AIRMATA IBU
Terdengar suara wanita yang separuhbaya, suara indahnya yang tak asing lagi di telingaku.
Segeralah aku mengecek ada apakah disudut dapur tuaku itu. Ternyata,
suara wanita separuh baya tersebut adalah Ibuku terpuja, langsunglah aku mendekatinya.
“Ibu u u ngapain disini ?” tanyaku dengan rasa kawatir dan ingin tahu apa yang terjadi pada Ibuku itu
. “ Ibu hanya ingat perjuagan Ibu membesarkanmu putriku” sahut Ibu dengan muka sucinya yang
membuatku selalu terbuai pada kata – katanya. “ Pada saat Ibu mengandungmu banyak lah
perjuangan yang ibu alami demi engaku anakku, saat itu Ibu hamil muda namun tak ada Bapakmu,
Bapakmu merantau jauh dari keluarga, dan Ibu hanya tinggal bersama nenekmu yang memang tak
pernah suka dengan kehadiran Ibu di tengah – tengah keluarga mereka. Pada saat usia kandungan
Ibu berusia dua bulan, Ibu ingin sekali mamakan mangga muda, namun apalah daya, Ibu tak bisa
melakukan apa apa, Bapakmu jauh, Ibu hanya dapat menahan rasa itu, hari demi hari Ibu lalui
Ibu tanpa Bapakmu, Ibu merasa tak sanggup lagi melihat kakak – kakakmu yang setiap hari
merengek kelaparan, perjuangan ketiga kakakmu untuk membantu Ibu, dengan mencari ikan
di sungai dan menjualnya dengan harga yang tak layak bagiku, dan perjuangan kakak
pertamamu yang berusaha membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan Ibu dan adik – adik nya
karena uang yang Bapakmu kirim dari perantauan harus Ibu bagi dua dengan nenekmu,
tentu saja itu sangat jauh dari kata cukup, akhirnya Ibu memutuskan untuk menyusul
Bapakmu diperantauan, berbekal baju di badan dan uang di celengan ayam yang telah Ibu
tabung sejak pertama kali Ibu menjalin hubungan rumah tangga. Ternyata uang tersebut
hanya cukup untuk ongkos berangkat ke daerah terpencil tempat Bapakmu merantau,
sakit rasanya saat Ibu mendengar tangisan kakak ketigamu yang masih berusia empat tahun tersebut,
saat ia merengek rengek untuk minta belikan sebuah es jeruk yang dulu harganya
Rp 500,- yang mungkin uang itu sangat lah tak berharga untuk saat ini, tangisan
anak ku itu membuat hatiku bak terisi pisau tajam, sangatlah perih,perjalanan panjang
telah kami tempuh, tibalah kami di stasiun kereta Lubuk Linggau, setahu aku,
aku masih harus menempuh waktu satu jam tiga puluh menit untuk bertemu dengan
suami ku itu, akhirnya tiba lah aku dan ketiga anak ku di rumah kontrakkan yang
kecil dan sumpek itu, yakni kontrakkan suamiku, dengan kondisi kehamilan lima
bulan, aku terus melanjutkan kewajibanku sebagai seorang istri, dan seorang Ibu,
aku tetap mempunyai kewajiban ku untuk menyekolahkan ketiga anakku tersebut,
aku memasuk mereka bertiga disekolah dasar yang tak jauh dari rumah kontrakkan
kami tersebut, detik demi detik berlalu, kehidupan kami masih dapat di katakan kurang,
dan kebesaran hati anak pertamaku itu sangatlah membuatku terharu dan terkadang
membuatku meneteskan air mata. Setelah lulus dari bangku sekolah dasar,
anak pertamaku tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya
ke sekolah menengah pertama dengan alasan ingin membantu perekonomian
keluarga. Sedangkan adik – adiknya melanjutkan sekolah mereka.
Kehamilanku pun semakin memasuki bulan tua, tepatnya pada hari rabu
tanggal lima belas Januari pukul dua dini hari, aku melahirkan anak keempatku
, malaikat kecilku ini, yang selama di kandunganku tak mendapatkan gizi yang
cukup seperti bayi – bayi yang lain, gadis munggilku ini ku beri nama Syifa yang
berarti pelipur lara. Gadis kecilku ini kebesarkan dengan kasih sayang dan didikkan
agama yang kuat, yang aku yakin ketika dia besar nanti aku bisa melepaskannya
kemana saja jika memang dia telah memiliki pondasi agama yang kuat, namun
hati terasa teriris pisau tajam, yakni saatku tak mampu memberikan susu seperti
anak – anak orang lain nya, namun aku hanya membekali anakku itu dengan ASI
yang ada pada diriku, walaupun hanya susu Ibu, kamu akan jadi anak yang
pintar sayang, Ibu yakin itu. hari demi berlalu, anak – anakku beranjak dewasa,
putra pertamaku sudah dewasa, terkadang terbesit rasa takut pada diriku ini,
saat anak – anakku tak telah beranjak dewasa, dan saat usia Syifa putri lima tahun,
aku merasa ada yang aneh pada diriku, pada suatu malam, aku merasa sangat mual,
dan pusing, dan aku segera meminum obat warung yang ada di kotak kecil di atas
lemari kayu tuaku tersebut. Dan ke esokkan hari sakit itu semakin bertambah,
tak tahan aku, kemudian pergilah aku menuju puskesmas yang tak jauh dari rumah kontrakkan tua tersebut.
Dan sangatlah terkejut aku saat dokter berkata jika aku sedang menagandung, dan jumlah
kandunganku telah tiga bulan. Segarlah aku memberi tahukan kabar gembira itu pada
keluargaku, pertamanya aku memikirkan perasaan anak – anak ku yang telah beranjak dewasa,
“ bagaimana perasaan mereka jika mereka tahu kalau aku mengandung adik baru mereka ?
apakah mereka akan malu ?” itu ucap hatiku yang gundah gulana saat perjalanan dari
puskesmas menuju gubuk tuaku itu. Tibalah aku di gubuk tua yang beratapkan seng tersebut,
ternyata suami dan keempat anakku telah berkumpul di ruang tengah rumah,
“ ada apa dengan kalian, kenapa kalian berkumpul disini?” tanyaku.
“ kami kawatir dengan keadaan Ibu” jawab putri keduaku. Aku sangat bingung pada saat itu,
di satu sisi aku sangat bahagia dengan berita ini, karena aku mendapatkan malaikat kecil
yang baru. Namun di sisi yang lain, aku merasa tak tega dengan putra dan putriku yang
sudah remaja tersebut, aku takut mereka merasa malu karena mereka sudah remaja namun
akan mempunyai adik lagi. Paksaan demi paksaan datang menerpaku, dan aku pun
mengatakannya. “Ibu sedang mengandung tiga bulan “tegasku. Suamiku menyambut
bahagia dengan berita itu, dan ternyata semua yang ada dalam pikiran salah,
semua anggota keluarga ku mneyabut baik dengan kehadiran bayi yang ada dalam kandunganku tersebut.
Syifa putriku yang kini berusia lima tahun tersebut sekarang dia telah duduk di bangku
sekolah Taman Kanak Kanak. Mungkin memang sudah salah suamiku dan aku yang telah
memanjakan Syifa sehingga dia sangat manja, namun apalah daya itulah anakku.
Akhirnya anak yang ada dalam kandunganku lahir tepat pada tanggal tiga puluh Desember dua ribu satu,
tepat pada pukul lima subuh, anakku terlahir di dunia, pada saat itu aku hanya ingin melahirkan
di rumah, aku tak ingin melahirkan di bidan ataupun doktker, tak tahu mengapa serasa ada
yang menahanku untuk meninggalkan rumah dan pergi ke puskesmas.
Namun suamiku bersih kukuh untuk membawaku menuju bidan,
akhirnya aku pergi ke bidan bersama suamiku di tengah malam.
Dan akhirnya aku melahirkan. Putri kelimaku yang kami beri nama Sari tersebut terlahir di dunia.
Pada pagi harinya suami dan anak – anak ku pulang kerumah dan aku ditinggalkan di puskesmas sendiri,
tak tau mengapa aku ingin sekali pulang kerumah. Akhirnya aku nekat pulang kerumah
dengan menggunakan becak dan menggendong bayi merahku yang baru lahir tersebut.
Akhirnya semua orang terkejut, “ ngapo adek balek, kan sudah aku omong diem lah dulu
di puskesmas itu.” Tutur suamiku, namun aku tak dapat berkata apa – apa, aku hanya diam.
Dan sangatlah ingin hatiku menuju kamar dan berbaring di tempat tidurku itu.
Tak lama kemudian badan ku terasa lemas, dan tiba – tiba aku tak bertenaga sama sekali.
Akhirnya semua orang yang ada di rumah sudah bingung dengan kondisiku pada saat itu.
Suamiku pun menghubungi dokter yang tak jauh dari rumah, Karena kondisiku yang tak
memungkinkan lagi untuk di bawa ke rumah sakit, karena tubuhku sudah tak dapat di gerakkan lagi.
Dan ketika dokter itu memeriksaku, dia berkata, sudahlah Pak ikhlaskan saja, dia telah tiada.
Namun suamiku tak begitu saja percaya dengan perkataan dokter tersebut, segeralah suamiku boyongku,
menuju rumah sakit yang terbaik di desaku itu. Dia meminta perawatan yang terbaik untukku,
dan semua anak – anakku telah menangisiku, dan juga suamiku telah menghubungi
semua sanak saudara yang jauh untuk datang ke rumah kami, karena kondisiku yang
tak menentu itu, setelah kurang lebih tiga bulan aku di rawat di rumah sakit tersebut,
aku selalu tebangun ditengah malam dan aku selalu menjerit – jerit ketakutan,
akhirnya suamiku penasaran apa sebenarya yang terjadi padaku, dia pun menemui
seorang ustad, lalu ustad tersebut menemuiku dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an,
yang sempat membuatku menjerit sekuat kuatnya. Akhirnya sang ustad berkata
jika memang sejak awal aku telah di ganggu oleh makhluk yang menginginkan aku dan anakku.
Memang pada saat aku sedang hamil tua, aku sering keluar rumah pada saat
adzan Magrib dan Subuh, namun aku melakukan semua itu seakan ada yang memaksaku.
Mungkin itu lah yang mengakibatkan semua itu. Akhirnya waktu demi waktu pengobatan
kuterus berkelajutan, dan aku tak dapat menegerjakan semua kewajibanku sebagai
seorang istri dan ibu. Namun apalah daya, jika aku mengerjakan semua pekerjaan rumah itu,
aku selalu merasa lelah dan akhirnya jatuh sakit. Waktu pun selalu berlalu,
satu per satu putra dan putriku menemukan jodoh mereka. Di mulai dari putri keduaku,
dia menemukan jodohnya di usianya yang ke dua puluh dua tahun, dan selang waktu dua tahun,
putra ke tigaku pun menemukan seseorang yang memberikannya kasih sayang, hingga akhirnya
mereka menuju pelaminan pada usia dua puluh tiga tahun, dan waktu terasa sangatlah cepat.
Dan anak pertamaku pun menemukan cinta sejatinya, Adi, yah dia adalah putera pertamaku
yang sangat berbakti padaku, akhirnya Afi gadis manis yang telah berhasil mencuri hati putraku.
Hingga tiba saatnya aku hanya tinggal bersama kedua anakku dan suami tercintaku.
Kurasa setelah aku dan suamiku mendapatkan menantu, dia akan lebih sayang lagi pada keluarga,
namun semua salah, selang waktu lima bulan setelah anak anakku menikah, suamiku
yang sangatlah ku cinta mengkhianati cinta suciku ini. Awalnya ia hanya pergi malam
bersama teman – teman prianya, seperti biasanya, itu tak membuatku curiga,
namun pada saat itu aku mendengar berita dari tetanggaku, ia mengatakan
“Bu, kamu tau gak kalau dua malam yang lalu aku melihat suamimu bertamu
di rumah janda di seberang” perkataan itu membuat hatiku bak di sayat – sayat silet.
Hatiku bimbang siapa yang dapat ku percaya, antara suamiku atau tetangga dekatku itu,
akhirnya pada dua malam selanjutnya aku memerhatikan suamiku, tingkahnya tak berubah,
dia masih biasa, namun pada suatu malam, aku mengikuti suamiku yang
pergi bersama teman – temannya, dan dengan diam – diam aku mengikutinya,
hancurnya hatiku saat aku melihat suami yang ku puja dan ku percaya berjalan berdua dengan
janda muda dan memasuki gubuk tua yang tak jauh dari taman. Tanpa fikir panjang dan
dengan rasa tak percaya, aku segera berlari untuk menuju gubuk tuaku itu.
“ ya Allah apa salahku kenapa perjalanan hidupku seperti ini, masalah selalu datang silih berganti”
itu ucapku saat ku shalat tahajud di tengah malam, meneteslah berlian – berlian dari mataku,
dan segeraku merapikan semua perlengkapanku, karena aku tak tahan lagi, dengan semua ini,
dan aku menggendong bidadari kecilku itu, yang bernama Sari itu. Akupun segera melarikan
diri dari rumahku itu, dengan berat hati aku meninggalkan Syifa sendiri di rumah.
Dengan tetesan air mata aku berlari, aku datang kerumah ibuku, selama disana suamiku selalu
menghubungiku dan mengajakku pulang dengan memohon maaf, namun hatiku terlanjur
sakit dengan itu semua. Setelah beberapa minggu aku pun memutuskan untuk pulang kerumah,
karena aku memikirkan Syifa putriku yang masih anak – anak dan
bagaimana malunya putra dan putriku yang telah berumah tangga. Suamiku pun
berjanji dia tidak akan melakukan apa yang telah ia lakukan pada saat itu.
Kehidupan kami pun sangatlah harmonis, hingga hatiku pun merasa dilema
saat Syifa telah beranjak remaja dan dia akan melanjutkan bangku sekolahnya jauh
dariku, rasa takut, bimbang tak rela dan bahagia, semuanya bercampur dalam benakku.
Namun dengan semua didikkan agama yang telah aku ajarkan padanya sejak ia kecil aku
yakin ia dapat menjaga keimamannya walaupun jauh dariku dan Bapaknya.