|
HarunYahya
is a pen name used by Mr. Adnan Oktar. Born in Ankara in 1956,
Adnan Oktar is a prominent Turkish intellectual. Completely devoted to
moral values and dedicated to communicating the sacred values he cherishes
to other people, Oktar started his intellectual struggle in 1979 during
his education at Mimar Sinan University's Academy of Fine Arts.
Many
works of Harun Yahya are being currently translated into English, French,
German, Italian, Russian, Spanish, Arabic, Portuguese, Albanian, Serbo-Croat
(Bosnian), Polish, Urdu, Indonesian, Kazakh, Azeri, Malay and Malayalam.
The target is to translate all books into English and many other languages
in the near future, and thus to make them available for the benefit of all
peop
|
HARUN YAHYA
Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam",
seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri
di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada.
Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai
sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan
ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan
manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa
Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara
ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan
terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti
"ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan,
tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak
berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan
penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang
sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan
hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan
orang-orang yang lalai:
"Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka
peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus.
Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam,
19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar,
kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan
mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang
yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun
hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika
ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah.
Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas
hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini
sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika
kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy
yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah
kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya,
jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa
kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang
berdusta." (QS. Al-Mu'minuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang dari
belenggu sihir
Dalam ayat di atas, Allah
bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?.
Kata disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal
yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk
berpikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur,
berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan matanya,
sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang salah menjadi lemah.
Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak
dapat membangkitkan kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa
yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari
peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan
tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan
diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah
kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat
kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi
terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi
sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah
sebagaimana tebal kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti
bahwa magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak
kaki kita!
Setiap orang mengetahui
bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat
panas, tetapi manusia tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para
orang tua, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran
yang mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas
tidak juga memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak
anda berpikir sebentar tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah
kehilangan ingatan berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia
menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di
benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah
bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi pada
saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus? Mari kita berbicara lebih
jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa bumi tempat ia berada
hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap
dan hampa yang disebut ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya
yang lebih besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor
dengan berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak
mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu
untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya
yang setiap saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin
manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di
ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa
kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat
sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa
besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang
mampu mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang
menyadari hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat
melangsungkan kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan
oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu
diantara jutaan, atau bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan
oleh manusia. Di bawah ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam
memahami bagaimana "kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir
manusia dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa
kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka
bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka
melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah
sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan
ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang
kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut
kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi
kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah
yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka
akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta
mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki
setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat
setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak,
setiap orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang
abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal
perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah
kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia
bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup
atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat
membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan
mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka
sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita
dalam Al-Qur'an :
"Sesungguhnya kamu
berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup
(yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS.
Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas
penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi
penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa
manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh
sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan
hidup dengan tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk
merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya,
sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah
memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan
mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia.
Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa
yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah
ciptakan setiap saat.
Seseorang
dapat berpikir kapanpun dan dimanapun
Berpikir tidaklah memerlukan
waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan
di jalan raya, ketika pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan
komputer, menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika
sedang makan siang.
Misalnya: di saat sedang
mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada di luar. Ketika
menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang berbagai macam hal.
Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari ratusan orang yang sedang
disaksikannya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara
mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang
ini memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis,
bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat
berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan
bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain.
Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang
sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat
memunculkan beragam pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang,
muncul di pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas
individu-individu yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan,
rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta
perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan
dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai
anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau
kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang ini,
ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu
penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar
seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan
mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang akan
masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan bertanya
kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah
gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan
pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal
secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir
semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah
berakhir?"
Orang yang memikirkan
hal-hal semacam ini lah yang dinamakan orang yang berpikir dan mencapai
kesimpulan yang sangat bermakna dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak
berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika
mendadak ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?", maka
akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya
tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka.
Namun, seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna",
"penuh hikmah" dan "penting" setiap saat semenjak bangun
tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan
dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah
menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara
mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa
yang mereka pikirkan.
"Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan
bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka
mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan
mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil
menghadapkan diri kepada Allah
Agar sebuah perenungan
menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang
benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang
lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa
dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan
orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang
tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang
dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat
sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang
rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan.
Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang
untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan
yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh
seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian
tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah
atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh
ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang
mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam
mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu,
sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara
ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
"Dia lah yang
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki
dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada
Allah)." (QS. Ghaafir, 40: 13).
DIAMBIL
DARI "BAGAIMANA SEORANG MUSLIM BERPIKIR?"
KARYA HARUN YAHYA,
ROBBANI PRESS, INDONESIA, 2000
[ Backk ] [ Home ] [ Up ] [ Next ]
|