Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer
Happy Susanto
Abstract
Philosopical thought of peripatetic-Aristotelian which
mostly emphasize on epistemology of post-Ibn Rusyd rationalism seems has
demised. It was because of diminishing of rationality and ijtihad. In Thahafut
Al-Falasifa, Al-Ghazaly criticized his predecessors philosophical thought
by disclosing some of Ibn Sina’s misconception on metaphysics, as well as
Al-Farabi’s. Ibn Rusyd, then, put forward his critic against Al-Ghazaly’s
critic in renown Rusyd’ book, Thahafut at-Tahafut. Coming in following
period the thought of Mulla Shadra which able to combine three ways of religion
truth, viz., peripatetism, illumination and tashawuf. Nowadays, critical
thinkers have come in Arab contemporary period which would be continue
Rusydian-based thought. Two of them are Abed Al-Jabiry (from Marocco) and
Hassan Hanafi (from Egypt). Al-Jabiry more concentrated to critical Islamic
construction which makes serious efforts to connect tradition (turats)
with modernity (al-hadatsah), whereas Hassan Hanafi makes serious
efforts to liberate Ummah by reforming monotheism concept and classical
thought of Islam
Keywords: rasionalism, peripatetic, illumination,
tradition, modernity, liberation, critic, Occidentalism, tashawuf, epistemology
Perdebatan akhir-akhir ini
antara kalangan Islam “liberal”[1]
dengan Islam fundamentalis, sesungguhnya mengulang pertarungan wacana lama
antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok yang menolak rasionalisme sebagai
titik pusat dalam pencarian kebenaran –hal ini bisa diwakili oleh pemikiran
kelompok Asy’ariyah dan Khawarij. Di tengah arus global modernitas, di mana
agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme
menjadi keharusan sejarah (historical necessity) dalam
mengintepretasikan kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan.
Hubungan antara agama dan filsafat tidak lagi perlu diperdebatkan karena
--sebenarnya, jika kita mau jujur-- pendekatan filosofis-rasional sangat
membantu kita untuk memahami agama secara kontekstual dan sebagai pandangan
dunia (world view) menuju (mendekati) Kebenaran, secara arif dan
bertanggung jawab.
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu
Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang
sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para
ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang
pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena
dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak
referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M)
mengugat dan mempertanyakan kaum
filosof dalam bukunya, Tahafut
al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan penggunaan
Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam.
Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim
yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan
kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan)
sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan.
Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di
luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat
yang membentuk struktur realitas.[2] Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan
adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya,
dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud
di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi
(universal-univesal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus
secara pasti diketahui secara inderawi –ini didasarkan pada tradisi falsafat
helenisme.[3]
Hal demikian dikritik oleh Al-Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibnu
Sina ini mengingkari setiap pemahamaan tentang keagungan ilahi, artinya
mendekatkan keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang
tidak membutuhkan kabar berita tentang alam semesta.[4]
Melalui bukunya itu, Al-Ghazali menyerang dua hal utama. Pertama,
filsafat menentang prinsip-prinsipnya sendiri. Kedua, filsafat tidak
bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak memberi ruang pada agama. Hal ini
berarti bahwa apa yang dipikirkan oleh kaum filosof tentang Tuhan, mereka hanya
memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal) sehingga Tuhan tidak diberi ruang
untuk bertindak apa-apa.[5]
Anggapan bahwa Al-Ghazali telah mengakhiri riwayat
filsafat dalam dunia Islam dipersalahkan oleh Oliver Leaman. Penulis
berpendapat, sesungguhnya Al-Ghazali berusaha untuk memberikan “rem kendali”
bagi kaum filosof untuk tidak secara bebas berfikiran filosofis-rasional. Dan
Al-Ghazali sendiri telah memberikan contoh bagi sebuah perdebatan intelektual
yang mencerdaskan. Tapi, ternyata gaya kafir-mengkafirkan pemikiran para
filosof yang dikritiknya memberikan citra buruk tersendiri, sehingga para ulama
konservatif yang tidak suka filsafat kemudian menjadikan landasan argumen
Al-Ghazali sebagai penguat basis penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik
filsafat sesuangguhnya dia menggunakan logika dan pemikiran filsafat, walaupun
dia sendiri kemudian menganggap filsafat bertentangan dengan agama. Dan Ibnu
Rusyd (1126-1198 M), mengkritisi pandangan Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut
at-Tahafut, yang isinya setebal 1006 halaman.
Ibnu Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan
pendekatan filosofis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan
menuju pencerahan.[6] Aspek
rasionalitas filsafat Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu
Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau
diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim.
Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama,
tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur
yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the
theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran.[7]
Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah
Al-Kindi[8],
filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama
Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama
mewajibkan kita berfilsafat. [9]
Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan
Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.
Pemikiran filsafat di belahan barat Dunia Islam
mengalami kemunduran setelah serangan Al-Ghazali. Tapi, di sebelah timur,
filsafat terus berkembang sampai sekarang dalam penjelasan (syarah) dan
penambahan (hasyiyah). Figurnya adalah Syuhrawardi (1154-1191 M) dan Ibn
Al-‘Arabi (1164-1240 M), dan mencapai puncak pada Mulla Shadra (1571-1572 M).
Syuhrawardi adalah konseptor aliran isyraqi atau filsafat iluminasi, dan
dia mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia
melihat pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya
dan Sumber Realitas itu. Menurutnya, hal ini tidak bertolak-belakang dengan filsafat
Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran shahih dalam terhadap
pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi sanggup
bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian
dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna.[10]
Suhrawardi menganggap metode definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid
untuk memperoleh pengetahuan. Bagi Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam
epistemologi illuminasi adalah jenis pengetahuan yang unqualified, yaitu
yang diketahui melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan antara
pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan Bentuk-bentuk abadi
yang tidak berubah.[11]
Ibn Al-‘Araby, dengan
pendekatan filsafat illuminasi berusaha menginternalisasikan mistisisme ke
dalam filsafat, setelah Al-Ghazali mempeloporinya. Al-Ghazali telah melakukan
sejumlah hal penting untuk membuat sufisme lebih bertanggung jawab, kerja
seperti ini kemudian disistematisasikan oleh Ibn Al-‘Araby. Kalau dimasukkan ke
dalam empat kelompok pencari kebenaran model Al-Ghazali, maka Ibn Al-‘Araby
masuk pada golongan kaum sufi.[12]
Ibn Al-‘Araby dikenal dengan doktrin wahdatul al-wujud (ketunggalan
wujud), yang mengidentikkan Tuhan dan alam, dengan argumentasi bahwa jika
keduanya dipisah maka tidak akan menangkap inti realitas sebenarnya. Pandangan
ini ditandingi oleh Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) dengan doktrin wahdah
al-syuhud (ketunggalan penyaksian), dengan argumen bahwa alam adalah
refleksi dari Tuhan.[13]
Ada
empat sumber utama yang dilakukan para filosof dalam mencari kebenaran, dan ini
sangat membantu dalam memahami pemikiran Mulla Shadra.[14]
Pertama, filsafat Paripatetik Islami, yang dimulai dari Al-Kindi sampai
Ibnu Rusyd, dan utamanya adalah Ibnu Sina. Kedua, filsafat
illuminasionisme (teosofi isyarqi), yang dilakukan oleh Suhrawardi, dan
diikuti oleh para pensyarahnya, seperti Quthb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din
Dawani. Ketiga, ajaran tasawuf yang dipopulerkan oleh Ibn al-‘Araby dan
pembahas ajarannya, seperti ‘Ayn al-Qudhat al-Hamdani dan Mahmud Syabistari. Keempat,
pemikiran syariat Islam yang telah menjadi pemikiran sentral dalam dunia Islam
sampai saat ini.
Menurut
Mulla Shadra, secara umum, memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode,
yaitu metode Hushuli dan metode Hudhuri. Metode hushuli
ialah metode memperoleh ilmu melalui upaya sengaja, sesuai alat yang digunakan
manusia. Metode ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu wahyu (naqly)
dan akal (‘aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode
memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek,
sehingga ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode
ini adalah bagaimana hati (qalb) ditempelkan dengan obyek (ma’qul).
Konsep hudhuri Mulla Shadra adalah kemamppuan manusia menangkap totalitas
wujud, baik materi maupun maknanya, yang diperoleh melalui mukasyafah
dan musyahadah dengan kesadaran penuh manusia setelah memperoleh cahaya
dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan kedua metode di atas.
Pemikiran
Ibnu Rusyd di bagian barat dunia muslim dan pemikiran Mulla Shadra di bagian
timur, telah kehilangan elan vital dalam menumbuhkan kesadaran berfikir
masyarakat Islam. Apalagi, sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan
kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim,
lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas
telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi
tantangan besar agama-agama (termasuk Islam) dalam menjawabnya. Lalu, dalam
dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat
(dalam bentuk ideologisasi dan orientalisme) dan menumbuhkan tradisi pemikiran
dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju
peradaban Islam.
Dalam
filsafat kontemporer Arab, berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah
dibangunkannya umat dari kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir
besar, semisal Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh
(1848-1905 M), yang mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan
Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern.[15]
Dari sini kemudian diskusi seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi
perbincangan yang menarik. Terjadi dua kubu yang berlawanan dalam memahami
modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan ada yang berupaya berfikir
secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara Isam dan
Barat.
Dalam tulisan ini, sengaja penulis paparkan
tentang pemikiran Islam masa klasik karena sebenarnya apa yang sedang dilakukan
oleh para pemikir Islam (Arab) kontemporer berusaha untuk menghidupkan tradisi
ijtihad dan rasionalisme berfikir dalam memahami agama agar terjadi
keterhubungan wacana dan praksis dengan realitas modernitas masa kini. Muhammad
Abduh adalah pemikir pembaharu Islam yang telah membuka jalan bagi pendobrakan
pintu ijtihad dari ketertinggalan umat dalam merespon zaman. Tulisan ini
mencoba memaparkan pemikiran intelektual muslim kritis kontemporer yang
tergabung dalam kubu “Post Tradisionalisme Islam”.[16]
Disebabkan karena terbatasnya ruang untuk membedah seluruh pemikiran
intelektual yang tergabung dalam kubu ini, maka hanya dibatasi pada tela’ah
pemikiran M. Abed Al-Jabiry (asal Maroko) dan Hassan Hanafi (asal Mesir).
Apa
yang disebut dengan tradisi (turats)? Dan bagaimana kita memperlakukan
tradisi agar bisa menjawab modernitas? Tradisi, dalam pandangan M. Abed
Al-Jabiri adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal
dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut
adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara
masa lalu dan masa kini.[17]
Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu
yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya
adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita
dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.[18]
Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan
dengan masa kini. Dalam kaidah Postra atau NU liberal dikenal kaidah : “al-muhafadhatu
bil-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama
yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya, tradisi itu
direkonstruksi dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran kontemporer.
Metodologi
yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan
pendekatan “Obyektivisme” (maudlu’iyah) dan “Rasionalitas” (ma’quliyah).[19]
Obyektivisme artinya menjadikan tradisi lebih kontektual dengan dirinya, dan
berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah
dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap
tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara
subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud dengan
rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan kondisi
kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan
menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini
dilakukan agar didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi.
Al-Jabiri
sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk
menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek
peradabannya, dengan menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap.[20]
Dalam bukunya Nahnu wa at-Turats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina
al-Falsafi (Kita dan Warisan Pembacaan Kontemporer terhadap Warisan
Filsafat Kita)[21], Al-Jabiri
memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan
epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis filsafat
Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan
muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik
sosio-politik ketika ia dibangun.[22]
Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Al-Jabiry dalam
studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi merupakan kumpulan kaidah
berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Sedangkan,
istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi arah
pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh bisa saja
menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang
dihadapinya.[23]
Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar
pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi
otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi).[24]
Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis
dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam
membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari
realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Menurut Al-Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau
warusan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan
kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama
dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.[25]
Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik,
sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Untuk
menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan untuk membangun
epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema al-Jabiri
hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : Pertama, disiplin “eksplikasi”
(‘ulum al-bayan) yang didasatkan pada metode epistemologis yang
menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara
epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang
telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan
“pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme,
pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat
illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum
al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi
empiris dan inferensiasi intelektual.[26]
Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani
adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya.
Yang
menarik dalam pemikiran Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi dengan
modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam
pembacaan terhadap teks-teks agama. Pertama, kontribusi rasionalisme
Ibnu Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu
Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi
pemikiran rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan
asiomatik ini mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi
sistem pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh
Aristoteles beberapa abad sebelumnya.[27]
Ada
tiga tradisi pemikiran yang dominan pada masa Ibnu Rusyd, yaitu : tradisi kalam
dan filsafat, tradisi fiqh dan ushul fiqih, dan tradisi tasawuf teoretik. Pada
ketiga tradisi itu, sama-sama meniadakan pendekatan ilmiah-rasionalisme atau burhani.
Ibnu Rusyd menyerukan untuk mengikuti garis-garis pemikiran rasionalisme dan
pembelaannya yang sangat heroik terhadap argumen kausalitas, sebagai jalan
perjuangan demi “pembalikkan” atas situasi saat itu. Dan proyek besar Ibnu
Rusyd adalah merekonstruksi dimensi rasionalitas dalam agama dan filsafat atas
dasar prinsip burhani. Dia melakukan dua langkah untuk meloloskan proyeknya. Langkah pertama, Ibnu Rusyd
memberikan komentar dan ringkasan atas karya-karya Aristoteles dengan tujuan
untuk memudahkan bagi pembaca dalam memahami pemikiran filsuf Yunani tersebut.
Dan langkah kedua adalah membantah dan melakukan serangan balik terhadap
Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut at-Tahafut.[28]
Kedua,
kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam syari’ah. Dalam kontribusi ini, Ibnu
Rusyd membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat dan agama.
Menurutnya, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama berserta
larangan-larangannya dibangun atas landasan moral keutamaan atau fadlilah.[29]
Landasan ini sama dengan yang ada pada filsafat. Maka tidak heran jika Ibnu
Rusyd mempersandingkan agama dengan filsafat : “al-hikmah hiya shahib
al-syari’ah wa al-ukht al-radli’ah” (filsafat merupakan kawan akrab
syari’at dan teman sesusuannya).[30]
Bagi Ibnu Rusyd, bila dalam permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka
hal itu merupakan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam menafsirkan keduanya. Hal
itu disebabkan tidak dipakainya rasionalisme dalam penafsiran agama. Kata Ibnu
Rusyd, agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, tapi
malah menganjurkannya, agar menjadi sarana yang efektif bagi kalangan ulama
atau kaum rasionalis (ashab al-burhan) untuk memahami agama secara
rasional.[31]
Ketiga,
kontribusi rasionalisme al-Syatibi. Apa yang dikemukakan Ibnu Rusyd kemudian
memunculkan pertanyaan : bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam
disiplin agama, yang atas dasar prinsip “al-qath’i” (kepastian)?
Al-Syatibi (w.790 H) menjawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Hal ini
dimungkinkan apabila kita mengacu pada metode rasionalisme atau burhani,
sehingga disiplin ushul fiqih pun didasarkan pada prinsip “kulliyah
al-syari’ah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “maqashid
al-syari’ah”. Prinsip “kulliyah al-syari’ah” berposisi sebagaimana
posisi pada “al-kulliyah al-aqliyah” dalam filsafat. Sedangkan “maqashid
al-syari’ah” serupa dengan posisi “al-sabab al-gha’iy” (sebab akhir)
yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran rasional.[32]
Untuk
bisa mencapai “al-kulliyah al-aqliyah” itu maka kita menggunakan metode
yang berlaku dalam “al-kulliyah al-‘ilmiyah” atau universalitas-universalitas
ilmu-ilmu alam dan filsafat. Metodenya adalah induksi (istiqra’),
sebagai cara untuk meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik atau juz’iyah.
Dari sana kemudian ditarik beberapa prinsip universalitas.
Universalitas-universalitas syariat bersifat pasti dan yakin (qath’i) dengan tiga prinsip, yaitu : (i) prinsip
keumuman dan keterjangkauan, (ii) prinsip kepastian dan ketidakberubahan, dan
(iii) prinsip legalitas (al-qanuniyah).[33]
Penjelasan di atas adalah pada konsep
universalitas dalam syari’at. Sedangkan dalam prinsip “maqashid al-syari’ah”,
al-Syatibi menyebut empat unsur pokok yang menentukan. Pertama,
sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam rangka memelihara dan menjaga
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, syari’at agama
diberlakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat manusia. Ketiga,
adanya unsur taklif, pembebanan hukum-hukum agama kepada manusia.
Pertimbangannya, Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuan dan
kesanggupannya. Dan keempat, “melepaskan sang mukallaf dari
belenggu dorongan hawa nafsunya”.[34]
Kesemua unsur di atas harus melekat pada tujuan dari diberlakukannya syari’at.
Lalu, kontribusi terakhir yang
ditawarkan Al-Jabiri adalah dari rasionalisme Ibnu Khaldun. Kelebihan Ibnu
Khaldun dalam memaparkan sejarah, seperti dalam kitabnya, Muqaddimah,
adalah “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab
dan latar belakang terjadinya sesuatu ; juga pengetahuan yang akurat tentang
asal-usul, perkembangan, dan riwayat hidup matinya kisah peradaban manusia”.
Menurut Al-Jabiri, dengan metode semacam ini, displin sejarah menjadi bagian
dari tradisi keilmuan rasional.[35]
Penulis menganggap bahwa Al-Jabiri sangat apresiatif terhadap Ibn Khaldun
karena ia telah memberikan jalan bagi empirisisme penelitian sejarah, yang juga rasional. Ukuran validitas sejarah
Ibnu Khaldun adalah pengetahuan “thaba’i al-Umran” (dinamika-dinamika
internal yang umum atau biasa terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan sosial
manusia).[36]
Maka, upaya untuk membangun tingkat
rasionalitas dalam ilmu sejarah, yakni rasionalitas dalam arti kepastian
faktualitas suatu kasus atau cerita. Nah, sebab-sebab untuk membangun derajat
rasionalitas sesuatu, yaitu “sebab-sebab yang berlaku secara alami dan
lahiriah, dan mampu dipahami dan dijangkau oleh akal dalam bentuk yang teratur
dan apik”. Sebab-sebab metafisik atau “sebab-sebab esoterik” (asbab khafiyah)
tidak masuk dalam pengertian di atas.[37]
Pandangan Ibnu Khaldun nampak empirik sekali, yaitu dengan melihat fakta dan
lahiriah sesuatu obyek pengamatan. Apabila pengamatan itu dimasuki oleh agama
maka bagi Ibnu Khaldun, analisanya seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dan
al-Syatibi, yaitu faktor kemaslahan (maslahah).
Setelah kita membedah pemikiran M. Abed Al-Jabiri yang
sangat kental dengan gagasan epistemologi dan metodologisnya, maka kini kita
melangkah pada gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada
praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena
tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan
menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada
metodologi yang dipakainya. Penulis bernganggapan bahwa apa yang selama ini
dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam (dan Arab),
dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual
menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.
Hassan Hanafi meluncurkan jurnal
berkalanya Al-Yasar al-Islami : Kitabat fi al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri
Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini
merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar, yang
menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan,
menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke
dalam blok Islam atau blok Timur.[38]
Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979.
Tak pelak lagi, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi
dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu
sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus
memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam.[39]
Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme
karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. [40]
Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi
tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh
bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan
pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan
pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi
pembenaran atas kekuasaan yang menindas.[41] Upaya rekonstruksi ini diawali dengan
menjaga jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran keagamaan resmi yang telah
bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi
perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit.
Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang
memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan
berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh
Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan
dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad
Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction
of Islamic Thoughts).[42]
Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam
bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi
Islam, dan kesatuan umat.[43]
Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik.[44]
Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi
menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan
untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian
di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat.[45]
Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat, dan dia
mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir makalah
ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia (termasuk Islam).[46]
Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan
mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer.
Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : revitalisasi khasanak klasik (sikap
kita terhadap tradisi lama), menentang peradaban Barat (sikap kita terhadap
tradisi Barat), dan analisis atas realitas (sikap kita terhadap realitas atau
“teori intepretasi”). Dari ketiganya, posisi “ego” (aku, artinya umat Islam)
berada di tengah –hal ini akan dibahas kemudian.
Sebelum melangkah pada oksidentalisme, kita perlu
bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats).
Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan
orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri,
yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita.
Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang
hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah
sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta
membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.[47]
Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi
kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi
kekuatan yang membebaskan.
Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas Arab
saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua
hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab. Tradisi, pada
dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat
memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya
dengan Tuhan. Hassan Hanafi mensyaratkan revolusi kemanusiaan sebelum melakukan
pembangunan lainnya, sebagai langkah awal dalam mewujudkan kehidupan yang
manusiawi.[48] Bahkan,
dengan berjilid-jilid buku yang menjadi bagian dari proyeknya adalah usaha
untuk mengubah kata “Tuhan” menjadi kata “Manusia”, seperti dikatakan
teman-teman dalam sebuah diskusi terbatas di P3M tentang “Hermeneutika
Pembebasan Hassan Hanafi”.
Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk
merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam
bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk
menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi
kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana
wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban.[49]
Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi
peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan
hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan
werternis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah
bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam
melihat Barat dan upaya westernasasi.
Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksidentalisme
adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme.
Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka
Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego
dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab
al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab
al-‘uzma) pada pihak the other.
Orientalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the
other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini
terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan
Oksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the
other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan
menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas
kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji.[50]
Hanya saja Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan
tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga
tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui
keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi,
ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego
Orientalisme. [51]
Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh
penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam
lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam memberikan kontribusi bagi
pembebasan.[52]
Oksidentalisme adalah bagian dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran kolektif umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the
other. Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih
menggunakan baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa.
Teks itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna (meaning) dan intepretasi baru (significance).
Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu menjadi relevan
dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi dan juga M. Abed
Al-Jabiri perlu diapresiasi lebih mendalam, karena mereka adalah pelanjut bagi
tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis, setelah Ibnu Rusyd dan M.
Abduh.
Catatan Akhir:
[1] Sengaja diberi tanda petik karena ternyata
pemikiran yang melakukan liberasi agama terkotak ke dalam dua kubu, yaitu Islam
Liberal (yang mendirikan Jaringan Islam Liberal -- JIL) dengan Post Tradisionalisme
Islam (yang diwakili komunitas intelektual muda NU, seperti Lakpesdam dan
LKIS). Keduanya, sama-sama meliberasikan wacana agama ke arah pemikiran Islam
yang membebaskan, hanya saja keduanya berbeda pada dataran konseptual dan
orientasi kegiatan. Islib berangkat dari modernisme (atau neo-modernisme)
seperti diwakili oleh pemikiran Fazlur Rahman dan Cak Nur, sedangkan Postra
berangkat dari tradisi yang harus didialogkan dengan modernitas, seperti
diwakili oleh pemikiran M. Arkoun, M. Abed Al-Jabiri, Hassan Hanafi, Abu Zayd,
dan sebagainya. Jika Islib orientasinya lebih pada dataran makro-struktural,
seperti konsepsi negara dan politik, tapi Postra lebih berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat dengan gerakan emansipatorisnya.
[2] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah
Pendekatan Tematis, (Bandung : Mizan, 2001), hlm. 7.
[3] Fazlur Rahman, “Ibnu Sina”, dalam M.M. Syarif
(ed.), Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1993), cet. V, hlm. 133.
[4] Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa,
(Mesir : Darul Ma’arif, 1972), cet. V, hlm. 148.
[5] Oliver Leaman, op.cit., hlm. 8
[6] Ada sebuah ironi besar dalam dunia pemikiran
Islam. Ibnu Rusyd, sebagai filosof paripatetik-Aristotelian yang memberikan
jalan pemikiran rasional dengan menafsirkan pemikiran-pemikiran Aristoteles
justru dipelajari oleh pihak Barat, dan ternyata memberikan manfaat luar biasa
bagi bangunan peradaban mereka yang kini nampak hegemonik. Di dunia Islam
sendiri, sejak beberapa abad yang lalu, pemikiran filsafat kurang mendapat
tempat. Pemikiran syari’at (fiqih) dan
tasawuf yang menjadi arus besar wacana agama selama ini, walaupun
keduanya sering bertentangan. Pemikiran Islam kontemporer ingin membangun
kembali rasionalisme Rusydian sebagai geliat pemikiran baru dalam menghubungkan
tradisi (teks) dengan modernitas menuju paradaban Islam.
[7] Ibid.
[8] Al-Kindi (w. antara 866 M dan 873 M) mengarahkan
filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Seperti diketahui
umumnya, bahwa filsafat berlandaskan akal-pikiran, sedang agama berdasarkan
wahyu. Menurutnya, keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga
alasan : (1) Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) Wahyu yang
diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, dan (3)
Menurut ilmu, secara logika, berfilsafat adalah diperintahkan dalam agama.
Dikutip oleh Ahmad Fuad El-Ehwani, “Al-Kindi”, dalam M.M. Syarif (ed.), op.cit.,
hlm. 17.
[9] Paparan tentang perpaduan agama dan filsafat
dikemukakan dalam Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syariah
min al-Ittishal, ed. M. Emara (Kairo:Dar al-Ma’arif, 1972).
[10] Oliver Leaman, op.cit., hlm. 11.
[11] Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat
Illuminasi, Pencerahan Ilmu Pengetahuan, (Bandung : Zaman Mulia Wacana,
1998), hlm. 127.
[12] Al-Ghazali, dalam kitabnya Munqidz min
Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesesatan) (1953:26-7), membuat empat kelompok
pencari kebenaran, yaitu : (i) para teolog (al-mutakallimun) yang
mengaku sebagai para pelopor pemikiran dan spekulasi intelektual, (ii) kaum bathiniyyah
yang mengaku sebagai para pemegang ta’lim (ajaran otoritatif) melalui
para imam maksum, (iii) para filosof yang mengaku sebagai para pendukung logika
dan pembuktian (demonstration), dan (iv) kaum sufi atau mistikus yang
mengaku sebagai satu-satunya yang menerima “kehadiran” (Tuhan) dan mempunyai
penglihatan serta pemahaman intuitif. Dikutip Oliver Leaman, op. cit.,
hlm. 9.
[13] Ibid, hlm. 11.
[14] Penjelasan tentang Mulla Shadra diperoleh dari
makalah Fakhruddin dalam diskusi kecil di International Institute of Islamic Thought
(IIIT) Indonesia, dengan judul “Epistemologi dan Nalar Islami Mulla Shadra”,
pada tanggal 30 April 2002.
[15] Ibid, hlm. 12-13.
[16] Zuhairi Misrawi, salah seorang pentolan
intelektual muda NU, mencatat ada tiga sayap dalam kubu Postra. Pertama,
sayap ekletis (al qira’ah al-intiqiyah). Kelompok ini mencoba
menghubungkan antara orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’ashirah)
dalam membangun teori tradisi. Prinsip yang dipakai adalah membuang unsur-unsur
yang negatif dalam tradisi dan mengambil sisi positif tradisi untuk memecahkan
persoalan kekinian. Tokohnya adalah Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud. Kedua,
sayap revolusioner (al-qira’ah al-tsauriyah). Proyeknya adalah melakukan
revolusi dan liberasi pemikiran keagamaan yang telah berlangsung berabad-abad
lamanya. Dan juga merekonstruksi pemikiran klasik dengan memasukkan nilai-nilai
humanistik dalam kajian keagamaan. Tokohnya adalah Hassan Hanafi. Dan Ketiga,
sayap dekonstruktif (al-qira’ah al-tafkikiyah). Upaya yang dilakukan
adalah bongkar pasang tradisi secara komprehensif, sehingga menimbulkan
kontroversial. Bahkan untuk
mendekonstruksi wacana agama, mereka menggunakan pemikiran-oemikiran
modern dan metodologinya dari kalangan post-modernis, post-strukturalis,
hermeneutika, dan analisis semantik atau semiotika. Tokohnya adalah M. Abed
Al-Jabiru, M. Arkoun, Abu Zayd, Aliya Harb, M. Shahrur, dan sebagainya. Lihat
Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam,
Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10,
Tahun 2001, hlm. 58-59.
[17] M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam,
(peny. Ahmad Baso), (Yogyakarta : LKIS, 2000), hlm. 24.
[18] Ibid, hlm. 25.
[19] Ibid, hlm. 28.
[20] Tetralogi yang tergabung dalam proyek peradabannya
adalah : (i) Takwin al-‘Aql al-Araby (Formasi Nalar Arab). Seri Kritik
Nalar Arab I (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1991), cet.V, (ii)
Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Struktur Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab
II (Beirut : Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1996), cet. V, (iii) al-‘Aql
as-Siyasi al-Araby (Nalar Politik Arab). Seri Kritik Nalar Arab III (Beirut
: Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1995, cet. III, dan (iv) ‘Aql
al-Akhlaq al-Araby (Nalar Etika Arab). Seri Kritik Nalar Arab IV (Beirut :
Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 2001). Dalam tetralogi itu, proyek
metodologis pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Kritik Nalar Arab”, terbagi atas dua model.
Pertama, kritik nalar epistemologis. Nalar ini sifatnya spekulatif, yang
mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berlaku di kalangan
umat Islam. Kedua, nalar politik. Yaitu nalar praktis yang melakukan
kritik pemikiran dalam bagaimana cara umat Islam berkuasa, menguasai, dan
mempertahankan kekuasaan. Persoalan etika masuk dalam nalar kedua karena
terkait dengan perilaku umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Seri Kritik
Nalar Arab I dan II adalah model nalar epistemologis, sedangkan dua yang
terakhir adalah model nalar praktis. Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam
Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No.
10, Tahun 2001, hlm. 33.
[21] Beirut : Dar ath-Thali’a, 1980.
[22] Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar
Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta : LKIS, 2001), hlm. 64.
[23] Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse,
“Kritik Akal Arab : Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik
Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan, Mosaik
Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung L Mizan, 2001), hlm. 304.
[24] Issa J. Boullata, op.cit., hlm. 65.
[25] M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam,
op.cit., hlm. 6.
[26] M. Abed Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘arabi,
Vol 1, hlm. 56-71.
[27] Op. cit, hlm. 150.
[28] Ibid, hlm. 151-153.
[29] Ibid, hlm. 162.
[30] Ibnu Rusyd, “Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina
al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal”, dalam Ibnu Rusyd, Falsafah Ibn
Rusyd, (ed. Mushtafa Abd al-Jawab Umran), (Kairo : al-Maktabah al-Tijaruyah
al-Mahmudiyah, 1968), hlm. 35.
[31] M. Abed Al-Jabiri, op. cit., hlm. 163.
[32] Ibid, hlm. 166-167.
[33] Ibid, hlm. 167-168.
[34] Ibid, hlm. 169-170.
[35] Ibid, hlm. 172.
[36] Ibid, hlm. 173.
[37] Ibid, hlm. 175.
[38] Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta
: LKIS, 2001), cet. V, hlm. 85.
[39] Kazuo Simogaki, ibid, hlm. 8.
[40] M. Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi : Dari Islam
“Kiri”, Revitalisasi Turats, hingga Oksidentalisme”, dalam. M. Aunul
Abied Shah (ed.), op.cit., hlm. 225. Hassan Hanafi menjelaskan : “Kiri
adalah konsep ilmu sosial. Kiri adalah kekuatan untuk berubah. Revolusi Islam,
keadilan Islam, jihad Islam, semua itu konsep Kiri Islam…Kiri Islam tidak ada
pengaruh dari Marxisme atau Sosialisme, karena pemikiran saya dilatarbelakangi
keadaan sosial di negara-negara Islam yang mayoritas masih didominasi
kemiskinan dan angka pengangguran yang tinggi, misalnya Indonesia. Kita tidak
perlu menjadi seorang Marxis untuk dapat melihat bahwa persoalan keadilan
sosial di sini. Mengapa orang yang berbicara tentang keadilan sosial harus
seorang Marxis?”. Diambil dari wawancara dengan Hassan Hanafi yang dimuat dalam
Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-11 Juni 2001.
[41] M. Ridlwan Hambali, op.cit., hlm. 225-226.
[42] Hassan Hanafi, op.cit, hlm. 93-94.
[43] Kazuo Simogaki, op.cit., hlm. 7-8.
[44] Pilar pertama ini adalah salah satu agenda dari
proyek “Tradisi dan Pembaruan” (al-turats wa al-tajdid) yang sejak lama
dipersiapkan oleh Hassan Hanafi. Pilar ini adalah “sikap kita terhadap tradisi
lama”, yang merupakan agenda awal proyeknya. Pembahasan dalam agenda ini adalah
: (i) Dari Teologi ke Revolusi (Min Aqidah ila al-Tsawrah), (ii) Dari
Tranferensi ke Inovasi (Min al-Naql ila al-Ibda’), (iii) Dari teks ke
Realita (Min al-Naql ila al-Waqi’), (iv) Dari Kefanaan Menuju Keabadian
(Min al-Fana’ ila al-Baqa’), (v) Dari Teks ke Rasio (Min al-Naql ila
al-‘Aql), (vi) Akal dan Alam (Al-‘Aql
wa al-Thabi’ah), dan (vii) Manusia dan Sejarah (al-Insan wa al-Tarikh).
Hassan Hanafi sangat berobsesi untuk merekonstruksi ilmu-ilmu lama, yaitu
ilmu-ulmu yang berdimensi rasional-tekstual (‘aqliyah-naqliyah),
ilmu-ilmu yang berdimensi tekstual murni (naqliyah), dan ilmu-ilmu yang
berdimensi rasional murni (al-‘aqliyah al-khasah). Kesemuanya berangkat
dari wahyu, sebagai pusat untuk kemudian membentuk metodologi. Lihat Hassan
Hanafi, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta :
Paramadina, 2000), hlm. 1-3.
[45] Pilar ini diambil dari pembacaan Kazuo Simogaki
terhadap proyek “Kiri Islam”-nya Hassan Hanafi. Sebenarnya, tidak sepenuhnya
berarti melawan peradaban Barat. Secara akademik-teoritik, kita perlu membaca tradisi
Barat secara obyektif agar kita dapat memahami bagaimana Barat berhasil dalam
membangun peradabannya. Memang, implikasi yang terjadi adalah kolonialisme dan
penguasaan terhadap dunia Islam atau Timur, dan kita juga perlu melawan
kenyataan ini. Jadi, melihatnya secara obyektif dan rasional. Hassan Hanafi
menunda tiga bagian yang menjadi agenda kedua ini karena menunggu selesainya
tujuh bagian dari agenda pertama. Tiga bagian dalam agenda kedua itu adalah :
(i) Sumber peradaban eropa, (ii) Permulaan Kesadaran Eropa, dan (iii) Akhir
kesadaran Eropa. Lihat ibid., hlm. 3.
[46] Agenda ketiga ini juga ditunda oleh Hassan Hanafi
demi menunggu rampungnya kedua agenda sebelumnya. Yang dibahas dalam agenda
ketiga ini, rencananya adalah : Metodologi, Perjanjian Baru, dan Perjanjian
Lama. Ibid.
[47] Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid,
Mawqifuna min Al-Turats Al-Qadim, (Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’ah li
Al-Dirasah wa Al-Nasyw wa Al-Tauzi’, 1992), hlm. 14-19.
[48] Ibid, hlm. 11.
[49] Issa J. Boullata, op. cit., hlm. 62.
[50] Hassan Hanafi, op. cit. hlm. 25-26.
[51] Ibid, hlm. 29.
[52] Pembasan mengenai ini dapat dibaca bukunya Ilham
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut
Hassan Hanafi (Bandung: Teraju, 2002).