malaka keluar dari Komintern lalu menjadikan Partai Rakyat di luar negeri, karena dia tidak setuju pada sikap Stalin yang otoriter. "Punggung saya belum bisa bungkuk." katanya ketika ditanyai Bung Hatta kenapa dia keluar dari Komintern. Seperti yang dapat ditemui dalam buku Memoir.

AA Navis Sastrawan

Hosted by www.Geocities.ws

1