Home    About Me    TV    Radio    Education   

                                                                                                                                                                                                                                   

AIRMATA IBU

Terdengar suara wanita yang separuhbaya, suara indahnya yang tak asing lagi di telingaku.

 Segeralah aku mengecek ada apakah disudut dapur tuaku itu. Ternyata,

suara wanita separuh baya tersebut adalah Ibuku terpuja, langsunglah aku mendekatinya.

 “Ibu u u ngapain disini ?” tanyaku dengan rasa kawatir dan ingin tahu apa yang terjadi pada Ibuku itu

. “ Ibu hanya ingat perjuagan Ibu membesarkanmu putriku” sahut Ibu dengan muka sucinya yang

 membuatku selalu terbuai pada kata – katanya. “ Pada saat Ibu mengandungmu banyak lah

perjuangan yang ibu alami demi engaku anakku, saat itu Ibu hamil muda namun tak ada Bapakmu,

  Bapakmu merantau jauh dari keluarga, dan Ibu hanya tinggal bersama nenekmu yang memang tak

 pernah suka dengan kehadiran Ibu di tengah – tengah keluarga mereka. Pada saat usia kandungan

 Ibu berusia dua bulan, Ibu ingin sekali mamakan mangga muda, namun apalah daya, Ibu tak bisa

 melakukan apa apa, Bapakmu  jauh, Ibu hanya dapat menahan rasa itu, hari demi hari Ibu lalui

 Ibu tanpa Bapakmu, Ibu merasa tak sanggup lagi melihat kakak – kakakmu yang setiap hari

merengek kelaparan, perjuangan ketiga kakakmu untuk membantu Ibu, dengan mencari ikan

 di sungai dan menjualnya dengan harga yang tak layak bagiku, dan perjuangan kakak

pertamamu yang berusaha membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan Ibu dan adik – adik nya

 karena uang yang Bapakmu kirim dari perantauan harus Ibu bagi dua dengan nenekmu,

 tentu saja itu sangat jauh dari kata cukup, akhirnya Ibu memutuskan untuk menyusul

Bapakmu diperantauan, berbekal baju di badan dan uang di celengan ayam yang telah Ibu

 tabung sejak pertama kali Ibu menjalin hubungan rumah tangga. Ternyata uang tersebut

 hanya cukup untuk ongkos berangkat ke daerah terpencil tempat Bapakmu merantau,

 sakit rasanya saat Ibu mendengar tangisan kakak ketigamu yang masih berusia empat tahun tersebut,

 saat ia merengek rengek untuk minta belikan sebuah es jeruk yang dulu harganya

 Rp 500,- yang mungkin uang itu sangat lah tak berharga untuk saat ini, tangisan

anak ku itu membuat hatiku bak terisi pisau tajam, sangatlah perih,perjalanan panjang

 telah kami tempuh, tibalah kami di stasiun kereta Lubuk Linggau, setahu aku,

aku masih harus menempuh waktu satu jam tiga puluh menit untuk bertemu dengan

 suami ku itu, akhirnya tiba lah aku dan ketiga anak ku di rumah kontrakkan yang

kecil dan sumpek itu, yakni kontrakkan suamiku, dengan kondisi kehamilan lima

bulan, aku terus melanjutkan kewajibanku sebagai seorang istri, dan seorang Ibu,

aku tetap mempunyai kewajiban ku untuk menyekolahkan ketiga anakku tersebut,

 aku memasuk mereka bertiga disekolah dasar yang tak jauh dari rumah kontrakkan

 kami tersebut, detik demi detik berlalu, kehidupan kami masih dapat di katakan kurang,

 dan kebesaran hati anak pertamaku itu sangatlah membuatku terharu dan terkadang

 membuatku meneteskan air mata. Setelah lulus dari bangku sekolah dasar,

anak pertamaku tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya

ke sekolah menengah pertama dengan alasan ingin membantu perekonomian

 keluarga. Sedangkan adik – adiknya melanjutkan sekolah mereka.

Kehamilanku pun semakin memasuki bulan tua, tepatnya pada hari rabu

 tanggal lima belas Januari pukul dua dini hari, aku melahirkan anak keempatku

, malaikat kecilku ini, yang selama di kandunganku tak mendapatkan gizi yang

 cukup seperti bayi – bayi yang lain, gadis munggilku ini ku beri nama Syifa yang

 berarti pelipur lara. Gadis kecilku ini kebesarkan dengan kasih sayang dan didikkan

 agama yang kuat, yang aku yakin ketika dia besar nanti aku bisa melepaskannya

kemana saja jika memang dia telah memiliki pondasi agama yang kuat, namun

hati terasa teriris pisau tajam, yakni saatku tak mampu memberikan susu seperti

anak – anak orang lain nya, namun aku hanya membekali anakku itu dengan ASI

 yang ada pada diriku, walaupun hanya susu Ibu, kamu akan jadi anak yang

pintar sayang, Ibu yakin itu. hari demi berlalu, anak – anakku beranjak dewasa,

 putra pertamaku sudah dewasa, terkadang terbesit rasa takut pada diriku ini,

saat anak – anakku tak telah beranjak dewasa, dan saat usia Syifa  putri lima tahun,

 aku merasa ada yang aneh pada diriku, pada suatu malam, aku merasa sangat mual,

 dan pusing, dan aku segera meminum obat warung yang ada di kotak kecil di atas

lemari kayu tuaku tersebut. Dan ke esokkan hari sakit itu semakin bertambah,

tak tahan aku, kemudian pergilah aku menuju puskesmas yang tak jauh dari rumah kontrakkan tua tersebut.

Dan sangatlah terkejut aku saat dokter berkata jika aku sedang menagandung, dan jumlah

 kandunganku telah tiga bulan. Segarlah aku memberi tahukan kabar gembira itu pada

keluargaku, pertamanya aku memikirkan perasaan anak – anak ku yang telah beranjak dewasa,

 “ bagaimana perasaan mereka jika mereka tahu kalau aku mengandung adik baru mereka ?

 apakah mereka akan malu ?” itu ucap hatiku yang gundah gulana saat perjalanan dari

puskesmas menuju gubuk tuaku itu. Tibalah aku di gubuk tua yang beratapkan seng tersebut,

 ternyata suami dan keempat anakku telah berkumpul di ruang tengah rumah,

 “ ada apa dengan kalian, kenapa kalian berkumpul disini?” tanyaku.

 “ kami kawatir dengan keadaan Ibu” jawab putri keduaku. Aku sangat bingung pada saat itu,

 di satu sisi aku sangat bahagia dengan berita ini, karena aku mendapatkan malaikat kecil

yang baru. Namun di sisi yang lain, aku merasa tak tega dengan putra dan putriku yang

sudah remaja tersebut, aku takut mereka merasa malu karena mereka sudah remaja namun

akan mempunyai adik lagi. Paksaan demi paksaan datang menerpaku, dan aku pun

mengatakannya. “Ibu sedang mengandung tiga bulan “tegasku. Suamiku menyambut

bahagia dengan berita itu, dan ternyata semua yang ada dalam pikiran salah,

semua anggota keluarga ku mneyabut baik dengan kehadiran bayi yang ada dalam kandunganku tersebut.

 Syifa putriku yang kini berusia lima tahun tersebut sekarang dia telah duduk di bangku

sekolah Taman Kanak Kanak. Mungkin memang sudah salah suamiku dan aku yang telah

memanjakan Syifa sehingga dia sangat manja, namun apalah daya itulah anakku.

Akhirnya anak yang ada dalam kandunganku lahir tepat pada tanggal tiga puluh Desember dua ribu satu,

tepat pada pukul lima subuh, anakku terlahir di dunia, pada saat itu aku hanya ingin melahirkan

di rumah, aku tak ingin melahirkan di bidan ataupun doktker, tak tahu mengapa serasa ada

 yang menahanku untuk meninggalkan rumah dan pergi ke puskesmas.

Namun suamiku bersih kukuh untuk membawaku menuju bidan,

akhirnya aku pergi ke bidan bersama suamiku di tengah malam.

Dan akhirnya aku melahirkan. Putri kelimaku yang kami beri nama Sari tersebut terlahir di dunia.

 Pada pagi harinya suami dan anak – anak ku pulang kerumah dan aku ditinggalkan di puskesmas sendiri,

tak tau mengapa aku ingin sekali pulang kerumah. Akhirnya aku nekat pulang kerumah

dengan menggunakan becak dan menggendong bayi merahku yang baru lahir tersebut.

Akhirnya semua orang terkejut, “ ngapo adek balek, kan sudah aku omong diem lah dulu

di puskesmas itu.” Tutur suamiku, namun aku tak dapat berkata apa – apa, aku hanya diam.

Dan sangatlah ingin hatiku menuju kamar dan berbaring di tempat tidurku itu.

Tak lama kemudian badan ku terasa lemas, dan tiba – tiba aku tak bertenaga sama sekali.

 Akhirnya semua orang yang ada di rumah sudah bingung dengan kondisiku pada saat itu.

Suamiku pun menghubungi dokter yang tak jauh dari rumah, Karena kondisiku yang tak

 memungkinkan lagi untuk di bawa ke rumah sakit, karena tubuhku sudah tak dapat di gerakkan lagi.

Dan ketika dokter itu memeriksaku, dia berkata, sudahlah Pak ikhlaskan saja, dia telah tiada.

Namun suamiku tak begitu saja percaya dengan perkataan dokter tersebut, segeralah suamiku boyongku,

menuju rumah sakit yang terbaik di desaku itu. Dia meminta perawatan yang terbaik untukku,

dan semua anak – anakku telah menangisiku, dan juga suamiku telah menghubungi

semua sanak saudara yang jauh untuk datang ke rumah kami, karena kondisiku yang

tak menentu itu, setelah kurang lebih tiga bulan aku di rawat di rumah sakit tersebut,

aku selalu tebangun ditengah malam dan aku selalu menjerit – jerit ketakutan,

akhirnya suamiku penasaran apa sebenarya yang terjadi padaku, dia pun menemui

seorang ustad, lalu ustad tersebut menemuiku dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an,

 yang sempat membuatku menjerit sekuat kuatnya. Akhirnya sang ustad berkata

jika memang sejak awal aku telah di ganggu oleh makhluk yang menginginkan aku dan anakku.

 Memang pada saat aku sedang hamil tua, aku sering keluar rumah pada saat

adzan Magrib dan Subuh, namun aku melakukan semua itu seakan ada yang memaksaku.

Mungkin itu lah yang mengakibatkan semua itu. Akhirnya waktu demi waktu pengobatan

kuterus berkelajutan, dan aku tak dapat menegerjakan semua kewajibanku sebagai

seorang istri dan ibu. Namun apalah daya, jika aku mengerjakan semua pekerjaan rumah itu,

aku selalu merasa lelah dan akhirnya jatuh sakit. Waktu pun selalu berlalu,

satu per satu putra dan putriku menemukan jodoh mereka. Di  mulai dari putri keduaku,

dia menemukan jodohnya di usianya yang ke dua puluh dua tahun, dan selang waktu dua tahun,

putra ke tigaku pun menemukan seseorang yang memberikannya kasih sayang, hingga akhirnya

 mereka menuju pelaminan pada usia dua puluh tiga tahun, dan waktu terasa sangatlah cepat.

 Dan anak pertamaku pun menemukan cinta sejatinya, Adi, yah dia adalah putera pertamaku

yang sangat berbakti padaku, akhirnya Afi gadis manis yang telah berhasil mencuri hati putraku.

Hingga tiba saatnya aku hanya tinggal bersama kedua anakku dan suami tercintaku.

Kurasa setelah aku dan suamiku mendapatkan menantu, dia akan lebih sayang lagi pada keluarga,

namun semua salah, selang waktu lima bulan setelah anak anakku menikah, suamiku

 yang sangatlah ku cinta mengkhianati cinta suciku ini. Awalnya ia hanya pergi malam

bersama teman – teman prianya, seperti biasanya, itu tak membuatku curiga,

namun pada saat itu aku mendengar berita dari tetanggaku, ia mengatakan

 “Bu, kamu tau gak kalau dua malam yang lalu aku melihat suamimu bertamu

di rumah janda di seberang” perkataan itu membuat hatiku bak di sayat – sayat silet.

Hatiku bimbang siapa yang dapat ku percaya, antara suamiku atau tetangga dekatku itu,

akhirnya pada dua malam selanjutnya aku memerhatikan suamiku, tingkahnya tak berubah,

 dia masih biasa, namun pada suatu malam, aku mengikuti suamiku yang

pergi bersama teman – temannya, dan dengan diam – diam aku mengikutinya,

 hancurnya hatiku saat aku melihat suami yang ku puja dan ku percaya berjalan berdua dengan

 janda muda dan memasuki gubuk tua yang tak jauh dari taman. Tanpa fikir panjang dan

dengan rasa tak percaya, aku segera berlari untuk menuju gubuk tuaku itu.

“ ya Allah apa salahku kenapa perjalanan hidupku seperti ini, masalah selalu datang silih berganti”

 itu ucapku saat ku shalat tahajud di tengah malam, meneteslah berlian – berlian dari mataku,

dan segeraku merapikan semua perlengkapanku, karena aku tak tahan lagi, dengan semua ini,

dan aku menggendong bidadari kecilku itu, yang bernama Sari itu. Akupun segera melarikan

diri dari rumahku itu, dengan berat hati aku meninggalkan Syifa sendiri di rumah.

Dengan tetesan air mata aku berlari, aku datang kerumah ibuku, selama disana suamiku selalu

 menghubungiku dan mengajakku pulang dengan memohon maaf, namun hatiku terlanjur

 sakit dengan itu semua. Setelah beberapa minggu aku pun memutuskan untuk pulang kerumah,

 karena aku memikirkan Syifa putriku yang masih anak – anak dan

bagaimana malunya putra dan putriku yang telah berumah tangga. Suamiku pun

berjanji dia tidak akan melakukan apa yang telah ia lakukan pada saat itu.

Kehidupan kami pun sangatlah harmonis, hingga hatiku pun merasa dilema

 saat Syifa telah beranjak remaja dan dia akan melanjutkan bangku sekolahnya jauh

dariku, rasa takut, bimbang tak rela dan bahagia, semuanya bercampur dalam benakku.

 Namun dengan semua didikkan agama yang telah aku ajarkan padanya sejak ia kecil aku

 yakin ia dapat menjaga keimamannya walaupun jauh dariku dan Bapaknya.