Home | Current Articles | Previous Articles | Upcoming Articles | Get Involved | Contact Us |
Electronic Journal: International Relations Studies
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP STATE, MARKET DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA
BAB
I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah
telah menaikkan harga BBM yang sebesar 29 persen mulai awal Maret lalu.
Pemerintah mengklaim telah memperhitungkan secara matang dan mendalam mengenai
kenaikan BBM ini. Sebagai kompensasi atas kebijakan untuk menaikkan harga BBM
ini pemrintah memberikan dana kompensasi kepada rakyat miskin diputuskan menjadi
Rp17,9 triliun.
Banyak
sekali pihak-pihak yang menyayangkan dan memprotes kenaikan harga BBM 2005.
Walaupun demikian, pemerintah Indonesia tetap tidak membatalkan kenaikan harga
BBM.
Kenaikan harga BBM merupakan suatu hal yang tak terhindarkan saat ini. Kenaikan BBM juga menjadi suatu gambaran dominasi kekuatan global dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tangan-tangan kekuatan global seperti IMF dan World Bank nampaknya semakin kuat mencengkeram pemerintah Indonesia, sehingga pemerintahpun tidak sanggup melepaskan diri dari keharusan untuk mencabut subsidi BBM. Kita semua tahu, bahwa pencabutan subsidi BBM merupakan salah satu butir Letter of Intent yang diajukan oleh IMF untuk segera terus diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara yang
kaya akan sumber minyak. Dari Sabang sampai Merauke terdapat banyak sekali
ladang-ladang dan reservoir minyak bumi serta gas alam. Sungguh aneh
sekali bahwa pemerintahan dari suatu negara besar, yaitu Indonesia yang kaya
akan minyak bumi ini justru tidak dapat menyejahterakan rakyatnya melalui
kekayaannya tersebut. Padahal, saat ini yaitu per tanggal 21 Maret, 2005 harga
minyak bumi di pasar internasional telah mencapai angka US $ 57 per barrel.
Ironi ini sungguh menarik untuk kita kaji dan dipertanyakan.
Untuk menghindari kesalahpahaman dikemudian
hari, penulis ingin menjelaskan beberapa pengertian istilah-istilah yang penulis
pakai dalam makalah ini. Beberapa istilah tersebut adalah:
1. Globalisasi
Secara
ekonomi, globalisasi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional
bangsa-bagsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global. Globalisasi setidaknya
melibatkan penciptaan satu ekonomi dunia yang tidak hanya merupakan totalitas
dari perekonomian nasionalnya, melainkan sebuah realitas independen yang kokoh.
Aliran modal, komoditas, teknologi dan tenaga kerja berskala besar dan berjangka
panjang melintasi perbatasan negara, merupakan definisi dari proses globalisasi
(James Petras: 1999).[1]
2.
State
Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert MacIver hampir senada dengan Harold Laski.
3. Market
Kita
semua punya pemahaman minimal tentang apa itu pasar. Dalam definisi yang paling
sederhana misalnya, pasar adalah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan.
4.
Civil Society
Konsep
civil society, menurut Ernest Gellner (1994)[2],
pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on
the History of Civil Society (1773). Filsuf Skotlandia pada masa renaissance
ini mengamati peralihan dari masyarakat aristokratis ke masyarakat industri,
seiring dengan fase kapitalisme yang mulai menancapkan kukunya di daratan Eropa
barat. Ferguson memang cukup piawai menguraikan implikasi sosial dan politik
persoalan ekonomi masayarakat saat itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri tidak
cukup memadai menjelaskan fenomena civil society, terutama dalam konteks
perkembangan civil society dewasa ini.
C. Pembatasan
Masalah
Begitu kompleksnya permasalahan seputar BBM dan kenaikannya, maka dalam makalah ini penulis perlu membuat batasan tentang apa yang akan dibahas dalam makalah ini. Melalui makalah ini, penulis hanya akan menjawab dua pertanyaan penting berkaitan dengan kenaikan harga BBM selama ini. Dua pertanyaan tersebut adalah:
Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert MacIver hampir senada dengan Harold Laski.
Negara jauh lebih kompleks dibanding masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai "sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial (Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka.
Menurut Karl Marx, negara adalah: "negara, yaitu, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa".[3]
Definisi mengenai negara tersebut belum pernah dijelaskan dalam literatur propaganda dan agitasi yang kini berkuasa dari partai-partai Sosial-Demokratis resmi. Lebih dari sekedar itu, kata-kata tersebut memang dengan sengaja dilupakan, karena ia mutlak tak dapat didamaikan dengan reformisme, dan ia adalah suatu tamparan langsung bagi segala prasangka oportunis dan ilusi filistin yang umum sekarang ini tentang "perkembangan damai dari demokrasi".
Proletariat memerlukan negara --ini diulangi oleh semua kaum oportunis, sosial-chauvinis dan Kautskyis yang memasti-mastikan pada kita bahwa inilah yang dipikirkan oleh Marx. Tetapi mereka "lupa" menambahkan bahwa, pertama-tama, menurut Marx, proletariat hanya membutuhkan suatu negara yang melenyap, yaitu, negara yang tersusun sedemikian rupa sehingga ia mulai melenyap dengan segera dan tidak dapat lain kecuali melenyap. Dan, kedua, kaum yang bekerja membanting tulang memerlukan suatu "negara, yaitu, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa".
Negara adalah suatu organisasi kekuatan yang khusus; ia adalah suatu organisasi kekerasan untuk menindas suatu kelas. Kelas apakah yang harus ditindas oleh proletariat? Wajarnya, hanya kelas penindas, yaitu borjuasi. Kaum yang bekerja membanting tulang memerlukan negara hanya untuk menindas perlawanan dari pihak para penghisap, dan hanya proletariat saja yang berada dalam posisi memimpin penindasan ini, menjalankannya; karena proletariat adalah satu-satunya kelas yang dapat revolusioner secara konsekuen, kelas satu-satunya yang dapat menyatukan kaum yang bekerja membanting tulang dan kaum yang terhisap dalam perjuangan melawan borjuis, mengenyahkannya sama sekali.
B.
Market
Pasar
sering dibayangkan sebagai wilayah yang merdeka. Di samping itu, dikenal pula
istilah ‘pasar bebas’ untuk menjuluki pasar yang tidak dikendalikan negara.
Pemerintah dan pengusaha Amerika Serikat selalu mengunggulkan pasar bebas dalam
retorika mereka. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, dua lembaga
internasional yang paling berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia sekarang, boleh
berbangga karena semua negeri yang mereka pinjami uang telah berhasil
membebaskan pasar dari kendali negara. Istilah “pasar bebas” sungguh memikat
kalangan bermodal dari segala penjuru dunia di abad baru ini. Jika
gerakan-gerakan sosialis pada abad ke-19 dan ke-20 berjuang untuk ‘membebaskan
kaum proletar’, gerakan hak-hak sipil berjuang untuk ‘membebaskan rakyat
tertindas’ (seperti kaum kulit hitam di Amerika Serikat), dan gerakan-gerakan
pembebasan nasional berjuang untuk ‘membebaskan bangsa-bangsa yang terjajah’,
kaum kapitalis gencar mengumandangkan slogan ‘bebaskan pasar’. Sementara
Amnesty Internasional membangun gerakan mendunia untuk pembebasan narapidana
politik, IMF dan Bank Dunia menyebut dirinya sebagai gerakan mendunia untuk
pembebasan pengusaha dari kontrol negara. Kaum kapitalis selalu berbicara dalam
bahasa kebebasan, dan mereka percaya bahwa pasar merupakan anasir hakiki untuk
pencapaian kebebasan manusia.[4]
Kita
perlu berpikir kritis tentang konsep ini: apa artinya pasar bebas? Ketika
pemerintah AS, IMF dan Bank Dunia menyatakan bahwa mereka membebaskan pasar, dan
dengan demikian membebaskan rakyat pula dari kemiskinan, kita patut
mempertentangkannya dengan cerita dari sisi seberang. Tak satu negara pun yang
menjalankan kebijakan penyesuaian struktural (SAP) – kebijakan yang dijalankan
pemerintah Indonesia sekarang – di bawah tekanan IMF selama 30 tahun terakhir
sanggup membangun perekonomian yang kuat, stabil dan maju. Lembaga-lembaga
‘globalisasi’ ini ternyata menghancurkan perekonomian nasional di Amerika
Latin, Afrika dan Asia, meningkatkan kemiskinan, dan menegakkan kembali sistem
kolonial di mana perusahaan-perusahaan multinasional dari AS, Eropa dan Jepang
mendominasi kekayaan dan sumber alam dunia. Di Indonesia mereka memaksa
pemerintahan ‘reformasi’ membayar setiap rupiah hutang pemerintahan Soeharto
ke bank-bank asing, dan dengan begitu menyedot habis dana pemerintah yang
diperlukan untuk membangun sekolah dan rumah sakit. Melihat kenyataan serupa ini,
kita bisa berasumsi bahwa ‘pasar bebas’ dalam wacana lembaga-lembaga ini
merupakan istilah pengganti ‘kolonialisme’.
Sebenarnya
relatif mudah menunjukkan bukti kemunafikan di balik penggunaan istilah ‘pasar
bebas’ oleh lembaga-lembaga globalisasi tersebut. Tetapi pengetahuan akan
kemunafikan sang pembicara tidak selalu diikuti dengan pemahaman tentang
konsep-konsep yang dibicarakan. Ilmu sosial membutuhkan lebih dari sekedar
tuduhan sederhana atas kesenjangan antara kata dan perbuatan, yaitu penelitian
tentang apa sesungguhnya yang dikerjakan, dan pengkajian secara seksama terhadap
bagaimana kata merepresentasikan atau salah merepresentasikan realitas. Untuk
memahami istilah ‘pasar bebas’, ada baiknya kita pelajari beberapa hal yang
secara fundamental berkaitan dengannya.
Kita
semua punya pemahaman minimal tentang apa itu pasar. Dalam definisi yang paling
sederhana misalnya, pasar adalah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan.
Seperti pasar di desa dan kota, tempat para pedagang berkumpul untuk menjual
sayuran, daging dan ikan, buah-buahan, dan sebagainya, ada bermacam pedagang dan
pembeli. Pedagang bisa menjualnya ke pembeli mana pun, begitu pula pembeli bisa
membeli barang dari pedagang mana pun. Kadang-kadang tawar-menawar soal harga
bisa menjadi sangat tegang karena masing-masing pihak punya kepentingan berbeda:
pembeli inginkan harga terendah, pedagang inginkan keuntungan tertinggi. Tetapi
ada pemahaman tersembunyi di antara keduanya bahwa tidak ada unsur paksaan dalam
proses transaksi tersebut. Maka, pasar tampil sebagai wilayah kontrak dengan
konsensus lisan antara pembeli dan pedagang. Jika saya membeli pepaya seharga Rp
3.000, itu berarti ada kontrak walau tidak tertulis antara saya dan si pedagang.
Kami bertemu sebagai pihak yang setara dan sepakat dengan kontrak ini. Saya tak
todongkan pistol di kepalanya, begitu pula dia tak todongkan pistol di kepala
saya.
Kemudian,
apa arti istilah ‘bebas’ sehubungan dengan pasar? Kalau kita lanjutkan
contoh perdagangan di pasar di atas, orang akan berkata bahwa kebebasan
tergantung pada apakah anda penjual atau pembeli. Bagi pedagang, kebebasan
berarti menjual tanpa paksaan dari pihak lain: mereka tak dipaksa memberikan
barang dagangan mereka tanpa dibayar ke polisi, tentara atau preman; mereka tak
dipaksa oleh peraturan pemerintah untuk menjual barang dagangannya di bawah
harga yang sudah mereka tentukan.
Bagi
pembeli, kebebasan berarti mampu membeli tanpa paksaan; tak satu pedagang pun
memaksa mereka membeli hanya dari seorang pedagang saja, dan para pedagang juga
tidak melakukan konspirasi bersama untuk menaikkan harga barang setinggi mungkin.
Pembeli melihat kompetisi antar pedagang sebagai elemen kebebasan mereka;
apabila mereka hanya berhadapan dengan satu pedagang atau kumpulan pedagang yang
bersatu, mereka tak punya kekuatan tawar.
Di
banyak kota industri atau pertambangan yang terpencil, ada tradisi
penyelenggaraan ‘toko perusahaan’ (company store). Perusahaan
pengelola pabrik atau pertambangan memiliki semua toko yang ada di wilayah
operasinya dan buruh perusahaan itu pun mau tidak mau harus berbelanja di
toko-toko tersebut untuk pemenuhan kebutuhan harian mereka. Perusahaan bisa saja
menaikkan semua harga barang secara sembarangan karena para buruh tak punya
kendaraan dan waktu untuk berperjalanan ke kota atau pusat perbelanjaan lain di
luar daerah bekerjanya. Tradisi ‘toko perusahaan’ semacam ini sudah
membatasi kebebasan pembeli untuk memilih barang dan dari siapa mereka ingin
membeli barang.
Jadi
kebebasan dalam pasar berarti bahwa baik pembeli maupun pedagang bisa
menyepakati suatu kontrak secara bebas, tanpa salah satu pihak menggunakan
paksaan. Dengan demikian pasar bebas adalah adanya kesempatan bagi semua untuk
membeli dan menjual sesuka hatinya. Seperti yang dinyatakan Ellen Meiksins Wood,
“hampir setiap definisi ‘pasar’ di kamus berkonotasi sebuah kesempatan.”
(Wood 1994, p. 15) Semakin bebas suatu pasar, semakin banyak barang dan jasa
tersedia, semakin banyak pilihan bagi pedagang pun pembeli. Kitab suci para
kapitalis dewasa ini, yaitu buku Milton Friedman Free to Choose (1980),
menampilkan pasar sebagai arena bertemunya berbagai orang dengan kekuasaan
setara, masing-masing berjuang untuk memperoleh pilihan terbanyak dalam hal yang
mereka beli dan jual. Yang mengacaukan pasar, menurut Friedman, adalah
intervensi negara. Negara, dengan kekuatan pemaksanya, bisa membatasi rentang
pilihan yang ada bagi pembeli dan penjual.[5]
Sejauh
ini, kita baru mempertimbangkan tampak pasar di desa dan kota yang terlihat
sehari-hari. Tapi mari kita tinggalkan kegaduhan pasar melewati ruas-ruas jalan
raya menuju daerah pedesaan tempat sayur dan buah-buahan ditanam sebelum dijual
ke pasar. Di sini pula kita temui perkebunan teh, tebu dan kelapa sawit yang
hasilnya dijual ke seluruh dunia. Jika di pasar-pasar tadi kita melihat tempat
pertukaran komoditi, di ladang ini kita menjumpai tempat produksi komoditi.
Ada
jenis pasar yang berbeda di sini: pasar tenaga kerja. Buruh menjual tenaganya
pada pemilik tanah dan perkebunan. Pasar jenis ini jelas berkaitan langsung
dengan paksaan dan kekuasaan, dan ini sudah berlangsung ratusan tahun. Taraf
upah ditentukan oleh kekuatan buruh berhadapan dengan majikan. Dalam beberapa
kasus, para buruh begitu tak berkuasa sehingga mereka bahkan tidak dibayar dan
status mereka merosot tidak lebih dari budak. Tenaga kerja merupakan komoditi
khusus.
Dengan
berperan sebagai pedagang yang menjual tenaga kerjanya, seorang buruh tidak
hanya menyerahkan suatu obyek yang ada di luar dirinya, seperti pepaya. Ia
mengasingkan sebagian dirinya, aktivitas otot, syaraf dan otaknya. Belum pernah
tercatat dalam sejarah manusia ada pasar tenaga kerja yang merupakan pasar antar
pihak yang setara. Buruh menjual dirinya karena mereka tak punya uang dan tenaga
kerja mereka dibeli oleh mereka yang punya uang. Apabila buruh dalam posisi
setara dengan pembeli tenaganya, mereka tak akan pernah menjual tenaganya.
Dalam
teori ekonomi standar (teori ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas
di Indonesia merupakan imitasi yang diajarkan di universitas-universitas di AS),
pasar tenaga kerja ditampilkan seperti layaknya pasar lainnya, sebagai arena
antar pihak yang setara bernegosiasi untuk mencapai konsensus dalam sebuah
kontrak. Buruh digambarkan bisa begitu saja membeli tenaga kerja majikan seperti
halnya majikan bisa membeli tenaga kerja sang buruh. Jika buruh rajin menabung
upahnya (yang dianggap modalnya), suatu saat dia akan mampu menjadi kapitalis.
Dalam teori ekonomi standar tak ada ide tentang kelas, kekuatan tak berimbang
antar kelas.
Jika
kita melihat pasar hanya sebagai situs pihak-pihak yang setara, kita berarti
mengabaikan ketidaksetaraan pemilikan properti dan kekuasaan di situs produksi.
Sekarang, kalau saya pergi ke warung dan membeli teh, antara pemilik warung dan
saya, tak ada perbedaan kekuasaan. Tetapi teh itu sendiri diproduksi di
perkebunan oleh para buruh yang tertindas, yang setiap usahanya untuk
mengorganisir diri pasti akan dihalangi oleh pemilik perkebunan. Sejarah teh di
Indonesia, seperti halnya sejarah kopi dan tembakau, adalah kisah bergelimang
darah dan penindasan. Sebagai ilustrasi, silakan membaca buku Jan Breman tentang
bentuk-bentuk brutal pengendalian buruh di perkebunan kolonial, Menjinakkan
Sang Kuli yang diterbitkan beberapa waktu lalu. Tak ada kebebasan memilih
bagi buruh. Pilihan yang mereka miliki hanyalah bekerja atau lapar. Memilih
sakit atau bahkan mati karena lapar tentu tidak bisa kita sebut ekspresi
kebebasan.
Pasar
sudah ada selama ribuan tahun. Pada hakikatnya tak ada yang salah dengan pasar
itu sendiri. Pada masa peradaban Mesir marak perdagangan antar daratan dan
lintas lautan dengan aneka macam komoditi. Yang penting kita pertimbangkan
adalah milik (property): Bagaimana hubungan kepemilikan antar orang? Apa
hubungan kuasa antara satu pihak dengan pihak lain? Adanya pasar berarti ada
konsepsi tentang milik. Pedagang menjual sesuatu yang dia miliki. (Siasat
pedagang sekaligus pencuri yang paling jitu adalah menjual barang curiannya
kepada pemilik awal barang tersebut.) Karakter pasar bergantung pada hubungan
kepemilikan yang sudah terbangun dalam masyarakat.
Sebagai
gambaran, ketika para pedagang Belanda pertama kali berlayar ke kepulauan
Nusantara pada awal abad ke-17, mereka membeli rempah-rempah di berbagai kota
pelabuhan tanpa memiliki semeter tanah pun di wilayah ini. Mereka membeli
rempah-rempah dari pedagang lain yang membawa rempah-rempah tersebut dari daerah
pedalaman tempat barang dagangan itu diproduksi. Pada saat itu belum ada
perkebunan. Berbagai kelompok etnis dan kekerabatan menanam lada, pala, dan
rempah-rempah lain yang ada pada saat itu; tapi, mereka tidak bekerja banting
tulang di bawah ancaman cambuk.
Baru
pada akhir abad ke-18 dan 19 ketika para pedagang Belanda ini berhasil
memperoleh kekuasaan politik, mereka mulai mengendalikan proses produksi
rempah-rempah. Konsumen di Eropa tidak tahu-menahu asal-muasal rempah-rempah ini
hanya dengan melihatnya di toko-toko di Amsterdam. Apakah barang-barang itu
diproduksi oleh orang yang bebas atau budak tak tampak di medan jual-beli.
Contoh serupa, konsumen sepatu Nike di AS hanya bisa melihat sepatu terpajang di
etalase, tanpa pengetahuan tentang pabrik-pabrik pemeras keringat buruh
Indonesia tempat memproduksi sepatu-sepatu tersebut.
Komoditi,
barang mati tak bicara, tidak menunjukkan relasi kuasa di tempat mereka
diproduksi. Mereka diam di pasar menunggu dijual. Para ekonom yang mengagungkan
“pasar” sebagai arena kebebasan dan kesetaraan mengekor belaka pada
perspektif buta ini dan mengabaikan kondisi sosial yang menaungi proses produksi
komoditi.
Seorang
sejarawan dan ahli antropologi Karl Polanyi (1886-1964) dalam buku klasik dan
ternamanya, The Great Transformation (1944), berbicara tentang bagaimana
karakter pasar secara kualitatif berubah sekitar 1500-1600an di Eropa. Buku ini
seharusnya menjadi bacaan wajib bagi semua pelajar dan ahli ilmu sosial. Ia
berpendapat bahwa manusia, selama jutaan tahun, untuk kelangsungan hidupnya
bergantung pada barang-barang yang tidak dijadikan komoditi.[6]
Di masyarakat jaman purba dan pertengahan yang diperdagangkan di pasar bukanlah
barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang khusus. Misalnya, sebagai
bagian dari komunitas agraris seseorang memproduksi bahan makanan, seperti beras
atau gandum, dan menerima bagiannya dari panen bersama. Jadi, ia tidak perlu
membeli bahan-bahan ini di pasar. Yang tersedia di pasar sekadar barang-barang
tambahan seperti garam atau lada yang dibawa dari Asia, atau benda-benda mewah
untuk kaum elit pengumpul pajak di kota. Pedagang tidak mengendalikan proses
produksi komoditi yang mereka jual; mereka hanya membelinya di satu tempat
dengan harga murah dan membawanya ke tempat lain untuk dijual dengan harga lebih
tinggi.
Hal
pokok yang diutarakan Polanyi adalah bahwa kelangsungan hidup manusia tidak
sepenuhnya tergantung pada pasar. Ia beranggapan bahwa “ekonomi” bukanlah
ranah kegiatan yang terpisah. Berbeda dengan yang terjadi sekarang, dahulu tidak
ada konsep tentang ekonomi yang berfungsi menurut hukum-hukumnya sendiri tanpa
ada kaitan dengan masyarakat atau keinginan manusia. Pedagang tidak
mengendalikan negara. Pada saat itu ada pasar, tetapi kegiatan dan wilayahnya
“termaktub” dalam hubungan-hubungan komunal, kekerabatan, keagamaan dan
politis. “Transformasi besar-besaran” yang merupakan judul buku Polanyi
adalah proses komodifikasi tiga hal pada awal era modern Eropa, yaitu tanah,
buruh dan waktu, yang sebelumnya tak pernah terjadi. Polanyi, yang sampai taraf
tertentu mengikuti pemikiran Karl Marx pada abad ke-19, berpendapat bahwa
kapitalisme bukanlah suatu sistem ekonomi di mana pasar menjadi lebih bebas atau
di mana para pedagang dibebaskan dari pembatasan yang diterapkan kekuasaan
feodal. Yang mendefinisikan kapitalisme adalah penggusuran orang dari tanah
mereka secara besar-besaran. Begitu orang tak memiliki tanah, seperti yang
terjadi di Inggris sejak abad ke-16, mereka harus bergantung pada pasar untuk
bertahan hidup.
Kalau
kita mengamati hubungan sosial kepemilikan, kita akan menemukan bahwa pasar di
bawah kapitalisme berkaitan dengan desakan, yaitu, desakan untuk berpartisipasi
dalam pasar. Mereka yang tak bermilik hanya punya pilihan terbatas antara
bekerja atau kelaparan. Sekarang mayoritas orang di negeri-negeri kapitalis maju
seperti AS tidak memiliki modal; mereka hidup dari pekerjaan yang berupah jam-jaman.
Mereka tidak hidup dari perolehan keuntungan saham, bunga, atau pembagian
keuntungan perusahaan. Sejarah kapitalisme sebenarnya adalah sejarah penggusuran
orang dari tanahnya dan penciptaan pasar tenaga kerja yang terus-menerus
berkembang meluas.
Mereka
yang mendukung perkembangan kapitalisme dan ‘pasar bebas’ di Indonesia harus
mengamati dengan serius negara-negara ‘berkembang’ seperti AS: konsekuensi
tak terhindarkan dari perkembangan kapitalisme adalah pesatnya pertumbuhan kelas
orang-orang bermilik (propertied class). Konsentrasi kekayaan di AS
dewasa ini luar biasa besarnya: di satu sisi ada ‘surplus’ penduduk yang
masif dan tidak mendapat bagian apa-apa dari ‘pasar bebas’; di sisi lain,
hidup segelintir milyuner. Pemerintah AS banyak mengerahkan pendapatan pajak
mereka untuk mendisiplinkan ‘surplus’ manusia tak bermilik ini dengan
kekuatan polisi. Lebih dari 1 juta orang Amerika berada di penjara – jumlah
total narapidana terbesar dan perkapita tertinggi di seluruh dunia.
Banyak
dari mereka yang mengunggulkan ‘pasar bebas’ memuja filsuf Skotlandia Adam
Smith (1723-90), yang menulis buku The Wealth of Nations (1776), sebagai
pemikir tentang ‘pasar bebas’. Buku teks standar ilmu ekonomi ini disebut
‘neoklasik’ karena berisi pembaruan ide-ide Adam Smith yang bersama David
Ricardo (1772-1823), dianggap sebagai ekonom ‘klasik’. Pembaharuan ini
dilakukan dengan menghilangkan pendapat Smith dan Ricardo mengenai teori kerja
tentang nilai (labor theory of value), yaitu teori tentang nilai komoditi
yang ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang termaktub di dalamnya.
Pikiran-pikiran ekonomi “marginalist” yang muncul pada paruh akhir abad
ke-19, diwakili oleh ekonom-ekonom seperti W.S. Jevons (1835-82) dan Alfred
Marshall (1842-1924), menyatakan bahwa nilai komoditi pada dasarnya ditentukan
oleh persediaan dan permintaan. Dan itulah ajaran utama yang bisa diperoleh dari
ilmu ekonomi standar dewasa ini.
Adam
Smith sebenarnya bukanlah penjelmaan awal ekonom IMF di masa kini. Apabila kita
baca karyanya, kita akan melihat bahwa Smith masih tetap mengharapkan negara
mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menghilang, seperti yang
diinginkan IMF. Ia bahkan berpikir bahwa pedagang, kaum yang hidupnya dari
keuntungan, akan menciptakan anarki apabila mereka mengendalikan negara karena
mereka terutama dimotivasi oleh kepentingan mereka pribadi dan bukannya
kepentingan umum. Ia mengkhawatirkan munculnya anarki pasar, dan
kesewenang-wenangan pedagang menjadi prinsip-prinsip pemandu kehidupan sosial.
Smith mendukung perkembangan kapitalisme, itu pasti – ia menginginkan buruh
menjadi lebih produktif melalui pembagian tenaga dan kemajuan teknologi yang
lebih canggih. Tetapi ia ingin supaya pasar dikendalikan secara bijaksana oleh
“negarawan”, sedemikian rupa sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan
sosial yang berguna bagi publik. Ia menyatakan bahwa bukunya merupakan latihan
di bidang “ekonomi politik”, yaitu ilmu bagi “negarawan atau pembuat
undang-undang” supaya mereka bisa meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa.[7]
Salah
satu ajaran Smith yang perlu kita pertimbangkan benar dewasa ini: “Usulan
perundang-undangan atau aturan perdagangan baru apa pun yang datang dari tatanan
ini [para majikan yang hidup dari keuntungan] harus selalu didengarkan dengan
kewaspadaan luar biasa, dan tidak pernah boleh diberlakukan sebelum dikaji
secara seksama dan mendalam, bukan hanya dengan perhatian yang paling teliti,
tetapi juga dengan kecurigaan. Usulan itu datang dari kaum yang kepentingannya
tidak pernah sepenuhnya sama dengan kepentingan publik, yang secara umum
berkepentingan untuk menipu dan bahkan menindas publik.” Smith mungkin akan
terperanjat membaca karya Milton Friedman yang begitu polos berasumsi
seakan-akan kepentingan kaum kapitalis berjalan selaras seimbang dengan
kepentingan masyarakat luas.
C.
Civil Society
Konsep civil society, menurut Ernest
Gellner (1994), pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An
Essay on the History of Civil society (1773). Filsuf Skotlandia pada masa renaissance
ini mengamati peralihan dari masyarakat aristokratis ke masyarakat industri,
seiring dengan fase kapitalisme yang mulai menancapkan kukunya di daratan Eropa
barat. Ferguson memang cukup piawai menguraikan implikasi sosial dan politik
persoalan ekonomi masayarakat saat itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri tidak
cukup memadai menjelaskan fenomena civil society, terutama dalam konteks
perkembangan civil society dewasa ini.
Rumusan civil society makin menemukan
bentuknya setelah Alexis de Tocquaville pada abad ke-19 melakukan penelitian
lapangan yang hasilnya termaktub dalam karya klasiknya, Democracy in America (1969).
Tocquaville sendiri terinspirasi oleh Montesquieu. Ia menyatakan bahwa
asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk memperantarai aspirasi masyarakat
dengan para pengambil kebijakan. Asosiasi perantara merupakan aset vital bagi
demokrasi, kata Robert W. Hefner (2000). Menurut definisi AS. Hikam yang merujuk
pada Tocquaville, civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial
yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting),
kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan
norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).
Dalam melihat hubungan masyarakat
dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga fungsi; Pertama,
sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai
aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk
melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua,
sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian
aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai
institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai
kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing
forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan,
ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik
negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi
negara.
Fungsi-fungsi civil society di atas
mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil
society, antara ranah sosial-budaya ataukah pada lingkup politik. Studi
Michael W. Foley dan Bob Edwards misalnya, menunjukkan distingsi kategoris
antara civil society yang berorientasi horisontal yang lebih dekat pada
irisan budaya dengan civil society vertikal yang dianggap lebih “politis.”
Iwan Gardono (2001) menambahkan sebentuk civil society yang merupakan
kombinasi antara keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang
menekankan pada aspek budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat
dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity.” Indigenisasi
konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan
konteks keumatan. Anwar Ibrahim, Nurcholish Madjid dan Dawam Raharjo yang
mengusung masyarakat madani misalnya, termasuk prototipe kalangan yang melihat civil
society sebagai konsep budaya. Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis
seperti AS. Hikam, Ahmad Baso dan lain-lain enggan memakai istilah masyarakat
madani untuk menyebut civil society, tapi lebih suka memakai kata civil
society atau sekurang-kurangnya diterjemahkan menjadi masyarakat sipil,
mereka sering dikategorikan sebagai kalangan civil society yang bekerja
pada ranah kultural. Kategori ini tidak bersifat mutlak karena AS. Hikam
misalnya, pernah menulis bahwa civil society merupakan sebuah arena
tempat para intelektual organik menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek
hegemoni tandingan.[8]
D.
Hubungan State, Market dan Civil Society
Richard
Falk (On Humane Governance: Toward a New Global Politics, 1995) mengingatkan,
dalam era globalisasi ini ada tiga kekuatan besar di dunia ini, yaitu state,
market, dan civil society. Apabila market dan state bersatu menghadapi civil
society, yang terjadi adalah inhumance governance. Apabila civil society dan
market bersatu menghadapi state, yang akan terjadi adalah pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap rakyat atau humane governance. Bila civil society dan
state bersatu menghadapi market, yang akan terjadi adalah penjinakan market
yaitu kebijakan-kebijakan yang mengurangi kesewenang-wenangan market.
BAB III: DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM 2005 TERHADAP STATE,
MARKET DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA
Seperti
yang sudah disampaikan oleh penulis pada bab pertama tentang pembahasan masalah,
maka pada bab tiga ini penulis ingin membahas dua permasalahan penting seputar
kenaikan harga BBM. Dua isu penting tersebut secara spesifik menyangkut alas an
kenaikan harga BBM dan dampak kenaikan harga BBM terhadap state, market dan
civil society di Indonesia.
A.
Alasan Kenaikan Harga BBM Dan Campur Tangan Pihak Asing
Kemerosotan ekonomi dalam negeri
akibat dari globalisasi memberi dampak yang cukup buruk bagi hampir semua sektor
termasuk juga subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dikurangi, buntutnya adalah
naiknya harga BBM. Alasan dinaikannya adalah karena negara tidak lagi punya
cukup dana untuk membiayai rakyatnya dalam hal pengadaan BBM, sehingga rakyat
sekarang harus mandiri untuk memperoleh BBM itu dengan cara membeli dengan harga
yang disesuaikan alias naik. Kenaikan
harga BBM ini adalah bagian dari paket perjanjian antara pemerintah dengan IMF,
yang merupakan buah dari globalisasi ekonomi. Dalam perjanjian yang disebut LOI
(Letter of Intent), pemerintah berjanji untuk mencabut semua subsidi
"yang tidak perlu" - dalam hal ini termasuk subsidi untuk BBM, subsidi
untuk pendidikan, subsidi untuk listrik dan telepon, subsidi untuk PAM, subsidi
untuk sembilan bahan pokok dan subsidi untuk membeli produk pertanian (subsidi
harga gabah). Subsidi untuk BBM harus dicabut karena subsidi untuk BBM dianggap
menghalangi perdagangan bebas. Produk-produk luar negeri, yang harus membayar
harga lebih mahal untuk BBM di negerinya, katanya, akan sulit bersaing di
Indonesia karena produk dalam negeri hanya membayar murah untuk BBM. IMF
menuntut agar harga BBM di Indonesia disamakan dengan tingkat harga BBM di
negeri-negeri Amerika dan Eropa.
Kalau dihitung-hitung, memang harga BBM di Indonesia jika dibandingkan dengan di Amerika misalnya masih dibawah harga. Atas dasar alasan itulah maka salah satu alasan juga mengapa BBM kemudian dinaikkan atau lebih diperhalus yaitu disesuaikan.
Indonesia termasuk penghasil minyak
bumi yang cukup besar, ada lebih dari 10 titik sumber minyak bumi yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Yang masing masing sumber cukup untuk memenuhi
kebutuhan BBM di dalam negeri. Bahkan masih ada jumlah yang berlebih untuk dapat
dijual ke luar negeri (Eksport) sebagai salah satu income negara yang dikenal
sebagai income sector Migas. Satu kekayaan yang cukup berlimpah
sebenarnya, namun sekarang mengapa rakyat tidak dapat menikmatinya? Mengapa
harganya harus ikut ditentukan oleh Luar Negeri dalam hal ini Amerika? Seolah
olah yang dapat kita simpulkan disini bahwa minyak bumi yang kita miliki bukan
lagi milik pribadi tetapi sudah milik orang lain alias milik asing. Minyak bumi
kita dibawa keluar negeri dan Indonesia kembali membelinya. Dengan kata lain
bahwa Indonesia mengimport minyak buminya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa Indonesia tidak bisa menentukan harga sendiri dan harus selalu mengikuti
dan menyesuaikan harga asing.
Baiklah katakan kalau tambang minyak bumi itu diolah oleh asing dikarenakan Indonesia terlalu bodoh, atau tidak punya modal untuk mengeksplorasikannya sendiri, namun demikian itu tambang toh masih milik Indonesia bukan? Modal dan segala teknologi eksplorasi itu secara fair dapat dihitung berapa yang diperoleh Indonesia sebagai pihak yang memiliki lahan dan sumber alam, dan berapa yang diperoleh pihak asing sebagai yang memiliki tehnologi. Tetap yang harus memegang kendali adalah bangsa Indonesia atas kepemilikan sumber alam tersebut. Yang anehnya sekarang adalah:
1. Indonesia memperoleh persenan yang lebih kecil dari pihak asing.
2. Indonesia bukan sebagai penentu, jadi hak kepemilikannya hilang.
3. Pengadaan untuk dalam negeri dijatah oleh luar negeri, sehingga untuk kelebihan penggunaan Indonesia harus mengimpor dari luar, dan dana import itulah yang kemudian ditanggung pemerintah.
Dana import BBM yang semangkin hari meningkat karena nilai rupiah terhadap dollar Amerika semangkin merosot, sehingga nilai jual dengan nilai beli, lebih tinggi nilai belinya, kelebihan itulah yang kemudian ditanggung oleh rakyat. Semangkin rendah nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka semakin tinggi pula negara harus mensubsidinya.Berhubung keuangan negara semangkin morat marit dan menipis, maka terpaksalah rakyat yang dibebani untuk menutup kekurangan dana tersebut, lalu dengan kata kata diplomatis dikatakan bahwa Pemerintah mengurangi subsidi BBM, itu sebenarnya bohong. Jadi yang benar adalah bahwa rakyat harus menutupi kekurangan atas penggunaan BBM dalam negeri yang dijatah oleh bangsa asing, dengan cara mengimport BBM sendiri tentunya dengan kurs yang lebih tinggi. Selisih itulah yang dibebani pada rakyat, jadi sekali lagi bukan pemerintah mencabut subsidi. Seandainya nilai rupiahterus memburuk, niscaya, kekurangan BBM yang diimport tersebut juga akan mengalami kenaikan. Pasti harga BBM akan naik lagi dan seterusnya. Kemudian untuk meninabobokan rakyat, pemerintah kembali menyerukan kalau subsidinya dikurangi lagi dan seterusnya.
Berbagai alasan kenaikan harga BBM yang selama ini disosialisasikan pemerintah merupakan informasi yang tidak fair. Alasan pemerintah, harga BBM di negara lain jauh lebih tinggi ketimbang di dalam negeri tidak disertai informasi mengapa harga BBM di luar negeri lebih tinggi. Seharusnya, pemerintah juga menginformasikan tingkat pendapatan penduduk di negara-negara maju itu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk Indonesia. Maka, wajar jika harga BBM di negara maju lebih tinggi. Kerancuan informasi alas an kenaikan BBM ini menjadi satu hal yang patut kita kritisi supaya di masa depan pemerintah tidak mengambil kebijakan dengan semaunya saja.
B. Dampak Kenaikan Harga BBM
2005 Terhadap Pemerintah (State) di Indonesia
Pada
akhir Februari 2005 ini menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sikap
pemerintah yang belum jelas tentang rencana menaikkan harga BBM membuat semua
pihak menunggu dalam kebingungan. Yang menjadi pertanyaan, kapan kenaikan itu
diberlakukan dan angka kenaikan BBM itu sendiri.
Saat
itu, memang pemerintah sudah bertekad akan menaikan harga BBM, walaupun mendapat
tentangan dari fraksi-fraksi di DPR.
Menurut
pemerintah Indonesia, penaikan harga BBM ini harus dilakukan, sebab bila tidak
maka defisit semakin membesar dan membenani APBN. Keputusan untuk menaikkan BBM
dalam kondisi sekarang jelas sangat pahit, tidak populer, namun mau tidak mau
harus dilakukan. Pemerintah Indonesia jelas akan terkena dampak besar atas
kebijakannya yang tidak populis ini. Salah satu dampak tersebut adalah
menurunnya citra pemerintahan yang sekarang berada di bawah kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menyatakan siap tidak populer
sehubungan dengan rencana pemerintah menaikan harga BBM. Menurut Presiden, salah
kalau dirinya populer, tetapi ekonomi ambruk dan pilar ekonomi keropos. [9]
Seperti
dikemukakan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, pemerintah telah menyediakan
dana kompensasi atas kenaikan harga BBM. Tujuan pemberian dana kompensasi itu
agar bisa menekan dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap rakyat kecil.
Pemerintah telah memperhitungkan, kenaikan BBM disertai dana kompensasi tersebut
mengakibatkan angka kemiskinan tidak akan meningkat, justru malah turun menjadi
13 persen dari angka sebelumnya 16 persen.
Meskipun
pemerintah telah membeberkan angka-angka secara rasional, namun kebijakan untuk
menaikan BBM ini tidak berjalan mulus dan justru membuahkan akibat negatif bagi
posisi pemerintahan Presiden SBY. Fraksi-fraksi di DPR ada yang keberatan dengan
kenaikan ini. Kredibilitas pemerintahan SBY menurun dan kepercayaan rakyat serta
anggota parlemen langsung merosot. Semua dampak negatif tersebut dapat kita
lihat secara langsung di lapangan. Aksi unjuk rasa terus berlangsung di berbagai
daerah. Alasannya, kenaikan BBM itu semakin menyengsarakan rakyat, sebab
harga-harga kebutuhan lain ikut-ikutan naik. Ibu-ibu menjerit, karena berbagai
keperluan dapur sudah merangkak naik lebih dulu, bahkan sebelum kenaikan BBM
diumumkan pemerintah.
Selain
menurunnya citra pemerintah, kenaikan harga BBm sudah pasti juga akan menambah
beban anggaran belanja pemerintah. Terjadinya kenaikan BBM yang diiringi dengan kenaikan kebutuhan pokok
lainnya menuntut adanya kenaikan upah minimum, termasuk gaji-gaji PNS di
lingkungan birokrasi. Kenaikan gaji PNS otomatis kian membebani belanja rutin
pemerintah dan mengurangi belanja pembangunan yang dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi atau dapat dirasakan masyarakat. Jika gaji-gaji pegawai negeri tidak
ikut dinaikkan, bukan mustahil perilaku yang cenderung korup akan kian
merajalela sampai birokrasi di lapisan bawah, dengan dalih memenuhi kebutuhan
keluarganya. Dengan demikian, upaya pemerintah mencanangkan pemberantasan
korupsi tidak lain sekadar membangun "istana pasir". Lebih jauh,
perilaku yang korup dan meluas kian mengurangi jatah rakyat miskin di negeri ini.
Inilah fungsi laten yang bersifat disfungsi akibat kenaikan BBM.[10]
C. Dampak Kenaikan Harga BBM
2005 Terhadap Market Di Indonesia
Tanpa
perlu dijelaskan dengan angka-angka statistik yang menyatakan subsidi BBM banyak
dinikmati kelas menengah, secara common sense realitas empiris adanya kenaikan
BBM telah menimbulkan gejolak di masyarakat lapisan bawah. Sedangkan lapis
menengah dan pemilik modal tidak begitu mengkhawatirkan kenaikan BBM. Dengan
kemampuan mengendalikan pasar dan mengakumulasi modal, terjadinya kenaikan BBM
cukup ditanggulangi dengan menaikkan biaya produksi yang akan terus
mempertahankan keuntungan serta kejayaan mereka.[11]
Walaupun
tidak separah penderitaan rakyat, sedikit banyak market di Indonesia, yang dalam
hal ini terwakili oleh kalangan industri, tetap saja terkena dampak kenaikan
harga BBM. Mislanya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta kenaikan
harga gas, berimbas langsung pada emiten di pasar modal. Nilai penjualan
beberapa emiten diperkirakan menurun karena kenaikan-kenaikan itu, termasuk di
antaranya perusahaan perusahaan ritel Ramayana Lestari Sentosa Tbk dan
Pabrik Pupuk Kaltim.
Kenaikan
harga BBM berdampak langsung pada sektor ritel Ramayana Lestari Sentosa yang
memiliki 80 toko baju di 20 kota di Indonesia mengatakan, kenaikan-kenaikan
tersebut diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan penjualannya tahun ini lagi
seperti yang telah mereka alami pada kenaikan BBM tahun 2003.
Pihak Ramayana menyatakan bahwa penjualan mereka pada tahun 2003 hanya
tumbuh sekitar 10 persen hingga 15 persen tahun ini, lebih kecil dibandingkan
dengan tahun 2002 yang sebesar 20 persen, sebagai akibat dari kenaikan BBM.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM 2005 ini Ramayana merencanakan
mengurangi biaya operasi tahun ini untuk mengurangi dampak kenaikan tersebut.
[12]
Sementara
itu, kenaikan harga BBM yang disertai kenaikan harga gas pada tahun 2003 lalu
banyak mempengaruhi kinerja perseroan, misalnya PT Pupuk Kaltim. Porsi
penggunaan gas dalam komponen biaya mencapai 60 persen. Walaupun sebenarnya
kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh banyak terhadap industri pupuk karena
tidak langsung mempengaruhi kinerja industri tersebut, namun dampak kenaikan
tersebut sangat dirasakan oleh para pekerja di industri pupuk di Indonesia.
Untuk
mengatasi dampak kenaikan harga BBM, kalangan industri hanya memiliki dua cara
untuk yaitu menaikkan harga atau efisiensi. Pupuk Kaltim sendiri hanya dapat
melakukan efisiensi dengan melakukan pemangkasan biaya (cost reduction
program) terhadap pos-pos yang dianggap tidak terlalu memberikan manfaat.
Sebab, menurut keputusan pemerintah, harga pupuk tidak boleh naik dan pemerintah
memberikan subsidi harga. Masalahnya, besarnya subsidi telah ditetapkan dengan
menggunakan perhitungan-perhitungan sebelum terjadi kenaikan harga gas, dan BBM
tersebut. Karena kenaikan BBM dan gas, target laba bersih pertahun hanya Rp 150
milyar-Rp 160 milyar, lebih rendah dari target laba bersih tahun-tahun
sebelumnya yang sebesar Rp 180 milyar/tahun.
D. Dampak Kenaikan Harga BBM
2005 Terhadap Civil Society Indonesia
Memang
pemerintah mengatakan bahwa selama ini yang menikmati subsidi BBM adalah
kalangan industri yang nota bene dimiliki oleh orang-orang kaya. Tetapi, kita
semua tahu bahwa ketika subsidi BBM dicabut, secara langsung biaya produksi
industri-industri akan meningkat mengikuti meningkatnya harga BBM. Kenaikan
biaya produksi tersebut akan menyebabkan kalangan industri menaikkan harga jual
produk mereka untuk menjaga tingkat keuntungan mereka. Bukan cuma itu, biaya
transport juga pasti naik sebab para pengusaha transportasi (bis, mikrolet,
taksi) tentunya juga tidak mau keuntungannya berkurang sebab biaya bahan bakar
mereka naik. Kita sudah tahu bahwa ongkos bis, mikrolet dan taksi naik pesat
belakangan ini. Harga masakan di warung juga pasti naik. Padahal, banyak dari
kita, kaum pekerja, yang mengandalkan warung untuk makan - setidaknya untuk
makan siang dan malam (ketika lembur). Kenaikan harga masakan dan ongkos
transport ini sudah melebihi kenaikan upah yang kita terima - ini bisa dihitung
sendiri.
Data dari BPS (Biro Pusat Statistik)
menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 harga-harga telah naik sebesar 226,04% (lebih
dari tiga kali lipat) sementara upah secara nasional hanya naik sebesar sekitar
50% (satu setengah kali lipat). Ini sebelum ada kenaikan harga BBM yang
gila-gilaan seperti sekarang.
Pihak yang
paling menderita akibat kenaikan harga BBm 2005 di Indonesia adalah msyarakat
umum atau yang biasa dikenal dengan rakyat kecil. Dampak paling besar yang
dirasakan oleh masyarakat adalah melambungnya harga barang kebutuhan pokok di
mana. Di Batam, Kepulauan Riau, harga barang kebutuhan pokok naik berkisar
antara 40 hingga 100 persen. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak
mulai dirasakan masyarakat di berbagai daerah. Di Batam, Kepulauan Riau,
kenaikan harga BBM telah memicu lonjakan harga barang kebutuhan pokok berkisar
antara 40 hingga 100 persen. Gula pasir, misalnya. Dari Rp 3.500 per kilogram
kini menjadi Rp 7.500 per kilogram. Telur dari Rp 13 ribu per kilogram menjadi
Rp 18 ribu.
Kenaikan
harga barang akibat lonjakan harga BBM juga terjadi di Denpasar, Bali. Di Pasar
Ikan Kedonganan, harga ikan laut segar naik mencapai Rp 5.000 per kilogram.
Karena kenaikan ini tak disertai peningkatan daya beli masyarakat membuat pasar
ikan itu sepi pembeli. Hal ini juga dikeluhkan pedagang di Pasar Badung. Harga
barang yang terlalu tinggi membuat mereka kesulitan memasarkan. Lonjakan harga
BBM membuat para nelayan di Yogyakarta, mengurangi jadwal melaut. Hasil
tangkapan ikan dinilai tidak sebanding dengan biaya BBM yang harus ditanggung.
Kondisi ini membuat para nelayan lebih memilih menambatkan perahu ketimbang
melaut karena sia-sia.
Ratusan
pemilik usaha pengolahan kayu di Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah,
terancam gulung tikar. Biaya produksi begitu membengkak sehingga penjualan hasil
produksi tidak mendatangkan keuntungan apa-apa. Itulah sebabnya mengapa para
penguasaha ini memutuskan untuk menhentikan usaha mereka. Kalau usaha ini
diteruskan, mereka justru akan mengalami kerugian besar.
Tampaknya negara sebagai leviathan--monster yang
menakutkan seperti diistilahkan Thomas Hobbes-menjadi kenyataan, seiring
kepastian pencabutan subsidi BBM per 1 Maret 2005. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tidak takut kehilangan popularitas menjadi taruhan dengan dalih "demi
keadilan" atas subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati kelas menengah
ketimbang rakyat kecil. Rupanya inilah isu perubahan yang selama ini dijual
untuk menarik simpati rakyat.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada tahun
2005 ini telah menimbulkan dampak pada state, market dan civil society
di Indonesia. Sebagai akibat dari kebijakannya, pemerintahan yang sekarang
memimpin Indonesia dianggap sebagai pemerintah yang tidak memihak pada rakyat,
terbukti dengan kebijaknnya yang tidak populis. Di samping itu, hubungan antara
lembaga eksekutif dengan lembaga yudikatifpun menjadi terganggu.
Bukan hanya pihak state, yang terkena dampak kenaikan BBM tahun 2005. Market dan
civil society pun mengalami imbasnya. Market yang terwakili oleh
kalangan industri dan bisnis terpaksa menaikkan produk-produknya untuk mengatasi
melonjaknya biaya produksi akibat kenaikan BBM. Langkah yang diambil oleh market
ini justru merugikan sekali bagi civil society. Hidup mereka yang selama
ini sengsara, sekarang menjadi jauh lebih sengsara sebab harga-harga berbagai
barang dan jasa menjadi semakin tidak terjangkau oleh mereka.
Ada beberapa saran yang ingin penulis ajukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang telah berdampak buruk bagi state, market dan civil society di Indonesia.
1.
Terlepas dari kenaikan BBM
dapat menjadi komoditas politik bagi para elite di DPR, alasan yang dikemukakan
untuk melakukan audit atas biaya produksi BBM perlu dilakukan lebih dulu sebelum
kebijakan diambil.
2.
Pemerintah belum siap
benar menanggulangi dampak kenaikan BBM. Mulai dari birokrasi yang korup, hingga
skema dana kompensasi yang dapat mengurangi jumlah orang miskin. Seharusnya
Presiden SBY mencari alternatif lain sumber pembiayaan defisit negara dengan,
misalnya, menarik aneka subsidi bagi para konglomerat hitam yang membuat bangsa
ini terpuruk dan secara paksa menagih utang pebisnis yang hingga kini menunggak
pembayaran kreditnya di bank-bank milik pemerintah.
3. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat seharusnya ikut mengawasi penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM secara ketat supaya akuntabilitas penggunaan dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
[1] http://www.rebelion.org/petras/
[2] Gellner, E. 1983. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press, pp.8-14.
[3] Lihat K. Marx dan F. Engels, Manifesto of the Communist Party, (dalam Selected Works, edisi Bahasa Inggris, Moskow, 1951, Volume I, halaman 43 and 50).
[4] http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-072001/mkb-rubrik-072001/logika-072001.htm
[5] Friedman, Milton, and Friedman, Rose, Free to Choose: A Personal Statement (New York: Harcourt Brace Jovanivich, 1980)
[6] Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (first published 1944; reprint, Boston: Beacon Press, 1957).
[7] Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (first published 1776; reprint, Oxford: Clarendon Press, 1976)
[8] http://www.incis.or.id/riset2.htm
[10] Ida, Laode. Kompas, 3 Maret, 2005: “Dampak Harga BBM dan Pertimbangan Sepihak”
[11] Ibid
[12] www.kompas.com