Media Indonesia, 18 Agustus 2002

Hal 17.

Rubrik: Tamu Kita

 

Memasyarakatkan Keris ala Bambang

 

"MENDALAMI keris sebenarnya bukan mau saya, tapi maunya Tuhan," kata Bambang Hasrinuksmo, 59, tentang gelar pakar keris yang disandangnya saat ini. Sebab, ungkapnya, gelar itu tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Lihat saja, walaupun besar dalam keluarga yang menjunjung tinggi etika dan budaya Jawa cenderung dekat dengan dunia perkerisan-, justru pertemuan Bambang dengan dunia ini dimulai pada saat ia terjun di jagat jurnalistik, pada 1979.

Saat itu, di tempatnya bekerja - SKM Buana Minggu Jakarta - akan menyelenggarakan acara Siraman Massal (Marangi) di Jakarta. Event itu dimaksudkan, untuk mempermudah masyarakat Jawa melakukan upacara yang biasanya cuma dilakukan di Jawa Tengah.

Sebagai penanggung jawab acara tersebut, pria kelahiran Klaten, 5 September 1943, ini kemudian berangkat ke Yogyakarta untuk menjemput dan berkenalan dengan empat orang ahli keris. Antara lain, Raden Bekel Widyosastro Setiko, dan Raden Rio Kumudasmoro, seorang ahli pencucian keris yang menguasai tiga ilmu penting dalam perkerisan.

Tiga ilmu keris itu, tangguh - ilmu mengenai perkiraan umur atau zaman pembuatan keris -, tayuh - ilmu mengenai perkiraan cocok atau tidaknya seacorang dengan keris yang dimilikinya -, serta tanjeg - ilmu mengenai perkiraan mantaat atau tuah suatu keris atau tosan aji lainnya -. Sebelum Marangi dimulai, Mpu Raden Bekel Widyosastro Setiko bertanya kepada Bambang tentang seluk beluk keris dan tata cara upacara siraman.

"Ketika itu saya jawab terus terang, kalau tidak paham sama sekali tentang keris," ungkap ayah dua anak ini. Mpu Setiko pun merespons pengakuan Bambang, dengan memberikan kursus kilat tata cara pencucian keris.

Pelaksanaan upacara pencucian keris, berlangsung setelah terlebih dahulu diadakan kenduri, meliputi pembacaan doa dan persiapan sesaji. Prosesi pertama adalah jamasi - siraman/pencucian - keris menggunakan warangan, sejenis batu kristal yang mengandung Arsen oksida, As2O3, yang terlarut dalam air jeruk nipis. Iarutan ini gunanya sebagai pelapis besi agar keris tidak cepat berkarat.

Dan setiap kali pencucian, tambah Bambang, biasanya keris mengalami penurunan bobot sebanyak 0,2 hingga 0,6 gram, tergantung kondisi keris. Maka itu, sebaiknya pencucian keris hanya dilakukan pada saat keris benar-benar kotor, terutama untuk keris yang telah berusia lanjut.

 

Kekuatan gaib

Nah rupanya, upacara Marangi ini memberikan inspirasi bagi Bambang untuk mempelajari keris lebih mendalam. Maka itu, setiap ada kesempatan ke daerah, ia kerap menemui ahli keris setempat. Antara lain, Mr BPH Sumodiningrat, Fausan Pusposukadgo dan Suratman. Wignyosukadgo, di Solo. Atau Djeno Harum Brojo, di Yogyakarta.

Bahkan, suami Sri Kusumawati, 56, ini sempat juga mendalami ilmu perkerisan yang disebut eksoteri -hal yang memiliki tolok ukur- maupun ilmu esoteri yang berkaitan dengan gaib, tidak bisa dilihat, dirasakan, serta didengar, dari seorang budayawan keris di Jakarta, Haryono Haryo Guritno.

Bambang berobsesi ingin membuka tabir sejumlah pameo tentang keris agar generasi muda mengetahui akan keberadaan keris dan tidak terperangkap dalam anggapan miring tentang keris tersebut. Soalnya tidak sedikit masyarakat yang beranggapan keris identik dengan kemusyrikan.

"Padahal yang musyrik adalah orangnya, bukan bendanya," tegas Bambang. Dia mengiakan, adanya keris yang memiliki 'isi', namun tidak semua keris itu berhubungan dengan makhluk halus.

Ada tiga cara pengisian keris. Pertama, dengan berkah Ilahi, empu yang membuat keris berdoa kepada Tuhan agar keris itu diberi keberkahan. Cara kedua dengan pengisian yoni atau makhluk halus ke dalamnya. Ketiga, dengan induksi atau penularan, si empu menyalurkan energinya ke dalam suatu keris, sehingga keris itu akan mempunyai berkah. "Pengisian keris dengan cara pertama, biasanya menghasilkan berkah yang abadi,sedang cara kedua dan ketiga bersifat temporer," tegasnya.

Terlepas dari sisi mistik yang hadir di belakang keberadaan sebuah keris. Benda yang termasuk dalam tosan aji -senjata jawa- itu tetaplah sebuah senjata. Bahkan budaya yang berkembang dalam masyarakat Jawa mensyaratkan keris sebagai perlambang laki-laki telah menjadi seorang pria sejati. Ada anggapan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi seorang lakilaki dalama hidupnya, yaitu curigo (keris/ senjata), turonggo (kuda/ kendaraan), wismo (rumah), wanito (istri), dan kukilo (burung/hiburan).

 

Menulis buku keris

'Kegilaan' Bambang terhadap dunia perkerisan, membuat dia rela menggantungkan pulpen serta blocknote, meninggalkan tugas jurnalistik yang telah digelutinya selama seperempat abad.

Mantan wartawan ini mulai mencurahkan perhatiannya untuk pendalaman pengetahuan tentang keris. Lebih dari 80% literatur asing maupun lokal herkaitan dengan keris telah dibacanya.

Bahkan, dia berhasil menulis 12 buku tentang keris dan senjata jawa. Antara lain, Ensiklopedi Nasional Indonesia (198&1990), Ensiklopedi Budaya Nasional tentang Keris dan Senjata Tradisional (1988) yang juga melibatkan Bambang.

Pada 1983, pria kurus dan bersahaja ini kemudian mendirikan sebuah kelompok pencinta keris cabang dari Perhimpunan Pametri Wiji (organisasi penggemar keris) di Yogyakarta. Pada 1994, Bambang mendirikan pula Persaudaraan Penggemar Tosan Aji bernama Damartaji.

Tidak sampai di situ, pergulatan Bambang dengan keris pun bertambah intens. Setahun kemudian, dia memimpin rombongan Pusat Keris Jakarta untuk berpameran di Brunei Darussalam.

Bahkan, untuk terus memasyarakatkan keris kepada masyarakat, Bambang membuat sebuah website khusus membahas keris, Javakeris.com yang berisi sejumlah informasi penting mengenai keris dan seluk-beluknya.

Lebih jauh, Javakeris. com juga bekerja sama dengan Pusat Keris Jakarta (PKJ) untuk mengadakan sertifikasi keris yang bertebaran di Indonesia.

Sertifikasi itu pertama kali dilakukan pada April 2002, bertepatan dengan terbentuknya website Javakeris.com. Tapi, sebetulnya pada 1985 Bambang telah melakukan sertifikasi untuk yang ada di luar negeri.

Sertifikasi keris yang ada di Indonesia menggunakan kriteria standardisasi, antara lain kriteria dapur, tangguh, pamor, data-data mengenai bahan keris, dan foto-fotonya.

Sertifikasi ini bertujuan untuk menjaga keaslian dan kelestarian keris. Hingga saat ini, dari sekitar lima juta bilah keris di Indonesia baru 42 saja yang sudah disertifikasi, tersebar di Jakarta, Solo, Semarang, Madiun, dan Surabaya.

Rendahnya animo pemilik keris di Indonesia untuk melakukan scrtifikasi, diakui Bambang.

Dibandingkan, dengan di Singapura, Malaysia, dan Brunei, apresiasi masyarakatnya terhadap keris sangat tinggi. Bahkan, di Singapura, misalnya, maskapai penerbangan Singapore Airlines menamakan kelas utamanya dengan Keris Lounge.

"Hebatnya lagi, kalau keris mereka tidak laku dijual, maka akan dibeli pemerintah dengan harga yang cukup tinggi," paparnya.

(CR-24/M-3)

Hosted by www.Geocities.ws

1