From: Jusuf Achmad

To: [email protected]

Sent: Friday, July 09, 2004 1:10 PM

Subject: Cerita Nabi Khidhr - Sang Guru dan Sang Murid (bag. 3)

 

Kembali dulu ke tokoh Sang Guru dan Murid, coba kita telaah dua ayat di bawah dan menafsirkan dari sudut lain:

 

66. Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

 

Kira-kira sikap Sang Guru "judgmental" atau tidak, bersikap merendahkan atau tidak?  Kalau jawaban "ya", kira-kira pantas tidak menjadi pengajar di tingkat lanjut?  Bukankah di tingkat lanjut Sang Guru harus memperlihatkan bagaimana sikap kepasrahan total, toleransi yang tinggi terhadap pihak-pihak yang berkekurangan, bisa menerima semua ciptaan-ciptaan Nya apa adanya dengan penuh kecintaan? Bukankah beliau justru harus bisa menerangkan konsep "Sesungguhnya seluruh ciptaan-ciptaan Nya sempurna / tiada cacat" (saduran dari permulaan surah Al-Mulk) dengan sikap beliau?

 

Apakah Sang Guru bisa masuk dalam kategori hamba-hamba Allah yang disebut dalam ayat-ayat Surah Al-Fajr di bawah?:

27. Hai jiwa yang tenang.

28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

29. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,

30. masuklah ke dalam syurga-Ku.

Apakah sikap Sang Guru mencerminkan ketenangan jiwa yang dapat menenangkan serta membesarkan hati Sang Murid?

Bukankah sikap Sang Guru yang judgmental terlebih dahulu membuat Sang Murid judgmental juga? Like father like son?  Apakah Sang Guru boleh bersikap menghakimi tapi Sang murid tidak?

 

Thanks God it was only a vision, it was not really happening, ya Allah syukurlah ini hanya suatu kasyaf, tapi kalau analisanya begini apa jadinya?

 

[Tulisan berikut baru bisa saya lanjutkan malam ini setelah terhenti sejak malam sebelumnya.  Getaran vibrasi saya sekarang berbeda dari ketika saya menulis kata-kata di atas.  Siang tadi baru lepas dari kepeningan kepala sejak subuh yang jarang sekali saya temukan belakangan ini. Hal ini terjadi akibat saya berganti jenis vibrasi - jadi bukan akibat naik-turun vibrasi yang sejenis. Yang lebih parah kepeningannya jika vibrasi saya crossing sekalingus naik-turun.  Saya memang sengaja melakukan perobahan vibrasi ini, to make a point of course]

 

Kalau jiwa (dan raga) kita dalam keadaan penuh keberanian-vitalitas,  keceriaan, dan kecerdasan yang menghasilkan ketenangan serta ditambah kecintaan dan kebijaksanaan apalagi kalau disertai rasa kesatuan dengan Semua (unity) maka Insya Allah ayat-ayat Al-Kahfi di atas bisa disingkapi dengan nada positif. 

 

Salah satu kekurangan bahasa tulisan adalah tidak terlihatnya bahasa tubuh seperti mimik muka, gerakan mata, gerakan tangan, intonasi suara apalagi getaran hati (dalam novel sering diikut sertakan keterangan mengenai bahasa tubuh dan suasana hati, dalam film yang bagus bahasa tubuh bisa terlihat dengan baik malah bisa tanpa kata).  Repotnya kita bisa membayangkan bahasa tubuh semau kita, tergantung dari mood kita, tergantung dari vibrasi kita dan terutama niat dan prasangka kita.  Saya pernah mengingatkan kawan lama saya, seorang manajer menengah di suatu perusahaan minyak asing, belum lama ini.  Agar tidak mengkomunikasikan hal-hal penting hanya melalui e-mail pada rekan kerja yang punya banyak prasangka negatif terhadapnya, saya menyarankan sebaikknya didahului oleh suatu pengantar dalam bentuk interaksi tatap muka.  Positifnya justru kalau kita sedang emosional bahasa tulisan bisa menjadi alat komunikasi yang lebih efektif.

 

Hubungan sang Murid - Guru  ini lebih seperti seorang S2 yang mengambil gelar Doktor S3.  Sang Guru tahu persis kapasitas dan kemampuan sang Murid dan sang murid menyadari hal ini (dari index prestasi S1 & S2 dan wawancara).  Namun terkadang sang Guru belajar juga dari sang Murid mengenai hal-hal yang baru.  Sang Murid tidak merendahkan gurunya karena itu suatu hal yang wajar saja (Sang Guru bukan Tuhan yang tahu segalanya).  Sang Guru biasa mengoresi pandangan sang Murid dan sang Murid tidak canggung menyatakan keberatannya jika ia pandang adanya anomali.  Tentunya Sang Murid dengan fasilitas yang ada menggali, meramu, menganalisa kemudian berusaha memberikan jawaban atas Tesis yang sedang dibuat.  Tesis (pertanyaan-pertanyaan yg harus dijawab) bisa ditentukan Guru, bisa pula ditentukan bersama. Kerja keras untuk menemukan jawaban-jawaban terletak pada punggung sang Murid; Bukan pada sang Guru tentunya di mana tugas utamanya adalah membimbing sang Murid sampai dia menemukan jawaban-jawaban dalam Tesis Doktor S3 tersebut.  Semua ini dilakukan dengan dalam suasana saling menghargai dan rasa kesetaraan.

 

Rupa-rupanya sang Murid belum siap, IP S2 sang Murid memang belum cukup tapi Sang Guru memberikan kesempatan juga, karena sang Murid kelihatannya begitu antusias.  Mereka lalu bereksplorasi menentukan Tesis yang harus dibuat, tapi sang Murid kelihatannya kaget (overwhelmed) dengan Tesis yang ditentukan, lalu sang Guru menghentikan proses belajar-mengajar.  Seperti yang diduga sang Guru sebelumnya memang sang Murid belum siap, beliau sangat toleran terhadap keterbatasan sang Murid dengan memberinya kesempatan.  Semangat yang tinggi dari sang Murid seyogyanya dibarengi oleh kesabaran dan kegigihan untuk mendapatkan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang ada. Tentunya sang Murid bisa coba lagi pada kesempatan dan bidang yang lain.

 

[dari pengalaman dan cerita di A.S.: ada seorang tokoh anti Orba mempunyai beberapa gelar master gara-gara IP S2nya tidak cukup-cukup untuk maju ke S3, akhirnya jadi Doktor juga - its a happy ending].

 

Rekan-rekan pejalan spiritual apa yang bisa kita ambil dari bahasan di atas, dari sisi pandangan saya:

Point pertama Insya Allah akan di bahas bersama jawaban atas pertanyaan lainnya.  Marilah kita lihat point kedua. Suasana/proses belajar-mengajar di mana semua pihak menjadi Guru sekaligus Murid sangat asing kedengarannya di level pendidikan bawah apalagi di bidang spiritual.  Saya sendiri mempunyai motto dalam keluarga "In teaching we are learning, in learning we are teaching" terinspirasi oleh Ra Materials ( www.llresearch.org ), jadi istri dan anak-anak saya adalah murid-murid sekaligus guru-guru saya (bahkan kucing saya Yuki dan anak-anaknya menjadi "guru-guru" saya untuk mengerti cara "clearing up our lower chakras"-very important topic).

 

Sebagai ilustrasi bagaimana nada seorang "guru" di tingkat lanjut yang sangat mengedepankan kesetaraan.  Dalam setiap pembukaan Carla channeling ( www.llresearch.org ) :

We are those of the principle known to you as Q’uo. Greetings in the love and in the light of the one infinite Creator. It is our distinct privilege to be called to your group and we greet and bless each who sits in this circle of seeking. We greet you as your fellow pilgrims who have traveled your path and who are still traveling, seeking still the one Mystery Who created us, in whom we have our being, and to whom we now return, step by step by step. We ask only that you regard us as your brothers and sisters rather than as authorities. We gladly share our opinions with you. We do not claim them to be infallible. And so we ask that you use your discrimination, choosing those thoughts that you would further consider and leaving the rest behind.....

Padahal Q'uo adalah entity dari Density-5 sedangkan kita sekarang di perbatasan Density-3 menuju Density-4 Positif (saya menyebutnya sorga tingkat pertama vibrasi positif; saya percaya bahwa Bumi sekarang di level sangat awal Density-4).  Jibril dan Ra yang disebut di atas dari Density-6, yang biasa juga disebut Density Unity di mana tidak ada lagi istilah positif-negatif dan demensi waktu sudah tidak relevan. Density-7 adalah Alam Keillahian, Alam Ketakberhinggaan (Ketemu Tuhan dong....hampir masih ada Density-8 di octav berikutnya dan seterusnya, sesungguhnya God is much bigger than infinity - beyond our imagination).

Menurut saya Higher Self, Guru Sejati, Nabi Khidr berasal dari Density-6.  Bayangkan kita sekarang berkembang terus lalu masuk ke Density-6. Di mana waktu sudah tidak relevan lagi, sehingga kita bisa mundur kebelakang pada waktu sekarang.  Jadi kita bisa bertemu dengan Higher Self kita sekarang juga.

[Maaf saya langsung lompat ke konsep-konsep lain tanpa penjelasan yang mencukupi, jika membingungkan seperti yang dikata Q'uo di atas: ....And so we ask that you use your discrimination, choosing those thoughts that you would further consider and leaving the rest behind.....Penjelasan lebih lanjut lihat Ra Materials di www.llresearch.org dan www.scottmandelker.com ].

Yang lebih penting sekarang saya pikir apakah kita sudah mempunyai IP S2 yang mencukupi atau belum? Atau apakah kita sudah lulus S2? Sudah punya ijasah S1 belum? Jangan-jangan lulus SMU juga belum, no problem, tidak ada yang salah dengan keterbatasan.

May we always be in peace,

Jusuf Achmad

Bersambung....

 

Hosted by www.Geocities.ws

1