----- Original Message -----

From: Jusuf Achmad

To: [email protected]

Cc: [email protected]

Sent: Sunday, March 17, 2002 6:22 AM

Subject: Untuk Forum kebangkitan Jiwa (2)

 

Dengan Nama Allah Maha Pemurah Maha Penyayang

Semoga keselamatan, kedamaian dan keberkatan senantiasa melimpah pada kita semua,

Seperti janji saya sebelumnya artikel di bawah ini adalah pandangan praktis untuk mencapai kedamaian.  Namun sebelum itu karena saya pikir pandangan filosofis sebelumnya terlalu "sufistik" atau pandangan Tauhid yang terlalu mengawang-awang bagi sebagian besar pembaca maka dalam artikel ini saya membukanya kembali dengan pandangan filosofis yang mengunakan ayat-ayat Al-Quran dan menginterpretasikan dalam tataran kesadaran kecintaaan yang lebih membumi.

Wassalam,

Jusuf Achmad


Dengan Nama Allah Maha Pemurah Maha Penyayang

Kedamaian Muncul dari Tiadanya Monopoli Kebenaran

Berikut ini adalah terjemahan sebagian ayat-ayat Al-Quran dari Surah Al-Baqarah dalam dua bahasa agar kita dapat memaknainya dengan lebih tepat:

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Sher Ali:

2:111. And they say. `None shall enter Heaven unless he be a Jew or a Christian.' These are their vain desires. Say, `Produce your proof, if you are truthful.'

2:112. Nay, whosoever submits himself completely to ALLAH and he is the doer of good, shall have his reward from his Lord. No fear shall come on them nor shall they grieve.

2:113. And the Jews say, `The Christians stand on nothing' and the Christians say, `The Jews stand on nothing;' while they both read the same book. Even thus said those, who had no knowledge, like what they say. But ALLAH shall judge between them on the Day of Resurrection concerning that wherein they disagree.

2:114. And who is more unjust than he who prohibits the name of ALLAH being glorified in ALLAH's temples and strives to ruin them ? It was not proper for such men to enter therein except in fear. For them is disgrace in this world; and theirs shall be a great punishment in the next.

2:115. To ALLAH belongs the East and the West; so whithersover you turn, there will be the face of ALLAH. Surely, ALLAH is Bountiful, All-Knowing.

2:116. And they say, `ALLAH has taken to Himself a son.' Holy is HE ! Nay, everything in the Heavens and the earth belongs to HIM. To HIM are all obedient.

2:117. HE is the Originator of the heavens and the earth. When HE decrees a thing, HE only says to it `Be,' and it is.

2:118. And those who have no knowledge say, `Why does ALLAH not speak to us, or a Sign come to us direct ?' Likewise said those before them what was similar to their saying. Their hearts are all alike. We have certainly made the Signs plain for a people who firmly believe.

Terjemahan Bahasa Indonesia dari  http://www.kuran.gen.tr/html/indonesia/ :

111. Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".

112. (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

113. Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.

114. Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.

115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

116. Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.

117. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.

118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.
Dari ayat-ayat 111 dan 112 jelas disebutkan bahwa kaum yang akan mendapatkan surga baik nanti maupun kedamaian di dunia ini juga, bukan eksklusif milik pengikut Yahudi atau Nasrani.  Kalau kita extrapolasi kedamaian bukan eksklusif milik suatu kelompok kepercayaan, badan, masyarakat, negara tertentu tetapi milik setiap anggotanya yang percaya bahwa tidak ada yang dapat memonopoli kebenaran.  Dengan katakan lain kedamaian adalah bagi mereka yang percaya dan dalam perilaku sehari-hari merefleksikan bahwa kebenaran adalah milik semua.

Namun ayat 112 tidak persis menyatakan seperti di atas, yang disebutkan memdapatkan kedamaian (tidak ada kekhawatiran dan kesedihan) adalah: "barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

 

Sekarang marilah kita buktikan bahwa "yang menyerahkan diri kepada Allah" atau orang Islam adalah mereka yang percaya dan berperilaku bahwa kebenaran milik semua atau tidak ada yang dapat memonopoli kebenaran. 

 

Dalam ayat 114 mereka yang paling aniaya atau mereka yang paling tidak berserah diri adalah mereka yang merusak, membakar tempat-tempat ibadah sehingga orang-orang yang ingin mengagungkan nama Allah, Tuhan di tempat-tempat tersebut terhalangi.

 

Dalam ayat 115 mereka yang berserah diri melihat Tuhan ada dimana-mana maka kebenaranpun ada dimana-mana.  Kalau kita samakan Tuhan dengan kebenaran maka kebenaran berada di timur, barat, Asia, Eropa, Amerika Serikat, Afganistan, Pakistan dan tentunya juga di Indonesia walau separah apapun menurut penilaian manusia kondisi suatu tempat.  Namun tentunya kita hanya mempunyai kebenaran relatif dan hanya Dia yang mempunyai kebenaran absolut.

 

Ciri dari orang yang berserah diri adalah mereka yang merasa tidak di anak emaskan oleh Tuhan walaupun begitu banyaknya karunia (dari kacamata jasmani maupun rohani) yang telah mereka dapatkan di dunia ini.  Ayat 116 tidak khusus ditujukan kepada kaum Nasrani seperti yang banyak dipersangkakan orang karena dalam konteks ayat ini juga ditujukan kepada kaum Yahudi, jadi ditujukan secara umum kepada suatu masyarakat, golongan kepercayaan, kelompok, sekte atau individu yang merasa (pemimpin mereka) sebagai anak tunggal dari Tuhan.  Sehingga seolah-olah hanya merekalah yang satu-satunya memiliki kebenaran dari Tuhan, hanya merekalah yang berhak atas dunia ini, orang-orang selebihnya tidak lebih dari anak-anak tiri dari Tuhan yang boleh diperlakukan tidak adil dan tidak terhormat.  Ayat seperti ini pula yang diingatkan oleh Nabi Muhammad saw agar sering dihayati di akhir zaman sebagaimana yang tercantum dalam 10 ayat pertama Surah Al-Kahfi.  Bisa pula diartikan bagi mereka yang selalu merasa paling benar sendiri, secara tidak langsung mendeklarasikan dirinya (atau kelompoknya) sebagai anak tunggal Tuhan di dunia ini.  Kelompok eksklusif dan merasa hanya mereka yang paling punya kebenaran termasuk dalam sasaran ayat ini.

 

Setiap kelompok agama menafsirkan pasrah kepada Tuhan sebagai menuruti perintah-perintah Nya yang biasanya tercantum dalam Kitab-kitab suci masing-masing dan tentunya menurut tafsir masing-masing sekte pula.  Oleh karena itu sulit mencirikan seseorang secara umum sebagai pasrah kepada Tuhan.  Berikut saya coba memberi ciri-ciri umum yang disebut sebagai pasrah kepada Tuhan, mudah-mudahan bisa diterima banyak pihak:

Kepasrahan kepada Tuhan sebenarnya tercermin dari kepasrahan kepada Ciptaan-ciptaan Nya seperti:  Alam, hukum alam, mahluk-mahluk Nya yang terbatas dan seterusnya.  Karena ketidak pasrahan kepada ciptaan Nya kalau kita telusuri kebelakang berakhir kepada ketidak pasrahan kepada Sang Maha Pencipta sendiri.  Ketidak pasrahan kita pada kekurangan diri sendiri atau pihak lain kalau ditelusuri kebelakang disebakan kekurangan pasrahan kepada Sang Maha Pencipta sendiri, karena sesungguhnya Dialah yang menciptakan segala sesuatu - tidak ada pencipta lain selain Dia.  Jadi kepasrahan total adalah kepasrahan kepada Dia beserta seluruh ciptaan-ciptaan Nya, terutama mahluk sesama manusia termasuk diri-sendiri.  Sesungguhnya yang paling sulit kita pasrahkan adalah diri-sendiri dan orang-orang yang paling dekat disekitar kita karena seperti diri kita merekapun banyak keterbatasan.  Kepasrahan langsung kepada Tuhan termasuk yang paling mudah karena Dia Maha Sempurna, sedangkan ciptaan Nya walau sempurna ada keterbatasannya.  Kalau kepasrahan diartikan sebagai senantiasa memenuhi keinginan-keinginan Tuhan, maka menerima apa adanya ciptaan-ciptaan Nya mencerminkan hal ini.  Pasrah akan setiap ciptaan Nya merupakan keyakinan akan kebenaran pada setiap ciptaan Nya, walau begitu jelas terlihat adanya keterbatasan pada ciptaannya.  Sesungguhnya melalui ciptaan-ciptaan yang terbatas inilah kita dapat mengenal seluruh nama-nama Tuhan, atau dengan kata lain sebagai katalis untuk mengenal Keagungan Tuhan sesungguhnya. Kalau kita membuat dan menjual robot pembersih rumah lalu sang pembeli memaki-maki kekurangan alat yang kita buat tersebut, sama saja sang pembeli memaki-maki kita karena kita yang membuat robot tersebut.  Jadi kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta tercermin dari kepasrahan terhadap ciptaan-ciptaan Nya.

Kenapa Tuhan tidak menjadikan dengan sekejab manusia-manusia sempurna padahal seperti di ayat 117 Tuhan sanggup melakukannya?  Tentunya ada hikmah mulia yang tersembunyi dibelakang kejadian Alam yang terbatas ini (seperti yang diterangkan dalam artikel yang lalu). Kepasrahan, keridhoan, kecintaan kepada Tuhan tidak terlepas dari kepasrahan, keridhoan, kecintaan kepada semuanya, karena semua itu Satu adanya.

 

Ketidak pasrahan kepada diri-sendiri adalah eksterm sebaliknya dari meyakini kebenaran hanya ada pada diri sendiri.  Hal ini diingatkan pula oleh Nabi Muhammad saw untuk senantiasa mencermati 10 ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi di akhir zaman:

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Sher Ali:

18:102. Do the disbelievers think that they can take MY servants as protectors instead of ME ? Surely, WE have prepared Hell as an entertainment for the disbelievers.

Terjemahan Bahasa Indonesia dari  http://www.kuran.gen.tr/html/indonesia/ :

102. Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Orang yang kurang pasrah pada diri-sendiri biasa mengandalkan pihak lain untuk mendapatkan kebenaran atau kedamaian.  Ketergantungan akan kebenaran pada pihak lain tidak akan dapat mendatangkan kedamaian seperti yang disebut di ayat di atas, karena umumnya ketidak pasrahan kepada diri sendiri juga mengakibatkan ketidak pasrahan kepada pihak lain.  Dalam keseharian kita sangat sulit selalu mengandalkan pihak lain, pada umumnya kita mau tidak mau harus memberikan jawaban dari suara hati kita sendiri atas masalah-masalah yang terjadi pada kita dan disekeliling kita.  Ayat 118 dalam Surah Al-Baqarah di atas juga mensinyalir hal yang sama.  Jadi kebenaran atau keberadaan Tuhan dalam hati kita perlu dikembangkan namun bukan berarti kita dapat memonopoli kebenaran.  Juru selamat yang paling hakiki adalah diri kita sendiri.  Kalaupun ada seorang yang dijadikan juru selamat, dia yang telah terselamatkan itu yang kita ikuti jejaknya sehingga kita sendiri terselamatkan seperti dia juga terselamatkan langsung oleh Tuhan sendiri, Tuhan yang ada dalam hati kita semua. 

Ketidak pasrahan kita kepada suatu pihak biasanya disebabkan karena tidak adanya keyakinan kita akan adanya kebenaran pada pihak tersebut.  Adanya kepasrahan berarti adanya kebenaran.  Dari kemampuan kita pasrah kepada semua menjadikan kita mampu melihat kebenaran pada semua, tidak ada monopoli kebenaran, selanjutnya menjadikan kita mampu melihat Tuhan di mana-mana, di timur maupun di barat.  Waktu kesegala arah yang kita lihat hanya kebenaran disaat itulah kedamaian ada pada diri kita, surga di dunia ini juga.

Pandangan Praktis Cara Meningkatkan Ruhani (Keberadaan, Kebenaran) Dalam Diri.

Setelah membaca dan menelaah buku-buku peningkatan diri melalui konsepsi meningkatkan Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ), saya setuju dengan cara-cara ilmiah ini.  Buku-buku mengenai kedua metoda ini telah banyak dipasaran.  Namun saya memberi catatan berdasarkan pengalaman sendiri seperti yang saya tulis dalam artikel di bawah.  Mohon di baca dahulu sebelum melanjutkan paragraf berikut.

Yang hendak saya ingatkan bahwa kenaikan ruhani bukan hanya ada satu cara yakni jalan kepasrahan, namun ada dua jalan.  Yang satunya lagi adalah seolah-olah pasrah atau jalan control.  Jalan yang terakhir ini juga akan membawa kita sampai kepada kesadaran Unity atau Tauhid, tentunya dengan segala konsekuensinya.

Dalam meningkatkan EQ ditekankan akan kemampuan empati terhadap orang lain, namun sesungguhnya yang paling sulit adalah berempati kepada diri sendiri.  Sebagaimana yang diungkapkan dalam suatu hadis yang maknanya "barangsiapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya".  Untuk dapat berempati dengan baik kita harus dalam keadaan emotionless, tepatnya dalam keadaan damai.  Kedamaian yang paripurna hanya terjadi ketika kita mempunyai hubungan yang hakiki dengan yang Satu (melalui sholat atau meditasi yang hakiki).

Ciri-ciri dari jalan kepasrahan menuju kesatuan:

Ciri-ciri jalan control sama dengan di atas, namun tambahkan kata seolah-olah.  Jalan ini mengharuskan kita mempunyai standar ganda.  Seolah-olah kita tidak menginginkan superioritas padahal menginginkannya.  Namun orang yang kelihatannya sekali ingin superioritas bukan orang yang piawai di jalan ini.  Keinginan akan superioritas harus tersembunyi, sehingga mendapat banyak dukungan (power) dari pihak lain (umumnya orang tidak suka terhadap orang yang haus kekuasaan).  Banyak problema yang timbul di dunia ini disebabkan oleh orang-orang yang baru belajar melalui jalan control ini.  "Kedamaian" memang dapat muncul melalui jalan ini kalau kita benar-benar kuat control atau daya pengendaliannya, namun sesekali akan terjadi out of control dan terjadi chaos, memang ini adalah konsekuensinya.

 

Orang-orang yang sangat piawai di jalan kepasrahan atau control dari luar kelihatannya sama saja.  Yang berbeda hanya niat terdalam di hati masing-masing, yang satu mendambakan kecintaan tanpa pamrih terhadap semua, yang lain mendambakan superioritas/power pada dirinya.  Sebenarnya kedua belah pihak mudah menyeberang ke sisi yang lain, hanya dengan perobahan niat.  Jadi apapun jalan yang kita lalui akhirnya akan mempertemukan kita kepada yang Satu, setelah niat kita kokoh terhadap yang Satu dan hanya kepada yang Satu. Rahmat Nya, Kasih Sayang Nya senantiasa melingkupi segala sesuatu yang ada di Alam Raya ini.

 


Dengan Nama Allah Maha Pemurah Maha Penyayang

Meningkatkan Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)

Sisi Pandangan Praktis

Oleh: Jusuf Achmad

Di tahun 1995 Daniel Goleman melalui tulisannya memperkenalkan Kecerdasan Emosi (EQ), baru di tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marshall menarik perhatian masyarakat dunia melalui buku mereka mengenai Kecerdasan Spiritual (SQ).  Secara tidak langsung sebenarnya hal-hal ini pernah dibahas oleh pakar-pakar yang lain.  Bahkan buku-buku Thomas Gordon yang terbit disekitar tahun 1976 sudah mengajarkan cara-cara praktis meningkatkan EQ terutama untuk anak-anak.  Saya sendiri lebih cenderung untuk melihat Kecerdasan Intelektual (IQ), EQ dan SQ menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan yang biasa disebutkan oleh para spiritualis sebagai Kesadaran atau tingkat kerohanian.

Kecerdasan Intelektual (IQ) lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang nyata sedangkan Kecerdasan Emosional dan Spiritual lebih berhubungan dengan hal-hal yang kurang nyata.  Apa yang disebut nyata atau kurang nyata sangat relatif tergantung tingkat Kesadaran (IQ, EQ & SQ) seseorang.  Secara praktis dan singkat Kecerdasan Emosi (EQ) adalah kecerdasan seseorang mengenali emosi-emosi yang ada pada dirinya dan pihak lain lalu dapat bertindak dan berperilaku yang menguntungkan dirinya dan pihak lain.  

Untuk dapat mengenali emosi-emosi kegembiraan, kesedihan, kecemburuan, kecintaan tanpa pamrih, kebencian, keputusasaan, kelapangan, keperkasaan, ketidak berdayaan, terkendali, tanpa kendali, kesombongan, kemenangan, kekalahan, ketidak pasrahan, kepasrahan pihak lain, lebih dulu harus mengenali emosi-emosi tersebut dalam diri-sendiri.  Modal untuk mengenali diri adalah kejujuran, terutama kejujuran pada diri-sendiri.

Agar kita dapat mengenali emosi kita di masa lalu yang jauh maupun yang dekat (hanya beberapa menit atau jam yang lalu) diperlukan kondisi tanpa emosi (emotionless state).  Tanpa adanya kejernihan dan ketenangan kita tidak dapat mengenali emosi diri.  Ketenangan, keadaan tanpa emosi hanya bisa dicapai melalui salah satu dari dua cara berikut: yakni metode Control atau Acceptance.  Dengan kepiawaian pengendalian diri (self control) atau kepasrahan (acceptance) yang tinggi terhadap emosi-emosi yang terjadi pada diri, seseorang bisa dalam kondisi tanpa emosi atau dalam  ketenangan.  Dalam kondisi tanpa emosi ini kita baru dapat betul-betul mengenali emosi kita sebelumnya dan begitu pula emosi pihak lain pada saat ini atau dimasa lalu.

Perlu diingat dengan metode Control kita harus piawai dalam dua hal yang bertentangan yakni jujur dan sekaligus tidak jujur terutama terhadap diri sendiri.  Untuk mencapai keadaan tanpa emosi kita perlu membohongi diri sendiri seolah-seolah tidak ada masalah dengan emosi-emosi yang ada dalam diri kita.  Lalu dengan kejujuran diri yang tinggi kita menganalisa, merasakan kembali emosi-emosi yang telah terjadi pada diri kita.  Kemudian baru melakukan tindakan-tindakan yang menguntung diri-sendiri dan pihak lain.  Karena adanya pertentangan batin (kejujuran-ketidak jujuran), dengan metode ini dapat terjadi konflik dalam diri (dan orang lain).  Untuk menghilangkan konflik ini hati nurani atau rasa kecintaan harus dilenyapkan, atau cara yang lebih piawai adalah mengkondisikan diri seolah-olah ada hati nurani atau rasa kecintaan padahal tidak (manipulatif).

Sebaliknya dengan metode Acceptance modal utamanya hanya kejujuran terutama kejujuran terhadap diri sendiri.  Untuk dapat menerima diri-sendiri dan pihak lain apa adanya (kelebihan-kekurangan) rasa kecintaan perlu ditingkatkan sebesar-besarnya.  Namun untuk mencapai tingkat Acceptance yang cukup seseorang perlu mempunyai “kekuatan” tertentu.  Namun umumnya orang lebih mudah mendapatkan “kekuatan” tersebut dengan menggunakan cara Control terutama bagi mereka yang masih dalam tingkat Kesadaran menengah ke bawah.

Apakah “kekuatan” tersebut? Power dapat didefinisikan sebagai: ketinggian, keberanian, kehormatan, harta, ilmu, kenikmatan-kenikmatan, hak kekuasaan dan hak otoritas (menyatakan benar-salah).   Tanpa adanya sama sekali “kekuatan” ini sulit seseorang dapat mencapai kondisi terkendali (in-control) atau pasrah (in-acceptance).

Perlu diperjelas bahwa kecintaan atau pantulan dari sifat Ar-Rahman,  kecintaan tanpa pamrih bukan bagian dari “kekuatan” di atas.  Kita sering menganggap kepemilikan akan sesuatu yang mendatangkan kenikmatan disebut sebagai kecintaan, padahal sesungguhnya hanya keinginan memiliki.  Kecintaan sejati senantiasa bersifat memberi bukan mendapatkan dan senantiasa pula dinaungi oleh kebijaksanaan yang tinggi (Wisdom-Light) yang berasal dari pantulan Ar-Rahim.  Love and Light selalu beriringan seperti yang biasa dikatakan oleh para Spiritualis.  Kecintaan sejati tidak pernah buta karena senantiasa diterangi oleh cahaya kebijaksanaan yang abadi.

Jadi secara umum sejak kanak-kanak kedua kemampuan tersebut perlu di asah.  Sampai pada tingkatan tertentu seseorang seyogyanya memilih salah satu metode. Karena kalau kedua-duanya terus di tingkatkan akan terjadi konflik yang berakibat sakit pada jasmani dan rohani seseorang.

Apakah artinya kita harus mengajarkan kejujuran dan ketidak jujuran sekaligus?

Secara umum kita hanya mengajarkan kejujuran, waktu kita alpa atau lupa, otomatis kita mengajarkan sebaliknya.  Waktu kita menahan amarah dari memukul anak kita yang nakal, sebenarnya kita sedang mengajarkan control  atau pengendalian diri pada anak tersebut.  Jadi secara tidak langsung kita sedang mengajarkan anak tersebut bagaimana cara membohongi diri-sendiri.  Kepiawaian membohongi diri menjadikan kita piawai membohongi orang lain.  Singkat kata tidak perlu kita sengaja mengajarkan seseorang membohongi diri, karena secara tidak sengaja sering kita lakukan.

Kecerdasan Spiritual (SQ) sebenarnya perluasan dari Kecerdasan Emosi (EQ).  Seorang yang cerdas secara spiritual sangat sadar dari mana ia berasal, apa yang sedang dikerjakan dan hendak ke mana dan apa yang akan dilakukan di masa datang.  Makin lebar rentang waktu dan luas ruang cakupannya, makin tinggi SQ seseorang.  SQ yang tertinggi sesungguhnya menembus ruang-waktu, tidak terbatas, tak berhingga, infiniti, suatu keadaan yang dirasakan tanpa batas.

Ada yang membandingkan EQ dan SQ sebagai berikut:  Dengan EQ seseorang bisa mendapatkan manfaat bagi semua dengan “bermain” dalam batasan-batasan yang ada.  Sedangkan dengan SQ seseorang mendapatkan manfaat yang lebih besar karena berkemampuan mempertanyakan dan merobah batasan-batasan yang ada tergantung relevansinya menurut sikon yang ada.

Secara praktis hubungan EQ dan SQ adalah sebagai berikut:  Kalau EQ adalah kepiawaian mengenali emosi diri dan pihak lain pada suatu tingkatan yang terbatas, sedangkan SQ adalah kepiawaian mengenali emosi diri dan pihak lain pada berbagai tingkat Kesadaran.   Contoh mudahnya untuk mengenali emosi anak kita perlu menurunkan tingkat kesadaran kita seperti anak tersebut.  Sesungguhnya manusia berada dalam tingkat kesadaran yang berbeda-beda, kemampuan kita mengenali, mengerti dan bertindak untuk kebahagian-kepentingan semuanya adalah kemampuan Kecerdasan Spiritual (SQ) kita.

© 16/03/2002©

Tingkat Kesadaran:

Jiwa dalam kemarahan

Senantiasa tidak dapat menahan emosi, sulit mengendalikan diri, sulit sekali pasrah, sulit sekali menerima apa adanya.  Mudah terdominasi-terusik.  Sedih dan gembira berlebihan-berkepanjangan.  Maunya menerima, memberi dengan pamrihpun sulit.  Kecintaan terang-terangan diartikan sebagai kepemilikan. “Kecintaan” bisa membuat lupa daratan.  Sering membuat diri sendiri dan pihak lain tidak nyaman.

Jiwa dalam kegelisahan

Kadang dalam kemarahan, kadang dalam ketenangan. Terkadangan dalam keadaan penuh kendali, terkadang lepas kendali.  Terkadang pasrah, terkadang tidak pasrah.  Kadang sangat ingin merobah diri dan pihak lain, terkadang menerima apa adanya diri dan pihak lain.  Jadi lebih banyak dalam kebingungan-kegelisahan.

Jiwa dalam ketenangan

Mudah sekali kembali dalam keadaan tanpa emosi.  Senantiasa dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik kelebihan maupun kekurangan.  Sulit terdominasi-terusik.  Selalu optimis, senantiasa dalam ketenangan dalam kondisi apapun. Senantiasa dapat memberikan kebahagian dan ketenangan kepada semua.  Senantiasa memberi dengan kecintaan tanpa pamrih dan dengan kebijaksanaan. (Tambah kata seolah-olah untuk metode Control).


Note: Makalah singkat ini dimaksudkan untuk dibagikan di suatu forum di mana saya dapat memperjelasnya melalui tanya-jawab, jadi memang perlu penjelasan lebih lanjut. 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1