----- Original Message -----

From: Jusuf Achmad

To: [email protected]

Sent: Sunday, March 05, 2006 11:51 AM

Subject: Penuh Semangat dan Gairah atau Kedamaian

 

"Kulihat hidup di dunia ini penuh kekejaman dan tantangan, oleh karena itu kita harus lebih superior dari yang lain agar bisa menghadapi kehidupan yang ganas ini.  Dalam mencapai kemenangan kita harus siap pula menghadapi kekalahan, yang penting walau dalam keadaan bagaimanapun semangat dan gairah hidup harus selalu berkobar.  Tantangan demi tantangan harus kita hadapi sampai tercapai kemenangan yang abadi".

 

Dari kalimat-kalimat di atas kita bisa rasakan "api yang berkobar".  Seperti yang disebutkan dalam Surah Ar-Rahman, Jin terbuat dari api (begitu pula dengan Iblis/Syaitan).  Walaupun demikian disebutkan bahwa Jin akan mendapatkan sorga pula (tapi terpisah) sebagaimana Manusia.  Padahal dibagian lain disebutkan bahwa pintu sorga itu sempit dan tidak bisa dilalui oleh yang gemuk hawa nafsunya.  Namun apakah bedanya hawa nafsu dengan semangat dan gairah yang berkobar-kobar?  Jawabnya: Dalam diri Jin atau manusia yang mengikuti Jalan Jin, "hawa nafsu" nya TERSEMBUNYI sehingga tidak kelihatan ambisius.  Bahkan dari luar berperilaku seperti manusia yang penuh kedamaian.  Jadi pengendalian diri atas hawa nafsu sangat kuat, tidak seperti mereka yang mengikuti Jalan Iblis/Syaitan yang acapkali sering lepas kendali.

 

Apakah Jalan Manusia menuju kedamaian yang abadi tidak perlu adanya semangat dan gairah? Tidak juga, dalam Surah Ar-Rahman disebutkan "Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar".  Seperti kita ketahui tembikar yang terbuat dari tanah liat mudah dibentuk (pasrah) oleh keinginan sang penciptanya dan agar tidak berubah bentuk dimasukan kedalam tungku yang luar biasa panasnya.  Selanjutnya tembikar ini akan tahan panas, bahkan tahan terhadap panas dari logam yang mencair.  Pendeknya manusia yang telah berkembang akan tahan terhadap "hawa panas" yang terjadi disekelilingnya (tentunya bukan yang membuat kobaran api itu sendiri - tidak terprovokasi, seperti kayu yang tidak tahan api malah bisa membuat kobaran api tambah besar - terprovokasi). 

 

Pada dasarnya manusia dalam kesadaran bawah sampai menengah kurang bisa berkembang menggunakan metoda "kanan" yang penuh kedamaian dan kepasrahan (in acceptance), lebih efektif menggunakan cara "kiri" yang penuh semangat dan gairah namun terkendali (in control).  Itulah sebabnya Nabi Musa mengajarkan "mata dibalas mata" (menegakkan keadilan, tanpa maaf) kepada kaum Yahudi yang merasa inferior karena hidup lama dalam perbudakan Firaun.   Di bagian akhir hayat seseorang diharapkan menempuh cara kanan, oleh karena itu kita dengar harapan "matikanlah aku dalam keadaan Islam/damai".

 

 

 

Ketujuh Energi Utama Alam / Raya (atau tujuh lapisan langit kesadaran - jika tidak terlihat, download: http://www.geocities.com/jachmad/7EnergySS.jpg  atau http://www.geocities.com/jachmad/7EnergySum.jpg ).

 

Ketujuh Energi Alam Raya - Selaras dengan tujuh lapisan tingkat kesadaran, diwakili oleh ketujuh warna pelangi:

 

7-Ungu - Ketakberhinggaan, kembali ke alam Illahiyah (Nirvana). Kampung halaman kita semua.

6-Nila - Kesatuan (Unity), kemampuan menyatu dengan Semua.  Semua Satu adanya, tiada keberadaan selain Dia (Pengalaman Tauhid).

5-Biru - Kearifan, kebijaksanaan, keadilan, kecerdasan yang melampui ruang-waktu.  Dengan pengetahuan yang sangat luas ini bisa diyakini segala sesuatu adil adanya (Pantulan Ar-Rahim, Light).

4-Hijau - Kecintaan tanpa pamrih, kecintaan kepada semua yang melahirkan kemampuan melihat semua sebagai Satu adanya (Keyakinan Tauhid. Pantulan Ar-Rahman, "RahmatNya meliputi segala sesuatu", Love).

3-Kuning - Kecerdasan, kemampuan mengenali diri/pihak lain/alam/Tuhan (cakupan terbatas).

2-Jingga - Keceriaan termasuk kejenakaan/humor (disebut juga cakra sex, sering disalah sangkakan sebagai kekuatan cinta, cakra ke-4).

1-Merah - Vitalitas, keberanian (cakra dasar).

 

Sebagaimana disebutkan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu, Bumi sedang dalam proses naik dari alam tingkat kesadaran ketiga memasuki alam tingkat kesadaran keempat, dimana para manusia yang memenuhi syarat akan lebih lanjut mengenali kecintaan tanpa pamrih.  Sedangkan bagi mereka yang lulus melalui jalan kiri akan melanjutkan pelajarannya di tempat lain, begitu pula bagi mereka yang belum bisa menentukan jalan kembali kepadaNya.

 

Karena baik yang memenuhi syarat menempuh jalan kiri maupun kanan harus mempunyai kemampuan mengenali diri (dan Tuhannya), maka apakah perbedaan sudut pandang kedua belah pihak?  Masing-masing pihak akan melanjutkan perjalanan sesuai dengan kesimpulan akhir yang dianut mengenai dirinya, Alam Raya - Tuhan.  Sebagaimana yang disebutkan oleh hadis terkenal "Aku ini menurut sangkaan hamba-hambaKu".

 

Bagi mereka yang mempunyai sangkaan/keyakinan (jadi belum mengalami penuh) pada dasarnya Alam-Raya/Tuhan ini ramah dan penuh kecintaan tanpa pamrih kepada semua ("RahmatNya meliputi segala sesuatu"), akan melanjutkan pelajaran melalui Jalan Cinta (tanpa pamrih) di bumi ini.  Sedangkan bagi mereka yang mempunyai sangkaan/keyakinan Alam-Raya/Tuhan ini hanya "cinta" kepada sebagian pihak (yang memenuhi perintahNya) dan menghukum pihak lainnya (yang tidak memenuhi perintahNya) menempuh jalan lain di tempat yang berbeda pula.  Pada dasarnya pihak yang disebut terakhir ini lebih meyakini Alam-Raya/Tuhan jauh lebih dominan sisi KeadilanNya daripada sisi Kasih SayangNya (katakanlah sisi Kecintaan tanpa pamrihNya hanya 5%).  Secara langsung tidak langsung yang menempuh jalan kiri menuhankan dirinya (atau setidaknya merasa menjadi wakil Tuhan satu-satunya) karena merasa mempunyai kebenaran absolut.  Kepercayaan ini tercermin dari perilaku mereka yang "KERAS" terhadap lawan tapi menurut mereka penuh  "KEADILAN" (padahal kemampuan ini masih jauh dari jangkauan lihat Tabel Energi diatas), unsur kecintaan tanpa pamrih hampir tidak nampak. 

 

Oleh karena di jalan kiri ini penuh kekerasan (tersembunyi untuk yang mengikuti jalan Jin) maka  mereka harus senantiasa penuh semangat dan gairah (cakra/energi 1 & 2 sering harus over stimulasi) agar pelajaran-pelajarannya dapat diselesaikan.  Jika "api" dalam diri mulai mengecil maka "api" lawan bisa digunakan untuk mengobarkan "api" dalam diri menjadi besar kembali, jadi saling "tolong-menolong" dalam memberi "api".  Merasa kebenaran selalu disisi mereka tapi sering harus membohongi diri karena kondisi kalah, menang, takut, berani, sedih, ceria selalu silih berganti.  Ini adalah ciri khas dari alam dualitas sampai mereka masuk alam kesadaran kelima dan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi sebenarnya adil-adil saja bagi pandangan mereka yang mempunyai kecerdasan yang menembus ruang-waktu.  Pada saat itu energi kecintaan tanpa pamrih berkembang lalu selanjutnya menyatu dengan semua di alam kesadaran keenam.

 

Di jalan cinta energi utama yang digunakan tentunya energi kecintaan itu sendiri (unsur energi/cakra keempat).  Keperluan energi-energi di bawahnya cukup minimal saja, karena di alam ini tidak ada ketakutan (unsur energi/cakra pertama), tiada pula ada kesedihan (unsur energi/cakra kedua) dan tidak perlu memeras otak (unsur energi/cakra ketiga) karena unsur ancaman hampir tidak ada.  Unsur kerjasama sangat dominan sedangkan unsur kompetisi tidak diperlukan untuk kemajuan rohani di jalan kanan.  Namun bukan berarti keenam titik-titik energi lain tidak berkembang, tapi perkembangannya lebih untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak lain (Service-to-others, STO).  Tujuan utama lebih kearah sisi kedamaian daripada sisi kejayaan individu/kelompok.

 

"Kulihat Alam-Raya/Sang Maha Pencipta ini begitu ramah dan penuh kasih sayang terhadap mahluk-mahlukNya, apapun yang mereka inginkan asal konsisten diakomodirNya.  Baik bagi mereka yang meyakini suasana kedamaian akan membuat kemajuan, maupun bagi mereka yang meyakini suasana yang penuh semangat dan gairah lah yang akan membuat kemajuan(bahkan bagi mereka yang menyukai kondisi gairah extrem yang keras dan brutal sekalipun).  Tiada yang cacat dalam ciptaan-ciptaanNya.  Apapun jalan yang ditempuh seseorang tidak terlepas dari mengalami / mendalami arti keterbatasan, sesuatu yang belum kita alami di Alam Ketakberhinggaan, kampung halaman kita semua."

 

May we always be in peace,

 

Jusuf Achmad.

 

Website: www.geocities.com/jachmad

 

Hosted by www.Geocities.ws

1