Home Current Articles Previous Articles Upcoming Articles Get Involved Contact Us

Electronic Journal: International Relations Studies


Pengaruh Gerakan Politik Kaum Syiah Di Irak Terhadap Keamanan Kawasan Timur Tengah

 BAB I: PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

Irak merupakan suatu negara di Kawasan Timur Tengah yang sudah lama terkenal sebagai perhatian dunia. Pada jaman dahulu, Irak dikenal sebagai salah satu pusat peradaban dunia dengan Taman Gantungnya yang merupakan karya dari Kerajaan Babilonia. Selama masa kejayaan Islam, Irak masih menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai wilayah di kawasan Timur Tengah. Di kota-kota besar Irak, kaum Muslimin berduyun-duyun mendatangi ceramah-ceramah agama dan sastra Islam serta bertukarpikiran mengenai berbagai persoalan kehidupan. 

Kemasyhuran Irak dapat diumpamakan sebagai suatu api abadi yang tak pernah padam. Sampai saat ini pun Irak masih menjadi topik pembicaraan orang dari berbagai penjuru dunia dan golongan masyarakat. Hanya saja, kalau dulu Irak dikenal orang karena kebudayaannya yang unggul, sekarang orang mengenal Irak karena perang saudaranya (antara golongan Syiah dan Sunni) dan kekerasan warganya terhadap tentara pendudukan AS dan warga negara asing di Irak. Rasanya sangat menarik bagi kita untuk kaji mengapa reputasi dan peranan Irak berubah total di dalam percaturan politik dan kehidupan dunia.   

B. Pengertian 

Berkaitan dengan judul makalah di atas, yaitu “Pengaruh Gerakan Politik Kaum Syiah Di  Irak Terhadap Keamanan Kawasan Timur Tengah”  berikut ini penulis ingin menjelaskan beberapa istilah yang sering muncul di dalam makalah ini. 

Kaum Syiah

Suatu kelompok masyarakat Muslim yang meyakini bahwa Ali bin Abi Talib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah as-Saffat ayat 83 yang artinya: "Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)."[1] 

Irak

Adalah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Iran di sebelah timur, Kuwait di sebelah tenggara, Arab Saudi di sebelah selatan, Yordania di sebelah barat dan Turki di sebelah utara.[2] 

Kawasan Timur Tengah

Adalah sebuah daerah di antara benua Eropa, Afrika dan Asia. Biasanya yang masuk ke dalam kawasan Timur Tengah secara harafiah adalah negara-negara: Suriah, Libanon, Palestina, Israel, Mesir, Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Irak dan Kuwait. Lalu negara-negara Afrika Utara berikut ini juga diikutkan: Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, Mauritania, Sahara Barat, Sudan, Etiopia, Eritrea dan Jibuti. Selain itu kadangkala negara-negara berikut juga diikutkan: Iran, Afghanistan dan Turki.[3]  

C. Pembatasan Masalah 

Dalam makalah ini penulis tidak akan membahas semua masalah politik yang terjadi di Irak. Penulis juga tidak akan membahas masalah keamanan di Kawasan Timur Tengah secara menyeluruh. Untuk kepentingan penajaman pembahasan masalah, maka melalui makalah ini, penulis hanya akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut ini, yang masih berkaitan erat dengan masalah politik dalam negeri Irak dan isu keamanan di Kawasan Timur Tengah. 

1.      Bagaimana gerakan politik kaum Syiah di Irak pada periode 1980-1990?

2.      Bagaimana situasi politik tersebut mempengaruhi keamanan di Kawasan Timur Tengah?

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 

A. Kaum Syiah

1. Pengertian

Syiah sebenarnya merupakan suatu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Talib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah as-Saffat ayat 83 yang artinya: "Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)."

Paham Syiah dianut oleh sekitar 20% dari umat Islam dewasa ini. Penganut paham Syiah tersebar di negara-negara Iran, Irak, Afghanistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta beberapa negara Amerika dan Eropa. Para pengikut paham Islam yang seperti inilah yang disebut sebagai kaum Syiah.

2. Sejarah Lahirnya Syiah.

Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syiah. Sebagian menganggap Syiah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Ansar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa'idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Talib. Sebagian yang lain menganggap Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman bin Afan (memerintah dari tahun 644-656) atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Talib. Pada masa itu terjadi pemberontakan terhadap Khalifah Usman bin Affan yang berakhir dengan kematian Usman dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Talib bersedia dibaiat sebagai khalifah.

Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Mu'awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at-tahkim atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij (Ar. = orang-orang yang keluar). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada Khalifah disebut Syi'atu 'Ali (pengikut Ali).

Pendirian kalangan Syiah bahwa Ali bin Abi Talib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW telah tumbuh sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syiah, inti dari ajaran Syiah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syiah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Ali dan pasukan Mu'awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan Ali. Di antara pasukan Ali pun terjadi pula pertentangan antara yang tetap setia kepada Ali dan yang membangkang.

Setelah kematian Ali bin Abi Talib pada tahun 40 H akibat tusukan benda tajam beracun oleh Abdur Rahman bin Muljam, kursi kekhalifahan beralih kepada Hasan bin Ali, anak Khalifah Ali dari istrinya, Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. Kekuasaan Hasan bin Ali tidak bertahan lama karena pendukungnya makin lama makin berkurang. Sementara itu, para pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan yang menuntut kursi kekhalifahan bagi dirinya semakin bertambah. Melihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya Hasan bin Ali terpaksa menyerahkan kedudukannya kepada Mu'awiyah dengan persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama, yaitu antara lain : kursi kekhalifahan sesudah Mu'awiyah diserahkan kepada pilihan umat, tidak melaknat Ali bin Abi Talib, dan tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap kaum Syiah. Namun, Mu'awiyah tidak menepati janji-janjinya itu. Kedudukan sebagai khalifah dialihkannya kepada putranya (Yazid), Ali bin Abi Talib selalu dikutuknya, dan para Syiah pengikut Ali diburunya.

Akibat perlakuan Mu'awiyah, kaum Syiah hidup dalam suasana tegang dengan para penguasa. Ketegangan ini memuncak pada tanggal 10 Muharam 61, yaitu ketika Husein bin Ali dan sebagian kerabat Nabi Muhammad SAW dibantai di Padang Karbala, Irak. Peristiwa ini melahirkan aksi-aksi pemberontakan yang berkepanjangan di kalangan sebagian pengikut Syiah di kemudian hari, seperti pemberontakan Mukhtar as-Saqafi, pemberontakan Zaid bin Ali bin Husein, pemberontakan Yahya bin Zaid, dan pemberontakan Nafs az-Zakiyyah.

3. Persoalan Kepemimpinan

Sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan keadaan umat Islam lainnya, dalam Syiah pun berkembang berbagai pemikiran keislaman yang pada intinya berpusat pada tokoh-tokoh Ahlulbait (keluarga Nabi Muhammad SAW), seperti Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Zaid bin Ali, dan Ja'far as-Sadiq. Pemikiran yang paling menonjol terletak pada persoalan imamah atau kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Hampir semua sekte Syiah menekankan arti penting kepemimpinan Ali bin Abi Talib. Persoalan imamah inilah yang membedakan Syiah dari aliran-aliran Islam lainnya seperti Khawarij, Muktazilah, dan Ahlusunah waljamaah.

Dalam hal ini, golongan Syiah mengajukan berbagai alasan atas keyakinan mereka itu, baik berupa alasan-alasan 'aqliyyah (secara rasio) maupun alasan-alasan naqliyyah (berdasarkan yang tertulis, yakni Al-Qur'an dan hadis). Alasan-alasan naqliyyah yang mreka ajukan di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, surah al-Ma'idah ayat 55 yang artinya : "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)."[4] Menurut Syiah, orang yang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Ali bin Abi Talib. Kedua, sabda Nabi SAW dalam hadis al-Gadir yang artinya: "Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya." (HR. Ahmad).[5]

B. Keamanan Di Kawasan Timur Tengah 

Menurut Arnold Wolfers, istilah kemanan dapat diartikan sebagai ”any objective sense, measures the absence of threats to acquire values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked.Pengertian keamanan ini menekankan pada

suatu keadaan dimana suatu masyarakat terbebas dari ancaman dan rasa takut untuk memperoleh dan mempertahankan nilai-nilai. Seperti kita ketahui, mayoritas penduduk Timur Tengah menganut nilai-nilai Islam yang kuat dan cenderung ekslusif. Karena penulis mendasarkan pembahasan masalahnya pada definisi keamanan milik Arnold Wolfers ini, maka penulis dapat menyatakan, bahwa kemanan di kawasan Timur Tengah dapat dianggap stabil apabila masyarakat di kawasan tersebut terbebas dari ancaman dan rasa takut untuk menerapkan dan mempetahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. 

Negara-negara dan aktor-aktor lain di kawasan Timur tengah selama ini telah beruasaha keras untuk menciptakan keamanan. Mereka melakukan berbagai cara untuk mewujudkan keamanan di kawasan tersebut. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah dengan membentuk Liga Arab, suatu lembaga yang diharapkan dapat menjadi fasilitator bagi penyelesaian masalah-masalah kemanan dan politik di kawasan yang penuh dengan sumber daya minyak ini. Lain aktor negara, lain pula aktor organisasi-organisasi keagamaan, kesukuan dan politik. Di kawasan ini, aktor-aktor non-negara tersebut sudah sering mengambil tindakan kekerasan untuk menciptakan keamanan versi mereka. Demi mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini, mereka tidak segan-segan melibatkan diri dalam civil war and war of seccession, suatu perang untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat. [6]     

Perang sispil dan War of seccession telah menjadi salah satu sebab tidak stabilnya keamanan di kawasan Timur Tengah. Sebagai contoh, karena perang sispil antara kelompok Kristen dan Muslim di Libanon, maka keamanan di Timur Tengah menjadi terganggu dan tidak stabil. Perang ini tidak hanya melibatkan pihak-pihak dalam negeri Libanon, akan tetapi juga aktor-aktor internasional dari luar Libanon, seperti Suriah, Israel dan AS. Contoh lainnya adalah war of seccession yang dilakukan oleh milisi Kristen di Sudan dan kaum Thaliban di Afghanistan. 

BAB III: PEMBAHASAN MASALAH 

A. Gerakan Politik Kaum Syiah Di Irak

1. Gambaran Umum

Seusai agresi AS, perkembangan politik dan kemanan di Irak cukup menarik untuk diamati. Laporan yang disampaikan sejumlah kantor berita menyebutkan terjadi peningkatan aktivitas kelompok Islam Syiah (Shi'ite) di Irak, khususnya di wilayah selatan, seperti Najaf dan Karbala. Mereka dilaporkan tidak mau menerima kehadiran sebuah pemerintahan pasca-Saddam Hussein yang diciptakan dan dikendalikan Amerika Serikat (AS).

Kelompok ini, terutama yang tergabung dalam Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak (SAIRI, The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq) pimpinan Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim, bahkan pernah berniat untuk membentuk pemerintahan semiteokratis ala Republik Islam Iran.[7]

Baqir al-Hakim memang merupakan pemimpin oposisi Irak yang berbasis di Teheran, Iran. Tapi, bagaimana sebenarnya sosok dan perjalanan gerakan kaum Syiah di Irak?

Di Irak, umat Syiah merupakan mayoritas atau sekitar 57% dari sekitar 25 juta penduduk Irak saat ini. Pada umumnya terkonsentrasi di kawasan Irak selatan dan timur seperti, Basra, Karbala, Diwaniyah, Hillah, 'Amarah, Muntafiq, Kut, Najaf, Kazimain, dan al-Thaurah. Karbala (tempat syahidnya Imam Hussein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW) dan Najaf sangat dikenal sebagai kota-kota suci umat Syiah Irak, sebagaimana kota Qom di Iran.

Kendati mayoritas, umat Syiah di Irak -baik dari segi politik maupun sosial-ekonomi- berada dalam kondisi "tertinggal" dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Pada 1947 hanya satu dari dua orang Syiah Irak yang berpendidikan sekolah menengah. Beberapa tahun kemudian membaik. Rasionya sudah menjadi tiga berbanding lima. Antara 1920 dan 1958, tidak seorang Syiah pun yang mempunyai jabatan militer. Padahal pada periode yang sama terdapat 25 orang Arab Sunni dan 10 orang Kurdi yang mempunyai jabatan militer.

Pada 1958, hanya 2 dari 15 jabatan tinggi militer yang dipegang orang Syiah. Memang, peran politik kaum Syiah masih lebih baik ketimbang peran mereka di bidang militer. Pada 1947, misalnya, untuk kali pertama seorang Syiah, Salih Jabir, dipercaya membentuk kabinet, dan selama periode 1947-1958, 4 dari 8 Perdana Menteri Irak dipegang orang Syiah. Namun, setelah kudeta pertama Partai Bath (1963), peranan politik dan militer kaum Syiah justru makin merosot.

Pada periode November 1963-1970, komposisi dari 53 anggota Dewan Pimpinan Partai Bath adalah 84,9% Arab Sunni, 5,7% Syiah, dan 7,5% Kurdi. Padahal, pada periode 1952-1963 perbandingannya 38,5% Arab Sunni, 53,8% Syiah, dan 7,7% Kurdi. Setelah kudeta kedua Partai Bath (1968) sampai 1977, tidak seorang Syiah pun yang disertakan dalam Dewan Komando Revolusi (RCC), yang merupakan badan pembuat keputusan tertinggi di Irak era Saddam.

Di kalangan elite politik Irak, pada 1978-1991 hanya dua orang Syiah yang menjadi anggota RCC dan menduduki posisi cukup penting, yaitu Deputi PM Saadon Hamadi dan Menteri Pertahanan Tuma Abbas. Memang, sejak masa pemerintahan Ahmad Hasan al-Bakr (1968-1979) dan Saddam Hussein (1979 - 2003), panggung politik Bagdad justru didominasi kelompok minoritas Arab Sunni, khususnya Partai Bath, lebih khusus lagi keluarga Saddam dan "klan" al-Takriti. Dominasi kelompok minoritas Arab Sunni atau -meminjam istilah Chibli Mallat (1988)- "Sunnisasi" serta "Bathisasi" panggung politik Bagdad inilah yang menjadi sumber utama penentangan kaum Syiah terhadap rezim Saddam di Irak.

2. Pemberontakan Kaum Syiah

Pemberontakan kaum Syiah yang pertama sejak kemerdekaan Irak terjadi pada 1935. Kala itu para ulama Syiah menuntut diajarkannya hukum Syiah pada sekolah-sekolah di seluruh Irak. Namun, gerakan Syiah baru terorganisasi pada akhir 1950-an. Yaitu, ketika sejumlah ulama dan aktivis Syiah -seperti Muhammad Mahdi al-Asafi, Sayyid Kazim al-Ha'iri, Mahdi Ali Akbar Shariati (ketiganya keturunan Iran), 'Ali Muhammad al-Kurani, Mahdi al-Khalisi, dan Hamid Muhajir--mendirikan Partai Dakwah Islam (Hizb ad-Da'wah al-Islamiyyah) di Najaf.

Pada 1979, di Bagdad lahir organisasi kaum Syiah yang lain, al-Mujahidin, yang didirikan antara lain oleh Sayyid 'Abdul 'Aziz al-Hakim, anak bungsu Ayatullah Muhsin al-Hakim (salah seorang ulama Syiah terkemuka di Irak).

Berbeda dari Partai Dakwah yang menghendaki berdirinya rezim Islam Irak yang independen, al-Mujahidin secara tegas mengakui kepemimpinan Imam Khomeini (Pemimpin Iran, 1979-1989) dan dengan sendirinya, menginginkan rezim Islam Irak yang berorientasi ke Teheran. Namun, baik Dakwah maupun Mujahidin sama-sama mengakui kepemimpinan Imam Syiah Irak, Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr.

Baqir al-Sadr, yang oleh Hanna Batatu (1986) disebut sebagai the most learned of Iraq's ayatullahs, memang seorang ulama Syiah Irak yang sangat karismatis dan berwibawa, baik dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya.

Dalam hal ini ia bisa disejajarkan dengan posisi Imam Khomeini bagi umat Syiah Iran, atau Imam Musa al-Sadr bagi umat Syiah Lebanon. Di antara karya-karya monumental al-Sadr yang sangat terkenal adalah Falsafatuna (Falsafah Kita, 1959), Iqtisaduna (Ekonomi Kita, 1960), dan al-Bank al-Laribawi fi al-Islam (Bank Tanpa Bunga dalam Islam, 1973).

Menurut al-Sadr, sebuah sistem yang dibangun di atas landasan falsafah, tradisi dan hukum Islam mampu memecahkan masalah-masalah sosial. Ia mengkritik secara tajam Marxisme dan kapitalisme yang engeksploitasi kebebasan, dominasi golongan kaya atas mekanisme kekuasaan, dan alinasi individu dalam masyarakat yang dikendalikan sistem yang materialistis. Bagi al-Sadr, Islam adalah alternatif yang paling paling tepat. Sebab, Islam mengajarkan bahwa Tuhan adalah sumber segala kekuasaan, legislator tunggal, dan satu-satunya pemilik semua sumber alam.

Baqir al-Sadr sebenarnya baru "dinobatkan" sebagai marji' (ulama yang mempunyai otoritas di bidang hukum dan agama) bagi umat Syiah Irak setelah meninggalnya Muhsin al-Hakim pada 1970. Namun, di bawah kepemimpinan al-Sadr inilah kaum Syiah Irak mulai "diperhitungkan" sebagai sebuah kekuatan politik yang potensial. Bahkan ada yang menyebutkan al-Sadr sebagai pendiri Jama'at al-'Ulama yang menjadi cikal bakal Partai Dakwah, kendati hal ini dibantah antara lain oleh Baqir al-Hakim (anak Muhsin al-Hakim). Pada 1981, al-Hakim secara eksplisit menolak bahwa al-Sadr merupakan pendiri atau anggota Jama'at al-'Ulama. Menurut Baqir al-Hakim, al-Sadr bahkan tidak mempunyai kaitan baik dengan Jama'at maupun Partai Dakwah.

Namun, terlepas dari kontroversi itu, sulit untuk memisahkan al-Sadr dengan gerakan kaum Syiah Irak, seperti diakui Baqir al-Hakim di kemudian hari. Pada masa al-Sadr, misalnya, para ulama Syiah di Najaf mulai menuntut peranan yang lebih aktif dalam kehidupan politik.

Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Syiah semakin mendapatkan perlawanan yang keras dari pemerintahan Saddam Hussein. Puncaknya adalah penangkapan dan eksekusi  al-Sadr. Meninggalnya al-Sadr dan aksi represif rezim Saddam ini mengakibatkan gerakan kaum Syiah Irak mengalami masa-masa paling sulit. Masalah suksesi segera muncul ke permukaan, sementara perpecahan pun tak bisa dihindarkan. Oleh sebagian ulama Syiah, dua organisasi yang ada: Partai Dakwah dan al-Mujahidin, dianggap tidak lagi representatif. Mereka mencoba mendirikan organisasi baru seperti Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro Revolusi Islam Irak.

Namun, kecuali Organisasi Aksi Islam (Munazzamat al-'Amal al-Islami), kelompok-kelompok baru tersebut tidak mampu bertahan lama.

Jadi sampai menjelang 1982, di Irak ada tiga organisasi kaum Syiah: Aksi Islam, Partai Dakwah, dan al-Mujahidin. Pada 17 November 1982, para aktivis Syiah di Iran sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI) di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim. Sejak saat itu pula, al-Hakim, dengan "restu" Teheran, diakui sebagai pemimpin utama gerakan Syiah Irak.

Namun, al-Hakim belum bisa disejajarkan dengan al-Sadr. Tidak satu pun, misalnya, karya al-Hakim yang mampu menandingi Iqtisaduna dan Falsafatuna atau karya-karya al-Sadr lain.

Juga, yang sulit dibantah, berbeda dari al-Sadr yang "tumbuh sendiri," Baqir al-Hakim tampak selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama ayahnya, Ayatullah Muhsin al-Hakim. Hingga kini Baqir al-Hakim belum sepenuhnya mampu menyatukan organisasi-organisasi kaum Syiah Irak yang lain ke dalam SAIRI.

B. Pengaruh Gerakan Politik Kaum Syiah Irak Terhadap Keamanan Kawasan Timteng

1. Pengaruh Langsung: Perang Irak-Iran

Pada 1974 dan 1977, dalam prosesi memperingati hari Ashura (untuk mengenang kesyahidan Imam Hussein), kaum Syiah Irak melancarkan demonstrasi yang mengutuk para pemuka Bath terutama Hasan al-Bakr dan Saddam Hussein. Ketika Revolusi Islam Iran berhasil meruntuhkan Dinasti Pahlevi, al-Sadr (pada Juni 1979) merencanakan memimpin sebuah long march dari Najaf ke Teheran untuk memberikan ucapan selamat pada Imam Khomeini.

Namun, rezim Bath yang tidak menghendaki terlaksananya rencana itu, segera menangkap al-Sadr. Tindakan penguasa ini justru membangkitkan kerusuhan anti-Saddam yang lebih luas di kalangan umat Syiah Irak.

Selama hampir setahun berada dalam tahanan rumah, al-Sadr dan seorang saudara perempuannya (Amina binti al-Huda) kemudian dieksekusi pada 8 April 1980. Besoknya, puluhan aktivis Partai Dakwah juga dijatuhi hukuman mati. Penumpasan yang dilakukan rezim Saddam terhadap gerakan kaum Syiah menyebabkan terjadinya eksodus (200.000 - 350.000) warga Syiah Irak ke Iran. Di samping ke Iran, sejumlah aktivis Partai Dakwah lain menyelamatkan diri ke Inggris, Lebanon, dan Suriah. Hubungan Iran-Irak pun semakin meruncing dan mencapai klimaks dengan berkobarnya Perang Iran-Irak (September 1980 - Agustus 1988).

Perang Iran-Irak merupakan suatu peperangan antara kekuatan-kekuatan Islam revolusioner, yang ingin mendirikan regime-regime Islam dan pihak-pihak yang anti terhadap regime-regime Islam. Salah satu akibat dari perang ini adalah terpecahnya kesatuan negara-negara di kawasan Timur Tengah menjadi dua blok. Blok pertama yang dimotori oleh Iran dan Libya merupakan suatu blok yang berkeinginan keras untuk mendirikan pemerintahan Islam di kawasan Timur Tengah. Blok ini berusaha keras untuk meruntuhkan dominasi regime monarkhi di negara-negara Arab yang telah terkooptasi oleh kekuatan AS dan kekuatan Barat lainnya. Blok pertama ini secara kebetulan didominasi oleh kaum Muslim golongan Syiah, yang dianggap sebagai musuh golongan Sunni. Karena sifat kesyiahannya yang kuat dan misi gerakannya yang berorientasi pada pendirian negara teokrasi Islam, maka keberadaan blok ini dirasa sangat mengancam bagi blok kedua yang dipimpin oleh Irak dan didukung oleh Arab Saudi, Yordania, Suriah dan Kuwait. Berbeda dengan anggota blok pertama, sebagian besar anggota blok kedua merupakan kaum Muslim golongan Sunni yang menganggap  bahwa kaum Syiah adalah kaum yang sesat dan layak untuk disingkirkan.  Sentimen agama ini telah membuat kedua belah blok semakin gencar untuk saling menghancurkan lewat perang Iran-Irak tersebut, yang pada hakekatnya telah dijadikan representasi permusuhan paham Syiah-Sunni dan regime monarkhi-teokrasi Islam. 

2. Pengaruh Tidak Langsung: Perang Teluk

Pada Agustus 1990, setelah 10 tahun memulai perang dengan Iran sebagai akibat gerakan politik kaum syiah di Irak, Saddam menginvasi Kuwait yang diklaim sebagai “provinsi Irak yang ke-19.” Tapi, ia juga melakukan mis-kalkulasi politik dan militer. Kendati kecil, Kuwait justru dibela oleh mayoritas negara-negara Arab dan kekuatan koalisi sekutu pimpinan AS. Saddam tampaknya melupakan sumbangan besar yang diberikan Kuwait—dan negara-negara monarki minyak Arab lainnya—kepada Irak selama berkobar perang Iran-Irak (1980-1988). Irak tergiur menyerbu Kuwait setelah beberapa hari sebelumnya mendapat jaminan dari pemerintah AS, melalui duta besarnya di Irak waktu itu, April Glaspie, bahwa Washington tak akan ikut campur tangan dalam konflik Irak-Kuwait. Bahkan pada waktu menyerbu Iran, Saddam mendapat dukungan penuh dari AS yang tak ingin melihat menjalarnya pengaruh revolusi Islam Iran ke negara-negara monarki Arab sekutu AS. Sehingga AS bersama negara-negara Barat lainnya menjadi pemasok senjata utama bagi Irak.[8]

Invasi Irak ke Kuwait berdampak sangat buruk bagi posisi Irak di mata internasional dan masa depan keamanan Timur Tengah. Karena invasi ini terjadilah perang teluk babak I, antara kekuatan multinasional dan kekuatan nasional Irak yang lemah. Itulah sebabnya, perang teluk tersebut dapat kita sebut sebagai war of inequality. Invasi ini juga makin menyuburkan benih-benih terorisme Islam. Perang teluk babak I yang diakibatkan oleh invasi tadi telah membuat sebagian warga Arab membentuk kelompok-kelompok anti pemerintah domestik Arab dan anti Barat. Kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa negara-negara Arab tidak seharusnya menyelesaikan masalah Kuwait dengan cara menghancurkan Irak dengan memakai kekuatan militer Barat. Perang teluk babak I meraka anggap sebagai suatu bentuk pengkhianatan bangsa Arab terhadap saudaranya sendiri dan suatu kehadiran kolonialisme Barat di Tumur Tengah. Itulah sebabnya mengapa mereka bertekad untuk membela Irak melawan kekuatan Barat dan kekuatan Arab pro-Barat yang ada di Tumur Tengah sampai sekarang. 

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARA

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada BAB III penulis dapat menyimpulkan bahwa gerakan politik kaum syiah di Irak ternyata mempunyai pengaruh langsung dan tidak terhadap stabilitas kemanan di kawasan Timur Tengah. Pengaruh langsung dari gerakan politik kaum Syiah di Irak tersebut adalah pecahnya perang Iran-Irak yang memakan ribuan jiwa. Sementara itu, pengaruh tidak langsungnya adalah invasi Irak ke Kuwait dan pecahnya Perang Teluk Babak I serta menguatnya jaringan terorisme Islam internasional yang bertekad untuk melenyapkan pengaruh Barat dari kawasan Timur tengah.

Gerakan politik kaum Syiah di Irak merupakan suatu masalah yang sifatnya intra state, masalah dalam negeri. Namun, ketika gerakan politik tersebut melibatkan sentimen keagamaan yang tidak terbatasi oleh batasan geografis, maka gerakan tersebut menimbulkan konflik internasional yang bersifat inter state, antara Iran dan Irak. Akhirnya, konflik inter state yang dipicu oleh masalah intra state tersebut secara langsung menjadi penyebab pecahnya konflik internasional yang bersifat multi state, yang melibatkan Irak, negara-negara anggota NATO dan negara-negara Arab selain Irak. Dengan fakta ini, penulis dapat membuat kesimpulan akhir dengan menyatakan bahwa masalah-masalah dan konflik-konflik politik dalam negeri di Irak sangat mempengaruhi stabilitas keamanan regional Timur Tengah dan kemanan global.

B. Saran

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, penulis ingin mengajukan beberapa saran yang mudahan-mudahan bermanfaatkan untuk menciptakan stabilitas kemanan nasional dan regional di kawasan mana saja.

1.   Setiap perbedaan paham keagamaan dan misi politik yang ada di dalam suatu negara seharusnya didialogkan secara terbuka dan dicarikan jalan keluar tanpa mengesampingkan kepentingan nasional dan global.

2.   Setiap gerakan keagamaan dan politik yang mempunyai potensi untuk menjadi sebuah gerakan yang dapat melakukan pelanggaran HAM dan merugikan kepentingan masyarakat, sebaiknya dieliminasi sedini mungkin.

3.   Para politisi dan aktifis politik serta aktifis perdamaian dalam negeri Indonesia sebaiknya lebih banyak berkonsentrasi terhadap dan menyelesaikan konflik-konflik dalam negeri Indonesia dan tidak perlu membuang waktu dan sumber daya lainnya untuk mengurusi masalah-masalah atau konflik-konflik Timur Tengah.


[1] Van Hoeve, 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta

[2] Ensiklopedia Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Irak

[3] Ensiklopedia Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Timur_Tengah. Lihat juga definisi kawasan oleh Joseph Nye, 1968, dalam International Regionalism: Readings (Boston: Little Brown & Co.)

[4] Al Qur’an

[5] Kitab Hadist (Perkataan Nabi Muhammad) Shahih Bukhori-Muslim

[6] Wolfers, Arnold. 1976. Alliance Policy In The Cold War. Greenwood Pub Group

[7] Sihbudhi, Riza. 2 Mei 2003. “Gerakan Politik Syiah Di Irak” dalam Koran Suara Merdeka

[8] Sihbudi, Riza. 2004. “Irak dan Dinamika Politik Internasional” www.infopalestina.com

 

Hosted by www.Geocities.ws

1