-----
Original Message -----
From: Jusuf
Achmad Sent: Sunday, March 17, 2002 6:22 AM Subject: Untuk Forum kebangkitan Jiwa (2) Dengan Nama Allah
Maha Pemurah Maha Penyayang Semoga keselamatan,
kedamaian dan keberkatan senantiasa melimpah pada kita semua, Seperti janji saya
sebelumnya artikel di bawah ini adalah pandangan praktis untuk mencapai
kedamaian. Namun sebelum itu karena saya pikir pandangan filosofis
sebelumnya terlalu "sufistik" atau pandangan Tauhid yang terlalu
mengawang-awang bagi sebagian besar pembaca maka dalam artikel ini saya
membukanya kembali dengan pandangan filosofis yang mengunakan ayat-ayat
Al-Quran dan menginterpretasikan dalam tataran kesadaran kecintaaan yang
lebih membumi. Wassalam, Jusuf Achmad Dengan Nama Allah Maha Pemurah Maha Penyayang Kedamaian
Muncul dari Tiadanya Monopoli Kebenaran Berikut ini adalah
terjemahan sebagian ayat-ayat Al-Quran dari Surah Al-Baqarah dalam dua bahasa
agar kita dapat memaknainya dengan lebih tepat: Terjemahan Bahasa
Inggris oleh Sher Ali: 2:111. And they say. `None
shall enter Heaven unless he be a Jew or a Christian.' These are their vain
desires. Say, `Produce your proof, if you are truthful.' 2:112. Nay, whosoever
submits himself completely to ALLAH and he is the doer of good, shall have his
reward from his Lord. No fear shall come on them nor shall they grieve. 2:113. And the Jews say,
`The Christians stand on nothing' and the Christians say, `The Jews stand on
nothing;' while they both read the same book. Even thus said those, who had no
knowledge, like what they say. But ALLAH shall judge between them on the Day of
Resurrection concerning that wherein they disagree. 2:114. And who is more
unjust than he who prohibits the name of ALLAH being glorified in ALLAH's
temples and strives to ruin them ? It was not proper for such men to enter
therein except in fear. For them is disgrace in this world; and theirs shall be
a great punishment in the next. 2:115. To ALLAH belongs the
East and the West; so whithersover you turn, there will be the face of ALLAH.
Surely, ALLAH is Bountiful, All-Knowing. 2:116. And they say, `ALLAH
has taken to Himself a son.' Holy is HE ! Nay, everything in the Heavens and
the earth belongs to HIM. To HIM are all obedient. 2:117. HE is the Originator
of the heavens and the earth. When HE decrees a thing, HE only says to it `Be,'
and it is. 2:118. And those who have
no knowledge say, `Why does ALLAH not speak to us, or a Sign come to us direct
?' Likewise said those before them what was similar to their saying. Their
hearts are all alike. We have certainly made the Signs plain for a people who
firmly believe. Terjemahan Bahasa
Indonesia dari http://www.kuran.gen.tr/html/indonesia/ : 111. Dan mereka (Yahudi dan
Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu
jika kamu adalah orang yang benar". Namun ayat
112 tidak persis menyatakan seperti di atas, yang disebutkan memdapatkan
kedamaian (tidak ada kekhawatiran dan kesedihan) adalah: "barang siapa
yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya
pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati." Sekarang
marilah kita buktikan bahwa "yang menyerahkan diri kepada Allah" atau
orang Islam adalah mereka yang percaya dan berperilaku bahwa kebenaran
milik semua atau tidak ada yang dapat memonopoli
kebenaran. Dalam ayat
114 mereka yang paling aniaya atau mereka yang paling tidak berserah diri
adalah mereka yang merusak, membakar tempat-tempat ibadah sehingga orang-orang
yang ingin mengagungkan nama Allah, Tuhan di tempat-tempat tersebut terhalangi. Dalam ayat
115 mereka yang berserah diri melihat Tuhan ada dimana-mana maka kebenaranpun
ada dimana-mana. Kalau kita samakan Tuhan dengan kebenaran maka kebenaran
berada di timur, barat, Asia, Eropa, Amerika Serikat, Afganistan, Pakistan
dan tentunya juga di Indonesia walau separah apapun menurut penilaian
manusia kondisi suatu tempat. Namun tentunya kita hanya mempunyai
kebenaran relatif dan hanya Dia yang mempunyai kebenaran absolut. Ciri dari
orang yang berserah diri adalah mereka yang merasa tidak di anak emaskan oleh
Tuhan walaupun begitu banyaknya karunia (dari kacamata jasmani maupun rohani)
yang telah mereka dapatkan di dunia ini. Ayat 116 tidak khusus ditujukan
kepada kaum Nasrani seperti yang banyak dipersangkakan orang karena dalam
konteks ayat ini juga ditujukan kepada kaum Yahudi, jadi ditujukan secara umum
kepada suatu masyarakat, golongan kepercayaan, kelompok, sekte atau individu
yang merasa (pemimpin mereka) sebagai anak tunggal dari Tuhan. Sehingga
seolah-olah hanya merekalah yang satu-satunya memiliki kebenaran dari Tuhan,
hanya merekalah yang berhak atas dunia ini, orang-orang selebihnya tidak lebih
dari anak-anak tiri dari Tuhan yang boleh diperlakukan tidak adil
dan tidak terhormat. Ayat seperti ini pula yang diingatkan oleh Nabi
Muhammad saw agar sering dihayati di akhir zaman sebagaimana yang tercantum
dalam 10 ayat pertama Surah Al-Kahfi. Bisa pula diartikan bagi mereka
yang selalu merasa paling benar sendiri, secara tidak langsung mendeklarasikan
dirinya (atau kelompoknya) sebagai anak tunggal Tuhan di dunia ini.
Kelompok eksklusif dan merasa hanya mereka yang paling punya kebenaran termasuk
dalam sasaran ayat ini. Setiap kelompok agama
menafsirkan pasrah kepada Tuhan sebagai menuruti perintah-perintah Nya yang
biasanya tercantum dalam Kitab-kitab suci masing-masing dan tentunya menurut
tafsir masing-masing sekte pula. Oleh karena itu sulit mencirikan
seseorang secara umum sebagai pasrah kepada Tuhan. Berikut saya coba
memberi ciri-ciri umum yang disebut sebagai pasrah kepada Tuhan, mudah-mudahan
bisa diterima banyak pihak: Kepasrahan
kepada Tuhan sebenarnya tercermin dari kepasrahan kepada Ciptaan-ciptaan Nya
seperti: Alam, hukum alam, mahluk-mahluk Nya yang terbatas dan
seterusnya. Karena ketidak pasrahan kepada ciptaan Nya kalau kita
telusuri kebelakang berakhir kepada ketidak pasrahan kepada Sang Maha Pencipta
sendiri. Ketidak pasrahan kita pada kekurangan diri sendiri atau pihak
lain kalau ditelusuri kebelakang disebakan kekurangan pasrahan kepada Sang
Maha Pencipta sendiri, karena sesungguhnya Dialah yang menciptakan segala
sesuatu - tidak ada pencipta lain selain Dia. Jadi kepasrahan total
adalah kepasrahan kepada Dia beserta seluruh ciptaan-ciptaan Nya, terutama
mahluk sesama manusia termasuk diri-sendiri. Sesungguhnya yang paling
sulit kita pasrahkan adalah diri-sendiri dan orang-orang yang paling dekat
disekitar kita karena seperti diri kita merekapun banyak keterbatasan.
Kepasrahan langsung kepada Tuhan termasuk yang paling mudah karena Dia Maha
Sempurna, sedangkan ciptaan Nya walau sempurna ada keterbatasannya. Kalau
kepasrahan diartikan sebagai senantiasa memenuhi keinginan-keinginan Tuhan,
maka menerima apa adanya ciptaan-ciptaan Nya mencerminkan hal ini.
Pasrah akan setiap ciptaan Nya merupakan keyakinan akan kebenaran pada setiap
ciptaan Nya, walau begitu jelas terlihat adanya keterbatasan pada
ciptaannya. Sesungguhnya melalui ciptaan-ciptaan yang terbatas inilah
kita dapat mengenal seluruh nama-nama Tuhan, atau dengan kata lain sebagai
katalis untuk mengenal Keagungan Tuhan sesungguhnya. Kalau kita
membuat dan menjual robot pembersih rumah lalu sang pembeli memaki-maki
kekurangan alat yang kita buat tersebut, sama saja sang pembeli memaki-maki
kita karena kita yang membuat robot tersebut. Jadi kepasrahan kepada Sang
Maha Pencipta tercermin dari kepasrahan terhadap ciptaan-ciptaan Nya. Kenapa
Tuhan tidak menjadikan dengan sekejab manusia-manusia sempurna padahal seperti
di ayat 117 Tuhan sanggup melakukannya? Tentunya ada hikmah mulia yang
tersembunyi dibelakang kejadian Alam yang terbatas ini (seperti yang
diterangkan dalam artikel yang lalu). Kepasrahan, keridhoan, kecintaan kepada
Tuhan tidak terlepas dari kepasrahan, keridhoan, kecintaan kepada semuanya,
karena semua itu Satu adanya. Ketidak
pasrahan kepada diri-sendiri adalah eksterm sebaliknya dari meyakini kebenaran
hanya ada pada diri sendiri. Hal ini diingatkan pula oleh Nabi
Muhammad saw untuk senantiasa mencermati 10 ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi
di akhir zaman: Terjemahan Bahasa
Inggris oleh Sher Ali: 18:102. Do the disbelievers
think that they can take MY servants as protectors instead of ME ? Surely, WE
have prepared Hell as an entertainment for the disbelievers. Terjemahan Bahasa
Indonesia dari
http://www.kuran.gen.tr/html/indonesia/ : 102. Maka apakah orang-orang
kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong
selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam tempat tinggal
bagi orang-orang kafir. Orang yang kurang pasrah
pada diri-sendiri biasa mengandalkan pihak lain untuk mendapatkan kebenaran
atau kedamaian. Ketergantungan akan kebenaran pada pihak lain tidak akan
dapat mendatangkan kedamaian seperti yang disebut di ayat di atas, karena
umumnya ketidak pasrahan kepada diri sendiri juga mengakibatkan ketidak pasrahan
kepada pihak lain. Dalam keseharian kita sangat sulit selalu
mengandalkan pihak lain, pada umumnya kita mau tidak mau harus memberikan
jawaban dari suara hati kita sendiri atas masalah-masalah yang terjadi pada
kita dan disekeliling kita. Ayat 118 dalam Surah Al-Baqarah di atas juga
mensinyalir hal yang sama. Jadi kebenaran atau keberadaan Tuhan dalam
hati kita perlu dikembangkan namun bukan berarti kita dapat memonopoli
kebenaran. Juru selamat yang paling hakiki adalah diri kita sendiri. Kalaupun
ada seorang yang dijadikan juru selamat, dia yang telah terselamatkan
itu yang kita ikuti jejaknya sehingga kita sendiri terselamatkan seperti
dia juga terselamatkan langsung oleh Tuhan sendiri, Tuhan yang ada dalam hati
kita semua. Ketidak pasrahan kita
kepada suatu pihak biasanya disebabkan karena tidak adanya keyakinan kita akan
adanya kebenaran pada pihak tersebut. Adanya kepasrahan berarti adanya
kebenaran. Dari kemampuan kita pasrah kepada semua menjadikan kita mampu
melihat kebenaran pada semua, tidak ada monopoli kebenaran, selanjutnya
menjadikan kita mampu melihat Tuhan di mana-mana, di timur maupun di
barat. Waktu kesegala arah yang kita lihat hanya kebenaran disaat itulah
kedamaian ada pada diri kita, surga di dunia ini juga. Pandangan Praktis
Cara Meningkatkan Ruhani (Keberadaan, Kebenaran) Dalam Diri. Setelah membaca dan
menelaah buku-buku peningkatan diri melalui konsepsi meningkatkan Kecerdasan
Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ), saya setuju dengan cara-cara ilmiah
ini. Buku-buku mengenai kedua metoda ini telah banyak dipasaran.
Namun saya memberi catatan berdasarkan pengalaman sendiri seperti yang saya
tulis dalam artikel di bawah. Mohon di baca dahulu sebelum melanjutkan
paragraf berikut. Yang hendak saya ingatkan
bahwa kenaikan ruhani bukan hanya ada satu cara yakni jalan kepasrahan,
namun ada dua jalan. Yang satunya lagi adalah seolah-olah pasrah atau
jalan control. Jalan yang terakhir ini juga akan membawa kita sampai
kepada kesadaran Unity atau Tauhid, tentunya dengan segala konsekuensinya. Dalam meningkatkan EQ
ditekankan akan kemampuan empati terhadap orang lain, namun sesungguhnya yang
paling sulit adalah berempati kepada diri sendiri. Sebagaimana yang
diungkapkan dalam suatu hadis yang maknanya "barangsiapa yang mengenal
dirinya, mengenal Tuhannya". Untuk dapat berempati dengan baik kita
harus dalam keadaan emotionless, tepatnya dalam keadaan damai.
Kedamaian yang paripurna hanya terjadi ketika kita mempunyai hubungan yang
hakiki dengan yang Satu (melalui sholat atau meditasi yang hakiki). Ciri-ciri dari jalan
kepasrahan menuju kesatuan: Ciri-ciri
jalan control sama dengan di atas, namun tambahkan kata
seolah-olah. Jalan ini mengharuskan kita mempunyai standar ganda.
Seolah-olah kita tidak menginginkan superioritas padahal menginginkannya.
Namun orang yang kelihatannya sekali ingin superioritas bukan orang yang piawai
di jalan ini. Keinginan akan superioritas harus tersembunyi, sehingga
mendapat banyak dukungan (power) dari pihak lain (umumnya orang tidak suka
terhadap orang yang haus kekuasaan). Banyak problema yang timbul di dunia
ini disebabkan oleh orang-orang yang baru belajar melalui jalan control
ini. "Kedamaian" memang dapat muncul melalui jalan ini kalau
kita benar-benar kuat control atau daya pengendaliannya, namun
sesekali akan terjadi out of control dan terjadi chaos,
memang ini adalah konsekuensinya. Orang-orang
yang sangat piawai di jalan kepasrahan atau control dari luar kelihatannya
sama saja. Yang berbeda hanya niat terdalam di hati masing-masing, yang
satu mendambakan kecintaan tanpa pamrih terhadap semua, yang lain mendambakan
superioritas/power pada dirinya. Sebenarnya kedua belah pihak mudah
menyeberang ke sisi yang lain, hanya dengan perobahan niat. Jadi apapun jalan
yang kita lalui akhirnya akan mempertemukan kita kepada yang Satu, setelah niat
kita kokoh terhadap yang Satu dan hanya kepada yang Satu. Rahmat Nya, Kasih
Sayang Nya senantiasa melingkupi segala sesuatu yang ada di Alam Raya ini. Dengan Nama
Allah Maha Pemurah Maha Penyayang Meningkatkan Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) Sisi
Pandangan Praktis Oleh:
Jusuf Achmad Di tahun 1995
Daniel Goleman melalui tulisannya memperkenalkan Kecerdasan Emosi (EQ), baru di
tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marshall menarik perhatian masyarakat dunia
melalui buku mereka mengenai Kecerdasan Spiritual (SQ). Secara tidak langsung sebenarnya hal-hal ini
pernah dibahas oleh pakar-pakar yang lain.
Bahkan buku-buku Thomas Gordon yang terbit disekitar tahun 1976 sudah
mengajarkan cara-cara praktis meningkatkan EQ terutama untuk anak-anak. Saya sendiri lebih cenderung untuk melihat
Kecerdasan Intelektual (IQ), EQ dan SQ menjadi suatu kesatuan yang tak
terpisahkan yang biasa disebutkan oleh para spiritualis sebagai Kesadaran atau
tingkat kerohanian. Kecerdasan
Intelektual (IQ) lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang nyata sedangkan
Kecerdasan Emosional dan Spiritual lebih berhubungan dengan hal-hal yang kurang
nyata. Apa yang disebut nyata atau
kurang nyata sangat relatif tergantung tingkat Kesadaran (IQ, EQ & SQ)
seseorang. Secara praktis dan singkat Kecerdasan
Emosi (EQ) adalah kecerdasan seseorang mengenali emosi-emosi yang ada
pada dirinya dan pihak lain lalu dapat bertindak dan berperilaku yang
menguntungkan dirinya dan pihak lain. Untuk dapat
mengenali emosi-emosi kegembiraan, kesedihan, kecemburuan, kecintaan tanpa
pamrih, kebencian, keputusasaan, kelapangan, keperkasaan, ketidak berdayaan,
terkendali, tanpa kendali, kesombongan, kemenangan, kekalahan, ketidak
pasrahan, kepasrahan pihak lain, lebih dulu harus mengenali emosi-emosi
tersebut dalam diri-sendiri. Modal
untuk mengenali diri adalah kejujuran, terutama kejujuran pada
diri-sendiri. Agar kita dapat mengenali
emosi kita di masa lalu yang jauh maupun yang dekat (hanya beberapa menit atau
jam yang lalu) diperlukan kondisi tanpa emosi (emotionless state). Tanpa adanya kejernihan dan ketenangan kita
tidak dapat mengenali emosi diri.
Ketenangan, keadaan tanpa emosi hanya bisa dicapai melalui salah satu
dari dua cara berikut: yakni metode Control atau Acceptance. Dengan kepiawaian pengendalian diri (self
control) atau kepasrahan (acceptance) yang tinggi terhadap
emosi-emosi yang terjadi pada diri, seseorang bisa dalam kondisi tanpa emosi
atau dalam ketenangan. Dalam kondisi tanpa emosi ini kita baru
dapat betul-betul mengenali emosi kita sebelumnya dan begitu pula emosi pihak lain
pada saat ini atau dimasa lalu. Perlu diingat dengan metode Control kita harus
piawai dalam dua hal yang bertentangan yakni jujur dan sekaligus tidak jujur
terutama terhadap diri sendiri. Untuk
mencapai keadaan tanpa emosi kita perlu membohongi diri sendiri seolah-seolah
tidak ada masalah dengan emosi-emosi yang ada dalam diri kita. Lalu dengan kejujuran diri yang tinggi kita
menganalisa, merasakan kembali emosi-emosi yang telah terjadi pada diri
kita. Kemudian baru melakukan
tindakan-tindakan yang menguntung diri-sendiri dan pihak lain. Karena adanya pertentangan batin (kejujuran-ketidak
jujuran), dengan metode ini dapat terjadi konflik dalam diri (dan orang
lain). Untuk menghilangkan konflik ini
hati nurani atau rasa kecintaan harus dilenyapkan, atau cara yang lebih piawai
adalah mengkondisikan diri seolah-olah ada hati nurani atau rasa kecintaan
padahal tidak (manipulatif). Sebaliknya dengan
metode Acceptance modal utamanya hanya kejujuran terutama kejujuran
terhadap diri sendiri. Untuk dapat
menerima diri-sendiri dan pihak lain apa adanya (kelebihan-kekurangan) rasa
kecintaan perlu ditingkatkan sebesar-besarnya.
Namun untuk mencapai tingkat Acceptance yang cukup seseorang
perlu mempunyai “kekuatan” tertentu.
Namun umumnya orang lebih mudah mendapatkan “kekuatan” tersebut dengan
menggunakan cara Control terutama bagi mereka yang masih dalam tingkat
Kesadaran menengah ke bawah. Apakah “kekuatan”
tersebut? Power dapat didefinisikan sebagai: ketinggian, keberanian,
kehormatan, harta, ilmu, kenikmatan-kenikmatan, hak kekuasaan dan hak otoritas
(menyatakan benar-salah). Tanpa adanya
sama sekali “kekuatan” ini sulit seseorang dapat mencapai kondisi terkendali (in-control)
atau pasrah (in-acceptance). Perlu diperjelas
bahwa kecintaan atau pantulan dari sifat Ar-Rahman, kecintaan tanpa pamrih bukan bagian dari
“kekuatan” di atas. Kita sering
menganggap kepemilikan akan sesuatu yang mendatangkan kenikmatan disebut
sebagai kecintaan, padahal sesungguhnya hanya keinginan memiliki. Kecintaan sejati senantiasa bersifat memberi
bukan mendapatkan dan senantiasa pula dinaungi oleh kebijaksanaan yang tinggi (Wisdom-Light)
yang berasal dari pantulan Ar-Rahim.
Love and Light selalu beriringan seperti yang biasa dikatakan
oleh para Spiritualis. Kecintaan sejati
tidak pernah buta karena senantiasa diterangi oleh cahaya kebijaksanaan yang
abadi. Jadi secara umum
sejak kanak-kanak kedua kemampuan tersebut perlu di asah. Sampai pada tingkatan tertentu seseorang
seyogyanya memilih salah satu metode. Karena kalau kedua-duanya terus di
tingkatkan akan terjadi konflik yang berakibat sakit pada jasmani dan rohani
seseorang. Apakah artinya
kita harus mengajarkan kejujuran dan ketidak jujuran sekaligus? Secara umum kita
hanya mengajarkan kejujuran, waktu kita alpa atau lupa, otomatis kita
mengajarkan sebaliknya. Waktu kita
menahan amarah dari memukul anak kita yang nakal, sebenarnya kita sedang
mengajarkan control atau
pengendalian diri pada anak tersebut.
Jadi secara tidak langsung kita sedang mengajarkan anak tersebut
bagaimana cara membohongi diri-sendiri.
Kepiawaian membohongi diri menjadikan kita piawai membohongi orang
lain. Singkat kata tidak perlu kita
sengaja mengajarkan seseorang membohongi diri, karena secara tidak sengaja
sering kita lakukan. Kecerdasan
Spiritual (SQ) sebenarnya perluasan dari Kecerdasan Emosi (EQ). Seorang yang cerdas secara spiritual sangat
sadar dari mana ia berasal, apa yang sedang dikerjakan dan hendak ke mana dan
apa yang akan dilakukan di masa datang.
Makin lebar rentang waktu dan luas ruang cakupannya, makin tinggi SQ seseorang. SQ yang tertinggi sesungguhnya menembus
ruang-waktu, tidak terbatas, tak berhingga, infiniti, suatu keadaan yang
dirasakan tanpa batas. Ada yang
membandingkan EQ dan SQ sebagai berikut:
Dengan EQ seseorang bisa mendapatkan manfaat bagi semua dengan “bermain”
dalam batasan-batasan yang ada.
Sedangkan dengan SQ seseorang mendapatkan manfaat yang lebih besar
karena berkemampuan mempertanyakan dan merobah batasan-batasan yang ada
tergantung relevansinya menurut sikon yang ada. Secara praktis
hubungan EQ dan SQ adalah sebagai berikut:
Kalau EQ adalah kepiawaian mengenali emosi diri dan pihak lain pada
suatu tingkatan yang terbatas, sedangkan SQ adalah kepiawaian mengenali emosi
diri dan pihak lain pada berbagai tingkat Kesadaran. Contoh mudahnya untuk mengenali emosi anak kita perlu menurunkan
tingkat kesadaran kita seperti anak tersebut.
Sesungguhnya manusia berada dalam tingkat kesadaran yang berbeda-beda,
kemampuan kita mengenali, mengerti dan bertindak untuk kebahagian-kepentingan
semuanya adalah kemampuan Kecerdasan Spiritual (SQ) kita. ©
16/03/2002© Tingkat Kesadaran: Jiwa dalam kemarahan Senantiasa
tidak dapat menahan emosi, sulit mengendalikan diri, sulit sekali pasrah, sulit
sekali menerima apa adanya. Mudah
terdominasi-terusik. Sedih dan gembira
berlebihan-berkepanjangan. Maunya
menerima, memberi dengan pamrihpun sulit.
Kecintaan terang-terangan diartikan sebagai kepemilikan. “Kecintaan”
bisa membuat lupa daratan. Sering
membuat diri sendiri dan pihak lain tidak nyaman. Jiwa dalam kegelisahan Kadang
dalam kemarahan, kadang dalam ketenangan. Terkadangan dalam keadaan penuh
kendali, terkadang lepas kendali.
Terkadang pasrah, terkadang tidak pasrah. Kadang sangat ingin merobah diri dan pihak lain, terkadang
menerima apa adanya diri dan pihak lain.
Jadi lebih banyak dalam kebingungan-kegelisahan. Jiwa dalam ketenangan Mudah
sekali kembali dalam keadaan tanpa emosi.
Senantiasa dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik kelebihan
maupun kekurangan. Sulit
terdominasi-terusik. Selalu optimis,
senantiasa dalam ketenangan dalam kondisi apapun. Senantiasa dapat memberikan
kebahagian dan ketenangan kepada semua.
Senantiasa memberi dengan kecintaan tanpa pamrih dan
dengan kebijaksanaan. (Tambah kata seolah-olah untuk metode Control).
Note: Makalah singkat ini dimaksudkan untuk dibagikan di suatu forum di mana
saya dapat memperjelasnya melalui tanya-jawab, jadi memang perlu penjelasan
lebih lanjut.
112. (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
113. Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak
mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata:
"Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka
(sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui,
mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara
mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
114. Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi
menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?
Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan
rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat
mendapat siksa yang berat.
115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
116. Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha
Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah;
semua tunduk kepada-Nya.
117. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:
"Jadilah". Lalu jadilah ia.
118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak
(langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada
kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan
seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah
menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.
Dari ayat-ayat 111 dan 112 jelas disebutkan bahwa kaum yang akan mendapatkan
surga baik nanti maupun kedamaian di dunia ini juga, bukan eksklusif milik
pengikut Yahudi atau Nasrani. Kalau kita extrapolasi kedamaian
bukan eksklusif milik suatu kelompok kepercayaan, badan, masyarakat,
negara tertentu tetapi milik setiap anggotanya yang percaya bahwa
tidak ada yang dapat memonopoli kebenaran. Dengan katakan lain kedamaian
adalah bagi mereka yang percaya dan dalam perilaku sehari-hari
merefleksikan bahwa kebenaran adalah milik semua.