From: Jusuf Achmad

To: [email protected]

Sent: Monday, July 12, 2004 3:08 PM

Subject: Arti - Kehidupan

 

Di bawah ini mirip dengan artikel saya The Meaning of Life yang dalam bahasa Inggris.

 

----- Original Message -----

 

From: Jusuf Achmad

To: [email protected]

Cc:

Sent: Saturday, March 09, 2002 9:25 AM

Subject: Untuk Forum Kebangkitan Jiwa.

 

May peace be always with us,

 

Dalam simposium yang lalu saya sepertinya kesulitan mengungkapkan pandangan saya, untuk lebih jelasnya ada dua artikel yang saya tuliskan khusus untuk FKJ yang dicetuskan Bp. Anand Krisna.  Pertama adalah dasar/padangan filosofis dari kedamaian dan pada artikel ke dua (email yang berbeda) pandangan praktis meningkatkan kesadaran menurut pengalaman saya.

 

Wassalam,

 

Jusuf Achmad

 

PS: Ini adalah pandangan yang kalau mau dikatagorikan sebagai New Age-Sufism.


Greetings from the One Infinite Creator, Most Gracious, Most Merciful.

Prasangka yang baik kepada Sang Maha Pencipta adalah sumber ketenangan-kedamaian

May peace be always with us,

Prasangka yang baik adalah sumber kedamaian atau bisa disebut sebaliknya prasangka buruk adalah sumber ketidak-tenangan.  Akar dari chaos adalah prasangka buruk, ketakutan-ketakutan, keterbatasan.

Katakanlah kita seorang diri di dunia ini namun mempunyai kemampuan yang luar biasa, mampu menciptakan mahluk yang seperti kita ini dalam sekejab saja.  Kalau kita menginginkan seorang teman tentunya langsung kita ciptakan yang seperti kita dalam sekejab.  Tentunya tidak perlu kita ciptakan calon teman kita berupa seekor amuba yang bersel satu lalu menunggu berjuta-juta tahun berevolusi menjadi manusia seperti kita, lalu kalau dia mempunyai kesamaan dengan kita baru kita berteman.  Sebab kita mampu menciptakan teman kita dalam sekejab menurut bayangan kita sendiri.

Namun kenapa sebagian dari kita menaruh prasangka yang tidak baik/logis terhadap Tuhan Maha Pencipta yang Maha Pemurah, yang senantiasa memberi kecintaan tanpa pamrih.  Jawaban singkatnya adalah karena keterbatasan kita sendiri.  Kita berprasangka bahwa Tuhan baru mau dekat dengan kita kalau kita memenuhi keinginan-keinginanNya, dengan kata lain sangat punya pamrih atau sangat conditional.  Setelah saya mengenalNya kembali lebih dekat, lebih menyatu, ternyata prasangka kita salah, ternyata yang ada pada Dirinya hanyalah kecintaan tanpa pamrih, Ar-Rahman.

Ingatlah waktu dulu kita semua diciptakan Nya pada kali pertama, kita semua mempunyai kemampuan yang tak berhingga, tak berbatas seperti bayangan Sang Maha Pencita sendiri, dan senantiasa menyatu denganNya, tidak pernah kita terpisah dariNya sekejabpun, tidak ada ruang tidak ada waktu, yang ada hanya Kesatuan dalam Keabadian.

Namun kenapa sekarang kita semua berada dalam Alam Keterbatasan ini? Rupa-rupanya ini adalah rencana kita semua dan rencana Tuhan juga, ingat waktu itu tidak ada keterpisahan antara kita dengan Dia.  Rencana Dia adalah rencana kita, rencana kita adalah rencanaNya – tidak ada keterpisahan.  Tapi saya lebih cenderung hal ini adalah inisiatif kita, untuk memberikan sesuatu kepadaNya, sebagai ungkapan kasih sayang, kecintaan, terima kasih kita kepadaNya.  Pada saat kita hidup dalam Alam Ketiadaan dari Batas, kita ingin mengetahui lebih jauh apa arti dari keterbatasan dan sekaligus akan lebih mengerti apa arti Ketiadaan dari Batas.  Untuk itu kita (ingat tidak ada keterpisahan antara kita dengan Dia pada saat itu) ciptakan ruang-waktu dan Alam-alam yang terbatas ini lalu kita semua “turun” ke alam ini serta melepaskan semua atribut-atribut ke tak-berhingga kita.  Kita sendiri yang memberi tirai-tirai yang menutupi Jati Diri kita sebenarnya.  Kesemua itu kita lakukan untuk mengerti dan mengalami apa arti keterbatasan dan selanjutnya mempersembahkan pengalaman ini kepada Dia yang Satu yang sama-sama kita cintai.  Pengalaman ini juga kita persembahkan kepada sesama kita, karena sesungguhnya semua itu Satu adanya.    

Kita ciptakan hirarki supaya kita mengerti apa arti inferioritas dan apa arti superioritas, singkatnya untuk mengerti dengan menjalani sendiri apa arti dualitas, karena di Alam Ketakberhinggaan yang ada hanya Kesatuan (Unity), tidak ada keterpisahan – tidak ada dualitas.  Kita (ingat pada saat itu tidak ada keterpisahan antara kita dengan Dia) ciptakan Tujuh Lapis Langit Kesadaran: Langit Pertama – Kesadaran Mineral/Batu-batuan;  Langit Kedua – Kesadaran Tumbuh-tumbuhan/Hewan;  Langit Ketiga – Kesadaran Manusia yang dapat menentukan baik-buruk menurut presepsi masing-masing;  Langit Keempat - Kesadaran akan Kecintaan, relatif sebentar lagi Bumi akan naik ketingkatan ini;  Langit Kelima – Kesadaran akan Kebijaksanaan (wisdom), seluk beluk Alam Raya akan terbuka ditingkatan ini;  Langit Keenam -  Kesadaran akan Kesatuan (unity), dipertengahan alam ini kembali tidak ada lagi dualitas;  Langit Ketujuh – Kesadaran akan Ketakberhinggaan, kembali ke alam Keillahian, awal dari suatu babak baru yang tak terbayangkan.  Kita ciptakan aturan-aturan / ketentuan-ketentuan / hukum-hukum di setiap alam, kita sendiri yang mengatur dan menetapkan tata cara kenaikan jenjang tingkat kesadaran.  Sekali lagi ingat pada saat itu tidak ada keterpisahan antara kita dengan Dia, karena sesungguhnya semua itu Satu adanya.

Kalau diibaratkan kita semua bagaikan anak-anak seorang Raja (Tuhan) yang tinggal disebuah istana (Alam Ketakberhinggaan) yang sangat megah dan serba berkecukupan.  Suatu ketika kita semua ingin merasakan bagaimana rasanya hidup ditengah hutan (Alam Keterbatasan).  Kita tinggalkan istana, kamar-kamar mewah, dayang-dayang dan masuk berkelana ke dalam hutan dengan perlengkapan-perlengkapan yang seminim mungkin.  Setelah puas berkelana kita semua kembali ke istana dan menceritakan semua pengalaman yang menakjubkan di dalam hutan kepada sang Raja.  Kesulitan-kesulitan yang dialami justru menjadi kenangan yang indah.  Makin unik perjalanan kita masing-masing di dalam hutan makin kaya pula pengalaman kita semua.  Kalau semua pulang membawa cerita yang sama tentu agak membosankan bukan?  Namun ada pula saudara-saudara kita yang jauh tersesat di dalam hutan dan mulai berputus asa dalam mencari jalan kembali ke istana dan berteriak-teriak (Berdoa) mencari dan meminta bantuan saudara-saudaranya yang lain.  Untuk hal ini bagi kita yang sudah melihat jalan kembali ke istana dan bisa mendengar teriakan-teriakan mereka tentunya akan berusaha mencari dan membantu mereka walau dengan risiko ikut tersesat, justru cerita mereka yang tersesat inilah yang nantinya paling menarik.  Disisi lain ada pula saudara-saudara kita yang sebenarnya sudah jauh masuk ke dalam hutan dan sepertinya sulit kembali namun mereka menikmati saja petualangan mereka, jadi kita biarkan saja mereka berkelana nanti toh kalau sudah bosan mereka akan mencari jalan kembali ke istana dan kita akan dengar pengalaman mereka yang pasti juga menarik.

Itulah sebabnya para Nabi, para Avatar yang umumnya sudah berada di Langit Keenam bahkan beberapa sudah berada di Langit Ketujuh, turun kembali ke Langit Ketiga ini untuk membantu saudara-saudaranya mencari jalan kembali kepada yang Satu.  Mereka memenuhi panggilan-panggilan (doa) saudara-saudara mereka dengan penuh kecintaan tanpa pamrih, sama seperti mereka yang dahulupun juga dibantu oleh para Nabi/Avatar.  Walau para Nabi/Avatar harus menghentikan kehidupan mereka yang sangat nyaman di alam di atas sana dan dengan risiko ikut tersesat karena tidak bisa melihat dengan jelas terhalang oleh tirai-tirai yang tidak berhasil disingkap di alam ini.  Sekali mereka berhasil menyingkap tirai-tirai tersebut mereka dapat melihat dan mengenali kembali jalan menuju kepada yang Satu karena mereka telah melaluinya dahulu.  (Pengorbanan inilah yang sebenarnya yang dirayakan / diingat setiap Idul Adha).

Di alam keterbatasan ini barulah kita dapat mengenal ke 98 nama-nama Tuhan lainnya karena di alam ketakberhinggaan yang terlihat hanya  sifat Ar-Rahman Nya yang tak berbatas.  Di alam ini kita mengenali inferioritas dengan menjadi hamba-hamba Nya yang terbatas, mengenali superioritas dengan menjadi wakil-wakil Nya yang serba berkecukupan dibanding dengan sesama kita tentunya.  Kita merasa merugi kalau membandingkannya dengan mereka yang lebih beruntung.  Kita merasa hebat kalau kita membandingkannya dengan mereka yang berkekurangan.  Setelah kita puas dengan perasaan-perasaan tersebut, pengalaman dualitas,  barulah kita dapat menempuh jalan kembali ke Alam yang Satu.

Semoga dengan kesadaran ini kita senantiasa dapat berprasangka baik terhadap semua, karena semua ini diawali dengan niat yang mulia.  Penciptaan Alam Raya ini di awali dengan niat yang baik oleh karena itu pada akhirnya semua ini akan berkesudahan dengan yang baik pula.  Prasangka yang baik kepada semua adalah pondasi kedamaian yang paling kuat.  “Aku ini menurut prasangka hamba-hamba Ku, oleh karena itu berprasangka baiklah kepada Ku”. Satu-satunya cara untuk menyebarkan kedamaian adalah dengan menanamkan dahulu kedamaian dalam hati kita masing-masing.  Semuanya itu adalah Satu adanya.  “Kemanapun kita memandang yang ada hanya Wajah-wajah kecantikan Mu Allah”.  Semoga senantiasa demikian. Amin


 

 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1