From:  P_ A_

To: [email protected]

Sent: Thursday, August 05, 2004 7:25 AM

Subject: [KKAS] FW: Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (1/2)

 

Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (1/2)

oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina

PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun
berapa persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha,
Departemen Agama Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di
Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut
Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep
tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan
konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep
Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada
umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. Siddharta
Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan
Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah "memiskinkan" Buddhisme
dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang
jelas tentang Tuhan.

Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau
orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang
Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan
itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang
Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan "begitu". Orang-orang Muslim
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan
adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk,
Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi
nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim
membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan
Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang
terbatas. Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau
gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di
luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang
diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak
dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh
akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan "begini" dan
"begitu".

Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat
membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang
sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam
agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme),
belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya,
saya tidak berkutik terhadap "pukulan keras" itu. Saya hanya dapat
berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami
persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.

Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan
tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah;
Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut
itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan
tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin
manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?

A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar,
mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan",
kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai
satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang
seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan
yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang
lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang
dipercayai manusia

"Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah
al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan
kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan"
(al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam
kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).

Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul,
mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan,
menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan;
mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul;
mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat
perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad sendiri, secara literal
(harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun
dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang
diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa
sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah
(peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak
Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan
berlangsung dalam subyek manusiawi.

Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh
kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung
kepada "kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing
individu hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal"
(al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang
telah ada sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan
al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq
(yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan
kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang
akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai
dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang
diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam
kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya
adalah identik dengan kepercayaannya.

Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia
memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia
mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam
bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya
sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali
bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan
itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang
menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak
melihat selain Tuhan kepercayaan.163 "Tuhan kepercayaan" adalah gambar
atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang
Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti
itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya,
Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan
kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu
adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep,
ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya.

"Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau
diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang
mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa
yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi
berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma'
lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi
berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda
zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain,
Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan
tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memperhatikan
lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka
hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi
khayran).

Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan
dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan
sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka
bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas
keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan
baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar
kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului
(mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh
dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak
menyenangi orang-orang yang berputus asa.

Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam
kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya,
mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM),
seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan.
Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar
seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai
kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan
demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan
seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai
tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan
bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166 Sebagaimana
dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia.
Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi
berkata:

Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah
ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah
pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela
kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya],
tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik
obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena
penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah.
Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah
warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang
dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan
dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167

Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada
sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli
al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat,
Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai
bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak
mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya.
Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya
Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu
dan sama; itu juga, tidak lain.

Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para
sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada
beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas.
Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan
berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak
berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu tentang
Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: "Kasihilah
siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di
langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud
dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada
di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam
kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"), "Tuhan Surgawi"
[karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"), atau "Wujud
Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol
ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit
dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi
menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah
Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.

Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih
tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam
kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi
dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam
kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan
yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan
Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang
menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan
Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana
dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang
"person," seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa
Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah
"personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal", bukan
"tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It"). Pengaruh
kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap
"Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama.

Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal
pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala,
berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan
matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan
bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang
nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu
hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung
kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal
para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan
patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol
Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering
dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung
kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena
diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi",
"agama-agama langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di
langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun dari langit",
"naik ke langit", dan "berada di langit", lazim digunakan untuk
melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman
spritual.

Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang
menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis,
kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan
simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis
tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan
kepada simbol-simbol. Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau
mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang
bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam
kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya
tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam
bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan
mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal
Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik
Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang
yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan
kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang
seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda
agama.

Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan
('aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan
mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda
akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan
pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu,
hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan,
karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam
satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling,
di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana
pun.170

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini,
adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama
tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al-
'arifun). Karena itu, "para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah
menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini
berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte,
aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi,
"Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak
akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia
mengubah diri-Nya."171

B. Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti
ini oleh Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God"
(al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God" (al-ilah
al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the Unknown God"
(al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat
dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden
terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q., s.
al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan
yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering
disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang
terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia
adalah "yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu", "yang
palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui" (ankar
al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn
al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau
"Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut
penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam
keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).

Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun,
maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan.
Beliau bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan
berpikir tentang Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan
orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh
Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Allah memperingatkan
kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi
menegaskan sebagai berikut: Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan
daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik
secara rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir
tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah
memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu
"Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan
karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172 Dari
segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah
lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang
menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan
pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain
Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173

Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir
tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan
al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia
memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.

Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel.
Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir
dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh
akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan
menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api)
Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir'awn dan
membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya
kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan
menjawab:

"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan
Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku
akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana
terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa
Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai
Ehyeh, "Wujud ('Being') yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang
adalah Wujud" ("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di
dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu
Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara
serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau
Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi
(the divine "Nothingness").174

Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan
ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga
mereka berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia
Yang adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa
sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu
pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena
mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat
dideskripsikan.175

Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya
tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan
oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.

Catatan kaki:
163 Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2
bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121. 164 Fushush,
1:225-226. 165 Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut:
Daral-Fikr, t.th.), 4:446. 166 H. Diels W. Kram, Die Fragmente der
Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr.
15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat
Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40. 167 Fushush,1:226. 168 Lihat
Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali
Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat,
1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184. 169 Raffaele Pettazzoni, "The
Supreme Being: Phenomenological Structure and Historical Development,"
dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of
Religion: Essays in Methodology (Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur
Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama
(Jakarta: Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu
sebagai Simbol Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia &
Kanisius,1983), h. 43-45. 170 Fushush,1:113. 171 Fushush, 1:121. 172
Futuhat, 2:30. 173 Futuhat, 2:69. 174 Leo Schaya, "Contemplation and
Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf Ibish and Ileana Marculescu,
eds., Contemplation and Action in World Religions (Seattle and London:
Rothko Chapel, 1978), h.165. 175 Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to
Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.

Hosted by www.Geocities.ws

1