Horison, Januari 2000
Mimpi
Oleh: Abdel Salam Al-Ujaili
Dalam mimpinya Mohamed Wesaja ini
perkara biasa, karena dalam keadaan sadar pun ia senantiasa mengerjakan shalat
serta tak pernah meninggalkan ibadah wajib ini. Dalam mimpinya tersebut, kala
sujud pertama, ia membaca dengan suara keras
"Firman Tuhan adalah suatu
kebenaran!," katanya sambil duduk di kamar serta menggosok-gosok matanya.Mohamed
Weess tidak ingat mengapa mimpi tersebut begitu lekat dalam pikirannya. Maka,
begitu pagi menjelang, segera ia temui Sheikh Mohamed Sa'id, seorang tua di
kampungnya. Baru sekitar tengah harian, ia dapat bertemu dengan orang tua itu.
Segera ia kisahkan mimpinya. Sheikh berdiam diri agak lama sambil menundukkan
kepalanya dengan kening berkerut-kerut, sebelum akhirnya bertanya:
"Kau yakin bahwa surah yang
kaubaca itu surah al-Nasr?"
"Saya yakin," jawab
Mohamed Weess. "Saya membacanya sampai selesai. Dengan nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk agama Allah beramai-ramai. Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia maha Penerima Taubat."
"Firman Tuhan adalah
kebenaran!" kata Sheikh Mohamed Sa'id. "Wahai Mohamed Weess, segala
puji bagi-Nya. Mintalah ampunan daripadaNya. Sesungguhnya Dia maha
mengasihi."
"Wahai Sheikh Mohamed Sa'id,
saya percaya ini adalah pertanda buruk bagi saya. Apakah tafsiran tuan tentang
mimpi saya tersebut?"
Sheikh Mohamed Sa'id memegang dan
mengusap-usap janggutnya yang panjang dan tebal itu. Dia kelihatan agak
keberatan untuk menerangkan pengetahuannya yang mendalam mengenai ilmu
menafsirkan mimpi. Akhirnya ia bersuara juga.
"Mohamed Weess, mohonlah
ampunan daripada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih. Mimpi membaca surah ini
menandakan bahwa orang itu sudah hampir tiba saat ajalnya."
Mohamed Weess tergetar. Ia merasa
tiba-tiba seluruh badannya menggigil.
"Apakah yang tuan Sheikh
katakan?"
"Amat berat bagiku untuk
menyatakan ini kepadamu," jawab Sheikh. "Bagaimanapun, untuk
menenangkan perasaanmu, kau akan beroleh rahmat Tuhan. Dan kematian pasti
datang menjemput kita semua. Mohamed Weess, tak ada orang yang mimpi seperti
ini dapat hidup lebih dari empat puluh hari."
Setelah memberitahu hal tersebut,
Sheikh itu pun terus pergi untuk menunaikan shalat Dzuhur, meninggalkan Mohamed
Weess yang terpuruk di tanah sambil kebingungan. Kakinya seperti tak mampu lagi
menampung berat badannya.
"Empat puluh hari," suaranya bagai keluar tanpa melalui
kerongkongannya. "Ya Tuhan, berilah
hamba kekuatan."
Desa di mana Mohamed Weess dan
Sheikh Mohamed Sa'id tinggal hanyalah sebuah desa kecil, maka menjelang senja
setiap penghuninya sudah tahu tentang mimpi Mohamed Weess dan tafsiran yang
dibuat oleh Sheikh Mohamed Sa'id. Penduduk desa itu percaya pada tafsir mimpi.
Itulah sebabnya pada petang berikutnya semua orang sudah begitu yakin bahwa
Mohamed Weess akan mati dalam tempo empat puluh hari. Kaum lelaki berdatangan
menziarahi Mohamed Weess, mula-mula seorang demi seorang, namun kemudian secara
berombongan, hingga ia terpaksa berada
di rumahnya menerima tetamu yang datang dan bertanya mengenai kesehatannya
serta mengungkapkan rasa dukacita atas kematiannya yang bakal segera tiba itu.
Kaum perempuan yang datang ke rumah Mohamed Weess datang untuk mendapatkan
berita, sambil melihat-lihat keadaannya. Mereka mendapati Mohamed Weess masih
segar bugar, tetapi tampak bingung. Sambil meratap mereka mohon agar Tuhan
campur tangan dalam urusan Malakul Maut yang akan mencabut nyawa Mohamed Weess
ketika dia masih sehat. Walaupun Mohamed Weess tidak sakit dan tidak pula uzur,
segala langkah berjaga-jaga yang diambil untuknya serta segala pertanyaan
lembut mengenai dirinya telah membuat dia mulai merasa sakit. Dia tabah
menghadapi keadaan tersebut selama sepuluh hari, dan terus pulang-pergi antara
pasar ternak dengan rumahnya. Bagaimanapun, tak butuh waktu lama dia tidak lagi
tahan menanggung semua tekanan itu. Dia mulai merasa letih, dan orang ramai
mulai menziarahinya pada waktu siang hati. Padahal sebelumnya mereka hanya
datang pada malam hari. Dua puluh hari sejak saat ia bermimpi, keluarga Mohamed
Weess merasa tidak perlulah lagi membereskan ranjangnya setiap hari karena kini
Mohamed Weess senantiasa berbaring di situ siang dan malam. Setelah tiga puluh
hari berlalu, pelbagai hidangan masakan kegemarannya yang disediakan khusus
untuknya oleh keluarganya ternyata terkumpul di tepi ranjangnya tanpa dijamah.
Dengan berpakaian serba putih dan membiarkan janggutnya tumbuh, Mohamed Weess
menghabiskan waktunya hanya untuk bershalat. Dia terisak-isak bukan karena
takut pada kematian atau kecewa karena hidup, melainkan karena takut akan
hukuman yang bakal diterima di alam kubur dan rasa khawatir bahwa Tuhan tidak
akan mengampuni kesalahannya karena kerap bersumpah dengan nama Tuhan sewaktu
di pasar ternak, atau karena menipu para petani dari desa yang berdekatan.
Waktu terus berlalu. Mendekati masa empat puluh hari, badan Mohamed Weess makin
kurus karena kurang makan dan karena rasa penyesalan yang dalam terhadap
dosa-dosanya yang telah lalu. Orang ramai --baik dari desanya ataupun desa yang
berdekatan-ramai mempercakapkan cahaya keimanan yang terpancar pada wajahnya
serta ayat-ayat mistik dan misteri yang diucapkannya tatkala ia sujud dan
mengerjakan shalat. Tiga puluh sembilan hari sudah berlalu, dan pada waktu
malam hari itulah aku memunculkan diriku.
Anda mungkin bertanya, siapakah
diriku?
Aku bertugas sebagai guru sekolah
di desa tempat tinggal Mohamed Weess di mana ia bekerja sebagai pedagang
berpengaruh di pasar ternak, dan di mana Sheikh Mohamed Sa'id dianggap sebagai
wali. Aku sering menghabiskan cuti musim panas di Damaskus, dan kepulanganku ke
desa itu jatuh pada hari ketigapuluh sembilan dari tempo yang dinyatakan oleh
Sheikh Mohamed Sa'id kepada Mohamed Weess. Aku mengenali Mohamed Weess
sebagaimana aku mengenali orang lain di desa itu. Ketika Mohamed Atallah yang
bertugas sebagai porter di sekolah memberitahuku tentangnya, aku kebingungan:
apakah harus tertawa atau bersimpati kepadanya. Bersama Mohamed Atallah aku
segera pergi menjumpai Mohamed Weess untuk menenangkan fikirannya atau setidaknya untuk mengungkapkan rasa
dukacitaku. Halaman rumahnya yang biasanya dipenuhi hewan ternak yang dibeli
Mohamed Weess dari pasar, kini agak sesak dengan orang ramai yang datang untuk
menyaksikan saat kematiannya. Sebuah sisi untuk lelaki dan sisi lain untuk
perempuan. Di sisi ketiga terlihat beberapa ekor biri-biri dan kambing yang
dibawa oleh kawan-kawan Mohamed Weess untuk dikorbankan pada esok harinya
setelah rohnya berpisah dari jasadnya.
Ketika aku masuk ke kamar Mohamed
Weess tempat ia menunggu kedatangan Malakul Maut --dan akulah yang datang, bukannya malakul
Maut-Mohammad Weess sedang duduk sambil berdoa, sementara Sheikh Mohamed Sa'id
duduk di sudut lain melagukan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku sangat terperanjat
melihat perubahan pada wajah Mohamed Weess. Wajahnya yang bulat dan pipinya
yang berisi, kini sudah cekung dan pucat. Ini ditambah pula dengan janggutnya
yang panjang. Kepucatannya kelihatan lebih jelas lagi dengan pakaiannya yang
serba putih dan longgar itu. Sambil bershalat, dia memanjangkan sujudnya
seolah-olah ia berharap agar kematian segera datang padanya. Tidak ada persamaan antara wali Tuhan ini
yang keseluruhan wajahnya bermandikan cahaya iman, dengan Mohamed Weess yang
asli, yang setiap pagi dari jendela sekolah bersumpah-sumpah dengan nama Tuhan
bahwa jika dia tidak rugi sebanyak tiga lira dari biri-biri yang baru dibelinya
itu, dia akan menceraikan istrinya. Aku telah menziarahi Mohamed Weess dengan
perasaan ragu-ragu dan serba ingin tahu. Namun, perubahan sedemikian rupa yang
terjadi pada dirinya itu telah menyadarkan aku bahwa dia memang akan mati pada
keesokan harinya seperti yang ditetapkan. Aku geram mendengar suara kuat Sheikh
Mohamed Sa'id membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an sambil melirik ke arahku.
Antara diriku dengan sheikh yang
sifatnya merupakan gabungan sifat sederhana, bodoh, dan licik ini, aku
merasakan adanya suatu rasa permusuhan
yang sudah lama tumbuh. Aku sebenarnya benci kepada orang yang berlagak pandai
dan suka menipu, hingga berhasil menguasai perasaan para penduduk desa yang
tidak tahu apa-apa. Sementara itu, dia selalu menghasut penduduk desa supaya
membenci dan menentangku dengan menuduh aku mengajar ajaran yang menghina Tuhan
dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya usahanya itu tak
pernah berkurang walaupun ia mulai mengetahui dari orang ramai bahwa asal-usul
keluargaku adalah dari Zain al-Abidin, cucu dan mantu lelaki Nabi Muhammad.
Sebaliknya, dia menjadikan ini sebagai alasan untuk terus bermusuhan denganku
dan berkata: "Lihatlah lelaki itu, keturunan Zain al-Abdidin yang
menyatakan dunia ini berputar dengan sendirinya, tetapi saya serahkan kepada
kalian semua, pernahkan salah seorang dari kalian melihat pintu rumahnya yang
menghadap ke timur itu tiba-tiba berputar jadi menghadap ke barat! "
Sebagaimana yang aku katakan, aku
merasa sangat marah begitu melihat kehadiran Sheikh Mohamed Sa'id. Aku hampir
meraung dan meneriakkan bahwa dia sebenarnya seorang pembunuh, bahwa dialah
yang membunuh Mohamed Weess dengan racunnya, yakni dengan menanamkan ke dalam
fikiran Mohamed Weess bahwa ia akan mati dalam waktu empat puluh hari.
Bagaimanapun, sepanjang ingatanku, aku tidak pernah berhasil mengalahkan Sheikh
Mohamed Sa'id dengan menyatakan perasaan benci dan marahku, karena ia
senantiasa berhasil memenangkan hati penduduk desa dengan argumen-argumennya yang
lapuk. Yakni dengan menunjukkan bahwa bumi ini tidak berputar dan menanyakan
apakah pernah terjadi seorang penduduk desa melihat pintu rumahnya yang
menghadap ke timur tiba-tiba berputar ke barat? Dengan demikian, jelaslah bahwa
bumi tidak berputar. Tuhan mengampuninya karena mendendamku dan Tuhan juga
mengampuni Mohamed Weess meski dia akan terus berada di bawah pengaruh gila
Sheikh Mohamed Sa'id hingga keesokan harinya. Dengan perasaan yang berat campur
kecewa dan marah, aku langsung ke luar dari ruangan sekolahku.
Mohamed Atallah, porter sekolah
itu, telah mengejutkan aku pada waktu subuh. Aku telah menyimpan tiga butir
buah pear yang aku bawa dari Damsyik itu di bawah jerigen air. Aku mengambilnya
sebuah, kemudian segera menuju ke rumah Mohamed Weess. Halaman rumahnya
kelihatan lengang, kecuali beberapa ekor kambing dan biri-biri yang seolah
menanti saat kematian tuannya, dan selepas itu kematian mereka pula. Sisi
bagian orang perempuan sedikit lebih terang dan dibauri dengan tangis perlahan.
Pintu kamar Mohamed Weess tertutup, jadi aku mengintainya melalui pintu yang
tertutup itu dan mendapati Mohamed Weess sedang tidur. Tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa dia keletihan setelah sepanjang malam beribadat sebagai persediaan
menghadapi saat kematiannya. Aku mengetuk pintu beberapa kali, kemudian
mendorong, dan membukanya sambil menyapa keras:
"Segala Puji bagi Allah,
Mohamed Weess"
Dia terbangun dari tidurnya dengan
masih terkantuk-kantuk. "Apa dia?" jeritnya.
"Saya Naji, guru sekolah.
Jangan takut Mohamed Weess. Dengar ucapan saya. Aku melihat air matanya menetes
hingga ke pipi ketika ia duduk dengan lidahnya kelu dalam ketakutan. Karena
kuatir dia akan langsung mati akibat sangat ketakutan sebelum sempat mendengar
apa yang akan kukatakan, aku segera bersuara:
"Saya datang bertemu anda, karena saya baru saja
disadarkan oleh moyang saya, Zain al-Abidin. Semoga Allah memberkatinya, dan
dia berkata kepada saya, 'Pergilah temui Mohamed Weess dan beritahu dia bahwa
Allah telah mengujinya dan mendapati bahwa dia adalah hambanya yang sudah insaf
akan semua dosanya. Berilah kepadanya buah ini, salah satu daripada buah-buah
yang ada di surga. Suruhlah dia shalat bersama kamu dua rakaat sebelum naik
matahari. Pada rakaat pertama, dia mesti membaca Surah al-Nasr dan Allah akan
memanjangkan usianya sehingga dia dapat hidup dan melihat anak-cucunya."
Mohamed Weess menelan air liurnya.
Tampak bagiku bahwa ia seperti tidak percaya semua yang aku katakan. Matanya
tertegun merenungi buah pear di tanganku (aku yakin tak ada seorang pun di desa
ini yang pernah melihat buah pear ini sebelumnya). Aku mengupasnya dan
menyuapkan ke dalam mulut Mohamed Weess, lalu menyuruh dia menelan semuanya,
sekalian dengan bijinya. Kemudian aku menariknya ke sudut kamar.
"Mohamed Weess , bersiaplah untuk
sembahyang sebelum hari siang."
"Tapi saya belum lagi
bersuci, Tuan Naji."
Aku lantas teringat bahwa aku juga
belum bersuci. Tetapi, karena kuatir kesan yang diharapkan itu akan hilang, aku
lantas berkata:
"Buatlah tayamum, Mohamed
Weess, ini dibenarkan dalam Qur'an. Tekankan kedua telapak tanganmu ke
tanah."
Aku bersembahyang berdiri di
belakang Mohamed Weess. Kami bersembahyang dua rakaat. Dalam rakaat pertama,
dia membaca kesemua surah al-Nasr. Selepas itu aku terus pulang ke sekolah
menunggu hari siang.
Dalam tempo sejam, seluruh desa
telah mendengar cerita baru tentang Mohamed Weess. Mereka yang semalam memenuhi
halaman rumah Mohamed Weess, kini berhimpun di halaman sekolah, masing-masing
sibuk untuk mengetahui bagaimana moyangku Zain al-Abidin datang kepadaku
membawa keampunan Allah untuk Mohamed Weess. Pada ketika itulah aku merasakan
bahwa akhirnya aku berhasil mencapai kemenangan mutlak atas Sheikh Mohamed
Sa'id. Ini karena Mohamed Weess tidak mati dan kambing serta biri-biri di
halaman rumahnya juga tidak jadi disembelih. Malah hewan ternak tersebut
diserahkan kepadaku sebagai hadiah dari teman-teman Mohamed Weess kepada wali
Allah, Naji, guru sekolah keturunan Zain al-Abidin!
Tetapi apakah ini sungguh suatu
kemenangan? Sebenarnya aku sendiri tidak pasti. Keraguanku akan nilai
kemenangan ini, bertambah oleh kenyataan
bahwa aku gagal mengurangi meski seorang saja jumlah jemaah yang mengambil
bagian bersembahyang bersama-sama di belakang Sheikh Mohamed Sa'id. Sebaliknya,
bilangan jemaahnya telah bertambah satu lagi, yaitu aku sendiri. Untuk
mengekalkan kehormatan keturunanku, yaitu sebagaimana dengan mimpi yang aku
reka itu, aku mendapati diriku terpaksa berjemaah di belakang Mohamed Weess
pada setiap kali sembahyang dengan bersuci sepenuhnya, dan bukan dengan
tayamum! *** Salam al-Ujaili dilahirkan
Komplikasi
Oleh: Naguib Mahfouz
Pagi itu, dokter telah selesai
memeriksa pasien kelima. Kemudian masuk pasien keenam, seorang ibu bertubuh
semampai dan bercadar. Parasnya cantik. Tapi terselip guratan penderitaan yang
mendalam di wajahnya, bak mawar putih berlepotan debu jalanan.
"Tolong, Pak Dokter!"
teriaknya segera.
Dokter menghampiri. Tenang sedikit
tersenyum.
"
Keduanya duduk berhadapan. Dengan
malu dan hati-hati perempuan itu menceritakan penyakit kronisnya. Tanpa
menunggu kedatangan suaminya dari kantor. Dokter terperanjat mendengar
ceritanya. Dokter mencermati apa yang diceritakan dengan kondisi sebenarnya.
Dokter segera memeriksa. Rupanya
keraguan dokter terbukti.
"Gawat, Bu! Ibu mengidap penyakit
berbahaya. Penyakit kelamin!" gusar dokter.
Perempuan itu tersentak seketika.
Matanya berkaca-kaca. Takut dan gelisah. Derita yang dialaminya berubah menjadi
ketakutan baru.
"Penyakit kelamin… ?"
katanya seolah tak percaya.
''Ya. Yang saya katakan benar, Bu.
Tenangkan diri. Kendalikan emosi, agar kesedihan ini tak menambah kesedihan
lain. Saya ingin tanya, apakah ibu sudah bersuami?"
Perempuan itu menganggukkan
kepala. Tapi tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Oh…. Nafsu benar-benar
membutakan kaum lelaki. Tak terkecuali mereka yang sudah berkeluarga.
Bagaimanapun juga ibu harus memberitahukan keadaan sebenarnya pada suami. Dia
harus menjaga ibu dari risiko pergaulan bebasnya. Ibu harus mengingatkan
perbuatan terlarang itu. Kalau perlu dibawa serta ke mari. Kalau tidak,
pengobatan penyakit ibu akan sia-sia," lanjut dokter.
Teriakan parau muntah dari bibir
perempuan itu.
"Tidak…! Tidak…! Tidak
mungkin…! Cepat obati saya, Dokter! Jangan libatkan suami saya!" rengek
perempuan itu.
"Tapi…."
"Demi Tuhan, jangan, Dok!
Suami saya tak boleh tahu masalah ini. Lakukan saja tugasmu. Tentu masalah ini
akan selesai."
Dokter gelisah menatap wajah kusut
perempuan itu. Jiwanya seakan lebih menderita dibanding rasa sakit di tubuhnya.
Kepedihan, kecemasan, rasa bersalah bersemayam dalam dirinya.
Keresahan mencengkeram jiwa
dokter. Dadanya sesak.
"Mengapa aku mencampuri
urusan dan penderitaan orang lain? Aku hanya seorang dokter. Tak pantas
melampaui batas kewenanganku. Aku harus mengobati perempuan lemah ini. Ah... Sudahlah!
Semuanya kuserahkan pada Tuhan," batin dokter.
Tekad itu menjadikan jiwa dokter
sedikit tenang. Dokter langsung bekerja. Mendadak pikirannya menerawang pada
nasib keluarga perempuan itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah.
"Sebaiknya Ibu memberitahukan
pada suami Ibu. Bahwa ia dalam bahaya besar. Sepandai-pandainya Ibu memendam
rahasia ini, toh akhirnya akan ketahuan juga," saran dokter.
Bola mata perempuan itu
bergerak-gerak bagai air raksa.
"Butuh berapa lama untuk
menyembuhkan penyakit ini, Dok?" tanyanya.
"Kurang lebih dua mingguan,
itu harus intens."
"Oh…. Mati aku!!"
"Tentunya suami ibu juga
terjangkit."
"Kalau begitu sementara ini
saya tidak akan melakukan hubungan seksual. Kami akan menghindarinya sampai
saya benar-benar sembuh."
"Meski sudah terlambat?"
"Yah …saya tak punya pilihan
lain, Dok. Suami saya orang baik-baik. Sulit rasanya meyakinkan dia supaya
menerima kenyataan pahit ini. Sudahlah, semua ini terserah Tuhan. Barangkali
Dia akan melindungi suami saya. Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan keluar pada
keluarga kami."
"Suasana hening mencekam.
Tiba-tiba perempuan itu teringat sesuatu. Dengan memelas, ditatapnya dokter
itu.
"Bisakah Dokter menjaga
rahasia ini?" tanyanya.
"Tentu. Tentu. Tenang saja!
Kujamin rahasia ini tak
Lalu perempuan itu menghela nafas.
"Saya rasa cukup sampai di
sini dulu, Dok. Saya usahakan tiap hari datang ke sini. Selain Jumat. Akan
kuusahakan semampu saya," ucapnya dengan hati yang terluka.
Pekerjaan dokter telah selesai.
Ketika perempuan itu beranjak keluar, dokter menghentikan langkahnya.
"Siapa nama Ibu?" tanya
dokter.
Wajah perempuan itu tampak
ketakutan.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Tak perlu takut, tak perlu
sedih. Ini hanya formalitas belaka. Coba Ibu lihat daftar ini! Bukankah penuh
dengan nama dan alamat pasien? Jangan takut, saya hanya seorang dokter,"
hibur dokter.
"Ibu Muhammad Abbas Efendi,
pegawai DPU," jawabnya sembari menarik nafas.
***
Esoknya, perempuan itu datang. Ia
katakan bahwa kondisi suaminya sehat-sehat saja.
Menjelang petang, datang pasien
berumur 30 tahunan. Badannya tinggi tegap. Raut mukanya tampak cerdas dan
berani.
"Selamat sore," sambut
dokter.
"Sore," jawab lelaki
itu.
Lelaki itu tertawa. Menampakkan
keceriaan di balik kegelisahan yang menyelimuti dirinya.
"Saya mengidap penyakit,
Dok," katanya.
"Penyakit apa?"
"Penyakit yang banyak
dikeluhkan orang."
"Oh…kasihan sekali."
"Saya benar-benar menyesal,
Dok."
"Menyesal?"
"Menyesal. Apa Dokter merasa
rugi bila ada orang insaf datang padamu? Apa pasienmu akan berkurang?"
"Kukira Saudara datang ke
sini bukan untuk berfilsafat. Silahkan ke kamar itu! Tunggu sebentar. Tolong
sebutkan nama Saudara!"
"Muhammad Abbas, mulut dokter
hampir mengeluarkan kata 'Hah'. Dokter segera melihat dengan seksama daftar
nama-nama. Mendadak jiwanya bergejolak, begitu tahu bahwa dialah orang yang
terancam bahaya besar itu. Giginya geregetan. Kepalanya tertunduk hampir
menyentuh lembaran daftar nama yang ada di depannya. Dokter menyembunyikan
wajahnya.
Tatkala dokter hendak melangkah
menuju kamar praktek, Abbas merengek.
"Dok, saya khawatir penyakit
ini akan berakibat buruk."
Dokter menerawang. Lantas
bertanya, "Memangnya kenapa?"
"Saya sudah berkeluarga,
dokter. Sekarang dokter tahu bahwa bukan hanya bujangan yang bisa terperosok
dalam dosa," jelas Abbas.
"Tahukan Saudara? Istri
Saudara juga terancam!"
"Ya. Saya benar-benar
terjepit. Saya sangat sedih begitu tahu istri tercinta saya juga mengalami hal
yang sama. Apa yang harus saya perbuat, Dok?"
Kini rahasia itu telah terbongkar.
Sepasang suami-istri itu ternyata pendosa. Mereka menyesali diri.
Dokter hampir saja terlena oleh
pikirannya, kalau tak mendengar pertanyaan Abbas.
"Saya harus bagaimana,
Dok?" tanya Abbas berulang-ulang.
"Tenang saja. Saudara akan
dapat menyelesaikannya dengan baik. Usahakan ajak istri Saudara ke sini. Jangan
sampai dia curiga."
Abbas bingung.
"Saya usahakan, Dok,"
jawabnya lemah.
Kemudian Abbas melangkahkan
kakinya. Pergi.
"Mudah-mudahan Tuhan memberi
jalan kebaikan bagi istrinya, hingga persoalan ini selesai. Semoga Abbas
berhasil membawa istrinya ke mari. Akan kuterangkan ihwal penyakit yang
diderita istrinya. Akan kuyakinkan padanya bahwa perempuan itu adalah
korbannya. Lantas keduanya akan kuobati sampai sembuh. Dengan demikian lelaki
itu mau kembali pada istrinya dengan penuh penyesalan. Abbas tak tahu bahwa
perempuan itu lebih menderita dibanding dirinya," kata dokter dalam hati.
***
Perempuan itu tak datang pada hari
yang telah dijanjikan. Dokter mengira sore ini, ia akan datang bersama Abbas.
Tapi yang datang ternyata hanya Abbas. Abbas dirundung ketakutan. Wajahnya
pucat. Tatapan matanya layu. Seolah tampak lebih tua dari biasanya.
"
Abbas menggelangkan kepalanya.
Sedih.
"Menurut Dokter apa?"
baliknya.
"Kukira Saudara mengajak istri
Saudara. Mana?"
"Yah….bagaimana lagi,
Dok?"
"Emm…sebenarnya persoalan
Saudara sudah beres. Tapi sayang, Saudara tidak bisa meyakinkannya.
Ya….beginilah jadinya!"
Abbas diam sejenak. Kemudian
berbicara dengan terbata-bata karena putus asa.
"Oh…hidup di dunia memang
susah."
Dokter membungkukkan bahunya.
"Saya sudah sering kali
mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Saya yakin menusianyalah yang
menyebabkannya. Parahnya, mereka justru melalaikan dan membebankan pada
dunia!" kata dokter.
"Entahlah. Perlu Dokter
ketahui, belakangan ini saya mengalami banyak peristiwa menyedihkan. Sekarang
saya telah bercerai dengan istri saya. Impian untuk menimang anak, kini telah
hilang. Entah sampai kapan, saya harus menjalani masa sulit ini."
Hati Abbas penuh teka-teki. Tak
bisa menguraikan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Ia mesti memeras otak
untuk mencari jawabannya. Kebingungan mendekap. Sinar matanya menyimpan banyak
pertanyaan.
"Singkatnya begini, Dok.
Kemarin malam, saya berniat mengajak istri saya kemari untuk menemui dokter
agar saya bisa tenang. Tapi saya bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya.
Saya juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Lalu dengan hati-hati, kudekati
istri saya. Tiba-tiba istri saya gelisah. Saya mengira dia gelisah karena kegelisahan
saya. Saya mengharap dialah yang memulai bertanya. Tapi ia tak melakukannya.
Terpaksa sayalah yang memulai bertanya: 'Apa kau tak punya keluhan? Barangkali
sakit?' Saya pura-pura tenang. Lalu dengan ragu-ragu, Istri saya menjawab:
'Alhamdulillah, tidak'. Saya berbohong: 'Kulihat akhir-akhir ini, wajahmu pucat
dan sedikit berubah. Bagaimana kalau kita periksakan ke dokter?' Istri saya
justru marah dan menolak keras: 'Tidak! Kau mengkhayal. Pokoknya tidak. Aku
benci dokter. Aku ragu dan bosan mendengar nasihat mereka," tutur Abbas.
"Semakin banyak saya
menuntut, semakin keras istri saya menolak. Saya terus mendesaknya. Saya coba
memohon dengan baik-baik, istri saya malah melawan dan bersikeras pada
pendiriannya. Usaha saya sia-sia. Saya bingung, bagaimana saya harus
meyakinkannya. Dada saya sesak. Hati saya dongkol. Rasanya sakit dan ingin
marah. Karena saking suntuknya, saya berteriak keras. Otak saya tak kuasa lagi
berpikir dengan jernih: 'Ayo ikut aku ke dokter! Aku prihatin dan ingin tahu
apa sebenarnya penyakit yang kau derita.' Belum selesai saya bicara, istri saya
bicara menantang bagai ular yang siap mematuk mangsanya. Matanya melotot, tak
mampu kuasai diri. Tubuhnya menggigil. Saya bingung dibuatnya. Saya bertanya
dalam hati: '
"Apa maksud semua ini, Dok? Saya hanya
menduga. Otak saya ragu. Kepala saya panas.Rambut saya berdiri mengeras seperti
landak," tambah Abbas.
Perempuan itu sungguh membuat
repot suaminya. Tapi ia yakin bahwa dirinya tak melampui batas kewenangan.
Pengakuan dosa, permintaan ampun dan pingsannya itu yang jelas hanya karena satu
hal.
"Oh…saya telah berbuat dosa
dan pantas mendapat hukuman. Saya telah ingkar, Dok. Karenanya, saya menjadi
korban yang sia-sia! Adakah lelaki yang bernasib seperti saya, Dok?"
"Dosa telah memperdaya dan
menjerat saya. Saya terjerumus dalam jurang yang curam. Bagaimana saya bisa
melepaskan selimut tebal dosa ini? Bisakah saya tabah menghadapi cobaan ini?
Bisakah saya kembali bersih dan sehat seperti dulu lagi, Dok?"
"Runtuh sudah bangunan rumah
tangga saya. Musnah sudah bayangan hidup bersama buah hati saya. Padahal
merekalah cahaya hidup saya yang senantiasa bersinar. Kini saya ingin pikiran
saya terbuka. Perasaan tentram. Membuang semua kemarahan yang ada dalam diri
saya. Saya ingin lepas dari belenggu perkawinan ini. Tuhan, bimbinglah jalan
hidupku.*** Naguib Mahfouz lahir tahun 1911, dan pada 1998 mendapat Hadiah
Nobel. Cerpen ini diterjemahkan dari antologi cerita pendek Hams al-Junu'un,
dari Judul asli al-Maradl al-Mutaba'adil oleh Ahmad Sya'roni dan Herri
Munhanif.
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga,
sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin
bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan
mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup
sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu,
hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami
jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau
bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan
diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan
kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan
terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa
begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu
cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami
sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan
kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan
sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan
hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang
besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu
sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk
pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah
membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu
perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak
pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat
bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu
besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita
penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh
dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu
bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami
mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang,
bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan
dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari,
betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru.
Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah
arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang
itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi,
begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah
habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya.
Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun,
jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir,
sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi
tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi
masih sanggup berlari mengejar entelope, kemudian menghantam kepala binatang
itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan
menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang
telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari
tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti
memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai
kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan
binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka
kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas
ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami
memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih
merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan
dari pada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan.
Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas,
perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi.
Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat
yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam
hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu
kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meskipun
kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, dari pada
mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini
lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib
baik bersama kalian...”
Dan para pesakitan itu pun kami
lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan
juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang
membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah
yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami
beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan.
Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian.
Rupanya, tak hanya kami yang suka
dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak
negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati
perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu
dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa
menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral,
orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para
bangsawan dan pengusaha besar.
Kami bangun juga istana-istana,
tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang
kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di
hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak
lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam
kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair
untukmu, jangan sedih...” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia.
Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi
keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu
yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang
kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang
agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga,
terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling
kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur
mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di
puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah
arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepandan? Tak ada lagi yang sanggup
melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika
kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika
kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai
orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak
negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena
kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan
menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak
dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk
tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi
kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami?
Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang
membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak
sepandan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu.
Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka
menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di
antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar
mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh
bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai
itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku
ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling
menggairahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai
itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh
dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu.
Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar,
membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita
minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami
tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang.
Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan
seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka
kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata kami
kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril
bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa
dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah
perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami,
kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu,
mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian
kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril
bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri...”
Mereka, para kiai itu, kami giring
ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta
kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil
di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi
ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak
terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelapah kayu, telah lapuk. Luasnya
tak lebih dari
“Kalian jangan bercanda!” teriak
kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan
meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah...”
Lantas kami membiarkan satu
persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga,
ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi
masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke
dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti
gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang
mereka . Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk
tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin?
Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam
masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam
Satu bulan lewat, menguap begitu
cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika
para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang
untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas
menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid
itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami
panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali,
memperingatkan para kiai bahwa waktu
sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini
pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih
Jangan salahkan kami. Dan kami
segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami
yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba
tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada
dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api
di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid
itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami
dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di
antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara
takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan
mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“
Teriakan itu, mendadak menyadarkan
kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini
telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan
sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing
senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya
biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril.
Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan
rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk
memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali
ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami
hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi
pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak
terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami
rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar
kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Kemanapun Jibril
melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir telaga
ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar
renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga
telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak
dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat
menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau
kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu
istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga
itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah
harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Kesana!” seseorang dari kami
berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga
Maka kami pun kembali bangkit,
meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi
kami.***
(Dongeng Buat Mas Danarto)
Pernikahan Angin
Oleh: Dianing Widya Yudhistira
Aku di sini. Berada di ketinggian
menara. Menikmati senja. Senja kali ini berwajah pucat. Langit diam. Sepi.
Melintas di depanku burung gagak bergaun hitam. Menari di depanku. Tarian
yang sebelumnya belum pernah aku saksikan. Seperti mengabarkan sesuatu
yang ganjil. Angin masih terlalu cinta dengan kehadiranku. Ia sapa aku lembut.
Perlahan-lahan aku sapu anak rambut yang tergerai di wajahku. Tulus. Gagak
itu masih menarikan tarian yang terluka. Entah tentang apa.
Ketika senja berangkat ke malam,
perlahan-lahan burung Gagak menghentikan tariannya. Menatap padaku. Tatapan
matanya yang tajam, seolah-olah menelanjangi batinku. Aku belum tahu apa yang
sesungguhnya Gagak sampaikan padaku.
Yang aku tahu, malam ini seperti
tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak
kudengar desah dedauan. Gunung-gunung membisu. Demikian juga dengan hamparan
laut di depanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Sehelai daun akasia
yang menua, melayang di udara. Jatuh. Terkulai di tanah basah. Kesunyian
kian lengkap.
Aku masih di sini. Di ketinggian
menara. Aku terpaku di ujung lengan cakrawala. Perlahan-lahan aku hela
nafasku. Menghembuskannya dengan bebatuan. Tak ada yang menemaniku, malam
ini. Tak ada yang mengajakku bicara malam ini. Hanya burung Hantu yang mau
menampakkan diri. Seperti biasa. Ia adalah kekasihku. Yang selalu bercerita
tentang bulan dan bintang. Yang memberi aku kedamaian. Ya. Seekor burung
hantu. Menghampiriku. Hanya saja matanya tak bersinar seperti hari-hari
kemarin. Mata itu redup.
Burung hantu menatapku. Kosong.
Sebaid lirik kehilangan aku temukan di
“Selamat malam, Dianing.”
“Kabut apa yang menodai matamu,
hingga ke pendam rasa ngeri.”
“Engkau sesungguhnya, Dianing.”
Dibentangkannya tanda tanya di
hadapanku.
“Di mana Lismatano sekarang
Dianing.”
Aku tercenung. Ia menyebut nama
laki-lakiku.
“Pergilah ke hutan
Aku menautkan kening.
“Kau akan tahu.”
Tiba-tiba angin meliukkan tubuhnya
dengan gerakan yang dahsyat. Ia memintalku dengan kekuatannya. Dengan cinta
ia terbangkan aku ke hutan
Sekelilingku gulita. Tak ada
cahaya. Tapi, cahaya bulan bugil membantu penglihatanku. Banyak pohon di kanan
kiriku. Depan dan belakangku. Masyarakat pohon. Membisu dan gelisah.
“Inikah hutan.”
“Ya. Hutan Para.”
Suara burung hantu.
“Apa yang aku tahu.”
“Ikuti aku.”
Seperti perintahnya, aku ikuti
langkah burung hantu.
Semakin aku mengikutinya, jalan
yang menanjak kian gelap. Gelap dan sangat gulita. Hanya deru nafas yang
dahsyat terdengar di telingaku. Deru nafas yang memburu dan aku akrab
dengannya. Terpadu dengan deru nafas yang lain. Entah nafas siapa. Aku langkahkan
kakiku selangkah. Tiba-tiba di depanku terang benderang. Astaga!! Lismatano,
laki-lakiku bergumul dengan tubuh perempuan lain. Gila!!!
Seketika itu angin kembali meliukkan
tubuhnya dengan dahsyat. Memintaku kembali. Entah dalam waktu seberapa
detik menerbangkan aku. Yang jelas kurang dari satu detik aku kembali
berada di ketinggian menara.
Aku lunglai. Bayangan Lismatano
dan perempuan itu terekam jelas di layar komputerku yang paling pertama.
Malamku lunglai. Aku tahu burung hantu masih di sampingku.
“Untuk apa kau bawa aku.”
“Untuk menjelaskan padamu siapa
sosok Lismatano.”
Aku hanya bisa menelan pil pahit.
Menikmati segala luka hati dengan tulus.
Lismatano. Laki-laki yang
sepenuhnya aku kagumi. Ternyata mampu menikam darahku.
“Apakah aku terlambat, Dianing.”
“Sama sekali tidak.”
“Mengapa batinmu begitu luruh.”
“Aku tengah belajar untuk bahagia
dan damai dalam sendiri.”
Burung hantu tersenyum. Mengepakkan
sayapnya di ketinggian menara ini. Selalu ia yang melindungiku. Telah aku
putuskan untuk tak merajuk atau menerima Lismatano. Tak
Malam telah melengkapkan usianya.
Aku pandang wajah bulan. Lewat cahayanya ia mengucapkan salam. Aku dengar
bisikan angin.
“Selamat malam.”
Aku membalasnya dengan menguap.
“Selamat malam, Dianing.”
Aku tatap burung hantu. Ia
membimbingku ke kamar. Menyelimuti aku.
“Tidurlah dengan damai.”
Aku mengangguk. Aku tahu ia akan
menjagaku sepanjang malam.
Di ketinggian menara ini.
Perlahan-lahan aku terlena.
Hembusan semilir angin menerpaku. Sejuk. Perlahan-lahan aku terbawa ke dunia
lain. Dunia yang selalu aku impikan. Hamparan luas rumput hijau. Berbagai
macam buah lezat dan makanan tersedia di
“Oh kehidupan yang menyenangkan.”
Sejenak kutinggalkan dunia. Aku
benar-benar menikmati dunia lain ini.
Dalam tidurku, aku kembali
terlempar ke dunia. Tapi, seperti ada yang menghalangi nafasku. Aku
terengah-engah. Entah siapa. Wajahnya bersih. Ia bersayap dengan baju serba
putih.
“Aku akan menjemputmu, Dianing.”
“Menjemputku!?”
“Ya. Ke alam baru. Kehidupan yang
sesungguhnya.”
Aku tak mengerti.
Burung hantu menyentuh bahu
kananku. Seolah mencegahku.
“Kau tak bisa menghalangiku. Ini
perintah Tuhanku. Tuhanmu jua.”
“Ia masih terlalu muda.”
“Kehendak Tuhan.”
Aku lihat mereka berdebat. Mereka
asyik dengan argumen-argumen mereka. Sementara aku hanya bisa menikmati perdebatan
mereka.
Karenanya, burung hantu terkapar.
Sayapnya patah. Sosok bersayap itu kembali padaku. Tangannya yang dingin
menyentuh kulitku. Entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, sungguh tubuhku
merasakan sakit yang dahsyat. Setiap kali tarikan hebat itu lepas kembali
ketika menyentuh di leher. Aku mengerjang, merintih, terpuruk, lelah.
Aku lihat burung hantu kembali
bangkit. Kali ini tak ia pedulikan sayapnya yang terluka. Ia berusaha mencegah
keluarnya rohku dari jazadku. Jadilah jazadku ajang perebutan roh. Sosok
bersayap itu menghendaki rohku. Burung hantu ingin rohku tetap menyatu dengan
jazad. Mereka tak tahu bagaimana aku menahan sakit.
Cukup lama mereka bertarung. Entah
berapa waktu. Karena sakit, aku merasakan sangat lama. Kekuasaan Tuhan tak ada
yang mampu membendung. Hingga aku benar-benar terlempar ke dunia lain. Roh yang
bertahun-tahun menghuni jasadku, kini telah diinginkan pemiliknya. Aku terbang
tinggi tanpa tahu di mana akan berhenti.
Aku saksikan jasadku dimandikan
bunda dan saudara-saudaraku. Beberapa orang yang menyayangiku hadir di
kematianku. Mereka mengucap seuntai kalimat duka. Ketika jasadku dishalatkan,
aku merasakan kesejukan yang sangat.
Tapi, aku merasakan sakit ketika
bunda dan saudaraku terisak di makam. Ketika jasadku mulai dimasukkan ke liang,
kedua saudaraku pingsan. Duh, jalanku tersandung semak belukar. Perlahan-lahan
tanah menimbun Jasadku. Hingga merata dengan tanah. Tertanam sudah jasadku di
tanah. Aku melesat ke langit demi langit.
Beribu roh berkumpul di alam yang
sulit aku uraikan. Berupa-rupa aku temui. Di depanku layar besar mengungkap
kembali kisahku di dunia. termasuk kisahku dengan Lismatano. Aku merasakan
getar aneh ketika melihat Lismatano. Entah, di alam yang lain ini aku masih
mengenang Lismatano. Laki-laki yang pernah berjanji akan menikahiku.
Di tengah riuhnya roh-roh yang
menuju pengadilan akbar itu, tiba-tiba muncul burung hantu. Ia menuju ke Tuhan.
Ia mengadu tentang aku.
“Aku ingin Ia diberi
keisitimewaan.”
“Tentang apa.”
Aku menatap burung hantu.
“Biarpun Dianing telah kau ambil,
berikan ia kesempatan ke dunia.”
“Maksudku melihat dunia.”
“Ya.”
“Baik karena cintaku aku merestui
Dianing. Aku izinkan ia suatu ketika turun ke dunia.”
Aku terpana.
Burung hantu mengepakkan sayapnya.
Tersenyum dan memberi salam padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tulus.
“Aku tunggu kedatanganmu di dunia,
Dianing.”
“Bila Tuhan mengizinkan.”
“Tentu.”
Burung hantu terbang. Ia menembus
awan, mega, bintang, bulan menuju ke dunia.
UNTUK pertama kalinya aku turun ke
dunia. Atas izin Tuhanku. Aku lewati langit demi langit. Gemerlap bintang
menyambutku, langit cerah. Bulan bulat penuh. Ia bugil di malam yang damai itu.
Aku bertemu dengan mega.
“Cukup lama kami menunggu,
Dianing.”
“Oh ya.”
“Cepatlah kau temui burung hantu.
Lama menunggumu dan juga tengah menunggumu.”
“Ya.”
Aku lihat burung hantu terpekur
sendiri. Aku lihat wajahnya sepi. Seperti menunggu kedatangan.
“Gerangan siapa membuatmu sepi.”
Matanya berpendar. Indah sekali.
Ia menjerit.
“Dianing.”
“Ya.”
Kami berpelukan. Aku bahagia
melihat secercah wajahnya yang ceria.
Wajah yang cerah itu tiba-tiba
luruh. Aku temukan sebaid lirik kehilangan di matanya. Seperti berabad-abad
lalu.
“Boleh aku tahu dukamu.”
Burung hantu menatapku. Tatapan
yang sulit aku urai.
“Maukah kau ke hutan
“Hutan Para!?”
“Lismatano ada di
Aku lunglai.
Tiba-tiba begitu sepi.
“Dianing,” panggil burung hantu
lirih.
“Untuk apa.”
Burung hantu masih bertengger di
pohon randu.
“Bila kau berkenan. Bukankah ia
bagian dari hidupmu di dunia.”
Aku luruh.
“Bukankah mereka telah menikah.”
Burung hantu menggeleng.
Aku terpana.
“Lismatano tak pernah menikahi
perempuan itu.”
“Lalu?”
“Lismatano memilih jalan buruk.
Tak sekedar gelap, terjal dan mendaki.”
“Bicaralah.”
“Mereka seatap tanpa ikatan.”
“Maksudmu...”
“Ya.”
Aku tak mengira laki-laki masa
laluku memilih hidup yang naif. Serumah tanpa ikatan sah sebagai suami istri.
“Kau tahu bukan perbuatan mereka
melebihi hubungan suami istri.”
Aku kembali ke hutan
Lismatano dan perempuan itu terus
bergulat. Saling menumpahkan nafsu. Deru nafas memburu. Tiba-tiba... Aku tak
percaya melihatnya. Tubuh Lismatano mengeras. Ia berubah jadi batu. Ya.
Lismatano telah membatu. Kini tak bisa bergerak. Ia dalam keadaan yang
mengerikan ketika membatu. Tubuhnya tumbuh lumut. Lebat dan kotor.
Aku terpana. Ngeri. Perempuan itu.
“Yuniz nama perempuan itu,
Dianing.”
Aku hanya mengangguk. Ia tak
membatu, tetapi tubuhnya berubah. Ia berkaki empat. Besar. Tubuhnya berbulu
sangat lebat. Perempuan itu berubah binatang yang sangat mengerikan. Aku yang
terpaku. Mulutnya lebar ke arahku. Siap menerkamku. Tapi burung hantu segera
menerbangkan aku.
Aku di atas pohon randu. Lismatano
telah membatu dan berlumut. Sementara perempuannya berubah binatang.
“Mengapa dengan mereka.”
“Itulah yang pantas mereka
terima.”
Aku menghela nafas.
“Bulan pun tak sudi menyaksikan
persetubuhan mereka.”
Aku menekuri tanah.
Aku berada di ketinggian menara.
Sebentar lagi aku harus kembali. Menikah dengan Lismatano hanya sebuah impian
yang abadi. Kini aku hanya bisa merasakan sentuhan angin. Merasakan cinta dan
kasih sayangnya. Ya. Dan aku kini mulai belajar untuk damai dan bahagia dalam
sendiri.***
Horison, Februari 2000
P i s t o l
Oleh: Ode Barta Ananda
Dor! Tak ada yang terkejut
ketikatembakan itu menembus sasaran. Mlah..., dor! Dor! Dor! Tembakan yang lain
seperti saling susul untuk menembus sasaran.
“Bagus!” Instruktur menepuk bahu
seorang peserta kursus menembak yang baru saja berhasil menembus jantung
sasaran. “Selain pintar mengejar berita, sebagai wartawan, ternyata Bapak
sangat jitu juga dalam membidik sasaran.”
Wartawan mendengus. Menghapus
peluh pada hidung. Dan berdehem, “Mudah-mudahan bukan hanya kebetulan, Pak. Dan
mudah-mudahan juga bidikan saya kali ini bisa secepatnya membukakan mata Bapak,
untuk mengeluarkan izin penggunaan pistol buat saya.”
“Tentu..., tentu..., asal tahu
saja....” Pelatih mengedipkan sebelah mata.
***
“Jadi izin yang membolehkan
wartawan menggunakan pistol, benar berasal atas usul Bapak?” salah seorang
dari kerumunan wartawan menanyai seorang pejabat.
Pejabat yang berdasi kuning,
berkemeja putih dan bercelana abu-abu itu, tersenyum lebar sebelum menjawab,
“Begitulah. Aku tak ingin rekan wartawan kembali menjadi korban dalam gejolak
suasana yang sedang memanas sekarang ini.”
“Apakah pejabat yang berkedudukan
lebih tinggi juga sudah memberikan izin?”
“Secara prinsip sudah.”
“Apakah Bapak telah siap
mengantisipasi segala kemungkinan-kemungkinan buruk? Seperti pemanfaatan
pistol untuk penodongan oleh oknum wartawan, misalnya?”
Pejabat tergelak. Dan tawa itu
ternyata telah cukup untuk jawaban.
“Tapi, hampir seluruh kawan-kawan
sangat menyayangkan biaya latihan menembak yang cukup tinggi. Harga pistol yang
mahal. Dan....”
Belum selesai pertanyaan itu,
sudah ditukas pertanyaan lain, “Padahal menurut selentingan kabar, sarana
latihan dan pistol ternyata disediakan oleh koperasi?”
“Mungkinkah koperasi mematok harga
setinggi itu?” menyusul tukasan lain.
“Atau ada oknum-oknum tertentu
yang sengaja menangguk di air keruh?”
Pejabat mengerutkan kening, “Mana
yang harus saya jawab lebih dulu?!” dia kesal dan langsung memasuki mobil
sambil membanting pintu.
***
Dor! Tembakan wartawan meleset.
“Tak biasanya tembakan kau
meleset?” seorang rekan tercengang.
“Saya sedang tidak konsentrasi.”
“Kenapa? Memikirkan pekerjaan?
Atau gadis simpanan itu?”
“Jangan terus bercanda. Bisa-bisa
kutembak kau!” dia mendelik sambil pura-pura marah.
“Silahkan,” sang rekan
merentangkan tangan. Lalu mengangguk-angguk, memasang wajah serius, “OK. Apa
yang telah merusak konsentrasimu?”
“Pembayaran pajak pistol ini.
Pembayaran harus lunas tiga hari lagi. Padahal, menurut perkiraan dokter, istri
saya juga akan melahirkan tiga hari yang akan datang.”
Sang rekan hanya bisa kembali
mengangguk-angguk sambil berusaha mancari jalan keluar.
Namun wartawan telah kembali
berujar, “Dan sebagian tabungan juga baru saja saya belikan alat perekam baru.
Kau sudah lihat
“Wow! Canggih, Yung! Bentuknya
yang unik dan hasil rekamannya bersih sangat seimbang dengan harganya yang mahal.”
“Untuk melunasi kreditnya, saya
harus menggadaikan pistol ini.”
***
Saat panas menukik terik. Ketika
sinar matahari seakan berniat mencabik-cabik. Waktu angin mencubit kelopak yang
akan menghasilkan putik. Saat itulah para pencari berita berhasil mencegat
pejabat yang baru saja keluar dari kantornya.
“Kelihatannya biaya latihan, harga
pistol, nilai pajak, dan biaya administrasi lainnya, semakin tak menentu, Pak?”
Pejabat tak mengangguk dan tak
juga menggeleng. Malah semakin menekan gas mobilnya sambil menginjak rem.
Melihat para wartawan tidak mengerti, dia beralih membunyikan klakson.
“Atau izin penggunaan pistol bagi
wartawan ini memang untuk mencari untung?”
“Jelas tidak!” Pejabat menekan gas
lebih keras.
Wartawan pemilik alat perekam baru
yang berbentuk unik, yang terlambat datang, menyeruak kerumunan, dan memberikan
pertanyaan sambil menodongkan alat perekam, “Apakah Bapak, akan mengusahakan
perbaikan semua masalah itu, sesuai dengan jabatan Bapak?”
Pejabat terbelalak. Dia langsung
mengangguk keras-keras. Menutup kaca jendela mobil. Dan menekan gas
dalam-dalam.
***
Ketika embun jantan belum selesai
membasuh pagi. Saat fajar bergerak sembunyi. Waktu matahari baru saja bersiap
menghangatkan bumi. saat itulah wartawan dan pejabat, asyik berbincang-bincang
dekat telepon umum.
“Kau
Wartawan tergelak, “Tak enak
rasanya, kalau tak langsung berhadapan dengan Bapak, untuk minta maaf,”
diulurkan tangan untuk berjabat.
“Harus kuakui, ternyata aku masih
ketakutan dengan sebuah alat perekam,” pejabat tergelak juga. Perut buncitnya
terguncang-guncang menertawakan kebodohannya sendiri.
"Setibanya di rumah, saya
baru menyadari, ternyata alat perekam saya yang mirip pistol ini,” wartawan
mengeluarkan alat perekam itu, “yang membuat Bapak ketakutan dan tergesa
meninggalkan kami kemarin?”
Pejabat mengangguk. tapi belum
sempurna anggukannya, wartawan telah menukas sambil mengacungkan alat perekam
yang benar-benar mirip pistol, “Benarkah tidak ada keterlibatan oknum tertentu,
yang sengaja mendongkrak segala biaya yang berhubungan dengan pistol? Atau....”
Pejabat melambaikan tangan ke arah
belakang wartawan. Wajahnya memucat, “Jjjangan! Dddia bukan mengancam!”
Dor! Sebuah peluru buas langsung
menikam punggung wartawan. Dia tertelungkup. Dan darah mempermerah jaketnya
yang sudah merah.***
Teater Dewala
Oleh: Doddi Achmad Fawdzy
Sepuluh menit sehabis menyaksikan
Indepedence Day, Prabu Kresna masih mengumpat-ngumpat kepada para Punakawan. “Sebel
gua, lagi-lagi propaganda Amerika. Apa sih maunya Amerika? Dasar Yahudi!”
“Tapi Prabu, saya tidak melihatnya
dari sisi itu. Ajakan untuk berdamai dan bersatu melawan musuh dari luar
angkasa itu sangat menarik. Apa salahnya kita ajak Dursasana untuk bersatu
melawan musuh dari laur angkasa, dari Jupiter misalnya?” balas Astrajingga.
“Dalam dunia pewayangan, tak ada
makhluk luar angkasa selain para dewa. Dewa jangan diberontak, mereka sponsor
kita kok.”
Sesaat hening. Gerombolan Pandawa
berbelok ke arah Kentucky Fried Chicken. Melewati Alun-alun Bandung, tiba-tiba
Kresna, gerombolan Pandawa, dan Punakawan itu merasa dirinya masing-masing
kembali menjadi remaja. Bahkan Arjuna kembali menjadi ABG, begitu ngepop.
Dikenakannya syal berwarna merah dan kacamata hitam. Nakula dan Sadewa
tiba-tiba berlagak sebagai penyanyi rap yang sladak-sluduk itu. Astrajingga
dan Gareng ikut berlenggak-lenggok sebagai penari latar sekaligus menjadi Backing
vokal, “Kramotak, kramotak!” Hanya Dewala yang bisa mengontrol diri dan tampak
kalem, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk ABG yang modernis itu. Tiba-tiba beberapa
orang merasa lapar dan menuduh Prabu Kresna yang mengajak mereka berbelok ke
arah
“Siape ni nyang ngulang tahun, mo
nraktir ceritanya?” hampir berbarengan Nakula dan Sadewa bertanya kepada
rombongan.
“Bukan mau nraktir, BM dong!”
balas Kresna.
“Belum begitu laper gua ini, kita
masuk pub dulu!” ajak Bima.
“Sambil makan malam, kita perlu
merundingkan kembali materi untuk peringatan hari kemerdekaan negeri kita.
Aku tiba-tiba tergagasi oleh film tadi,” sahut Kresna.
“Maksud Prabu?” Yudistira yang
dari tadi miring saja, terlihat gairahnya kalau diajak berpikir serius.
“Apa kita hanya akan menampilkan
kabaret saja untuk perayaan negara.
“Inilah salahnya Prabu, kita
sekarang terlalu berjarak dengan wong cilik,” Dewala mencoba menjelaskan.
“Jangan sok tahu Kau. Urusanmu mengelola
satpam dan tukang parkir.”
Dibentak seperti itu, Dewala
mengambil sikap diam seribu bahasa. Punakawan yang lain menyikutnya, bahkan
Semar menjewer kupingnya.
Seperti biasa, Gareng kebagian
memesan hidangan.
“Jadi mereka akan mengundang kita
untuk menyelenggarakan acara kesenian yang akan melibatkan personal dari
berbagai negara. Kukira ini usulan yang baik dan kita harus menyambutnya. Kita
bisa menyusupkan orang-orang kita untuk menyelidiki lebih jauh rencana-rencana
Pandawa dalam Barata Yudha nanti,” demikian Kombayana punya usul.
“Kukira tidak mesti seperti itu.
Barata Yudha adalah sebuah takdir yang mesti kita terima. Takdir kita untuk
menerima kekalahan. Apa pun yang kita rencanakan, Dewata telah memutuskannya,”
Bisma mengingatkan.
Tiba-tiba rapat di pihak Pandawa
menjadi kacau balau. Mereka mendengar laporan bahwa Challenger meledak dan
Chernobil bocor. Semar hanya gigit jari ketika Gatotkaca melaporkan kejadian
sesungguhnya. Bima menggebrak meja.
“Misi ujicoba kita gagal.”
“Ini kehendak Dewata. Mungkin kita
terlalu serakah dan ceroboh.” Semar mengingatkan.
“Tidak, Kurawa telah terlalu
curang dan tidak bisa dibiarkan. Karena itu, misi perdamaian lewat kesenian
dalam perayaan ulang tahun negara seperti yang diusulkan Dewala hanya omong
kosong. Perdamaian hanya menghambat rencana Dewata. Tak ada kesenian dalam
merebut kemenangan. Perang dan kekerasan adalah dua jalan yang bersatu
menjadi satu arah untuk mencapai kemenangan.” Arjuna bersungut-sungut.
Tangannya masih menggenggam paha ayam.
Bima meraung-raung, suasana rapat
menjadi lebih kacau. Nakula dan Sadewa ikut naik pitam. Tapi Yudistira cepat
berpikir dan berlaku bijak. Ia membubarkan rapat dan memohon Prabu Kresna dan
Wak Semar menyabarkan yang lain. Acara
untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan negara akan dipikirkan. Mungkin
bisa jadi kesenian sebagai alternatif untuk mencapai perdamaian. Sementara
kerusakan teknologi akan diserahkan kepada Batara Guru.
Berhari-hari Yudistira menghadapi
komputer dan mencerna John Naisbitt tentang Kebangkitan
“Saya punya obsesi dari dulu untuk
menggelar naskah Pandawa Adu Dadu, tapi tidak ada sponsor sampai saat ini.
Sekarang berteater tidak bisa lagi diberangkatkan dari apa adanya. Dulu bambu
bisa menebang milik siapa saja, sekarang rakyat sudah menjadi materialis,
segala benda serba diuangkan. Syukurlah kalau Prabu Yudis mau sponsori
obsesi saya.”
“Bagi saya, pokoknya naskah karya
siapa pun tak menjadi masalah, tetapi yang bisa membawa pada aufklarung dan
bertemakan perdamaian dunia,” jelas Yudistira.
“Justru naskah ini tepat sekali,
Prabu. Kita tahu bahwa Pandawa kalah taruhan. Cerita kekalahan ini akan sangat
menyenangkan bagi Suyudana dan kawan-kawan. Kita harus mengalah dan
membahagiakan saudara-saudara kita yang memilih jalur menjadi lawan. Kita
mengalah untuk menang, mengapa? karena kita tahu bahwa di Barata Yudha nanti
mereka akan kalah, itu sebabnya bahagiakanlah mereka dari sekarang. Dengan
dibahagiakan, insya Allah deh mereka tidak akan terlalu brutal dan mau menerima
putusan Dewata dengan dada yang lapang.”
“Tapi apa justru tidak akan
membuat semakin pongah?”
“Sebenarnya ini tergantung dari
sumber daya manusianya sendiri, kalau memang bakatnya membelot ya membelotlah.
Akan tetapi kita mesti terus berusaha dengan cara mengingatkan kembali diri
kita masing-masing pada sejarah. Sebenarnya waktu Pandawa mau diajak main
dadu, mereka tidak tahu bahwa mereka
akan dicurangi oleh Paman Sengkuni. Ini menjadi pelajaran juga bagi
kita selaku pemegang pemerintahan untuk tidak terbawa oleh arus dan rayuan
gombal musuh. Saya punya teknik, selain nanti para pembesar dari berbagai
negara diundang, juga para teaterwannya diajak untuk ikut bermain dalam
pementasan ini. Dengan demikian, silaturahmi antarseniman pun terbina. Konon
katanya menurut mitos, seniman adalah pintu terakhir yang akan menjaga
persaudaraan dan kebersamaan.”
“Tapi saat ini saya ragu, soalnya
seniman di negeri kita sendiri tengah gontok-gontokan.”
“Itu wajar karena mereka punya
ideologi. Tetapi kita juga tahu, bahwa mereka saling menghargai pendapat dan
karya seniman lain. Eu begini Prabu, dalam akhir cerita, saya akan membalikkan
fakta. Pokoknya semua serba menyenangkan tamu undangan.”
“Apa itu?”
“
***
Singkat cerita, Dewala menjadi
sutradara. Astrajingga mau menjadi Dursasana karena dibohongi oleh Dewala.
Kabarnya yang akan menjadi Drupadi adalah istrinya Arjuna. Tapi setelah mendekati
pementasan, casting itu diganti oleh Aswatama yang baru pulang studi
komperatif tentang antropologi dari Amerika.
Dadu dilempar. Untuk lemparan
pertama Kurawa kalah. Sengkuni tertawa, “mereka tertipu,” bisiknya.
“Mustahil,” gumam Arjuna.
Pada lemparan terakhir, bila
Pandawa kalah lagi mereka harus menyerahkan Drupadi sebagai taruhannya. Tentu
saja Drupadi keberatan, tapi tak ada lagi benda yang bisa dipertaruhkan oleh
Pandawa. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dan seluruh kekayaan telah amblas ke
tangan Kurawa. Bagi Dursasana yang belum beristri, justru taruhan yang paling
berarti adalah Drupadi. Untuk apa para kesatria Pandawa itu, untuk apa kerajaan
Amarta toh ia sudah bertahta di singgasana Astina.
Ternyata Drupadi harus direlakan
kepada Kurawa. Drupadi sesungguhnya tak percaya dengan kekalahan taruhan dadu
ini, tetapi ia bahagia karena ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk
nyeleweng meskipun hanya dalam dongengan. Drupadi ingin tahu sehebat apa
kejantanan Dursasana yang tergila-gila olehnya.
Yudistira menunduk dan memejamkan
mata ketika satu persatu pakaian Drupadi ditanggalkan oleh Dursasana.
Brahmana dan seluruh Ksatria Pandawa telah disekap dalam penjara sebagai
tawanan taruhan.
Di luar plot cerita yang sesungguhnya,
ternyata Drupadi bisa ditelanjangi oleh Dursasana yang diperankan oleh
Astrajingga. Pada mulanya Astrajingga dengan penuh semangat menelanjangi
Drupadi. Tetapi kemudian menjerit dan melompat dari panggung saat harus
memperkosanya, karena yang memerankan Drupadi adalah Aswatama. Aswatama,
keturunan homoseks itu mengejar-ngejar Astrajingga, “Please, touch me! Touch
me!”
Kejar-kejaran terjadi, membuat
para penonton naik pitam. Resi Kombayana yang merasa ditelanjangi tentu saja
marah tapi Bima tak kalah gertak.
“Ternyata Aswatama itu seorang
homoseks, Para Penonton.” Tiba-tiba Gareng menjelaskan lewat mikropon.
Kurawa merasa tertipu dan dihina
habis-habisan. Bodyguard dan pelindung Dursasana langsung memberondongkan
peluru. Gatotkaca melesat ke angkasa, dilemparkannya senjata kimia. Antareja
yang tidak mau menjilat jejak sendiri, melesatkan senjata laser dari jilatan
lidahnya. Tapi justru tentara Pandawa yang mampus, sedang tentara Kurawa menjadi
kebal.
Barata Yudha meledak dengan diawali
adu panco antara Bima dengan Puntadewa. Sampai saat ini belum ada yang kalah.
***
O n d o l
Oleh: A. Hidayat
Setelah begitu saja hilang selama
enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak
tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak
bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol
pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu.
Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.
Ketika pertama kali ditemukan,
Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya
hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam
menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya
juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh
sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.
Hilangnya Ondol yang misterius,
kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan
penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu
diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam
keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan
kematiannya yang mengenaskan itu.
***
Setelah mayat Ondol diangkat dari
kali dan kemudian diurus sebagaimana kebiasaan di desa, beberapa orang penduduk
desa berangkat ke
Sementara mayat Ondol dimakamkan
di bawah langit yang mulai teduh oleh warna senja,
“Langsung saja ke kantor yang
berwajib di kabupaten, ya!” katanya.
Orang-orang yang melapor itu
bergegas ke
Ruang penjagaan kantor yang
berwajib di
“Kalau kena tilang lagi, temui
saya saja di sini. Pasti beres,” kata yang bersandal jepit sambil mengantar
yang berpeci. Yang berpeci lantas pergi dengan mobil mengkilap yang terparkir
di halaman.
Yang bersandal jepit kemudian
masuk dan duduk menghadapi orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor
serempak berdiri dan bersalaman dengan yang bersandal jepit, lalu duduk lagi.
“Saudara-saudara juga kena
tilang?” tanya yang bersandal jepit.
“Oho, tidak Pak. Kami ke sini mau
melapor,” kata salah seorang, mewakili yang lainnya. “Begini, Pak. Di tepi kali
desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa.
Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali.
Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih
kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa
sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk
bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa
buah tulang rusuknya.”
Yang bersandal jepit batuk-batuk
kecil.
“Nah, begitu Pak. Ketika pertama
kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol.
Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup
dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah
telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena
tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”
Yang bersandal jepit batuk-batuk
agak keras.
“Hilangnya Ondol yang misterius,
kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan
penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu
diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam
keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan
kematiannya yang mengenaskan itu....”
“Sebentar, sebentar,” yang
bersandal jepit memotong. “Sorri ya Pak, saya bukan yang menangani urusan
kriminal macam itu. Urusan yang saya layani adalah soal tilang, tilang, tilang.
Kalau bapak-bapak kena tilang hubungi saya. Tunggu yach, sebentar lagi.”
Yang melapor hanya melongo. Untuk
mengurangi rasa kesalnya, yang melapor kemudian mengeluarkan dua bungkus rokok.
Dibukanya sebungkus, diambilnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam kemudian
diedarkannya ke teman-temannya. Yang sebungkus lainnya disimpannya lebih dulu
di hadapan yang bersandal jepit.
“Nah, itu dia orangnya, Pak.” Kata
yang bersandal jepit ketika dua orang temannya, yang berkumis dan yang berkaos
oblong, muncul.
“Hei, nih ada laporan kriminil,”
yang bersandal jepit setengah berteriak kepada keduanya.
“Kalian akan melapor kejadian
kriminal?” kata yang berkumis, sedang yang berkaos oblong langsung masuk ke
ruang lain.
“Iya, Pak. Begini, Pak. Di tepi
kali di desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak
bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di
tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya
yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya
menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari
tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir
memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”
Yang berkumis batuk-batuk kecil,
berdiri dan mondar-mandir.
“Nah, begitu Pak. Ketika pertama
kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol.
Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup
dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah
telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena
tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”
Yang bersandal jepit batuk-batuk
agak keras, duduk sebentar dan kemudian berdiri mondar-mandir lagi.
“Hilangnya Ondol yang misterius,
kemudian kematiannya yang tidak lazim
itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan
sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah
dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada
apa-apa di balik kehilangannya yang misterius
dan kematiannya yang mengenaskan itu....”
“Sebentar, sebentar,” yang
berkumis memotong. “Sorri, sorri, sorri yeah, urusan kriminal itu banyak
macamnya. Urusan bunuh-membunuh bukan bagian saya. Urusan saya adalah perkara
kriminal yang berkaitan dengan narkotika dan perkara kenakalan remaja. Kalau
kalian punya narkotika, hubungi saya yeah. He he he. Kalau yang menangani
urusan bunuh-membunuh, yang berkaos oblong tadi. Nah, kalian dengar, dia lagi
mandi dulu. Tunggu yeah.”
Orang-orang yang melapor kembali
menyulut rokok. Salah seorang yang melapor segera menyimpan lagi sebungkus
rokok di hadapan yang berkumis. Yang bersandal jepit dan yang berkumis menemani
mereka merokok. Asap rokok memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas itu.
Orang yang berkaos oblong datang
sambil merapikan rambutnya. Mulutnya bersiul sumbang entah lagu apa.
“Nah, ini dia selesai mandi. Ayo
sekarang lapor sama dia,” kata yang berkumis kepada orang-orang yang melapor.
“Terima kasih. Begini, Pak.”
“Nanti dulu,” yang berkaos
hampir-hampir membungkam mulut yang melapor dengan tangannya, “laporan
kriminalitas?”
“Iya, Pak.”
“Urusan bunuh-membunuh?” Mata yang
berkaos oblong melirik ke bungkusan rokok di hadapan yang berkumis.
“Iya, Pak.” Salah seorang yang
melapor dengan tergopoh menyodorkan sebungkus rokok kepada yang berkaos oblong.
“Ya, ya, ya... ayo mulai,”
perintah yang berkaos oblong sambil segera menyulut rokok.
“Begini, Pak. Di tepi kali di desa
kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa.
Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali.
Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih
kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa
sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk
bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa
buah tulang rusuknya.”
Yang bersandal jepit bersin,
bunyinya mengagetkan yang melapor.
“Nah, begitu Pak. Ketika pertama
kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol.
Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup
mendalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah
telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena
tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”
Yang bersandal jepit bersin lagi,
bunyinya kembali mengagetkan yang melapor.
“Hilangnya Ondol yang misterius,
kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan
penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol, selalu
diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam
keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan
kematiannya yang mengenaskan itu...”
“Baik, telah saya dengarkan,” kata
yang berkaos, “apa kalian bawa berita acara kematiannya?”
Orang-orang yang melapor kaget dan
bingung.
“Wah, kami tidak membawanya, Pak.
Bagaimana, ya. Apakah tidak cukup dengan laporan lisan saya tadi, Pak?”
“Tentu saja tidak. Harus ada
berita acara tertulis. Laporan lisan saja tidak cukup, walaupun yang
menyampaikannya gubernur bahkan menteri sekalipun. Apalagi kalian cuma warga
desa biasa! Sebuah laporan, apalagi ini adalah laporan kriminal yang berkaitan
dengan pembunuhan, mesti dilaporkan secara ter-tu-lis. Ya, dengan menyerahkan
berita acara kematian itu. Masa aparat desa tidak pernah mengumumkan peraturan
ini!”
Yang berkaos oblong memandang
tajam kepada orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor menunduk semua.
“Kalau soal segawat ini hanya
disampaikan secara lisan, itu namanya baru disebut is-syu. Berdasarkan
peraturan nomor 12345/6/78, sebuah is-syu harus diperlakukan sebagai is-syu.
Tingkat kebenarannya masih dalam tarap diragukan dan belum bisa dipercaya
sedikit pun. Dengan demikian tidak perlu ditanggapi. Apalagi tanpa bukti.
“Caranya bagaimana, Pak?”
“Menurut peraturan nomor 23456/7/89,
berita acara itu sekurang-kurangnya ditandatangani oleh lima orang yang
melapor serta diketahui oleh ketua RT beserta ibu, Ketua RW beserta ibu, Kepala
Desa beserta ibu, Camat juga beserta ibu, Kepala Kepolisian beserta ibu, dan
akan lebih kuat lagi jika diketahui oleh Bupati beserta ibu. Lalu dikukuhkan
oleh seorang notaris dan didaftarkan di pengadilan. Dibuat di atas kertas segel
rangkap sepuluh. Dilengkapi pula dengan denah lokasi kematian, visum dokter,
keterangan kelakuan baik sepanjang hayat, keterangan tidak pernah menentang dan
menghina pemerintah, tidak pernah terlibat penganiayaan petugas keamanan, dan
syarat lain yang tercantum di sini, nih.”
Yang berkaos menyerahkan selembar
kertas.
“Nah, karena sekarang malam
Minggu, sebentar lagi kantor yang berwajib ini akan tutup. Wajar dong kalau
seminggu sekali kami juga menikmati kencan gratis di malam panjang. Kebetulan
ada perempuan montok di ruang tahanan, he he he... pasti dia kesepian,
***
Di hadapan keluarga dan kerabat
Ondol, orang-orang yang melapor menceritakan apa yang harus dilakukan agar
peristiwa hilang serta tewasnya Ondol bisa diusut tuntas. Beberapa orang
kerabat Ondol menyatakan bahwa kematian Ondol barangkali sudah merupakan takdir
dan tak perlu diusut sebab-sebabnya. Tetapi orang-orang yang melapor meyakinkan
mereka akan pentingnya pengusutan kematian Ondol.
“Ingat, sodara-sodara. Ondol mati
tidak lazim dan keadaannya begitu mengerikan setelah setengah tahun lebih
hilang secara misterius,” kata salah seorang. “Menurut yang berwajib juga ini
sebuah peristiwa kriminal yang perlu diusut tuntas. Dan yang lebih penting
lagi, kejadian ini menimpa Ondol yang cerdas dan berpendidikan, orang yang kita
harapkan suatu saat bisa memimpin desa ini. Pasti ini ada hubungannya dengan
keinginan Ondol untuk memimpin dan memajukan desa ini.”
“Betul. Bagaimana kalau semua
orang yang punya keinginan untuk maju hilang dan terbunuh begitu saja?” tanya
salah seorang. “Kalau soal ini dibiarkan, tak akan ada yang berani mendaftarkan
diri menjadi calon kepala desa. Padahal pemilihan tinggal setahun lagi. Saya
juga telah diminta masyarakat banyak untuk mencalonkan diri, tetapi saya tidak
berani kalau risikonya harus seperti Ondol. Jelas bukan, ini bukan lagi soal
kriminal biasa? Yang berwajib saja mengatakan, ini sudah menyangkut perkara
sub-ver-sif. Karena itu, pengusutan perlu dilakukan.”
Akhirnya semua kerabat Ondol
menyepakati dilakukannya pengusutan. Salah seorang, yang menyatakan dirinya
diminta untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, berbaik hati mengurus
berita acara kematian Ondol. Namun
pembuatan berita acara itu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Untuk
mendapatkan visum dokter, mayat yang telah dikubur digali kembali, dan itu menjadi
pro dan kontra bagi masyarakat desa. Kerabat Ondol juga harus berpatungan
menyiapkan sejumlah amplop untuk orang-orang yang menandatangani berita acara
itu. Menurut salah seorang kerabat Ondol, lebih kurang satu juta habis
digunakan untuk berita acara itu. Baru sebulan lewat satu hari berita acara itu
bisa didaftarkan di pengadilan.
Pada hari itu juga, dengan
semangat 45, orang-orang yang melapor kembali datang ke kantor yang berwajib di
kabupaten. Mereka diterima oleh orang yang dulu mereka temui.
“Begini, Pak. Sesuai dengan
petunjuk Bapak, sekarang kami serahkan berita acara kematian Ondol,” kata salah
seorang, “kami semua mengharapkan kematian Ondol akan segera diusut tuntas
setuntas-tuntasnya.”
Yang berkaos oblong mengerutkan
dahi.
“Aduh, kenapa baru menyerahkan
berita acara sekarang? Sayang sekali, ya sayang sekali. Menurut peraturan nomor
34567/8/90, sebuah peristiwa kriminal pembunuhan dengan lokasi kematian di tepi
kali hanya dapat diusut tuntas bila berita acara kematiannya masuk kepada yang
berwajib tidak lebih dari sebulan. Kemarin! Mestinya kemarin ke sini. Kalau
kemarin datang ke sini, tentu berita acara kematian ini, atas nama hukum, bisa
saya terima.”
Orang-orang yang melapor tersentak
dan termangu.
“Sekarang kami tidak punya banyak
waktu. Kami lagi sibuk, supersibuk. Sebuah kejadian serupa yang terjadi minggu
lalu harus segera kami usut dan memerlukan penanganan yang tidak main-main.
Lihat, berkas lengkap berita acaranya juga sudah kami terima," yang
berkaos menunjuk setumpuk tebal kertas di atas meja.
Orang-orang yang melapor tak bisa
berkata-kata.
“Jadi, lebih baik kematian e...
siapa namanya itu, kalian lupakan saja. Bukan kami tidak ingin mengusut, tetapi
kalian yang teledor, tidak disiplin dengan waktu. Jaman sekarang kita harus
berpacu dengan waktu! Ya, kami tidak punya waktu banyak. Selain harus mengusut
perkara minggu lalu, kami juga masih repot dengan perkara kematian si Udin
brengsek setahun yang lalu itu," kata yang berkaos setengah marah-marah.
“Sekali lagi, lupakan saja kematian si Podol itu, ya! OK?”
Dengan langkah gontai mereka pamit
dan pulang dengan seberkas tebal berita acara kematian.
Dalam terik matahari yang membakar
tubuh, mereka melangkah menuju sebuah warung kecil. Beberapa bungkus nasi rames
mereka makan untuk menghilangkan lapar. Mereka membeli beberapa buah goreng
pisang dan goreng ketan. Karena plastik pembungkus di warung itu habis, mereka
membungkus gorengan itu dengan kertas-kertas segel berita acara kematian Ondol.
Sebagian kertas yang lain mereka lemparkan ke udara. Kertas-kertas warna-warni
berhamburan, melayang-layang dan jatuh ke tengah dan tepi jalan, ke
halaman-halaman di rumah pinggir jalan, sebagian lainnya hanyut di selokan. Beberapa anak kecil
memungut kertas-kertas itu untuk dibuat mainan kapal-kapalan.***
Horison, Maret 2000
Nuh
Oleh: Isworo Haris Sunardi
"Nuuuh …! Kaukah itu? Yang
berlayar dengan sabar mengarungi lautan tiada berpantai?" tanyaku ketika
melintas sesosok wajah di depan mataku. Kuusap-usap dengan keras dan
kuucek-ucek kelopak di bawah alis ini, tapi wajah itu terus saja berdiri tenang
menatapku. Wajah putih berjenggot panjang itu masih menampakkan guratan
ketegaran di pipinya. Aku jadi teringat cerita bapakku tentang laki-laki yang
tidak disetiai istrinya di atas kapal kayu besar, di bawah angin besar membadai
dan guyuran hujan menabrak-nabrak tap kapalnya.
"Kaukah itu? Jawablah!"
Lelaki itu tetap diam. Bisukah?
Tanyaku dalam hati. Tapi dia memandangku terus dan tersenyum mengejek. Di
atas batu pualam hitam begitu tegar dia berdiri. Tongkat penyangganya menebar
harum bau cendana, tapi (anehnya) warnanya hitam mengkilap. Oh! Hidungku
mengendus wewangian hingga meranggas mengalir dalam rongga dada. Mengapa tidak
menjawab? Bisikku dalam hati.
"Kaukah itu? Tanyaku sekali
lagi.
Lelah rasanya aku memanggil, tapi
rasa ingin tahuku menggebu mengelucak di gejolak kalbu menoreh-noreh dinding
hati yang keheranan. Barangkali dia tidak tahu bahasaku yang berasal dari
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih
lebar.
"Ya. Akulah Nuh! Nuh yang
diceritakan oleh bapak-bapak kamu," jawabnya tenang. Aku hampir saja
melompat kegirangan saat tahu kalau dia benar-benar Nuh.
"Benarkah? Benarkah kau Nuh
seperti yang aku angankan?"
"Ya," dia mengangguk.
"Tapi aku takkan bisa menolong kalian."
"Kalian?" aku heran.
Kulihat di sekelilingku, tapi yang kutemui hanya diriku sendiri.
"Ya . Kalian! Kau dan rakyatmu
yang lupa akan hidup dan perjalanannya. Aku berlayar di lautan tiada
berpantai itu, seperti katamu, hanya untuk umatku. Tugasku telah selesai dan
tinggal santai. Bukan untuk kalian. Lagi pula
lautan yang kau renangi adalah lautan waktu yang berisi ketololan dan
keteledoran. Beda sekali dengan lautan yang aku layari," katanya
menjelaskan.
"Tapi Engkau bisa memberi
nasihat buat kami, Nuh! Bagaimana sebaiknya bangsa ini berjuang berenang di
lautan yang bergelombang duka ini, Nuh? Aku mohon?"
Kabut hitam menggumpal di wajah
tua itu.
"Tidak, tidak …tidak! Aku tak
bisa menasihatimu," katanya menggeleng. Aku sangat kecewa.
"Kenapa?"
"Kronologi perjalanannya
berbeda. Dulu bangsaku lalai tidak mau menjalankan perintah Tuhan dan
nasihatku. Berkali-kali aku dicaci dan dipecundangi. Bahkan tahi, bahkan tahi
dilemparkan ke muka ini. Istriku sendiri yang mengajari. Karena lamanya aku membuat
kapal, aku jadi kebal. Tapi bangsamu adalah bangsa yang telah lama mengenal
Tuhan. Di antara mereka banyak yang saleh-saleh. Kau dan rakyatmu lupa pada
titian waktu bangsa sendiri. Mereka ingin menelusur pada masa lalu dengan
menerapkan di masa sekarang. Jembatan waktu yang kau tuju, telah berubah arah.
Semua karena hanya ingin mengikuti kata hati tanpa kau fikirkan. Kau lupa pada
orang yang suka memuja hingga kau turuti kemauan mereka. Apalagi kau suka
pelihara bunglon-bunglon yang dengan cepat mengecat warna."
Aku terdiam. Kutelusuri lagi
perjalanan hidupku di saat masih kecil yang digeluti oleh lapar yang sangat.
Aku terjungkal dalam kesendirian di lembah papa. Setiap kali kutapaki jalan
sambil memanggul sepi. Aku rindu harapan. Aku berjalan di bawah penindasan. Dan
matahari yang seharusnya hangat di setiap pagi berubah jadi resah yang
menyengat-nyengat pikiranku.
Akhirnya aku harus memilih jalan,
ketika menemukan sela-sela perjuangan di antara perang dan perang. Aku
merayap-rayap mencari-cari musuh yang lengah. Sementara di atasku beribu peluru
mendesing memburu. Kusergap sebisanya dan kuhancurkan. Kukejar dan terus
kukejar lawanku hingga jurang beku dan ternyata aku dan anak buah setiaku
berhasil menang.
Lalu aku berjalan di antara
saudara-saudara sendiri yang bertongkatkan politik. Aku sering mendiamkan atau
mendamaikan. Habis itu kubiarkan berbuat apa saja. Saat kuketahui mereka curang
dan membahayakan, mereka kusikat. Kubabat tanpa sisa. Akhirnya sampai juga aku
menguasainya. Kucari-cari bayanganku dengan harapan-harapan sambil meraba-raba
bangunan, dengan tanah-tanah yang kubangun rumah, juga kuda-kuda liar yang bisa
kutundukkan.
Aku dan anak buahku, juga
familiku, aku bagi kebahagiaan. Mereka bebas makan, berpakaian, kadang rumah
yang berlebihan. Tapi lama-lama setelah aku tua dan mulai banyak lupa, mereka
sering pura-pura dengan cara memuja selayaknya seorang raja. Mereka punjung
kata dengan emas. Aku ditandu dan dielu-elu, kedua tanganku mengepak serupa
sayap. Kulambaikan tangan pada orang-orang.
Kunyuk semprul! Ternyata di antara
mereka itu ada beberapa musuh main petak umpet dan perang-perangan. Mereka
tampak menyongsong, tapi di belakang disiapkan membokong. Lalu mendorong
hingga terjerembab di lubang nista. Aku jadi sendiri, tepekur melebur diri
dalam keheningan dan kesunyian. Hari-hari kuakrabi sepi bagai mimpi.
Berjalan menyusuri ujung penantian.
"Nuh! Dimana kau? Kenapa kau
pergi lagi? Nuh! Nuh! Nuuuh…!" teriakku memanggil-manggil orang yang
kukagumi itu. Orang tabah itu akan kumintai nasihatnya. Orang yang sabar
berlayar itu akan kupungut hatinya. Dan dia yang berjiwa penolong itu akan
kucari petunjuknya.
Lama kucari-cari dan kunanti, tapi
tak juga muncul dalam benakku. Kureka-reka dalam khayalku sambil menyusuri
lorong-lorong pabrik-pabrik dan mobil-mobil mewah siapa tahu ada di
Untunglah dia datang saat aku hampir
terpagut rasa putus asa. Kesunyian-kesunyian yang kutelan sebagai pelepas
dahagaku telah mengenyangkanku.
Nuh! Kau datang lagi saat aku
terlompat. Sambil berlari Dia kuhampiri. Kuulurkan tangan agar aku dapat
meraih kelembutan telapak tangannya. Tapi layaknya sekat, betapa sedih
ketika dia ulurkan tangan untuk menggapaiku tidak pernah sampai. Aku gagal
menyentuhnya.
"Ketegaranmu, Nuh, akan
kutempuh!" kataku.
Dia tersenyum.
"Jangan mengejek, Nuh."
Nuh yang tua itu menggeleng. Di
wajahnya ada teduh bulan purnama. Bibirnya lembut mengurai suara.
"Tabah," katanya. Dia
julurkan telunjuknya ke arah langit. "Tanpa ketabahan kau takkan
mungkin mampu mengarungi lautan duka resah ini hingga sekarang. Ketabahan
yang kau pelihara sejak kecil itu membuat hatimu kuat."
Lalu dia menegakkan jari tengahnya
ke arah langit hingga berjajar dengan telunjuknya.
"Tegarkan jiwamu!" katanya
dengan menekankan suaranya. "Kau pasti akan merdeka seperti engkau berjuang
mati-matian memperoleh kata itu."
"Lalu, Nuh?" tanyaku tak
sabar. Dia julurkan jari manisnya menunjuk ke arah langit. Aku jadi berfikir
saat dia menjurus-juruskan jarinya ke atas.
"Tenang!" katanya. Tak
terasa reflek jariku ikut menirukan gerakannya. "Ya, ke
"Jadikan tiga itu tonggak
kekuatan di hatimu untuk menetralisir kekalutanmu. Kendali emosi dari dendam
pada orang-orang yang telah menjatuhkan kau sebagai kekuatan."
Aku termangu dalam buaian nasihatnya.
Mataku terus saja menatapnya. Tapi Nuh tiba-tiba pamit pergi setelah
meninggalkan nasihatnya dengan menghunjamkan dalam hatiku. Aku terdiam tenang.
Sambil memberi salam dia pergi melambaikan tangan. Kupandangi dia saat
berjalan meninggalkan.
"Terima kasih Nuh, terima
kasih!" kataku sambil berlari melewati senja waktu malam yang mulai
merayap meranggas gelap.***
Pada Sebuah
Oleh: Moch. Hasymi Ibrahim
Di taman
Pagi sekali, mereka yang hanya
mengenal canda dan birahi, telah bergegas pergi dari situ. Terbang ke
tempat-tempat yang jauh, mungkin ke wilayah-wilayah yang belum dikenalnya.
Asing. Tapi adakah sesuatu yang asing bagi sebuah kemutlakan bernama naluri?
Kukira tak ada. Ning juga pernah bilang begitu, dulu, ketika kami tidur bersama
pertama kali, pada sebuah flat sederhana
Dan burung-burung itu telah
mengungsi meninggalkan taman di mana senja yang bisanya bersemangat menjemput
malam, turun amat perlahan, lesu, meninggalkan gerah – juga kesal lantaran
langit
Usai mengantar Ning, aku segera
terbang ke sini. Bau tubuhnya masih tersisa dalam ketergesaan langkahku: asin,
berkeringat, beraroma perempuan dengan keliaran tersembunyi di balik kecerdasan
dan pendidikan yang baik. Bukan hal mudah mencapai taman ini. Gelombang masa
yang bergulung-gulung bagai bah telah menyapu pertokoan, perkantoran dan
meninggalkan nyala api yang perlahan-lahan makin membesar. Jalan raya yang
melintang membelah-belah
Lalu di sini, senja mulai
nyungsep, dan Yogo telah datang.
“Kita evaluasi perkembangan, di
Dan malam tadi, hingga subuh
ketika kami pisah, Yogo tampak angker. Lambaian tangan kekuasaan semakin
mengentalkan darah ambisinya. Persahabatan itu, segera akan terbukti, kelak,
tapi rencana masih sedang berlangsung. Belum perlu ada kalkulasi menang atau
kalah. Presiden memang sudah terpojok, tapi ada saja hal yang tak dapat diduga.
Juga kedatangan Yogo yang telat.
Malam kemudian tiba dengan diam.
Malam yang sepi.
Ning menelepon.
“Bang, Presiden mundur besok. Yogo
tak mungkin datang. Pulanglah,” katanya simpel. Tak ada basa-basi, seperti
irama tubuhnya: simpel, langsung, tegas dan banal.
Aku kontan diserang frustasi.
Lesu, habis, pupus. Sebuah persilatan virtual telah berlangsung mulai tadi
subuh – bahkan sudah dua hari sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya ketika
ketekunan di depan mesin komputer menjadi aktivis menggairahkan. Aku telah
membaca jutaan bit dari laporan intelejen, mengamati penampilan sekian ratus
tokoh di depan publik dari waktu ke waktu, menganalisis arah perkembangan
berbagai kelompok. Bahkan untuk beberapa tokoh kunci, sampai ke gelagat
seksualnya di ranjang, telah aku rekam di luar kepala. Dan sebagian besar kerja
keras itu sudah berhasil.
Di ufuk, bayang kegagalan mulai
tampak. Tapi apa mungkin? Yogo memang bukan panglima. Dia berada satu level di
bawah, tapi aku punya keyakinan, juga kepercayaan atas nama keagungan, bahwa
dia takkan menyerah begitu saja. Langkah presiden selamanya memang tak terduga.
Mundur mendadak tentu akan membuyarkan rencana. Akan menyetop aksi, akan
memuaskan semua orang dan segera akan berbalik menyerang kami. Ini harus dicegah.
Kebebalan presiden untuk bersikukuh pada kursi kekuasaan, rupanya tak dapat
dipercaya; dia memilih mengalah sebelum bertempur. Dia ternyata bukan prajurit
sejati seperti senantiasa dicitrakan di depan publik. Dia tak lebih seorang tua
pikun yang sedang kehabisan cita-cita, —lampu teplok kehabisan minyak; faktor
yang kami tak hitung selama ini.
“Ning, kamu masih di situ?” kataku
menjawab Ning.
“
“Aku bingung.
“Belum, tapi kuusahakan. Mungkin
dia sedang di istana.”
“Pulanglah segera, pulang. Di sini
kita bisa berpikir jernih.”
Suara Ning tetap empuk.
Menggairahkan. Memanggil. Tak ada kegetiran, apalagi kegentaran. Dia memang
lebih matang. Mungkin kematangan yang datang dari daya-daya seksualnya yang tak
pernah surut dan padam. Sebaliknya, aku yang justru panik dan gamang. Bukan
karena risiko yang mesti datang, balas dendam kalangan militer, bukan.
Melainkan kepanikan seorang penulis skenario yang gagal mementaskan lakonnya
dengan sempurna. Lakon yang berjalan tak sampai klimaks, lantaran aktornya
bermain tak terkendali. Juga kepanikan dan kegamangan seorang yang tumbuh
berkembang bersama ilusi revolusi, seperti Che Guevara, Castro, dan mungkin
Kaddafi – hadir untuk berperanan menumbangkan tiran dan eksis atas nama
cita-cita dan keagungan. Aku benar-benar frustasi, kini.
"Kamu masih di situ?"
tanya Ning. Kali ini suaranya bernada khawatir.
“Iya,” balasku memencet “off” pada
hand-phone.
Malam sudah bertahta. Udara gerah
berbau asap.
Hand-phoneku bertulilit. Suara
Yogo; “Tunggu sampai besok,” katanya singkat.
Tak ada besok, Yogo: gumamku
membatin. Seperti yang sering kamu katakan, sekarang atau tidak sama sekali.
Kenyataan yang tak diperhitungkan akhirnya terjadi, dan tak ada rencana ulang.
Di sini, di taman tempat
burung-burung bersenggama, bertelur dan berkembang biak –dan kini telah
mengungsi entah ke mana— semuanya telah berakhir. Keagungan itu memang ilusi,
kini. Bagi Yogo, utamanya. Sementara bagiku? Masih ada Ning. Kami akan segera
terbang ke negeri lain, di
“Ning, kamu masih di situ?”
“Ya, aku sudah mandi.”
“Sekarang pakai handuk?”
‘Ya, cuma handuk. Duduk
menunggumu.”
“Sebentar lagi aku datang. Aku
ingin berendam.”
“Kalau begitu aku mandi lagi.”
“Berendam bersama-sama.”
“Iya.”
“Terus?”
“Terus larut seperti biasa.”
“Aku meresapkan bau mulutmu,
kini.”
“Aku juga.”
“Tunggu, ya!”
“Cepat.”
Malam, di taman ini, kurasakan
gairah yang lain. Gairah bulan Mei. Seperti gairah sebuah musim panas,
Pemahat Abad
Oleh:
Kopag menjatuh-kan pisau ukirnya
yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia
mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu
basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu
semakin mendekat.
“Siapa itu?”
“Titiang.1 Luh Srenggi.”
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag
semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya
jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing
tebayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi
wujud laki-lakinya.
Katakan padaku, siapa kau?!”
Titiang yang akan melayani seluruh
keperluan, Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya,” Suara itu terdengar gugup.
"Siapa tadi namamu?” Kopag
mulai menenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu
terde-ngar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan
dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti
ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan kejujuran, kasih
sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah
perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi
mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang
perempuan?
Ketika Kopag akan mengambil
tongkatnya. Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag
semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa.
Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang
pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.
Baru kali ini Kopag merasakan bisa
menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap
benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar
mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan
orang-orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan
kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang
selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.
“Apakah di bumi ini wujud
kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan
untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?"
"Kebenaran mereka? Aku tidak
yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara
Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!
Kopag sadar, sangat sadar.
Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada
perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah
orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan
mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam
dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan
kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat
dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?
Kecantikan perempuan muda itu
adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu.
Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik.
Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghargai
keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga
tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun
itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag
terhadap perempuan?
***
Kehidupan telah memaksa bocah
laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah
mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak
laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus
menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta
tertinggi dalam struktur masyarakat
Laki-laki itu harus berperan
sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah
ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan.
Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah
dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma
bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan
yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin,
yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering
menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah
merekontruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat
pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah
pada kekuasaanya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia
kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.
***
Kopag menarik nafasnya
dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke
mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada
dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan.
Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.
“Apa bisanya adikmu yang buta itu?
Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada
saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak
kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut
tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.
Suara iparnya itu akan terus
menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata
orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar.
Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh
Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya
menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah
menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang-orang di luar hanya tahu
bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian,
pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki.
Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian
yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa
kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah
pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk
masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius
untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan
pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan
keluarga bangsawan. Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali
iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat
yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia
mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya
yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan,
pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah
kakaknya bisa mendapatkan perempuan tercantik di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu
Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Gria bernama Jero Melati itu
memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja
“Luar biasa kecantikan Jero
Melati, Ratu.”
“Seperti apa perempuan cantik itu,
Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin
merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”
Laki-laki tua itu terdiam.
Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam.
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung
dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan
yang dila-kukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi
milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak
bicara. Kau bisa lihat,
“Gubreg, kau belum jawab
pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu
beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu
tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang
dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag
memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh
Laki-laki setengah baya itulah
yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia
bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buonorrty,
yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
“Kau tidak ingin menjawabnya,
Gubreg?”
“Jangan bertanya yang aneh-aneh
pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada
laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu sekarang ini
jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf
keluar dari bibir laki-laki Perancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar.
Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah
memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi
membutuhkannya.
“Gubreg, tubuhku gemetar setiap
menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu
penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”
Kilatan matahari menjilati
keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang
perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja
keruncingannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di
tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam,
Gubreg belum juga bisa menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang
sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan
tentang esensi menjadi laki-laki.
***
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah
membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,”
suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
“Tentang apa lagi, Ratu?”
“Kecantikan perempuan.”
“Titiang...Titiang tidak bisa
menceritakan kecantikan perempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki
penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”
Suara Gubreg terdengar patah.
Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki,
dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali
menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggelisahkan ketika
tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu
tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh
membantunya merangkai masa lalunya kembali.
Waktu itu Gubreg seorang laki-laki
kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi
di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit
batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke
atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu
meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok
punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih
melekat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam
Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang
tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang
tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya
tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perempuan
yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia
adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu
Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga,
Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam
dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak
bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencarikan dia
seorang Balian, dukun.
Balian tua itu memberinya
jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran
pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir
sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua
itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat
kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan
si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya
membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita
tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan
tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga
Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan
runtutan upacara itu.
Tak seorang pun tahu, komunikasi
Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet
setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya
bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg
tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta
yang dalam pada Dayu Centaga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang
membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi
sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh
Kalau sekarang Kopag bertanya
seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan
alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag
yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum juga jawab
pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali,
"Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“Yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku
membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo
Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu
ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir.
Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu itu. Rasa
ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku
juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh pohon
ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, membesarkan tubuhnya, sampai
akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki
impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan
seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata
mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat
kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan
seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku
merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau
telah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba
memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag,
seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan.
Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia
perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh
hidupnya untuk mengabdi.
Berkat Kopag, keluarga besar ini
kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor
dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati
tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya.
Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini
galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling
diakui di
Gubreg tahu tak ada yang
diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak
ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.
***
“Kita harus carikan seorang istri
untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu,
Jero Melati tersenyum.
“Bagaimana kalau dia kawin dengan
calon yang telah kusiapkan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya
jauh-jauh hari.”
“Siapa?”
“Adik perempuanku,” jawab
perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama
kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar
kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya
berisi kehormatan.
“Kau harus bisa meyakinkan dia
bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip
perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan
paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual
tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak
tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.
***
“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali
ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira
arah pembicaraan Kopag.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan
menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.”
Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu, titiang juga sudah
membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka.”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah
yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin
sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali
ini pilihanku tidak bisa diubah!”
“Siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti
tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh
Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan
studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya? Perempuan
itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang,
punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri
bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya
begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia,
tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan
itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga
kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku
tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan
kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa
menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat
menembus dadanya yang tipis. ***
1.
Saya
2. Panggilan kehormatan untuk
bangsawan
Horison, April 2000
Mayat
Oleh: Putu Wijaya
Mayat itu mengeluh.
“Aku yang mati. Aku yang terdera.
Aku yang menjadi korban. Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang
menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjingkan,
diselidiki dan dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai
penyelidikan, analisa-analisa yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal
dan kaya. Aku yang sudah mencetak duit buat banyak orang yang memanfaatkan
dengan cerdik seluruh peristiwa yang dahsyat ini, sehingga mereka menjadi
terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak dan akhirnya menang. Tetapi aku
sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi.
Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut.
Ini sama sekali tidak adil!”
Ia bangkit dari kebisuan dan
kekakuannya dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku yang semena-mena
tersebut yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
“Peradaban sudah merosot.
Kebudayaan tidak lagi membuahbudikan keluhuran, tetapi membuat manusia semakin
tamak dan tipis rasa kemanusiaannya. Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar.
Semua orang berdagang. Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang
tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi
sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain.
Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan ada pencerahan atas kabut hitam yang
akan membuat dunia dan kehidupan serta segala manusia isinya ini kiamat kubra,“
kata mayat itu.
Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu
mulai mengganggu setiap orang lewat dengan berbagai keluhan, kemudian
sindiran-sindiran dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak
bedanya dengan kutukan.
“Aku yang mati, kamu yang enak.
Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatan saja menangis,
meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa, kamu terus hidup ngakak. Kematianku
sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya
kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita
perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada dan orasi-orasi yang
meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keuntungan
dari orang yang mati!”
Mayat itu mengetuk pintu sebuah
media
“Tanya Bapak, aku
Sedang atasannya yang paling atas
sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.
Akhirnya sekretaris redaksi,
terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menghadapi mayat itu
dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara
baik-baik.
“Silakan menuliskan semua keberatan
Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami
sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya untuk kebahagiaan
dan ketenangan Anda di
Mayat itu langsung duduk di depan
komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya.
Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang
tidak adil, seluruh ketidak-benaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan
menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan
berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka dan kesakitannya.
Berjam-jam mayat itu mencurahkan
segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat
itu dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik.
Moral, susila, tata krama, kepatutan, keluhuran budi apalagi kemanusiaan yang
dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus
kebiadaban.
“Semuanya busuk,” erang mayat itu.
Ia kemudian lebih banyak mengeram-ngeram seperti kata-kata tak mampu lagi
menampung sumpah-serapahnya. Akhirnya ia menggigit kursi sampai cabik-cabik,
untuk menahan lonjakan perasaannya yang tertampung oleh layar komputer.
Sekretaris panik. Tetapi ketika ia
mau lari mengadukan itu kepada atasannya, telepon berbunyi. “Biarkan saja, dia
memerlukan ventilasi untuk menyalurkan emosinya. Nanti setelah kempes dia
“Tapi kursinya rusak, Pak. Itu
“Biar saja. Tapi suruh anak-anak
siap untuk menjepret. Ini justru bagus untuk publikasi kita!”
Sekretaris bengong. Mayat itu
berdiri, karena mencabik kursi itu, juga tidak bisa mengurangi tegangan dadanya.
Ia lalu menumbukkan kepalanya ke dinding. Sekretaris menutup matanya, lalu lari
keluar.
Mayat itu membentur dinding begitu
kerasnya sehingga foto-foto di dinding berjatuhan. Di antaranya ada gambar
garuda. Moncong garuda itu menancap di atas kepalanya. Mayat itu baru menjadi
sedikit tenang. Dengan garuda yang masih bertengger di kepalanya, ia kembali ke
kursi. Di situ ia menangis tersedu-sedu.
Setelah menangis tersedu-sedu
nampaknya sebagian unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari
perut, hati dan otaknya. Ia menoleh kembali ke layar komputer dengan lebih santai.
Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah namun
damai.
Penjaga kantor yang tua bangka
menghampirinya menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air
dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa
disamber dari perempatan jalan di malam yang selarut itu. Sekaligus
mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.
Mayat itu menggelengkan kepalanya.
Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Seluruhnya mampetan pikirannya sudah
tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong
dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.
Penjaga kantor itu mengerti.
Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif yang diwanti-wanti oleh
sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa itu, ia sempat mengerling ke
atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati
kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk
mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam yang sudah lancang itu
dengan mata berkilat-kilat.
“Kamu mengerti?”
“Ya, saya mengerti sekali.”
“Kamu bisa merasakan.”
“Kenapa tidak? Jelas sekali.”
“Apa kamu menganggap semua ini
neko-neko?”
“Tidak. Itu memang benar.”
Mayat itu menjadi amat girang,
menemukan untuk pertama kalinya, orang yang mampu memahami segala tuntutannya.
“Jadi kamu percaya sekarang betapa
tidak adilnya semua ini?”
“Saya percaya.”
Mayat itu mengulurkan tangannya.
Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan,
seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi tangan penjaga malam itu dingin
seperti beku. Mayat itu terkejut.
“Kenapa tanganmu dingin sekali?
Kamu takut?”
“Tidak.”
“Kamu heran atau kaget karena
membaca semua ini?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa tanganmu lebih dingin
dari es?”
“Ya memang begini keadaannya?”
“Tapi kenapa?”
“Karena inilah hidup saya.”
Mayat itu terkejut. Ia curiga
kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi.
Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi ketika ia memandangi
mata penjaga itu, ia hampir terpekik. Karena di kedua mata nampak ruang kosong.
“Astaga kamu tidak punya mata
lagi?”
“Tidak.”
“Tapi kenapa kamu masih bisa
melihat?”
“Saya harus bisa melihat meskipun
tidak punya mata.”
“Kenapa?”
“Karena itu kewajiban saya.”
Mayat itu bergidik. Bulu kuduknya
meremang.
“Apa lagi kewajiban kamu?”
“Semuanya!”
Mayat itu tercengang.
“Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu
ngomong seperti seorang budak?!”
“Ya memang.”
“Apa? Kamu budak?”
“Betul. Saya budak.”
“Budak apa? Budak siapa?”
“Budak segala-galanya. Saya budak
komplit.”
Mayat itu bingung. Dia berdiri dan
memperhatikan penjaga itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu
menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu.
Tiba-tiba ia terpekik ngeri.
“Wow! Badan kamu seperti tak punya
tulang. Daging kamu bonyok!”
“Memang!”
“Bukan cuma itu, aku jadi curiga,
jangan-jangan kamu, maaf boleh aku kobok sekali lagi?”
“Silakan.”
Mayat itu mendekat, lalu ngobok
sekali badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar.
Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.
“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya
tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”
“Memang begitu.”
“Apa? Kamu betul-betul tidak punya
perasaan dan pikiran?”
“Betul.”
“Edan!”
“Ya. Jangankan perasaan dan
pikiran. Apa pun saya tidak punya. Lihat kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf
ya... .”
Penjaga malam itu membuka seluruh
pakaiannya. Mayat itu menggigil. Orang itu memang sudah dikebiri total. Seluruh
kemaluannya, termasuk kedua biji buah ampulurnya sudah dicomot. Ia tak punya
segala-galanya.
“Kamu sudah bangkrut
sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa kamu sudah kalah komplit. Apa
kamu bukan manusia?”
“Saya manusia.”
“Apa kamu sakti?”
“Tidak!”
“Lha kenapa kamu bisa hidup?”
“Ya begitulah. Saya harus hidup,
meskipun tidak punya semua itu lagi.”
“Tidak mungkin!”
“Memang tidak mungkin, tetapi apa
boleh buat, wong ini harus, kok. Ini kewajiban saya.”
Mayat itu berpikir keras. Lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Siapa sih sebenarnya kamu?”
“Boleh panggil saya siapa saja,
saya tidak pilih-pilih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja,
silahkan, saya manut-manut saja.”
“Itu namanya pasrah. Apa kamu
orang Jawa?”
Penjaga malam itu berpikir.
“Nah sekarang kamu berpikir!”
“Bukan begitu. Saya memang telmi,
telat mikir.”
“Coba ceritakan sedikit kehidupan
kamu. Gaji kamu berapa sih. Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu
berat. Berapa?”
“Tiga puluh.”
“Tiga puluh juta?”
“Bukan tiga puluh saja.”
“Maksud kamu gaji kamu seperak
satu hari?”
“Ya.”
“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup
hanya dengan gaji begitu?”
“Itu juga dianggap sudah terlalu
banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak
saya juga harus hidup.”
Mayat itu ternganga. Ia
pelan-pelan duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang
bergaji seperak satu hari dengan
tanggungan istri dan 10 anak bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.
“Kamu pasti korupsi?”
“Tidak, Pak. Saya hanya jualan
kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”
“Kalau begitu kamu ngobyek!”
“Terserah, Pak.”
“Kamu korupsi!”
“Apa itu korupsi, Pak?”
“Jelas!”
“Ya sudah.”
Mayat itu termenung. Ia lupa pada
masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang pada orang kecil sering muncul
sifat-sifat luhur yang dahsyat.
"Kamu luar biasa," gumam
mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”
“Memang saya sudah mati.”
“Ah! Apa?”
“Kata saya, saya sudah mati.”
“Kamu sudah mati.”
“Ya.”
“Jadi kamu ini mayat?”
“Betul sekali.”
“Mayat seperti gua ini?”
“Benar!”
“Wow! Kalau begitu kita sama
dong!” teriak mayat itu kegirangan karena merasa mendapat seorang teman secara
tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.
Tetapi sekali ini, penjaga malam
itu tak menyambut uluran tangannya.
“Ayo salaman, kita sama! Tadinya
kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya kita
bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”
Penjaga malam itu menggeleng.
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau
salaman? Ini hanya ekspresi bukan kolusi, jangan takut, tidak akan dituntut.”
“Tidak bisa. Saya tidak bisa
salaman. Jangan keliru.”
“Keliru bagaimana?”
“Saya bukan mayat seperti situ.”
“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”
“Betul.”
“Tetapi bukan?”
“Betul sekali. Saya memang mayat,
tetapi bukan.”
“Kenapa bukan?”
“Karena meskipun saya mayat,
tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”
“O kalau begitu kamu hantu?”
“Apa saya hantu?”
“Ya kamu hantu kalau begitu!”
“Ya sudah. Boleh juga saya disebut
begitu.”
Mayat itu berpikir.
“Kamu jangan main-main. Ini bukan
waktunya untuk guyonan.”
“Tidak. Sumpah, saya
sungguh-sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak
dipercayai. Saya tidak boleh tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak,
memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh
istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas."
Mayat itu bengong.
"Jadi kamu mayat hidup?"
"Ya itu."
"Kenapa kamu mau?"
"Kalau tidak, siapa yang
harus melakukan pekerjaan yang jahanam tidak menguntungkan dan menyakitkan ini.
Baik, Pak. Saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Mayat kok banyak bicara.
Selamat beristirahat, kalau perlu apa-apa jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya
tidak tidur, mayat kan sudah tidak perlu tidur lagi, saya hanya parkir di situ
supaya tidak mengganggu.”
Penjaga malam itu pasang tabek,
lalu berjalan ke sudut yang tadi ditunjuknya, lalu ditangkap oleh gelap.
Mayat itu terpesona.
“Ya Tuhan, kalau begitu, kalau
begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh
dikata agak mendingan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu.
Ia mencuri-curi melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat
tubuh penjaga malam itu mencair dalam gelap.
“Kasihan...”.
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar
dari gelap dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya, perlu
sesuatu?”
Mayat itu terkejut.
“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku
tidak perlu apa-apa lagi!”
Penjaga malam itu mengangguk, lalu
kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat itu merasa malu hati. Diliriknya
komputer yang penuh dengan tumpahan tuntutannya. Setelah melihat nasib penjaga
malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan, seperti tidak ada artinya sama
sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.
Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu
kembali kepada komputernya. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gerakan,
ia menyentuh keybord komputer untuk menghapus semua keluh-kesahnya.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan
di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia
abadi.***
Jakarta, 3 - 11 – 1997
Rumah Tuhan
Oleh: Muhammad Ali
Sampai saat ini, seperempat abad
setelah ia meninggal dunia, masih terang terngiang di telingaku kata-kata yang
selalu diucapkannya dengan suara lantang, nyaris berteriak, seolah-olah ingin
kata-katanya didengar oleh setiap orang di seantero dunia, ia berkata:
"Atur sendiri-sendiri!"
Demikian dikatakannya setiap kali,
berkali-kali, di mana pun kebetulan ia berada. Di trotoar-trotoar, di
emperan-emperan toko, di perempatan jalan, di depan teras-teras rumah yang
pagarnya terkunci atau ketika di dunia santai berleha-leha di pojok-pojok sepi.
Seorang laki-laki tua, lebih
separo abad usianya, ditandai oleh kerit-merut di wajahnya. Ia mengenakan jas
wol tua warna hitam yang bulunya telah lenyap dan kelihatannya terlalu besar
menyungkup pundaknya. Mungkin jas itu diperolehnya dari belas kasihan salah
seorang pegawai Palang Merah Sekutu di zaman pendudukan Nica. Ia mengenakan
topi koboi yang pinggirannya geripis dan warnanya tidak menentu lagi. Memakai
sarung Samarinda biru yang juga telah memat. Ia selalu mencangkingkan sebuah
buntalan besar yang kumal dan entah apa isinya.
Meskipun tua, tapi pengawakannya
tegap dan kekar. Sorot matanya memancar berbinar. Karenanya ia ditakuti orang,
terlebih-lebih anak-anak tidak berani mendekatinya. Mungkin ia mantan pendekar
silat atau bekas tukang pukul pengawal pribadi tokoh yang amat disegani orang.
Dengan terompahnya yang peyot solnya ia berjalan ke sana-sini mengelilingi
kota. Masuk-keluar kampung. Sekali-sekali berhenti di depan kantor, tempat
orang lagi sibuk bekerja. Tidak jarang ia masuk nyelonong begitu saja ke ruang
dalam kantor itu tanpa sedikit pun merasa canggung atau enggan. Kemudian
seperti biasa ia menyerukan kata-kata yang telah dihapalnya di luar kepala:
"Atur sendiri-sendiri!" Hingga pesuruh kantor tergopoh-gopoh
mengusirnya keluar.
Boleh jadi tidak ada yang dapat
memahami arti kata-kata yang diucapkannya, karena kata-kata itu seperti
dilontarkan secara spontan, sekedar iseng semata tanpa maksud tujuan tertentu.
Kata-kata yang sepintas lalu hampa tak bermakna, tidak ada artinya.
Atau dengan kata-kata itu ia
hendak menjelaskan suatu maksud. Sesuatu yang punya arti, begitu berarti dan
perlu diketahui oleh setiap orang. Hanya kata-kata itu yang selalu
diucapkannya, selalu dengan tekanan nada sungguh-sungguh.
Sepintas lalu, bila direnungkan,
seolah-olah kata-kata itu mengandung multi makna yang sulit ditebak artinya.
"Atur sendiri-sendiri!" Bisa
berarti: "Berdiri di atas kaki sendiri!" "Jangan
sekali-kali ndompleng atau bergantung pada orang lain!" Atau: "Benahi
dirimu sendiri, jangan pusingkan orang lain!" "Jangan sok!"
"Berbuatlah sesuai kemampuan!" "Hiduplah secara tertib dan
teratur!" "Tegakkan disiplin!" "Berbuat baiklah selalu,
jangan sombong dan bersikap tak terkendali!" Dan masih banyak lagi arti
lain yang dapat ditarik dan disimpulkan dari kata-kata tersebut.
Oh ya, belum kuceritakan siapa ia
sesungguhnya. Siapa namanya. Dari mana asal-usulnya. Orang hanya mengenalnya
hanya dengan panggilan pendek: "Din!" Tak lebih dari itu. Apakah
"Din" itu kependekan dari nama lengkap Samsudin, Saridin, Sidin,
Brodin atau Ilmudin, tak ada yang tahu.
Ada selentingan, konon di masa
mudanya dulu ia pernah memiliki sebidang tanah yang subur di desanya. Tanah itu
ditumbuhi berbagai jenis pohon buah-buahan. Di sampingnya mengalir sungai kecil
yang jernih airnya. Ia bersama anak-bininya hidup tenteram dan makmur di sebuah
gubuk mungil tak jauh dari tanahnya.
Tapi di zaman Revolusi Kemerdekaan
tahun 1945 desanya diserbu oleh balatentara Sekutu yang diboncengi oleh
serdadu-serdadu Nica. Mereka membumihanguskan seluruh desa, tak terkecuali
gubuknya. Menghancur-leburkan kebun buahnya dan membantai anak-bininya. Berkat
perlindungan Tuhan ia selamat dari bencana itu.
Sejak waktu itulah ia mulai
linglung serupa orang yang kehilangan akal sehat. Diam-diam ditinggalkannya
desa tempat asalnya yang penuh kenangan pahit, lalu berkelana tanpa tujuan
mengikuti ayunan langkah kakinya.
Pengelanaannya tidak berjalan
mulus. Martir habis-habisan Revolusi Kemerdekaan bangsa dan negara itu akhirnya
terdampar di sebuah kota yang sama sekali tak ramah, penuh bertabur onak dan duri.
Di mana-mana ia ditampik dan dihalau.
Ketika berada di jalan-jalan
beraspal di bawah sengatan terik matahari atau diliputi hawa dingin di malam
hari ada saja orang-orang usil yang memperolok-olokkannya, karena penampilannya
yang tidak lazim. Kusir-kusir dokar, tukang-tukang becak, lebih-lebih anak-anak
jalanan, mereka sama menertawakan dan mempergunjingkannya.
Tapi semua itu tak dihiraukannya.
Sebaliknya malah ia menganggap mereka orang-orang gila. Ia tetap lewat
melintasi mereka sambil merunduk penuh kesabaran, meskipun agaknya bisa saja ia
menghajar dan mengobrak-abrik orang-orang usil itu.
Sudah cukup banyak tempat yang
disinggahinya sejak ia meninggalkan desanya beberapa tahun lalu. Siang hari ia
berkeliling mengitari jalan-jalan di kota. Bila malam tiba ia bergegas mencari
tempat berteduh untuk mengistirahatkan tubuh. Tempat peristirahatannya tidak
tetap, selalu berpindah-pindah. Karena ada saja orang yang mengusirnya dari
tempat itu. Penjaga malam yang berpatroli atau orang senasib yang merasa lebih
berhak menguasai tempat itu.
Pernah ia ngumpet di sudut
tersembunyi sebuah bank. Di emperan super market. Di bawah pohon di taman hotel
berbintang. Di halte-halte bus kota. Di emper stasiun kereta api. Di
pemakaman-pemakaman umum. Ia melonjorkan kakinya yang penat berdebu. Bahkan
pernah selama beberapa malam ia tidur di serambi rumah dinas walikota yang
kebetulan tidak dijaga, karena walikota tidak pernah tidur di situ.
Ternyata sebagai gelandangan ia
bisa hidup terus selama bertahun-tahun. Dari mana diperolehnya uang untuk
penyambung hidupnya? Di samping ada orang-orang yang selalu menghalaunya, ada
juga insan-insan yang baik hati yang berbelas-kasih yang kadang-kadang
melemparkan uang recehan atau beberapa batang rokok kepadanya, yang tentu
disambutnya dengan penuh rasa syukur disertai senyuman lebar.
Entah darimana, suatu ketika
tiba-tiba timbul dalam benaknya pikiran itu. Setelah selalu mengalami kesulitan
dalam upaya memperoleh tempat peristirahatan yang aman, senantiasa dihalau,
diusir dari satu tempat ke tempat lain. Maka teringatlah ia pada Rumah Tuhan.
Masjid atau surau dan musala yang jumlahnya cukup banyak di kota itu.
Mengapa ia tidak ke sana saja,
pikirnya, untuk beristirahat di malam hari, sekadar numpang tidur sejenak,
minta naungan dan perlindungan dari Si Empunya Rumah, yaitu Tuhan? Tiadakah
rumah itu milik Tuhan? Bukan milik siapa-siapa? Tiadakah setiap hamba Tuhan
yang baik berhak memperoleh naungan dan perlindungan di rumah-Nya?
Begitulah pada suatu malam dengan
penuh harapan ia melangkah menuju ke salah satu masjid agung di kota itu. Tapi
sial, ia tak bisa masuk ke dalam masjid, karena ada pagar tinggi menghadangnya.
Pagar tinggi tersebut dari besi yang berjeruji lancip ujungnya serupa tombak
lagi terkunci rapat.
Dengan hati sendu dan putus asa,
ia surut, lalu mencoba mencari tempat lain utuk istirahat. Ia menuju ke salah
satu surau yang diingatnya. Letak surau itu di pinggiran kota yang terpencil,
jarang dikunjungi orang dan jelas tidak berpagar besi dengan jeruji yang
ujungnya lancip serupa tombak.
Surau itu lengang dan kosong.
Dibangun dari papan pohon waru dan pintunya terbuka lebar. Berlampu suram,
lantainya dialasi tikar pandan yang telah usang dan koyak-koyak di sana-sini.
Surau itu tampak kurang terpelihara. Di sampingnya ada sebuah kolam tempat air
wudu yang kotor dan bau pesing.
Ia pergi ke kolam untuk mencuci
kaki dan membasuh mukanya, lalu naik ke serambi surau. Dilonjorkannya tubuhnya
sambil berbantalkan buntalannya. Tak lama kemudian terdengar dengkurnya. Memang
tidak setiap orang bisa menikmati tidur begitu cepat dan nikmat pula seperti
yang dialami oleh laki-laki tua yang terlantar itu.
Kebanyakan orang, lebih-lebih
warga kota yang selalu sibuk dan bising penuh polusi, yang pikirannya selalu
buncah dilanda berbagai seribu satu macam kerumitan hidup. Mereka sulit tidur,
bahkan tidak mampu memicingkan mata barang sekejap pun.
Baru ia tergugah geragapan ketika
seruan azan Subuh berkumandang. Di surau itu telah berkumpul sejumlah orang,
kebanyakan orang-orang tua, yang akan melakukan salat subuh berjamaah. Cepat ia
bangkit, lari ke kolam mengambil air wudu, lalu melangkah ke dalam surau,
mengambil tempat di saf yang telah rapi berderet di belakang sang imam.
Ia ikut melakukan salat Subuh
berjamaah. Dalam salat ia benar-benar menyadari akan kerapuhan dirinya di
hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang disembahnya. Ketika sujud ia di bawah
cerpu-Nya, sesaat ia tersedak, teringat akan nasibnya yang malang-melintang.
serasa kini telah didapatkannya kedamaian hakiki yang selama ini menjauhinya. Sampai
akhir hayatnya ia ingin senantiasa suasana kedamaian. Sebenarnya tak pernah ia
dengan sadar melakukan perbuatan-perbuatan salah, apalagi kejahatan.
Selesai salat ia masih duduk
bersimpuh khusyuk mengikuti sang imam yang memanjatkan doa ke hadirat Tuhan.
Dan ketika salat rampung sudah, para jamaah sama mengarahkan pandangan mereka
nanap kepadanya. Sama sekali tidak terbayang raut kebencian atau kerisihan pada
wajah mereka. Mereka hanya memandang sesaat lamanya.
Seorang laki-laki tua yang
kepalanya beruban menghampirinya. Lalu menyalaminya dengan akrab seraya
berkata, "Saya adalah penjaga surau ini. Jika Saudara kehendaki, Saudara
boleh beristirahat di sini setiap malam...."
Mendapat tawaran yang tak
terduga-duga itu hampir ia berjingkrak kegirangan. Bibirnya terkatup tak dapat
menyampaikan terima kasih. Diraupnya tangan penjaga surau itu lalu menciumnya.
Sejak waktu itu ia tak usah lagi
berkeliaran mencari tempat berteduh. Setiap malam ia langsung pergi ke surau
itu untuk beristirahat. Sesudah salat Subuh ia meninggalkan surau melakukan
kebiasaannya, berkeliling kota tanpa tujuan.
Suatu ketika, tidak seperti
biasanya, ia tiba di surau sebelum waktu salat Zuhur. Ia duduk bersandar ke
dinding papan. Menghapus keringat di jidatnya dan menghela napas panjang, walau
angin sejuk berhembus mengipasinya.
Sesaat dipejamkannya kedua belah
matanya. Agak lama matanya terpejam. Seakan-akan sambil terpejam sempat
disaksikannya di ruang matanya lakon kehidupannya yang sedang berputar.
Hidupnya yang hancur berantakan dan porak-poranda. Keluarganya punah. Hartanya
musnah. Nasibnya tercabik-cabik di tengah kehidupan kota yang tak berbelas
kasih.
Harapan-harapan, ilusi dan begitu
banyak hal indah mempesona telah meninggalkannya. Ia tersingkir, terpencil dan
dikucilkan dari arena pergaulan hidup manusia. Seolah-olah ia sesuatu yang
najis dan menjijikkan. Satu-satunya yang masih tinggal padanya ialah
kepercayaannya kepada Tuhan, kepasrahan dan ketergantungannya pada
kekuasan-Nya. Keyakinan dan kebesaran-Nya, limpahan karunia kasih sayang-Nya
serta ampunan-Nya yang tiada batas akhirnya.
Di tengah kehiruk-pikukan dunia
serba fana, ia mengelana seorang diri. Tak seorang pun peduli. Hanya Tuhan
satu-satunya yang dekat padanya. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan pelita
penerang baginya yang selalu bersamanya dalam kegelapan kehidupannya, selalu
dipupuknya, melindunginya dari kegetiran dan kesengsaraan hidup.
"Benarkah Tuhan
melihatku?" tanya hati kecilnya, "Cukup bagiku Tuhan melihatku."
jawabnya. Ia yakin lewat pelita penerangnya Tuhan selalu melihat
gerak-geriknya, menguntitnya ke mana ia pergi dan di mana ia berada.
Benar telah dilihatnya keraguan
sementara orang, terutama mereka yang termakan oleh apa disebut kemajuan ilmu
pengetahuan. Mereka ragu terhadap hikmat pengertian yang telah diberkati.
Sementara asyik memikirkan tentang
kehidupan serta kesesatan manusia dalam abad yang kisruh ini --yang disebut
abad teknologi-- yang sekaligus membelakangi norma-norma agama. Serasa ia
bermimpi melihat sosok yang aneh berwujud penjaga surau yang kepalanya ubanan.
Orang tua itu berkata:
"Ketahuilah olehmu, hai pengelana. Ini merupakan masa paling buruk. Hal
ini tentu telah engkau ketahui. Seorang ilmuwan tersohor muncul dan menyatakan,
bahwa ia telah mempelajari dan meneliti bumi dan langit dari segala segi, tapi
tidak pernah menemukan tanda-tanda adanya Tuhan. Sungguh keterlaluan! Padahal
ia dapat menemukan Tuhan dalam dirinya, dalam hati nurani dan jiwanya, bahkan
di urat-nadinya.
"Belum lama ini, dan akan
selalu terjadi, ketika manusia sama ketakutan, hingga menggigil sekujur
sendinya, ketika badai mengamuk dan gempa bumi menggelegar. Tapi akhirnya
mereka menemukan penangkal petir dan guntur dan mereka tidak lagi merasa takut
kepada Tuhan. Mereka juga mempelajari sebab-sebab turunnya hujan dan angin
topan dan tidak lagi menggubris Tuhan.
"Mereka telah mendarat di
permukaan bulan. Mereka coba mendekati planet Mars. Mereka mengira telah
berhasil mencapai ketinggian yang luar biasa. Padahal mereka masih tetap
mengorbit di seputar atmosfir bumi. Mereka malah sama sekali belum menyentuh
tubir ruang angkasa semesta yang didindingi tujuh lapis langit. Sebenarnya
mereka belum berbuat sesuatu yang berarti, tapi telah keburu sombong dan
berlagak.
"Kini, mari kita tinggalkan
dunia yang fana ini," kata sosok penjaga surau, "Bukankah di sini
kita tidak mendapat tempat yang layak? mari kita pergi menghadap ke
hadirat-Nya. Di sana segala sesuatu kekal abadi, indah sempurna tiada
tara...."
Mendengar ajakan itu jiwanya
terasa luluh. Jiwanya serasa lepas terbang ke sawang lapang tak terbatas.
Ketika saat salat Zuhur tiba,
orang-orang datang bergerombol ramai-ramai mengerumuni sosok tubuh yang
tersandar di dinding papan serambi surau. Kedua belah matanya rapat terpejam,
seolah-olah ia tertidur lelap. Tapi ia takkan pernah bangun dari tidurnya.
Laki-laki tua yang sering melontarkan kata-kata: "Atur
sendiri-sendiri!" telah menghembuskan napasnya terakhir dengan penuh
kedamaian di Rumah Tuhan yang sejuk dan damai.***
Horison, Juni 2000
Wawancara dengan Sinterklas
Sebuah Renungan Sebelum Hari Natal
Oleh: Erich Kästner ( 1899 - 1974 )
Bel pintu sudah berbunyi lagi.
Yang kesembilan kalinya dalam satu jam terakhir ini! Hari ini, begitulah
tampaknya, para pencinta tombol bel pada berkeliaran di jalanan. Dengan murung
aku merangkak menuju pintu dan membukanya.
Bayangkan, siapa yang berdiri di
luar? Sinterklas pribadi! Dalam pakaian kebesarannya yang bersejarah dan
terkenal itu. "Oh," kataku. "Sinterklas yang terburu-buru!"
"Yang kudus, kalau saya boleh
minta." Nadanya sedikit tersinggung.
"Ketika masih muda aku selalu
menyebut Anda sebagai Sinterklas yang terburu-buru. Aku pikir itu lebih masuk
akal."
"Jadi, Andalah
orangnya?"
"Anda masih ingat hal
itu?"
"Tentu saja! Anak laki-laki
kecil yang lucu, begitulah Anda waktu itu!"
"Sekarang pun aku masih tetap
kecil."
"Dan sekarang Anda tinggal di
sini?"
"Betul sekali." Kami
tersenyum pasrah dan mengenang masa-masa yang telah berlalu. "Mampirlah
sebentar!" pintaku. "Marilah minum secangkir kopi bersamaku!"
Jujur saja, sebenarnya aku merasa kasihan kepadanya.
Apa yang harus kukatakan? Dia
tidak pergi. Dia berkenan untuk singgah. Pertama-tama dia membersihkan sepatu
botnya di keset depan pintu, lalu meletakkan karungnya di samping gantungan
mantel, menggantungkan ranting pelecutnya di sebuah gantungan, dan akhirnya dia
minum kopi bersamaku di kamar tamu.
"Anda mau cerutu?"
"Aku tidak akan
menolaknya."
Kuambil kotak cerutu. Dia
mengambil sebatang. Aku memberinya api. Lalu dengan bantuan sepatu bot yang
kiri dia melepaskan sepatu botnya yang kanan dan menghembuskan nafas dengan
lega.
"Ini gara-gara ganjalan untuk
telapak kakiku yang rata. Ganjalan ini sama sekali tidak nyaman."
"Kasihan sekali Anda! Apalagi
dengan pekerjaan Anda yang seperti itu."
"Tetapi dibandingkan dulu, sekarang
hanya ada sedikit pekerjaan. Dan itu baik untuk kakiku. Sekarang
sinterklas-sinterklas palsu itu tumbuh seperti jamur saja layaknya."
"Suatu hari anak-anak akan
berpikir bahwa Anda, Sinterklas yang asli, sama sekali tak ada lagi."
"Itu juga betul! Orang-orang
itu merusak pekerjaanku! Kebanyakan dari mereka yang memakai mantel bulu,
memakai jenggot dan meniruku itu, tidak mempunyai bakat barang sedikit pun!
Mereka adalah orang-orang yang tidak profesional!"
"Karena kita sedang berbicara
tentang pekerjaan Anda," kataku, "aku punya pertanyaan kepada Anda,
pertanyaan yang sudah sejak masa kecilku menyibukkanku. Dulu aku tidak berani
bertanya. Tetapi sekarang aku sudah lebih berani karena aku menjadi
wartawan."
"Tidak apa-apa," katanya
dan menambah kopi lagi. "Apa yang Anda sudah ingin tahu sejak waktu
kecil?"
"Begini," aku memulai
dengan ragu-ragu, "pekerjaan Anda itu sebenarnya sejenis bisnis musiman
yang tidak tetap, bukan? Pada bulan Desember, Anda punya banyak sekali
pekerjaan. Semuanya bertumpuk hanya pada beberapa minggu saja. Pekerjaan itu
bisa disebut sebagai bisnis dadakan. Lalu..."
"Hm?"
"Lalu, aku benar-benar ingin
tahu, apa yang Anda kerjakan pada bulan-bulan lainnya!"
Sinterklas tua yang baik itu
memandangku dengan terpana. Kelihatannya, tidak ada seorang pun yang pernah
mengajukan pertanyaan yang begitu mudah dimengerti itu kepadanya. "Kalau
Anda tak mau membicarakannya... ."
"Mau, mau kok," katanya
dengan suara seperti menggeram. "Kenapa tidak?" Dia minum seteguk
kopi dan mengepulkan asap rokok berbentuk lingkaran. "Pada bulan November,
tentu saja aku sibuk dengan pengadaan bahan-bahan. Di beberapa negara tiba-tiba
tidak ada coklat lagi. Tak seorang pun tahu mengapa. Atau apel ditimbun oleh
para petani. Lalu segala macam masalah dengan pemeriksaan bea cukai. Dan
setumpuk dokumen untuk transportasi barang-barang. Dan kalau berjalan seperti
itu terus, nanti aku harus memulainya sejak bulan Oktober. Sebetulnya, sampai
sekarang pada bulan Oktober aku menarik diri dan dengan tenang membiarkan janggutku
tumbuh."
"Anda hanya berjanggut dalam
musim dingin saja?"
"Tentu saja. Aku `kan tidak
bisa sepanjang tahun pergi ke sana-ke mari sebagai Sinterklas. Anda pikir, aku
memakai mantel buluku terus menerus? Dan selama 365 hari menyeret-nyeret karung
dan ranting pelecutku ke mana-mana? Nah, begitulah. Di bulan Januari aku
membereskan pembukuan. Sungguh mengerikan. Dari abad ke abad, Hari Natal
menjadi semakin mahal!"
"Tentu saja."
"Lalu, aku membaca
surat-surat yang datang pada bulan Desember. Terutama surat dari anak-anak.
Pekerjaan yang sungguh memakan waktu, tetapi penting. Karena kalau tidak,
kontak dengan langganan akan terputus."
"Logis."
"Awal Februari aku pergi ke
tukang cukur untuk mencukur jenggotku."
Pada saat itu, bel pintu berbunyi
lagi. "Permisi ya?" Dia mengangguk. Di luar, di depan pintu, berdiri
seorang pedagang keliling dengan kartu pos bergambar yang berwarna-warni
mencolok mata, dan dia bercerita tentang sebuah kisah yang sangat panjang dan
sangat menyedihkan. Bagian pertama dari kisahnya itu kudengarkan dengan tabah
sambil "menahan sakit" pada kupingku. Lantas aku memberinya uang
kecil yang ada dalam saku celanaku, dan kami saling mengucapkan selamat juga
untuk masa depan kami. Walaupun aku sudah berkeras menolaknya, dia tetap
memaksakan setengah lusin dari kartu-kartu posnya yang mengerikan itu kepadaku.
Dia, katanya, bagaimanapun bukanlah seorang pengemis. Aku menghormati harga
dirinya yang indah itu dan mengalah. Akhirnya dia pergi.
Ketika aku kembali ke kamar tamu,
Sinterklas sedang mengenakan sepatu bot kanannya sambil merintih. "Aku
harus meneruskan perjalanan," katanya, "kakiku toh tidak bertambah
baik. Apa itu yang Anda pegang?"
"Kartu pos. Seorang pedagang
keliling memaksaku untuk menerimanya."
"Sini, berikan kepadaku. Aku
tahu orang yang mau menerimanya. Terima kasih banyak untuk keramahan Anda.
Kalau saja aku bukan Sinterklas, aku pasti akan iri kepada Anda."
Kami berjalan ke koridor, di mana
dia mengambil perlengkapannya. "Sayang," kataku. "Anda masih
berhutang kelanjutan kisah hidup Anda." Dia mengangkat bahu.
"Sebetulnya tidak banyak yang
banyak bisa diceritakan. Pada bulan Februari aku mengurus pesta karnaval
anak-anak. Setelah itu, berkeliling di pasar saat musim semi. Berjualan balon
dan mainan mekanik murah. Pada musim panas aku menjadi pengawas kolam renang
dan memberi kursus berenang. Kadang-kadang aku pun berjualan es krim di jalan.
Ya, dan setelah itu musim gugur datang lagi - sekarang aku benar-benar harus
pergi."
Kami berjabatan tangan. Dari
jendela, pandanganku mengikutinya. Dia berjalan di salju dengan langkah lebar
dan tergesa-gesa. Di pojok Jalan Unger, seorang lelaki menantinya. Orang itu
mirip si pedagang keliling yang banyak omong dengan kartu posnya yang konyol
itu. Mereka berdua membelok di tikungan sudut jalan. Atau mungkin aku keliru?
Seperempat jam kemudian bel sudah berbunyi lagi. Kali ini yang muncul adalah
anak muda pesuruh toko makanan
Zimmermann Söhne. Sebuah kunjungan yang menyenangkan! Aku akan membayar, tetapi
dompetku tak kutemukan dengan segera.
"Kan masih ada waktu, Pak
Doktor," katanya dengan nada kebapakan.
"Aku yakin bahwa aku
meletakkannya di atas meja tulis!" kataku.
"Baiklah, kalau begitu akan
kubayar besok saja. Tapi tunggulah sebentar, saya ambilkan sebuah cerutu
istimewa untuk Anda!" Kotak cerutu itu pun tak segera kutemukan. Itu
artinya, nanti pun tak akan kutemukan. Tidak cerutu. Tidak juga dompet. Tempat
rokok dari perak pun tidak bisa kutemukan. Dan kancing-kancing manset dengan
batu bulan yang besar-besar dan mutiara-mutiara untuk jas berekor pun tak ada,
baik di tempatnya atau pun di tempat lain. Setidaknya, tidak di rumahku.
Aku tidak bisa menerangkan, ke
mana barang-barang itu menghilang. Tetapi bagaimanapun, malam ini adalah malam
yang tenang dan indah. Bel pintu tak berbunyi lagi. Sungguh, sebuah malam yang
baik. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang. Tetapi apa? Sebatang cerutu? Tentu
saja! Untunglah geretan emas itu pun tidak ada lagi. Karena kalau ada, walaupun
aku seorang yang tenang, aku harus mengakui: punya api, tapi tak punya rokok,
itu bisa merusak seluruh malam!***
Kisah-kisah dari Buku Bacaan
Wolfgang Borchert ( 1921 - 1947 )
Judul asli:
"Lesebuchgeschichte". Diterjemahkan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan
Sastra Jerman, Jurusan Bahasa
Indonesia, Seminar fuer Orientalische Sprachen (Seminar untuk Bahasa-bahasa
Timur) Universitas Bonn (Silke Brand,
Britta Debus, Helgard Haas, Birgit Lattenkamp, Klaus Mundt, di bawah bimbingan
Dewi Noviami)
"Semua orang sudah mempunyai
mesin jahit, radio, lemari es dan telepon. Bikin apa kita sekarang?" tanya
Pemilik Pabrik.
"Bom," kata Penemu.
"Perang," kata Jenderal
"Kalau tak ada pilihan
lain," kata Pemilik Pabrik.
Lelaki dengan jas kerja putih
menulis angka di atas kertas. Dia menambahkan huruf-huruf yang sangat kecil dan
halus. Lalu dia membuka jas kerja putihnya dan selama satu jam merawat bunga
yang ada di ambang jendela. Ketika dia melihat sekuntum bunga mati, dia sedih
sekali dan menangis.
Dan di atas kertas ada
angka-angka. Kemudian hanya dengan setengah gram, seribu orang bisa terbunuh
dalam waktu dua jam.
Matahari menyinari bunga.
Dan kertas.
***
Dua laki-laki bercakap-cakap.
"Ongkosnya?"
"Dengan ubin?"
"Dengan ubin hijau, tentu.
"
"Empat ribu."
"Empat ribu? Baiklah. Ya,
Sobat, jika saja saya tidak mengubah coklat menjadi mesiu pada waktu yang
tepat, saya tak akan mampu memberi Anda uang empat ribu ini."
"Dan saya tidak dapat memberi
Anda kamar mandi."
"Dengan ubin hijau."
"Dengan ubin hijau."
Kedua laki-laki itu berpisah.
Mereka adalah seorang pemilik
pabrik dan seorang pengusaha bangunan.
Saat itu zaman perang.
***
Lintasan boling. Dua laki-laki
bercakap-cakap.
"Nah, Pak Guru, berpakaian
hitam-hitam, sedang berkabung?"
"Sama sekali tidak.… Sama
sekali tidak. Ada upacara. Para pemuda maju ke garis depan. Berpidato pendek.
Ingat Sparta. Mengutip Clausewitz. Menyampaikan beberapa istilah: kehormatan,
tanah air. Membacakan Hölderlin. Mengingatkan pada Langemarck. Upacara yang
mengharukan. Sangat mengharukan. Para pemuda bernyanyi: Tuhan yang memberi
senjata. Banyak mata bersinar. Mengharukan. Sangat mengharukan."
"Demi Tuhan, Pak Guru,
berhentilah. Menyeramkan."
Pak Guru memandang yang lain
dengan ngeri. Sambil bercerita dia menggambar banyak salib kecil di atas
kertas. Banyak salib kecil. Dia bangkit dan tertawa. Dia mengambil bola baru
dan menggelindingkannya di atas lintasan. Menimbulkan gemuruh halus. Lalu, di
belakang, gada-gada kecil berjatuhan. Kelihatannya seperti lelaki-lelaki kecil.
***
Dua laki-laki bercakap-cakap.
"Nah, bagaimana?"
"Tidak begitu sukses."
"Anda masih punya
berapa?"
"Kalau lancar: empat
ribu."
"Berapa Anda bisa memberi
saya?"
"Paling banyak delapan
ratus."
"Pasti akan habis."
"Jadi, seribu."
"Terimakasih.'
Kedua laki-laki itu berpisah.
Mereka berbicara tentang manusia.
Mereka adalah para jenderal.
Saat itu adalah zaman perang.
***
Dua laki-laki bercakap-cakap.
"Sukarelawan?"
"Tentu."
"Berapa umurmu?"
"Delapan belas. Dan
kamu?"
"Sama."
Kedua laki-laki itu berpisah.
Mereka adalah prajurit.
Yang satu rubuh. Dia mati.
Saat itu adalah zaman perang.
Ketika perang berakhir, prajurit
itu pulang ke rumah. Tapi dia tidak punya roti. Pada waktu itu dia melihat
seorang yang punya roti. Orang itu dibunuhnya.
"Kamu tidak boleh
membunuh," kata Hakim.
"Kenapa tidak," tanya
Prajurit.
***
Ketika konferensi perdamaian
berakhir, para menteri jalan-jalan di kota. Pada waktu itu mereka melewati
sebuah stand menembak.
"Mau menembak, Tuan?"
seru gadis-gadis berbibir merah.
Para menteri itu mengambil senjata
dan menembak lelaki-lelaki kecil dari karton.
Ketika mereka sedang menembak,
seorang perempuan tua datang dan mengambil senjata mereka. Ketika salah seorang
menteri meminta kembali senjatanya, perempuan itu menamparnya.
Dia adalah seorang ibu.
***
Pada suatu ketika ada dua manusia.
Waktu mereka berumur dua tahun, mereka saling memukul dengan tangan.
Waktu mereka dua belas tahun,
mereka saling memukul dengan tongkat dan saling melempar batu.
Waktu mereka dua puluh dua tahun,
mereka saling menembak dengan senjata.
Waktu mereka empat puluh dua
tahun, mereka saling melempar bom.
Waktu mereka enam puluh dua tahun,
mereka menggunakan bakteri.
Waktu mereka delapan puluh dua
tahun, mereka mati. Mereka dikuburkan berdampingan.
Ketika seratus tahun berlalu,
seekor cacing tanah makan di kuburan mereka. Cacing tanah itu sama sekali tidak
merasakan bahwa di situ dua manusia yang berbeda dikuburkan. Tanahnya sama.
Semuanya tanah yang sama.
Ketika tahun 5000 seekor tikus
mondok muncul dari tanah, dia mengamati dengan tenang:
Pohon-pohon masih tetap
pohon-pohon.
Burung-burung gagak masih
menggaok.
Dan anjing-anjing masih mengangkat
kakinya.
Ikan-ikan kecil dan
bintang-bintang.
Lumut dan laut
dan nyamuk-nyamuk:
Semuanya masih tetap yang sama.
Dan kadang-kadang -
kadang-kadang seorang manusia bisa
dijumpai.*** Judul asli: "Interview
mit einem Weihnachtsmann". Diterjemahkan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan
Sastra Jerman, Jurusan Bahasa Indonesia, Seminar fuer Orientalische Sprachen
(Seminar untuk Bahasa-bahasa Timur)
Universitas Bonn (Silke Brand, Birgit Lattenkamp, Beate Meik, di bawah
bimbingan Dewi Noviami).
A b a d k u
Oleh: Günter Grass ( 1927 - ...
)
1 9 1 4
Akhirnya, setelah dua rekan di
lembaga penelitian kami sudah berulang kali dan sia-sia berusaha, pada
pertengahan tahun enam puluhan saya berhasil menggugah kedua pengarang lanjut
usia itu —Juenger dan Remarque— agar mau bertemu. Mungkin saya lebih beruntung
karena saya perempuan dan masih muda, apalagi saya warga negara Swiss - suatu
negara yang netral. Meskipun saya menggambarkan garis besar rencana penelitian
kami hanya sesuai ketentuan umum, mungkin surat-surat saya didengar sebagai
ketukan takut-takut lembut di pintu; dalam waktu beberapa hari dan hampir
bersamaan datang dua surat jawaban yang menyatakan bahwa undangan saya
diterima.
Perihal kedua tokoh mengesankan
yang sudah “is bitzeli fossil” inilah saya beritakan kepada rekan-rekan di
lembaga penelitian. Saya telah memesan kamar-kamar yang tenang di hotel “Zum
Storchen”. Biasanya kami duduk-duduk di serambi restoran roti dan kue, sambil
memandang sungai Limnat, balai kota dan hotel “Zum Rueden”. Remarque—waktu itu
usianya enam puluh tujuh tahun—datang dari arah kota Locarno. Ia jelas
kelihatan sebagai seorang yang menikmati kesenangan hidup; tampaknya lebih tua
dan lemah daripada Juenger yang kelihatan gagah meskipun baru saja telah
melampaui usia tujuh puluhan dan menampilkan diri sebagai seorang suka olah
raga. Karena tinggal di daerah Wuerttemberg, Juenger datang liwat kota Basel,
sesudah berjalan kaki mendaki bukit Vogesen menuju ke Hartmannsweilerkopf, yaitu
daerah yang dulu diperebutkan dengan
sengit, dengan banyak pertumpahan darah.
Pada pertemuan pertama, percakapan
mereka sangat kaku dan tersendat. Tamu-tamu kehormatanku—keduanya saksi zaman
dan pelaku sejarah—berbincang-bincang
sambil beradu pengetahuan tentang jenis-jenis anggur yang dihasilkan di
Swiss: Remarque memuji berbagai jenis anggur yang berasal dari daerah Tessin,
sedangkan Juenger lebih suka welsche Dole. Kelihatan betul bahwa keduanya
sangat berusaha memperlihatkan sopan santun dan daya pikat mereka
masing-masing. Usaha mereka “uff Sehwyzerduetsch zu schwaetze” amat lucu, akan
tetapi sekaligus menyusahkan. Namun, ketika saya mengutip awal sebuah lagu yang
selama Perang Dunia I sering dinyanyikan dan tidak diketahui penciptanya, yaitu
“Flandrischer Totentanz”, pertama-tama Remarque mulai bersenandung; tidak lama
kemudian juga Juenger turut menyanyikan lagu yang melodinya sangat sedih dan
mencekam. Keduanya masih mengetahui larik-larik yang mengakhiri tiap bait:
“Flandern in Not, in Flandern reitet der Tod” (“Flandern dilanda bahaya, di
Flandern maut merajalela”). Kemudian keduanya memandang ke arah gereja
Grossmuenster; puncak-puncak menara gereja itu menjulang tinggi di atas
rumah-rumah penduduk kawasan Schiffslaende.
Sesudah perenungan beberapa saat
diselingi dehem-mendehem, Remarque mulai bercerita bahwa pada musim gugur tahun
empat belas ia masih di bangku sekolah di kota Osnabrueck, ketika dekat
Bixschoote dan Ypern terjadi pertempuran seru yang mengakibatkan pertumpahan
darah habis-habisan di pihak resimen-resimen tentara sukarela Jerman; juga,
bahwa legenda kepahlawanan di Langemarck, yang mengabarkan bahwa berondongan
tembakan senapan mesin dari pihak Inggris dibalas sambil menyanyikan lagu
kebangsaan*, memberi kesan yang sangat mendalam kepadanya. Barangkali sebab
itu, juga karena disemangati oleh para guru, banyak murid sekolah menengah umum
ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai tentara sukarela. Dari tiap dua orang,
satu tidak kembali. Dan mereka yang kembali, seperti Remarque sendiri, yang
tidak berkesempatan masuk sekolah menengah umum, sampai sekarang hancur jiwa
raganya. Setidak-tidaknya Remarque memandang dirinya sendiri sebagai “mayat
hidup”. Juenger sambil tersenyum halus menceritakan beberapa pengalaman masa
sekolah kepada Remarque; meskipun Juenger menamakan kultus kepahlawanan
Langemarck “bualan kaum nasionalis”, ia mengakui juga bahwa lama sebelum
permulaan perang, ia sudah sangat ingin mengalami keadaan bahaya dan sangat
tertarik pada petualangan-petualangan luar biasa dan “bahkan ingin masuk Legiun
Asing Prancis”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika akhirnya perang meletus, kami
merasa dilebur menjadi satu kekuatan besar. Meskipun perang itu kemudian
membawa penderitaan, pertempuran sebagai pengalaman jiwa tetap memikat saya,
bahkan sampai pada hari-hari terakhir sebagai komandan pasukantempur. Akui
sajalah, Remarque, bahkan dalam novel Im Westen nichts Neues—novel pertama Anda
yang memang hebat—Anda bercerita penuh perasaan dan gejolak batin tentang
persahabatan sehidup semati di antara para prajurit.” Novel ini, kata Remarque, isinya bukan
kumpulan pengalaman pribadi, melainkan pengalaman di garis depan dari suatu
generasi yang diperalat. “Dinas di rumah
sakit tentara sudah cukup sebagai sumber ilham saya.”
Kedua pengarang tua itu memang
tidak mulai berselisih, akan tetapi mereka menekankan bahwa pandangan mereka
mengenai perang berbeda, bahwa gaya penulisan mereka berlawanan, dan bahwa juga
titik tolak mereka berlainan. Kalau yang satu masih tetap memandang dirinya
sebagai seorang “pencinta damai yang tidak dapat berubah ataupun diubah”, yang lain menuntut dimengerti dan dipahami
sebagai “anarkis”.
“Omong kosong!” teriak Remarque.
“Dalam Stahlgewittern, sampai serangan terakhir yang diperintahkan Ludendorff,
Anda tetap berpetualang seperti preman bajingan. Tanpa pikir panjang dan tanpa
rasa bersalah Anda telah mengerahkan satu pasukan tempur, hanya guna menangkap
satu-dua orang musuh—sekedar untuk melampiaskan nafsu sadis dan sekaligus guna
menjarah sebotol Cognac!” Namun kemudian
ia mengakui bahwa di buku hariannya Juenger telah menggambarkan pertempuran
parit, bahkan juga ciri-ciri pertempuran yang membawa banyak korban dan
kerugian itu, dengan sangat teliti.
Menjelang akhir pertemuan
pertama—kedua pengarang itu masing-masing telah menghabiskan sebotol anggur
merah—Juenger berbicara tentang Flandern lagi: “Ketika dua tahun kemudian kami
masuk ke dalam parit-parit di garis depan daerah Langemarck, kami menemukan
senapan, kopelrim dan selongsong peluru yang berasal dari pertempuran tahun empat belas. Bahkan juga Pickelhauben
ditemukan, perlengkapan tentara sukarela yang dalam kekuatan resimen telah maju
ke garis depan …”
1 9 1 5
Pertemuan berikutnya berlangsung
di Odeon, sebuah kafe yang sejak dulu sudah terkenal. Di sinilah dulu Lenin
menunggu keberangkatannya ke Rusia —perjalanan yang dikawal tentara kekaisaran
Jerman— sambil membaca-baca Neue Zuercher Zeitung dan surat kabar lain serta
diam-diam merencanakan revolusi. Sebaliknya pikiran kami bertiga bukan mengenai
masa depan, melainkan seputar masa lalu. Namun, pertama-tama kedua tamu saya
sepakat bahwa pertemuan ini akan dimulai dengan sarapan pagi yang disertai
minuman anggur. Disetujui pula bahwa saya diizinkan minum air jeruk.
Seakan-akan menjadi saksi, kedua
buku yang pernah menyulut perdebatan sengit antara kubu pro dan kontra
perang, terletak di atas meja marmer di
antara roti croissant dan keju. Namun Im Westen nichts Neues tiras
penerbitannya jauh lebih tinggi daripada In Stahlgewittern. “Betul,” kata
Remarque, “buku itu laris. Padahal buku saya dalam tahun 1933 termasuk buku
yang dibakar secara resmi, sehingga selama dua belas tahun terpaksa berhenti
beredar di pasaran buku Jerman; terjemahannya ke dalam beberapa bahasa asing
mengalami nasib yang sama, sedangkan madah perang karangan Anda jelas tidak
pernah terhambat penerbitannya.”
Juenger tidak menjawab. Kemudian
saya berhasil mengalihkan pembicaraan ke perang parit di Flandern dan di tanah
kapur daerah Champagne, sambil meletakkan beberapa bagian peta medan perang di
meja yang sudah agak kosong setelah perangkat sarapan pagi disingkirkan. Ketika
serangan dan pertahanan di pinggir sungai Somme mulai diperbincangkan, Juenger
langsung melontarkan sebuah kata yang tidak lepas dari pembicaraan selanjutnya:
“Pickelhaube yang amat menjengkelkan ini, yang sudah tidak dipakai lagi ketika
Anda jadi tentara, Remarque! Pelindung kepala itu dalam divisi kami di garis
depan sudah sejak lima belas Juni diganti dengan helm baja. Helm baja itu hasil
percobaan seorang kapten arteleri bernama Schwerd setelah percobaan-percobaan
sebelumnya tidak memberi hasil yang memuaskan. Kami berlomba dengan orang
Prancis yang juga mulai memakai helm baja. Karena Krupp tidak mampu menemukan
campuran logam yang cocok untuk menghasilkan baja anti karat, perusahaan-perusahaan
lain yang mendapat ordernya, antara lain pabrik besi Thale. Mulai enam belas
Februari semua divisi di garis depan memakai helm baja. Semua pasukan di depan
kota Verdun dan di pinggir sungai Somme mendapat prioritas, yang berada di front
Timur terpaksa palinglama menunggu. Andaikan Anda tahu, Remarque, berapa banyak
korban jiwa telah jatuh karena helm kulit yang tidak ada gunanya itu, apalagi
dalam pertempuran parit! Bahkan karena kekurangan kulit, bahannya kadang-kadang
diganti dengan bahan campuran wol dan serat lain yang dipres. Setiap tembakan
jitu, berkurang satu orang. Setiap pecahan peluru tembus.”
Kemudian ia berbicara langsung
kepada saya. Juga Schweizerhelm yang sampai sekarang dipakai militer, bahkan
juga penyangga yang diberi lubang ventilasi, pada dasarnya mengikuti model helm
baja kami, meskipun bentuknya agak diubah.”
Sanggahan saya “Untung helm kami
tidak terpaksa diuji coba dalam pertempuran-pertempuran yang membawa
pengorbanan dahsyat dan kerugian besar seperti yang Anda gambarkan dengan
kekuatan bahasa yang begitu meyakinkan” diabaikannya. Remarque sengaja tetap
membisu. Selanjutnya Juenger menghujani Remarque dengan berbagai keterangan
rinci; mulai dari proses anti karat yang menghasilkan permukaan luar yang kusam
berwarna kelabu, sampai ke bagian yang mencuat ke belakang guna melindungi
tengkuk dan lapisan dalam berupa bantalan berisi rambut kuda atau terbuat dari
campuran wol dan serat-serat lain yang dipres. Lalu ia mengeluh tentang
hambatan penglihatan di waktu pertempuran parit; hal itu disebabkan oleh
lebarnya bagian dahi yang mencuat ke depan, karena bagian depan helm itu harus
memberi perlindungan sampai ke ujung hidung. “Nah, Anda tentu tahu bahwa pada
saat-saat manuver selama serangan gempur, topi baja yang hebat ini sangat
mengganggu. Meskipun harus diakui sebagai tindakan ceroboh, saya lebih suka
memakai peci letnan saya yang sudah tua - sutera lagi lapisan dalamnya!” Lalu
ia teringat pada sesuatu yang dianggapnya lucu: “O ya, di meja tulis saya ada
kenang-kenangan, sebuah helm Inggris yang bentuknya sama sekali lain, hampir
pipih; ada lubang bekas peluru tentu.”
Setelah agak lama tidak ada yang
berbicara—kedua pengarang itu sedang menikmati Pfluemli dan kopi hitam—akhirnya
Remarque mengatakan: “Helm baja jenis M 16, sesudah itu M 17, jauh terlalu
besar untuk pasukan pengganti yang terdiri dari prajurit-prajurit muda yang
baru direkrut dan yang kadang-kadang bahkan belum selesai dilatih. Melorot
terus. Wajah-wajah mereka yang masih lugu seperti anak sama sekali tertutup
oleh helm itu, yang tinggal kelihatan cuma bibir mereka yang meringis ketakutan
dan dagu mereka yang gemetar. Lucu dan memelas sekaligus. Bahwa peluru yang
ditembakkan oleh pasukan infanteri dan bahkan pecahan-pecahan kecil peluru
meriam tetap menembus topi baja itu, mestinya Anda ketahui juga... .”
Ia memanggil pelayan dan memesan
Pfluemli lagi. Juenger juga. Saya, si none, dipesankan air jeruk yang baru
diperas segelas lagi.*** Diterjemahkan oleh Dewi Noviami.
Jak, Sang Calo
Oleh: Heinrich Böll (1917 -
1985)
Bersama petugas pengantar makanan,
dia datang pada malam hari untuk menggantikan Gornizek yang berjaga di
belakang, di pos komando. Malam-malam itu begitu gelap dan rasa takut seperti
hujan badai berguntur di bumi yang muram dan asing. Aku berdiri di depan, di
pos pengintaian, dan mendengarkan ke arah belakang di mana terdengar
suara-suara yang ditimbulkan petugas pengantar makanan itu, juga ke arah depan
yang gelap dan sunyi, di mana orang-orang Rusia berada.
Gerhard, dialah yang mengantarkan
orang itu, dan selain membawa peralatan makan, dia pun membawa rokok. "Kau
mau roti ini juga?" tanya Gerhard, "atau kusimpankan sampai besok
pagi?" Dari nada suaranya, aku tahu bahwa dia terburu-buru untuk kembali
ke pos komando.
"Tidak usah," kataku,
"kemarikan, semuanya akan segera kumakan."
Dia menyerahkan roti dan daging
kalengan dalam bungkusan kertas minyak, sebungkus permen Drops dan lemak
mentega dalam kertas karton. "Ini... ."
Selama itu, si orang baru berdiri
di samping sambil menggigil dan membisu.
"Dan ini," kata Gerhard,
"orang baru yang menggantikan Gornizek ... Letnan mengirim dia kepadamu,
untuk pos pengintaian... ."
"Ya," kataku; adalah hal
yang biasa mengirim orang baru ke pos yang tersulit. Gerhard kemudian
menyelinap kembali ke pos komando.
"Ayo, ke mari," kataku
perlahan, "jangan terlalu keras, sialan!" Peralatan kopelrimnya,
sekop dan masker gas berdentingan dengan bodohnya. Dengan canggung dia masuk ke
lobang perlindungan dan hampir saja menyenggol rantang makanku. "Idiot,"
gumamku dan bergeser untuk memberinya tempat. Lebih dengan pendengaranku
daripada dengan penglihatan, aku tahu bagaimana dia, sesuai dengan aturan,
melepaskan kopelrimnya, meloloskan lalu meletakkan sekopnya ke samping, masker
gas di sebelahnya dan pada tanggul lobang perlindungan diletangkannya senapan
teracung ke arah musuh, dan bagaimana dia kemudian mengaitkan kopelrimnya lagi.
Sop buncis sudah dingin, dan bagus juga bahwa dalam kegelapan aku tidak bisa
melihat ulat-ulat yang keluar dari buncis waktu dimasak. Di dalamnya ada banyak
potongan-potongan daging empuk yang kukunyah dengan nikmat. Dan daging kalengan
itu pun kumakan, begitu saja dari kertas pembungkusnya, kemudian roti
kutekan-tekankan pada rantang yang sudah kosong. Orang itu berdiri dengan
sangat membisu di sampingku, dengan muka selalu menghadap ke musuh, dan dalam
kegelapan aku melihat sebuah profil, dan jika dia menoleh ke samping, terlihat
dari tengkuknya bahwa dia masih muda, helm bajanya hampir seperti tameng
punggung seekor kura-kura. Orang yang masih sangat muda itu punya sesuatu yang
sangat khas pada tengkuknya yang mengingatkan pada permainan perang-perangan di
sebuah lapangan di pinggiran kota. "Saudara merahku, Winnetou,"
tampaknya itulah yang selalu mereka ucapkan. Bibir mereka gemetar karena takut
dan hati mereka keras karena berani. Anak-anak muda yang malang itu ...
"Duduklah yang tenang,"
kataku pelan-pelan, dengan tekanan yang sudah kupelajari dengan susah payah.
Tekanan yang bisa dimengerti orang dengan baik tapi hampir tidak bisa terdengar
dalam jarak satu meter.
"Sini," tambahku sambil
menarik pinggiran mantelnya dan dengan setengah memaksanya untuk menduduki
bangku. "Bagaimanapun kamu kan tidak bisa terus-terusan berdiri... ."
"Tapi di pos," kata
sebuah suara yang lemah. Suara yang rapuh seperti seorang penyanyi tenor yang
sentimental.
"Diam!" aku membentaknya.
"Di pos," bisiknya,
"kan tidak boleh duduk."
"Tak ada yang boleh, juga
tidak boleh memulai peperangan."
Walaupun aku hanya bisa melihat
siluetnya, tapi aku tahu bahwa dia duduk seperti seorang prajurit baru di
sebuah kelas, tangan di lutut, sangat tegak dan setiap detik siap meloncat
berdiri mengambil sikap siap seperti orang sinting. Aku membungkuk, menarik
kerah mantel tinggi-tinggi sampai menutupi tengkuk dan menyalakan pipa rokok.
"Kamu mau merokok juga?"
"Tidak." Aku heran bahwa
dia sudah bisa berbisik dengan baik.
"Kemari," kataku,
"minum seteguk."
"Tidak," katanya lagi,
tapi aku memegang kepalanya dan menyorongkan leher botol ke mulutnya - sabar
seperti seekor anak sapi yang mendapatkan botol pertamanya, dia membiarkan
beberapa tegukan tertelan, lalu dia bergidik dengan keras sampai-sampai aku
harus melepaskannya.
"Tidak enak?"
"Enak," katanya
menggagap, "tapi aku tersedak."
"Kalau begitu, minum
sendiri."
Dia mengambil botol dari tanganku
dan meneguk dengan baik.
"Terima kasih,"
gumamnya.
Aku pun minum.
"Sekarang lebih baik,
kan?"
"Ya ... jauh lebih baik
..."
"Tidak begitu takut lagi,
kan?"
Dia malu untuk mengakui bahwa tadi
dia ketakutan, tapi memang begitulah mereka semua.
"Aku juga takut," kataku
karenanya, "selalu malah... oleh sebab itu aku mencari keberanian dari
botol ini... ."
Aku merasakan bagaimana dia
berpaling dengan cepat ke arahku, dan aku membungkuk ke arahnya untuk dapat
melihat parasnya. Tapi aku tak melihat apapun kecuali sinar kilatan matanya
yang menurutku tampak berbahaya, dan hanya siluetnya yang buram dan gelap, tapi
aku bisa mencium baunya. Dia menyebarkan bau ruang penyimpanan pakaian, bau
keringat, lalu ruang penyimpanan pakaian lagi, lalu sisa-sisa sop, juga sedikit
berbau minuman keras. Dia sangat ... sangat diam, juga di pos komando di
belakang kami, tampaknya mereka telah selesai dengan pembagian makanan. Dia
menoleh lagi ke arah musuh. "Ini untuk yang pertama kalinya bertugas di
luar?"
Dia malu lagi, aku merasakannya,
tapi lalu dia berkata: "Ya."
"Sudah berapa lama jadi
tentara?"
"Delapan minggu."
"Kalian datang dari
mana?"
"Dari St. Avold."
"Dari mana?"
"St. Avold, Lothringen, kamu
tahu..."
"Berapa lama di
perjalanan?"
"Empat belas hari."
Kami diam beberapa saat, dan
dengan pandanganku aku berusaha untuk menembus kegelapan yang meliputi di depan
kami. Ah, kalau saja hari menjadi siang, pikirku, kalau saja bisa melihat
sesuatu, setidaknya remang-remang atau berkabut, sedikitnya sesuatu, melihat sesuatu,
agak terang... Tetapi kalau terang, aku pasti akan berpikir: kalau saja gelap,
kalau saja sedikitnya remang-remang, atau kalau saja tiba-tiba kabut datang;
selalu begitu...
Di bagian depan tidak ada apapun.
Di kejauhan terdengar derum halus motor kendaraan. Juga orang-orang Rusia itu
mendapatkan makanan mereka. Di suatu tempat, di depan sana, terdengar suara
kicauan orang Rusia yang sekonyong-konyong tertahan, seolah seseorang
membungkam mulut itu. Tetapi itu bukan apa-apa... .
"Kamu tahu apa tugas kita?"
tanyaku kepadanya. Ah, betapa indahnya bahwa aku tidak sendirian lagi. Betapa
indahnya mendengar nafas seorang manusia, merasakan bau apeknya, bau seorang
manusia yang kita tahu bahwa dalam detik berikutnya dia tidak berniat membunuh
kita.
"Ya," katanya, "pos
pengintaian." Lagi-lagi aku heran, betapa baiknya dia bisa berbisik,
hampir lebih baik daripada aku. Tampaknya itu adalah hal enteng untuknya,
untukku hal itu selalu memakan tenaga. Aku paling senang kalau bisa meraung,
berteriak atau berseru sehingga malam membuyar seperti busa hitam, untukku hal
itu melelahkan dan bikin sinting. Berbisik, untuk mengekang suaraku. Yang
paling menyenangkan adalah bernyanyi, membuat suara gemuruh atau berteriak
histeris... .
"Bagus," kataku,
"pos pengintaian. Artinya, kita harus mengawasi bila orang-orang Rusia itu
datang, menyerang. Lalu kita menembakkan peluru asap merah, menembak-nembak
sedikit dengan senapan kita lalu pergi, ke pos komando, mengerti? Tapi kalau
yang datang hanya beberapa orang saja, pasukan pengintai, maka kita harus tutup
mulut, biarkan mereka lewat, kemudian salah seorang dari kita harus ada yang
balik ke belakang dan memberitahukan kepada yang lain, kepada Letnan. Kamu
sudah bertemu dia, kan?"
"Ya," katanya dengan
suara bergetar.
"Bagus dan kalau pasukan
pengintai itu menyerang kita, kita harus membunuh mereka, sampai mampus,
mengerti? Kita tidak boleh lari dari pasukan pengintai, mengerti kan?"
"Ya," katanya, dan
suaranya bergetar lagi, lalu aku mendengar suara yang mengerikan: giginya
bergemelutuk.
Aku pun minum lagi...
"Kalau ... ini kalau
...," gagapnya, "kalau kita tidak melihat mereka datang..."
"Habislah kita. Tapi tenang,
kita pasti melihatnya, mendengarnya..."
"Dan kalau kita mencurigai
sesuatu, bolehkah kita menembakkan roket isyarat, supaya bisa melihat..."
Dia diam lagi; sungguh mengerikan
bahwa dia tidak sekalipun memulai percakapan.
"Tapi mereka tidak
datang," omongku terus, "mereka tidak datang pada malam hari,
paling-paling pagi hari. Dua menit sebelum fajar..."
"Dua menit sebelum
fajar?" dia memotong omonganku.
"Dua menit sebelum fajar
mereka mulai jalan, artinya mereka sampai di sini ketika hari mulai menjadi
terang..."
"Tapi kan itu sudah
terlambat?"
"Maka itu artinya kita harus
cepat menembakkan isyarat merah, lalu pergi ... jangan takut, artinya kita bisa
berlari cepat-cepat seperti seekor kelinci. Dan sebelumnya kita toh bisa
mendengar mereka. Ngomong-ngomong, siapa namamu?" Benar-benar
menjengkelkan, setiap kali kalau mau berbicara dengannya, aku harus menyikut
tulang rusuknya, itu artinya aku harus mengeluarkan tanganku dari saku yang
hangat dan dengan susah-payah memasukkannya lagi, supaya menjadi hangat lagi...
"Aku," katanya,
"aku bernama Jak..."
"Seperti orang Inggris,
ya?"
"Tidak," katanya.
"Dari Jakob ... J...A....K, bukan Jeck, Jak, Jak saja."
"Jak," tanyaku lagi,
"sebelum ini kamu kerja apa?"
"Aku," katanya,
"jadi calo."
"Apa?"
"Calo."
"Jadi calo apa sih?"
Dia memalingkan lagi mukanya ke
arahku, dengan sangat tiba-tiba, dan aku merasakan bahwa dia sangat heran.
"Calo apa ... calo apa ...
yah, calo saja..."
"`Gimana," tanyaku.
"Kamu kan pasti jadi calo untuk sesuatu."
Dia diam sesaat, melihat lagi ke
depan, lalu dalam kegelapan, kepalanya dipalingkannya lagi kepadaku.
"Yah," katanya,
"...calo apa...," dia mengeluh dalam-dalam, "aku berdiri di
stasiun, setidaknya hampir selalu... dan kalau seseorang datang, seseorang dari
rombongan orang-orang yang lewat, seseorang yang aku pikir cocok, biasanya
tentara, jadi kalau seseorang datang, lalu aku bertanya kepadanya dengan sangat
pelan, sangat pelan, kamu mengerti? Tuan, ingin bersenang-senang...? Begitulah
aku bertanya.…" suaranya bergetar lagi dan mungkin kali ini bukan karena
takut tetapi karena terkenang sesuatu... .
Karena tegang aku lupa meneguk
minuman. "Dan," kataku parau, "kalau orang itu mau
bersenang-senang?"
"Lalu," katanya dengan
susah payah, dan sekali lagi tampaknya kenangan menguasainya lagi, "lalu
aku membawanya kepada salah satu perempuan ... yang sedang kosong... ."
"Ke tempat pelacuran,
kan...?"
"Bukan," katanya datar,
"aku tidak bekerja untuk tempat pelacuran, aku punya beberapa perempuan
tidak terikat, kamu mengerti, beberapa perempuan bebas yang menghidupiku. Tiga
orang, mereka tidak punya surat izin, Käthe, Lili dan Gottliese..."
"Siapa?" potongku...
"Ya, dia bernama Gottliese.
Aneh ya? Dia selalu bilang kepadaku bahwa ayahnya menginginkan seorang anak
laki-laki daripada perempuan, karena kalau anak laki-laki maka bisa dinamainya
Gottlob, tetapi karena dia perempuan jadi dinamai Gottliese. Aneh, ya...?"
dia benar-benar tertawa sedikit...
Kami berdua lupa untuk apa kami
nongkrong di tempat sialan ini. Dan sekarang aku tidak perlu bersusah payah
membuka tutup gentong yang macet, dia mengoceh hampir dengan sendirinya.
"Gottliese," sambungnya,
"adalah yang paling baik. Dia selalu murah hati dan melankolis dan
sebenarnya juga yang paling cantik ... dan."
"Dan," potongku,
"dan artinya kamu dulu seorang germo, kan?"
"Bukan," katanya dengan
nada yang untukku agak menggurui, "bukan, ah...," dia berkesah lagi,
"germo adalah tuan-tuan besar, tiran, dengan paksa mereka mengutip uang
banyak-banyak dan masih juga meniduri mereka... ."
"Dan kamu tidak mencicipi
mereka?"
"Tidak, aku kan hanya seorang
calo. Aku yang harus memancing ikannya untuk kemudian mereka bakar dan makan,
dan aku lalu mendapat tulang-tulang sisanya... ."
"Tulang-tulang ?"
"Ya," dia tertawa lagi
sedikit, "tepatnya uang persen, mengerti, dan dari itu aku hidup, sejak
ayahku gugur dan ibuku hilang. Aku kan tidak mampu bekerja karena paru-paruku.
Tidak, perempuan-perempuan itu, untuk siapa aku bekerja, tidak punya germo,
syukurlah! Kalau punya, aku pasti harus berkelahi dengan yang lain. Tidak,
mereka bekerja mandiri, lepas, kamu mengerti, tanpa izin apa pun. Karena itu
mereka tidak boleh memamerkan diri di jalan seperti yang lain ... terlalu
berbahaya, dan karena itu aku jadi calo untuk mereka, ya," dia mendesah
lagi, "eh, boleh aku minum lagi?"
Ketika aku membungkuk untuk meraih
botol, dia bertanya, "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Hubert," kataku sambil
memberikan botol kepadanya.
"Enak sekali," katanya,
tapi aku tidak bisa menjawab, soalnya aku sedang meneguk dari botol itu.
Sekarang, botol itu kosong, lalu aku menggelindingkannya dengan lembut ke
samping.
"Hubert," katanya
kemudian, dan suaranya sekarang bergetar hebat. "Lihat itu!" Dia
menarik aku ke depan, ke tanggul di mana dia sedang tiarap. "Lihat!"
Kalau diperhatikan dengan sangat ... sangat sungguh-sungguh, di suatu tempat
yang sangat ... sangat jauh, terlihat sesuatu seperti horison, sebuah garis hitam
pekat. Di atas garis itu kelihatan agak terang. Dan di dalam kegelapan di atas
garis hitam pekat yang agak terang itu, sesuatu bergerak ... jauh, jauh sekali,
betul-betul jauh sekali ... seperti ayunan lembut jerami ... itu bisa juga
manusia yang diam-diam mendekat, manusia dalam jumlah yang sangat banyak yang
sedang mendekat diam-diam, sama sekali tanpa suara...
"Ayo, tembakkan peluru
isyarat yang putih!" bisiknya dengan suara yang makin menghilang.
"Anak muda," kataku
sambil meletakkan tangan di pundaknya. "Jak, itu bukan apa-apa; itu
perasaan takut kita yang sedang bergerak, itu neraka, itu perang, itu setumpuk
tahi yang bikin kita gila ... itu ... itu bukan sesuatu yang nyata..."
"Tapi lihatlah, itu pasti
sesuatu ... sesuatu yang nyata ... mereka datang ... mereka datang..."
lagi-lagi terdengar giginya bergemelutuk.
"Ya," kataku,
"diamlah. Itu sesuatu yang nyata. Itu tangkai-tangkai bunga matahari,
besok pagi-pagi kamu akan melihatnya dan tertawa. Kalau hari sudah sangat
terang, kamu akan melihatnya dan tertawa, itu tangkai-tangkai bunga matahari
yang jauhnya mungkin satu kilometer dari sini, dan itu terlihat ada di ujung
dunia, kan? Aku tahu itu tangkai-tangkai bunga matahari yang mengering, hitam
-- kotor dan sebagian hancur tertembak. DDan bunganya sudah dipetiki oleh
orang-orang Rusia itu, dan bikin kita takut karena tangkai-tangkai itu
bergoyang-goyang..."
"Ah ... tembakkan yang putih
... tembakkan yang putih ... aku melihatnya ..."
"Aku kan kenal mereka,
Jak."
"Tembakkan yang putih. Satu
saja..."
"Ah, Jak," balasku
berbisik, "kalau mereka benar-benar datang, kita bisa juga mendengarnya,
coba dengarkan?" Kami menahan nafas dan mendengarkan; sepi, sepi sekali,
dan tak ada sesuatu apapun yang terdengar kecuali suara sepi yang mengerikan.
"Ya," bisiknya, dan aku
mendengar dari suaranya bahwa dia menjadi pucat seperti sang maut, "ya,
aku bisa mendengar mereka... mereka datang.... mereka mengendap-endap... mereka
merangkak di tanah... ada sedikit suara gemerincing ... dengan sangat
pelan-pelan mereka datang, dan kalau mereka sudah dekat, maka sudah
terlambat..."
"Jak," kataku, "aku
tidak bisa menembakkan yang putih. Aku hanya punya dua peluru, mengerti? Dan
satu aku perlukan untuk besok pagi-pagi, subuh, kalau pesawat pembom kita
datang, supaya mereka bisa tahu di mana kita berada. Supaya mereka tidak membom
kita ... dan peluru yang lainnya aku perlukan kalau situasinya betul-betul
serius. Besok pagi kamu akan tertawa... ."
"Besok pagi," katanya
dengan sangat dingin, "besok pagi aku sudah mati."
Sekarang aku yang berpaling
tiba-tiba kepadanya dengan heran, aku begitu kaget. Dia mengatakan hal itu
dengan pasti dan mantap.
"Jak," kataku,
"kamu gila."
Dia diam, dan kami duduk lagi
menyandar. Begitu ingin aku melihat wajahnya. Wajah seorang calo tulen, dari
dekat. Setiap kali, aku hanya mendengar mereka berbisik, di pojokan-pojokan dan
di stasiun-stasiun kereta api di semua kota-kota di Eropa dan selalu aku
memalingkan muka dengan perasaan takut yang hebat yang tiba-tiba muncul di
hatiku... .
"Jak," aku ingin mulai...
.
"Tembakkanlah yang
putih," bisiknya seperti seorang sinting.
"Jak," kataku,
"kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih, kita masih
punya waktu empat jam, kamu tahu, dan suara tembakannya akan keras sekali, aku
tahu itu. Sekarang tanggal 21, artinya hari ini, orang-orang Rusia itu mendapat
jatah minuman keras mereka. Barusan tadi, mereka mendapatkan makanan dan jatah
minuman keras mereka, kamu mengerti? Dalam setengah jam, mereka akan mulai
berteriak dan bernyanyi dan menembak; dan mungkin sesuatu akan terjadi. Besok
pagi-pagi, kalau pesawat pembom kita datang, baru keringat dinginmu mengucur
deras, pesawat-pesawat itu akan menjatuhkan bom sangat dekat di depan kita,
baru kemudian aku harus menembakkan yang putih, karena kalau tidak, bisa-bisa
kita jadi selai. Dan kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih
sekarang, ketika tidak terjadi apa-apa, percayalah kepadaku; lebih baik kamu
cerita lagi. Di mana kamu terakhir kali .... jadi calo?"
Dia mendesah dalam-dalam. "Di
Köln," katanya.
"Di Stasiun Pusat?"
"Tidak," sambungnya
dengan suara capek, "tidak selalu. Kadang-kadang di Stasiun Selatan. Yah,
itu lebih praktis, karena perempuan-perempuan itu tinggal di dekat daerah itu.
Lili di dekat Gedung Opera, Käthe dan Gottliese di Barbarossaplatz. Ya, kamu
tahu," suaranya sekarang lamban seolah mulai tertidur, "kalau aku
kadang-kadang mendapatkan seseorang di Stasiun Pusat, di jalan menuju rumah
perempuan-perempuan itu, mereka suka melarikan diri. Dan itu bikin jengkel. Di
tengah jalan, karena ketakutan atau karena sesuatu yang lain, tak tahulah aku,
mereka suka pergi begitu saja tanpa berkata apa pun. Jarak dari Stasiun Pusat
ke daerah selatan memang terlalu jauh, karena itu aku sering nongkrong di
Stasiun Selatan. Juga karena banyak tentara yang turun di situ karena mereka
berpikir bahwa itu sudah Köln, Stasiun Pusat maksudku. Dan dari Stasiun Selatan
ke rumah perempuan-perempuan itu jaraknya pendek, karena itu orang tidak cepat
jadi panik. Awalnya," dia membungkuk lagi ke arahku, "awalnya aku
selalu mengantarkan mereka kepada Gottliese, dia tinggal di sebuah gedung
apartemen yang di dalamnya ada cafe, kemudian cafe itu terbakar. Gottliese,
kamu tahu, dia yang paling baik. Dia yang selalu paling banyak memberiku uang.
Tapi itu bukan alasan kenapa aku selalu pergi kepadanya terlebih dahulu, betul
bukan, kamu pasti tidak mempercayainya. Ah, kamu tidak percaya bahwa aku pergi
dulu kepadanya bukan karena dia yang memberi terbanyak, kamu percaya?"
Sekarang dia bertanya dengan nada yang begitu mendesak, sehingga aku terpaksa
untuk menjawab ya.
"Tetapi Gottliese sering
mendapat tamu, aneh kan? Dia sangat sering mendapat tamu. Dia punya banyak
langganan tetap, dan kadang-kadang dia turun juga ke jalan kalau lama tidak
mendapat tamu. Dan kalau Gottliese mendapat tamu, aku sedih, lalu aku pergi
kepada Lili. Lili juga orangnya tidak menyebalkan, tapi dia sering minum. Dan
perempuan yang mabuk sungguh mengerikan; tidak bisa ditebak, kadang kasar,
kadang ramah. Tapi Lili selalu lebih baik daripada Käthe. Käthe orangnya sangat
dingin. Dia memberi aku sepuluh persen... sudah, itu saja. Sepuluh persen!
Sementara, aku kadang harus berjalan setengah jam dalam malam yang dingin,
berdiri berjam-jam di stasiun atau nongkrong di bar minum bir murahan,
menghadapi bahaya ditangkap polisi, dan hanya mendapat sepuluh persen! Tahi,
aku bilang sama kamu. Maka Käthe selalu yang terakhir. Dan uang persenannya
baru kuterima di hari berikutnya, ketika aku membawa tamu lagi untuk dia.
Kadang hanya lima puluh sen, sekali waktu bahkan cuma sepuluh sen, kamu
mengerti, sepuluh sen... ."
"Sepuluh sen?" tanyaku
terkejut.
"Ya," katanya, "dia
hanya mendapat satu Mark. Laki-laki itu tidak punya uang lagi."
"Seorang tentara?"
"Bukan, seorang sipil,
tambahan lagi sudah tua. Dan Käthe masih juga memakiku. Ah, Gottliese berbeda.
Dia selalu memberi banyak kepadaku, setiap kali setidaknya dua Mark. Juga kalau
pun dia tidak mendapatkan uang sama sekali. Dan kemudian... ."
"Jak," tanyaku,
"dia tidak meminta uang sama sekali?"
"Ya, kadang-kadang dia tidak
meminta uang sama sekali. Aku percaya bahkan sebaliknya. Dia malah menghadiahi
tentara-tentara itu rokok atau roti atau sesuatulah."
"Menghadiahi?"
"Ya. Menghadiahi. Dia sangat
pemurah. Seorang perempuan yang sungguh melankolis. Dan dia pun lumayan
mengurus aku. Bagaimana tempat tinggalku, apa aku punya rokok dan lain-lain,
kamu mengerti. Dan dia cantik. Sebenarnya, yang paling cantik."
"Bagaimana," aku ingin
bertanya, "bagaimana rupanya?"
Tapi pada saat itu, orang Rusia
pertama mulai berteriak seperti orang gila. Suaranya membumbung seperti sebuah
tangisan dan bergabung dengan suara-suara lain. Dan tembakan pertama pun
meletus. Aku masih bisa menangkap pinggiran mantel Jak, dengan satu loncatan
saja dia pasti sudah di luar lobang persembunyian, lalu akan menjadi sasaran
tembak orang-orang Rusia itu. Semua orang yang lari seperti itu pasti menjadi
sasaran tembak. Aku menarik mundur orang yang gemetar itu, sangat dekat ke
arahku. "Diamlah, itu bukan apa-apa. Mereka hanya sedikit mabuk, lalu mereka
berteriak dan akan menembaki tanggul persembunyian dengan membabi-buta. Kamu
harus menunduk, karena tembakan seperti itu malah kadang-kadang akan mengena...
."
Sekarang kami mendengar suara
seorang perempuan, dan walaupun kami tidak mengerti sepatah kata pun, kami tahu
pasti bahwa dia bernyanyi dan meneriakkan sesuatu yang jorok. Lengking tawa
perempuan itu merobek malam sampai berkeping-keping... .
"Tenanglah," kataku pada
anak muda yang bergerak-gerak gelisah dan mengerang-ngerang itu, "tidak
akan lama, paling hanya beberapa menit, sampai komisar mereka mengetahuinya,
lalu dia akan menonjok mulut mereka. Mereka kan tidak boleh begitu, dan apa-apa
yang tidak boleh akan dihukum berat, persis seperti pada kita... ."
Tapi teriakan itu tidak berhenti,
juga lengkingan liar itu. Dan yang paling sial, salah seorang dari kami di pos
komando di belakang juga menembak. Aku berpegang erat pada anak muda yang ingin
mendorongku dan melarikan diri itu. Di depan terdengar teriakan lalu jeritan
... sekali lagi teriakan ... tembakan dan sekali lagi suara mengerikan
perempuan yang mabuk. Lalu sangat sepi, betul-betul sepi... .
"Kamu lihat," kataku...
"Sekarang ... sekarang mereka
datang... ."
"Tidak ... dengarkan
dong!"
Kami mendengarkan lagi, dan tak
terdengar apa pun selain kesepian yang mengiang-ngiang menakutkan.
"Ayo, pakai otak dong,"
sambungku, karena setidaknya aku ingin mendengar suaraku sendiri. "Apa
kamu tidak melihat api letusan senjata itu, sedikitnya mereka dua ratus meter
dari sini, dan kalau mereka datang, kamu akan mendengarnya, sangat pasti bahwa
kamu akan mendengarnya."
Sekarang tampaknya dia tidak
mengacuhkan apa pun. Dia berjongkok kaku sambil membisu di sampingku.
"Bagaimana," sekarang
aku bertanya, "bagaimana parasnya, Gottliese itu... ."
Dengan segan dia menjawab,
"Cantik," katanya pendek. "Rambut hitam dan dengan mata yang
besar dan terang. Dia sangat mungil, sungguh mungil, kamu tahu," tiba-tiba
dia bisa bicara lagi, "dan sedikit gila. Tidak bisa lain. Sering dia
memakai nama lain ... Inge Simone, Kathlene, entah siapa lagi, setiap hari nama
baru ... atau Susemarie. Dia sedikit gila, dan dia sering tidak meminta
bayaran... ."
Aku mencengkeram lengannya
kencang-kencang, "Jak," kataku, "sekarang aku akan menembakkan
yang putih. Aku pikir, aku mendengar sesuatu."
Nafasnya tersendat.
"Ya," bisiknya, "tembakkanlah yang putih, aku mendengar mereka
datang, kalau tidak aku bisa gila... ."
Aku memegang erat lengannya,
menyiapkan pistol isyarat yang sudah diisi peluru, mengacungkannya di atas
kepala lalu menembak; suara gemuruhnya seperti kiamat, dan ketika cahayanya
menyebar seperti cairan perak yang lembut - seperti kelap-kelip hujan salju di
Hari Natal, seolah bulan mencair dan menyatu pasrah dengan bumi - aku tidak
punya waktu lagi untuk melihat wajahnya. Sebenarnya aku tidak mendengar apa
pun, sama sekali, dan aku menembakkan isyarat putih itu hanya untuk melihat
wajahnya, wajah seorang calo tulen. Tetapi aku tidak punya waktu lagi untuk
itu, karena dari tempat di mana tadi terdengar suara teriakan dan lengkingan
seorang perempuan yang mabuk itu, di situ, dalam terang, muncul kerumunan
sosok-sosok bisu yang menunduk ke tanah dan kemudian tiba-tiba dengan suara
"Hurra" yang bikin gila, mereka menyerbu maju. Aku pun tidak sempat
lagi untuk menembakkan isyarat merah, karena di belakang dan di depan kami,
menyibak tirai perang menyelimuti kami... .
Aku harus menarik Jak dari lobang
itu dan ketika dengan susah payah aku berhasil menariknya, sambil berteriak
karena rasa takut aku membungkuk padanya, supaya setidaknya dalam maut masih
bisa melihat wajahnya, dia berbisik pelan: "Tuan, ingin
bersenang-senang...?" Lalu dengan keras dan sekonyong-konyong aku jatuh di
atas tubuhnya oleh hentakan tangan liar yang mengerikan. Tetapi mataku tidak
melihat apa pun lagi kecuali darah, lebih hitam dari pada malam, dan wajah
seorang pelacur yang menghadiahkan dirinya tidak untuk apa pun, malah masih
memberi sesuatu....*** Judul asli:
"Jak, der Schlepper", diterjemahkan oleh Dewi Noviami.
Horison, Juli 2000
(Edisi 10 Tahun Cerpen Terbaik
Horison)
Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu
Oleh: Budi Darma
Sungguh menakjubkan, bahwa ketika
hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka
jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya,
dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki
bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu
bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.
Laki-laki bertubuh kurus jangkung
memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan
melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka
berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu
menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat
apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung
itu juga gemetar.
Lampu di dalam kamar sudah
menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu,
perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada
sebuah gelas, terletak di sebuah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat
beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mungkin dibaca karena sinar lampu
sangat samar.
Laki-laki itu mengangguk mengerti.
Dia mendekati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret
laki-laki itu, kemudian gelas, dan kemudian beberapa buku. Tubuhnya agak membongkok
manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.
Ketika perempuan itu menjawil
tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut
ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak terkejut juga dia ketika dia merasa
dijawil. Dan tahulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang menuding-nuding
ke arah sebuah tempat tidur kecil.
Ada sebuah meja kecil dengan bunga
segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula sebuah kursi.
Dan yang mengherankan laki-laki itu adalah, mengapa di dekat tempat tidur
tidak ada potret seorang laki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang tergantung
di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu tidak bertanya, karena perempuan
itu sudah menjelaskan:
"Dia tidak mau potretnya
dipasang di sini."
Belum sempat bertanya apa-apa,
laki-laki itu sudah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari.
Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam
kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa
pakaian laki-laki di dalam almari.
Laki-laki itu terus diam ketika
perempuan itu mengudal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun
demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam
almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu
mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.
Setelah perempuan itu menutup
almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke
arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.
"Apakah yang tadi kau lihat
pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.
"Saya tidak pernah melihat
laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya
menunjukkan keagungan luar biasa."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi?
Tentu saja saya mengagumi dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah senangnya
kau menjadi istrinya."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya
yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus
jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya
kagum pada raut wajahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wibawa tinggi.
Saya mengaguminya."
"Hanya itu?"
Laki-laki itu kehabisan akal dan
kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui
apa yang dikatakannya:
"Tentu saja tidak. Saya heran
mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran
mengapa takdir tidak memberinya umur panjang, untuk memberikan kesempatan
kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat harkat, martabat,
dan derajat sesamanya."
"Siapa yang mengatakan dia
dihabisi kanker?"
Laki-laki itu diam. Dia ingat,
pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret dirinya.
Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan
ketika diadakan pertemuan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu
cepat anak perempuan itu memotretnya, kemudian berjalan bergegas dan
menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa
anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan
bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perempuan itu,
pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya,
perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak perempuan itu
terlepas dari tangannya.
"Laki-laki itulah yang saya
cintai," kata perempuan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di
situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya saya taruh di bawah
potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini.
Bekas-bekas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya,
selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut
gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya
melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke
payudara saya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi payudara saya.
Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke
sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia
membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya
kenakan."
Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu
mengapa sekonyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah surat tergeletak
di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya,
beberapa bawahannya, dan juga beberapa pesuruh siapa gerangan yang
menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu
hanya tahu bahwa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki mencurigakan
secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk
kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya dekat pintu, kemudian
mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan
meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di dekat
pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Kemudian dia sering melihat
laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang memisahkan
kantornya dengan kebun kacang. Dan setiap kali pandangan mata mereka bertemu,
laki-laki mencurigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.
Surat itulah, yang mungkin telah
disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah mengantarkannya ke
rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.
"Dari sekian banyak laki-laki
yang saya kenal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu
lagi. Dan kemudian perempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai
buku-buku itu lagi, dan akhirnya mengenai payudaranya.
"Rupanya laki-laki lain yang
pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering
membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia
menjelek-jelekkan sekian banyak perempuan lain. Senang sekali dia membanding-bandingkan
payudara saya dengan payudara mereka, dan tentu saja tubuh saya dengan tubuh
mereka. Dia bercerita mengenai perempuan-perempuan dan dengan sangat terbuka,
dengan nada sangat melecehkan mereka, dan tentu saja dengan nada
mengagung-agungkan saya. Betul yang kau katakan tadi, dia laki-laki mengagumkan,
sangat mengagumkan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih
mengagumkan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka
merayu, sementara dia suka merayu, yaitu merayu sekian banyak perempuan,
sampai akhirnya dia jatuh di hadapan saya, menjilati kaki saya. Setiap kali
didekati perempuan, Nabi Yusuf selalu mengingatkan perempuan yang mendekatinya
dan juga dirinya sendiri akan masa depan manusia, apabila manusia telah mati
kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayunya dan mengatakan bahwa
rambut Nabi Yusuf sangat indah, berkatalah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang
pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari
tubuh saya.' Dan ketika seorang perempuan merayunya lagi, berkatalah Nabi
Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'
Laki-laki yang potretnya di sana
itu sangat berbeda. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau mengerti bahwa
pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah
mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa pernah mengatakannya, dia selalu
berpikir untuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan
bagi orang lain, dan juga bagi dirinya sendiri. Sering dia bercerita mengenai
mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usaha dagangannya kalau
perlu dengan menaklukkan musuh-musuhnya, kemudian membangun rumah-rumah
yatim piatu, mendirikan sekolah-sekolah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan
entah apa lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang
ingin maju, tapi sekaligus sangat membenci orang-orang malas dan tidak mempunyai
otak. Dalam keadaan lelah dia mendatangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan
sekaligus menghidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari
gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu
beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya adalah pertanda
keagungannya, demikian pula setiap dengan nafasnya."
"Dan manakah anak perempuan
yang memotret dahulu?"
"Ciumlah tangan saya sebelum
saya menjawab pertanyaanmu."
Belum selesai dia mencium tangan
kanan perempuan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.
"Ulangilah pertanyaanmu
tadi."
"Manakah anak perempuan yang
memotret dahulu?"
"Anak perempuan? Maaf, saya
tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud untuk
menanyakan apakah saya mempunyai anak perempuan, saya dapat menjawab bahwa
saya tidak mempunyai anak perempuan. Ketahuilah anak perempuan suka rewel,
demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak,
saya tidak akan mengijinkannya memotret."
"Mengapa?"
"Menurut laki-laki yang saya
cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus berhemat.
Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak suka anak perempuan, sebab dia sering
mengatakan bahwa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka
potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."
"Benarkah laki-laki seagung
itu mempunyai jalan pikiran demikian?"
"Memang saya sering menemui
kesulitan dalam mengorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya.
Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara
kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri
yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pasti menyimpan rahasia mengapa dia
tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengoreknya, ketika
dia mengigau dalam tidurnya. Meskipun demikian, kata-katanya hanyalah pendek
dan tidak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menafsirkannya. Tapi saya
tahu, dia berhati agung.
Bagi dia, laki-laki tidak bisa
bebas dari perempuan, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja
diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan
wahyu-wahyu setan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil namanya, justru
akan mencelakakan keponakan suaminya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi
Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Negeri Sodom juga
hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk menegakkan
ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati suaminya habis-habisan. Adalah pula
Siti Qodariah, seorang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yusuf setelah
usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang
di Troya adalah juga perang untuk memperebutkan perempuan. Laki-laki sudah
ditakdirkan untuk tidak mampu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan terlanjur
sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."
Belum sempat laki-laki itu
bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.
"Setiap laki-laki harus
menjilati kaki saya," katanya.
Setelah selesai menjilati seluruh
bagian tubuh perempuan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat tinggal,
laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu segera ditutup dari dalam,
kemudian laki-laki itu meloncat keluar melalui pagar tanaman.
Laki-laki itu merasa bahwa malam
telah larut benar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan.
Bau wangi tubuh perempuan yang baru saja ditinggalkannya masih melekat pada
seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-celah kulitnya terasa
begitu asing, karena yang tercium olehnya adalah keringat perempuan itu.
Heran benar laki-laki itu, mengapa
tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau
tidak salah perempuan itu menamakan dirinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah.
Mungkin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai
"ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.
Dia ingat, perempuan itu tidak
pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan
laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan
itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk menyibuk-nyibukkan
dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.
Ketika laki-laki itu menanyakan
siapa yang membuat potret di dinding itu, perempuan itu hanya menceritakan
bahwa pada suatu hari dalam sebuah musim kemarau panjang ada seorang anak
perempuan mengantarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan
itu adalah potret itu. Anak perempuan itu sama sekali tidak pernah datang ke
sana lagi.
Laki-laki itu terus berjalan
tergontai-gontai. Ketika seekor kucing hitam melintas di gang dan memotong
jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia
sedang berpapasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu
melompat ke tempat agak tinggi dan menyorotkan matanya ke arah laki-laki itu,
laki-laki itu merasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya
bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat
perempuan tadi.
Sementara rasa hausnya memuncak
sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus berjalan. Kata
perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu minta minum karena merasa haus. Dan
setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi untuk
meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di
rak buku.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa
salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia berjalan
terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum
waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia memutuskan
untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.
Laki-laki itu masih berdiri
tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana,
lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong
di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah
olehnya sebuah lampu kecil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu
sumur. Mengapa dia tidak ke sana sebentar, menimba, dan minum?
"Maka berjalanlah dia agar
cepat menuju ke sumur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat dengan sumur,
seorang laki-laki menegor dia.
"Mengapa malam-malam
begini kamu berada di sini?"
Dengan cepat dia mengenal siapa
laki-laki itu: kedua matanya bulat seperti mata burung hantu, lehernya kurus
panjang dengan buah kuldi mendongkol dan selalu naik turun, sementara
urat-urat tangannya membengkak menutupi kedua tangannya, dan
tangan-tangan itu benar-benar kurus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan
dialah yang selalu mengawasinya di kantor.
"Mengapa malam-malam begini
kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.
Dia tidak dapat menjawab. Matanya
menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke
payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya
kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan.
Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah
terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa
sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga
perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang
terlanjur tersangkut, kemudian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tindak-tindak
maksiat.
Rasa haus makin menggorok
kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sendiri,
sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat besar, naik turun, dan sangat
menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak
lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap
perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia
tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu,
katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.
Ketika laki-laki mencurigakan
menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia
memegang tali timba, laki-laki mencurigakan berkata:
"Minumlah sepuas-puasmu,
kalau perlu sampai meletus perutmu, karena sumur ini adalah milik
saya."
Dia melemparkan timba ke dalam
sumur, dan ternyata sumur sangat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan menceritakan
perihal dirinya sendiri, dia sama sekali tidak mendengarkannya. Perlahan-lahan
dan hati-hati sekali dia mengulur tali ke bawah, sampai akhirnya timba menyentuh
air. Kemudian perlahan-lahan pula dia menarik tali timba ke atas.
Laki-laki mencurigakan terus
bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor
laki-laki bertubuh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa perkelahian,
barulah pemilik lama mau menyerahkan kebun kacang itu meskipun uangnya telah
lama diterima sebelumnya. Belum lama laki-laki mencurigakan itu berhasil
memiliki tanah miliknya sendiri, terdengar berita bahwa kebun kacang itu
akan dicaplok oleh laki-laki bertubuh kurus jangkung untuk perluasan
kantornya. Laki-laki mencurigakan ini belum mau percaya, dan karena itu berusaha
mencari penjelasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk mencari kabar,
selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.
Selesailah sudah laki-laki
bertubuh kurus jangkung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu
kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya
berpikir, alangkah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum dari gelas di
atas rak buku, sebab, setiap kali perempuan itu merindukannya, pastilah
bekas bibirnya akan dijilat-jilat.
Masih sempat dia melihat
laki-laki mencurigakan, sebelum dia melangkah untuk kembali ke gang tadi. Dia
merasa benar-benar jijik melihat laki-laki mencurigakan. Mata laki-laki
mencurigakan itu, bulat dan besar, menyembunyikan kelicikan tanpa tara.
Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang panjang, mengingatkannya
pada leher burung onta yang diracunnya sewaktu dia berjalan-jalan di kebun
binatang. Dan buah kuldi itu, bagaikan buah kuldinya sendiri, adalah pertanda
dosa Adam, yaitu dosa yang menurunkan siksa bagi manusia entah sampai kapan.
Ingin sekali dia cepat-cepat
meninggalkan laki-laki mencurigakan. Namun, belum sempat dia melangkahkan
kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, kemudian
menghadangnya. Rasa jijiknya makin meledak. Sambil berusaha keras
mengibaskan rasa jijiknya, dia mengambil jalan ke samping kiri.
Dia mempercepat langkah, tapi
terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya patah. Ketika
laki-laki mencurigakan berdiri di hadapannya lagi, dia terpaksa
membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan
patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya rebah ke tanah, masih sempat dia
membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana,
di langit sana. Laki-laki mencurigakan membongkok, sementara dia merasa makin
jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya
adalah darah.
Dengan tenang, laki-laki
mencurigakan menggumam:
"Ketahuilah, masalah kebun
kacang hanyalah masalah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai
kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi
perkelahian-perkelahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi
musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya
hanya menikmati satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya menyimpan jiwa iblis.
Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah,
sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang.
Sudah semenjak pertama kali saya melihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam
jiwamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebanggaan saya. Benar-benar saya
merasa takut terhadap kamu. Dan setiap kali merasa takut, pasti saya bertindak
terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."
Dia menggumam dengan kesadaran
penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun
demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan
tadi:
"Laki-laki yang saya cintai
itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati
dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan
pakaiannya yang berlumuran darah."
Bulan tetap berputar-putar di atas
sana.***
(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)
Jaring-jaring Merah
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Apakah kehidupan itu? Cut Dini,
temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan
luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam
amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada
gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku
tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.
Dan kini hari telah semakin gelap. Aku
tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju
Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah
amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan,
seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku
berderai-derai.
“Ugh!”
Aku tersandung gundukan tanah.
Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu,
dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah
aku akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku
melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku!
Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan
pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditembak di atas sebuah truk kuning.
Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetang–gaku Rohani ditelanjangi,
diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat
saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat
semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa
alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas panjang.
Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih
baik meniru anjing-anjing itu.
Aku merangkak dan maju perlahan.
Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah di hadapanku. Terus
tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras,
wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan
bau bangkai manusia yang menyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu.
Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku terus
menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah daging manusia.
Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas
itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah
saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana?
Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di
mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?
Sekujur tubuhku gemetar menahan
buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hingga aku semakin lemas dan
akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang
beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba, di antara suara serangga
malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang
menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!
Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi
nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari sanubari sendiri.
“Perempuan gila itu!” suara seseorang
gusar.
“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar
yang lain.
“Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah,
biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan
menangis. ”
Aku pura-pura tidak mendengar
perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak
tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan,
awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing
hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari
bungong jeumpa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku,
melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….
***
“Inong….”
Aku menggeliat. Cahaya mentari
masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu
busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku mencarimu
seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh
tadi.”
Kutatap seraut wajah dalam kherudoung
putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.
“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak
mengganggu orang," jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak
akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke
rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik
pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung…
ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya
pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.
Aku kembali merebahkan badan di
atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum
begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota … apa itu … LSM? Juga
aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan …
cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku
makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.
Dulu, setelah keluargaku dibantai
dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur
yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh
apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan. Aku memakan dan meminum
nyeri setiap hari. Sampai aku bertemu
Cut Dini dan bisa menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.
Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak.
Aku melempari atau memukul orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari
orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang-
orang gila! Cut Dini-lah yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku
untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian,
atau sekedar jalan-jalan.
“Baju yang koyak itu jangan dipakai
lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku suka,” kataku pendek. “Ini
baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu
datang.”
“Itu baju yang tak pantas dilihat.
Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,” katanya pelan.
Kupandang baju ungu muda yang
kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…,
bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.
“Aku ingin memakainya,” lirihku.
“Apa aku gila?” tanyaku.
Cut Dini menatap bola mataku
dalam. “Menurutmu?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk
kepalaku.
“Kau sakit. Kau sangat terpukul,”
ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus
baju itu dengan koran.
Aku mengangguk-angguk. Terus
mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka
membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al-
Quran mungilnya dan membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti
mendengar Hamzah mengaji —lewat pengeras suara— di musala.
Ah, meski tak mengerti, aku ingin
menangis setiap mendengar bacaan Al-Quran.
***
Siang itu aku sedang menjadi
burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di
ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya
busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si
loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.
“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar
suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku.
Aku terbang dan hinggap pada meja
kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yang rapuh.
Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.
“Kami orang baik-baik. Kami hanya
ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada
Inong.”
Aku nyengir. Lima ratus ribu?
Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?
“Kami minta ia tidak mengatakan
apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani
kertas bermaterai ini.”
Cut Dini membaca kertas itu.
Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya,
lebih lekat dari jendela.
“Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan
selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di
Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan
Krueng Campli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda,
anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua orang itu tampak gugup dan
sesaat saling berpandangan. “Kami
hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan masyarakat.”
“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Kenyataannya
masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak,
memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari
Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang
seperti kalian di sini.”
“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan
saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila?? Kukepakkan
sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun
yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki
mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti anak
kecil dan berebutan ke luar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku!
Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka
menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku berhenti melempar. Aku
berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.
“Masya Allah, nanti perabotan itu
rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau
shalat lohor dulu,” katanya.
“Mengapa aku tak pernah diajak
salat?” protesku. “Dulu aku shalat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi
burung,” tukasku.
“Jangan menjadi burung, bila ingin
shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.
***
“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau
kami bakar rumah ini!!”
Aku terbangun dan mengucek kedua
mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu
diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.
Ketika pintu dibuka, tiba-tiba
saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat
Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar
merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir
itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.
“Ini pelajaran bagi anggota GPK!”
teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. “Zakaria dan keluarganya membantu anak
buah Hasan Tiro sejak lama!”
Warga desa menunduk. Mereka tak
mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini
telah membakar beberapa rumah!
“Jangan ada yang menunduk!”
Aku gemetar mendengar bentakan
itu.
“Ayo lihat mereka. Kalian sama
dengan warga Mane… bekerjasama dengan GPK!” suaranya lagi.
“Kami bukan GPK!”suara Ma’e.
Ulon hana teupheu sapheu!”
“Lepaskan mereka. Kalian salah
sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!
“Angkut orang yang bicara itu!”
Aku melihat Hamzah dipukul
bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku
menderas.
“Siapa lagi yang mau membela?”tantang
lelaki penyiksa itu pongah.
“Kami tidak membela, mereka memang
bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin.
Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada
sebatang pohon.
Serentetan tembakan segera
menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh,
kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah!
Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa mereka ke bukit dekat jalan
buntu! Juga gadis itu!”
Aku meronta, menendang, menggigit,
mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak
lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak sekuat-kuatnya.
“Astaghfirullah, Inong! Inong,
bangun!”dua tangan menggoncang-goncang badanku.
Airmataku menganak sungai,
tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang
sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan
jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana ke mari. Kami tak
bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di
mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya.
Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana
tengkoraknya?
Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan
jaring ke sana ke mari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih.
Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah.
Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari
sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku
hanya tersisa nestapa!!
Tak ada yang mendengar. Sebuah
pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes
dan bercampur dengan aliran air di pipiku.
“Allah tak akan membiarkan
mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu.
Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! La hawla wala
quwwata illa bi 'l-Lah….”
Kabur. Samar kulihat Cut Dini.
Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.
Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat
beberapa o-rang. Di antaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke
ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.
“Ia hanya satu dari ribuan korban
kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri.
Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!”
Takut-takut kuintip lelaki tegap
yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk
menangkapku lagi?
“Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!”
teriakku. “Pergiiiiiiii!” aku menjerit sekuat-kuatnya.
"Pergiiiiii!" aku menceracau.
Sekujur badanku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak,
menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?!
Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun
yang ada di hadapanku! Aku….
Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak,
tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yang
mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi
kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun.
Cuma luka nganga.
“Inong…, mereka akan membantu
kita….”
Aku terkapar kembali. Menggelepar.
Berdarah dalam jaring.***
Cipayung, 1998
Referensi:
- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar istilah:
Buket Tangkurak : Bukit
Tengkorak
Geuchik : Kepala
Desa
Cuak : orang yang jadi mata-mata
tentara
Ma’e : panggilan untuk Ismail
Mak : Mak
rumoh geudong : rumah gedung (tempat
penjagalan)
Mane : nama desa di Pidie
ureung-ureung : orang-orang
that : sekali
ulon hana teupheu sapheu :
saya hanya orang biasa
therimoung ghaseh :
terima kasih
kherudoung : kerudung
(Dimuat dalam Horison, April 1999)
Pemahat Abad
Oleh: Oka Rusmini
Kopag menjatuhkan pisau ukirnya
yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia
mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu
basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu
semakin mendekat.
“Siapa itu?”
“Titiang.1 Luh Srenggi.”
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag
semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya
jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing
terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi
wujud laki-lakinya.
"Katakan padaku, siapa kau?!”
"Titiang yang akan melayani
seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu terdengar
gugup.
“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai
menenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar
bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya?
Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti
ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan kejujuran, kasih sayang,
dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan
itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim
untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?
Ketika Kopag akan mengambil
tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag
semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa.
Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang
pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.
Baru kali ini Kopag merasakan
bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif
terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan
objek, sekedar mendengarkan keputusan
orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang- orang di sekitarnya, Kopag harus
patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran
yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran
yang telah menjadi ukuran mereka.
“Apakah di bumi ini wujud
kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan
untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”
“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin
mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag
terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!
Kopag sadar, sangat sadar.
Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada
perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah
orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan
mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat
digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag
menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia
lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?
Kecantikan perempuan muda itu
adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu.
Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik.
Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghargai
keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga
tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun
itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag
terhadap perempuan?
***
Kehidupan telah memaksa bocah
laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya
dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki
kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan
bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam
struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan
memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan
galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat
liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang,
laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli,
cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang
memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak
pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan
pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan
ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya
untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan
daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih,
sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati
laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang merenggut nyawa
perempuan itu.
Laki-laki itu harus berperan
sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah
ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan.
Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah
dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma
bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya.
Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi
Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu
kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag
telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia
memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam
menyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga menyerah pada
kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia
terus-menerus.
***
Kopag menarik nafasnya
dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke
mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada
dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan.
Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.
“Apa bisanya adikmu yang buta itu?
Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya.
Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau
terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu
tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.
Suara iparnya itu akan terus
menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata
orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar.
Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh
Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya
menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah
menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang-orang di luar hanya tahu
bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian,
pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki.
Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian
yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa
kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah
pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk
masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius
untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan
pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga
bangsawan. Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu
menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membusuk.
Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah.
Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat
mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang
merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa
mendapatkan perempuan tercantik di desa.
Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu
Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati
itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja
Bali.
“Luar biasa kecantikan Jero
Melati, Ratu.”
“Seperti apa perempuan cantik itu,
Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin
merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”
Laki-laki tua itu terdiam.
Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida
Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan
tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya
hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan
kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajarinya membaca.
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung
dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan
yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu
jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa
diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang
luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat,
dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia
baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.
“Gubreg, kau belum jawab
pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin
ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg,
rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki?
Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag
memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin
membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing
dari Prancis, Frans Kafkasau.
Laki-laki setengah baya itulah
yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia
bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buonorrty,
yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan
Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.
“Kau tidak ingin menjawabnya,
Gubreg?”
“Jangan bertanya yang aneh-aneh
pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada
laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.
Laki-laki tua itu sekarang ini
jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf
keluar dari bibir laki-laki Prancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar.
Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah
memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi
membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang
dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang
mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan
dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya
bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg
pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma
ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama
kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh
tahun.
“Gubreg, tubuhku gemetar setiap
menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu
penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”
Kilatan matahari menjilati
keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang
perkasa itu menjadi patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja
keruncingannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di
tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.
Sampai menjelang tengah malam,
Gubreg belum juga bisa menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang
sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab pertanyaan
tentang esensi menjadi laki-laki.
***
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah
membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,”
suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
“Tentang apa lagi, Ratu?”
“Kecantikan perempuan.”
“Titiang...titiang tidak bisa
menceritakan kecantikan perempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki
penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”
Suara Gubreg terdengar patah.
Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga
laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika
pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggelisahkan
ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa
itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang
mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.
Waktu itu Gubreg seorang laki-laki
kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga
mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan
menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu
naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan
mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg
menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari
ini masih melekat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang
dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa
menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah
kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan,
dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan
junjungannya, perempuan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa
diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari
belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara
dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia
sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg
sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga
Griya mencarikan dia seorang Balian, dukun.
Balian tua itu memberinya
jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran
pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir
sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua
itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat
kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan
si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya
membawa sesaji untuk penunggu sungai.
Gubreg tidak bisa bercerita
tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian
tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak
mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg
bersedia menjalankan runtutan upacara itu.
Tak seorang pun tahu, komunikasi
Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet
setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam
tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan
Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia
merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centaga. Cinta yang tidak mungkin
dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati
kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh
lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegairahan
sebagai laki-laki.
Kalau sekarang Kopag bertanya
seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah
dititipkan alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag
yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum juga jawab
pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali,
“Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“Yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku
membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo
Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu
ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan
berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu
itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku,
tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki
oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya,
sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga
memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans
dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat
sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan
lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang
memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan.
Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu
dan pisau telah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba
memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan
Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami
kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar
rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan
seluruh hidupnya untuk mengabdi.
Berkat Kopag, keluarga besar ini
kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor
dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati
tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya.
Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini
galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling
diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan
pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan
Prancis.
Gubreg tahu tak ada yang
diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak
ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.
***
“Kita harus carikan seorang istri
untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu,
Jero Melati tersenyum.
“Bagaimana kalau dia kawin dengan
calon yang telah kusiapkan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya
jauh-jauh hari.”
“Siapa?”
“Adik perempuanku,” jawab
perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama
kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar
kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya
berisi kehormatan.
“Kau harus bisa meyakinkan dia
bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip
perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan
paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual
tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak
tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.
***
“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali
ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira
arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia
terus mengelilingi studionya.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan
menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.”
Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu, titiang juga sudah
membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka.”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah
yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya,
ingin sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti
batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali
ini pilihanku tidak bisa diubah!”
“Siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti
tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh
Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan
studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya? Perempuan
itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang,
punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri
bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu
kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah
dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan
itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga
kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku
tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan
kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa
menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat
menembus dadanya yang tipis.***
1.
Saya
2. Panggilan kehormatan untuk
bangsawan Bali
(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)
Menjadi Batu
Oleh: Taufik Ikram Jamil
Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon
itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru
menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus
menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Berkali-kali
ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya
menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi,
hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” kata Jim
seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar
lagi semua tubuh mereka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna.
Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah
membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan
mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah
menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting
dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan
tersentak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu
yang abstrak. Jangan-jangan menjadi batu merupakan upaya memfungsikan diri
juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?”
tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lanjutnya. “Tak masuk
akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul
Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada
jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah
bagian dari keluargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu
yang panjang untuk menelusuri hubungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan
kini punya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku
ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar bagiku sampai
diangkat menjadi profesor. Ia dan keluarganya —sebelum kawin— memang pohon
penelitianku, tetapi aku tak pemah menganggapnya sebagai sesuatu yang berasal
dari luar diriku, sehingga ketika aku menelitinya atau orang kampung sekalian,
aku merasa meneliti diriku sendiri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah
yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, sekitar 150 km dari sini, lantas
berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bujang bedengkang waktu itu; tak lama
setelah berkawan akrab dengan Jim, ia yang kawin dengan orang sekampungnya,
tetap memandu Jim di lapangan. Tak mengherankan kalau di antara keduanya
terjalin hubungan antara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas.
Ketika Jim kembali ke negeri asalnya setelah tiga tahun menetap di desa Niru,
aku menjadi perantara hubungan mereka berdua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai
doktor di bidang yang ditelitinya yakni antropologi ekonomi, Niru dan aku
diundang menghadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau datang dengan alasan
yang tidak jelas walaupun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru
sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagiku, barangkali disebabkan
perhatian kami yang berbeda dan semua permasalahan di dalam penelitiannya
sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil
dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa penelitian Jim menggambarkan bagaimana
di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi,
tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal
Niru, sebenarnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di tengah ladang
minyak yang kaya raya dengan peralatan canggihnya. Belum lagi pembangunan perkebunan
besar-besaran yang tak terbayangkan sebelumnya. Suku Montai berdampingan
dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti
tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya
secara umum dinikmati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi banyak
orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri
terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak
berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku
belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tampaknya aku
harus melakukan tindakan karena sudah tiga kali ia menelepon, ketakutannya
terasa semakin besar. Tetapi belum sempat aku menyelidiki keberadaannya seperti
tindakan apa yang diharapkannya dariku, hubungan kami terputus. Cukup
lama aku membiarkan gagang telepon melekap di
telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya
tut ... tut ... tut....
***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim
berlari dari warung telepon yang seingatku terletak sekitar dua kilometer
dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah
sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di
tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Sebentar ia tercegat di
pintu dan sedikit saja ia menolak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya
pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihatan menyala karena butir-butir
keringat seperti tersimbah cahaya pelita yang merah kekuning-kuningan. Angin
berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun
ke tanah. Ia mencangkung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80
sentimeter dan membentang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Menengadah.
Cahaya bulan sepenggal dan kerlip-kerlip bintang yang tersapu awan hitam
tidak menimbulkan sembarang kesan elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Kakinya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah
Niru. Berat. Langsung saja matanya menyergap Niru yang tergolek di sudut. Kaki
sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak
mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil
juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang
tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu
hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,”
kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini,
sebelum fajar menyingsing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Raut, dan...
.”
Terdengar Niru ketawa kecil.
Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim mengikuti arah
mata itu dengan pandangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat
waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebelumnya Jim dan Niru masih
berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam
pertemuan dua sahabat lama itu. Jim menyadari keberadaan Niru dan keluarganya
seperti sekarang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan
angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu berjalan ke luar, ke
pinggir hutan selatan. Sinar maupun cahaya dari maskapai minyak dan
pabrik-pabrik sawit serta bedeng-bedengnya yang dipandang dari kegelapan
kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan
suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau tidak berdiri pada bidang
Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini
hari tadi, Jim memang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang pada Niru
dan keluarganya seperti tiba-tiba. Setelah berkali-kali mengajak berjalan ke
luar yang dengan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya mengeluarkan
kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah menjadi batu. Jim terpelanting, tetapi
tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan
istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada keluarga ini.
Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam semakin
banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan
istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam
lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi mana mungkin aku mempertahankan
ketidakpercayaan itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri
bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu
itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim
bertubi-tubi. Cepat pula ia bertanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin
berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru
terus berbicara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang menghilang
dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat
dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu sebenarnya
bukan pilihan kan? Tetapi mengapa
mereka menjadi batu?”
Aku ingin menjawab pertanyaan
itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan sebagai hujatan_ tentang menjadi batu tersebut terus saja
meluncur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nantilah .... Ya, nanti
saja. Apalagi waktu itu, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus dan aku
hanya dapat mendengar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat mengerti
kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi
batu, sementara sekian pertanyaanku kepada Niru hanyalah sia-sia. Ia sedikit
pun tak mau menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau mengenang masa-masa lampau,
soal-soal kemesraan, dan bercerita tentang kayangan yang sudah hilang,”
kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam
telingaku. “Ini sungguh amat menakutkan aku. Aku takut,” sambung Jim,
terdengar suaranya tersendat-sendat.
***
Sampai menjelang subuh, telepon
masih terlentang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia
segera menelepon. Barangkali selama menunggu ini aku sempat tertidur dan
terjaga karena suara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku mengerang.
Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jendela, aku melihat bulan
tergantung yang cahayanya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah
jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya remang-remang di dalam rumah
ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore
tadi. Kakinya terkepang, kadang-kadang bergoyang-goyang sebagai tanda bahwa
ia menyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita
tentang hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan
hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim suatu malam, mungkin tujuh tahun
yang lalu. Ia melihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan
kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari mataku meskipun aku sudah mengambil
majalah tersebut sambil lewat saja, tak sedikit pun membacanya kecuali memandang
gambar-gambar hamparan batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya
berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada
hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di
sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang
langit-langit, kemudian kembali memandang majalah itu dan mencari nama
penulisnya. Tanpa sengaja aku memandang gambar batu-batu yang berbentuk
manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin lelaki maupun perempuan,
yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan
entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok
manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi gelombang hidup
terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon
pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mempersempit dan semakin
mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu
di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah
goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap
jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar
yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia
sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya menyengat sampai aku
harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil melihat
kelakuanku itu sambil mengangkat bahu. Menyulut rokok sebatang dan
menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian mengatakan ingin keluar. Tak diajaknya
aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar basa-basi karena
malam itu aku menunggu tamu, seorang teman lama. Dini hari, ketika mataku
sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pagi lagi Jim
mengatakan akan pulang ke Tanah Airnya. Aku agak terkejut karena hal ini di
luar programnya semula. Katanya, ia akan berada di sini barang sepekan dalam
urusan apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia
sudah merindukan keluarganya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula
gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sendirinya
batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi
ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah beberapa hari
lalu saat ia meneleponku dan menyatakan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu
terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan
bahwa ia sudah diangkat menjadi profesor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak
hal mengenai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas
Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti sekarang.
Di desa itu sebagaimana
diungkapkannya lewat telepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti dahulu.
Tak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan, kelapa sawit di sana sudah
menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan
semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan
tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru semakin
terang benderang dengan berbagai fasilitas, termasuk hotel dan warung telepon
yang boleh dikatakan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan
keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa
rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau
lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga
makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan.
Jim juga mengatakan, tanah yang dibelinya seluas dua hektar untuk Niru dan
sejumlah orang sebagai tanda mata itu
sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah berdiri
berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan:
payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sempat
mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kampung itu, bahkan
kami di kota ini. Perlu waktu khusus untuk mengatakannya kepada Jim, tidak
cukup hanya melalui telepon. Aku berniat sekali mengatakan hal ini kepadanya
ketika ia pulang nanti. Tak ada maksud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa
kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baiklah, setidak-tidaknya aku akan
katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini
sedang kutunggu-tunggu.
***
Ternyata penantianku tidak
sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara
napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku
membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari
desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan
air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap muka. Ketika
kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku
terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan
pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan
menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal
itu, ketika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di
desa itu menjadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku menyesal karena
berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan
menjadikannya sebagai titik awal untuk menceritakan pengalamannya yang
lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru
aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan keluarganya juga
sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga
begitu. Dari sinilah kemudian aku tahu bahwa semua penduduk desa ini sudah
menjadi batu yang prosesnya sama dengan apa yang dialami Niru dan
kusaksikan langsung. Kini mereka semuanya sudah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam susunan
orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya
tak dikenal Jim, orang yang menjadi batu terlihat di halaman itu pun dalam
berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri bercekak pinggang, dan
entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim,
salah seorang manusia yang menjadi batu di halaman, sedangkan istri dan tiga
orang anaknya berada di belakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di
dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat
duduk di bendul dengan muka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya
tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh
kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini
beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk:
kaki sampai pinggangnya sejajar dengan lantai kaki kanan menghimpit kaki
kiri; sedangkan pinggang sampai kepalanya membuat garis 120 derajat. Tangan
kanan menopang kepalanya, sementara tangan kiri melempai mengikuti bentuk
pinggang. Tetapi mata Niru.... Matanya memandang tembus ke langit. Atap rumah
yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke
luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui
lubang itu tepat menimpa mata Niru, sehingga alat indera tersebut seperti
menyala dan melahirkan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana
ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak
sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia
tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia
berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar
harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah
kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia
tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan
menolak, dengan cepat ia meluncur ke
rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya belum sempat ia menyadari
keadaan dirinya menerima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pula
ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik
di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah
menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah
bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah
sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau
kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan
maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia
harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih,
tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula
diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak
tangga rumah Niru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit sisa
kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah
apa yang dipekiknya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengantarkan
kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa,
bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian
apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini.
Bukan bermaksud menjemputku pulang. Di mana letak dirimu sebagai manusia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna.
Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar.
Suaranya lantang berkumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim
menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun,
aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan
tongkeng di kursi, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku
benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja
Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang
menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja
Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu
sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang dialaminya di desa Niru walaupun ia
tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu
saja kami dapat bertahan.***
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Para Pemburu
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga,
sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang.
Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang
ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri,
ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir
telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini
kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau
bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan
diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan
kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan
terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa
begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu
cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami
sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan
kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan
sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup
dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar.
Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal memburu sesuatu.
Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan.
Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami
sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu
perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah
tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi
kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar
yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan,
mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala
mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana
menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara
dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan
sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan
dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari,
betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru.
Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah
arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang
itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi,
begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah
habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya.
Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari
tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus
anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka
sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia
7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghantam
kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah
kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan
menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua
binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
“Perburuan tak mungkin berhenti!”
“Kita akan cepat renta bila sehari
tak memburu apa pun!”
“Takdir tak bisa dihentikan.”
“Lantas bagaimana?”
“Apa pun yang terjadi kita mesti
memburu sesuatu!”
“Memburu apa?”
Itu membuat kami terdiam. Sampai
kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan
binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka
kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami
lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian
kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami
lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih
mengasyikkan daripada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan.
Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas,
perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi
tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para
penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah
dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan
memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan.
Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian,
daripada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam
perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan.
Semoga nasib baik bersama kalian... .”
Dan para pesakitan itu pun kami
lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan
juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang
membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah
yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami
beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan.
Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu,
memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh,
sasaran perburuan yang menggairahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka
dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak
negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati
perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu
dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa
menolak, ketika dari banyak yang datang kepada kami itu adalah para jenderal,
orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para
bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan
berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas,
mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kembangkan sebagai
ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan
kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jenderal menyediakan kami
senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal
bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk
memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan
buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis
mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru.
Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan
memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para
demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka
benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.
Kami bangun juga istana-istana,
tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang
kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di
hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak
lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam
kehangatan pesta.
“Ini darah seorang penyair
untukmu, jangan sedih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia.
Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi
keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu
yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang
kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang
agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga,
terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling
kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur
mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di
puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi.
Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepadan? Tak ada lagi yang
sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi
anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp
konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu
dan membantai orang-orang muslim di
Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan
apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani
menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami
terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman,
melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga
menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah
arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan
dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu
kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan
yang mengasyikkan.
“Kita harus melakukan sesuatu.
Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka
menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”
Lalu seseorang yang paling tua di
antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar
mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh
bibir orang tua itu.
“Untuk apa mengumpulkan para kiai
itu?”
“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku
ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling
menggairahkan.”
“Apa hubungannya dengan para kiai
itu?”
“Kumpulkan mereka, dari seluruh
dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!”
Kami terpukau oleh gagasan itu.
Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar,
membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
“Jibril! bagaimana kalau kita
minta Jibril!”
“Kami bersorai, anggur segera kami
tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang
gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera
mengeluarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para
kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan
kekerasan.
“Kami ingin Jibril,” kata kami
kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril
bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa
dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah
perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami,
kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”
Kami tatap wajah para kiai itu,
mencari kepastian dalam mata mereka.
“Baiklah,” tegas kami, “kalian
kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan
Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri... .”
Mereka, para kiai itu, kami giring
ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta
kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil
di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran.
Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang
tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk.
Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung
jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
“Kalian jangan bercanda!” teriak
kami.
“Kalianlah yang bercanda, dengan
meminta kami mendatangkan Jibril.”
“Baiklah... .”
Lantas kami membiarkan satu
persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga,
ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi
masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke
dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok
mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang
sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup
untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin?
Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk
dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun
menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung,
menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami
karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun
yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis
masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau
kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir
belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri
ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu
cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika
para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang
untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas
menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam
masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali.
Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali,
memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti
yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah
menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim
untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir
itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar.
Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar,
tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya
pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami
segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami
yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba
tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada
dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api
di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid
itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami
dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di
antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah,
di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami,
dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.
“Jibril!!”
“Jibril!!”
Seketika kami berteriak, antara
takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan
mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
“Buru!”
Teriakan itu, mendadak menyadarkan
kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini
telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan
sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing
senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya
biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
“Kejar!”
Kami pun melesat, mengejar Jibril.
Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan
rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk
memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali
ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami
hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami
jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati.
Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah
kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang,
agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun
Jibril melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir
telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini
benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu
tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu
Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat
menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau
kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu
istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga
itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah
harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
“Ke sana!” seseorang dari kami
berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan
abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.
Maka kami pun kembali bangkit,
meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi
kami.***
Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)
(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)
Gank
Oleh: Syahril Latif
1
Gang Haji Abdul Jalil adalah
sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal
itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai
dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas,
Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran
kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.
Anak-anak remaja mengganti huruf
pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya.
Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan
salah seorang di antara kami.
Belakangan, ada yang mengubahnya:
Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul
Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama,
disingkat saja menjadi Gang Jalil.
Apalah arti sebuah nama.
2
Di gang itulah aku dan teman-teman
tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain
gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main
galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main
congklak, atau melompat-lompat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang
terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian
mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti
setelah biduk lalu kiambang bertaut.
3
Penghuni gang itu terdiri dari
berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan penduduk asli Betawi,
sehingga kami tak merasa lagi perbedaannya. Kami telah lebur jadi satu:
penghuni Gang Haji Abdul Jalil.
4
Rata-rata, semua kami miskin dan
karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.
5
Sebagai gambaran kemiskinan,
rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan
susunannya.
Ada juga satu dua rumah gedung
yang berpekarangan luas dan bertaman,
membuat kehadirannya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel,
yang segera mengundang tamu atau teman kami yang datang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”
“Itu rumah pegawai pajak,” begitu
kami selalu menjelaskan.
“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya
lagi, “Yang di sebelahnya?”
“Rumah pegawai Bea Cukai.”
“Lebih pantas lagi,” kata mereka,
dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”
“Itu mah, pegawai negeri biasa
saja.”
“Kok sama hebatnya?”
“Maklum, menjabat bagian basah.”
“Bagian apa?”
“Tau, dengar-dengar bagian
pembelian atau perizinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?
6
Di sini dapat kau jumpai segala
macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima,
penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko,
sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan,
perawat dan lain sebagainya.
7
Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami
saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga.
Kadang-kadang mereka saling antar-mengantar sayuran atau makanan kecil. Kadang
menumpang menjahit baju anak di rumah tetangga yang punya mesin jahit. Dan
andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain
akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.
8
Sesekali, ibu-ibu kami terlibat
juga dalam pertengkaran kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang berantem.
Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih bersungut-sungut, anak-anak mereka sudah
berbaikan kembali.
9
Kurasa gang kami tak pernah sepi.
Macam-macamlah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak
henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan
makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk disengat
panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari
madrasah:
“Aanakum, Ainakum, Iinakum,
Aunakum, Uunakum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buunakum,
Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tuunakum, Tsaanakum, Tsainakum,
Tsiinakum, Tsaunakum, Tsuunakum ....”
Ejaan itu mengalun dalam irama
yang khas, mengasyikkan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin
siang.
10
Apa saja yang dimasak tetangga,
tak bisa dirahasiakan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang
gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini,
sungguh menitikkan air liur.
11
Lepas Isya dan makan malam, boleh
dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan
rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah
cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian mencari nafkah
membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas
meja gaple. Tak tahulah.
12
Berbeda sedikit dengan hari-hari
biasa, sekali sebulan pada petang Jumat, orang tua-tua kami mengadakan
pengajian di mesjid. Kami yang muda-muda, sebagai basa-basi, ikut hadir.
Nampaknya kehadiran kami melegakan hati mereka.
Di tengah pengajian sedang
berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple semalam
suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pagi, ditingkah senda gurau dan
gelak tawa tak berkeputusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu,
setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau dibawa mendengar pengajian,
tanda setan sedang mengencinginya!”
Tiba-tiba, semua membuka matanya
lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?
13
Jika yang tua-tua senang gaple,
kami yang muda-muda pun tak mau ketinggalan duduk menggerombol: ngobrol
ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, persis pengamen jalanan. Tempatnya:
gardu jaga siskamling. Kami menyebutnya ‘markas’.
Semua jenis lagu kami senang,
mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati
kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba
seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak kena:
sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Sesekali kami larut juga dalam
irama gambus.
14
Sekali-sekali, anak-anak cewek
ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka sudah dipanggil
ibu mereka. Atau disusul adiknya disuruh pulang.
15
Bagiku, semua anak-anak Gang Haji
Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Hamzah, Martin,
Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.
Usia kami tak jauh beda, hampir
sebaya. Dulu ketika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang tidak, kami
saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik
kepada yang lain.
16
Hamzah gitaris andalan kami, sejak
jadi mahasiswa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agaknya dangdut
seperti sudah dilupakannya. Atau dikuburnya? Pokoknya lagu Barat melulu.
“Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.
“Maklum, deh,” tambah yang lain.
Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.
Dan sekarang, bacaannya bukan
komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia
lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?
George Bernard Shaw atau Hemingway
atau Tolstoy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Boris Pasternak atau
Thomas Elliot!
Pokoknya: berat!
17
Kalau si Martin lain lagi. Sejak
jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu kelompok
teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.
Gaya bicaranya, gerak tangan,
jalannya, cara tersenyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayaknya bukan
lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu.
Tiba-tiba saja ia telah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa
lebih penting dan menonjol dari yang lain. Gayanya mirip-mirip Rendra, maunya.
Kalau ia bicara, seakan ia jauh
dari kita, nada suaranya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas
panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan suaranya. Kami tak tahu
pasti, apakah dia masih bisa berbisik.
Anak-anak hampir tak dapat menahan
ketawa.
Akhir-akhir ini ia agak jarang
nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh
latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!
18
Kukira, si Najiblah yang membuat
kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami.
Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan
ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu
tinggi, di luar jangkauan.
Apalah yang dapat diharapkan dari
pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya
rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil
perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya,
tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan
Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan
secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.
Nah, bersamaan dengan itu Allah
ingin menguji Najib, menguji keimanannya.
Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah
Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk
jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.
Sejak itu kami kehilangan seorang
teman kongkow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia
tidur, seperti musang.
Ayahnya Ustadz Malik tak tahu
putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang
dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai
Satpam di sebuah perusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.
Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu
betul berbohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah
tak shalat lagi. Lingkungannya tak memungkinkan, dan di mana mau shalat, dan
tak ada tempo, dan ia tak mau jadi bahan tertawaan teman-temannya.
Sebenarnya, Najib merasa sangat
terhimpit, tapi dilakoninya terus. Sampai kapan?
Dan kami, dan semua orang di gang,
merasa berkewajiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak
ingin menghancurkan perasaannya.
19
Sebaliknya, siapa sangka, jika
Allah berkehendak memberi hidayah kepada hambanya, Tony Handoko yang
agak ugal-ugalan itu, anak pegawai pajak yang gedongan itu, bersikeras
pada papanya mau masuk pesantren. Ketika hal itu disampaikan, bukan
main kagetnya sang papa, bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget,
heran, berang, bingung, tak alang kepalang.
Teriak papanya: “Mau jadi apa
kau?! Mau jadi santri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang.
Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omelan tak berkeputusan, bagaikan
rentetan tembakan senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo,
atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan
Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan
mengirimnya ke Amerika. Papanya menganggap keputusan Tony itu benar-benar
gila.
Setelah pernyataan pemberitahuan itu
kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bungkem, merunduk terus,
tak membantah sepatah pun, sampai papanya reda dan terhenyak di kursi.
Beberapa hari kemudian, kami, Tony
dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony
memintaku. Ia memerlukan teman dalam perjalanannya. Bahkan ia minta aku menemaninya
selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan
pesantren itu.
20
Sehari setelah keberangkatan Tony,
papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami terima, pada hari
ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibunya pulang sebentar untuk menjenguk
papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada
ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang
selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”
Aku mencoba melunakkan hatinya,
“Toh tidak apa pulang buat sebentar, bukan?”
“Tidak sekarang,” jawabnya pasti.
“Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma,
saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? ....
Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa
fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi,
martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, dunia dan kesenangan
melulu.… Apa dengan kekayaan itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah
dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, hanya mencari kesenangan dunia….
Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”
Tony menarik nafas panjang, nampak
kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut
pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis.
Jelas ini fitnah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai
hati akan mengadukan kelompok pengajian kami kepada yang berwajib, agar semua
kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi
'l-Lah.
Kini, kulihat air matanya
menggenang, hampir menangis.
Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena
takut dosa, menjadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa memaafkan papa.
Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya
percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang
tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia
21
Sebenarnya, yang suka “ekstrim”
bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam
(nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang
satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak
bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya,
persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam
Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Belakangan
ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam
Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian
Muslimah yang sebenarnya.”
Pakaian yang menutup aurat. Sesuai
dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi!
Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang
mu'min. Hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah
Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Aisyah r.a.: suatu ketika Asma binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah
sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tubuhnya), maka Rasulullah
melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang telah sampai masa haid tidak
boleh terlihat kecuali ini dan ini,” dan beliau menunjuk kepada muka dan
kedua telapak tangannya.
Sebenarnya, masih ada beberapa
ayat dan hadis, tapi Saudara-saudara dapat mencarinya sendiri dalam Al-Quran,
misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim dan Ahmad!
Pokoknya, sejak Aisah menjadi
eskrim, maaf, ekstrim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab!
Anak-anak yang iseng, menjulukinya dengan
“pakaian ninja”. Tapi Aisah tak
acuh saja.
Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak
punya lagi barang sepotong pun baju model lain. Kayaknya semua pakaian rok,
blus yang dulu, baik yang maxi, midi, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau
dihanyutkan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).
“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu
sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga
kepadanya.
“Itu namanya, sama saja kita
membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia
berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah
memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”
“Kau ini aneh, Aisah,” kataku
pula. “Dulu sebelum begini malah kau seorang modis, perancang busana....
Sekarang siapa yang mau menjahitkan pakaian padamu kalau hanya jilbab
melulu?”
“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu
waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidaktahuanku. Dan
siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja.
Rezeki di tangan Allah.”
Mantap sekali ia, fikirku.
Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi
lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah,
Aisah mendapat kerepotan di sekolahnya
(sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia
dianggap melanggar peraturan seragam sekolah, walau warnanya sudah putih di
atas dan abu-abu di bawah (sudah disesuaikan Aisah). Namun ia tetap dianggap
melanggar. Soalnya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan panjang dan
rok yang komprang kedodoran itu!
Kepala Sekolah sudah memberi
peringatan beberapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu
bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesudahannya. Yang
kutahu Aisah tetap tegar. Berkata mantap kepada kami anak-anak gang.
“Salah apa saya jika saya mengamalkan
ajaran agama saya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima
kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan
setiap warga negara untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan dan untuk
beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama maupun kepercayaan itu! Nah,
mana yang lebih tinggi kedudukan hukumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Sekolah?!”
“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami
spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.
Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau
mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang
terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka
keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat
penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita
ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”
Lagi-lagi kami keplok, senang
sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok
plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk
kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.
Rupanya Aisah belum selesai, belum
merasa puas, katanya sambil setengah
berbisik, mencorongkan kedua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI,
‘kali. Kan hanya orang-orang PKI yang
sangat anti agama?”
“Ya, ‘kali,” celetuk kami,
membenarkan.
Mengembangkan kedua tangannya,
mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi
orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan
secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi
sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka.
Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”
“Munafiiiik...!” teriak anak-anak
serempak.
“PKIiiiiiiii...!” tambah kami
lagi.
22
Di mana pun, dasar anak-anak, suka
becanda, suka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘markas’, tak pernah
luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi
dangdut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:
“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung...”
Aisah terus berlalu dengan
senyum-senyum dikulum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, berkata:
“Alangkah manisnya anak ini...?”
23
Suatu kali sedang aku asyik mentes
kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah berjalan
seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda
Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa,
persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.
“Waduh, alimnya.”
“Sorangan wae?”
“Mari, gue anterin, yuk?”
“Ntar lu digampar bokapnya!”
“Enggak apa asal gue dapat anaknya
yang ca'em.”
Dan macam-macam lagi.
Namun Aisah diam
saja. Jalan terus.
“Wah, kalian ini tak tahu aturan!”
ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”
“O ya lupa, assalamu'alaikum,
Neng?”
Dengan lembut Aisah menjawab,
“Wa'alaikum salam.”
Anak-anak pada sorak kegirangan.
Kuatir mereka menggoda lebih jauh
lagi, buru-buru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lantang untuk
mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku
berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.
“Ada cowoknya, Mek!”
Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.
“Kau tidak diapa-apakan mereka?”
tanyaku.
“Tidak.”
“Anak-anak berengsek!”
“Mereka cuma iseng.”
“Kurang ajar,” kataku, geram.
“Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”
“Kasih hati bagaimana?”
“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”
“Dosa lho, salam tak dijawab.
Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya
kita mendoakan mereka pula.”
“Ya, ampun...,” kataku tak habis
fikir pada Aisah yang satu ini.
24
Lain Aisah, lain pula Maryam.
Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak
dengan teman-teman sebayanya, main engklek, main loncat karet, tiba-tiba
seperti disunglap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang indah. Gadis kecil
itu tumbuh jadi remaja yang amat cantik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan
perubahan dirinya.
Penampilan yang pertama
mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan
penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara luas. Semua orang kagum
padanya. Bukan pada nyanyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.
Maka sejak itu, kami tak merasa
heran, kalau berganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang berkunjung ke
rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan
menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menonton, ke
restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi
tenar ibukota, pemain film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop,
pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang paling akhir anak orang kaya
bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!
Dan setiap kali Maryam dan
padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang
dikeraskan:
“Baru lagi, ni yee?!”
25
Maryam memang cantik. Yang
tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian
menurut Hamzah.
Kukira, Hamzah menaruh hati pada
Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.
“Tapi apalah arti kecantikan jika
tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula,
berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.
Dari bacaan berat mana pula Hamzah
memperoleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak tahu.
26
Suatu hari, berani-berani takut,
kutanyakan pada Hamzah apakah ia mencintai Maryam.
“Tidak!” jawabnya tegas.
Aku terperangah.
27
Tapi akhimya aku tahu juga,
mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya
dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak
pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang sederhana. Memutuskan
hidup jadi pengarang dan berhenti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah
majalah.
Dalam puisi-puisi dan
cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia
pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat
diraih kembali.
28
Dari bisik-bisik anak-anak cewek
dapat kutangkap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan
ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah
ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih
dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap
berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda baktinya buat mereka yang telah
bersusah payah, membesarkannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
29
Akhir-akhir ini, aku tak merasa
betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian
diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi
Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh
di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik
puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.
Tony Handoko mungkin sedang
terbenam dalam kitab kuning bertuliskan
Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di
desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.
Najib mungkin sedang mencampur minuman
haram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayahnya sedang mengaji di
rumah. Batinnya tertekan. Namun ia tak bisa berbuat lain.
Sedang mengapakah Martin
sekarang? Lakon apakah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet tokoh yang
selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pulang. Aku tak tahu sedang mentas di kota
mana ia sekarang.
Masing-masing teman pergi membawa
nasibnya sendiri-sendiri.
30
Suatu hari ayahku berkata dengan
sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus
dengan bocah-bocah itu? Teman-teman sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah
mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi membiayai sekolahmu.
Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”
31
Malam hari ketika aku pulang dari
mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan
‘markas’. Ramainya masih seperti biasa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di
sana Najib, Tony Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat
sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***
(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)
Lonceng
Oleh: Motinggo Busye
Jam dengan merk Junghun itu
belakangan ini menyengsarakanku. Istriku menjadi perempuan yang bawel.
Ini karena ulah jam itu. Padahal barang itu kami beli untuk menambah
kebahagiaan istriku dan aku. Tinggi jam itu setinggi tubuhku. Bila loncengnya
berbunyi, maka terdengarlah sebuah nyanyi. Nyanyian ini mengisi
kalbu istriku dan kalbuku sendiri.
Walaupun akhirnya mengesalkan,
tetap saja aku mencoba memetik kenangan lama yang indah setelah
jam Junghun itu mengisi ruang tengah rumah kami. Kami dulu mempertimbangkannya
cukup lama untuk memutuskan di mana harus diletakkan jam yang sebesar
itu. Jika ditaruh di ruang tamu, kelak tamuku akan cepat pulang, sebab
kehadirannya merasa dikontrol oleh jam. Sedangkan kami berdua
membutuhkan tamu.
“Sebentar lagi kita akan merayakan
ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu
sore. Sore itu, aku dan Ina sedang duduk-duduk berdua sembari minum teh dan
makan jeruk. “Hari itu ulang tahun perkawinan perak kita.”
“Kamu tentu ingat tanggalnya,
Ina,” kataku.
“Betul, Sam. Kita menikah pada 10
November dua puluh lima tahun yang lalu.”
“Kalau begitu tinggal 4 hari
lagi.”
“Ingat enggak, siapa yang datang
pada pesta kita itu?”
“Mantan pacarmu,” kataku.
“Juga mantan pacarmu,” katanya.
Kami ketawa bersama. Kami suka
mengulangi lelucon yang sama itu setiap ada bekas teman sekelas hadir.
Tentu lelucon ini menambah semarak suami-istri. Orang yang kurang rasa
humor mungkin heran. Mereka harus diberitahu, bahwa mantan pacar istriku
adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.
Kuingat sekali, hanya untuk perkawinan
perak itu saja kami berdua sangat sibuk.
Kami telah pergi ke Pasar Glodok
untuk mencari sebuah barang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan
abadi. Setelah dua tiga toko kami masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan
di hati kami berdua. Ketika kami lewati beberapa toko, secara mendadak dan
serentak langkah kami berhenti. Terdengar satu nada indah mirip lagu
yang menyentuh perasaan kami. Aku dan istriku saling menatap.
“Kita menemukan pilihan jam antik,”
ujar istriku.
“Ini benar-benar abadi,” kataku.
“Tanyakan harganya, Sam,” kata
istriku. Makin larut perkawinan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan
nada setengah memerintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga
seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.
Istriku melotot setelah aku sebutkan
harga yang diberitahukan pemilik toko jam itu.
“Merknya Junghun,” ujar sang
pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”
“Ya kurangilah separohnya,” ujar
istriku.
Kebiasaan istriku adalah sama dengan
kebiasaan banyak perempuan di jagat ini: menawar terlalu rendah dan
berlama-lama untuk jenis satu barang. Kadang sudah pergi kembali lagi ke
toko sebagaimana terjadi pada hari itu.
“Coba Nyonya cari di seluruh
Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”
Istriku telah dikunci tanpa alternatif.
Lalu, ketika uang dihitung, kurang sedikit. Sebagaimana biasa, aku
menggenapi kekurangan itu. Ketika setiba di rumah, istriku bilang,
“Sebenarnya aku menguji apakah kau masih kikir. Maka kutinggalkan beberapa
lembar di tasku agar kamu ikut membayar juga, Sam.”
Memang begitu. Dari masa berpacaran
dulu, kami menganut aliran navy-navy. Kami meniru para pelaut yang suka bayar
masing-masing bila makan di restoran. Kebiasaan ini bukan selalu buruk.
Kami justru menciptakan humor baru ketika harus ber-navy-navy.
Jam Junghun telah kami taruh di
ruang tengah. Dia selama tiga hari kami tunggu berbunyi. Saat itu
adalah pukul 00.00 pada hari 10 November.
Ketika loncengnya berbunyi menyanyikan
irama indah itu, aku meremas jari tangan istriku. Ketika loncengnya
berbunyi 1 kali, remasanku lebih kuat lagi. Dan ketika gema 12
kali masih mendengung, aku dan istriku berpelukan.
Lonceng jam itu memberikan zat
rohaniah pada diri kami. Kebetulan kami berdua menyukai musik klasik. Tapi
irama lagu lonceng jam ini melebihi seluruh musik klasik kesukaan kami.
Bertahun-tahun kami menikmati
duduk berdua menunggu lonceng jam itu bernyanyi setiap seperempat jam.
Ketika pada seperempat jam, dia menyanyikan satu bait saja. Ketika
setengah jam, dia menyanyikan dua bait. Ketika tiba tiga perempat jam,
tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait komplit.
“Kita tak pernah merasa tua oleh
lonceng jam ini ya, Sam?” kata istriku.
“Ya. Padahal jam ini sudah 15
tahun di rumah kita,” kataku.
“Mungkin kamu betah di rumah
karena lonceng ini,” kata istriku lagi.
“Tapi aku betah di rumah bukan
karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah karena sudah memasuki pensiun,
dan terutama karena adanya kamu.”
“Sudah gaek masih gombal,” kata
istriku.
Pernah juga istriku bertanya,
“Kenapa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”
Makin tua dia masih pencemburu
seperti dulu. Tetapi pertanyaan itu agak aneh di telingaku.
“Aku tahu, ketika aku harus berhenti
sewaktu kita menikah sudah pasti ada seorang gadis yang senang,” katanya.
”Si Aimah,“ sambungnya.
Peraturan kantor memang, jika ada
dua orang menikah di satu ruang kerja, yang perempuan harus diberhentikan
dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.
Orang yang sama sekelas di SMA,
sama pula di perguruan tinggi, dan sama pula selesainya, akan sama
nasibnya jika melamar di kantor yang sama di bidang yang sama pula: jika
menikah, yang perempuan harus mengalah menjadi penunggu rumah.
“Kalau aku bicara soal si Aimah,
kamu suka membisu. Padahal dia amat mencintaimu, Sam.”
Aku memilih diam. Akhirnya aku
bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.
“Kalau kamu kawin sama Aimah,
mungkin kamu sudah punya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 tahun tanpa anak
dan cucu,” ucapnya. Dan inilah yang bikin aku marah dan kami bertengkar.
Ketika pertengkaran itu terjadi,
lonceng jam menyanyikan lagu itu. Sebelum empat bait lagu itu bergetar,
aku dan Ina sudah berpelukan.
“Kita tak perlu bertengkar lagi.
Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”
Tetapi, ajaib sekali. Biasanya
kalau jam itu mati, aku bisa memperbaikinya. Yaitu menaikkan kerekan
rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk
menyesuaikan waktu. Kali ini loncengnya berbunyi tidak cocok lagi dengan waktu.
Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.
“Kau bilang dulu kamu menguasai
ilmu listrik. Tapi kenapa betulin jam saja sudah salah. Bahkan ngawur. Pukul
12 bunyinya 6 kali.”
“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir
lagi, Ina,” kataku.
“Itu logis saja, Sam. Aku kan tidak
bilang kamu tolol.”
“Sudah, diam kamu. Kamu makin tua
makin cerewet.”
“Kamu makin tua makin tolol.”
“Aku mau keluar.”
“Mau cari Aimah?”
“Bawel kamu.”
Aku mencari ahli jam. Menurut
pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, namanya Mahboub
Assegaf, ahli pembetulan jam dan piano. Ketika aku tiba di rumah Arab itu,
orang di rumah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wafat. Kalau mau
beli buah kurma dan kismis, ada dijual di sini.
“Aku tak bertemu dengan orang
Arab itu,” kataku pada Ina.
“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”
“Coba tenang, Ina. Kita jual saja
jam Junghun ini. Kita beli yang baru,” kataku.
Dia marah. Bahkan mencak-mencak.
Dia katakan, "Jam ini penuh kenangan. Bertahun-tahun dia membuat
kita berdua menikmati irama loncengnya yang pernah bernyanyi merdu.
Jangan, Sam, kita tak boleh merusak kenangan yang diberikannya.”
Aku mengalah. Tapi itu tidak berarti
aku tak 'kan bertengkar lagi dengan Ina. Dan aku gigih terus memperbaikinya.
Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku walau tanpa perkataan “tolol”.
Dua tahun menjelang ulang tahun
perkawinan emas kami, aku terus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi
lagi, dan bunyinya harus tepat 12 kali pada pukul 00.00 tengah malam 10
November. Dimulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatinegara. Seorang
tukang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mencemoohinya.
“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli
jam generasi penerus ayahnya. Bahkan dia mengenal Ami Mahboub Assegaf,”
kataku ketika memperkenalkan tukang arloji itu kepada Ina.
Istriku mendehem. Anak muda itu
bekerja keras. Keringat membasahi bajunya, sekaligus menyebarkan bau ketiaknya
di ruang tengah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam
ini berbunyi 36 kali."
“Cukup, Nak. Memang dia gila,”
kata istriku.
Yang mulai menjadi korban jam
Junghun adalah Ina. Dia mulai berlangganan dokter spesialis penyakit dalam.
Ia menderita tekanan darah tinggi. Suatu malam dia menjerit karena satu mimpi
buruk. Katanya, jam gila itu berbunyi 120 kali.
“Sabar, Ina. Kita jangan panik.
Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh benda yang bermerk Junghun. Aku akan
coba perbaiki sendiri. Manusia harus mengalahkan benda mati ini,” kataku
yakin.
Istriku menyebut lagi perkataan
“tolol” itu. Ini menambah semangatku, sampai aku berhasil! Aku merayakan
pesta emas 50 tahun perkawinan kami. Tengah malam pukul 00.00 jam itu
bernyanyi empat bait komplit, lalu mendentingkan loncengnya 12 kali. Sayang,
saat itu istriku tidak mendengarnya, dan tak 'kan pernah mendengarnya.
Ya, kurayakan pesta emas perkawinan
itu seorang diri, diiringi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat
indah.***
(Dimuat dalam Horison, September 1999)
Lelaki Tua dari Noumea
Oleh: Waluya DS
Seperti biasanya untuk
menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble
bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih
sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan
persoalan-persoalan yang menjerat perasan
serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia
berkecimpung.
Diamatinya kedua telapak tangannya
yang penuh dengan buih-buih sabun yang
memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa
gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun
itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang
mempesonakan. Persis seperti masa kanak-kanaknya di halaman belakang rumahnya
di Noumea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan
belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung
tetap bergantung di ujung pipa rumput kering itu tak mau pergi. Dengan
hati-hati dihembusnya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni
pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia
pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti
akan bisa melihat rumah-rumah, pepohonan serta sungai-sungai dari angkasa.
Tapi dia belum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya
itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih
teliti gelembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam
gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya gelembung itu dengan ujung
jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengukuhkan
rasa sepi dan sendiri.
“Di negeri leluhur kita, Nak, kau
tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu
dia merengek karena tak ada kawan bermain dan beberapa saudara tuanya tak ada
di rumah, sedang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.
“Ceritakanlah negeri leluhur itu
padaku, Ibu?”
Bila ada waktu ibunya dengan tak
bosan-bosan bercerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Damarwulan, Joko
Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Sutawijoyo, bahkan juga bagaimana
keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu begitu indah
dan memukau. Dan dia tak bisa mengerti kenapa orang tuanya meninggalkan
Negeri Leluhur yang begitu mempesona. Setiap pertanyaan yang dilontarkannya
selalu lewat tanpa terjawab.
Hanya secara kebetulan suatu hari
salah seorang saudaranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu berulang-ulang
memberikan jawaban yang cukup memuaskan.
“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah
begitu meracunimu, Rio.”
“Namaku Aryo dan bukan Rio,”
protesnya. Dia lebih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya
bobot karena nama Aryo mencerminkan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.
“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan
yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan
angan-anganmu menggelembung dan menelan dirimu sendiri nanti.”
“Tapi namaku bukan Rio,”
potongnya.
“Kau mau tahu jawabanku atau mau
protes melulu?”
Dia hanya mengangguk karena
jawaban saudaranya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.
“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu
kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lupakanlah
dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Lebih baik kau coba membina hidupmu di
sini; itu lebih penting.”
“Tapi itu hidupku sendiri.”
“Aku hanya ingin supaya kau tak
kecewa nanti. Setiap adat dan kebudayaan punya kelebihan dan kekurangan yang
tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”
“Maksudmu?”
“Dengan bapak kita di Negeri
Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih
merupakan beban daripada usaha manusia untuk memuliakan hidupnya. Sebagai
putra seorang pangeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa
tidak punya tempat dan hak.
Pertemuannya dengan Tuan van
Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen
telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota
jemaah gereja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak melakukan usaha dagang
bersama yang cukup berhasil. Sebagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya
usaha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha dilakukan
untuk mendepak bapak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kandungan,
ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang
didalangi Tuan Sneevliet. Didesas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya
karena pernah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang merupakan kader
Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya
hanyalah usaha terselubung untuk memudahkan gerakan kader-kader Komunis.
Tentu hasil usaha dagang itu juga dipakai untuk membiayai kegiatan mereka.
Orang selalu dengan gampang mencelupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana,
bukan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya
pada kita semua, bapak membawa kita untuk memulai hidup baru di Noumea.
Pernah kudengar bapak sedang
bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali meninggalkan Jawa.
Bahkan dia merasa beruntung mengambil keputusan sebelum tuduhan atas
dirinya menjadi-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Noumea, bapak
dengar khabar bahwa orang- orang
Komunis atau yang dicurigai sebagai Komunis dibuang ke Digul oleh
pemerintah penjajahan.”
Jawaban saudaranya itu justru
menimbulkan beberapa pertanyaan baru. Kenapa harus merisaukan martabat
keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian
dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya hanya pada
keluarga mereka sendiri? Seharusnya bapaknya lebih baik tetap di Jawa untuk
membuktikan bahwa dia tak ada hubungan sama sekali dengan kaum Komunis.
Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya,
bukan?
Semua perayaan itu selalu
menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan bertanya-tanya
lagi. Memang tidak gampang memisahkan benang yang kusut. Lebih baik memulai
satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di
Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari
tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan
pada Ratu Adil. Mungkin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya sebetulnya
tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya
saja? Tapi setiap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Perancis,
orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang
pribumi. Orang Perancis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.
Betapa gembiranya ia ketika suatu
hari sebuah kapal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa berbicara bahasa
Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa mengerti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah
nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal
ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak
begitu akrab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu menjelaskan bahwa
daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan
pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika
tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan
sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Ngayogyakarta Hadiningrat
menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Dia merasa begitu bahagia bahwa
ternyata dongeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Tapi ternyata punya
pijaksana yang nyata bahwa keturunan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau
Jawa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan menjabat wakil presiden.
Tiba-tiba dia merasa punya tugas yang harus diemban untuk mengembalikan kekuasaan
mutlak Sri Sultan.
“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah
angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira
orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan
memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia merasa sebagai
titisan Nabi Musa yang harus membawa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke
tanah leluhur.
“Tapi bukankah itu justru
kelebihan kita?” belanya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka
berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi daerah Perancis Selatan.
Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana
dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka mengirimkan uang dan senjata untuk
melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau
tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya memikirkan hidup kita di sini saja,
kita tak akan jauh berbeda dengan orang Kanak. Mereka menjadi golongan
minoritas dan kehilangan hak di tempat mereka sendiri. Kau tahu satu-satunya
kesalahan mereka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”
“Bicaramu sudah begitu ngawur.
Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.
Dengarkan kami baik-baik, Rio.
Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegilaanmu yang
semakin parah. Kami sadar menghadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati
tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih harus menga-suh cucumu
Dewi bukan soal yang gampang.
Sadarlah, Rio, dan jangan kau biarkan
kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama kami mengembangkan
keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteemmu.”
Dia merasa usahanya membujuk sanak
saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia
mencoba memahami jalan pikirannya.
Memang langkah pertama
mewujudkan impiannya itu semakin kabur setelah Jatmiko, anak satu-satunya
mendapatkm kecelakaan ketika menyelam di laut. Dia ditemukan dalam keadaan
lumpuh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena kekurangan zat asam. Jatmiko
memang masih hidup. Tapi yang ada tinggallah tubuhnya yang harus ditunggu
kerelaannya melepaskan dunia yang fana.
Rasa kehilangan Jatmiko bisa
segera terobati karena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang
kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi
akan bertemu dengan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan
menurunkan Ratu Adil yang senantiasa dinantikan itu. Dewi memang tumbuh
menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di
samping otaknya yang cukup cemerlang.
Untuk menjembati pertemuan Dewi
dengan pangeran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Melbaourne untuk
menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di
Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia
dan juga seorang Profesor Belanda yang ahli dalam masalah Mataram. Namun setelah
beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-suratnya Dewi tidak pernah
menyebutkan pengetahuan barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun membaca
surat terakhir Dewi padanya:
Jangan marah, Kakek, dari
Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari kuliah-kuliah
mereka bisa dengan gampang kudapatkan dari buku-buku. Soalnya setiap orang
bisa punya pendapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata dalam perbuatan
bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku
sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.
Sekali lagi gelembung-gelembung
impiannya retak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu sudah di luar
jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa
petunjuk pada Dewi.
“Jangan tergesa-gesa marah, Rio.
Bukan salah Dewi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan sebangsa
serdadu yang hanya menjalankan perintah tanpa berpikir atau mengajukan
pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama perkawinan
mereka hanya selalu mengiyakan kehendaknya dan hampir tidak pernah
menyatakan pendapat sendiri.
Dia harus merasa tetap tawakal dan
sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi
khabar pada Dewi, dia dan istrinya menuju ke Australia. Setelah mendarat di
lapangan terbang Tullamarine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bilangan
kota. Melbourne terasa begitu teratur dan rapi. Sedang kesan pertamanya
seperti begitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Windsor
adalah hotel yang mapan punya sentuhan kolonial. Tidak seperti hotel-hotel
modern yang baru yang begitu trendi.
Setelah makan siang mereka
menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan neneknya ada
di Melbourne.
“Kakek dan nenek menginap di hotel
apa?”
“Windsor di Spring Street,”
jawabnya sambil memberikan nomor kamar mereka.
“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek
dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi walaupun dia tahu
bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern
Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”
Sejauh ini dia masih merasa bisa
mengontrol keadaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni
mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni
lukis dan sekaligus juga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa
yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan menghasilkan pengalaman langsung
mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan peluang untuk
ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.
“What a lovely surprise,” Dewi
dengan wajah yang berseri-seri muncul di depan kamar ketika dia membuka
pintu, langsung memberikan ciuman di kedua belah pipinya. “I have a surprise
for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, kakek
dan nenekku.”
Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin,
tak ada mendung dan hujan tapi geledek segera menyambar. Sejak kapan Dewi
berbahasa Inggris pada mereka. Mungkin karena ada John; tapi paling tidak
pada mulanya Dewi seharusnya menyapa dalam bahasa Jawa. Tapi masalah berikutnya
yang disampaikan oleh Dewi secara kalem itu menyambar seperti ledakan
bom atom Perancis di Atol. Dewi sedang menantikan kelahiran anak pertamanya!
Merasa dirinya sebagai priyayi
Jawa dia tak bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Sedapat mungkin
diusahakan menunjukkan sikap kebijaksanaan calon seorang eyang buyut.
John ternyata memang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi selama dua
tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah menyebutkam rencana kawin sama
sekali. Sebelum mereka pergi, karena John harus memberi kuliah dalam waktu
setengah jam lagi, ternyata dia masih bisa menahan diri dengan mengajak
mereka makan bersama malam nanti.
“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti
waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.
Dia tidak bisa mengerti sama
sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau malu,
bahkan seperti bangga sekali. Dihempaskannya badannya ke kasur dan
langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka.
Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.
“Lebih baik kau mandi dulu, Rio.
Air sudah kusiapkan semua,” kata istrinya sambil menghampirinya. “Kita
bisa bicara dengan tenang nanti.”
Dia lepaskan semua pakaiannya dan
dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi.
Dengan telanjang dia berjalan menyeberang kamar menuju ke bathroom. Sebelum
masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup
tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya
kepalanya yang menyembul keluar. Dalam hati dipujinya istrinya yang selalu dengan
baik menyiapkan air untuknya, tidak terlalu panas dan campuran bubble bath
cukup creamy dan kaya akan buih.
“Mandi yang bersih, Rio, kau
banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang tidak pernah mandi.” Dia ingat
ibunya selalu menegurnya bila ia terlalu lama bermain-main saja di
bath tub. Sekarang tidak pernah ada seorang pun yang mengganggunya. Biasanya
bila sudah terlalu lama istrinya pasti masuk ke bathroom dengan membawa
handuk yang bersih atau piyama.
“Rio, kau mau piyama atau ganti
pakaian untuk nanti malam sekaligus?” tanya istrinya membangunkannya
dari segala kenangan.
“Beri aku pakaian yang bersih,
aku kepingin jalan-jalan sebentar di Bourke Street.”
Istrinya hanya mengangguk dan cepat-cepat
keluar karena mendengar bunyi telpon berdering. Dia tersenyum sendiri, ingin
dia menyebut istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri
Arjuna. Dikeringkannya tubuhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek
yang lembut baunya.
“Dewi yang baru saja telpon,” kata
istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bilang kalau
kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran
Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak
terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya
sebagai entree, kita bisa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari
Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol
sambil mendengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata
istrinya dan sibuk mengenakan pakaiannya yang bersih.
“Rio kau dengarkan aku atau
tidak?”
Lama tak ada jawaban. Sesaat kemudian
dia berbalik menghadapi istrinya.
“Ya. Dan aku begitu heran bahwa
kau hanya tenang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sendiri.”
“Pendapat dalam hal apa?” tanya
istrinya.
“Kau tahu kenapa kita kemari!?
Untuk apa kita ke Melbourne?”
“Kau jangan membentakku
seperti itu, Rio.”
Dia begitu tersentak ketika untuk
pertama kalinya istrinya berani menegurnya.
“Dewi! Dia, dia....”
“O, itu. Kuharap kita bisa
berbicara secara lebih beradab,” potong istrinya. Dia begitu geram mendengar
kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.
“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”
“Kau mau mendengarkan pendapatku
atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”
Dia hanya melotot tak bisa percaya
bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah
bertahun-tahun hidup bersamanya.
“Kalau soal impian gilamu mengenai
Negeri Leluhur itu terus terang saja aku tak punya. Meskipun keturunan orang
Jawa aku hanyalah wong cilik keturunan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku
tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu.
Tapi soal Dewi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita
sendiri.
Kau boleh punya ukuran moral yang
tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memaksakan ukuran itu
untuk hidup orang lain.”
Dia menarik napas panjang dan
melangkah menuju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sendiri,
“Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara bapakku
di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”
“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru
kenapa kau selalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan
dan pikiran orang lain.”
Hening dan mereka berdua saling
bertatapan.
“Aku mau pesan minuman, kau mau
juga?” tanya istrinya.
Dia tidak menjawab dan istrinya
pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta
diberi dua gelas.
“Jangan kau anggap aku melawanmu,
Rio. Aku bicara dengan jujur seperti ini karena aku mencintaimu. Aku tidak
peduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Apakah kau anggap aku ini babu
atau istrimu itu tidak soal bagiku. Cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa
pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sendiri.”
Tiba-tiba dia tidak tahan melihat
air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibukanya
pintu ketika pelayan datang membawa pesanan istrinya. Ditandatanganinya
nota bon supaya bill itu dimasukkan dalam rekeningnya nanti. Pelayan itu
tersenyum lebar menerima tip yang lumayan.
“Shall I open the bottle now,
Sir?”
Dia hanya mengangguk dan pelayan
itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan
istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pelayan pergi.
“Rio, apa yang kita cari dalam
hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi
merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”
Dia hanya mengangguk dan
pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya memandangnya
dengan pandangan tidak percaya.***
(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)
Tempat yang Terindah untuk Mati
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Kami, 10.000 pasukan berkuda,
akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa
yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya
merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang
terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan
kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang
serba menjulang dan mencekam.
“Pacu!”
Orang-orang yang berada paling
depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu kudanya, bahkan
kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perintah untuk segera
memacu diri mereka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu dengan angin
dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.
“Pacu! Pacu!
Pacu!”
Kami semua berpacu sepanjang
padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegembiraan
kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, dengan tenaga baru yang seolah-olah
begitu saja datang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu,
seperti mengerti betapa jiwa kami telah lama begitu tertekan dalam perjalanan
berat menempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh dengan rintangan. Kami
menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari
belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun sekarang, cuma inilah yang
bisa kami lakukan, berpacu melawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan kegembiraan
kami.
“Huuuu! Huuuuu!
Huuuu!”
Satu per satu penunggang kuda yang
keluar dari hutan segera melaju. Kami, 10.000 pasukan berkuda, berderap
melaju menuju cakrawala. Padang stepa diselimuti salju yang tipis, dingin
angin bagaikan mengiris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak
matanya saja. Seluruh tubuh kami terbungkus jubah bulu binatang yang tebal
dan berat. Kami juga mengenakan topi dan sepatu dari kulit binatang berbulu
tebal. Semuanya terbungkus, begitu juga tangan kami yang memegang
kendali. Para pembawa panji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke
depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat
menggetarkan. Kuda-kuda kami saling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh
derap pasukan yang melaju dan menggebu.
Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak
mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang tebal
melambai-lambai dengan megah dan seluruh gerak tubuh mereka bagaikan menari
dengan indah. Langit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang
memacu kudanya ke cakrawala yang melingkar 360 derajat. Hutan di belakang
kami kini bagaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik kaki
langit. Kami bagaikan berpacu di atas permadani tanpa tepi. Selama
berjam-jam kami akan berpacu dan kami akan tahu bahwa pemandangan ini tidak
akan pernah berubah. Di telinga kami angin bersiut dan menderu. Kami
terus-menerus berderap sepanjang padang. Kami bersedia membayar segalanya
untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu menggembirakan,
bahkan perjalanan berminggu-minggu di dalam hutan yang melelahkan pun kami
lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami
masih jauh lagi, kini kami mengambil peluang untuk meraih kegembiraan.
Kuda-kuda kami terus berpacu
dengan laju. Kuda-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup kami. Tanpa
kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda kami selalu mengerti apa yang kami
inginkan, dan mereka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan.
Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian,
selalu berpindah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah sesuai dengan
pergantian musim, perjalanan angin, dan peredaran bintang. Semua ini tak bisa
lancar tanpa kuda sepanjang pengembaraan. Kini kami semua sudah siap menempuh
perjalanan yang terakhir, dan kuda-kuda kami tetap setia mengikuti sampai
akhir tujuan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai berpacu dengan
angin. Telinga kami semua penuh dengan desau, yang kadang-kadang terdengar
seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari
kepastian.
Sampai di manakah suatu perjalanan
berakhir? Apakah mungkin suatu perjalanan berakhir? Apakah mesti suatu perjalanan
berakhir? Sudah bertahun-tahun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa
yakin kapan suatu perjalanan bisa berakhir. Kami mengembara dan menjelajah
segenap permukaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai sekarang
tiada satu alasan pun bisa menghentikan kami. Kami menyeberangi
sungai, kami mendaki celah-celah gunung, kami mengarungi gurun pasir, dan
kini kami berpacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak juga
ingin berhenti. Kami bisa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu,
dua, bahkan bisa lima tahun, namun kami selalu berangkat kembali. Rumah
kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.
Padang stepa yang terbuka masih
tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu
dengan polesan salju. Begitu luasnya padang gurun ini sehingga kami merasa
berjalan di tempat. Apakah yang terjadi di tempat-tempat lain ketika kami
berpacu? Panah seorang pemburu sedang melesat ke jantung seekor rusa ketika
kami berpacu. Burung-burung kondor beterbangan melingkar di langit
mengincar pengembara yang sekarat kehausan ketika kami berpacu. Seekor
ikan salmon menangkap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami
berpacu. Benarkah seekor gajah menegakkan belalainya dan melengkingkan
bunyi terompetnya nun entah di mana ketika kami berpacu? Seseorang mendayung
perahu menuju matahari terbenam ketika kami berpacu.
Kami berpacu, berpacu, dan
berpacu.
“Huuuuu! Huuuuuu!
Huuuuuuu!”
Kami berderap dan berpacu memburu
matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi bagai tempurung
raksasa membiru kini semburat merah terbakar. Matahari terasa betapa berat,
menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari segenap penjuru
bumi. Kami berderap dan berpacu menuju matahari itu. Langit masih membara.
Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang kehitaman yang melesat ke
suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus memburunya
ke balik cakrawala.
***
Tempat itu dinamakan Lembah
Sepuluh Rembulan. Ada sepuluh danau di lembah yang luas membentang itu dan
seharusnya ada sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau. Namun,
ketika kami akhirnya sampai ke lembah itu, musim dingin belum berakhir
sehingga sepuluh danau itu masih menjadi dataran salju. Bila bulan yang perak
itu muncul di langit malam, cahayanya dipantulkan kembali oleh permukaan
danau yang diselimuti salju. Di setiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami
berkemah. Di Lembah Sepuluh Rembulan inilah kami akan menunggu 100.000
saudara-saudara kami.
Seseorang dari kami tampak meniup
seruling di kejauhan itu. Ia meniup seruling sambil duduk di sebuah batu
di atas tebing, seolah-olah berhadapan dengan rembulan - bahkan rembulan seperti
turun ke bumi hanya untuk mendengarkannya meniup seruling.
Tapi apakah rembulan mengerti
arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang
dengan bahasa kami sendiri. Apakah rembulan bisa memahami, betapa nun di
sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami berkemas untuk
sebuah perjalanan yang tak kami ketahui kapan akan berakhir? Apakah rembulan
mengerti, betapa berat penderitaan suku kami sepanjang perjalanan
mengarungi benua itu, menghadapi segenap rintangan alam maupun suku-suku
musuh kami? Apakah rembulan mampu menangkap gelora semangat pengembaraan
kami? Tak terhitung lagi berapa
orang telah mati dan berapa bayi telah dilahirkan sepanjang perjalanan
dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak
begitu banyak tahun yang telah lama berlalu.
Ia meniup seruling di atas tebing.
Berkisah tentang kafilah panjang yang menyeberangi gurun, orang-orang yang
mengendarai kuda dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur dengan gelisah
di dalam gerobak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, sementara seorang
nenek tua bersenandung dengan suara buruk tentang tanah air yang sudah
mereka tinggalkan.
Lembah Sepuluh Rembulan adalah
suatu lembah gersang dengan dataran yang sangat luas. Kami membiarkan
kuda kami menjilati lelehan salju dan merumput di sana-sini. Kami siapkan
kantung-kantung tidur dan selimut kami. Bukit-bukit batu yang menjulang dan
membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan
api unggun. Di setiap api unggun masih tampak orang-orang membakar sisa-sisa
daging perbekalan mereka dan mengunyahnya dengan lahap. Beberapa orang
masih minum susu hangat yang beraroma teh, dan mendengarkan seseorang bercerita.
"Maka sang raja pun jatuh
cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."
Kami selalu membutuhkan cerita,
seruling, dan kuda. Kami memuja rembulan dan matahari. Kami menyembah
langit, kami menyembah bumi. Kami mencintai keindahan seperti mencintai
kehidupan itu sendiri.
Apakah yang akan kami lakukan
selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa tenda adalah suatu siksaan yang
berat bagi kami, karena musim dingin yang selalu berangin akan terus-menerus
menguji ketabahan hati kami. Barangkali kami akan memanfaatkan waktu
untuk berburu, bukan hanya karena daging binatang buruan kami perlukan
untuk menimbun perbekalan yang mulai menipis, tapi juga karena kulit berbulunya
yang tebal kami butuhkan untuk membuat tenda. Apabila 100.000 saudara-saudara
kami tiba, mereka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua,
akan membutuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami adalah tenda yang besar
dan hangat, sudah berabad-abad bentuk tenda kami tidak pernah berubah. Di dalam
tenda itu kami bisa memasak sekaligus menghangatkan diri kami.
Ketika kami semua bersiap tidur
dan memandang bintang gemintang di langit, peniup seruling itu masih di
sana, melanjutkan kerinduannya yang panjang akan kampung halaman kami yang
terletak di sebuah dataran tinggi di tepi sungai, dengan latar belakang pegunungan
yang menjulang megah. Seruling itu mengingatkan kami kembali kepada kampung
halaman leluhur kami yang sungainya tidak pernah membeku, di mana bila senja
tiba di tepi sungai akan terdengar derai tawa ceria gadis-gadis yang mandi,
sementara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga
yang panjang itu dicuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bukit di mana
anak-anak gembala memainkan serulingnya sambil tiduran di atas kerbau --
inikah sebabnya suara seruling itu membuat kami diam? Kami sedih. Kami pasrah.
Kadang kami tidak tahu apa yang harus kami perbuat.
Kemudian, ketika suara seruling
itu lenyap ke balik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam
mimpi-mimpi kami, menjelma gambar-gambar yang berkelebat dari masa lalu
kami. Betapa selalu masa lalu berada dalam diri kami, dan kami menyukainya
karena memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu kami yang semakin
hari serasa semakin indah.
Kami sudah menempuh perjalanan
yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan
pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru
bumi, bahkan ia menyeberangi samudera mahaluas, menghubungkan kami dengan
segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.
Kemudian, tinggal kesunyian di
Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas,
tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar
desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala
diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan
yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun
mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana.
Sesekali tertutup awan.
***
Setahun kemudian seorang pengawal
di atas tebing berteriak.
“Hooooiiiii! Mereka sudah datang!”
Kami semua segera melompat ke atas
kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah
langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami
pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nantikan. Tak
kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik
kaki langit.
Hari sudah menjelang senja, langit
bagai tenda raksasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan
sosok-sosok hitam yang seolah-olah berjalan di tempat. Dengan perasaan yang
sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit,
langsung melompat ke atas kuda kami. Dengan segera, kami menggebu menyambut
100.000 saudara-saudara kami yang masih merupakan sosok-sosok hitam di kaki
langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka,
sebagian dari mereka yang mengendarai unta dan berkuda segera melesat ke
depan ingin segera bertemu dengan kami.
Senja itu langit yang ungu serasa
begitu cerah. Tiada yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu
menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang
panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak
genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan,
seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.
Kemudian kami melihat panji,
bendera, dan umbul-umbul yang sama. Berkibar dengan megah, bergetar-getar
dalam tiupan angin. Semua ini menggetarkan jiwa kami dan kami merasa betapa
setiap detik dalam hidup kami sangat mempunyai arti. Kami menggebu
dengan perasaan rindu dan penuh dengan cinta. Seperti apakah mereka kini?
“Huuu! Huuuu! Huuuu!”
Kaki-kaki kuda, berderap dan
berpacu. Sosok-sosok hitam itu makin lama makin membesar. Mereka yang terdepan
akhirnya bertemu muka dengan kami. Masing-masing dari kami kemudian berhenti
dan berhadapan. Rombongan yang terdepan itu masih menanti mereka yang terseok
di belakang, dengan gerobak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang
berjalan kaki.
Kami semua turun dari kuda.
“Akbar!"
“Abdul!”
Kami semua berpelukan dengan penuh
rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun
kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah
bersatu kembali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wajah mereka
tampak lelah dan kuyu, seluruh pakaian mereka usang dan kelabu, penuh dengan
debu, namun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pasrah dan ikhlas,
siap menempuh perjalanan untuk mati. Kami menyatu kembali dalam
gairah kehidupan yang panas. Angin begitu dingin, namun tiada akan ada satu
pun halangan kini bagi kami untuk mengungkapkan sukacita kami.
Begitulah kami akan membaca puisi
di tepi danau, menari di atas perahu, memetik kecapi di puncak bukit, dan
melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di bawah rembulan dan matahari.
Kami menatap saudara-saudara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gembira.
Betapa mereka begitu tabah, dan kini begitu kurus. Wanita dan anak-anak kami
berambut kasar dan merah. Semua orang tampak tak terurus, tapi siapakah yang
akan bisa tampak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke
benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?
Kami terus-menerus saling
berpelukan dengan jerit dan tangis yang makin menjadi-jadi.
“Sarita!”
“Maneka!”
Mengapa kita bisa terus-menerus
memikirkan seseorang meskipun kita berjarak begitu jauh dari seseorang itu
dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-kadang sebenamya susah mempertahankan
ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam suatu perjalanan yang
terus-menerus berubah warna? Namun, betapa tiada jarak lagi kini bagi kami.
Kami semua menemukan masing-masing keluarga, kami berjalan kembali ke Lembah
Sepuluh Rembulan sambil menyenandungkan lagu syukur dari hati. Langit
memberkati kami. Paduan suara lagu kami dipantulkan kembali oleh
dinding-dinding tebing dan semua ini hanya mengingatkan betapa kami
sebagai manusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.
Kami membagi diri kami berdasarkan
pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari saudara-saudara
kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan
berkuda kami. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan
membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi
arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah
berasap membangkitkan lapar.
Kami begitu siap untuk bahagia,
tapi kami menahan kegembiraan meluap kami sebagai bekal menahan penderitaan
pada masa-masa yang akan datang. Kami tidak bermabuk-mabukan dan lupa daratan,
kami menyalurkan kebahagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa
melakukannya. Maka begitulah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh
Rembulan. Kami mendirikan tenda bagi orang-orang yang sakit, kami mengatur
pengelompokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami.
Saudara-saudara kami yang baru datang itu begitu lelah dan begitu kurus sehingga
agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak berkemas
dan berangkat kembali.
Kini semuanya sudah berada di
Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa
melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama
musim panas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang
itu datang pada musim dingin, jadi mereka hanya melihat sepuluh danau yang membeku.
Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan
di atasnya. Gajah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga unta dan
kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut
sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka dalam
perjalanan kami.
Dalam perjalanan itu 53 orang dari
kami meninggal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, sementara itu 53
bayi dilahirkan sehingga jumlah saudara-saudara kami yang baru datang itu
tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan
masih tetap berjumlah 10.000 orang.
Begitulah selama beberapa bulan
yang tenang kami tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau
masih membeku, namun rerumputan menjadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas,
kami semua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap melanjutkan perjalanan.
Kami berangkat pada pagi subuh.
Bulan masih menggantung di langit. Dari atas tebing kami menoleh untuk
terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rembulan. Kami melihat sepuluh rembulan
mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang melihatnya tersenyum
dalam hati.
***
Sudah berbulan-bulan kami terus
berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum
matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah
perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami
berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus
badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika
kami putuskan berhenti sebentar untuk berburu. Kami terus-menerus berjalan
dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam
hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami melangkah mendekatinya.
Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melangkah, kuda dan unta melangkah
pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perlahan, khusyuk dan meyakinkan.
Kami jarang bercakap-cakap di antara
kami karena hati kami sekarang hanya berisi penyerahan diri kepada kehidupan.
Bayi-bayi seperti tahu diri untuk tidak menangis, bahkan mata mereka pun bagai
menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barangkali mereka juga melihat
cahaya itu yang hanya bisa ditatap dengan mata hati di langit jiwa masing-masing
yang mengerti dari mana hidup ini datang dan ke mana hidup ini pergi. Kami
berjalan menapaki jalur di antara lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan menapaki
gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, dengan bayi di gendongan,
orang sakit dalam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak boleh
ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang
begitu licin dan terlalu sering memelesetkan.
Kadangkala tiba saatnya seorang
wanita harus melahirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti
mengurusnya, sementara yang lain meneruskan perjalanan. Rombongan kami
membentuk barisan yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar
seperti semut bila tiba di padang terbentang. Mereka yang telah menjadi tua,
lemah, dan lumpuh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang masih setia.
Gajah-gajah ini berbadan besar, namun seperti tidak mendapat halangan jika
berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lincah di jalan
setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian
dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat gajah
sehingga kadang-kadang mereka harus memisahkan diri untuk bertemu lagi di
suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya,
tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah
benar-benar saling terpisah.
Begitulah di antara kami kemudian
ada yang meninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa meninggalkan upacara
yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya.
Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati dalam perjalanan ini sebenarnyalah
mati dalam kebahagiaan. Arwah mereka membubung menyusuri cahaya, menuju
sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah
dunia yang kami rindukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari
dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan kehendak yang sejak lama
terlukis di gua-gua leluhur kami yang begitu gelap di mana mereka merindukan
cahaya keabadian.
Kami melangkah, menapak pelan,
terus-menerus berjalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami
temukan. Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang serasa alangkah
panjang dari benua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tanda-tanda
cahaya dalam jiwa kami yang penuh dengan keyakinan. Dari gurun ke gurun
rombongan kami berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tempat
pemukiman maupun binatang. Dalam kenangan kami masih tergambar dengan jelas
betapa di tempat-tempat yang kami lewati pemandangan terpampang begitu indah
sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami
rindukan. Namun kami tahu, meskipun matahari terbenam yang jingga itu
begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan
dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang terindah untuk menuju kematian
karena tempat itu memang tidak terletak di muka bumi ini.
Tentu saja kami masih selalu
teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa menggemparkan. Kami
berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi
kosong. Kami melewati desa dan kota yang penduduknya melihat kami lewat bagai
pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehidupan
sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya
hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang
menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana
bagai negeri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi meninggalkan kampung
halaman kami dengan meninggalkan segala kebahagiaan yang telah kami dapatkan
demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mimpi kami.
Dunia kami memang berubah semenjak
menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tanggapan. Kami semua
bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh keanehan
di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan
terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami semua terpana
dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan
untuk menuju sumber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, semakin
banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi malam kami dan betapa kami semua semakin
merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami inginkan itulah terletak
arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami
semua harus berkemas mempersiapkan sebuah perjalanan yang belum bisa
diketahui berapa lama dan kapan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung mengatakan
bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang
telah lama silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan
warisan darah yang diturunkan ataukah memang datang dari langit malam yang
penuh dengan khayalan.
Langit merah di kaki langit. Kami,
110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.
***
Kemudian, tibalah kami pada suatu
pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah
berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan
kemudian membukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke
suatu tempat yang tiada tertera dalam peta mana pun di muka bumi. Memang
masih seperti gunung-gemunung tapi bukan gunung-gemunung, memang masih
seperti hamparan salju yang terpoles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak
berbulu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-poles di sana-sini
dengan hewan-hewan ternak berbulu tebal, memang, memang, memang langit yang
ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat
di muka bumi tapi bukan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit
masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.
Garis cahaya yang meluncur
sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas
melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Kami membasuh wajah dan
telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami.
Kami menanak sarapan pagi kami dengan percakapan sesedikit mungkin dan kami
makan perlahan-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut
saat-saat terbaik dalam hidup kami dengan perut terisi. Semua orang
mempersiapkan dirinya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena
semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan
bertahun-tahun mengikuti cahaya di dalam langit jiwa kami.
Inilah pagi yang berembun dan
berkabut yang perlahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan
siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa
menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti tentang segala hal yang
akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan
sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu menampung 110.000 orang
seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum
apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, mengambang, dan pergi. Kami
tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami
yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.
Langit ungu muda. Tiada mega di
langit -- kami merasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari
berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami
menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fana. Kami belum
lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam
kehidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan kami pun seperti tampak
mempersiapkan diri. Gajah-gajah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak
yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu mendapatkan gantinya. Kami
merasa sangat berterima kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan kami
merasa lebih dari layak bisa membawanya membubung ke Negeri Cahaya.
Maka langit pun terkuak dan kami
terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas
lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara
yang menggelegar, namun dada kami berdebar bagaikan terdengar suara yang
menggelegar. Cahaya yang terang menyilaukan segera memutihkan dunia kami.
Kami tetap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami melihat
segala-galanya memutih diserap cahaya. Padang rumput memutih, panji, bendera
dan umbul-umbul kami yang berwarna merah pun memutih, segala-galanya memutih.
Kami mencoba mengingat segala sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mimpi-mimpi
kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu
yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup berwarna putih. Kulit
hewan peliharaan kami pun memutih, seperti juga seluruh busana terbaik yang
kami kenakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya memutih lantas
mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.
Begitulah kami semua, kemudian
tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang berdenyar-denyar
menyilaukan membuat kami masing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sendiri
setelah dari hari ke hari hampir selalu bersama-sama semenjak dilahirkan di
kampung kami. Tiada lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda
berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan
purnama. Sungguh semua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun seperti
juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir
menuju lautan, begitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan
penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang terlalu
menyenangkan. Begitulah kami menyerahkan diri dengan segala dosa dalam tubuh
dan jiwa untuk disucikan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir
tujuan kami.
Lantas kami alami bagaimana jiwa
kami diluncurkan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, kelak-kelok
labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.
Kami berangkat melewati tujuh
rembulan, tujuh matahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit
yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan kami kemudian merasa mampu berada
di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke utara,
secara serentak tanpa harus merasa berada di tempat yang berlain-lainan.
Begitulah rombongan kami, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan
lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda kami menyusuri jalan cahaya di langit
yang telah terhampar di hadapan kami.
Kini kami semua telah menjadi anak
cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-perbedaan kami karena
kami semua hanyalah anak-anak cahaya yang saling menyilaukan dan saling melupakan.
Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di jalan yang terindah menuju
kematian. Tiada lagi yang bisa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, dengan
atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun bersama rombongan. Tiada yang lebih
penting lagi kini selain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih
berharga lagi selain keindahan dalam kematian.
***
Kulihat di sepanjang langit,
kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan perjalanan?
Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari suatu perjalanan panjang ke satu
tujuan kurindukan diriku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Semakin
jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada kenangan, semakin aku merasa
diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, dengan
segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa
cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?
Kulihat satu per satu dari kami,
109.999 anak cahaya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Barangkali
ini memang tempat yang terindah untuk mati. Aku melihat seribu cahaya berenang
dan berkelebatan. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke dalam cahaya
gemerlapan. Tinggal aku sendirian, menaiki kuda putih di atas awan,
melihat-lihat pemandangan.***
Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni
1996
(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)
Enclave*
Oleh: Ramadhan KH
“Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!”
(Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san mengucapkan kata-kata itu sambil
membungkukkan badannya dalam-dalam, beberapa kali. Sungguh, dengan perasaan
haru dan suara hikmat ia lepaskan isi hatinya itu dengan tulus. Ia merasa
benar-benar gembira. Gembira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit
yang ada di atasnya.
Beberapa meter di depannya berdiri
Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.
“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju
lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta
menganjurkan Okayama supaya melangkah lebih jauh, melihat lautan itu dari
tempat yang lebih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hay! Hay!” kata Okayama sambil
lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak
Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di
hari tua.
Di sebuah onggokan ia berhenti,
lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti
goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang
beruntun bergantian sampai ke pantai.
“Tempat ini bagus sekali. Negeri
ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.
Dari kejauhan ia berteriak dalam
bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan
tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan
tangannya.
Seraya melangkah ia mereka-reka
kembali rencananya yang sudah bermalam-malam bersama menantunya, Subarkah,
membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya,
Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.
“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya
di depan Pak Marta.
“Senang? Senang punya tanah ini?”
tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.
“Aaahh, senang, senang,” kata
Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan
Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak,
kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada
di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan
menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia
memilikinya juga, karena uang yang dibelikan tanah itu adalah uang
simpanannya. Dan ia gembira, sangat gembira, bahwa Subarkah menetapkan,
tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di dalam surat-surat jual belinya.
Malahan terakhir sudah dicantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik
Michiko, Nyonya Subarkah.
Pak Marta mengajak bicara
Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu
pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di
sekolah menengah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman sekolahnya
sebagai murid yang paling pintar bahasa Jepangnya.
Kalau tidak terpatahkan oleh
kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke
Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.
Bicaralah lagi Okayama-san dalam
bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak
Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah
ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan
rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa
Jepang) bisa tumbuh di sini?”
“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di
sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.
“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di
sini?”
“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta
meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat
itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang
disukai Okayama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di
sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di
Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tumbuh di sini.
Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti
oleh Okayama-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana
mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya
gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemilik tanah itu di sana,
melainkan karena mertuanya bisa mendapat kesibukan yang bakal disukainya:
bercocok tanam, di hari tuanya.
Bahwa Okayama-san, kini merasa
senang, uangnya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di tepi pantai di
daerah Sukabumi Selatan itu, adalah disebabkan pengetahuannya bahwa di Jepang
mustahil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar
Tokyo, orang menjual tanah dengan ukuran jengkalan, bukan meteran, karena
mahalnya, sejuta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok
itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk
siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tunggalnya),” Okayama
pernah berpikir. Sebab itu ia berikan uang senilai empat puluh juta rupiah,
sebegitu yang diperlukan Michiko, untuk membeli tanah di kampung
Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Selatan itu. Okayama yang sudah
pensiun dan ditinggalkan istrinya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana
berlibur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk
barang dua atau tiga bulan.
Di atas tanah seluas satu hektar
lebih milik Michiko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih sederhana.
Tapi nanti rumah tua itu akan diganti dengan bangunan yang bagus. Okayama
sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik
keturunannya itu. Sebuah rumah potongan Jepang dengan jendela-jendela dan atap
potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama sekarang, dengan uang yang
sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa
mulai dilaksanakan.
***
Okayama-san bersahabat kental
dengan Kakutani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan
sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani
bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan dengan terperinci
sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya
Sidanglaut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.
“Dan bagusnya, bagusnya
pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Okayama-san
kepada Kakutani-san yang juga mempunyai cukup uang simpanannya.
“Dan istimewa lagi,” cerita
Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada
daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan
masuk hutan, melihat binatang langka?”
“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”
“Sungguh!” kata Okayama
meyakinkan.
“Tapi, bagaimana saya bisa membeli
tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani
dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.
“Mengapa kamu tidak punya akal?”
kata Okayama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu
(--Kakutani lebih muda--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wanita
Indonesia. Cantik-cantik lho, hahaha....”
Kakutani seperti kena goncangan
yang membuat ia sadar. Ia pun pernah bertemu dengan ibu Subarkah, besan Okayama,
waktu datang di Osaka. Dan terkenang sampai sekarang, bahwa wanita itu benar
cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia cantik sekali waktu mudanya,”
komentar Kakutani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihatnya. Tetapi
ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.
“Cantik-cantik?” Kakutani seperti
mau tambah diyakinkan, dengan nada suara seperti berhasrat.
“Beneran. Cantik-cantik. Kalau
kita jalan ke Sindanglaut itu, kita bisa lewat di sebuah kampung yang namanya
Kadupandak. Saya pernah dibawa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadupandak
itu banyak sekali yang cantik. Sungguh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat
di kampung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali.
Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank sekarang, kamu bisa dapatkan
seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi
supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”
Kakutani jadi berpikir beneran.
Dan terbetik hasratnya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima kebiasaanku,
dan bisa membeli tanah yang luas, mengapa pula aku mesti simpan uang itu?
Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri
ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak
memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan
pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa menikmatinya.”
Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah sebatang kara.
***
Saatnya pun tiba. Kakutani dan
Okayama sudah ada di Jakarta.
Malahan ini yang kedua kalinya
sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi
ke Sindanglaut.
Cepat sekali prosesnya, Kakutani
memperlihatkan seorang wanita yang lumayan cantiknya kepada Okayama. Ia,
pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurseha, begitu nama perempuan yang
dibawanya, ditemukannya di sebuah panti pijat.
“Kami akan kawin,” kata Kakutani
kepada Okayama.
Waktu ada kesempatan berdua
Kakutani dan Okayama, Kakutani bercerita bahwa Nurseha memenuhi hasratnya dan
tidak banyak permintaannya. “Hanya meminta supaya saya masuk agamanya. Dan
saya sepakati. Nampaknya agamanya kuat. Cuma keadaan ekonominya saja
yang pernah membawa dia ke tempat panti pijat,” kata Kakutani setelah
didesak di mana mereka bertemu.
“Kalau sudah begitu, apa bisa ia
sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.
“Ia berjanji. Dan kamu yang
mengatakan bahwa perempuan Indonesia itu bisa tinggal di rumah, bukan?
Nulseha (--ia tidak bisa mengucapkan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau
bersama saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang
telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa menghapus apa yang
sudah-sudah. Yang dipentingkannya hari depannya.
“Bagus, bagus kalau begitu,” kata
Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat
pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.
“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan
benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan
belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.
“Kapan akan nikah?” tanya
Okayama-san.
“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.
***
Benar juga. Tidak lama setelah
itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh
Okayama. Pernikahan itu dilaksanakan di depan penghulu, setelah Kakutani
memenuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluarganya.
Tanah di Sindanglaut yang
berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya.
Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi
terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan
suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha
merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang
rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar
juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang bagus itu,
di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langitnya, dan gelombangnya amat
memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang
surat-surat tanah itu.
“Mustahil aku bisa punya tanah
sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan
sering saja berada di sana.”
***
Di sebuah organisasi di kotanya,
Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia menceritakan rahasia
hidupnya. Sebab itu pula ia tak beralangan menceritakan tentang tanah yang
dibelinya, atas nama Nurseha yang pernah ditemukannya di sebuah panti pijat,
tapi sekarang sudah jadi istrinya.
Kanazawa-san, pemborong bangunan,
tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang
diceritakan temannya. “Benar murah,” pikirnya, setelah ia membandingkan dengan
harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh.
Ia pun sudah beberapa kali membaca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indonesia
dan apa yang bisa dilihat di negeri di sebelah selatan itu.
“Tapi bagaimana kami bisa membeli
tanah di sana?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.
“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di
sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang,
segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana,
untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim.
Kalau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal
di sana. Di sana kan selalu ada matahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal
di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa
membeli tanah seluas itu dengan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini.
Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.
***
Kanazawa-san terbang bersama
Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindanglaut.
Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.
“Bagaimana cara membelinya?” tanya
Kanazawa.
“Ini, ini orangnya yang bisa
membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di
Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko
dan Nurseha.
“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa
menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.
Kosasih yang pernah membantu kedua
orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia
tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan
orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantongnya sendiri lebih dari
lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu,
tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisahannya itu. “Tak ada
kesalahan saya,” pikirnya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anaknya.
Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-kita juga. Sah-sah saja,” pikirnya.
Okayama dan Kakutani lalu mengajak
bicara Kosasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati
Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia
mengetahui, ada sebidang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya dari tanah
Michiko. Tanah itu bekas perkebunan kecil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan
dijual. Tetapi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari tanah Michiko.
“Tidak jadi soal. Rumah-rumah
kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun
yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa
dengan uang?” pikirnya.
Ketiga orang Jepang itu pergi ke
tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang
kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.
Ada kekurangan di tanah bekas
perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat
Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa
kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak
nempel pada pantai.
Kanazawa-san menginginkan membuat
semacam hotel di sana.
“Tetapi hotel akan laku kalau
menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kakutani.
Kosasih seperti bisa menangkap apa
yang diinginkan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepada Okayama:
“Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang
menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi
jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil
menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa
beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten
akan setuju, sehamparan tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja
dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.
Ia berpikir lagi. “Ini jadinya
proyek pembangunan.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja
di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu
mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.
“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata
Kosasih kepada Kanazawa. Kemudian kepalanya digerakkannya menghadap ke arah
Kakutani, lalu ke arah Okayama, meminta dukungan. Ia menunggu kepastian.
Ketiga orang Jepang itu
mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosasih
mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di
antara perasaannya.
“Ya, asal benar bisa diatur
begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.
***
Selang beberapa waktu,
Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi.
Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.
Masing-masing mengatur
kepemilikannya. Okayama yang sekali ini didampingi Michiko dan suaminya,
Subarkah, sudah mulai dengan membangun rumah yang mereka cita-citakan. Rumah
tua sudah dibongkar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Kakutani-san pun
langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal
dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya
sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tukang-tukang
yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya
itu.
Kanazawa-san dikerumuni oleh
pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pegawai Kabupaten
Sukabumi pun ada di sekelilingnya.
Rencana bangunan hotel sudah siap.
Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. Dengan duit, apa yang
tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai,
atas anjuran penasihatnya ia sudah menggaet orang di Jakarta penguasa
penting.
Penghuni beberapa rumah yang
menghalang-halangi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk
pindah. Entah berapa ongkos memindahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang
Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kantong saku siapa.
Tanah yang menghalangi-halangi perkebunan kecil dengan laut itu pun sudah
diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Kabupaten, malahan di
kantor Gubernuran, sehingga bisa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang punya
uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah
diperhitungkannya, masih jauh lebih murah daripada jika harus membangun di
negerinya.
Maka pembangunan dimulai di daerah
itu.
Nampak sekali ada kesibukan di
wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu,
karena bukan saja Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san yang membangun
di sana, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Takahashi-san dan
beberapa lagi orang Jepang yang bukan saja tertarik, melainkan sudah mulai
membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun
terlantar itu.
Orang-orang Jepang itu mendengar
kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun
sampai pada mereka. Dan semua menghitung: tanah di Sindanglaut itu
benar-benar jauh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang
di Osaka atau yang di Okinawa sekalipun. Mereka seperti sudah berpikir,
bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja,
untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak
yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka.
Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri
mereka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, keturunan mereka.
***
Maka ramailah pembangunan di
Sindanglaut. Kebanyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan
dari Jepang. Sebab kebanyakan pemilik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat
dan pelbagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk perkaranya_ memungkinkan
rumah-rumah dan bangunan lainnya di sana berbentuk seperti di kampung asal mereka.
Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk
bangunan Jepang.
***
Pak Marta datang di Sindanglaut.
Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa
di kampung di tepi Samudera Hindia itu sudah berdiri satu daerah enclave,
daerah kantong Jepang.
“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu
ia sebentar merenung.
Ia menjawab sendiri: Okayama-san
adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha adalah istri
Kakutani. Kanazawa-san adalah pengusaha yang diajak datang untuk menanam
modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem
dito. Okahara-san sami mawon. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak seberapa
sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya rumah baru dan istri baru di Sukabumi
dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik
motor Honda yang paling diidam-idamkannya dan paling disenanginya.
Lebih dari duapuluh orang Jepang
sudah membangun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang lebih dari dua
ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah
catatannya.
Tinggallah Ramdan yang berjongkok
menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari
kejauhan. Bukan saja hatinya terganggu, gamang, untuk ikut serta dalam pembangunan
itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun sudah sakit-sakitan. Di hatinya ia
merasa tertinggal, karena rumahnya pun sudah tergusur.
“Tetapi siapa di daerah ini yang
tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi
di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang
diajaknya bicara.
Pak Marta tidak sanggup menatap
wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapannya ke
kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak
yang bergelombang.
“Pilihanku benar,” kata Pak Marta
kepada Ramdan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus.
Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.
“Jangan jongkok terus begitu,
Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada
kursi.”
Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta,
bangkit dan duduk di kursi.
“Bagaimana perasaan Bapak melihat
kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi beberapa
pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal
dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutannya jadi amat
serius.
Dengan ragu, Ramdan, orang tua
itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu,
Pak Marta.”
Pak Marta cepat mengerti.
Sementara itu Kosasih datang. Ia
menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk
badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan
mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya.
Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, terutama
kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tuanya, mertua-mertuanya. Ia sudah
bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa ditayangkan di
televisi yang ia saksikan di rumahnya.
“Berapa umur Bapak?” tanya Pak
Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”
“Ah, saya belum lahir waktu itu,”
jawab Kosasih.
“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?”
kata Pak Marta.
“Ya, Pak. Tadinya saya mau
dipindahkan ke Sukabumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti dibangun, Pak.”
Ia setengah membusungkan dada. Hati kecilnya berbisik jujur. “Di sini lebih
menguntungkan.”
Di tengah itu Garnida muncul dengan
menaiki motornya.
“Wah, kamu sudah punya motor
segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.
“Alhamdulillah, Pak,” kata
Garnida.
“Maju yah. Hasil kerja di sini?”
tanya Pak Marta.
Ramdan mengetahui silsilah
pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Rumahnya,
rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”
“Ya, Pak Kosasih membujuk kami,
Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan,
juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung
pemuda masa sekarang yang diusik oleh pelbagai tayangan barang jualan di
layar kaca dan hanya memikirkan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.
Sekali Garnida bertatapan muka
dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan
penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua
serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.
Suasana pun seperti direka untuk
jadi demikian.
Sementara itu pembangunan di
daerah enclave berjalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***
*) Enclave = Daerah kantong.
(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Horison, Agustus 2000
Jati Diri
Oleh: Nh Dini
Pak RT tergesa masuk, bertanya
kepada istrinya:
“Mana Iwan?”
“Belum kelihatan.”
“Jum’atan apa tidak dia.”
Istrinya tidak menanggapi, karena
Pak RT seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Perempuan itu sibuk menghitung
bungkusan gula pasir yang baru selesai dia timbang. Satu on, seperempat,
setengah dan satu kilo-an. Kini masing-masing mengelompok, ditata di rak
warung. Tetangga lebih banyak membeli kurang dari satu kilo. Maka
kantung-kantung plastik kecil lebih banyak terisi di rak-rak itu.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan
menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan
menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi
calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan
rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia
terima cukup untuk membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh
dari pasar Jatingaleh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan
usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang
memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua
tergantung pada komisi yang disepakati.
Iwan adalah sulung dari empat
anak.
Pak RT bukan kepala keluarga
teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang setelah
rezeki semakin deras datang, dia bahkan semakin mengkhianati program
pemerintah: dia ingin menambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa
rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah
dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Kebetulan
yang perempuan berada di tengah-tengah. orang Jawa bilang: Sendang kapit
pancuran.1
Ketika ayahnya menjadi RT, usia
Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan
sejak ayahnya mempunyai kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi
muda-mudi kampung, sekaligus selalu repot di toko material bangunan, semuanya
berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa.
Dia bebas, karena bisa berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu
jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan
keluarga berkumpul, Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba
pulang sebelum pukul tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin
pertemuan ini atau itu di salah satu ruangan kantor kelurahan.
Jika ada tetangga yang usil
bertanya mengapa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang
paling sering adalah “Saya harus ke pertemuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu harus ada yang
mengarahkan.”
Adik Iwan sudah berangkat
remaja, menjadi gadis kecil dan berani memprotes:
“Bapak pergi-pergi terus! Kalau
tidak di toko, selalu di kelurahan!”
Anak-anaknya sangat hafal dengan
jawaban Pak RT:
“Di toko aku tidak menganggur!
Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”
Yuni, adik Iwan yang paling cerewet
menginginkan ayahnya kadangkala datang ke sekolah mengambil rapor seperti
orang tua- orang tua lain.
“Aku tidak punya waktu,” itulah
jawaban Pak RT. Lalu diteruskan: “Biar ibumu yang pergi.”
Iwan hidup di luar, nyaris menjadi
anak jalanan, menggerombol bersama teman-teman sesama seragam SMU di
perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios rokok yang juga menyediakan
minuman pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal,
melainkan lintingan daun kering yang mampu membikin perasaan
melayang-layang. Tubuh Iwan kurus kering. Tetapi tak satu pun anggota
keluarganya memperhatikan.
Semua nampak bahagia. Keluarga
Pak RT kelihatan sejahtera. Penduduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu.
Tapi mereka menyukai Pak RT yang selalu penuh pengabdian.
Rumah berganti ubin. Kini lantainya
keramik putih berkilau. Bagian depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup
bahan yang sama, sehingga terang memantulkan cahaya hari. Ketika rumah di samping
dijual, Pak RT langsung membelinya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi
bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja
pendek. Katanya, “Ini untuk pertemuan-pertemuan. Pintu-pintu bisa dipasang
atau dicopot. Bapak-bapak, PKK, muda-mudi rapat di sini. Dengan begitu, Mak
kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”
Di waktu itulah ibu Iwan berkata
kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Sekarang anak-anak sudah besar, aku tidak
perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal.
Kecil-kecilan saja. Hanya kebutuhan rumah tangga sehari-hari.”
Ternyata dagangan itu pun berjalan
lancar. Yang dijajakan di warung bertambah: alat-alat tulis, bahkan
perangko, meterai, obat-obatan.
Bapak dan ibu mabok dengan
keberhasilan mencari uang. Dan karena rezeki berlimpahan, pembantu yang dua
orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan
datang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa
saja yang berasal dari desa sama. Pembantu itu bisa bertambah lagi di saat
tetangga datang mengobrol. Kebanyakan penduduk di sana tidak seberuntung
keluarga Pak RT. Mereka selalu kekurangan. Selalu ada yang lewat, lalu
singgah, lalu membantu mengerjakan ini atau itu. Kemudian, tiba-tiba, dia
ingat harus menanak nasi atau menjemur cucian. Ibunya Iwan tidak lupa
menyumpalkan uang dua ribu ke dalam genggaman si tetangga. Di lain waktu,
ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja
sedikit.”
Dan kalau itu sudah diberikan, ada
yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:
“Apa boleh minta tehnya? Buat satu
kali cem-ceman2 saja.”
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal
sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu
penduduk sekitar. Itulah salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT,
dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.
Pada suatu siang, Iwan sengaja
memperlihatkan diri, turut bersembahyang Jum’at di belakang ayahnya.
Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari
masjid. Kali itu Iwan bahkan makan siang di meja keluarga. Yang terkumpul adalah
ibu, ayah dan dua adiknya.
Sambil makan, Iwan mengeluarkan
kalimat yang sejak beberapa pekan didiktekan teman-temannya. Dia minta
dibelikan kendaraan.
"Tidak usah baru, Pak. Asal
masih bagus jalannya. Buat sekolah.”
Pak RT punya sebuah kijang. Untuk
toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pekan kemarin dia
tambah satu lagi, karena seorang kenalan terdesak kebutuhan uang, menawarkannya
kepadanya. Bisa dibayar dua kali. Kebetulan memang bapaknya Iwan sedang
berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pesanan yang semakin sering
datang. Orang terus membangun. Di mana-mana orang memerlukan kayu, batu atau
pasir. Sekarang, kendaraan yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut
bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, selain buat keperluan toko, akan lebih
mudah disewakan buah pindahan atau lainnya jika bak belakang selalu
kelihatan bersih.
“Apa kamu naik kelas nanti kok
minta dibelikan kendaraan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Kamu sudah
memperbaiki prestasimu di kelas? rapormu yang paling akhir jelek sekali,
bukan?”
Rupanya si ayah masih ingat juga
bahwa anak sulungnya mencetak empat angka di bawah sedang di catur wulan
yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Karena dalam keseharian, Pak RT
tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih
menyuruhnya belajar.
“Kalau punya kendaraan sendiri,
aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai
angka-angka di rapornya.
“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut
urun bicara. “Apa lagi ini nanti musim hujan, kendaraan umum selalu datang
terlambat karena jalan macet. Anak-anak repot, kena hujan...”.
“Di kelas, tinggal aku yang belum
punya kendaraan,” kata Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan
menyelidiki kebenarannya. Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan.
Yang dia katakan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia
ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering mengatakan hal yang
hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan demikian. Kadang-kadang, kenyataan
dan harapannya sudah begitu menyatu, sehingga dia sendiri terjerat dalam
khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi
satu.
Teman-temannya menyuruh Iwan
mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu menyulut api
pemberontakan terhadap Pak RT:
“Ayahmu kaya. Baru saja membeli
kendaraan lagi untuk tokonya. Padahal seharusnya kamu yang dibelikan
kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa
turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol.
Di mana ada kegiatan berkelompok, Herman-lah yang mengepalai.
Stadion Jatidiri besar. Sebetulnya
merupakan kebanggaan penduduk ibu kota propinsi. Tetapi pemanfaatannya
sangat kecil. Rumput ilalang bertumbuhan nyaris setinggi orang. Jika
pertandingan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu dirapikan.
Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, sehingga tanaman dan perdu
liar berduri berdesakan menjadi sarang aneka binatang melata. Di sanalah, di
waktu malam, terjadi kebut-kebutan. Pemuda-pemuda tanggung memacu
kendarasan mewah beroda empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda
dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu
mengatasi lawan dengan kecepatan. Di sana mereka juga menghambakan diri
pada kemaksiatan berjudi.
“Benar,” kata kawan Iwan yang
lain. “Kalau Khodir yang bawa kendaraanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa
bikin oplosan lain. Aku mendapat resep baru dari tetangga yang datang dari
gunungkidul...,” dan yang disebut Khodir mengangguk-angguk. Dia yang paling
lama memiliki kendaraan. Seusai sekolah, menjadi kernet omprengan. Karena
badannya lebih tinggi dan besar dari anggota kelompok itu, semua teman Iwan
sungkan kepada Khodir.
Iwan termakan oleh gosokan itu.
Tetapi Pak RT tidak termakan oleh
rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan
meninggalkan rumah sebelum keluarga selesai menyunyah pisang. Dia keluar masih
mendengar omelan Mak terhadap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaimana! Punya
anak lelaki, sulung, tidak dimanja. Minta kendaraan saja...”.
Lalu alur keseharian kembali seperti
semula, berlanjut biasa.
Hanya, pada suatu pagi ketika Mak
akan membuka warung, terkejut bukan kepalang karena uang yang dia selipkan
di belakang stoples di rak paling atas hilang. Sampul coklat masih ada tetapi
kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya mendekati tujuh
ratus ribu.
“Pasti Iwan yang mengambil!” kata
Mak seorang diri. Dia mengira anaknya marah karena permintaannya ditolak
Pak RT.
Mak tunggu anak sulung itu seharian.
Baru muncul hampir petang. Mak takut bicara kasar, dia tunggu lagi sampai
anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak turut masuk kamar. Alangkah terkejut
dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerempeng. Rupanya baru kali
itulah dia menyadari betapa kurusnya si sulung yang dia bangga-banggakan.
Mak bertanya mengapa mengambil
uang sebanyak itu. Biasanya, pagi Iwan dan Yuni disuruh mengambil uang
sendiri di kotak di dalam laci. Tidak banyak. Paling-paling lima ribu. Kalau
ada keperluan sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut,
bahkan nyaris merayu si anak, untuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan
menyahut, “Kuberikan kepada Herman. Dia mau buka usaha, kasihan tidak punya
modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan
gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu
lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya berjalan,
Herman akan mengembalikan. Malahan mungkin dengan bunga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
“Bengkel kecil-kecilan, di muka
sekolah, bersama tukang pompa ban.”
Lalu Iwan terburu-buru, menutup
kancing baju, menggosok rambut dengan kain apa saja yang tersampir di sana.
“Mau ke mana?” Mak bertanya.
“Makan dulu! Kamu kurus. Mukamu pucat. Tadi siang kamu juga tidak pulang
makan.”
“Aku jajan bakso tadi,” Iwan
menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar,
berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.
“Ke mana?” Mak masih mengikuti,
tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.
“Mau belajar bersama teman-teman.
Besok pagi langsung ke sekolah.”
Mak harus puas dengan jawaban
tersebut, karena si sulung sudah berlalu. Rambutnya masih basah dan belum
disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati
Mak tenang. Di sana tentu disuguhi makanan. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa
jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik
mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.
Itu memang baik jika memang
demikianlah kejadian yang sesungguhnya. Dan yang sesungguhnya terjadi ialah,
dua hari kemudian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa,
Mak yang berangkat. Kepala sekolah menemuinya bersama sekelompok orang tua
lain di ruang tersendiri. Juga hadir dua guru.
Rupanya, anak-anak mereka tidak
naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali
mangkir, Herman sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di
sekolah sejak empat hari.
“Dia berangkat sekolah setiap
pagi,” istri Pak RT berkata membela anaknya.
Seorang guru melihat ke buku
catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini
tidak kelihatan.”
Dan yang lebih-lebih mengejutkan
para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka sudah setengah tahun
tidak membayar uang sekolah.
“Kami menerima uang tes, maka
kami memberi kelonggaran mengikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira,
ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” kata kepala sekolah.
“Bukankah Herman membuka usaha di
depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pengetahuannya.
“Usaha apa?” hampir serempak
mereka yang berada di sana bertanya. Yang paling nampak adalah ibu Herman.
Mendengar itu, Maknya Iwan menjadi
ragu. Dengan suara terbata-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama
tukang ban...” dan Mak itu hampir melepas lanjutan kalimat, bahwa Iwan
mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada temannya
itu.
Ketika kepala sekolah merasa sudah
cukup mengorbankan waktunya untuk mereka, dia memutuskan:
“Sebaiknya ibu-ibu berbicara
kepada anak-anak Anda. Jangan sampai terlanjur mendapat pengaruh buruk dari
jalanan. Kecuali Anda, Ibunya Iwan. Anak Ibu pulang ke rumah setiap hari,
bukan?”
Mak kebingungan, tidak tahu
bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia
menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT
tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu berbuat begini atau begitu. Jadi Mak
juga meniru suaminya. Sekarang, kalau Iwan pulang makan, mandi atau untuk
keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia
pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Kuasa.
“Dia pulang sore. Katanya banyak
tambahan pelajaran,” akhirnya itulah yang dikatakan Mak.
“Memang banyak ekstra kurikuler,
Bu. Tetapi saya jarang melihat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut
seorang guru.
Petang itu Pak RT pulang setelah
panggilan shalat Maghrib dikumandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi
tiga rekaat, lalu mengenakan baju berkerah dan sarung.
Sementara itu orang mulai berdatangan
memasuki ruang pertemuan. Kaum muda lelaki dan perempuan, pria-pria lajang
atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak
tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.
Tanpa menunggu lama, masing-masing
tamu sudah mendapat jatah teh manis. Gelas-gelas itu diletakkan oleh
pembantu di atas meja rendah yang berderet di tengah, mengelilingi tiga atau
empat piring berisi kudapan. Para pelayan sudah terdidik. Begitu pula para
pendatang. Walaupun tidak semua dari mereka itu aktif mengerjakan sesuatu
guna membantu kelancaran organisasi kampung, tetapi semua tahu bahwa
mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana
cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang berpeluang
mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan
masing-masing.
“Maaf! Maaf! Saya terlambat!”
kalimat itu selalu mengiringi masuknya Pak RT ke dalam ruangan.
Dan selalu ada yang menjawab, “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami
mengerti.”
Disambut dari sisi lain:
“Ya benar. Kami semua tahu bahwa
Pak RT pasti hadir meskipun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah
terlambat mengikuti rapat kami!”
“Sebetulnya malahan kami yang
merepotkan Bu RT. Kami minta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah
mulai menikmati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis terdengar
dari pojok lain.
“Silahkan! Silahkan! Direruskan
saja,”tanggap Pak RT sambil menempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak
ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”
Pembantu-pembantu meyorongkan
ceret berisi tambahan minuman.
Untuk beberapa saat terdengar
pembicaraan.
“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang
memperbincangkan berita yang didengar tukang rokok di depan Karangrejo. Ada
sopir taksi yang dirampok katanya.”
“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak
RT, mulutnya mengunyah gorengan bergedel jagung penuh minyak. “Apa beritanya
sudah masuk koran atau televisi?”
“Kok belum ada. Padahal katanya,
sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelaskan.
“Di mana kejadiannya?” Pak RT
bertanya.
“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”
“Wah, dekat sekali! Kok polisi
tidak sampai ke sini ya.”
“Yang saya dengar, satu pelaku
sudah diringkus. Yang lain-lain kabur!”
“Ya, mengenai itu juga saya dengar.
Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita begitu.” Pak RT
mengambil satu bergedel lagi, menyumpalkannya di antara gigi besarnya.
“Ayo kita mulai membicarakan
lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata
seorang lelaki yang duduk tidak jauh dari pintu masuk.
“Betul! Betul! Kalau tidak, kita
tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.
Rundingan yang disebut rapat pun
dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia
kelihatan sibuk, berbicara, membantah, mengatakan gagasannya. Begitu
nampak terpikat dia sehingga sejak melangkahkan kaki ke dalam rumah petang
itu, tak satu kali pun ingat apakah dia sudah melihat anak sulungnya hari
itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak naik kelas atau
pun mangkir sekolah pekan itu.
Pertemuan demikian diusahakan
berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak
jarang Pak RT menahan dua atau tiga tetangga. Mereka ngelantur mengobrol.
Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka santai menonton, tiduran atau bersandar
ke dinding. Pak RT membiarkan pintu terbuka, memanggil penjaja makanan apa
saja: mi kopyok, bakso atau sate. Mereka makan dan berbicara, sementara kotak
kaca dibiarkan terus menyiarkan tayangan yang dipilih.
Malam itu, tiga tamu belum meninggalkan
ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menikmati sate ayam dengan lontong kenyal.
Sebuah jip memasuki kampung pukul
sepuluh lebih sedikit. Satu kali bertanya kepada tukang becak, kemudian
berhenti di depan rumah Pak RT. Dua orang turun, langsung menuju pintu yang
terbuka. Bau daging bakar berbumbu memenuhi udara malam lembab.
“Selamat malam,” lelaki yang
terdekat dengan pintu melongokkan kepala memberi salam.
Pak RT bangkit dari tikar, menemui
si pendatang. Mata bapak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain.
Seorang di tengah-tengah halaman, seorang di pagar, seorang lagi duduk di
belakang kemudi.
“Bapak Rajiman?”
“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.
Terdengar suara bebincang rendah.
Kelihatan kepala Pak RT tertegak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia
menggandeng lengan orang yang baru datang, menariknya menjauhi pintu.
Dua menit kemudian Pak RT masuk
kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu,
jelas terdengar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan disebut-sebut.
Percakapan yang kacau menyusul perbantahan di antara penghuni. Tiba-tiba ada
suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak
pulang.”
Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah
mengenakan celana panjang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati
daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Silakan Anda pulang. Biar pintu ditutup.”
Lima menit berlalu sejak kedatangan
tamu baru itu, Pak RT menyetir kendaraannya mengikuti jip keluar kampung.
Seorang tetangga duduk di sampingnya. Dia menawarkan diri menemani Pak RT
ke kantor polisi.
Serse memberitahu bapaknya Iwan,
bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ketika polisi
menyelidiki kasus perampokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya.
Karena tidak mau berhenti sewaktu dipanggil, kakinya ditembak. Maka ketahuan
bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi
lintingan ganja siap pakai. Juga sebuah kotak korek api penuh butiran obat
terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.
Khodir mengaku bahwa dia melakukan
perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat
semua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat bersembunyi kedua
remaja itu.
“Saya tidak tahu apa maunya
anak-anak ini!” kata Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya
membanting tulang memutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak,
bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”
Tetangga di sebelah Pak RT tidak
berani mengeluarkan pendapat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu
Pak RT supaya bisa hidup berkecukupan. Tugasnya malam itu adalah menemani
Pak RT. Bukan untuk berbicara.***
1. Sumber air/telaga
terletak di antara dua pancuran.
2. Teh kental
3. Kamu
4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau
sungkan
Horison, September 2000
Upacara Hitam
Oleh: Abrar Yusra
Langit di atas kepalaku terpentang
biru, mengirimkan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas
terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit
digantungi mendung gelap dan bumi di bawahnya mungkin disiram hujan. Pada
hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.
Ayahku bukan pejabat atau tokoh
politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati
di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia
masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat
datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakamannya. Maka bukit-bukit kuburan
seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan
kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang
panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan
mereka justru tertawa di hati masing-masing!
Di deretan depan kulihat
adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian
pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati
mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling
merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan
penderitaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian
ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru
merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.
Aku menatap matahari. Silau.
Aku memandang khalayak. Gelap.
Tidak, silau juga.
Masih berbayang di ingatanku
bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat
saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan
tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ
di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak
kelihatan.
“Di sini,” bilang ayah, sambil
menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”
Ayah malah mencoba tertawa. Seolah
hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan
hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit, perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa
perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.
“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“
kata dokter.
Kami anak-anak ayah tidak puas
dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya
serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke
dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri
seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.
Rencana untuk membawa ayah atau
mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.
“Jangan,” cemooh ayah tertawa,
seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun
kampung?”
Serangan penyakit aneh itu mulanya
sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari,
lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan
saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa
bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi
mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang
berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.
“Lebih baiklah kalau ayah di rumah
saja,” kataku.
Ayah sendiri sudah mulai menolak
berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.
Berita bahwa ayah sakit segera
terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada
yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa
keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang,
makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur
atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan
berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak
jelas yang berlepotan dari mulutnya.
Makin lama muka tua itu makin
berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan
semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia
lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi
tanpa ampun.
Malam itu para pengunjung sudah pada pulang.
Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau
main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka
para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau
menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan
si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja
lagi.
Sudah larut dinihari. Adik-adik
sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa
mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran
tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menutup
daun-daun jendela.
Maka kudengar langkah-langkah
memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup
jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.
“Bagaimana beliau?” ia bertanya.
“Kambuh lagi?”
Aku mengangguk. Ia sudah melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling
menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari
bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti
kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit
keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah
padam!
Aku serasa mau gila. Tak tahan
menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk
melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau
membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti
seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup
dan penderitaan, maka:
“Jangan!” rintih ayah tak jelas.
“Ampun, ampun!”
Lalu dengan sisa-sisa tenaganya
yang amat lemah, ayah seperti memohon:
“Biarkan aku mati, mati!”
Maka ayahku menangis, barangkali
juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah
tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya.
Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku
berdoa untuk kematian ayahku. Tapi
kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan
seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan
tenaganya.
“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!”
suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”
Aku menatapnya tak berdaya. Seolah
mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang
misterius itu lagi.
Lalu ia bilang dengan suara tenang
tapi terang,
“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu
mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya
mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu
kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami
lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu
hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”
Aku hanya melongo. Tak tahu aku,
apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia
dan zaman lain. Ia tersenyum.
“Sederhananya ilmu iblis.
Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya,
itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si
Anjing Hitam!”
Panjang juga uraiannya. Tapi
sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam
terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang
dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari
kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan
suara tenang juga:
“Si iblis itulah yang menzalimi
beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau
akan meninggal dengan tenteram!”
Ketika tubuh ringkih ayah
menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman
mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang
sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu,
benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus
bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka
tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika
memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan
persumpahan ayahku!
Tak usahlah kukisahkan bagaimana
dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya.
Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya!
Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya
menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut
komat-kamit begitu lemah...!
Kini di bawah matahari, di tengah
khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku
sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas
dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang
pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru
tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa
kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam
suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya
menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut
kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk
itu.
Sebelumnya aku selalu mengagumi
ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan
cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata
ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku,
anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat
ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan.
Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin mencincang-cincang mayatnya dengan pisau,
atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?
Maka matahari yang menyilaukan
ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari
takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak
adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah
karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***
Jakarta, 1992
Menyiram Bunga di dalam Cermin
Oleh: Yus R. Ismail
“Bercerminlah dengan khusuk, maka
kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu
bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.
Setiap tengah malam aku terbangun
dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku
menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain
sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar
atau apa dan siapa saja.
Tapi sering aku tiba-tiba asing
dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa
pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku
tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.
Aku merasa tubuhku ini bukan lagi
rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar
atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku
menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku,
mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.
Kesadaran itulah yang mendorongku
untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang
tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah
mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.
Setiap suara entah dari mana itu
bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin.
Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu
berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi
dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.
Tapi keinginan yang mencekam itu
selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku
menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh
tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku
merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi
setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya
dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti.
Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa
yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau
air mata.
Keraguan itu menjadikan aku merasa
sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di
waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu
menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan,
ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi
kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya.
Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang
kesadaran.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku
sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin,
kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret
dari yang beragam betuk dan rupa.
***
PANGGIL apa saja maka aku akan
menoleh. Namaku memang tidak jelas. Tapi
ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja,
jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa
saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu
menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.
Sejak kecil cita-citaku memang menanam
bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan
pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang
langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari
ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah
menguapkan bau yang khas, dsb.
Lukisan penyiram bunga dengan
latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku
lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan
apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.
“Mau kamu mencoba menyiram bunga?”
tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku
melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau
pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun
menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang
menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal
dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa
lainnya.
“Mau menyiram bunga?” tanya si
penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku
ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi
begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah
terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang
sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke
dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.
Aku mendengar kesakitan hutan itu
seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah
jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya.
Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik
ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan
sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai
yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu
lelah. Pantai apakah ini?
“Mau ikut denganku?” tanya
seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan
perjalanan yang panjang dan jauh.
“Pantai apakah ini?” Aku malah
balik bertanya.
“Kuta.”
Beberapa jenak aku tercenung.
Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai
Panjang.
“Ya, Pantai Panjang juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan
Ratu.”
Aku memandang orang yang aneh itu.
“Apa perlunya nama. Kamu bisa
menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai
ini.”
Siapa sebenarnya orang ini? Orang
gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel
besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku
menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”
Kami mendaki bukit menuruni gunung
masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara.
Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali
hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam
sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki
melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang
belum kami kunjungi.
Barangkali benar bahwa nama-nama
tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam
peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting
dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa
itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami
habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah
alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan
bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan,
bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.
Peristiwa-peristiwa itu memang
penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali
bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar
di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita
yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu
ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.
Setiap kaki melangkah meninggalkan
suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami
tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain
begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu.
Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu
adalah hidup kami.
Keyakinan itu terus berada di
hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa
aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah
berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah
bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini
adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.
“Mengapa berhenti menyiram bunga?“
kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku
tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit
memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah
mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat
yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil
mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau
aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan
itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan
angin.
Aku berdiri dan pergi.
“Mengapa tidak menyiram bunga
lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa
tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih
adalah hidup kita....”
Dan entah apa lagi yang diucapkan
si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar
bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***
Horison, Oktober 2000
Segenggam Kurma
Oleh: Tayih Salih
Ketika itu aku pasti masih sangat
muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila
orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit
pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa
aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana
pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran.
Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam
kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus
ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku
cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan
memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang
akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku
bersama kakekku.
Sungguh, aku dulu mencintai
mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran
pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju
ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari
untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di
pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah
Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang
tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal
di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan
hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang
banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut
dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku
menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar
biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang
menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat
kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya
sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan
kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada
saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya,
berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.
Aku yakin bahwa aku adalah cucu
kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang
bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu
saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat
saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air
untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan
lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama,
dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.
Suatu hari aku bertanya tentang
tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka
pada tetangga kita Masood?”
Yang dijawabnya, sesudah menyentuh
ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”
Aku berkata kepada kakek, “Apa sih
orang culas itu?”
Kakekku menundukkan kepalanya
sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang
ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat
semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini
jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”
Memanfaatkan kakekku yang membisu,
aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan
oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa
yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang
pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan
tempatku bermain.”
Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya,
anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua
pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”
Ini jadi berita untukku, karena
kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan
menciptakannya.
“Tidak satu feddan pun milikku
ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik
semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah
memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”
Aku tidak tahu mengapa aku
merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga
kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku
ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang
menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.
Aku bertanya pada kakek mengapa
Masood menjual tanahnya.
“Perempuan,” dan dari cara kakek
mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk
sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin
ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa
Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat
tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya
yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah
melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang
berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati
kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.
“Kami akan memanen kurma hari
ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”
Walaupun begitu, aku merasa bahwa
ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat
berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar
biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.
Seseorang membawakan kakekku
bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap
berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka
semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan
orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya
pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya
tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian.
Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon
kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang
dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”
Tak ada yang memperhatikan apa
yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma,
dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun
kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.
Namun, aku sudah mulai berpikir
tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai
sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku
ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang
pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan
dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak
beralasan.
Ketika sekali lagi aku memandang
luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku
berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan
memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang
tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah
timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga
puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik
ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum
pernah kulihat sebelumnya.
Aku mendengar bunyi siulan dan
melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah
cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan
sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang
tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.
Tiba-tiba kakek bangun, melompat
di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein
si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang
tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan
luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa
maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya,
beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam
penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya
dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.
Kemudian aku menyaksikan mereka
membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil
sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik
ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil
lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan
matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak
tahu jalan pulang ke rumah.
“Kau masih berhutang lima puluh
pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”
Hussein memanggil
pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa
unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung
binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang
membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa
mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin
menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di
tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak
kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.
Aku berlari ke kejauhan. Mendengar
kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku
merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku,
sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku
mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia.
Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan
memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb
Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan
Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah menyatakan bahwa ia masih merasa
tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa kecilnya dihabiskannya di desa
itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pendidikan tinggi di
Universitas Khartoum, yang kemudian dilanjutkannya di beberapa universitas di
Inggris. Ia pernah menjadi guru di Sudan, namun sebentar kemudian ia bekerja
di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis
tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga
cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil
dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys
Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan
oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories,
1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko
Damono.
Horison, November 2000
Syahdan Pada Dahulu Kala
Oleh: Nadine Gordimer
Seseorang telah memintaku untuk menyumbangkan sebuah antologi cerita
anak-anak. Kujawab bahwa aku tidak menulis cerita anak-anak. Orang itu
mengatakan bahwa dalam suatu kongres/pameran buku/seminar yang diadakan
baru-baru ini, seorang pengarang telah menghimbau agar setiap penulis menulis
sekurang-kurangnya satu cerita anak-anak. Terpikir olehku untuk mengiriminya
selembar kartu pos untuk menyatakan bahwa aku tidak sepaham dengan pendapatnya.
Aku boleh menulis apa saja yang kuinginkan.
Kemarin malam aku terbangun
tiba-tiba tanpa mengetahui apa yang mengejutkan diriku.
Sebuah suara dalam diriku?
Suatu bunyi.
Bunyi berderit-derit bagai langkah
kaki yang diseret satu demi satu di atas papan seolah membawa beban yang berat.
Kupasang telinga. Kupusatkan pendengaran. Bunyi berderat-derit itu bergema
lagi. Aku menanti untuk mendengar kalau-kalau ada tanda yang menunjukkan bahwa
kaki itu bergerak lagi dari satu kamar ke kamar lain. Aku tidak memiliki terali
besi. Tak ada pistol di bawah bantalku. Namun aku juga kini merasa cemas
seperti orang-orang lain yang serba waspada. Lagi pula kaca rumahku tipis bagai
lapisan embun, mudah pecah seperti gelas anggur. Tahun lalu, seorang perempuan
telah dibunuh (kata orang) di siang bolong. Anjing garang yang mengawal seorang
duda tua dan koleksi jam antiknya telah dijerat sebelum ditikam oleh seorang
buruh biasa yang telah di-PHK tanpa dibayar upahnya.
Kupandangi pintu, sambil
membayang-bayangkan sesuatu dalam kepala --bukannya melihat-- di dalam gelap.
Kutentramkan diri, tetapi degup jantungku tak menentu seperti menghantami
jantungku. Tak dapat aku menumpukan pendengaranku karena gangguan yang ada pada
siang hari. Kuteliti tiap bunyi yang paling perlahan sekalipun, mengenalinya
baik-baik sambil memilah-milah kemungkinan ancamannya.
Namun, aku dilatih agar jangan
merasa takut atau terancam. Tak ada bobot manusia yang menekan di papan itu.
Bunyi deritan itu hanya disebabkan perasaan yang tertekan. Aku merasa ada di
tengah-tengah tekanan itu. Rumah yang melingkupi tubuhku saat aku sedang tidur
dibangun di atas bekas tanah pertambangan. Nun jauh di bawah kamarku, di dasar
rumah ini, penggalian yang bertingkat-tingkat saat penambangan dan lorong
jalanan tambang-tambang emas telah melongsorkan bebatuannya serta menyebabkan
tanah ini jadi berongga. Jika ada permukaan yang bergetar, ia mungkin runtuh
atau longsor 3000 kaki ke bawah. Seluruh rumah bergetar sedikit dan menyebabkan
batu, semen, kayu, dan kaca yang menyangga rumah menjadi longgar. Degupan
jantungku menurun seperti ayunan terakhir di atas zilofon, kayu yang dibuat
oleh para penambang pelarian Chopi dan Tsoinga yang pernah berada di bawah
sana, di bawahku, dalam perut bumi. Tingkat tempat adanya runtuhan mungkin tak
digunakan lagi, air bertetesan dari rekahannya, atau mungkin ada orang yang
pernah dikubur di situ dengan batu nisan yang menyedihkan.
Sukar bagiku untuk mencari tempat
guna mengistirahatkan pikiran dan tubuhku. Merelakan diri tidur kembali. Akupun
bercerita pada diriku sendiri; kisah dalam tidur.
Di dalam sebuah rumah di pinggiran
metropolitan, tinggallah sepasang suami-istri yang saling menyayang serta hidup
dengan penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat mereka
cintai. Mereka memiliki seekor kucing dan seekor anjing yang amat disayangi
anak kecil itu. Mereka memiliki sebuah mobil dan sebuah trailer karavan yang
digunakan untuk pergi berlibur. Ada pula sebuah kolam renang yang berpagar
untuk mengelakkan anaknya dan teman-teman mainnya agar tidak terjatuh ke dalam
kolam dan mati lemas. Mereka mempunyai seorang pembantu rumah yang amat bisa
dipercaya, serta seorang tukang kebun yang rajin. Jadi, manakala mereka hendak
memulai kehidupan yang bahagia untuk selama-lamanya, mereka telah dinasihati
oleh seorang tukang sihir tua yang bijaksana, yaitu ibu sang suami, agar jangan
mengambil siapapun di tepi jalan. Mereka tergolong masyarakat yang diberi
kemudahaan dalam pengobatan, anjing peliharaan mereka diberi peneng, diri
mereka diasuransikan dari musibah kebakaran, kerusakan akibat banjir, dan
perampokan, serta menjadi anggota siskamling di lingkungan itu yang memberi
mereka sekeping papan pengumuman di pintu pagar betuliskan "Dalam
Lindungan Keamanan", mencegah kemungkinan perampokan, yang mungkin
bertopeng hingga sulit diduga apakah ia orang kulit putih atau kulit hitam.
Sukar untuk mengasuransikan rumah,
kolam renang, atau mobil mereka dari kerusakan akibat kerusuhan. Kerusuhan
memang terjadi, tapi di luar kota, di mana orang kulit hitam ditempatkan.
Orang-orang itu dilarang masuk kawasan pinggiran kota besar, kecuali pembantu
rumah tangga dan tukang kebun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, tak ada
yang perlu dicemaskan, ucap sang suami pada istrinya. Namun sang istri masih
merasa cemas kalau-kalau suatu hari nanti orang-orang ini akan turun ke jalan dan
merusak papan bertuliskan DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu. Membuka pintu pagar,
lalu memaksa masuk. Jangan mengomel saja, ucap sang suami, di sana ada polisi
dan tentara, gas air mata dan senapan untuk mengusir mereka. Namun, saking
cintanya, untuk menenangkan hati sang istri, juga karena bus-bus dibakar,
mobil-mobil dilempari batu, dan anak-anak sekolah ditembaki polisi di kawasan
pemukiman kulit hitam sana, jauh dari pandangan dan pendengaran orang-orang di
kawasan tepian kota besar, sang suami telah memasang pagar berlistrik. Siapa
yang menurunkan tanda DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu dan akan membuka pintu
pagar, mesti menyatakan niatnya dengan menekan tombol dan berbicara melalui
alat penerima yang disambungkan ke rumah. Anak kecil itu sungguh tertarik dengan
alat tersebut dan menggunakannya sebagai walkie talkie dalam permainan polisi
dan pencuri, bersama-sama dengan kawan-kawan yang sebaya dengannya.
Kerusuhan telah dapat
ditanggulangi, tetapi pencurian banyak terjadi di kawasan tepian kota besar,
dan seseorang pembantu rumah yang dapat dipercayai telah diikat dan dikunci di
dalam almari oleh pencuri ketika ia diamanati untuk menjaga rumah majikannya.
Pembantu rumah pasangan suami istri dan anak kecil itu merasa sedih dengan
nasib malang yang menimpa rekannya. Seperti biasa, dengan tanggung jawab
menjaga harta pasangan itu dan anak kecil mereka, pembantu rumah tersebut telah
meminta majikannya untuk memasang terali pada pintu dan jendela rumah, serta
memasang alarm. Sang istri berkata, benar ucapan pembantu itu. Ikutilah
nasihatnya. Maka pada setiap pintu dan jendela rumah yang didiami oleh mereka
dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya itu, mereka melihat pohonan dan
langit melalui terali, dan jika kucing piaraan anak mereka coba memanjat masuk
melalui ventilasi untuk menemaninya tidur pada waktu malam sebagaimana yang
biasa ia lakukan, kucing itu pun menyentuh alarm dan membangunkan seisi rumah.
Alarm tersebut nampaknya sering
dijawab oleh alarm-alarm lain dari rumah-rumah lain yang disentuh oleh kucing
piaraan mereka atau digigit tikus. Bunyi alarm yang nyaring, meraung dan
menjerit, bersipongang satu sama lain, dan berselang-seling di halaman-halaman
rumah, hingga akhirnya tidak diindahkan lagi oleh penduduk kawasan itu.
Bunyinya dianggap biasa, sama dengan bunyi katak menguak hingga tidak
mencemaskan para pencuri untuk mengambil kesempatan dan menggergaji
terali-terali besi, lantas menerobos masuk, mengambil peralatan elektronik
seperti hi-fi, televisi, tape recorder, kamera, radio, barang-barang berharga
dan pakaian, serta kadang-kadang membongkar apa saja yang ada dalam lemari es
jika merasa sangat lapar, bahkan berani istirahat sejenak untuk meminum wiski
yang diambil dari dalam kabinet atau dari bar. Perusahaan asuransi tidak
membayar ganti rugi untuk sebuah minuman malta sekalipun, kerugian besar hanya
diketahui oleh pemiliknya saja. Pencuri-pencuri itu tidak langsung menghargai
apa yang telah diminum oleh mereka.
Akhirnya, tibalah saat ketika
banyak pembantu rumah dan tukang kebun yang tidak dapat dipercaya datang
beramai-ramai memenuhi tepian kota besar itu, akibat menganggur. Setengahnya
mendesak agar diambil bekerja: mencabut rumput, mengecat atap; atau apa saja.
Tetapi sang suami dan sang istri teringat akan peringatan agar jangan mengambil
orang yang tak dikenal. Sebagian dari mereka meminum minuman keras dan
mengotori jalan raya dengan botol-botol kosong. Sebagian lagi meminta sedekah,
menunggu sang suami atau sang istri ke luar dari pintu pagar yang berlistrik
itu. Mereka duduk dengan kaki terjuntai ke dahan pohonan yang bagai sebuah
lorong hijau di jalan raya. Sebuah kawasan tepi kota yang cantik jadi rusak
oleh kehadiran mereka. Kadang mereka tertidur di depan pagar pada siang hari.
Sang istri tidak sampai hati melihat orang yang kelaparan. Ia lalu menyuruh
pembantu rumahnya mengantarkan roti dan teh. Tetapi pembantunya berkata bahwa
mereka adalah para bandit yang akan mengikat dia dan menguncinya dalam lemari.
Sang suami berkata, betul katanya, ikuti nasehatnya. Kau hanya membikin mereka
jadi makin beringas dengan roti dan tehmu itu.
Mereka mencari peluang kalau-kalau… . Dan sang suami pun membawa masuk
sepeda roda tiga anaknya dari taman setiap malam karena jika rumah itu
benar-benar selamat, setelah dikunci rapat-rapat dan alarm dinyalakan,
seseorang mungkin masih dapat memanjat tembok atau pagar yang berlistrik itu
untuk masuk ke dalam taman.
Benar katamu, ucap sang istri,
kalau begitu tembok itu sebaiknya ditinggikan lagi. Dan perempuan sihir tua
yang bijak itu, yaitu ibu sang suami, membayar untuk tambahan batu bata sebagai
hadiah Hari Natalnya kepada anak dan menantunya. Si anak kecil pun mendapat
pakaian orang angkasa dan sebuah buku cerita dongeng.
Tetapi, setiap minggu terdapat
banyak berita tentang perampokan di siang bolong dan di malam yang sepi, bahkan
pada waktu subuh, meskipun pada bulan purnama di musim panas yang indah, sebuah
keluarga sedang menikmati makan malam ketika kamar tidur di tingkat atas
dibongkar. Pasangan suami istri yang sedang berbincang tentang perampokan bersenjata
terkini yang berlaku di pinggir kota itu telah diganggu oleh kemunculan kucing
peliharaan anak mereka yang coba memanjat tembok setinggi tujuh kaki itu,
berkali-kali, mula-mula memanjat ke atas dengan kaki depannya di permukaan
dinding tembok, kemudian melompat dengan gerakan yang cantik dan mendarat
dengan mengibas-ngibaskan ekornya ke dalam kawasan rumah. Tembok putih itu
dikotori oleh bekas jejak kucing dan di bagian luar tembok yang menghadap jalan
terdapat bekas jejak dari tanah merah yang lebar seperti tapak sepatu yang
tersarung di kaki penganggur-penganggur yang membuang waktu tanpa tujuan.
Ketika sang suami, sang istri dan
anak kecil membawa anjing mereka berjalan-jalan di kawasan kediaman mereka,
mereka tidak lagi berhenti sejenak untuk menikmati keindahan pagar mawar di
halaman yang kesemuanya kini tertutup di balik pagar serta tembok-tembok dengan
peralatannya. Sang suami, sang istri, dan anak kecil mereka membuat pilihan
menakjubkan. Sebuah pilihan yang murah, yaitu memasang pecahan kaca yang
ditancapkan di atas semenan tembok dengan jerajak besi yang berujung tajam. Ada
juga usaha untuk mencontoh kehalusan seni bangunan penjara berbentuk vila
Spanyol (besi-besi tajam yang dicat merah jambu) dengan pasu-pasu berbentuk
labu yang ditempel dengan lukisan klasik (besi-besi tajam yang panjangnya 12
inchi berlekak-lekuk dan bercat putih). Separuh tembok dilekatkan dengan papan
kecil yang ditulis dengan nama dan nomor telepon perusahaan yang bertanggung
jawab memasang peralatan tersebut. Sedang anak lelaki mereka dan anjingnya
berlari ke muka, sang suami dan istri membandingkan setiap bentuk yang paling
berkesan, dan selang beberapa minggu, saat mereka sedang berhenti di hadapan
sebuah dinding tembok tanpa berkata-kata, keduanya membuat keputusan untuk
memilih sebuah bentuk yang paling baik saja, yakni bentuk yang paling sederhana
namun luhur yang direncanakan seperti bentuk kamp tahanan: tidak
berbunga-bunga, kuat dan sederhana. Di sepanjang tembok, terbentang gulungan
besi yang keras, berkilat, tajam bergerigi serta bercabang mata pisau. Ini
semua menyulitkan orang untuk coba memanjat dan merangkak ke dalam gulungan itu
tanpa dia tersangkut pada gulungan itu. Sama sekali tak ada jalan ke luar bagi
mereka yang terlibat di situ. Setiap percobaan hanya akan menyebabkan darah
keluar lebih banyak lagi. Semakin terkait, kulit makin terkoyak dan luka makin
jadi dalam. Sang istri terpesona memandangnya. Betul katamu, ucap sang suami,
siapapun akan berpikir dua kali… dan mereka mulai menimbang nasihat yang
tercatat di atas papan kecil yang dilekatkan di tembok. Hubungi GIGI NAGA.
Masyarakat ingin keselamatan yang mutlak.
Keesokan harinya, sekumpulan
pekerja datang merentangkan gulungan berduri dan berpisau di sekeliling tembok
rumah, di mana tempat sang suami, sang istri dan anak lelaki mereka yang kecil
tinggal bersama-sama dengan anjing dan kucing peliharaan mereka dengan penuh
kebahagiaan buat selama-lamanya. Cahaya matahari memancar dan cahayanya menerpa
mata pisau bergerigi yang mengelilingi rumah tersebut, menyilaukan. Sang suami
berkata, tak mengapa. Kilau itu akan hilang nanti. Sang istri berkata, tidak
mungkin, mereka menjamin gulungan itu tahan karat. Dan sang istri menunggu
hingga si anak kecil pergi bermain, lalu berkata, saya harap si kucing peka.
Sang suami berkata, jangan cemas sayang, kucing selalu melihat sebelum
melompat. Mereka benar, karena sejak hari itu, kucing mereka hanya tidur di
kamar si anak dan bermain di taman saja, tidak pernah coba melanggar pagar
keamanan itu.
Pada suatu malam, sang ibu
membacakan sebuah kisah dongeng pada sang anak dari buku yang dihadiahkan oleh
perempuan sihir tua yang bijak pada hari Natal. Pada keesokan harinya, si anak
beraksi seperti seorang putra raja yang gagah berani melepas dan membabat
duri-duri tebal untuk masuk ke istana dan mengecup sang puteri yang tidur serta
menyadarkannya kembali. Si anak membawa tangga ke tembok. Ia menyusupkan diri
ke dalam gulungan yang berkilat itu semuat-muat badannya. Kaitan yang pertama
mengenai lututnya. Lalu tangannya, kepalanya. Ia menjerit kesakitan dan meronta
semakin ke dalam gelungan itu. Pasangan pembantu rumah dan tukang kebunlah yang
pertama kali melihat peristiwa itu, lalu segera berlari mendapati si anak kecil
dan menjerit bersama-sama dengannya. Tukang kebun yang rajin itu telah luka
tangannya ketika mencoba menyelamatkan si anak. Datanglah kemudian sang suami
dan sang istri dengan tergopoh menuju taman. Dalam pada itu, entah apa sebabnya
(mungkin kucing, agaknya) alarm pun menggila di tengah-tengah jeritan mereka,
sementara si anak yang bermandi darah dikeluarkan dari gulungan dengan
menggunakan gergaji, pemotong kawat, kapak, dan sebagainya. Mereka -sang suami,
sang istri, pembantu rumah yang dipercayai yang tengah diserang histria, dan
tukang kebun yang menangis- membawa anak itu masuk ke dalam rumah.*** Nadine Gordimer, lahir di Transvaal, 1923.
Cerpenis dan novelis Afrika Selatan ini banyak mendapat penghargaan di bidang
sastra, antara lain: Booker Prize, the W.H. Smith Commmonwealth Literature
Award, dan the Scottish Arts Council Neil M. Gunn Fellowship. Dia seorang dosen
tamu di Royal Society of Literature, dan anggota kehormatan American Academy
and Institute of Art and Letters. Kumpulan cerpennya antara lain Livingstone
Companions, Not dor Publication, Friday's Footprint, Selected Stories, A
Soldier's Embrace, Jump and Other Stories, dan Something Out There. Nobel
Sastra diraihnya pada tahun 1991. Diterjemahkan oleh Agus dan Nikmah Sarjono