From: P_ A_

To: [email protected]

Sent: Thursday, August 05, 2004 7:25 AM

Subject: [KKAS] Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (2/2)

 

Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (2/2)

oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa
diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui
sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar
memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman: "Engkau tidak akan bisa
memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku
dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat
engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku
akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi
engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik
tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak
akan terlihat" (Keluaran 33:20-23). Dalam Perjanjian Baru, tradisi
mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat
tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun
melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius
membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri.
Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa
pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius
ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan
menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths,
menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah
dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang
ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176

Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal
dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur,
seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan
yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga
yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan
berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari
sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi
dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman
bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran
tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman.
Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh
mata tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman.
Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh
telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah
Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak
ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu
adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika
engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman,
ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira
sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman
dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena
Upanisad). Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan
selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka
Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah
"bukan ini, bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman
tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu,
Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia
adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.

Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis
oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan
bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan
bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1).
Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama
mengatakan: Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan
dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang
sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang
Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri"
("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut
"Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau
"Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu").
"Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis
yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu
TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud'
sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya
seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut"
dan "Misteri Yang Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut
"Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".

C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu
menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan.
Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak
diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam
dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan
yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan
manusia?

Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik
Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini
sebagai persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat
dikatakan" ("saying what cannot really be said").178 Persoalan ini dapat
pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti
membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the
unspeakable"),179 "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui"
("knowing the Unknowable God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai,"
"menamakan apa yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181
"mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the
inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking
of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat dipahami"
("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat
dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang
tidak dapat dilukiskan" ("describing the indescribable").

Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan
suatu teologi yang disebut "teologi apofatik" ("apophatic theology"),
teologi "tidak mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang
melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu
"mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu
"melihat yang bukan melihat" ("seeing that is not seeing").183

Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas,
penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik
wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan
bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat
mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang
apa yang adalah Dia" ("we can know much more about what God is not than
about what He is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan
menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak mengetahui."
Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan
apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St.
Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh
[paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak
mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of
God is that which is known by unknowing'").185

William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang
menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui
Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak
mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya
dengan cinta".186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat
dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak
dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu
dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat
dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia
dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187 Menurut
mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya
dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya
"getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus
"awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of
Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang
suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.

Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang
Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria
yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi.
Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik
dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir
ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak
memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih
tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi
teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis
adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan.
Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak
juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian
ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya
dengan doa dan penyucian.

Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan
intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya
Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam
arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam
hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi
dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan
Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri
yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya
dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam
jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya kepada
klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia
pada diri-Nya".188 Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi
tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing")
atau "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus
mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan
anugerah ilahi.

Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak
mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional
dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini
menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi,
imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala
sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar
sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan
"mengetahui dengan tidak mengetahui".

Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen
di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada
Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas,
Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.

Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit
ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan
adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh
manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam
jurang yang dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa
melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani
seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke
dalam kegelapan awan Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada
semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan,
karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan
penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap
oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy,
"kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti
kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"190
Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran,
tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu
diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama
harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.

Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad.
Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar
mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar
pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak
mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang
bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa
pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif:
"mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya."

Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan
"peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak
mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia
berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia
mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang
Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui
batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia
adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".191

Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi
berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi"
["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz 'an
dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang
tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat
mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah
orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah
orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan
telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan],
tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?

D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang
Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan
yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak
mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan
pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan
bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan
pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah
mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti
disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan
dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat
dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk
dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan
Kalbu (qalb).

Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan.
Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba
yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti
Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika
kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya
Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada
beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi
hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti
perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti
perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes 15:10).

Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika
tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya.
Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi,
niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan
lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu
hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".
Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu
seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).

Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir
atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi
untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan
protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para
filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan
tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah
peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional
belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa
dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan
adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian
yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk
Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan "kotak"
akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan
ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan
dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika
bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang
seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar),
bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).

Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.

Catatan kaki:
176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois:
Templegate,1990), h. 163-164. 177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University
of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and Reality of
Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies,
1971), h. 48-49. 178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston,
The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire,
England: Anthony Clarke, 1978), h. viii. 179 Leszek Kolakowski, Religion
(New York & Oxford: Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P.
Carse, The Silence of God: Meditations on Prayer (New York: Macmillan,
1985), h. 9. 180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina,
Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press,
1986). 181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P.
Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element,
1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9. 183 Thomas
Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic") digunakan oleh Dionysius
yang membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".
184 W. Johnston, op.cit., h.1. 185 The Cloud of Unknowing, edited by
Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11. 186 W.
Johnston, op.cit, h.17. 187 The Cloud of Unknowing, 26;3. 188 W.
Johnston, op.cit, h. 33-34. 189 Leo Schaya, op.cit, h.166. 190 Ibid. 191
Futuhat, 2:552. 192 Futuhat, 2:619; 3:132.


DISCLAIMER:
This message and any attachments may contain privileged information. Any unauthorised use of this message by any person may lead to legal consequences. Any views expressed in this message are those of the individual sender and may not necessarily reflect the views of PT Kaltim Prima Coal.


Hosted by www.Geocities.ws

1