Google
Mimpi

Horison, Januari 2000


 

Mimpi

Oleh: Abdel Salam Al-Ujaili

 

Dalam mimpinya Mohamed Wesaja ini perkara biasa, ka­rena dalam keadaan sadar pun ia senantiasa mengerjakan shalat serta tak pernah me­ning­galkan ibadah wajib ini. Dalam mimpinya tersebut, kala sujud pertama, ia membaca dengan suara keras surat al-Nasr. Ketika sujudnya hampir selesai, ia terjaga dari tidurnya dan merasakan takut yang luar biasa.

"Firman Tuhan adalah suatu kebenaran!," katanya sambil duduk di kamar serta menggosok-gosok matanya.Mohamed Weess tidak ingat mengapa mimpi tersebut begitu lekat dalam pikirannya. Maka, begitu pagi menjelang, segera ia temui Sheikh Mohamed Sa'id, seorang tua di kampungnya. Baru sekitar tengah harian, ia dapat bertemu dengan orang tua itu. Segera ia kisahkan mimpinya. Sheikh berdiam diri agak lama sambil menundukkan kepalanya dengan kening berkerut-kerut, sebelum akhirnya bertanya:

"Kau yakin bahwa surah yang kaubaca itu surah al-Nasr?"

"Saya yakin," jawab Mohamed Weess. "Saya membacanya sampai selesai. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk agama Allah beramai-ramai. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia maha Penerima Taubat."

"Firman Tuhan adalah kebenaran!" kata Sheikh Mohamed Sa'id. "Wahai Mohamed Weess, segala puji bagi-Nya. Mintalah ampunan daripadaNya. Sesungguhnya Dia maha mengasihi."

"Wahai Sheikh Mohamed Sa'id, saya percaya ini adalah pertanda buruk bagi saya. Apakah tafsiran tuan tentang mimpi saya tersebut?"

Sheikh Mohamed Sa'id memegang dan mengusap-usap janggutnya yang panjang dan tebal itu. Dia kelihatan agak keberatan untuk menerangkan pengetahuannya yang mendalam mengenai ilmu menafsirkan mimpi. Akhirnya ia bersuara juga.

"Mohamed Weess, mohonlah ampunan daripada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih. Mimpi membaca surah ini menandakan bahwa orang itu sudah hampir tiba saat ajalnya."

Mohamed Weess tergetar. Ia merasa tiba-tiba seluruh badannya menggigil.

"Apakah yang tuan Sheikh katakan?"

"Amat berat bagiku untuk menyatakan ini kepadamu," jawab Sheikh. "Bagaimanapun, untuk menenangkan perasaanmu, kau akan beroleh rahmat Tuhan. Dan kematian pasti datang menjemput kita semua. Mohamed Weess, tak ada orang yang mimpi seperti ini dapat hidup lebih dari empat puluh hari."

Setelah memberitahu hal tersebut, Sheikh itu pun terus pergi untuk menunaikan shalat Dzuhur, meninggalkan Mohamed Weess yang terpuruk di tanah sambil kebingungan. Kakinya seperti tak mampu lagi menampung berat badannya.

"Empat puluh hari,"  suaranya bagai keluar tanpa melalui kerongkongannya.  "Ya Tuhan, berilah hamba kekuatan."

Desa di mana Mohamed Weess dan Sheikh Mohamed Sa'id tinggal hanyalah sebuah desa kecil, maka menjelang senja setiap penghuninya sudah tahu tentang mimpi Mohamed Weess dan tafsiran yang dibuat oleh Sheikh Mohamed Sa'id. Penduduk desa itu percaya pada tafsir mimpi. Itulah sebabnya pada petang berikutnya semua orang sudah begitu yakin bahwa Mohamed Weess akan mati dalam tempo empat puluh hari. Kaum lelaki berdatangan menziarahi Mohamed Weess, mula-mula seorang demi seorang, namun kemudian secara berombongan,   hingga ia terpaksa berada di rumahnya menerima tetamu yang datang dan bertanya mengenai kesehatannya serta mengungkapkan rasa dukacita atas kematiannya yang bakal segera tiba itu. Kaum perempuan yang datang ke rumah Mohamed Weess datang untuk mendapatkan berita, sambil melihat-lihat keadaannya. Mereka mendapati Mohamed Weess masih segar bugar, tetapi tampak bingung. Sambil meratap mereka mohon agar Tuhan campur tangan dalam urusan Malakul Maut yang akan mencabut nyawa Mohamed Weess ketika dia masih sehat. Walaupun Mohamed Weess tidak sakit dan tidak pula uzur, segala langkah berjaga-jaga yang diambil untuknya serta segala pertanyaan lembut mengenai dirinya telah membuat dia mulai merasa sakit. Dia tabah menghadapi keadaan tersebut selama sepuluh hari, dan terus pulang-pergi antara pasar ternak dengan rumahnya. Bagaimanapun, tak butuh waktu lama dia tidak lagi tahan menanggung semua tekanan itu. Dia mulai merasa letih, dan orang ramai mulai menziarahinya pada waktu siang hati. Padahal sebelumnya mereka hanya datang pada malam hari. Dua puluh hari sejak saat ia bermimpi, keluarga Mohamed Weess merasa tidak perlulah lagi membereskan ranjangnya setiap hari karena kini Mohamed Weess senantiasa berbaring di situ siang dan malam. Setelah tiga puluh hari berlalu, pelbagai hidangan masakan kegemarannya yang disediakan khusus untuknya oleh keluarganya ternyata terkumpul di tepi ranjangnya tanpa dijamah. Dengan berpakaian serba putih dan membiarkan janggutnya tumbuh, Mohamed Weess menghabiskan waktunya hanya untuk bershalat. Dia terisak-isak bukan karena takut pada kematian atau kecewa karena hidup, melainkan karena takut akan hukuman yang bakal diterima di alam kubur dan rasa khawatir bahwa Tuhan tidak akan mengampuni kesalahannya karena kerap bersumpah dengan nama Tuhan sewaktu di pasar ternak, atau karena menipu para petani dari desa yang berdekatan. Waktu terus berlalu. Mendekati masa empat puluh hari, badan Mohamed Weess makin kurus karena kurang makan dan karena rasa penyesalan yang dalam terhadap dosa-dosanya yang telah lalu. Orang ramai --baik dari desanya ataupun desa yang berdekatan-ramai mempercakapkan cahaya keimanan yang terpancar pada wajahnya serta ayat-ayat mistik dan misteri yang diucapkannya tatkala ia sujud dan mengerjakan shalat. Tiga puluh sembilan hari sudah berlalu, dan pada waktu malam hari itulah aku memunculkan diriku.

Anda mungkin bertanya, siapakah diriku?

Aku bertugas sebagai guru sekolah di desa tempat tinggal Mohamed Weess di mana ia bekerja sebagai pedagang berpengaruh di pasar ternak, dan di mana Sheikh Mohamed Sa'id dianggap sebagai wali. Aku sering menghabiskan cuti musim panas di Damaskus, dan kepulanganku ke desa itu jatuh pada hari ketigapuluh sembilan dari tempo yang dinyatakan oleh Sheikh Mohamed Sa'id kepada Mohamed Weess. Aku mengenali Mohamed Weess sebagaimana aku mengenali orang lain di desa itu. Ketika Mohamed Atallah yang bertugas sebagai porter di sekolah memberitahuku tentangnya, aku kebingungan: apakah harus tertawa atau bersimpati kepadanya. Bersama Mohamed Atallah aku segera pergi menjumpai Mohamed Weess untuk menenangkan fikirannya      atau setidaknya untuk mengungkapkan rasa dukacitaku. Halaman rumahnya yang biasanya dipenuhi hewan ternak yang dibeli Mohamed Weess dari pasar, kini agak sesak dengan orang ramai yang datang untuk menyaksikan saat kematiannya. Sebuah sisi untuk lelaki dan sisi lain untuk perempuan. Di sisi ketiga terlihat beberapa ekor biri-biri dan kambing yang dibawa oleh kawan-kawan Mohamed Weess untuk dikorbankan pada esok harinya setelah rohnya berpisah dari jasadnya.

Ketika aku masuk ke kamar Mohamed Weess tempat ia menunggu kedatangan Malakul Maut  --dan akulah yang datang, bukannya malakul Maut-Mohammad Weess sedang duduk sambil berdoa, sementara Sheikh Mohamed Sa'id duduk di sudut lain melagukan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku sangat terperanjat melihat perubahan pada wajah Mohamed Weess. Wajahnya yang bulat dan pipinya yang berisi, kini sudah cekung dan pucat. Ini ditambah pula dengan janggutnya yang panjang. Kepucatannya kelihatan lebih jelas lagi dengan pakaiannya yang serba putih dan longgar itu. Sambil bershalat, dia memanjangkan sujudnya seolah-olah ia berharap agar kematian segera datang padanya.  Tidak ada persamaan antara wali Tuhan ini yang keseluruhan wajahnya bermandikan cahaya iman, dengan Mohamed Weess yang asli, yang setiap pagi dari jendela sekolah bersumpah-sumpah dengan nama Tuhan bahwa jika dia tidak rugi sebanyak tiga lira dari biri-biri yang baru dibelinya itu, dia akan menceraikan istrinya. Aku telah menziarahi Mohamed Weess dengan perasaan ragu-ragu dan serba ingin tahu. Namun, perubahan sedemikian rupa yang terjadi pada dirinya itu telah menyadarkan aku bahwa dia memang akan mati pada keesokan harinya seperti yang ditetapkan. Aku geram mendengar suara kuat Sheikh Mohamed Sa'id membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an sambil melirik ke arahku.

Antara diriku dengan sheikh yang sifatnya merupakan gabungan sifat sederhana, bodoh, dan licik ini, aku merasakan  adanya suatu rasa permusuhan yang sudah lama tumbuh. Aku sebenarnya benci kepada orang yang berlagak pandai dan suka menipu, hingga berhasil menguasai perasaan para penduduk desa yang tidak tahu apa-apa. Sementara itu, dia selalu menghasut penduduk desa supaya membenci dan menentangku dengan menuduh aku mengajar ajaran yang menghina Tuhan dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya usahanya itu tak pernah berkurang walaupun ia mulai mengetahui dari orang ramai bahwa asal-usul keluargaku adalah dari Zain al-Abidin, cucu dan mantu lelaki Nabi Muhammad. Sebaliknya, dia menjadikan ini sebagai alasan untuk terus bermusuhan denganku dan berkata: "Lihatlah lelaki itu, keturunan Zain al-Abdidin yang menyatakan dunia ini berputar dengan sendirinya, tetapi saya serahkan kepada kalian semua, pernahkan salah seorang dari kalian melihat pintu rumahnya yang menghadap ke timur itu tiba-tiba berputar jadi menghadap ke barat! "

Sebagaimana yang aku katakan, aku merasa sangat marah begitu melihat kehadiran Sheikh Mohamed Sa'id. Aku hampir meraung dan meneriakkan bahwa dia sebenarnya seorang pembunuh, bahwa dialah yang membunuh Mohamed Weess dengan racunnya, yakni dengan menanamkan ke dalam fikiran Mohamed Weess bahwa ia akan mati dalam waktu empat puluh hari. Bagaimanapun, sepanjang ingatanku, aku tidak pernah berhasil mengalahkan Sheikh Mohamed Sa'id dengan menyatakan perasaan benci dan marahku, karena ia senantiasa berhasil memenangkan hati penduduk desa dengan argumen-argumennya yang lapuk. Yakni dengan menunjukkan bahwa bumi ini tidak berputar dan menanyakan apakah pernah terjadi seorang penduduk desa melihat pintu rumahnya yang menghadap ke timur tiba-tiba berputar ke barat? Dengan demikian, jelaslah bahwa bumi tidak berputar. Tuhan mengampuninya karena mendendamku dan Tuhan juga mengampuni Mohamed Weess meski dia akan terus berada di bawah pengaruh gila Sheikh Mohamed Sa'id hingga keesokan harinya. Dengan perasaan yang berat campur kecewa dan marah, aku langsung ke luar dari ruangan sekolahku.

Mohamed Atallah, porter sekolah itu, telah mengejutkan aku pada waktu subuh. Aku telah menyimpan tiga butir buah pear yang aku bawa dari Damsyik itu di bawah jerigen air. Aku mengambilnya sebuah, kemudian segera menuju ke rumah Mohamed Weess. Halaman rumahnya kelihatan lengang, kecuali beberapa ekor kambing dan biri-biri yang seolah menanti saat kematian tuannya, dan selepas itu kematian mereka pula. Sisi bagian orang perempuan sedikit lebih terang dan dibauri dengan tangis perlahan. Pintu kamar Mohamed Weess tertutup, jadi aku mengintainya melalui pintu yang tertutup itu dan mendapati Mohamed Weess sedang tidur. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dia keletihan setelah sepanjang malam beribadat sebagai persediaan menghadapi saat kematiannya. Aku mengetuk pintu beberapa kali, kemudian mendorong, dan membukanya sambil menyapa keras:

"Segala Puji bagi Allah, Mohamed Weess"

Dia terbangun dari tidurnya dengan masih terkantuk-kantuk. "Apa dia?" jeritnya.

"Saya Naji, guru sekolah. Jangan takut Mohamed Weess. Dengar ucapan saya. Aku melihat air matanya menetes hingga ke pipi ketika ia duduk dengan lidahnya kelu dalam ketakutan. Karena kuatir dia akan langsung mati akibat sangat ketakutan sebelum sempat mendengar apa yang akan kukatakan, aku segera bersuara:

"Saya datang  bertemu anda, karena saya baru saja disadarkan oleh moyang saya, Zain al-Abidin. Semoga Allah memberkatinya, dan dia berkata kepada saya, 'Pergilah temui Mohamed Weess dan beritahu dia bahwa Allah telah mengujinya dan mendapati bahwa dia adalah hambanya yang sudah insaf akan semua dosanya. Berilah kepadanya buah ini, salah satu daripada buah-buah yang ada di surga. Suruhlah dia shalat bersama kamu dua rakaat sebelum naik matahari. Pada rakaat pertama, dia mesti membaca Surah al-Nasr dan Allah akan memanjangkan usianya sehingga dia dapat hidup dan melihat anak-cucunya."

Mohamed Weess menelan air liurnya. Tampak bagiku bahwa ia seperti tidak percaya semua yang aku katakan. Matanya tertegun merenungi buah pear di tanganku (aku yakin tak ada seorang pun di desa ini yang pernah melihat buah pear ini sebelumnya). Aku mengupasnya dan menyuapkan ke dalam mulut Mohamed Weess, lalu menyuruh dia menelan semuanya, sekalian dengan bijinya. Kemudian aku menariknya ke sudut kamar.

"Mohamed Weess , bersiaplah untuk sembahyang sebelum hari siang."

"Tapi saya belum lagi bersuci, Tuan Naji."

Aku lantas teringat bahwa aku juga belum bersuci. Tetapi, karena kuatir kesan yang diharapkan itu akan hilang, aku lantas berkata:

"Buatlah tayamum, Mohamed Weess, ini dibenarkan dalam Qur'an. Tekankan kedua telapak tanganmu ke tanah."

Aku bersembahyang berdiri di belakang Mohamed Weess. Kami bersembahyang dua rakaat. Dalam rakaat pertama, dia membaca kesemua surah al-Nasr. Selepas itu aku terus pulang ke sekolah menunggu hari siang.

Dalam tempo sejam, seluruh desa telah mendengar cerita baru tentang Mohamed Weess. Mereka yang semalam memenuhi halaman rumah Mohamed Weess, kini berhimpun di halaman sekolah, masing-masing sibuk untuk mengetahui bagaimana moyangku Zain al-Abidin datang kepadaku membawa keampunan Allah untuk Mohamed Weess. Pada ketika itulah aku merasakan bahwa akhirnya aku berhasil mencapai kemenangan mutlak atas Sheikh Mohamed Sa'id. Ini karena Mohamed Weess tidak mati dan kambing serta biri-biri di halaman rumahnya juga tidak jadi disembelih. Malah hewan ternak tersebut diserahkan kepadaku sebagai hadiah dari teman-teman Mohamed Weess kepada wali Allah, Naji, guru sekolah keturunan Zain al-Abidin!

Tetapi apakah ini sungguh suatu kemenangan? Sebenarnya aku sendiri tidak pasti. Keraguanku akan nilai kemenangan ini,  bertambah oleh kenyataan bahwa aku gagal mengurangi meski seorang saja jumlah jemaah yang mengambil bagian bersembahyang bersama-sama di belakang Sheikh Mohamed Sa'id. Sebaliknya, bilangan jemaahnya telah bertambah satu lagi, yaitu aku sendiri. Untuk mengekalkan kehormatan keturunanku, yaitu sebagaimana dengan mimpi yang aku reka itu, aku mendapati diriku terpaksa berjemaah di belakang Mohamed Weess pada setiap kali sembahyang dengan bersuci sepenuhnya, dan bukan dengan tayamum! *** Salam al-Ujaili dilahirkan di Rak­ka, Syria pada tahun 1918. Sebagai se­orang Doktor ia menerjunkan diri di bidang politik. Berkali-kali ia pernah men­duduki jabatan sebagai menteri, ter­masuk sebagai Menteri Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Nikmah Sarjono.


 

Komplikasi

Oleh: Naguib Mahfouz

 

Pagi itu, dokter telah selesai memeriksa pasien kelima. Kemudian masuk pasien keenam, seorang ibu bertubuh semampai dan bercadar. Parasnya cantik. Tapi terselip guratan penderitaan yang mendalam di wajahnya, bak mawar putih berlepotan debu jalanan.

"Tolong, Pak Dokter!" teriaknya segera.

Dokter menghampiri. Tenang sedikit tersenyum.

"Ada apa, Bu?" tanya dokter.

Keduanya duduk berhadapan. Dengan malu dan hati-hati perempuan itu menceritakan penyakit kronisnya. Tanpa menunggu kedatangan suaminya dari kantor. Dokter terperanjat mendengar ceritanya. Dokter mencermati apa yang diceritakan dengan kondisi sebenarnya.

Dokter segera memeriksa. Rupanya keraguan dokter terbukti.

"Gawat, Bu! Ibu mengidap penyakit berbahaya. Penyakit kelamin!" gusar dokter.

Perempuan itu tersentak seketika. Matanya berkaca-kaca. Takut dan gelisah. Derita yang dialaminya berubah menjadi ketakutan baru.

"Penyakit kelamin… ?" katanya seolah tak percaya.

''Ya. Yang saya katakan benar, Bu. Tenangkan diri. Kendalikan emosi, agar kesedihan ini tak menambah kesedihan lain. Saya ingin tanya, apakah ibu sudah bersuami?"

Perempuan itu menganggukkan kepala. Tapi tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

"Oh…. Nafsu benar-benar membutakan kaum lelaki. Tak terkecuali mereka yang sudah berkeluarga. Bagaimanapun juga ibu harus memberitahukan keadaan sebenarnya pada suami. Dia harus menjaga ibu dari risiko pergaulan bebasnya. Ibu harus mengingatkan perbuatan terlarang itu. Kalau perlu dibawa serta ke mari. Kalau tidak, pengobatan penyakit ibu akan sia-sia," lanjut dokter.

Teriakan parau muntah dari bibir perempuan itu.

"Tidak…! Tidak…! Tidak mungkin…! Cepat obati saya, Dokter! Jangan libatkan suami saya!" rengek perempuan itu.

"Tapi…."

"Demi Tuhan, jangan, Dok! Suami saya tak boleh tahu masalah ini. Lakukan saja tugasmu. Tentu masalah ini akan selesai."

Dokter gelisah menatap wajah kusut perempuan itu. Jiwanya seakan lebih menderita dibanding rasa sakit di tubuhnya. Kepedihan, kecemasan, rasa bersalah bersemayam dalam dirinya.

Keresahan mencengkeram jiwa dokter. Dadanya sesak.

"Mengapa aku mencampuri urusan dan penderitaan orang lain? Aku hanya seorang dokter. Tak pantas melampaui batas kewenanganku. Aku harus mengobati perempuan lemah ini. Ah... Sudahlah! Semuanya kuserahkan pada Tuhan," batin dokter.

Tekad itu menjadikan jiwa dokter sedikit tenang. Dokter langsung bekerja. Mendadak pikirannya menerawang pada nasib keluarga perempuan itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah.

"Sebaiknya Ibu memberitahukan pada suami Ibu. Bahwa ia dalam bahaya besar. Sepandai-pandainya Ibu memendam rahasia ini, toh akhirnya akan ketahuan juga," saran dokter.

Bola mata perempuan itu bergerak-gerak bagai air raksa.

"Butuh berapa lama untuk menyembuhkan penyakit ini, Dok?" tanyanya.

"Kurang lebih dua mingguan, itu harus intens."

"Oh…. Mati aku!!"

"Tentunya suami ibu juga terjangkit."

"Kalau begitu sementara ini saya tidak akan melakukan hubungan seksual. Kami akan menghindarinya sampai saya benar-benar sembuh."

"Meski sudah terlambat?"

"Yah …saya tak punya pilihan lain, Dok. Suami saya orang baik-baik. Sulit rasanya meyakinkan dia supaya menerima kenyataan pahit ini. Sudahlah, semua ini terserah Tuhan. Barangkali Dia akan melindungi suami saya. Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan keluar pada keluarga kami."

"Suasana hening mencekam. Tiba-tiba perempuan itu teringat sesuatu. Dengan memelas, ditatapnya dokter itu.

"Bisakah Dokter menjaga rahasia ini?" tanyanya.

"Tentu. Tentu. Tenang saja! Kujamin rahasia ini tak kan terbongkar selamanya."

Lalu perempuan itu menghela nafas.

"Saya rasa cukup sampai di sini dulu, Dok. Saya usahakan tiap hari datang ke sini. Selain Jumat. Akan kuusahakan semampu saya," ucapnya dengan hati yang terluka.

Pekerjaan dokter telah selesai. Ketika perempuan itu beranjak keluar, dokter menghentikan langkahnya.

"Siapa nama Ibu?" tanya dokter.

Wajah perempuan itu tampak ketakutan.

"Untuk apa?" tanyanya.

"Tak perlu takut, tak perlu sedih. Ini hanya formalitas belaka. Coba Ibu lihat daftar ini! Bukankah penuh dengan nama dan alamat pasien? Jangan takut, saya hanya seorang dokter," hibur dokter.

"Ibu Muhammad Abbas Efendi, pegawai DPU," jawabnya sembari menarik nafas.

 

***

Esoknya, perempuan itu datang. Ia katakan bahwa kondisi suaminya sehat-sehat saja.

Menjelang petang, datang pasien berumur 30 tahunan. Badannya tinggi tegap. Raut mukanya tampak cerdas dan berani.

"Selamat sore," sambut dokter.

"Sore," jawab lelaki itu.

Lelaki itu tertawa. Menampakkan keceriaan di balik kegelisahan yang menyelimuti dirinya.

"Saya mengidap penyakit, Dok," katanya.

"Penyakit apa?"

"Penyakit yang banyak dikeluhkan orang."

"Oh…kasihan sekali."

"Saya benar-benar menyesal, Dok."

"Menyesal?"

"Menyesal. Apa Dokter merasa rugi bila ada orang insaf datang padamu? Apa pasienmu akan berkurang?"

"Kukira Saudara datang ke sini bukan untuk berfilsafat. Silahkan ke kamar itu! Tunggu sebentar. Tolong sebutkan nama Saudara!"

"Muhammad Abbas, mulut dokter hampir mengeluarkan kata 'Hah'. Dokter segera melihat dengan seksama daftar nama-nama. Mendadak jiwanya bergejolak, begitu tahu bahwa dialah orang yang terancam bahaya besar itu. Giginya geregetan. Kepalanya tertunduk hampir menyentuh lembaran daftar nama yang ada di depannya. Dokter menyembunyikan wajahnya.

Tatkala dokter hendak melangkah menuju kamar praktek, Abbas merengek.

"Dok, saya khawatir penyakit ini akan berakibat buruk."

Dokter menerawang. Lantas bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Saya sudah berkeluarga, dokter. Sekarang dokter tahu bahwa bukan hanya bujangan yang bisa terperosok dalam dosa," jelas Abbas.

"Tahukan Saudara? Istri Saudara juga terancam!"

"Ya. Saya benar-benar terjepit. Saya sangat sedih begitu tahu istri tercinta saya juga mengalami hal yang sama. Apa yang harus saya perbuat, Dok?"

Kini rahasia itu telah terbongkar. Sepasang suami-istri itu ternyata pendosa. Mereka menyesali diri.

Dokter hampir saja terlena oleh pikirannya, kalau tak mendengar pertanyaan Abbas.

"Saya harus bagaimana, Dok?" tanya Abbas berulang-ulang.

"Tenang saja. Saudara akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Usahakan ajak istri Saudara ke sini. Jangan sampai dia curiga."

Abbas bingung.

"Saya usahakan, Dok," jawabnya lemah.

Kemudian Abbas melangkahkan kakinya. Pergi.

"Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan kebaikan bagi istrinya, hingga persoalan ini selesai. Semoga Abbas berhasil membawa istrinya ke mari. Akan kuterangkan ihwal penyakit yang diderita istrinya. Akan kuyakinkan padanya bahwa perempuan itu adalah korbannya. Lantas keduanya akan kuobati sampai sembuh. Dengan demikian lelaki itu mau kembali pada istrinya dengan penuh penyesalan. Abbas tak tahu bahwa perempuan itu lebih menderita dibanding dirinya," kata dokter dalam hati.

***

Perempuan itu tak datang pada hari yang telah dijanjikan. Dokter mengira sore ini, ia akan datang bersama Abbas. Tapi yang datang ternyata hanya Abbas. Abbas dirundung ketakutan. Wajahnya pucat. Tatapan matanya layu. Seolah tampak lebih tua dari biasanya.

"Ada apa?" tanya dokter terperangah.

Abbas menggelangkan kepalanya. Sedih.

"Menurut Dokter apa?" baliknya.

"Kukira Saudara mengajak istri Saudara. Mana?"

"Yah….bagaimana lagi, Dok?"

"Emm…sebenarnya persoalan Saudara sudah beres. Tapi sayang, Saudara tidak bisa meyakinkannya. Ya….beginilah jadinya!"

Abbas diam sejenak. Kemudian berbicara dengan terbata-bata karena putus asa.

"Oh…hidup di dunia memang susah."

Dokter membungkukkan bahunya.

"Saya sudah sering kali mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Saya yakin menusianyalah yang menyebabkannya. Parahnya, mereka justru melalaikan dan membebankan pada dunia!" kata dokter.

"Entahlah. Perlu Dokter ketahui, belakangan ini saya mengalami banyak peristiwa menyedihkan. Sekarang saya telah bercerai dengan istri saya. Impian untuk menimang anak, kini telah hilang. Entah sampai kapan, saya harus menjalani masa sulit ini."

Hati Abbas penuh teka-teki. Tak bisa menguraikan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Ia mesti memeras otak untuk mencari jawabannya. Kebingungan mendekap. Sinar matanya menyimpan banyak pertanyaan.

"Singkatnya begini, Dok. Kemarin malam, saya berniat mengajak istri saya kemari untuk menemui dokter agar saya bisa tenang. Tapi saya bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya. Saya juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Lalu dengan hati-hati, kudekati istri saya. Tiba-tiba istri saya gelisah. Saya mengira dia gelisah karena kegelisahan saya. Saya mengharap dialah yang memulai bertanya. Tapi ia tak melakukannya. Terpaksa sayalah yang memulai bertanya: 'Apa kau tak punya keluhan? Barangkali sakit?' Saya pura-pura tenang. Lalu dengan ragu-ragu, Istri saya menjawab: 'Alhamdulillah, tidak'. Saya berbohong: 'Kulihat akhir-akhir ini, wajahmu pucat dan sedikit berubah. Bagaimana kalau kita periksakan ke dokter?' Istri saya justru marah dan menolak keras: 'Tidak! Kau mengkhayal. Pokoknya tidak. Aku benci dokter. Aku ragu dan bosan mendengar nasihat mereka," tutur Abbas.

"Semakin banyak saya menuntut, semakin keras istri saya menolak. Saya terus mendesaknya. Saya coba memohon dengan baik-baik, istri saya malah melawan dan bersikeras pada pendiriannya. Usaha saya sia-sia. Saya bingung, bagaimana saya harus meyakinkannya. Dada saya sesak. Hati saya dongkol. Rasanya sakit dan ingin marah. Karena saking suntuknya, saya berteriak keras. Otak saya tak kuasa lagi berpikir dengan jernih: 'Ayo ikut aku ke dokter! Aku prihatin dan ingin tahu apa sebenarnya penyakit yang kau derita.' Belum selesai saya bicara, istri saya bicara menantang bagai ular yang siap mematuk mangsanya. Matanya melotot, tak mampu kuasai diri. Tubuhnya menggigil. Saya bingung dibuatnya. Saya bertanya dalam hati: 'Ada apa, Istriku?' Saya coba mengulang pertanyaan dengan lembut, tapi istri saya memotong dengan gerakan aneh. Tubuhnya mengejang. Raut mukanya berubah aneh. Bengis. Saya semakin bingung dan bertanya-tanya: 'Apa yang membuatmu takut, Istriku? Kenapa kau tak mau ke dokter?' Istri saya justru berteriak lebih keras: 'Tidak…! Tidak…!' Saya bertambah marah. Tak ada kata 'tidak' dalam diri saya. Dengan murka, saya melangkah ke arahnya. Istri saya menjerit: 'Ampun, Abbas! Ampun…! Rahasiaku telah terbongkar. Aku telah berbuat dosa! Pasti kau sudah tahu semuanya. Aku telah bersumpah pada Tuhan. Tolong! Jangan sentuh aku. Ceraikan saja aku!' Tiba-tiba istri saya tersungkur di kaki saya kemudian pingsan," lanjut Abbas.

 "Apa maksud semua ini, Dok? Saya hanya menduga. Otak saya ragu. Kepala saya panas.Rambut saya berdiri mengeras seperti landak," tambah Abbas.

Perempuan itu sungguh membuat repot suaminya. Tapi ia yakin bahwa dirinya tak melampui batas kewenangan. Pengakuan dosa, permintaan ampun dan pingsannya itu yang jelas hanya karena satu hal.

"Oh…saya telah berbuat dosa dan pantas mendapat hukuman. Saya telah ingkar, Dok. Karenanya, saya menjadi korban yang sia-sia! Adakah lelaki yang bernasib seperti saya, Dok?"

"Dosa telah memperdaya dan menjerat saya. Saya terjerumus dalam jurang yang curam. Bagaimana saya bisa melepaskan selimut tebal dosa ini? Bisakah saya tabah menghadapi cobaan ini? Bisakah saya kembali bersih dan sehat seperti dulu lagi, Dok?"

"Runtuh sudah bangunan rumah tangga saya. Musnah sudah bayangan hidup bersama buah hati saya. Padahal merekalah cahaya hidup saya yang senantiasa bersinar. Kini saya ingin pikiran saya terbuka. Perasaan tentram. Membuang semua kemarahan yang ada dalam diri saya. Saya ingin lepas dari belenggu perkawinan ini. Tuhan, bimbinglah jalan hidupku.*** Naguib Mahfouz lahir tahun 1911, dan pada 1998 mendapat Hadiah Nobel. Cerpen ini diterjemahkan dari antologi cerita pendek Hams al-Junu'un, dari Judul asli al-Maradl al-Mutaba'adil oleh Ahmad Sya'roni dan Herri Munhanif.


 

Para Pemburu

Oleh: Agus Noor

 

Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beri­stirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Mele­takkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.

Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengala­man kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal mem­buru sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.

Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan bina­tang buruan. Kami tak pernah ter­go­­da menjadi petani atau peda­gang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seor­ang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu bina­tang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebangga­an dan kehormatan.

Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, bina­tang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunu­hi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamn­ya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar entelope, kemudian menghan­tam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.

Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.

“Perburuan tak mungkin berhenti!”

“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”

“Takdir tak bisa dihentikan.”

“Lantas bagaimana?”

“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”

“Memburu apa?”

Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian ter­lontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan dari pada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami takluk­kan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memper­panjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, dari pada mati di tiang gantun­gan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian...”

Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehor­matan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesaki­tan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.

Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebia­saan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kem­bangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menye­nangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jendral menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.

Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.

“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih...” Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!

Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepandan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perem­puan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menemba­ki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepandan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.

“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”

Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.

“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”

“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggair­ahkan.”

“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”

“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menye­diakan malaikat untuk kita buru!”

Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami mengge­lembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?

“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”

“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersu­lang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji per­buruan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera menge­luarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.

“Kami ingin Jibril,” kata kami kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”

Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.

“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri...”

Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesung­guhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelapah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.

“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.

“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”

“Baiklah...”

Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka . Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang mel­ayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau di tipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berja­ga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.

Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang perta­ma, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memper­ingatkan para kiai    bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?

Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemara­han kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.

Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.

Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, mem­buat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semes­ta.

“Jibril!!”

“Jibril!!”

Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?

Buru!”

Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.

“Kejar!”

Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Kemanapun Jibril melesat, kami memburunya.

Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.

“Kesana!” seseorang dari kami berteriak, dan langsung mele­sat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.

Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***

 

Yogyakarta, 1995-1998

(Dongeng Buat Mas Danarto)

 


 

Pernikahan Angin

Oleh: Dianing Widya Yudhistira

 

 

Aku di sini. Berada di keting­gian menara. Menikmati senja. Senja kali ini berwajah pucat. La­ngit diam. Sepi. Melintas di depan­ku burung gagak bergaun hitam. Me­nari di depanku. Tarian yang se­be­lumnya belum pernah aku sak­si­kan. Seperti mengabarkan se­sua­tu yang ganjil. Angin masih terlalu cinta de­ngan kehadiranku. Ia sapa aku lem­but. Perlahan-lahan aku sapu anak ram­but yang tergerai di wa­jah­ku. Tulus. Gagak itu masih me­narikan ta­rian yang terluka. En­tah ten­tang apa.

Ketika senja berangkat ke ma­lam, perlahan-lahan burung Ga­gak menghentikan tariannya. Menatap padaku. Tatapan mata­nya yang tajam, seolah-olah menelanjangi batin­ku. Aku belum tahu apa yang se­sungguhnya Gagak sampaikan padaku.

Yang aku tahu, malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak kudengar desah de­dauan. Gunung-gunung mem­bi­su. Demikian juga dengan ham­par­an laut di depanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Se­helai daun akasia yang menua, me­la­yang di udara. Jatuh. Terku­lai di ta­nah basah. Kesunyian kian leng­kap.

Aku masih di sini. Di ketinggian menara. Aku terpaku di ujung le­ngan cakrawala. Perlahan-lahan aku hela nafasku. Menghem­bus­kannya dengan bebatuan. Tak ada yang menemaniku, malam ini. Tak ada yang mengajakku bicara ma­lam ini. Hanya burung Hantu yang mau menampakkan diri. Seperti biasa. Ia adalah kekasihku. Yang selalu bercerita tentang bulan dan bin­tang. Yang memberi aku ke­da­mai­an. Ya. Seekor burung hantu. Mengham­piriku. Ha­nya saja matanya tak ber­sinar seperti hari-hari kemarin. Mata itu redup.

Burung hantu me­natapku. Kosong. Se­­baid lirik kehi­lang­an aku temukan di sa­na.

“Selamat malam, Dianing.”

“Kabut apa yang menodai matamu, hing­ga ke pendam ra­sa ngeri.”

“Engkau se­sung­guhnya, Dianing.”

Dibentangkannya tanda tanya di hadapanku.

“Di mana Lismatano sekarang Dianing.”

Aku tercenung. Ia menyebut nama laki-lakiku.

“Pergilah ke hutan Para, Dia­ning.”

Aku menautkan kening.

“Kau akan tahu.”

Tiba-tiba angin meliukkan tu­buh­­nya dengan gerakan yang dah­syat. Ia memintalku dengan ke­kuat­­annya. Dengan cinta ia ter­bangkan aku ke hutan Para.

Sekelilingku gulita. Tak ada cahaya. Tapi, cahaya bulan bugil membantu penglihatanku. Banyak pohon di kanan kiriku. Depan dan belakangku. Masyarakat pohon. Membisu dan gelisah.

“Inikah hutan.”

“Ya. Hutan Para.”

Suara burung hantu.

“Apa yang aku tahu.”

“Ikuti aku.”

Seperti perintahnya, aku ikuti langkah burung hantu.

Semakin aku mengikutinya, jalan yang menanjak kian gelap. Gelap dan sangat gulita. Hanya deru nafas yang dahsyat terdengar di telingaku. Deru nafas yang mem­buru dan aku akrab dengannya. Ter­padu dengan deru nafas yang lain. Entah nafas siapa. Aku lang­kahkan kakiku selangkah. Tiba-tiba di depanku terang ben­der­ang. As­taga!! Lismatano, laki-laki­ku ber­gumul dengan tubuh pe­rempuan lain. Gila!!!

Seketika itu angin kembali me­liukkan tubuhnya dengan dah­syat. Memintaku kembali. Entah da­­lam wak­tu seberapa detik me­ner­­bang­kan aku. Yang jelas kurang dari satu detik aku kembali berada di ke­tinggian menara.

Aku lunglai. Bayangan Lis­ma­tano dan perempuan itu terekam jelas di layar komputerku yang paling pertama. Malamku lunglai. Aku tahu burung hantu masih di sam­pingku.

“Untuk apa kau bawa aku.”

“Untuk menjelaskan padamu siapa sosok Lismatano.”

Aku hanya bisa menelan pil pa­hit. Menikmati segala luka hati de­ngan tulus.

Lismatano. Laki-laki yang sepenuhnya aku kagumi. Ternyata mampu menikam darahku.

“Apakah aku terlambat, Dianing.”

“Sama sekali tidak.”

“Mengapa batinmu begitu luruh.”

“Aku tengah belajar untuk bahagia dan damai dalam sendiri.”

Burung hantu tersenyum. Me­nge­­pakkan sayapnya di ketinggian me­nara ini. Selalu ia yang melin­dungiku. Telah aku putuskan untuk tak merajuk atau menerima Lisma­tano. Tak kan lagi aku melakukan kesalahan yang sama.

Malam telah melengkapkan usianya. Aku pandang wajah bulan. Lewat cahayanya ia mengucapkan salam. Aku dengar bisikan angin.

“Selamat malam.”

Aku membalasnya dengan menguap.

“Selamat malam, Dianing.”

Aku tatap burung hantu. Ia membimbingku ke kamar. Menyelimuti aku.

“Tidurlah dengan damai.”

Aku mengangguk. Aku tahu ia akan menjagaku sepanjang malam.

Di ketinggian menara ini.

Perlahan-lahan aku terlena. Hembusan semilir angin menerpa­ku. Sejuk. Perlahan-lahan aku terbawa ke dunia lain. Dunia yang selalu aku impikan. Hamparan luas rum­put hijau. Berbagai macam buah lezat dan makanan tersedia  di sana. Di hamparan rumput itu mengalir parit. Yang airnya susu dan madu. Di hamparan luas rum­put hijau itu, para bidadari ter­se­nyum ramah.

“Oh kehidupan yang menye­nangkan.”

Sejenak kutinggalkan dunia. Aku benar-benar menikmati dunia lain ini.

Dalam tidurku, aku kembali terlempar ke dunia. Tapi, seperti ada yang menghalangi nafasku. Aku terengah-engah. Entah siapa. Wajahnya bersih. Ia bersayap dengan baju serba putih.

“Aku akan menjemputmu, Dianing.”

“Menjemputku!?”

“Ya. Ke alam baru. Kehidupan yang sesungguhnya.”

Aku tak mengerti.

Burung hantu menyentuh bahu kananku. Seolah mencegahku.

“Kau tak bisa menghalangiku. Ini perintah Tuhanku. Tuhanmu jua.”

“Ia masih terlalu muda.”

“Kehendak Tuhan.”

Aku lihat mereka berdebat. Mereka asyik dengan argumen-argumen mereka. Sementara aku hanya bisa menikmati perdebatan mereka.

Karenanya, burung hantu terkapar. Sayapnya patah. Sosok bersayap itu kembali padaku. Tangannya yang dingin menyentuh kulitku. Entah apa yang ia lakukan. Yang aku tahu, sungguh tubuh­ku merasakan sakit yang dahsyat. Setiap kali tarikan hebat itu lepas kembali ketika menyentuh di leher. Aku mengerjang, merin­tih, terpuruk, lelah.

Aku lihat burung hantu kembali bangkit. Kali ini tak ia pedulikan sayapnya yang terluka. Ia berusaha mencegah keluarnya rohku dari jazadku. Jadilah jazadku ajang pe­rebutan roh. Sosok bersayap itu meng­hendaki rohku. Burung hantu ingin rohku tetap menyatu dengan jazad. Mereka tak tahu bagaimana aku menahan sakit.

Cukup lama mereka bertarung. Entah berapa waktu. Karena sakit, aku merasakan sangat lama. Kekuasaan Tuhan tak ada yang mampu membendung. Hingga aku benar-benar terlempar ke dunia lain. Roh yang bertahun-tahun menghuni jasadku, kini telah diinginkan pemiliknya. Aku terbang tinggi tanpa tahu di mana akan berhenti.

Aku saksikan jasadku diman­dikan bunda dan saudara-saud­a­ra­ku. Beberapa orang yang menyayangiku hadir di kematianku. Mereka mengucap seuntai kalimat duka. Ketika jasadku dishalatkan, aku merasakan kesejukan yang sangat.

Tapi, aku merasakan sakit ketika bunda dan saudaraku terisak di makam. Ketika jasadku mulai dimasukkan ke liang, kedua saudaraku pingsan. Duh, jalanku tersandung semak belukar. Perlahan-lahan tanah menimbun Jasadku. Hingga merata dengan tanah. Terta­nam sudah jasadku di tanah. Aku melesat ke langit demi langit.

Beribu roh berkumpul di alam yang sulit aku uraikan. Berupa-rupa aku temui. Di depanku layar besar mengungkap kembali kisahku di dunia. termasuk kisahku dengan Lismatano. Aku merasakan getar aneh ketika melihat Lismatano. Entah, di alam yang lain ini aku masih mengenang Lismatano. Laki-laki yang pernah berjanji akan menikahiku.

Di tengah riuhnya roh-roh yang menuju pengadilan akbar itu, tiba-tiba muncul burung hantu. Ia menuju ke Tuhan. Ia mengadu tentang aku.

“Aku ingin Ia diberi keisitimewaan.”

“Tentang apa.”

Aku menatap burung hantu.

“Biarpun Dianing telah kau ambil, berikan ia kesempatan ke dunia.”

“Maksudku melihat dunia.”

“Ya.”

“Baik karena cintaku aku merestui Dianing. Aku izinkan ia suatu ketika turun ke dunia.”

Aku terpana.

Burung hantu mengepakkan sayapnya. Tersenyum dan memberi salam padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tulus.

“Aku tunggu kedatanganmu di dunia, Dianing.”

“Bila Tuhan mengizinkan.”

“Tentu.”

Burung hantu terbang. Ia menembus awan, mega, bintang, bulan menuju ke dunia.

UNTUK pertama kalinya aku turun ke dunia. Atas izin Tuhanku. Aku lewati langit demi langit. Gemerlap bintang menyambutku, langit cerah. Bulan bulat penuh. Ia bugil di malam yang damai itu. Aku bertemu dengan mega.

“Cukup lama kami menunggu, Dianing.”

“Oh ya.”

“Cepatlah kau temui burung hantu. Lama menunggumu dan juga tengah menunggumu.”

“Ya.”

Aku lihat burung hantu terpekur sendiri. Aku lihat wajahnya sepi. Seperti menunggu kedatangan.

“Gerangan siapa membuatmu sepi.”

Matanya berpendar. Indah sekali. Ia menjerit.

“Dianing.”

“Ya.”

Kami berpelukan. Aku bahagia melihat secercah wajahnya yang ceria.

Wajah yang cerah itu tiba-tiba luruh. Aku temukan sebaid lirik kehilangan di matanya. Seperti berabad-abad lalu.

“Boleh aku tahu dukamu.”

Burung hantu menatapku. Tatapan yang sulit aku urai.

“Maukah kau ke hutan Para.”

“Hutan Para!?”

“Lismatano ada di sana dengan perempuan itu.”

Aku lunglai.

Tiba-tiba begitu sepi.

“Dianing,” panggil burung hantu lirih.

“Untuk apa.”

Burung hantu masih bertengger di pohon randu.

“Bila kau berkenan. Bukankah ia bagian dari hidupmu di dunia.”

Aku luruh.

“Bukankah mereka telah menikah.”

Burung hantu menggeleng.

Aku terpana.

“Lismatano tak pernah menikahi perempuan itu.”

“Lalu?”

“Lismatano memilih jalan buruk. Tak sekedar gelap, terjal dan mendaki.”

“Bicaralah.”

“Mereka seatap tanpa ikatan.”

“Maksudmu...”

“Ya.”

Aku tak mengira laki-laki masa laluku memilih hidup yang naif. Serumah tanpa ikatan sah sebagai suami istri.

“Kau tahu bukan perbuatan mereka melebihi hubungan suami istri.”

Aku kembali ke hutan Para. Lismatano, laki-laki yang pernah aku dambakan jadi suamiku. Telah berpaling dengan perempuan lain. Hidup bersama tanpa kata yang jelas. Di hutan Para itu aku kemba­li menyaksikan Lismatano bergulat dengan perempuan yang sama. Pergulatan yang dahsyat. Aku tak kuasa melihatnya. Tapi, entahlah mengapa tiba-tiba aku terpaku di depan mereka.

Lismatano dan perempuan itu terus bergulat. Saling menumpah­kan nafsu. Deru nafas memburu. Tiba-tiba... Aku tak percaya melihatnya. Tubuh Lismatano mengeras. Ia berubah jadi batu. Ya. Lismatano telah membatu. Kini tak bisa bergerak. Ia dalam keadaan yang mengerikan ketika membatu. Tubuhnya tumbuh lumut. Lebat dan kotor.

Aku terpana. Ngeri. Perempuan itu.

“Yuniz nama perempuan itu, Dianing.”

Aku hanya mengangguk. Ia tak membatu, tetapi tubuhnya berubah. Ia berkaki empat. Besar. Tubuhnya berbulu sangat lebat. Perempuan itu berubah binatang yang sangat mengerikan. Aku yang terpaku. Mulutnya lebar ke arahku. Siap menerkamku. Tapi burung hantu segera menerbangkan aku.

Aku di atas pohon randu. Lismatano telah membatu dan berlu­mut. Sementara perempuannya berubah binatang.

“Mengapa dengan mereka.”

“Itulah yang pantas mereka terima.”

Aku menghela nafas.

“Bulan pun tak sudi menyaksikan persetubuhan mereka.”

Aku menekuri tanah.

Aku berada di ketinggian mena­ra. Sebentar lagi aku harus kem­bali. Menikah dengan Lismatano hanya sebuah impian yang abadi. Kini aku hanya bisa merasakan sen­tuhan angin. Merasakan cinta dan kasih sayangnya. Ya. Dan aku ki­ni mulai belajar untuk damai dan ba­hagia dalam sendiri.***

 

Jakarta, Mei 1997.


Horison, Februari 2000


P i s t o l

Oleh: Ode Barta Ananda

 

Dor! Tak ada yang terkejut ketikatembakan itu menembus sasaran. Mlah..., dor! Dor! Dor! Tembakan yang lain seperti saling susul untuk menembus sasaran. Ada yang menembus kepa­la. Ada yang menusuk jantung. Ada yang mengelupaskan bahu. Tapi tidak ada satu pun yang meleset.

“Bagus!” Instruktur menepuk bahu seorang peserta kursus menembak yang baru saja berhasil menembus jantung sasaran. “Selain pintar mengejar berita, sebagai wartawan, ternyata Bapak sangat jitu juga dalam membidik sasaran.”

Wartawan mendengus. Menghapus peluh pada hidung. Dan berdehem, “Mudah-mudahan bukan hanya kebetulan, Pak. Dan mudah-mudahan juga bidikan saya kali ini bisa secepatnya membukakan mata Bapak, untuk mengeluarkan izin penggunaan pistol buat saya.”

“Tentu..., tentu..., asal tahu saja....” Pelatih menge­dipkan sebelah mata.

***

“Jadi izin yang membolehkan wartawan menggunakan pis­tol, benar berasal atas usul Bapak?” salah seorang dari kerumunan wartawan menanyai seorang pejabat.

Pejabat yang berdasi kuning, berkemeja putih dan berce­lana abu-abu itu, tersenyum lebar sebelum menjawab, “Begitu­lah. Aku tak ingin rekan wartawan kembali menjadi korban dalam gejolak suasana yang sedang memanas sekarang ini.”

“Apakah pejabat yang berkedudukan lebih tinggi juga sudah memberikan izin?”

“Secara prinsip sudah.”

“Apakah Bapak telah siap mengantisipasi segala kemung­kinan-kemungkinan buruk? Seperti pemanfaatan pistol untuk penodongan oleh oknum wartawan, misalnya?”

Pejabat tergelak. Dan tawa itu ternyata telah cukup untuk jawaban.

“Tapi, hampir seluruh kawan-kawan sangat menyayangkan biaya latihan menembak yang cukup tinggi. Harga pistol yang mahal. Dan....”

Belum selesai pertanyaan itu, sudah ditukas pertanyaan lain, “Padahal menurut selentingan kabar, sarana latihan dan pistol ternyata disediakan oleh koperasi?”

“Mungkinkah koperasi mematok harga setinggi itu?” menyusul tukasan lain.

“Atau ada oknum-oknum tertentu yang sengaja menangguk di air keruh?”

Pejabat mengerutkan kening, “Mana yang harus saya jawab lebih dulu?!” dia kesal dan langsung memasuki mobil sambil membanting pintu.

 

***

Dor! Tembakan wartawan meleset.

“Tak biasanya tembakan kau meleset?” seorang rekan tercengang.

“Saya sedang tidak konsentrasi.”

“Kenapa? Memikirkan pekerjaan? Atau gadis simpanan itu?”

“Jangan terus bercanda. Bisa-bisa kutembak kau!” dia mendelik sambil pura-pura marah.

“Silahkan,” sang rekan merentangkan tangan. Lalu men­gangguk-angguk, memasang wajah serius, “OK. Apa yang telah merusak konsentrasimu?”

“Pembayaran pajak pistol ini. Pembayaran harus lunas tiga hari lagi. Padahal, menurut perkiraan dokter, istri saya juga akan melahirkan tiga hari yang akan datang.”

Sang rekan hanya bisa kembali mengangguk-angguk sambil berusaha mancari jalan keluar.

Namun wartawan telah kembali berujar, “Dan sebagian tabungan juga baru saja saya belikan alat perekam baru. Kau sudah lihat kan?”

“Wow! Canggih, Yung! Bentuknya yang unik dan hasil rekamannya bersih sangat seimbang dengan harganya yang mahal.”

“Untuk melunasi kreditnya, saya harus menggadaikan pistol ini.”

***

Saat panas menukik terik. Ketika sinar matahari seakan berniat mencabik-cabik. Waktu angin mencubit kelopak yang akan menghasilkan putik. Saat itulah para pencari berita berhasil mencegat pejabat yang baru saja keluar dari kantorn­ya.

“Kelihatannya biaya latihan, harga pistol, nilai pajak, dan biaya administrasi lainnya, semakin tak menentu, Pak?”

Pejabat tak mengangguk dan tak juga menggeleng. Malah semakin menekan gas mobilnya sambil menginjak rem. Melihat para wartawan tidak mengerti, dia beralih membunyikan klak­son.

“Atau izin penggunaan pistol bagi wartawan ini memang untuk mencari untung?”

“Jelas tidak!” Pejabat menekan gas lebih keras.

Wartawan pemilik alat perekam baru yang berbentuk unik, yang terlambat datang, menyeruak kerumunan, dan memberikan pertanyaan sambil menodongkan alat perekam, “Apakah Bapak, akan mengusahakan perbaikan semua masalah itu, sesuai dengan jabatan Bapak?”

Pejabat terbelalak. Dia langsung mengangguk keras-keras. Menutup kaca jendela mobil. Dan menekan gas dalam-dalam.

***

Ketika embun jantan belum selesai membasuh pagi. Saat fajar bergerak sembunyi. Waktu matahari baru saja bersiap menghangatkan bumi. saat itulah wartawan dan pejabat, asyik berbincang-bincang dekat telepon umum.

“Kau kan sudah menelepon tadi malam. Kenapa sekarang masih mengganggu lari pagiku?” Pejabat tersenyum sambil meninju perut wartawan dengan akrab.

Wartawan tergelak, “Tak enak rasanya, kalau tak lang­sung berhadapan dengan Bapak, untuk minta maaf,” diulurkan tangan untuk berjabat.

“Harus kuakui, ternyata aku masih ketakutan dengan sebuah alat perekam,” pejabat tergelak juga. Perut buncitnya terguncang-guncang menertawakan kebodohannya sendiri.

"Setibanya di rumah, saya baru menyadari, ternyata alat perekam saya yang mirip pistol ini,” wartawan mengeluarkan alat perekam itu, “yang membuat Bapak ketakutan dan tergesa meninggalkan kami kemarin?”

Pejabat mengangguk. tapi belum sempurna anggukannya, wartawan telah menukas sambil mengacungkan alat perekam yang benar-benar mirip pistol, “Benarkah tidak ada keterlibatan oknum tertentu, yang sengaja mendongkrak segala biaya yang berhubungan dengan pistol? Atau....”

Pejabat melambaikan tangan ke arah belakang wartawan. Wajahnya memucat, “Jjjangan! Dddia bukan mengancam!”

Dor! Sebuah peluru buas langsung menikam punggung wartawan. Dia tertelungkup. Dan darah mempermerah jaketnya yang sudah merah.***

 


 

Teater Dewala

Oleh: Doddi Achmad Fawdzy

 

 

Sepuluh menit sehabis menyaksikan Inde­pedence Day, Prabu Kresna masih meng­umpat-ngumpat kepada para Punakawan. “Sebel gua, lagi-lagi propaganda Ame­rika. Apa sih maunya Amerika? Dasar Yahudi!”

“Tapi Prabu, saya tidak melihatnya dari sisi itu. Ajakan untuk berdamai dan bersatu me­lawan musuh dari luar angkasa itu sangat me­­narik. Apa salahnya kita ajak Dursasana un­tuk bersatu melawan musuh dari laur ang­kasa, dari Jupiter misalnya?” balas Astra­jing­ga.

“Dalam dunia pewayangan, tak ada makh­luk luar angkasa selain para dewa. Dewa jangan diberontak, mereka sponsor kita kok.”

Sesaat hening. Gerombolan Pandawa berbelok ke arah Kentucky Fried Chicken. Melewati Alun-alun Bandung, tiba-tiba Kres­na, gerombolan Pandawa, dan Punakawan itu merasa dirinya masing-masing kembali men­jadi remaja. Bahkan Arjuna kembali men­jadi ABG, begitu ngepop. Dikenakannya syal berwarna merah dan kacamata hitam. Na­kula dan Sadewa tiba-tiba berlagak seba­gai penyanyi rap yang sladak-sluduk itu. Astra­jingga dan Gareng ikut berlenggak-leng­gok sebagai penari latar sekaligus menjadi Backing vokal, “Kramotak, kramotak!” Ha­nya Dewala yang bisa mengontrol diri dan tam­pak kalem, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk ABG yang modernis itu. Tiba-tiba be­berapa orang merasa lapar dan menuduh Pra­bu Kresna yang mengajak mereka berbelok ke arah Kentucky.

“Siape ni nyang ngulang tahun, mo nrak­tir ceritanya?” hampir berbarengan Nakula dan Sadewa bertanya kepada rombongan.

“Bukan mau nraktir, BM dong!” balas Kres­na.

“Belum begitu laper gua ini, kita masuk pub dulu!” ajak Bima.

“Sambil makan malam, kita perlu merun­dingkan kembali materi untuk peringatan hari ke­merdekaan negeri kita. Aku tiba-tiba ter­ga­gasi oleh film tadi,” sahut Kresna.

“Maksud Prabu?” Yudistira yang dari tadi miring saja, terlihat gairahnya kalau diajak berpikir serius.

“Apa kita hanya akan menampilkan kaba­ret saja untuk perayaan negara. Kan kemarin kita terima faksimil dari seluruh propinsi bah­wa mereka tidak akan menampilkan kesenian daerahnya masing-masing. Malah utusan dari Astina akan menampilkan operet Maria Cinta yang Hilang, apa tidak mem­bingung­kan pikiranku melihat realitas apresiasi ma­sya­rakat sudah turun seperti itu? Rusak Re, Ru­sak!”

“Inilah salahnya Prabu, kita sekarang ter­lalu berjarak dengan wong cilik,” Dewala men­co­ba menjelaskan.

“Jangan sok tahu Kau. Urusanmu me­nge­lola satpam dan tukang parkir.”

Dibentak seperti itu, Dewala mengambil sikap diam seribu bahasa. Punakawan yang lain menyikutnya, bahkan Semar menjewer ku­­pingnya.

Seperti biasa, Gareng kebagian memesan hidangan. Para pen­gunjung tanpa disuruh sege­ra meninggalkan makanannya. Mereka ketakutan dan terbirit-birit keluar setelah membayar makanan. Seorang anak kecil yang biasa mengemis atas suruhan Kurawa, segera bersembunyi ke belakang dan memijit remot re­corder. Rupa­nya dia dan pemilik rumah ma­kan itu bersekongkol sebagai agen mata-ma­ta Astina. Hasil pembicaraan pemerintah Amarta malam itu sampai ke telinga Patih Seng­kuni dan Resi Kombayana.

“Jadi mereka akan mengundang kita untuk menyelenggarakan acara kesenian yang akan melibat­kan personal dari berbagai nega­ra. Kukira ini usulan yang baik dan kita harus menyambutnya. Kita bisa menyusupkan orang-orang kita untuk menyelidiki lebih jauh ren­cana-rencana Pandawa dalam Barata Yudha nanti,” demikian Kombayana punya usul.

“Kukira tidak mesti seperti itu. Barata Yudha adalah sebuah takdir yang mesti kita teri­ma. Takdir kita untuk menerima kekala­han. Apa pun yang kita rencanakan, Dewata telah memutuskannya,” Bisma mengingatkan.

Tiba-tiba rapat di pihak Pandawa menjadi ka­cau balau. Mereka mendengar laporan bahwa Challenger meledak dan Chernobil bocor. Semar hanya gigit jari ketika Gatotkaca me­laporkan kejadian sesungguhnya. Bima menggebrak meja.

“Misi ujicoba kita gagal.”

“Ini kehendak Dewata. Mungkin kita ter­lalu serakah dan ceroboh.” Semar meng­ingat­kan.

“Tidak, Kurawa telah terlalu curang dan tidak bisa dibiar­kan. Karena itu, misi per­damaian lewat kesenian dalam perayaan ulang tahun negara seperti yang diusulkan Dewala hanya omong kosong. Perdamaian ha­nya menghambat rencana Dewata. Tak ada kesenian dalam merebut kemenangan. Pe­rang dan kekerasan adalah dua jalan yang ber­sa­tu menjadi satu arah untuk mencapai ke­me­nan­gan.” Arjuna bersungut-sungut. Tangan­nya masih menggenggam paha ayam.

Bima meraung-raung, suasana rapat menjadi lebih kacau. Nakula dan Sadewa ikut naik pitam. Tapi Yudistira cepat berpikir dan berlaku bijak. Ia membubarkan rapat dan me­mo­hon Prabu Kresna dan Wak Semar me­nyabar­kan  yang lain. Acara untuk menyam­but hari ulang tahun kemerdekaan negara akan dipikir­kan. Mungkin bisa jadi kesenian sebagai alternatif untuk mencapai perdamaian. Se­men­­tara kerusakan teknologi akan dise­rah­kan kepada Batara Guru.

Berhari-hari Yudistira menghadapi kom­puter dan mencerna John Naisbitt tentang Ke­bang­kitan Asia. Berhari-hari pula ia men­jauh­kan diri dari ranjang Drupadi, dari kopi dan dari rokok. Keningnya semakin mengerut se­per­ti kening Einstein. Kalau sudah seperti itu, ia biasanya merasa bisa berpikir lebih tepat. Ke­bia­saannya bersemedi diting­gal­­­kan, ia lebih su­ka berhadapan dengan kom­puter dan inter­net. Tapi jalan keluar untuk da­mai belum juga dida­pat­nya. Diam-diam ia ter­tarik dengan usulan Dewala. Dipanggilnya De­wala saat itu juga.

“Saya punya obsesi dari dulu untuk meng­gelar naskah Pandawa Adu Dadu, tapi tidak ada sponsor sampai saat ini. Sekarang ber­teater tidak bisa lagi diberangkatkan dari apa ada­nya. Dulu bambu bisa menebang milik sia­pa saja, sekarang rakyat sudah menjadi ma­te­rialis, segala benda serba diuangkan. Syu­kur­­lah kalau Prabu Yudis mau sponsori obsesi saya.”

“Bagi saya, pokoknya naskah karya siapa pun tak menjadi masalah, tetapi yang bisa mem­­bawa pada aufklarung dan bertemakan per­damaian dunia,” jelas Yudistira.

“Justru naskah ini tepat sekali, Prabu. Kita tahu bahwa Pandawa kalah taruhan. Cerita keka­lahan ini akan sangat menye­nangkan bagi Suyu­dana dan kawan-kawan. Kita harus mengalah dan membahagiakan saudara-saudara kita yang memilih jalur menjadi lawan. Kita mengalah untuk menang, me­nga­pa? karena kita tahu bahwa di Barata Yudha nanti mereka akan kalah, itu sebab­nya baha­giakanlah mereka dari sekarang. De­ngan dibahagiakan, insya Allah deh mereka tidak akan terlalu brutal dan mau menerima putusan Dewata dengan dada yang lapang.”

“Tapi apa justru tidak akan membuat semakin pongah?”

“Sebenarnya ini tergantung dari sum­ber daya manusianya sendiri, kalau me­mang bakatnya membelot ya mem­belot­lah. Akan tetapi kita mesti terus berusaha dengan cara mengingatkan kembali diri kita masing-masing pada sejarah. Sebe­nar­nya waktu Pandawa mau diajak main dadu, mereka tidak tahu bahwa mereka  akan dicu­rangi oleh Paman Sengkuni. Ini men­­jadi pelajaran juga bagi kita selaku pe­megang pemerintahan untuk tidak ter­bawa oleh arus dan rayuan gombal musuh. Sa­ya punya teknik, selain nanti para pem­be­sar dari berbagai negara diundang, juga para teaterwannya diajak untuk ikut ber­main dalam pementasan ini. Dengan demi­kian, silatu­rahmi antarseniman pun ter­bina. Konon katanya menurut mitos, seni­man adalah pintu terakhir yang akan men­ja­­ga persaudaraan dan kebersamaan.”

“Tapi saat ini saya ragu, soalnya seni­man di negeri kita sendiri tengah gontok-gon­tokan.”

“Itu wajar karena mereka punya ideo­logi. Tetapi kita juga tahu, bahwa mereka saling menghargai pendapat dan karya seniman lain. Eu begini Prabu, dalam akhir cerita, saya akan membalikkan fakta. Po­kok­­­nya semua serba menye­nang­kan tamu undangan.”

“Apa itu?”

Ada saja. Pokoknya rahasia. Nanti Pra­­­bu tidak merasa sur­prise lagi kalau saya beritahu dari sekarang.”

***

Singkat cerita, Dewala menjadi sutra­dara. Astrajingga mau menjadi Dursasana karena dibohongi oleh Dewala. Kabarnya yang akan menjadi Drupadi adalah istri­nya Arjuna. Tapi setelah mende­kati pe­men­­­tasan, casting itu diganti oleh As­watama yang baru pulang studi komperatif ten­tang antropologi dari Amerika. Para seni­man raksasa dari Astina menjadi Pan­dawa sedangkan para seni­man dari Amar­ta menjadi Kurawa dalam casting ini.

Dadu dilempar. Untuk lemparan pertama Kurawa kalah. Sengkuni tertawa, “mereka tertipu,” bisiknya. Para tamu undangan dari Astina terutama yang tidak pernah membaca kar­ya sastra dan memba­ca sejarah wayang, tam­pak tegang. Sedang tamu undangan dari fihak Amarta bangga karena Pandawa me­nang dalam lemparan pertama itu. Begitu lem­paran kedua dan selanjutnya, raut muka ke­dua belah pihak berubah. Pandita Durna dan Sengkuni menampakkan senyum keme­nang­an sambil melirik Yudistira yang ter­cenung mengerutkan dahi. Pada lemparan ke-se­puluh Amarta harus menyerahan negara sebagai taruhannya, dan kalah.

“Mustahil,” gumam Arjuna.

Pada lemparan terakhir, bila Pandawa kalah lagi mereka harus menyerahkan Dru­padi sebagai taruhannya. Tentu saja Drupadi keber­atan, tapi tak ada lagi benda yang bisa dipertaruhkan oleh Panda­wa. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dan seluruh kekayaan telah amblas ke tangan Kurawa. Bagi Dur­sa­sana yang belum beristri, justru taruhan yang paling berarti adalah Drupadi. Untuk apa para kesatria Pandawa itu, untuk apa kerajaan Amarta toh ia sudah bertahta di singgasana As­tina.

Ternyata Drupadi harus direlakan kepada Kurawa. Drupadi sesungguhnya tak percaya dengan kekalahan taruhan dadu ini, tetapi ia bahagia karena ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk nyeleweng meskipun hanya dalam dongengan. Drupadi ingin tahu sehebat apa kejantanan Dursasana yang tergila-gila olehnya.

Yudistira menunduk dan memejamkan mata ketika satu persatu pakaian Drupadi ditang­­galkan oleh Dursasana. Brahmana dan seluruh Ksatria Pandawa telah disekap dalam penjara sebagai tawanan taruhan.

Di luar plot cerita yang sesungguhnya, ter­nya­ta Drupadi bisa ditelanjangi oleh Dur­sasana yang diperankan oleh Astrajingga. Pa­da mulanya Astrajingga dengan penuh se­mangat menelanjangi Drupadi. Tetapi ke­mu­dian menjerit dan melompat dari panggung saat harus memperkosanya, karena yang me­meran­kan Drupadi adalah Aswa­tama. As­watama, keturunan homoseks itu mengejar-ngejar Astrajing­ga, “Please, touch me! Touch me!”

Kejar-kejaran terjadi, membuat para penon­ton naik pitam. Resi Kombayana yang me­rasa ditelanjangi tentu saja marah tapi Bi­ma tak kalah gertak.

“Ternyata Aswatama itu seorang homo­seks, Para Penonton.” Tiba-tiba Gareng men­jelas­kan lewat mikropon.

Kurawa merasa tertipu dan dihina habis-ha­bisan. Bodyguard dan pelindung Dursasana lang­sung memberondongkan peluru. Gatotka­ca melesat ke angkasa, dilemparkannya sen­jata kimia. Antareja yang tidak mau menjilat jejak sendiri, melesatkan senjata laser dari jilat­an lidahnya. Tapi justru tentara Pandawa yang mampus, sedang tentara Kurawa men­jadi kebal.

Barata Yudha meledak dengan diawali adu panco antara Bima dengan Puntadewa. Sam­pai saat ini belum ada yang kalah. ***

 


 

O n d o l

Oleh: A. Hidayat

 

Setelah begitu saja hilang selama enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tam­pak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir mem­perlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.

Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telin­ganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.

Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian ke­matiannya yang tidak lazim itu menim­bul­kan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenas­kan itu.

 

***

Setelah mayat Ondol diangkat dari kali dan kemudian diurus sebagaimana kebiasaan di desa, beberapa orang penduduk desa berangkat ke kota kecamatan untuk melaporkan peristiwa itu.

Sementara mayat Ondol dimakamkan di bawah langit yang mulai teduh oleh warna senja, lima orang yang melapor itu tiba di kota kecamatan. Mula-mula mereka mendatangi kantor kecamatan, tetapi kantor itu tutup dan tak ada seorang pun yang berjaga di sana. Mereka kemudian menuju ke kantor yang berwajib di kecamatan. Namun, tanpa alasan apa pun, petugas piket di sana tidak mau melayani mereka. Petugas piket itu hanya memberi mereka sebuah surat pengantar yang harus mereka bayar seharga dua bungkus Dji Sam Soe.

“Langsung saja ke kantor yang berwajib di kabupaten, ya!” katanya.

Orang-orang yang melapor itu bergegas ke kota kabupaten.

Ruang penjagaan kantor yang berwajib di kota kabupaten itu kosong. Dengan ragu orang-orang yang melapor duduk di bangku yang ada. Beberapa lama kemudian, seseorang yang bersandal jepit keluar bersama seseorang yang berpeci. Di ambang pintu yang berpeci menyerahkan sebuah amplop kepada yang bersandal jepit.

“Kalau kena tilang lagi, temui saya saja di sini. Pasti beres,” kata yang bersandal jepit sambil mengantar yang berpeci. Yang berpeci lantas pergi dengan mobil mengkilap yang terparkir di halaman.

Yang bersandal jepit kemudian masuk dan duduk menghadapi orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor serempak berdiri dan bersalaman dengan yang bersandal jepit, lalu duduk lagi.

“Saudara-saudara juga kena tilang?” tanya yang bersandal jepit.

“Oho, tidak Pak. Kami ke sini mau melapor,” kata salah seorang, mewakili yang lainnya. “Begini, Pak. Di tepi kali desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir mem­perlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk kecil.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk agak keras.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenas­kan itu....”

“Sebentar, sebentar,” yang bersandal jepit memotong. “Sorri ya Pak, saya bukan yang menangani urusan kriminal macam itu. Urusan yang saya layani adalah soal tilang, tilang, tilang. Kalau bapak-bapak kena tilang hubungi saya. Tunggu yach, sebentar lagi.”

Yang melapor hanya melongo. Untuk mengurangi rasa kesalnya, yang melapor kemudian mengeluarkan dua bungkus rokok. Dibukanya sebungkus, diambilnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam kemu­dian diedarkannya ke teman-temannya. Yang sebungkus lainnya disimpannya lebih dulu di hadapan yang bersandal jepit.

“Nah, itu dia orangnya, Pak.” Kata yang bersandal jepit ketika dua orang temannya, yang berkumis dan yang berkaos oblong, muncul.

“Hei, nih ada laporan kriminil,” yang bersandal jepit seten­gah berteriak kepada keduanya.

“Kalian akan melapor kejadian kriminal?” kata yang berkumis, sedang yang berkaos oblong langsung masuk ke ruang lain.

“Iya, Pak. Begini, Pak. Di tepi kali di desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang berkumis batuk-batuk kecil, berdiri dan mondar-mandir.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk agak keras, duduk sebentar dan kemudian berdiri mondar-mandir lagi.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim  itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius  dan kematiannya yang menge­naskan itu....”

“Sebentar, sebentar,” yang berkumis memotong. “Sorri, sorri, sorri yeah, urusan kriminal itu banyak macamnya. Urusan bunuh-membunuh bukan bagian saya. Urusan saya adalah perkara kriminal yang berkaitan dengan narkotika dan perkara kenakalan remaja. Kalau kalian punya narkotika, hubungi saya yeah. He he he. Kalau yang menangani urusan bunuh-membunuh, yang berkaos oblong tadi. Nah, kalian dengar, dia lagi mandi dulu. Tunggu yeah.”

Orang-orang yang melapor kembali menyulut rokok. Salah seorang yang melapor segera menyimpan lagi sebungkus rokok di hadapan yang berkumis. Yang bersandal jepit dan yang berkumis menemani mereka merokok. Asap rokok memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas itu.

Orang yang berkaos oblong datang sambil merapikan rambutnya. Mulutnya bersiul sumbang entah lagu apa.

“Nah, ini dia selesai mandi. Ayo sekarang lapor sama dia,” kata yang berkumis kepada orang-orang yang melapor.

“Terima kasih. Begini, Pak.”

“Nanti dulu,” yang berkaos hampir-hampir membungkam mulut yang melapor dengan tangannya, “laporan kriminalitas?”

“Iya, Pak.”

“Urusan bunuh-membunuh?” Mata yang berkaos oblong melirik ke bungkusan rokok di hadapan yang berkumis.

“Iya, Pak.” Salah seorang yang melapor dengan tergopoh menyodorkan sebungkus rokok kepada yang berkaos oblong.

“Ya, ya, ya... ayo mulai,” perintah yang berkaos oblong sambil segera menyulut rokok.

“Begini, Pak. Di tepi kali di desa kami, tadi siang ditemu­kan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang bersandal jepit bersin, bunyinya mengagetkan yang melapor.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup mendalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit bersin lagi, bunyinya kembali mengage­tkan yang melapor.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol, selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenas­kan itu...”

“Baik, telah saya dengarkan,” kata yang berkaos, “apa kalian bawa berita acara kematiannya?”

Orang-orang yang melapor kaget dan bingung.

“Wah, kami tidak membawanya, Pak. Bagaimana, ya. Apakah tidak cukup dengan laporan lisan saya tadi, Pak?”

“Tentu saja tidak. Harus ada berita acara tertulis. Laporan lisan saja tidak cukup, walaupun yang menyampaikannya gubernur bahkan menteri sekalipun. Apalagi kalian cuma warga desa biasa! Sebuah laporan, apalagi ini adalah laporan kriminal yang berkai­tan dengan pembunuhan, mesti dilaporkan secara ter-tu-lis. Ya, dengan menyerahkan berita acara kematian itu. Masa aparat desa tidak pernah mengumumkan peraturan ini!”

Yang berkaos oblong memandang tajam kepada orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor menunduk semua.

“Kalau soal segawat ini hanya disampaikan secara lisan, itu namanya baru disebut is-syu. Berdasarkan peraturan nomor 12345/6/78, sebuah is-syu harus diperlakukan sebagai is-syu. Tingkat kebenarannya masih dalam tarap diragukan dan belum bisa dipercaya sedikit pun. Dengan demikian tidak perlu ditanggapi. Apalagi tanpa bukti. Ada bukti pun, jika tidak ada berita acara tertulis hitam di atas putih, ya hanya bisa dianggap sebagai kebohongan. Sebuah is-syu maksimal hanya bisa didengarkan atau dalam istilah yang lazim di sini: di-tam-pung. Nah, karena itu saya minta berita acara daripada kematian yang diis-syukan tadi. Itu pun kalau perkara ini ingin diusut tuntas, ya tass.”

“Caranya bagaimana, Pak?”

“Menurut peraturan nomor 23456/7/89, berita acara itu sekurang-kurangnya ditandata­nga­ni oleh lima orang yang melapor ser­ta diketahui oleh ketua RT be­serta ibu, Ketua RW beserta ibu, Ke­pala Desa beserta ibu, Camat ju­ga beserta ibu, Kepala Kepoli­sian be­serta ibu, dan akan lebih kuat lagi jika diketahui oleh Bupati beserta ibu. Lalu dikukuhkan oleh seorang notaris dan didaftarkan di pengadilan. Dibuat di atas kertas segel rangkap sepuluh. Dilengkapi pula dengan denah lokasi kematian, visum dokter, keterangan kelakuan baik sepanjang hayat, keterangan tidak pernah menentang dan menghina pemerintah, tidak pernah terlibat penganiayaan petugas keamanan, dan syarat lain yang tercantum di sini, nih.”

Yang berkaos menyerahkan selembar kertas.

“Nah, karena sekarang malam Minggu, sebentar lagi kantor yang berwajib ini akan tutup. Wajar dong kalau seminggu sekali kami juga menikmati kencan gratis di malam panjang. Kebetulan ada perempuan montok di ruang tahanan, he he he... pasti dia kesepi­an, kan?”

 

***

Di hadapan keluarga dan kerabat Ondol, orang-orang yang melapor menceritakan apa yang harus dilakukan agar peristiwa hilang serta tewasnya Ondol bisa diusut tuntas. Beberapa orang kerabat Ondol menyatakan bahwa kematian Ondol barangkali sudah merupakan takdir dan tak perlu diusut sebab-sebabnya. Tetapi orang-orang yang melapor meyakinkan mereka akan pentingnya pengu­sutan kematian Ondol.

“Ingat, sodara-sodara. Ondol mati tidak lazim dan keadaannya begitu mengerikan setelah setengah tahun lebih hilang secara misterius,” kata salah seorang. “Menurut yang berwajib juga ini sebuah peristiwa kriminal yang perlu diusut tuntas. Dan yang lebih penting lagi, kejadian ini menimpa Ondol yang cerdas dan berpendidikan, orang yang kita harapkan suatu saat bisa memimpin desa ini. Pasti ini ada hubungannya dengan keinginan Ondol untuk memimpin dan memajukan desa ini.”

“Betul. Bagaimana kalau semua orang yang punya keinginan untuk maju hilang dan terbunuh begitu saja?” tanya salah seorang. “Kalau soal ini dibiarkan, tak akan ada yang berani mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa. Padahal pemilihan tinggal setahun lagi. Saya juga telah diminta masyarakat banyak untuk mencalonkan diri, tetapi saya tidak berani kalau risikonya harus seperti Ondol. Jelas bukan, ini bukan lagi soal kriminal biasa? Yang berwajib saja mengatakan, ini sudah menyangkut perkara sub-ver-sif. Karena itu, pengusutan perlu dilakukan.”

Akhirnya semua kerabat Ondol menyepakati dilakukannya pengu­sutan. Salah seorang, yang menyatakan dirinya diminta untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, berbaik hati mengurus berita acara kematian Ondol.  Namun pembuatan berita acara itu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan visum dokter, mayat yang telah dikubur digali kembali, dan itu menjadi pro dan kontra bagi masyarakat desa. Kerabat Ondol juga harus berpatungan menyiapkan sejumlah amplop untuk orang-orang yang menandatangani berita acara itu. Menurut salah seorang kerabat Ondol, lebih kurang satu juta habis digunakan untuk berita acara itu. Baru sebulan lewat satu hari berita acara itu bisa didaftarkan di pengadilan.

Pada hari itu juga, dengan semangat 45, orang-orang yang melapor kembali datang ke kantor yang berwajib di kabupaten. Mereka diterima oleh orang yang dulu mereka temui.

“Begini, Pak. Sesuai dengan petunjuk Bapak, sekarang kami serahkan berita acara kematian Ondol,” kata salah seorang, “kami semua mengharapkan kematian Ondol akan segera diusut tuntas setuntas-tuntasnya.”

Yang berkaos oblong mengerutkan dahi.

“Aduh, kenapa baru menyerahkan berita acara sekarang? Sayang sekali, ya sayang sekali. Menurut peraturan nomor 34567/8/90, sebuah peristiwa kriminal pembunuhan dengan lokasi kematian di tepi kali hanya dapat diusut tuntas bila berita acara kematiannya masuk kepada yang berwajib tidak lebih dari sebulan. Kemarin! Mestinya kemarin ke sini. Kalau kemarin datang ke sini, tentu berita acara kematian ini, atas nama hukum, bisa saya terima.”

Orang-orang yang melapor tersentak dan termangu.

“Sekarang kami tidak punya banyak waktu. Kami lagi sibuk, supersibuk. Sebuah kejadian serupa yang terjadi minggu lalu harus segera kami usut dan memerlukan penanganan yang tidak main-main. Lihat, berkas lengkap berita acaranya juga sudah kami terima," yang berkaos menunjuk setumpuk tebal kertas di atas meja.

Orang-orang yang melapor tak bisa berkata-kata.

“Jadi, lebih baik kematian e... siapa namanya itu, kalian lupakan saja. Bukan kami tidak ingin mengusut, tetapi kalian yang teledor, tidak disiplin dengan waktu. Jaman sekarang kita harus berpacu dengan waktu! Ya, kami tidak punya waktu banyak. Selain harus mengusut perkara minggu lalu, kami juga masih repot dengan perkara kematian si Udin brengsek setahun yang lalu itu," kata yang berkaos setengah marah-marah. “Sekali lagi, lupakan saja kematian si Podol itu, ya! OK?”

Dengan langkah gontai mereka pamit dan pulang dengan se­berkas tebal berita acara kematian.

Dalam terik matahari yang membakar tubuh, mereka melangkah menuju sebuah warung kecil. Beberapa bungkus nasi rames mereka makan untuk menghilangkan lapar. Mereka membeli beberapa buah goreng pisang dan goreng ketan. Karena plastik pembungkus di warung itu habis, mereka membungkus gorengan itu dengan kertas-kertas segel berita acara kematian Ondol. Sebagian kertas yang lain mereka lemparkan ke udara. Kertas-kertas warna-warni berham­buran, melayang-layang dan jatuh ke tengah dan tepi jalan, ke halaman-halaman di rumah pinggir jalan, sebagian lainnya  hanyut di selokan. Beberapa anak kecil memungut kertas-kertas itu untuk dibuat mainan kapal-kapalan.***

 

 


Horison, Maret 2000


 

Nuh

Oleh: Isworo Haris Sunardi

 

"Nuuuh …! Kaukah itu? Yang berlayar dengan sabar mengarungi lautan tiada berpantai?" tanyaku ketika melintas sesosok wajah di depan mataku. Kuusap-usap dengan keras dan kuucek-ucek kelopak di bawah alis ini, tapi wajah itu terus saja berdiri tenang menatapku. Wajah putih berjenggot panjang itu masih menampakkan guratan ketegaran di pipinya. Aku jadi teringat cerita bapakku tentang laki-laki yang tidak disetiai istrinya di atas kapal kayu besar, di bawah angin besar mem­ba­dai dan guyuran hujan menabrak-nabrak tap kapalnya.

"Kaukah itu? Jawablah!"

Lelaki itu tetap diam. Bisukah? Tanyaku dalam hati. Tapi dia me­man­dang­ku terus dan tersenyum mengejek. Di atas batu pualam hitam begitu tegar dia berdiri. Tongkat penyangganya menebar harum bau cendana, tapi (anehnya) warnanya hitam mengkilap. Oh! Hidungku mengendus wewangian hingga meranggas mengalir dalam rongga dada. Mengapa tidak menjawab? Bisikku dalam hati.

"Kaukah itu? Tanyaku sekali lagi.

Lelah rasanya aku memanggil, tapi rasa ingin tahuku menggebu mengelucak di gejolak kalbu menoreh-noreh dinding hati yang keheranan. Barangkali dia tidak tahu bahasaku yang berasal dari Indonesia, bahasa yang sangat asing ditelinganya. Ataukah senyumnya itu yang menawarkan jalinan komunikasi yang harus diresapkan maknanya dalam hati? Anehnya dia tahu kalau aku sedang menerka-nerka.

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.

"Ya. Akulah Nuh! Nuh yang diceritakan oleh bapak-bapak kamu," jawabnya tenang. Aku hampir saja melompat kegirangan saat tahu kalau dia benar-benar Nuh.

"Benarkah? Benarkah kau Nuh seperti yang aku angankan?"

"Ya," dia mengangguk. "Tapi aku takkan bisa menolong kalian."

"Kalian?" aku heran. Kulihat di sekelilingku, tapi yang kutemui hanya diriku sendiri.

"Ya . Kalian! Kau dan rakyatmu yang lupa akan hidup dan per­ja­lanannya. Aku berlayar di lautan tia­da berpantai itu, seperti katamu, ha­nya untuk umatku. Tugasku telah selesai dan tinggal santai. Bukan untuk kalian. Lagi pula  lautan yang kau renangi adalah lautan waktu yang berisi ketololan dan keteledoran. Beda sekali dengan lautan yang aku layari," katanya menjelaskan.

"Tapi Engkau bisa memberi nasihat buat kami, Nuh! Bagaimana sebaiknya bangsa ini berjuang berenang di lautan yang bergelombang duka ini, Nuh? Aku mohon?"

Kabut hitam menggumpal di wajah tua itu. Ada guratan gelombang di keningnya. Alis putihnya mengumpul, seperti dia sedang serius berfikir. Lama aku menunggu jawabannya.

"Tidak, tidak …tidak! Aku tak bisa menasihatimu," katanya menggeleng. Aku sangat kecewa.

"Kenapa?"

"Kronologi perjalanannya berbeda. Dulu bangsaku lalai tidak mau menjalankan perintah Tuhan dan nasihatku. Berkali-kali aku dicaci dan dipecundangi. Bahkan tahi, bahkan tahi dilemparkan ke muka ini. Istriku sendiri yang mengajari. Karena lamanya aku membuat kapal, aku jadi kebal. Tapi bangsamu adalah bangsa yang telah lama mengenal Tuhan. Di antara mereka banyak yang saleh-saleh. Kau dan rakyatmu lupa pada titian waktu bangsa sendiri. Mereka ingin menelusur pada masa lalu dengan menerapkan di masa sekarang. Jembatan waktu yang kau tuju, telah berubah arah. Semua karena hanya ingin mengikuti kata hati tanpa kau fikirkan. Kau lupa pada orang yang suka memuja hingga kau turuti kemauan mereka. Apalagi kau suka pelihara bunglon-bunglon yang dengan cepat mengecat warna."

Aku terdiam. Kutelusuri lagi perjalanan hidupku di saat masih kecil yang digeluti oleh lapar yang sangat. Aku terjungkal dalam kesendirian di lembah papa. Setiap kali kutapaki jalan sambil memanggul sepi. Aku rindu harapan. Aku berjalan di bawah penindasan. Dan matahari yang seharusnya hangat di setiap pagi berubah jadi resah yang menyengat-nyengat pikiranku.

Akhirnya aku harus memilih jalan, ketika menemukan sela-sela perjuangan di antara perang dan perang. Aku merayap-rayap mencari-cari musuh yang lengah. Sementara di atasku beribu peluru mendesing memburu. Kusergap sebisanya dan kuhancurkan. Kukejar dan terus kukejar lawanku hingga jurang beku dan ternyata aku dan anak buah setiaku berhasil menang.

Lalu aku berjalan di antara saudara-saudara sendiri yang bertongkatkan politik. Aku sering mendiamkan atau mendamaikan. Habis itu kubiarkan berbuat apa saja. Saat kuketahui mereka curang dan membahayakan, mereka kusikat. Kubabat tanpa sisa. Akhirnya sampai juga aku menguasainya. Kucari-cari bayanganku dengan harapan-harapan sambil meraba-raba bangunan, dengan tanah-tanah yang kubangun rumah, juga kuda-kuda liar yang bisa kutundukkan.

Aku dan anak buahku, juga familiku, aku bagi kebahagiaan. Mereka bebas makan, berpakaian, kadang rumah yang berlebihan. Tapi lama-lama setelah aku tua dan mulai banyak lupa, mereka sering pura-pura dengan cara memuja selayaknya seorang raja. Mereka punjung kata dengan emas. Aku ditandu dan dielu-elu, kedua tanganku mengepak se­ru­pa sayap. Kulambaikan tangan pa­da orang-orang.

Kunyuk semprul! Ternyata di antara mereka itu ada beberapa mu­suh main petak umpet dan perang-pe­rangan. Mereka tampak me­nyongsong, tapi di belakang disiapkan membokong. Lalu mendorong hingga terjerembab di lubang nista. Aku jadi sendiri, tepekur melebur diri dalam keheningan dan kesunyian. Hari-hari kuakrabi sepi bagai mimpi.

Berjalan menyusuri ujung pe­nan­tian.

"Nuh! Dimana kau? Kenapa kau pergi lagi? Nuh! Nuh! Nuuuh­…!­­" teriakku memanggil-manggil orang yang kukagumi itu. Orang tabah itu akan kumintai nasihatnya. Orang yang sabar berlayar itu akan kupungut hati­nya. Dan dia yang berjiwa peno­long itu akan kucari petunjuknya.

Lama kucari-cari dan kunanti, tapi tak juga muncul dalam benakku. Kureka-reka dalam khayalku sambil menyusuri lorong-lorong pabrik-pabrik dan mobil-mobil mewah siapa tahu ada di sana. Lalu aku melesat di antara manusia-manusia pakar pe­na­sihatku, tapi malah tersasar da­lam lem­bah kurang ajar. Aku berlari di hu­tan-hutan, tapi hutan itu malah ter­ba­­kar, dan gunung-gunung yang ku­pi­­jak meledak. Bencana-bencana be­r­un­tun melanda. Tapi yang kucari tak ketemu juga.

Untunglah dia datang saat aku ham­pir terpagut rasa putus asa. Ke­su­nyian-kesunyian yang kutelan se­­ba­gai pelepas dahagaku telah me­nge­nyangkanku.

Nuh! Kau datang lagi saat aku terlompat. Sambil berlari Dia kuham­piri. Kuulurkan tangan agar aku da­pat meraih kelembutan telapak ta­ngan­­nya. Tapi layaknya sekat, betapa sedih ketika dia ulurkan tangan untuk menggapaiku tidak pernah sampai. Aku gagal menyentuhnya.

"Ketegaranmu, Nuh, akan kutempuh!" kataku.

Dia tersenyum.

"Jangan mengejek, Nuh."

Nuh yang tua itu menggeleng. Di wajahnya ada teduh bulan purnama. Bibirnya lembut mengurai suara.

"Tabah," katanya. Dia julurkan telunjuknya ke arah langit. "Tanpa ke­­ta­bahan kau takkan mungkin mam­pu mengarungi lautan duka resah ini hing­ga sekarang. Ketabahan yang kau pelihara sejak kecil itu membuat hati­mu kuat."

Lalu dia menegakkan jari te­ngah­nya ke arah langit hingga berjajar de­ngan telunjuknya.

"Tegarkan jiwamu!" katanya de­ngan menekankan suaranya. "Kau pas­ti akan merdeka seperti engkau ber­juang mati-matian memperoleh kata itu."

"Lalu, Nuh?" tanyaku tak sabar. Dia julurkan jari manisnya menunjuk ke arah langit. Aku jadi berfikir saat dia menjurus-juruskan jarinya ke atas.

"Tenang!" katanya. Tak terasa reflek jariku ikut menirukan gerak­an­nya. "Ya, ke sana!" katanya men­je­las­kan. Dia menyuruhku me­man­dang ke atas.

"Jadikan tiga itu tonggak kekuatan di hatimu untuk menetralisir kekalutanmu. Kendali emosi dari dendam pada orang-orang yang telah menjatuhkan kau sebagai kekuatan."

Aku termangu dalam buaian na­sihat­nya. Mataku terus saja me­na­tap­nya. Tapi Nuh tiba-tiba pamit per­gi setelah meninggalkan nasihatnya de­ngan menghunjamkan dalam hati­ku. Aku terdiam tenang. Sambil mem­beri salam dia pergi melambaikan ta­ngan. Kupandangi dia saat berjalan me­ninggalkan.

"Terima kasih Nuh, terima kasih!" kataku sambil berlari melewati senja waktu malam yang mulai merayap meranggas gelap.***

 


 

Pada Sebuah Taman, Mei

Oleh: Moch. Hasymi Ibrahim

 

 

Di taman kota, senja beringsut perlahan, lamban, bahkan nyaris lunglai. Senja yang kemarin juga, tapi. Mungkin karena burung-burung sudah mengungsi entah ke mana.

Pagi sekali, mereka yang hanya mengenal canda dan birahi, telah bergegas pergi dari situ. Terbang ke tempat-tempat yang jauh, mungkin ke wilayah-wilayah yang belum dikenalnya. Asing. Tapi adakah sesuatu yang asing bagi sebuah kemutlakan bernama naluri? Kukira tak ada. Ning juga pernah bilang begitu, dulu, ketika kami tidur bersama pertama kali, pada sebuah flat sederhana di Brooklynn, NY.

Dan burung-burung itu telah mengungsi meninggalkan taman di mana senja yang bisanya bersemangat menjemput malam, turun amat perlahan, lesu, meninggalkan gerah – juga kesal lantaran langit kota telah penuh asap. Kota sedang terbakar. Revolusi, mungkin, sedang bermula.

Usai mengantar Ning, aku segera terbang ke sini. Bau tubuhnya masih tersisa dalam ketergesaan langkahku: asin, berkeringat, beraroma perempuan dengan keliaran tersembunyi di balik kecerdasan dan pendidikan yang baik. Bukan hal mudah mencapai taman ini. Gelombang masa yang bergulung-gulung bagai bah telah menyapu pertokoan, perkantoran dan meninggalkan nyala api yang perlahan-lahan makin membesar. Jalan raya yang melintang membelah-belah kota menjadi senyap, lenggang, menyisakan cungkup-cungkup api dari mobil-mobil terbakar.

Lalu di sini, senja mulai nyungsep, dan Yogo telah datang.

“Kita evaluasi perkembangan, di sana. Pergilah,” ungkapnya tadi subuh sebelum berpisah. Malam yang teramat meletihkan telah kami lewatkan dan sekarang adalah tahap menunggu. Kekuasaan, kekuatan dan ambisi adalah aura yang memancar dari tubuh tegap Yogo, sepanjang malam, tadi. Dia hanya mengenakan T-shirt polos, sepatu karet dan celana jeans. Atribut perwira yang selama ini menjadi citranya di depan publik, lenyap sama sekali. Sambil mengontrol radio, memberi komando, mematangkan dan memberi perintah “start”, dia bagai berada dalam situasi ekstase. Persis ketika suatu malam, nun beberapa tahun lampau, ketika kami duduk di sebuah café di pinggir Champs Elessye, Paris, meneguk perlahan hangat tequilla. “Perjumpaan dengan calon presiden,” aku menyebut pertemuan malam itu. Dia datang dari jauh, pedalaman Irian, usai membebaskan sandera.  Bau hutan tropis masih lekat di wajahnya. Urat-urat kesadaran yang memancarkan kharisma dari seorang prajurit lapangan, juga terekam dalam kalimat-kalimatnya yang cerdas. ”Anda bantu saya. Tak perlu kontak, kukira. Anggap ini sebagai ekspresi persaudaraan, persahabatan. Juga keagungan sebuah cita-cita. Kamu pasti setuju, persahabatan adalah ikatan kita.” Singkat, simpel, khas orang lapangan yang pernah mengenyam pendidikan menengah di negeri-negeri asing.

Dan malam tadi, hingga subuh ketika kami pisah, Yogo tampak angker. Lambaian tangan kekuasaan semakin mengentalkan darah ambisinya. Persahabatan itu, segera akan terbukti, kelak, tapi rencana masih sedang berlangsung. Belum perlu ada kalkulasi menang atau kalah. Presiden memang sudah terpojok, tapi ada saja hal yang tak dapat diduga. Juga kedatangan Yogo yang telat.

Malam kemudian tiba dengan diam. Malam yang sepi.

Ning menelepon.

“Bang, Presiden mundur besok. Yogo tak mungkin datang. Pulanglah,” katanya simpel. Tak ada basa-basi, seperti irama tubuhnya: simpel, langsung, tegas dan banal.

Aku kontan diserang frustasi. Lesu, habis, pupus. Sebuah persilatan virtual telah berlangsung mulai tadi subuh – bahkan sudah dua hari sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya ketika ketekunan di depan mesin komputer menjadi aktivis menggairahkan. Aku telah membaca jutaan bit dari laporan intelejen, mengamati penampilan sekian ratus tokoh di depan publik dari waktu ke waktu, menganalisis arah perkembangan berbagai kelompok. Bahkan untuk beberapa tokoh kunci, sampai ke gelagat seksualnya di ranjang, telah aku rekam di luar kepala. Dan sebagian besar kerja keras itu sudah berhasil. Para pemain valas telah terkuasai. Beberapa buah bank sudah ambruk. Markas keuangan sudah terbakar, diliputi misteri. Para aktivis telah diamankan. Sabotase, demonstrasi, dan berbagai upaya pembusukan telah terjadi. Bahkan picu massa telah berhasil melalui eksekusi mahasiswa. Presiden yang ternyata sangat lemah, masih mampu tampil sebagai satu-satunya pilar penentu. Pendek kata semua berjalan sesuai rencana. Demi Yogo, demi kesan pada sebuah malam di sebuah kaki lima di Paris, dan demi keagungan. Oh, betapa menggairahkan.

Di ufuk, bayang kegagalan mulai tampak. Tapi apa mungkin? Yogo memang bukan panglima. Dia berada satu level di bawah, tapi aku punya keyakinan, juga kepercayaan atas nama keagungan, bahwa dia takkan menyerah begitu saja. Langkah presiden selamanya memang tak terduga. Mundur mendadak tentu akan membuyarkan rencana. Akan menyetop aksi, akan memuaskan semua orang dan segera akan berbalik menyerang kami. Ini harus dicegah. Kebebalan presiden untuk bersikukuh pada kursi kekuasaan, rupanya tak dapat dipercaya; dia memilih mengalah sebelum bertempur. Dia ternyata bukan prajurit sejati seperti senantiasa dicitrakan di depan publik. Dia tak lebih seorang tua pikun yang sedang kehabisan cita-cita, —lampu teplok kehabisan minyak; faktor yang kami tak hitung selama ini.

“Ning, kamu masih di situ?” kataku menjawab Ning.

Ia.  Kamu kok diam saja?”

“Aku bingung. Ada kontak dengan Yogo?”

“Belum, tapi kuusahakan. Mungkin dia sedang di istana.”

“Pulanglah segera, pulang. Di sini kita bisa berpikir jernih.”

Suara Ning tetap empuk. Menggairahkan. Memanggil. Tak ada kegetiran, apalagi kegentaran. Dia memang lebih matang. Mungkin kematangan yang datang dari daya-daya seksualnya yang tak pernah surut dan padam. Sebaliknya, aku yang justru panik dan gamang. Bukan karena risiko yang mesti datang, balas dendam kalangan militer, bukan. Melainkan kepanikan seorang penulis skenario yang gagal mementaskan lakonnya dengan sempurna. Lakon yang berjalan tak sampai klimaks, lantaran aktornya bermain tak terkendali. Juga kepanikan dan kegamangan seorang yang tumbuh berkembang bersama ilusi revolusi, seperti Che Guevara, Castro, dan mungkin Kaddafi – hadir untuk berperanan menumbangkan tiran dan eksis atas nama cita-cita dan keagungan. Aku benar-benar frustasi, kini.

"Kamu masih di situ?" tanya Ning. Kali ini suaranya bernada khawatir.

“Iya,” balasku memencet “off” pada hand-phone.

Malam sudah bertahta. Udara gerah berbau asap. Taman benar-benar muram. Durja. Reranting tampak seram memantulkan malam hari. Kota masih terbakar, menghanguskan sisa rencana.

Hand-phoneku bertulilit. Suara Yogo; “Tunggu sampai besok,” katanya singkat.

Tak ada besok, Yogo: gumamku membatin. Seperti yang sering kamu katakan, sekarang atau tidak sama sekali. Kenyataan yang tak diperhitungkan akhirnya terjadi, dan tak ada rencana ulang.

Di sini, di taman tempat burung-burung bersenggama, bertelur dan berkembang biak –dan kini telah mengungsi entah ke mana— semuanya telah berakhir. Keagungan itu memang ilusi, kini. Bagi Yogo, utamanya. Sementara bagiku? Masih ada Ning. Kami akan segera terbang ke negeri lain, di sana prarencana sudah tersusun. Sasaran tembak: Perdana Menteri yang terlampau cerdas dan sedang berkilau di dunia internasional, alumni Oxford, almamaterku. Ini tentu akan lebih menggairahkan. Biarlah persahabatan dengan Yogo berakhir. Atau bisa lanjut di masa yang datang. Dia terlampau cerdas untuk dihentikan. Tapi tidak malam ini.

“Ning, kamu masih di situ?”

“Ya, aku sudah mandi.”

“Sekarang pakai handuk?”

‘Ya, cuma handuk. Duduk menunggumu.”

“Sebentar lagi aku datang. Aku ingin berendam.”

“Kalau begitu aku mandi lagi.”

“Berendam bersama-sama.”

“Iya.”

“Terus?”

“Terus larut seperti biasa.”

“Aku meresapkan bau mulutmu, kini.”

“Aku juga.”

“Tunggu, ya!”

“Cepat.”

Malam, di taman ini, kurasakan gairah yang lain. Gairah bulan Mei. Seperti gairah sebuah musim panas, di Brooklynn, NY, nun bertahun lampau.***

 

Jakarta, Juni 1998


 

Pemahat Abad

Oleh: Oka Rusmini

 

 

Kopag menjatuh-kan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.

“Siapa itu?”

“Titiang.1 Luh Srenggi.”

“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing tebayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.

Katakan padaku, siapa kau?!”

Titiang yang akan melayani seluruh keperluan, Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya,” Suara itu terdengar gugup.

"Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.

“Luh Srenggi.” Suara itu terde-ngar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan keju­juran, kasih sayang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?

Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya. Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perem­puan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.

Baru kali ini Kopag merasakan bisa menikmati hidupnya. Dia bisa memberikan penilaian yang begitu objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, Kopag harus patuh. Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.

“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?"

"Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikirannya kacau!

Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salahkah?

Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap kecantikannya. Menghar­gai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?

 

***

Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi Ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, setelah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja menumpuk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang dinikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu menolak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang dirahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang mereng­gut nyawa perempuan itu.

Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alangkah ajaibnya kalau hidup juga bisa dipermainkan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hidupnya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ternyata cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekontruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, juga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam menyerah pada kekuasaanya, seperti Kopag juga menyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan setiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-menerus.

 

***

Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Disentuhnya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar kein­dahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.

“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!” Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.

Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinga­nya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desa­nya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa memandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.

Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya sebuah penilaian yang objektif dalam hubungan antarmanusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.

Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan. Itu yang dira­sakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membu­suk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya bisa mendapat­kan perempuan tercantik di desa.

Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Gria bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.

“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”

“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau kata­kan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sangat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung. Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru yang mengajari­nya membaca.

“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbu­hannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dila-kukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu membuat pa­tung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Juga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.

“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang dimiliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.

Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjugi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.

Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buo­norrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.

Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.

“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”

“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg terdengar penuh nada kecemburuan.

Laki-laki tua itu sekarang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Perancis itu seluruh isi perutnya seperti keluar. Jengkel! Waktu Kopag sekarang habis untuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya didikan yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, termasuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.

“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gubreg.”

Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pahat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar matahari yang perkasa itu menja­di patah dan tak berdaya ketika menyentuh sedikit saja keruncin­gannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.

Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menja­wab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut. Takut sekali menjawab perta­nyaan tentang esensi menjadi laki-laki.

 

***

Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.

“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.

“Tentang apa lagi, Ratu?”

“Kecantikan perempuan.”

“Titiang...Titiang tidak bisa menceritakan kecantikan perem­puan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”

Suara Gubreg terdengar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat mengge­lisahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-tiba saja muncul kembali dalam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.

Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Dayu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perempuan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit batang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap melihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Centaga selalu menyuruh Gubreg menggosok punggungnya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih mele­kat erat di tubuhnya. Aroma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gubreg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia gelisah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, kebanyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tubuh perempuan Brahmana. Perempuan junjungannya, perem­puan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan keluarga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada antara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu merasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Keluarga Griya mencari­kan dia seorang Balian, dukun.

Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sangat menyesakkan aliran pernafasannya. Kata Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena kemarahan si penunggu sungai. Untuk mengembalikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.

Gubreg tidak bisa bercerita tentang kelaparan tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Katanya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.

Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tubuhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyerupai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memerlukan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cinta yang dalam pada Dayu Centa­ga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manusiawi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegaira­han sebagai laki-laki.

Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.

Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.

“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, "Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”

“Yang mana?”

“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melu­kai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti setiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh pohon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, membesarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”

Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin disampaikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan dengan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gubreg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar demi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya sebagai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.

Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semau­nya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Perancis.

Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.

 

***

“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.

“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiap­kan.”

“Jero sudah punya calon?”

“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”

“Siapa?”

“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasa­kan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.

“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perem­puan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.

***

“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke mana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.

“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”   

“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.

“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”

“Apa kata mereka.”

“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dili­hatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.

“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak bisa diubah!”

“Siapa?”

“Luh Srenggi.”

“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan studionya menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahat­nya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.

“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang menga­lahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”

Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis. ***

 

1.  Saya

2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali  

 


Horison,  April 2000


 

 

Mayat

Oleh: Putu Wijaya

 

Mayat itu mengeluh.

“Aku yang mati. Aku yang terdera. Aku yang menjadi korban. Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjing­kan, diselidiki dan dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai penyelidikan, analisa-analisa yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan kaya. Aku yang sudah mencetak duit buat banyak orang yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peris­tiwa yang dahsyat ini, sehingga mereka menjadi terkenal, terke­muka, memegang posisi puncak dan akhirnya menang. Tetapi aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!”

Ia bangkit dari kebisuan dan kekakuannya dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku yang semena-mena tersebut yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.

“Peradaban sudah merosot. Kebudayaan tidak lagi membuahbudi­kan keluhuran, tetapi membuat manusia semakin tamak dan tipis rasa kemanusiaannya. Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar. Semua orang berdagang. Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain. Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan ada pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat dunia dan kehidupan serta segala manusia isinya ini kiamat kubra,“ kata mayat itu.

Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu mulai mengganggu setiap orang lewat dengan berbagai keluhan, kemudian sindiran-sindiran dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak bedanya dengan kutukan.

“Aku yang mati, kamu yang enak. Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatan saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa, kamu terus hidup ngakak. Kematian­ku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada dan orasi-orasi yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keun­tungan dari orang yang mati!”

Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, menutupi hidungnya, mengangkat bahu dan menunjuk atasannya.

“Tanya Bapak, aku kan hanya menjalankan assignment.”

Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.

Akhirnya sekretaris redaksi, terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menghadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.

“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberi­taan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia untuk meralatnya untuk kebaha­giaan dan ketenangan Anda di sana,” katanya mempersilahkan mayat itu menumpahkan semua sumpah-serapahnya.

Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendun­gan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidak-benaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beber­kan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka dan kesakitannya.

Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komput­er penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama, kepatutan, keluhuran budi apalagi kemanusiaan yang dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka, untuk membungkus kebiadaban.

“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Ia kemudian lebih banyak mengeram-ngeram seperti kata-kata tak mampu lagi menampung sumpah-serapahnya. Akhirnya ia menggigit kursi sampai cabik-cabik, untuk menahan lonjakan perasaannya yang tertampung oleh layar komputer.

Sekretaris panik. Tetapi ketika ia mau lari mengadukan itu kepada atasannya, telepon berbunyi. “Biarkan saja, dia memerlukan ventilasi untuk menyalurkan emosinya. Nanti setelah kempes dia kan pergi sendiri.”

“Tapi kursinya rusak, Pak. Itu kan baru dibeli. Bagaimana kalau dia menghancurkan komputer.”

“Biar saja. Tapi suruh anak-anak siap untuk menjepret. Ini justru bagus untuk publikasi kita!”

Sekretaris bengong. Mayat itu berdiri, karena mencabik kursi itu, juga tidak bisa mengurangi tegangan dadanya. Ia lalu menumbukkan kepalanya ke dinding. Sekretaris menutup matanya, lalu lari keluar.

Mayat itu membentur dinding begitu kerasnya sehingga foto-foto di dinding berjatuhan. Di antaranya ada gambar garuda. Moncong garuda itu menancap di atas kepalanya. Mayat itu baru menjadi sedikit tenang. Dengan garuda yang masih bertengger di kepalanya, ia kembali ke kursi. Di situ ia menangis tersedu-sedu.

Setelah menangis tersedu-sedu nampaknya sebagian unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati dan otaknya. Ia menoleh kembali ke layar komputer dengan lebih san­tai. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah namun damai.

Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disamber dari perempatan jalan di malam yang selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.

Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Seluruhnya mampetan pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.

Penjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggal­kan tamu eksklusif yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa itu, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menik­mati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk  mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam yang sudah lancang itu dengan mata berkilat-kilat.

“Kamu mengerti?”

“Ya, saya mengerti sekali.”

“Kamu bisa merasakan.”

“Kenapa tidak? Jelas sekali.”

“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko?”

“Tidak. Itu memang benar.”

Mayat itu menjadi amat girang, menemukan untuk pertama kali­nya, orang yang mampu memahami segala tuntutannya.

“Jadi kamu percaya sekarang betapa tidak adilnya semua ini?”

“Saya percaya.”

Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi tangan penjaga malam itu dingin seperti beku. Mayat itu terkejut.

“Kenapa tanganmu dingin sekali? Kamu takut?”

“Tidak.”

“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa tanganmu lebih dingin dari es?”

“Ya memang begini keadaannya?”

“Tapi kenapa?”

“Karena inilah hidup saya.”

Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi ketika ia meman­dangi mata penjaga itu, ia hampir terpekik. Karena di kedua mata nampak ruang kosong.

“Astaga kamu tidak punya mata lagi?”

“Tidak.”

“Tapi kenapa kamu masih bisa melihat?”

“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”

“Kenapa?”

“Karena itu kewajiban saya.”

Mayat itu bergidik. Bulu kuduknya meremang.

“Apa lagi kewajiban kamu?”

“Semuanya!”

Mayat itu tercengang.

“Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu ngomong seperti seorang budak?!”

“Ya memang.”

“Apa? Kamu budak?”

“Betul. Saya budak.”

“Budak apa? Budak siapa?”

“Budak segala-galanya. Saya budak komplit.”

Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.

“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang. Daging kamu bo­nyok!”

“Memang!”

“Bukan cuma itu, aku jadi curiga, jangan-jangan kamu, maaf boleh aku kobok sekali lagi?”

“Silakan.”

Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.

“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”

“Memang begitu.”

“Apa? Kamu betul-betul tidak punya perasaan dan pikiran?”

“Betul.”

“Edan!”

“Ya. Jangankan perasaan dan pikiran. Apa pun saya tidak punya. Lihat kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf ya... .”

Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil. Orang itu memang sudah dikebiri total. Seluruh kema­luannya, termasuk kedua biji buah ampulurnya sudah dicomot. Ia tak punya segala-galanya.

“Kamu sudah bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa kamu sudah kalah komplit. Apa kamu bukan manusia?”

“Saya manusia.”

“Apa kamu sakti?”

“Tidak!”

“Lha kenapa kamu bisa hidup?”

“Ya begitulah. Saya harus hidup, meskipun tidak punya semua itu lagi.”

“Tidak mungkin!”

“Memang tidak mungkin, tetapi apa boleh buat, wong ini harus, kok. Ini kewajiban saya.”

Mayat itu berpikir keras. Lalu menggeleng-gelengkan kepala­nya.

“Siapa sih sebenarnya kamu?”

“Boleh panggil saya siapa saja, saya tidak pilih-pilih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja, silahkan, saya manut-manut saja.”

“Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa?”

Penjaga malam itu berpikir.

“Nah sekarang kamu berpikir!”

“Bukan begitu. Saya memang telmi, telat mikir.”

“Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih. Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”

“Tiga puluh.”

“Tiga puluh juta?”

“Bukan tiga puluh saja.”

“Maksud kamu gaji kamu seperak satu hari?”

“Ya.”

“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji begitu?”

“Itu juga dianggap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”

Mayat itu ternganga. Ia pelan-pelan duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji  seperak satu hari dengan tanggungan istri dan 10 anak bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.

“Kamu pasti korupsi?”

“Tidak, Pak. Saya hanya jualan kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”

“Kalau begitu kamu ngobyek!”

“Terserah, Pak.”

“Kamu korupsi!”

“Apa itu korupsi, Pak?”

“Jelas!”

“Ya sudah.”

Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang pada orang kecil sering muncul sifat-sifat luhur yang dahsyat.

"Kamu luar biasa," gumam mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”

“Memang saya sudah mati.”

“Ah! Apa?”

“Kata saya, saya sudah mati.”

“Kamu sudah mati.”

“Ya.”

“Jadi kamu ini mayat?”

“Betul sekali.”

“Mayat seperti gua ini?”

“Benar!”

“Wow! Kalau begitu kita sama dong!” teriak mayat itu kegi­rangan karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.

Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.

“Ayo salaman, kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”

Penjaga malam itu menggeleng.

“Tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ek­spresi bukan kolusi, jangan takut, tidak akan dituntut.”

“Tidak bisa. Saya tidak bisa salaman. Jangan keliru.”

“Keliru bagaimana?”

“Saya bukan mayat seperti situ.”

“Lho tadi kamu bilang kamu mayat?”

“Betul.”

“Tetapi bukan?”

“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan.”

“Kenapa bukan?”

“Karena meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”

“O kalau begitu kamu hantu?”

“Apa saya hantu?”

“Ya kamu hantu kalau begitu!”

“Ya sudah. Boleh juga saya disebut begitu.”

Mayat itu berpikir.

“Kamu jangan main-main. Ini bukan waktunya untuk guyonan.”

“Tidak. Sumpah, saya sungguh-sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercayai. Saya tidak boleh tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas."

Mayat itu bengong.

"Jadi kamu mayat hidup?"

"Ya itu."

"Kenapa kamu mau?"

"Kalau tidak, siapa yang harus melakukan pekerjaan yang jahanam tidak menguntungkan dan menyakitkan ini. Baik, Pak. Saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Mayat kok banyak bicara. Selamat beristirahat, kalau perlu apa-apa jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya tidak tidur, mayat kan sudah tidak perlu tidur lagi, saya hanya parkir di situ supaya tidak mengganggu.”

Penjaga malam itu pasang tabek, lalu berjalan ke sudut yang tadi ditunjuknya, lalu ditangkap oleh gelap.

Mayat itu terpesona.

“Ya Tuhan, kalau begitu, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak mendin­gan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu. Ia mencuri-curi melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam itu mencair dalam gelap.

“Kasihan...”.

Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap dengan tergo­poh-gopoh menghampiri.

“Maaf, memanggil saya, perlu sesuatu?”

Mayat itu terkejut.

“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku tidak perlu apa-apa lagi!”

Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempat­nya. Waktu itu mayat itu merasa malu hati. Diliriknya komputer yang penuh dengan tumpahan tuntutannya. Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan, seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputernya. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gera­kan, ia menyentuh keybord komputer untuk menghapus semua keluh-kesahnya.

Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi.***

 

Jakarta, 3 - 11 – 1997

 


Rumah Tuhan

Oleh: Muhammad Ali

 

Sampai saat ini, seperempat abad setelah ia meninggal dunia, masih terang terngiang di telingaku kata-kata yang selalu diucapkannya dengan suara lantang, nyaris berteriak, seolah-olah ingin kata-katanya didengar oleh setiap orang di seantero dunia, ia berkata: "Atur sendiri-sendiri!"

Demikian dikatakannya setiap kali, berkali-kali, di mana pun kebetulan ia berada. Di trotoar-trotoar, di emperan-emperan toko, di perempatan jalan, di depan teras-teras rumah yang pagarnya terkunci atau ketika di dunia santai berleha-leha di pojok-pojok sepi.

Seorang laki-laki tua, lebih separo abad usianya, ditandai oleh kerit-merut di wajahnya. Ia mengenakan jas wol tua warna hitam yang bulunya telah lenyap dan kelihatannya terlalu besar menyungkup pundaknya. Mungkin jas itu diperolehnya dari belas kasihan salah seorang pegawai Palang Merah Sekutu di zaman pendudukan Nica. Ia mengenakan topi koboi yang pinggirannya geripis dan warnanya tidak menentu lagi. Memakai sarung Samarinda biru yang juga telah memat. Ia selalu mencangkingkan sebuah buntalan besar yang kumal dan entah apa isinya.

Meskipun tua, tapi pengawakannya tegap dan kekar. Sorot matanya memancar berbinar. Karenanya ia ditakuti orang, terlebih-lebih anak-anak tidak berani mendekatinya. Mungkin ia mantan pendekar silat atau bekas tukang pukul pengawal pribadi tokoh yang amat disegani orang. Dengan terompahnya yang peyot solnya ia berjalan ke sana-sini mengelilingi kota. Masuk-keluar kampung. Sekali-sekali berhenti di depan kantor, tempat orang lagi sibuk bekerja. Tidak jarang ia masuk nyelonong begitu saja ke ruang dalam kantor itu tanpa sedikit pun merasa canggung atau enggan. Kemudian seperti biasa ia menyerukan kata-kata yang telah dihapalnya di luar kepala: "Atur sendiri-sendiri!" Hingga pesuruh kantor tergopoh-gopoh mengusirnya keluar.

Boleh jadi tidak ada yang dapat memahami arti kata-kata yang diucapkannya, karena kata-kata itu seperti dilontarkan secara spontan, sekedar iseng semata tanpa maksud tujuan tertentu. Kata-kata yang sepintas lalu hampa tak bermakna, tidak ada artinya.

Atau dengan kata-kata itu ia hendak menjelaskan suatu maksud. Sesuatu yang punya arti, begitu berarti dan perlu diketahui oleh setiap orang. Hanya kata-kata itu yang selalu diucapkannya, selalu dengan tekanan nada sungguh-sungguh.

Sepintas lalu, bila direnungkan, seolah-olah kata-kata itu mengandung multi makna yang sulit ditebak artinya. "Atur sendiri-sendiri!" Bisa  berarti: "Berdiri di atas kaki sendiri!" "Jangan sekali-kali ndompleng atau bergantung pada orang lain!" Atau: "Benahi dirimu sendiri, jangan pusingkan orang lain!" "Jangan sok!" "Berbuatlah sesuai kemampuan!" "Hiduplah secara tertib dan teratur!" "Tegakkan disiplin!" "Berbuat baiklah selalu, jangan sombong dan bersikap tak terkendali!" Dan masih banyak lagi arti lain yang dapat ditarik dan disimpulkan dari kata-kata tersebut.

Oh ya, belum kuceritakan siapa ia sesungguhnya. Siapa namanya. Dari mana asal-usulnya. Orang hanya mengenalnya hanya dengan panggilan pendek: "Din!" Tak lebih dari itu. Apakah "Din" itu kependekan dari nama lengkap Samsudin, Saridin, Sidin, Brodin atau Ilmudin, tak ada yang tahu.

Ada selentingan, konon di masa mudanya dulu ia pernah memiliki sebidang tanah yang subur di desanya. Tanah itu ditumbuhi berbagai jenis pohon buah-buahan. Di sampingnya mengalir sungai kecil yang jernih airnya. Ia bersama anak-bininya hidup tenteram dan makmur di sebuah gubuk mungil tak jauh dari tanahnya.

Tapi di zaman Revolusi Kemerdekaan tahun 1945 desanya diserbu oleh balatentara Sekutu yang diboncengi oleh serdadu-serdadu Nica. Mereka membumihanguskan seluruh desa, tak terkecuali gubuknya. Menghancur-leburkan kebun buahnya dan membantai anak-bininya. Berkat perlindungan Tuhan ia selamat dari bencana itu.

Sejak waktu itulah ia mulai linglung serupa orang yang kehilangan akal sehat. Diam-diam ditinggalkannya desa tempat asalnya yang penuh kenangan pahit, lalu berkelana tanpa tujuan mengikuti ayunan langkah kakinya.

Pengelanaannya tidak berjalan mulus. Martir habis-habisan Revolusi Kemerdekaan bangsa dan negara itu akhirnya terdampar di sebuah kota yang sama sekali tak ramah, penuh bertabur onak dan duri. Di mana-mana ia ditampik dan dihalau.

Ketika berada di jalan-jalan beraspal di bawah sengatan terik matahari atau diliputi hawa dingin di malam hari ada saja orang-orang usil yang memperolok-olokkannya, karena penampilannya yang tidak lazim. Kusir-kusir dokar, tukang-tukang becak, lebih-lebih anak-anak jalanan, mereka sama menertawakan dan mempergunjingkannya.

Tapi semua itu tak dihiraukannya. Sebaliknya malah ia menganggap mereka orang-orang gila. Ia tetap lewat melintasi mereka sambil merunduk penuh kesabaran, meskipun agaknya bisa saja ia menghajar dan mengobrak-abrik orang-orang usil itu.

Sudah cukup banyak tempat yang disinggahinya sejak ia meninggalkan desanya beberapa tahun lalu. Siang hari ia berkeliling mengitari jalan-jalan di kota. Bila malam tiba ia bergegas mencari tempat berteduh untuk mengistirahatkan tubuh. Tempat peristirahatannya tidak tetap, selalu berpindah-pindah. Karena ada saja orang yang mengusirnya dari tempat itu. Penjaga malam yang berpatroli atau orang senasib yang merasa lebih berhak menguasai tempat itu.

Pernah ia ngumpet di sudut tersembunyi sebuah bank. Di emperan super market. Di bawah pohon di taman hotel berbintang. Di halte-halte bus kota. Di emper stasiun kereta api. Di pemakaman-pemakaman umum. Ia melonjorkan kakinya yang penat berdebu. Bahkan pernah selama beberapa malam ia tidur di serambi rumah dinas walikota yang kebetulan tidak dijaga, karena walikota tidak pernah tidur di situ.

Ternyata sebagai gelandangan ia bisa hidup terus selama bertahun-tahun. Dari mana diperolehnya uang untuk penyambung hidupnya? Di samping ada orang-orang yang selalu menghalaunya, ada juga insan-insan yang baik hati yang berbelas-kasih yang kadang-kadang melemparkan uang recehan atau beberapa batang rokok kepadanya, yang tentu disambutnya dengan penuh rasa syukur disertai senyuman lebar.

Entah darimana, suatu ketika tiba-tiba timbul dalam benaknya pikiran itu. Setelah selalu mengalami kesulitan dalam upaya memperoleh tempat peristirahatan yang aman, senantiasa dihalau, diusir dari satu tempat ke tempat lain. Maka teringatlah ia pada Rumah Tuhan. Masjid atau surau dan musala yang jumlahnya cukup banyak di kota itu.

Mengapa ia tidak ke sana saja, pikirnya, untuk beristirahat di malam hari, sekadar numpang tidur sejenak, minta naungan dan perlindungan dari Si Empunya Rumah, yaitu Tuhan? Tiadakah rumah itu milik Tuhan? Bukan milik siapa-siapa? Tiadakah setiap hamba Tuhan yang baik berhak memperoleh naungan dan perlindungan di rumah-Nya?

Begitulah pada suatu malam dengan penuh harapan ia melangkah menuju ke salah satu masjid agung di kota itu. Tapi sial, ia tak bisa masuk ke dalam masjid, karena ada pagar tinggi menghadangnya. Pagar tinggi tersebut dari besi yang berjeruji lancip ujungnya serupa tombak lagi terkunci rapat.

Dengan hati sendu dan putus asa, ia surut, lalu mencoba mencari tempat lain utuk istirahat. Ia menuju ke salah satu surau yang diingatnya. Letak surau itu di pinggiran kota yang terpencil, jarang dikunjungi orang dan jelas tidak berpagar besi dengan jeruji yang ujungnya lancip serupa tombak.

Surau itu lengang dan kosong. Dibangun dari papan pohon waru dan pintunya terbuka lebar. Berlampu suram, lantainya dialasi tikar pandan yang telah usang dan koyak-koyak di sana-sini. Surau itu tampak kurang terpelihara. Di sampingnya ada sebuah kolam tempat air wudu yang kotor dan bau pesing.

Ia pergi ke kolam untuk mencuci kaki dan membasuh mukanya, lalu naik ke serambi surau. Dilonjorkannya tubuhnya sambil berbantalkan buntalannya. Tak lama kemudian terdengar dengkurnya. Memang tidak setiap orang bisa menikmati tidur begitu cepat dan nikmat pula seperti yang dialami oleh laki-laki tua yang terlantar itu.

Kebanyakan orang, lebih-lebih warga kota yang selalu sibuk dan bising penuh polusi, yang pikirannya selalu buncah dilanda berbagai seribu satu macam kerumitan hidup. Mereka sulit tidur, bahkan tidak mampu memicingkan mata barang sekejap pun.

Baru ia tergugah geragapan ketika seruan azan Subuh berkumandang. Di surau itu telah berkumpul sejumlah orang, kebanyakan orang-orang tua, yang akan melakukan salat subuh berjamaah. Cepat ia bangkit, lari ke kolam mengambil air wudu, lalu melangkah ke dalam surau, mengambil tempat di saf yang telah rapi berderet di belakang sang imam.

Ia ikut melakukan salat Subuh berjamaah. Dalam salat ia benar-benar menyadari akan kerapuhan dirinya di hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang disembahnya. Ketika sujud ia di bawah cerpu-Nya, sesaat ia tersedak, teringat akan nasibnya yang malang-melintang. serasa kini telah didapatkannya kedamaian hakiki yang selama ini menjauhinya. Sampai akhir hayatnya ia ingin senantiasa suasana kedamaian. Sebenarnya tak pernah ia dengan sadar melakukan perbuatan-perbuatan salah, apalagi kejahatan.

Selesai salat ia masih duduk bersimpuh khusyuk mengikuti sang imam yang memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Dan ketika salat rampung sudah, para jamaah sama mengarahkan pandangan mereka nanap kepadanya. Sama sekali tidak terbayang raut kebencian atau kerisihan pada wajah mereka. Mereka hanya memandang sesaat lamanya.

Seorang laki-laki tua yang kepalanya beruban menghampirinya. Lalu menyalaminya dengan akrab seraya berkata, "Saya adalah penjaga surau ini. Jika Saudara kehendaki, Saudara boleh beristirahat di sini setiap malam...."

Mendapat tawaran yang tak terduga-duga itu hampir ia berjingkrak kegirangan. Bibirnya terkatup tak dapat menyampaikan terima kasih. Diraupnya tangan penjaga surau itu lalu menciumnya.

Sejak waktu itu ia tak usah lagi berkeliaran mencari tempat berteduh. Setiap malam ia langsung pergi ke surau itu untuk beristirahat. Sesudah salat Subuh ia meninggalkan surau melakukan kebiasaannya, berkeliling kota tanpa tujuan.

Suatu ketika, tidak seperti biasanya, ia tiba di surau sebelum waktu salat Zuhur. Ia duduk bersandar ke dinding papan. Menghapus keringat di jidatnya dan menghela napas panjang, walau angin sejuk berhembus mengipasinya.

Sesaat dipejamkannya kedua belah matanya. Agak lama matanya terpejam. Seakan-akan sambil terpejam sempat disaksikannya di ruang matanya lakon kehidupannya yang sedang berputar. Hidupnya yang hancur berantakan dan porak-poranda. Keluarganya punah. Hartanya musnah. Nasibnya tercabik-cabik di tengah kehidupan kota yang tak berbelas kasih.

Harapan-harapan, ilusi dan begitu banyak hal indah mempesona telah meninggalkannya. Ia tersingkir, terpencil dan dikucilkan dari arena pergaulan hidup manusia. Seolah-olah ia sesuatu yang najis dan menjijikkan. Satu-satunya yang masih tinggal padanya ialah kepercayaannya kepada Tuhan, kepasrahan dan ketergantungannya pada kekuasan-Nya. Keyakinan dan kebesaran-Nya, limpahan karunia kasih sayang-Nya serta ampunan-Nya yang tiada batas akhirnya.

Di tengah kehiruk-pikukan dunia serba fana, ia mengelana seorang diri. Tak seorang pun peduli. Hanya Tuhan satu-satunya yang dekat padanya. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan pelita penerang baginya yang selalu bersamanya dalam kegelapan kehidupannya, selalu dipupuknya, melindunginya dari kegetiran dan kesengsaraan hidup.

"Benarkah Tuhan melihatku?" tanya hati kecilnya, "Cukup bagiku Tuhan melihatku." jawabnya. Ia yakin lewat pelita penerangnya Tuhan selalu melihat gerak-geriknya, menguntitnya ke mana ia pergi dan di mana ia berada.

Benar telah dilihatnya keraguan sementara orang, terutama mereka yang termakan oleh apa disebut kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka ragu terhadap hikmat pengertian yang telah diberkati.

Sementara asyik memikirkan tentang kehidupan serta kesesatan manusia dalam abad yang kisruh ini --yang disebut abad teknologi-- yang sekaligus membelakangi norma-norma agama. Serasa ia bermimpi melihat sosok yang aneh berwujud penjaga surau yang kepalanya ubanan.

Orang tua itu berkata: "Ketahuilah olehmu, hai pengelana. Ini merupakan masa paling buruk. Hal ini tentu telah engkau ketahui. Seorang ilmuwan tersohor muncul dan menyatakan, bahwa ia telah mempelajari dan meneliti bumi dan langit dari segala segi, tapi tidak pernah menemukan tanda-tanda adanya Tuhan. Sungguh keterlaluan! Padahal ia dapat menemukan Tuhan dalam dirinya, dalam hati nurani dan jiwanya, bahkan di urat-nadinya.

"Belum lama ini, dan akan selalu terjadi, ketika manusia sama ketakutan, hingga menggigil sekujur sendinya, ketika badai mengamuk dan gempa bumi menggelegar. Tapi akhirnya mereka menemukan penangkal petir dan guntur dan mereka tidak lagi merasa takut kepada Tuhan. Mereka juga mempelajari sebab-sebab turunnya hujan dan angin topan dan tidak lagi menggubris Tuhan.

"Mereka telah mendarat di permukaan bulan. Mereka coba mendekati planet Mars. Mereka mengira telah berhasil mencapai ketinggian yang luar biasa. Padahal mereka masih tetap mengorbit di seputar atmosfir bumi. Mereka malah sama sekali belum menyentuh tubir ruang angkasa semesta yang didindingi tujuh lapis langit. Sebenarnya mereka belum berbuat sesuatu yang berarti, tapi telah keburu sombong dan berlagak.

"Kini, mari kita tinggalkan dunia yang fana ini," kata sosok penjaga surau, "Bukankah di sini kita tidak mendapat tempat yang layak? mari kita pergi menghadap ke hadirat-Nya. Di sana segala sesuatu kekal abadi, indah sempurna tiada tara...."

Mendengar ajakan itu jiwanya terasa luluh. Jiwanya serasa lepas terbang ke sawang lapang tak terbatas.

Ketika saat salat Zuhur tiba, orang-orang datang bergerombol ramai-ramai mengerumuni sosok tubuh yang tersandar di dinding papan serambi surau. Kedua belah matanya rapat terpejam, seolah-olah ia tertidur lelap. Tapi ia takkan pernah bangun dari tidurnya. Laki-laki tua yang sering melontarkan kata-kata: "Atur sendiri-sendiri!" telah menghembuskan napasnya terakhir dengan penuh kedamaian di Rumah Tuhan yang sejuk dan damai.***

 


Horison,  Juni 2000


 

Wawancara dengan Sinterklas

Sebuah Renungan Sebelum Hari Natal

 

Oleh: Erich Kästner ( 1899 - 1974 )

 

Bel pintu sudah berbunyi lagi. Yang kesembilan kalinya dalam satu jam terakhir ini! Hari ini, begitulah tampaknya, para pencinta tombol bel pada berkeliaran di jalanan. Dengan murung aku merangkak menuju pintu dan membukanya.

Bayangkan, siapa yang berdiri di luar? Sinterklas pribadi! Dalam pakaian kebesarannya yang bersejarah dan terkenal itu. "Oh," kataku. "Sinterklas yang terburu-buru!"

"Yang kudus, kalau saya boleh minta." Nadanya sedikit tersinggung.

"Ketika masih muda aku selalu menyebut Anda sebagai Sinterklas yang terburu-buru. Aku pikir itu lebih masuk akal." 

"Jadi, Andalah orangnya?"

"Anda masih ingat hal itu?"

"Tentu saja! Anak laki-laki kecil yang lucu, begitulah Anda waktu itu!"

"Sekarang pun aku masih tetap kecil."

"Dan sekarang Anda tinggal di sini?"

"Betul sekali." Kami tersenyum pasrah dan mengenang masa-masa yang telah berlalu. "Mampirlah sebentar!" pintaku. "Marilah minum secangkir kopi bersamaku!" Jujur saja, sebenarnya aku merasa kasihan kepadanya.

Apa yang harus kukatakan? Dia tidak pergi. Dia berkenan untuk singgah. Pertama-tama dia membersihkan sepatu botnya di keset depan pintu, lalu meletakkan karungnya di samping gantungan mantel, menggantungkan ranting pelecutnya di sebuah gantungan, dan akhirnya dia minum kopi bersamaku di kamar tamu.

"Anda mau cerutu?"

"Aku tidak akan menolaknya."

Kuambil kotak cerutu. Dia mengambil sebatang. Aku memberinya api. Lalu dengan bantuan sepatu bot yang kiri dia melepaskan sepatu botnya yang kanan dan menghembuskan nafas dengan lega.

"Ini gara-gara ganjalan untuk telapak kakiku yang rata. Ganjalan ini sama sekali tidak nyaman."

"Kasihan sekali Anda! Apalagi dengan pekerjaan Anda yang seperti itu."

"Tetapi dibandingkan dulu, sekarang hanya ada sedikit pekerjaan. Dan itu baik untuk kakiku. Sekarang sinterklas-sinterklas palsu itu tumbuh seperti jamur saja layaknya."

"Suatu hari anak-anak akan berpikir bahwa Anda, Sinterklas yang asli, sama sekali tak ada lagi."

"Itu juga betul! Orang-orang itu merusak pekerjaanku! Kebanyakan dari mereka yang memakai mantel bulu, memakai jenggot dan meniruku itu, tidak mempunyai bakat barang sedikit pun! Mereka adalah orang-orang yang tidak profesional!"

"Karena kita sedang berbicara tentang pekerjaan Anda," kataku, "aku punya pertanyaan kepada Anda, pertanyaan yang sudah sejak masa kecilku menyibukkanku. Dulu aku tidak berani bertanya. Tetapi sekarang aku sudah lebih berani karena aku menjadi wartawan."

"Tidak apa-apa," katanya dan menambah kopi lagi. "Apa yang Anda sudah ingin tahu sejak waktu kecil?"

"Begini," aku memulai dengan ragu-ragu, "pekerjaan Anda itu sebenarnya sejenis bisnis musiman yang tidak tetap, bukan? Pada bulan Desember, Anda punya banyak sekali pekerjaan. Semuanya bertumpuk hanya pada beberapa minggu saja. Pekerjaan itu bisa disebut sebagai bisnis dadakan. Lalu..."

"Hm?"

"Lalu, aku benar-benar ingin tahu, apa yang Anda kerjakan pada bulan-bulan lainnya!"

Sinterklas tua yang baik itu memandangku dengan terpana. Kelihatannya, tidak ada seorang pun yang pernah mengajukan pertanyaan yang begitu mudah dimengerti itu kepadanya. "Kalau Anda tak mau membicarakannya... ."

"Mau, mau kok," katanya dengan suara seperti menggeram. "Kenapa tidak?" Dia minum seteguk kopi dan mengepulkan asap rokok berbentuk lingkaran. "Pada bulan November, tentu saja aku sibuk dengan pengadaan bahan-bahan. Di beberapa negara tiba-tiba tidak ada coklat lagi. Tak seorang pun tahu mengapa. Atau apel ditimbun oleh para petani. Lalu segala macam masalah dengan pemeriksaan bea cukai. Dan setumpuk dokumen untuk transportasi barang-barang. Dan kalau berjalan seperti itu terus, nanti aku harus memulainya sejak bulan Oktober. Sebetulnya, sampai sekarang pada bulan Oktober aku menarik diri dan dengan tenang membiarkan janggutku tumbuh."

"Anda hanya berjanggut dalam musim dingin saja?"

"Tentu saja. Aku `kan tidak bisa sepanjang tahun pergi ke sana-ke mari sebagai Sinterklas. Anda pikir, aku memakai mantel buluku terus menerus? Dan selama 365 hari menyeret-nyeret karung dan ranting pelecutku ke mana-mana? Nah, begitulah. Di bulan Januari aku membereskan pembukuan. Sungguh mengerikan. Dari abad ke abad, Hari Natal menjadi semakin mahal!"

"Tentu saja."

"Lalu, aku membaca surat-surat yang datang pada bulan Desember. Terutama surat dari anak-anak. Pekerjaan yang sungguh memakan waktu, tetapi penting. Karena kalau tidak, kontak dengan langganan akan terputus."

"Logis."

"Awal Februari aku pergi ke tukang cukur untuk mencukur jenggotku."

Pada saat itu, bel pintu berbunyi lagi. "Permisi ya?" Dia mengangguk. Di luar, di depan pintu, berdiri seorang pedagang keliling dengan kartu pos bergambar yang berwarna-warni mencolok mata, dan dia bercerita tentang sebuah kisah yang sangat panjang dan sangat menyedihkan. Bagian pertama dari kisahnya itu kudengarkan dengan tabah sambil "menahan sakit" pada kupingku. Lantas aku memberinya uang kecil yang ada dalam saku celanaku, dan kami saling mengucapkan selamat juga untuk masa depan kami. Walaupun aku sudah berkeras menolaknya, dia tetap memaksakan setengah lusin dari kartu-kartu posnya yang mengerikan itu kepadaku. Dia, katanya, bagaimanapun bukanlah seorang pengemis. Aku menghormati harga dirinya yang indah itu dan mengalah. Akhirnya dia pergi.

Ketika aku kembali ke kamar tamu, Sinterklas sedang mengenakan sepatu bot kanannya sambil merintih. "Aku harus meneruskan perjalanan," katanya, "kakiku toh tidak bertambah baik. Apa itu yang Anda pegang?"

"Kartu pos. Seorang pedagang keliling memaksaku untuk menerimanya."

"Sini, berikan kepadaku. Aku tahu orang yang mau menerimanya. Terima kasih banyak untuk keramahan Anda. Kalau saja aku bukan Sinterklas, aku pasti akan iri kepada Anda."

Kami berjalan ke koridor, di mana dia mengambil perlengkapannya. "Sayang," kataku. "Anda masih berhutang kelanjutan kisah hidup Anda." Dia mengangkat bahu.

"Sebetulnya tidak banyak yang banyak bisa diceritakan. Pada bulan Februari aku mengurus pesta karnaval anak-anak. Setelah itu, berkeliling di pasar saat musim semi. Berjualan balon dan mainan mekanik murah. Pada musim panas aku menjadi pengawas kolam renang dan memberi kursus berenang. Kadang-kadang aku pun berjualan es krim di jalan. Ya, dan setelah itu musim gugur datang lagi - sekarang aku benar-benar harus pergi."

Kami berjabatan tangan. Dari jendela, pandanganku mengikutinya. Dia berjalan di salju dengan langkah lebar dan tergesa-gesa. Di pojok Jalan Unger, seorang lelaki menantinya. Orang itu mirip si pedagang keliling yang banyak omong dengan kartu posnya yang konyol itu. Mereka berdua membelok di tikungan sudut jalan. Atau mungkin aku keliru? Seperempat jam kemudian bel sudah berbunyi lagi. Kali ini yang muncul adalah anak muda  pesuruh toko makanan Zimmermann Söhne. Sebuah kunjungan yang menyenangkan! Aku akan membayar, tetapi dompetku tak kutemukan dengan segera.

"Kan masih ada waktu, Pak Doktor," katanya dengan nada kebapakan.

"Aku yakin bahwa aku meletakkannya di atas meja tulis!" kataku.

"Baiklah, kalau begitu akan kubayar besok saja. Tapi tunggulah sebentar, saya ambilkan sebuah cerutu istimewa untuk Anda!" Kotak cerutu itu pun tak segera kutemukan. Itu artinya, nanti pun tak akan kutemukan. Tidak cerutu. Tidak juga dompet. Tempat rokok dari perak pun tidak bisa kutemukan. Dan kancing-kancing manset dengan batu bulan yang besar-besar dan mutiara-mutiara untuk jas berekor pun tak ada, baik di tempatnya atau pun di tempat lain. Setidaknya, tidak di rumahku.

Aku tidak bisa menerangkan, ke mana barang-barang itu menghilang. Tetapi bagaimanapun, malam ini adalah malam yang tenang dan indah. Bel pintu tak berbunyi lagi. Sungguh, sebuah malam yang baik. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang. Tetapi apa? Sebatang cerutu? Tentu saja! Untunglah geretan emas itu pun tidak ada lagi. Karena kalau ada, walaupun aku seorang yang tenang, aku harus mengakui: punya api, tapi tak punya rokok, itu bisa merusak seluruh malam!***

 

Kisah-kisah dari Buku Bacaan

Wolfgang Borchert  ( 1921 - 1947 )

 

Judul asli: "Lesebuchgeschichte". Diterjemah­kan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan Sas­tra Jerman, Jurusan   Bahasa Indonesia, Se­minar fuer Orientalische Sprachen (Seminar untuk Bahasa-bahasa Timur) Universitas Bonn  (Silke Brand, Britta Debus, Helgard Haas, Birgit Lattenkamp, Klaus Mundt, di ba­wah bimbingan Dewi Noviami)

 

"Semua orang sudah mempunyai mesin jahit, radio, lemari es dan telepon. Bikin apa kita sekarang?" tanya Pemilik Pabrik.

"Bom," kata Penemu.

"Perang," kata Jenderal

"Kalau tak ada pilihan lain," kata Pemilik Pabrik.

Lelaki dengan jas kerja putih menulis angka di atas kertas. Dia menambahkan huruf-huruf yang sangat kecil dan halus. Lalu dia membuka jas kerja putihnya dan selama satu jam merawat bunga yang ada di ambang jendela. Ketika dia melihat sekuntum bunga mati, dia sedih sekali dan menangis.

Dan di atas kertas ada angka-angka. Kemudian hanya dengan setengah gram, seribu orang bisa terbunuh dalam waktu dua jam.

Matahari menyinari bunga.

Dan kertas.

 

***

 

Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Ongkosnya?"

"Dengan ubin?"

"Dengan ubin hijau, tentu. "

"Empat ribu."

"Empat ribu? Baiklah. Ya, Sobat, jika saja saya tidak mengubah coklat menjadi mesiu pada waktu yang tepat, saya tak akan mampu memberi Anda uang empat ribu ini."

"Dan saya tidak dapat memberi Anda kamar mandi."

"Dengan ubin hijau."

"Dengan ubin hijau."

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka adalah seorang pemilik pabrik dan seorang pengusaha bangunan.

Saat itu zaman perang.

 

***

 

Lintasan boling. Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Nah, Pak Guru, berpakaian hitam-hitam, sedang berkabung?"

"Sama sekali tidak.… Sama sekali tidak. Ada upacara. Para pemuda maju ke garis depan. Berpidato pendek. Ingat Sparta. Mengutip Clausewitz. Menyampaikan beberapa istilah: kehormatan, tanah air. Membacakan Hölderlin. Mengingatkan pada Langemarck. Upacara yang mengharukan. Sangat mengharukan. Para pemuda bernyanyi: Tuhan yang memberi senjata. Banyak mata bersinar. Mengharukan. Sangat mengharukan."

"Demi Tuhan, Pak Guru, berhentilah. Menyeramkan."

Pak Guru memandang yang lain dengan ngeri. Sambil bercerita dia menggambar banyak salib kecil di atas kertas. Banyak salib kecil. Dia bangkit dan tertawa. Dia mengambil bola baru dan menggelindingkannya di atas lintasan. Menimbulkan gemuruh halus. Lalu, di belakang, gada-gada kecil berjatuhan. Kelihatannya seperti lelaki-lelaki kecil.

 

***

 

Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Nah, bagaimana?"

"Tidak begitu sukses."

"Anda masih punya berapa?"

"Kalau lancar: empat ribu."

"Berapa Anda bisa memberi saya?"

"Paling banyak delapan ratus."

"Pasti akan habis."

"Jadi, seribu."

"Terimakasih.'

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka berbicara tentang manusia.

Mereka adalah para jenderal.

Saat itu adalah zaman perang.

 

***

 

Dua laki-laki bercakap-cakap.

"Sukarelawan?"

"Tentu."

"Berapa umurmu?"

"Delapan belas. Dan kamu?"

"Sama."

Kedua laki-laki itu berpisah.

Mereka adalah prajurit.

Yang satu rubuh. Dia mati.

Saat itu adalah zaman perang.

Ketika perang berakhir, prajurit itu pulang ke rumah. Tapi dia tidak punya roti. Pada waktu itu dia melihat seorang yang punya roti. Orang itu dibunuhnya.

"Kamu tidak boleh membunuh," kata Hakim.

"Kenapa tidak," tanya Prajurit.

 

***

 

Ketika konferensi perdamaian berakhir, para menteri jalan-jalan di kota. Pada waktu itu mereka melewati sebuah stand menembak.

"Mau menembak, Tuan?" seru gadis-gadis berbibir merah.

Para menteri itu mengambil senjata dan menembak lelaki-lelaki kecil dari karton.

Ketika mereka sedang menembak, seorang perempuan tua datang dan mengambil senjata mereka. Ketika salah seorang menteri meminta kembali senjatanya, perempuan itu menamparnya.

Dia adalah seorang ibu.

 

***

 

Pada suatu ketika ada dua manusia. Waktu mereka berumur dua tahun, mereka saling memukul dengan tangan.

Waktu mereka dua belas tahun, mereka saling memukul dengan tongkat dan saling melempar batu.

Waktu mereka dua puluh dua tahun, mereka saling menembak dengan senjata.

Waktu mereka empat puluh dua tahun, mereka saling melempar bom.

Waktu mereka enam puluh dua tahun, mereka menggunakan bakteri.

Waktu mereka delapan puluh dua tahun, mereka mati. Mereka dikuburkan berdampingan.

Ketika seratus tahun berlalu, seekor cacing tanah makan di kuburan mereka. Cacing tanah itu sama sekali tidak merasakan bahwa di situ dua manusia yang berbeda dikuburkan. Tanahnya sama. Semuanya tanah yang sama.

Ketika tahun 5000 seekor tikus mondok muncul dari tanah, dia mengamati dengan tenang:

Pohon-pohon masih tetap pohon-pohon.

Burung-burung gagak masih menggaok.

Dan anjing-anjing masih mengangkat kakinya.

Ikan-ikan kecil dan bintang-bintang.

Lumut dan laut

dan nyamuk-nyamuk:

Semuanya masih tetap yang sama.

Dan kadang-kadang -

kadang-kadang seorang manusia bisa dijumpai.*** Judul asli: "Interview mit einem Weihnachts­mann". Diterjemahkan oleh Kelompok Kerja Penerjemahan Sastra Jerman, Jurusan Ba­ha­­sa Indonesia, Seminar fuer Orientalische Sprachen (Seminar untuk Bahasa-bahasa Timur)  Universitas Bonn (Silke Brand, Birgit Lattenkamp, Beate Meik, di bawah bimbingan Dewi Noviami).


 

A b a d k u

Oleh: Günter Grass  ( 1927 - ... )

 

1 9 1 4

Akhirnya, setelah dua rekan di lembaga penelitian kami sudah berulang kali dan sia-sia berusaha, pada pertengahan tahun enam puluhan saya berhasil menggugah kedua pengarang lanjut usia itu —Juenger dan Remarque— agar mau bertemu. Mungkin saya lebih beruntung karena saya perempuan dan masih muda, apalagi saya warga negara Swiss - suatu negara yang netral. Meskipun saya menggambarkan garis besar rencana penelitian kami hanya sesuai ketentuan umum, mungkin surat-surat saya didengar sebagai ketukan takut-takut lembut di pintu; dalam waktu beberapa hari dan hampir bersamaan datang dua surat jawaban yang menyatakan bahwa undangan saya diterima.

Perihal kedua tokoh mengesankan yang sudah “is bitzeli fossil” inilah saya beritakan kepada rekan-rekan di lembaga penelitian. Saya telah memesan kamar-kamar yang tenang di hotel “Zum Storchen”. Biasanya kami duduk-duduk di serambi restoran roti dan kue, sambil memandang sungai Limnat, balai kota dan hotel “Zum Rueden”. Remarque—waktu itu usianya enam puluh tujuh tahun—datang dari arah kota Locarno. Ia jelas kelihatan sebagai seorang yang menikmati kesenangan hidup; tampaknya lebih tua dan lemah daripada Juenger yang kelihatan gagah meskipun baru saja telah melampaui usia tujuh puluhan dan menampilkan diri sebagai seorang suka olah raga. Karena tinggal di daerah Wuerttemberg, Juenger datang liwat kota Basel, sesudah berjalan kaki mendaki bukit Vogesen menuju ke Hartmannsweilerkopf, yaitu daerah yang  dulu diperebutkan dengan sengit, dengan banyak pertumpahan darah.

Pada pertemuan pertama, percakapan mereka sangat kaku dan tersendat. Tamu-tamu kehormatanku—keduanya saksi zaman dan pelaku sejarah—berbincang-bincang  sambil beradu pengetahuan tentang jenis-jenis anggur yang dihasilkan di Swiss: Remarque memuji berbagai jenis anggur yang berasal dari daerah Tessin, sedangkan Juenger lebih suka welsche Dole. Kelihatan betul bahwa keduanya sangat berusaha memperlihatkan sopan santun dan daya pikat mereka masing-masing. Usaha mereka “uff Sehwyzerduetsch zu schwaetze” amat lucu, akan tetapi sekaligus menyusahkan. Namun, ketika saya mengutip awal sebuah lagu yang selama Perang Dunia I sering dinyanyikan dan tidak diketahui penciptanya, yaitu “Flandrischer Totentanz”, pertama-tama Remarque mulai bersenandung; tidak lama kemudian juga Juenger turut menyanyikan lagu yang melodinya sangat sedih dan mencekam. Keduanya masih mengetahui larik-larik yang mengakhiri tiap bait: “Flandern in Not, in Flandern reitet der Tod” (“Flandern dilanda bahaya, di Flandern maut merajalela”). Kemudian keduanya memandang ke arah gereja Grossmuenster; puncak-puncak menara gereja itu menjulang tinggi di atas rumah-rumah penduduk kawasan Schiffslaende.

Sesudah perenungan beberapa saat diselingi dehem-mendehem, Remarque mulai bercerita bahwa pada musim gugur tahun empat belas ia masih di bangku sekolah di kota Osnabrueck, ketika dekat Bixschoote dan Ypern terjadi pertempuran seru yang mengakibatkan pertumpahan darah habis-habisan di pihak resimen-resimen tentara sukarela Jerman; juga, bahwa legenda kepahlawanan di Langemarck, yang mengabarkan bahwa berondongan tembakan senapan mesin dari pihak Inggris dibalas sambil menyanyikan lagu kebangsaan*, memberi kesan yang sangat mendalam kepadanya. Barangkali sebab itu, juga karena disemangati oleh para guru, banyak murid sekolah menengah umum ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai tentara sukarela. Dari tiap dua orang, satu tidak kembali. Dan mereka yang kembali, seperti Remarque sendiri, yang tidak berkesempatan masuk sekolah menengah umum, sampai sekarang hancur jiwa raganya. Setidak-tidaknya Remarque memandang dirinya sendiri sebagai “mayat hidup”. Juenger sambil tersenyum halus menceritakan beberapa pengalaman masa sekolah kepada Remarque; meskipun Juenger menamakan kultus kepahlawanan Langemarck “bualan kaum nasionalis”, ia mengakui juga bahwa lama sebelum permulaan perang, ia sudah sangat ingin mengalami keadaan bahaya dan sangat tertarik pada petualangan-petualangan luar biasa dan “bahkan ingin masuk Legiun Asing Prancis”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika akhirnya perang meletus, kami merasa dilebur menjadi satu kekuatan besar. Meskipun perang itu kemudian membawa penderitaan, pertempuran sebagai pengalaman jiwa tetap memikat saya, bahkan sampai pada hari-hari terakhir sebagai komandan pasukantempur. Akui sajalah, Remarque, bahkan dalam novel Im Westen nichts Neues—novel pertama Anda yang memang hebat—Anda bercerita penuh perasaan dan gejolak batin tentang persahabatan sehidup semati di antara para prajurit.”  Novel ini, kata Remarque, isinya bukan kumpulan pengalaman pribadi, melainkan pengalaman di garis depan dari suatu generasi yang diperalat.  “Dinas di rumah sakit tentara sudah cukup sebagai sumber ilham saya.”

Kedua pengarang tua itu memang tidak mulai berselisih, akan tetapi mereka menekankan bahwa pandangan mereka mengenai perang berbeda, bahwa gaya penulisan mereka berlawanan, dan bahwa juga titik tolak mereka berlainan. Kalau yang satu masih tetap memandang dirinya sebagai seorang “pencinta damai yang tidak dapat berubah ataupun diubah”,  yang lain menuntut dimengerti dan dipahami sebagai “anarkis”.

“Omong kosong!” teriak Remarque. “Dalam Stahlgewittern, sampai serangan terakhir yang diperintahkan Ludendorff, Anda tetap berpetualang seperti preman bajingan. Tanpa pikir panjang dan tanpa rasa bersalah Anda telah mengerahkan satu pasukan tempur, hanya guna menangkap satu-dua orang musuh—sekedar untuk melampiaskan nafsu sadis dan sekaligus guna menjarah sebotol Cognac!”  Namun kemudian ia mengakui bahwa di buku hariannya Juenger telah menggambarkan pertempuran parit, bahkan juga ciri-ciri pertempuran yang membawa banyak korban dan kerugian itu, dengan sangat teliti.

Menjelang akhir pertemuan pertama—kedua pengarang itu masing-masing telah menghabiskan sebotol anggur merah—Juenger berbicara tentang Flandern lagi: “Ketika dua tahun kemudian kami masuk ke dalam parit-parit di garis depan daerah Langemarck, kami menemukan senapan, kopelrim dan selongsong peluru yang berasal dari pertempuran  tahun empat belas. Bahkan juga Pickelhauben ditemukan, perlengkapan tentara sukarela yang dalam kekuatan resimen telah maju ke garis depan …”

 

1 9 1 5

Pertemuan berikutnya berlangsung di Odeon, sebuah kafe yang sejak dulu sudah terkenal. Di sinilah dulu Lenin menunggu keberangkatannya ke Rusia —perjalanan yang dikawal tentara kekaisaran Jerman— sambil membaca-baca Neue Zuercher Zeitung dan surat kabar lain serta diam-diam merencanakan revolusi. Sebaliknya pikiran kami bertiga bukan mengenai masa depan, melainkan seputar masa lalu. Namun, pertama-tama kedua tamu saya sepakat bahwa pertemuan ini akan dimulai dengan sarapan pagi yang disertai minuman anggur. Disetujui pula bahwa saya diizinkan minum air jeruk.

Seakan-akan menjadi saksi, kedua buku yang pernah menyulut perdebatan sengit antara kubu pro dan kontra perang,  terletak di atas meja marmer di antara roti croissant dan keju. Namun Im Westen nichts Neues tiras penerbitannya jauh lebih tinggi daripada In Stahlgewittern. “Betul,” kata Remarque, “buku itu laris. Padahal buku saya dalam tahun 1933 termasuk buku yang dibakar secara resmi, sehingga selama dua belas tahun terpaksa berhenti beredar di pasaran buku Jerman; terjemahannya ke dalam beberapa bahasa asing mengalami nasib yang sama, sedangkan madah perang karangan Anda jelas tidak pernah terhambat penerbitannya.”

Juenger tidak menjawab. Kemudian saya berhasil mengalihkan pembicaraan ke perang parit di Flandern dan di tanah kapur daerah Champagne, sambil meletakkan beberapa bagian peta medan perang di meja yang sudah agak kosong setelah perangkat sarapan pagi disingkirkan. Ketika serangan dan pertahanan di pinggir sungai Somme mulai diperbincangkan, Juenger langsung melontarkan sebuah kata yang tidak lepas dari pembicaraan selanjutnya: “Pickelhaube yang amat menjengkelkan ini, yang sudah tidak dipakai lagi ketika Anda jadi tentara, Remarque! Pelindung kepala itu dalam divisi kami di garis depan sudah sejak lima belas Juni diganti dengan helm baja. Helm baja itu hasil percobaan seorang kapten arteleri bernama Schwerd setelah percobaan-percobaan sebelumnya tidak memberi hasil yang memuaskan. Kami berlomba dengan orang Prancis yang juga mulai memakai helm baja. Karena Krupp tidak mampu menemukan campuran logam yang cocok untuk menghasilkan baja anti karat, perusahaan-perusahaan lain yang mendapat ordernya, antara lain pabrik besi Thale. Mulai enam belas Februari semua divisi di garis depan memakai helm baja. Semua pasukan di depan kota Verdun dan di pinggir sungai Somme mendapat prioritas, yang berada di front Timur terpaksa palinglama menunggu. Andaikan Anda tahu, Remarque, berapa banyak korban jiwa telah jatuh karena helm kulit yang tidak ada gunanya itu, apalagi dalam pertempuran parit! Bahkan karena kekurangan kulit, bahannya kadang-kadang diganti dengan bahan campuran wol dan serat lain yang dipres. Setiap tembakan jitu, berkurang satu orang. Setiap pecahan peluru tembus.”

Kemudian ia berbicara langsung kepada saya. Juga Schweizerhelm yang sampai sekarang dipakai militer, bahkan juga penyangga yang diberi lubang ventilasi, pada dasarnya mengikuti model helm baja kami, meskipun bentuknya agak diubah.”

Sanggahan saya “Untung helm kami tidak terpaksa diuji coba dalam pertempuran-pertempuran yang membawa pengorbanan dahsyat dan kerugian besar seperti yang Anda gambarkan dengan kekuatan bahasa yang begitu meyakinkan” diabaikannya. Remarque sengaja tetap membisu. Selanjutnya Juenger menghujani Remarque dengan berbagai keterangan rinci; mulai dari proses anti karat yang menghasilkan permukaan luar yang kusam berwarna kelabu, sampai ke bagian yang mencuat ke belakang guna melindungi tengkuk dan lapisan dalam berupa bantalan berisi rambut kuda atau terbuat dari campuran wol dan serat-serat lain yang dipres. Lalu ia mengeluh tentang hambatan penglihatan di waktu pertempuran parit; hal itu disebabkan oleh lebarnya bagian dahi yang mencuat ke depan, karena bagian depan helm itu harus memberi perlindungan sampai ke ujung hidung. “Nah, Anda tentu tahu bahwa pada saat-saat manuver selama serangan gempur, topi baja yang hebat ini sangat mengganggu. Meskipun harus diakui sebagai tindakan ceroboh, saya lebih suka memakai peci letnan saya yang sudah tua - sutera lagi lapisan dalamnya!” Lalu ia teringat pada sesuatu yang dianggapnya lucu: “O ya, di meja tulis saya ada kenang-kenangan, sebuah helm Inggris yang bentuknya sama sekali lain, hampir pipih; ada lubang bekas peluru tentu.”

Setelah agak lama tidak ada yang berbicara—kedua pengarang itu sedang menikmati Pfluemli dan kopi hitam—akhirnya Remarque mengatakan: “Helm baja jenis M 16, sesudah itu M 17, jauh terlalu besar untuk pasukan pengganti yang terdiri dari prajurit-prajurit muda yang baru direkrut dan yang kadang-kadang bahkan belum selesai dilatih. Melorot terus. Wajah-wajah mereka yang masih lugu seperti anak sama sekali tertutup oleh helm itu, yang tinggal kelihatan cuma bibir mereka yang meringis ketakutan dan dagu mereka yang gemetar. Lucu dan memelas sekaligus. Bahwa peluru yang ditembakkan oleh pasukan infanteri dan bahkan pecahan-pecahan kecil peluru meriam tetap menembus topi baja itu, mestinya Anda ketahui juga... .”

Ia memanggil pelayan dan memesan Pfluemli lagi. Juenger juga. Saya, si none, dipesankan air jeruk yang baru diperas segelas lagi.*** Diterjemahkan oleh Dewi Noviami.

 


 

Jak, Sang Calo

Oleh: Heinrich Böll  (1917 - 1985)

 

Bersama petugas pengantar makanan, dia datang pada malam hari untuk menggantikan Gornizek yang berjaga di belakang, di pos komando. Malam-malam itu begitu gelap dan rasa takut seperti hujan badai berguntur di bumi yang muram dan asing. Aku berdiri di depan, di pos pengintaian, dan mendengarkan ke arah belakang di mana terdengar suara-suara yang ditimbulkan petugas pengantar makanan itu, juga ke arah depan yang gelap dan sunyi, di mana orang-orang Rusia berada.

Gerhard, dialah yang mengantarkan orang itu, dan selain membawa peralatan makan, dia pun membawa rokok. "Kau mau roti ini juga?" tanya Gerhard, "atau kusimpankan sampai besok pagi?" Dari nada suaranya, aku tahu bahwa dia terburu-buru untuk kembali ke pos komando.

"Tidak usah," kataku, "kemarikan, semuanya akan segera kumakan."

Dia menyerahkan roti dan daging kalengan dalam bungkusan kertas minyak, sebungkus permen Drops dan lemak mentega dalam kertas karton. "Ini... ."

Selama itu, si orang baru berdiri di samping sambil menggigil dan membisu.

"Dan ini," kata Gerhard, "orang baru yang menggantikan Gornizek ... Letnan mengirim dia kepadamu, untuk pos pengintaian... ."

"Ya," kataku; adalah hal yang biasa mengirim orang baru ke pos yang tersulit. Gerhard kemudian menyelinap kembali ke pos komando.

"Ayo, ke mari," kataku perlahan, "jangan terlalu keras, sialan!" Peralatan kopelrimnya, sekop dan masker gas berdentingan dengan bodohnya. Dengan canggung dia masuk ke lobang perlindungan dan hampir saja menyenggol rantang makanku. "Idiot," gumamku dan bergeser untuk memberinya tempat. Lebih dengan pendengaranku daripada dengan penglihatan, aku tahu bagaimana dia, sesuai dengan aturan, melepaskan kopelrimnya, meloloskan lalu meletakkan sekopnya ke samping, masker gas di sebelahnya dan pada tanggul lobang perlindungan diletangkannya senapan teracung ke arah musuh, dan bagaimana dia kemudian mengaitkan kopelrimnya lagi. Sop buncis sudah dingin, dan bagus juga bahwa dalam kegelapan aku tidak bisa melihat ulat-ulat yang keluar dari buncis waktu dimasak. Di dalamnya ada banyak potongan-potongan daging empuk yang kukunyah dengan nikmat. Dan daging kalengan itu pun kumakan, begitu saja dari kertas pembungkusnya, kemudian roti kutekan-tekankan pada rantang yang sudah kosong. Orang itu berdiri dengan sangat membisu di sampingku, dengan muka selalu menghadap ke musuh, dan dalam kegelapan aku melihat sebuah profil, dan jika dia menoleh ke samping, terlihat dari tengkuknya bahwa dia masih muda, helm bajanya hampir seperti tameng punggung seekor kura-kura. Orang yang masih sangat muda itu punya sesuatu yang sangat khas pada tengkuknya yang mengingatkan pada permainan perang-perangan di sebuah lapangan di pinggiran kota. "Saudara merahku, Winnetou," tampaknya itulah yang selalu mereka ucapkan. Bibir mereka gemetar karena takut dan hati mereka keras karena berani. Anak-anak muda yang malang itu ...

"Duduklah yang tenang," kataku pelan-pelan, dengan tekanan yang sudah kupelajari dengan susah payah. Tekanan yang bisa dimengerti orang dengan baik tapi hampir tidak bisa terdengar dalam jarak satu meter.

"Sini," tambahku sambil menarik pinggiran mantelnya dan dengan setengah memaksanya untuk menduduki bangku. "Bagaimanapun kamu kan tidak bisa terus-terusan berdiri... ."

"Tapi di pos," kata sebuah suara yang lemah. Suara yang rapuh seperti seorang penyanyi tenor yang sentimental.

 "Diam!" aku membentaknya.

"Di pos," bisiknya, "kan tidak boleh duduk."

"Tak ada yang boleh, juga tidak boleh memulai peperangan."

Walaupun aku hanya bisa melihat siluetnya, tapi aku tahu bahwa dia duduk seperti seorang prajurit baru di sebuah kelas, tangan di lutut, sangat tegak dan setiap detik siap meloncat berdiri mengambil sikap siap seperti orang sinting. Aku membungkuk, menarik kerah mantel tinggi-tinggi sampai menutupi tengkuk dan menyalakan pipa rokok.

"Kamu mau merokok juga?"

"Tidak." Aku heran bahwa dia sudah bisa berbisik dengan baik.

"Kemari," kataku, "minum seteguk."

"Tidak," katanya lagi, tapi aku memegang kepalanya dan menyorongkan leher botol ke mulutnya - sabar seperti seekor anak sapi yang mendapatkan botol pertamanya, dia membiarkan beberapa tegukan tertelan, lalu dia bergidik dengan keras sampai-sampai aku harus melepaskannya.

"Tidak enak?"

"Enak," katanya menggagap, "tapi aku tersedak."

"Kalau begitu, minum sendiri."

Dia mengambil botol dari tanganku dan meneguk dengan baik.

"Terima kasih," gumamnya.

Aku pun minum.

"Sekarang lebih baik, kan?"

"Ya ... jauh lebih baik ..."

"Tidak begitu takut lagi, kan?"

Dia malu untuk mengakui bahwa tadi dia ketakutan, tapi memang begitulah mereka semua.

"Aku juga takut," kataku karenanya, "selalu malah... oleh sebab itu aku mencari keberanian dari botol ini... ."

Aku merasakan bagaimana dia berpaling dengan cepat ke arahku, dan aku membungkuk ke arahnya untuk dapat melihat parasnya. Tapi aku tak melihat apapun kecuali sinar kilatan matanya yang menurutku tampak berbahaya, dan hanya siluetnya yang buram dan gelap, tapi aku bisa mencium baunya. Dia menyebarkan bau ruang penyimpanan pakaian, bau keringat, lalu ruang penyimpanan pakaian lagi, lalu sisa-sisa sop, juga sedikit berbau minuman keras. Dia sangat ... sangat diam, juga di pos komando di belakang kami, tampaknya mereka telah selesai dengan pembagian makanan. Dia menoleh lagi ke arah musuh. "Ini untuk yang pertama kalinya bertugas di luar?"

Dia malu lagi, aku merasakannya, tapi lalu dia berkata: "Ya."

"Sudah berapa lama jadi tentara?"

"Delapan minggu."

"Kalian datang dari mana?"

"Dari St. Avold."

"Dari mana?"

"St. Avold, Lothringen, kamu tahu..."

"Berapa lama di perjalanan?"

"Empat belas hari."

Kami diam beberapa saat, dan dengan pandanganku aku berusaha untuk menembus kegelapan yang meliputi di depan kami. Ah, kalau saja hari menjadi siang, pikirku, kalau saja bisa melihat sesuatu, setidaknya remang-remang atau berkabut, sedikitnya sesuatu, melihat sesuatu, agak terang... Tetapi kalau terang, aku pasti akan berpikir: kalau saja gelap, kalau saja sedikitnya remang-remang, atau kalau saja tiba-tiba kabut datang; selalu begitu...

Di bagian depan tidak ada apapun. Di kejauhan terdengar derum halus motor kendaraan. Juga orang-orang Rusia itu mendapatkan makanan mereka. Di suatu tempat, di depan sana, terdengar suara kicauan orang Rusia yang sekonyong-konyong tertahan, seolah seseorang membungkam mulut itu. Tetapi itu bukan apa-apa... .

"Kamu tahu apa tugas kita?" tanyaku kepadanya. Ah, betapa indahnya bahwa aku tidak sendirian lagi. Betapa indahnya mendengar nafas seorang manusia, merasakan bau apeknya, bau seorang manusia yang kita tahu bahwa dalam detik berikutnya dia tidak berniat membunuh kita.

"Ya," katanya, "pos pengintaian." Lagi-lagi aku heran, betapa baiknya dia bisa berbisik, hampir lebih baik daripada aku. Tampaknya itu adalah hal enteng untuknya, untukku hal itu selalu memakan tenaga. Aku paling senang kalau bisa meraung, berteriak atau berseru sehingga malam membuyar seperti busa hitam, untukku hal itu melelahkan dan bikin sinting. Berbisik, untuk mengekang suaraku. Yang paling menyenangkan adalah bernyanyi, membuat suara gemuruh atau berteriak histeris... .

"Bagus," kataku, "pos pengintaian. Artinya, kita harus mengawasi bila orang-orang Rusia itu datang, menyerang. Lalu kita menembakkan peluru asap merah, menembak-nembak sedikit dengan senapan kita lalu pergi, ke pos komando, mengerti? Tapi kalau yang datang hanya beberapa orang saja, pasukan pengintai, maka kita harus tutup mulut, biarkan mereka lewat, kemudian salah seorang dari kita harus ada yang balik ke belakang dan memberitahukan kepada yang lain, kepada Letnan. Kamu sudah bertemu dia, kan?"

"Ya," katanya dengan suara bergetar.

"Bagus dan kalau pasukan pengintai itu menyerang kita, kita harus membunuh mereka, sampai mampus, mengerti? Kita tidak boleh lari dari pasukan pengintai, mengerti kan?"

"Ya," katanya, dan suaranya bergetar lagi, lalu aku mendengar suara yang mengerikan: giginya bergemelutuk.

Aku pun minum lagi...

"Kalau ... ini kalau ...," gagapnya, "kalau kita tidak melihat mereka datang..."

"Habislah kita. Tapi tenang, kita pasti melihatnya, mendengarnya..."

"Dan kalau kita mencurigai sesuatu, bolehkah kita menembakkan roket isyarat, supaya bisa melihat..."

Dia diam lagi; sungguh mengerikan bahwa dia tidak sekalipun memulai percakapan.

"Tapi mereka tidak datang," omongku terus, "mereka tidak datang pada malam hari, paling-paling pagi hari. Dua menit sebelum fajar..."

"Dua menit sebelum fajar?" dia memotong omonganku.

"Dua menit sebelum fajar mereka mulai jalan, artinya mereka sampai di sini ketika hari mulai menjadi terang..."

"Tapi kan itu sudah terlambat?"

"Maka itu artinya kita harus cepat menembakkan isyarat merah, lalu pergi ... jangan takut, artinya kita bisa berlari cepat-cepat seperti seekor kelinci. Dan sebelumnya kita toh bisa mendengar mereka. Ngomong-ngomong, siapa namamu?" Benar-benar menjengkelkan, setiap kali kalau mau berbicara dengannya, aku harus menyikut tulang rusuknya, itu artinya aku harus mengeluarkan tanganku dari saku yang hangat dan dengan susah-payah memasukkannya lagi, supaya menjadi hangat lagi...

"Aku," katanya, "aku bernama Jak..."

"Seperti orang Inggris, ya?"

"Tidak," katanya. "Dari Jakob ... J...A....K, bukan Jeck, Jak, Jak saja."

"Jak," tanyaku lagi, "sebelum ini kamu kerja apa?"

"Aku," katanya, "jadi calo."

"Apa?"

"Calo."

"Jadi calo apa sih?"

Dia memalingkan lagi mukanya ke arahku, dengan sangat tiba-tiba, dan aku merasakan bahwa dia sangat heran.

"Calo apa ... calo apa ... yah, calo saja..."

"`Gimana," tanyaku. "Kamu kan pasti jadi calo untuk sesuatu."

Dia diam sesaat, melihat lagi ke depan, lalu dalam kegelapan, kepalanya dipalingkannya lagi kepadaku.

"Yah," katanya, "...calo apa...," dia mengeluh dalam-dalam, "aku berdiri di stasiun, setidaknya hampir selalu... dan kalau seseorang datang, seseorang dari rombongan orang-orang yang lewat, seseorang yang aku pikir cocok, biasanya tentara, jadi kalau seseorang datang, lalu aku bertanya kepadanya dengan sangat pelan, sangat pelan, kamu mengerti? Tuan, ingin bersenang-senang...? Begitulah aku bertanya.…" suaranya bergetar lagi dan mungkin kali ini bukan karena takut tetapi karena terkenang sesuatu... .

Karena tegang aku lupa meneguk minuman. "Dan," kataku parau, "kalau orang itu mau bersenang-senang?"

"Lalu," katanya dengan susah payah, dan sekali lagi tampaknya kenangan menguasainya lagi, "lalu aku membawanya kepada salah satu perempuan ... yang sedang kosong... ."

"Ke tempat pelacuran, kan...?"

"Bukan," katanya datar, "aku tidak bekerja untuk tempat pelacuran, aku punya beberapa perempuan tidak terikat, kamu mengerti, beberapa perempuan bebas yang menghidupiku. Tiga orang, mereka tidak punya surat izin, Käthe, Lili dan Gottliese..."

"Siapa?" potongku...

"Ya, dia bernama Gottliese. Aneh ya? Dia selalu bilang kepadaku bahwa ayahnya menginginkan seorang anak laki-laki daripada perempuan, karena kalau anak laki-laki maka bisa dinamainya Gottlob, tetapi karena dia perempuan jadi dinamai Gottliese. Aneh, ya...?" dia benar-benar tertawa sedikit...

Kami berdua lupa untuk apa kami nongkrong di tempat sialan ini. Dan sekarang aku tidak perlu bersusah payah membuka tutup gentong yang macet, dia mengoceh hampir dengan sendirinya.

"Gottliese," sambungnya, "adalah yang paling baik. Dia selalu murah hati dan melankolis dan sebenarnya juga yang paling cantik ... dan."

"Dan," potongku, "dan artinya kamu dulu seorang germo, kan?"

"Bukan," katanya dengan nada yang untukku agak menggurui, "bukan, ah...," dia berkesah lagi, "germo adalah tuan-tuan besar, tiran, dengan paksa mereka mengutip uang banyak-banyak dan masih juga meniduri mereka... ."

"Dan kamu tidak mencicipi mereka?"

"Tidak, aku kan hanya seorang calo. Aku yang harus memancing ikannya untuk kemudian mereka bakar dan makan, dan aku lalu mendapat tulang-tulang sisanya... ."

"Tulang-tulang ?"

"Ya," dia tertawa lagi sedikit, "tepatnya uang persen, mengerti, dan dari itu aku hidup, sejak ayahku gugur dan ibuku hilang. Aku kan tidak mampu bekerja karena paru-paruku. Tidak, perempuan-perempuan itu, untuk siapa aku bekerja, tidak punya germo, syukurlah! Kalau punya, aku pasti harus berkelahi dengan yang lain. Tidak, mereka bekerja mandiri, lepas, kamu mengerti, tanpa izin apa pun. Karena itu mereka tidak boleh memamerkan diri di jalan seperti yang lain ... terlalu berbahaya, dan karena itu aku jadi calo untuk mereka, ya," dia mendesah lagi, "eh, boleh aku minum lagi?"

Ketika aku membungkuk untuk meraih botol, dia bertanya, "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"Hubert," kataku sambil memberikan botol kepadanya.

"Enak sekali," katanya, tapi aku tidak bisa menjawab, soalnya aku sedang meneguk dari botol itu. Sekarang, botol itu kosong, lalu aku menggelindingkannya dengan lembut ke samping.

"Hubert," katanya kemudian, dan suaranya sekarang bergetar hebat. "Lihat itu!" Dia menarik aku ke depan, ke tanggul di mana dia sedang tiarap. "Lihat!" Kalau diperhatikan dengan sangat ... sangat sungguh-sungguh, di suatu tempat yang sangat ... sangat jauh, terlihat sesuatu seperti horison, sebuah garis hitam pekat. Di atas garis itu kelihatan agak terang. Dan di dalam kegelapan di atas garis hitam pekat yang agak terang itu, sesuatu bergerak ... jauh, jauh sekali, betul-betul jauh sekali ... seperti ayunan lembut jerami ... itu bisa juga manusia yang diam-diam mendekat, manusia dalam jumlah yang sangat banyak yang sedang mendekat diam-diam, sama sekali tanpa suara...

"Ayo, tembakkan peluru isyarat yang putih!" bisiknya dengan suara yang makin menghilang.

"Anak muda," kataku sambil meletakkan tangan di pundaknya. "Jak, itu bukan apa-apa; itu perasaan takut kita yang sedang bergerak, itu neraka, itu perang, itu setumpuk tahi yang bikin kita gila ... itu ... itu bukan sesuatu yang nyata..."

"Tapi lihatlah, itu pasti sesuatu ... sesuatu yang nyata ... mereka datang ... mereka datang..." lagi-lagi terdengar giginya bergemelutuk.

"Ya," kataku, "diamlah. Itu sesuatu yang nyata. Itu tangkai-tangkai bunga matahari, besok pagi-pagi kamu akan melihatnya dan tertawa. Kalau hari sudah sangat terang, kamu akan melihatnya dan tertawa, itu tangkai-tangkai bunga matahari yang jauhnya mungkin satu kilometer dari sini, dan itu terlihat ada di ujung dunia, kan? Aku tahu itu tangkai-tangkai bunga matahari yang mengering, hitam -- kotor dan sebagian hancur tertembak. DDan bunganya sudah dipetiki oleh orang-orang Rusia itu, dan bikin kita takut karena tangkai-tangkai itu bergoyang-goyang..."

"Ah ... tembakkan yang putih ... tembakkan yang putih ... aku melihatnya ..."

"Aku kan kenal mereka, Jak."

"Tembakkan yang putih. Satu saja..."

"Ah, Jak," balasku berbisik, "kalau mereka benar-benar datang, kita bisa juga mendengarnya, coba dengarkan?" Kami menahan nafas dan mendengarkan; sepi, sepi sekali, dan tak ada sesuatu apapun yang terdengar kecuali suara sepi yang mengerikan.

"Ya," bisiknya, dan aku mendengar dari suaranya bahwa dia menjadi pucat seperti sang maut, "ya, aku bisa mendengar mereka... mereka datang.... mereka mengendap-endap... mereka merangkak di tanah... ada sedikit suara gemerincing ... dengan sangat pelan-pelan mereka datang, dan kalau mereka sudah dekat, maka sudah terlambat..."

"Jak," kataku, "aku tidak bisa menembakkan yang putih. Aku hanya punya dua peluru, mengerti? Dan satu aku perlukan untuk besok pagi-pagi, subuh, kalau pesawat pembom kita datang, supaya mereka bisa tahu di mana kita berada. Supaya mereka tidak membom kita ... dan peluru yang lainnya aku perlukan kalau situasinya betul-betul serius. Besok pagi kamu akan tertawa... ."

"Besok pagi," katanya dengan sangat dingin, "besok pagi aku sudah mati."

Sekarang aku yang berpaling tiba-tiba kepadanya dengan heran, aku begitu kaget. Dia mengatakan hal itu dengan pasti dan mantap.

"Jak," kataku, "kamu gila."

Dia diam, dan kami duduk lagi menyandar. Begitu ingin aku melihat wajahnya. Wajah seorang calo tulen, dari dekat. Setiap kali, aku hanya mendengar mereka berbisik, di pojokan-pojokan dan di stasiun-stasiun kereta api di semua kota-kota di Eropa dan selalu aku memalingkan muka dengan perasaan takut yang hebat yang tiba-tiba muncul di hatiku... .

"Jak," aku ingin mulai... .

"Tembakkanlah yang putih," bisiknya seperti seorang sinting.

"Jak," kataku, "kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih, kita masih punya waktu empat jam, kamu tahu, dan suara tembakannya akan keras sekali, aku tahu itu. Sekarang tanggal 21, artinya hari ini, orang-orang Rusia itu mendapat jatah minuman keras mereka. Barusan tadi, mereka mendapatkan makanan dan jatah minuman keras mereka, kamu mengerti? Dalam setengah jam, mereka akan mulai berteriak dan bernyanyi dan menembak; dan mungkin sesuatu akan terjadi. Besok pagi-pagi, kalau pesawat pembom kita datang, baru keringat dinginmu mengucur deras, pesawat-pesawat itu akan menjatuhkan bom sangat dekat di depan kita, baru kemudian aku harus menembakkan yang putih, karena kalau tidak, bisa-bisa kita jadi selai. Dan kamu akan mengutuki aku kalau aku menembakkan yang putih sekarang, ketika tidak terjadi apa-apa, percayalah kepadaku; lebih baik kamu cerita lagi. Di mana kamu terakhir kali .... jadi calo?"

Dia mendesah dalam-dalam. "Di Köln," katanya.

"Di Stasiun Pusat?"

"Tidak," sambungnya dengan suara capek, "tidak selalu. Kadang-kadang di Stasiun Selatan. Yah, itu lebih praktis, karena perempuan-perempuan itu tinggal di dekat daerah itu. Lili di dekat Gedung Opera, Käthe dan Gottliese di Barbarossaplatz. Ya, kamu tahu," suaranya sekarang lamban seolah mulai tertidur, "kalau aku kadang-kadang mendapatkan seseorang di Stasiun Pusat, di jalan menuju rumah perempuan-perempuan itu, mereka suka melarikan diri. Dan itu bikin jengkel. Di tengah jalan, karena ketakutan atau karena sesuatu yang lain, tak tahulah aku, mereka suka pergi begitu saja tanpa berkata apa pun. Jarak dari Stasiun Pusat ke daerah selatan memang terlalu jauh, karena itu aku sering nongkrong di Stasiun Selatan. Juga karena banyak tentara yang turun di situ karena mereka berpikir bahwa itu sudah Köln, Stasiun Pusat maksudku. Dan dari Stasiun Selatan ke rumah perempuan-perempuan itu jaraknya pendek, karena itu orang tidak cepat jadi panik. Awalnya," dia membungkuk lagi ke arahku, "awalnya aku selalu mengantarkan mereka kepada Gottliese, dia tinggal di sebuah gedung apartemen yang di dalamnya ada cafe, kemudian cafe itu terbakar. Gottliese, kamu tahu, dia yang paling baik. Dia yang selalu paling banyak memberiku uang. Tapi itu bukan alasan kenapa aku selalu pergi kepadanya terlebih dahulu, betul bukan, kamu pasti tidak mempercayainya. Ah, kamu tidak percaya bahwa aku pergi dulu kepadanya bukan karena dia yang memberi terbanyak, kamu percaya?" Sekarang dia bertanya dengan nada yang begitu mendesak, sehingga aku terpaksa untuk menjawab ya.

"Tetapi Gottliese sering mendapat tamu, aneh kan? Dia sangat sering mendapat tamu. Dia punya banyak langganan tetap, dan kadang-kadang dia turun juga ke jalan kalau lama tidak mendapat tamu. Dan kalau Gottliese mendapat tamu, aku sedih, lalu aku pergi kepada Lili. Lili juga orangnya tidak menyebalkan, tapi dia sering minum. Dan perempuan yang mabuk sungguh mengerikan; tidak bisa ditebak, kadang kasar, kadang ramah. Tapi Lili selalu lebih baik daripada Käthe. Käthe orangnya sangat dingin. Dia memberi aku sepuluh persen... sudah, itu saja. Sepuluh persen! Sementara, aku kadang harus berjalan setengah jam dalam malam yang dingin, berdiri berjam-jam di stasiun atau nongkrong di bar minum bir murahan, menghadapi bahaya ditangkap polisi, dan hanya mendapat sepuluh persen! Tahi, aku bilang sama kamu. Maka Käthe selalu yang terakhir. Dan uang persenannya baru kuterima di hari berikutnya, ketika aku membawa tamu lagi untuk dia. Kadang hanya lima puluh sen, sekali waktu bahkan cuma sepuluh sen, kamu mengerti, sepuluh sen... ."

"Sepuluh sen?" tanyaku terkejut.

"Ya," katanya, "dia hanya mendapat satu Mark. Laki-laki itu tidak punya uang lagi."

"Seorang tentara?"

"Bukan, seorang sipil, tambahan lagi sudah tua. Dan Käthe masih juga memakiku. Ah, Gottliese berbeda. Dia selalu memberi banyak kepadaku, setiap kali setidaknya dua Mark. Juga kalau pun dia tidak mendapatkan uang sama sekali. Dan kemudian... ."

"Jak," tanyaku, "dia tidak meminta uang sama sekali?"

"Ya, kadang-kadang dia tidak meminta uang sama sekali. Aku percaya bahkan sebaliknya. Dia malah menghadiahi tentara-tentara itu rokok atau roti atau sesuatulah."

"Menghadiahi?"

"Ya. Menghadiahi. Dia sangat pemurah. Seorang perempuan yang sungguh melankolis. Dan dia pun lumayan mengurus aku. Bagaimana tempat tinggalku, apa aku punya rokok dan lain-lain, kamu mengerti. Dan dia cantik. Sebenarnya, yang paling cantik."

"Bagaimana," aku ingin bertanya, "bagaimana rupanya?"

Tapi pada saat itu, orang Rusia pertama mulai berteriak seperti orang gila. Suaranya membumbung seperti sebuah tangisan dan bergabung dengan suara-suara lain. Dan tembakan pertama pun meletus. Aku masih bisa menangkap pinggiran mantel Jak, dengan satu loncatan saja dia pasti sudah di luar lobang persembunyian, lalu akan menjadi sasaran tembak orang-orang Rusia itu. Semua orang yang lari seperti itu pasti menjadi sasaran tembak. Aku menarik mundur orang yang gemetar itu, sangat dekat ke arahku. "Diamlah, itu bukan apa-apa. Mereka hanya sedikit mabuk, lalu mereka berteriak dan akan menembaki tanggul persembunyian dengan membabi-buta. Kamu harus menunduk, karena tembakan seperti itu malah kadang-kadang akan mengena... ."

Sekarang kami mendengar suara seorang perempuan, dan walaupun kami tidak mengerti sepatah kata pun, kami tahu pasti bahwa dia bernyanyi dan meneriakkan sesuatu yang jorok. Lengking tawa perempuan itu merobek malam sampai berkeping-keping... .

"Tenanglah," kataku pada anak muda yang bergerak-gerak gelisah dan mengerang-ngerang itu, "tidak akan lama, paling hanya beberapa menit, sampai komisar mereka mengetahuinya, lalu dia akan menonjok mulut mereka. Mereka kan tidak boleh begitu, dan apa-apa yang tidak boleh akan dihukum berat, persis seperti pada kita... ."

Tapi teriakan itu tidak berhenti, juga lengkingan liar itu. Dan yang paling sial, salah seorang dari kami di pos komando di belakang juga menembak. Aku berpegang erat pada anak muda yang ingin mendorongku dan melarikan diri itu. Di depan terdengar teriakan lalu jeritan ... sekali lagi teriakan ... tembakan dan sekali lagi suara mengerikan perempuan yang mabuk. Lalu sangat sepi, betul-betul sepi... .

"Kamu lihat," kataku...

"Sekarang ... sekarang mereka datang... ."

"Tidak ... dengarkan dong!"

Kami mendengarkan lagi, dan tak terdengar apa pun selain kesepian yang mengiang-ngiang menakutkan.

"Ayo, pakai otak dong," sambungku, karena setidaknya aku ingin mendengar suaraku sendiri. "Apa kamu tidak melihat api letusan senjata itu, sedikitnya mereka dua ratus meter dari sini, dan kalau mereka datang, kamu akan mendengarnya, sangat pasti bahwa kamu akan mendengarnya."

Sekarang tampaknya dia tidak mengacuhkan apa pun. Dia berjongkok kaku sambil membisu di sampingku.

"Bagaimana," sekarang aku bertanya, "bagaimana parasnya, Gottliese itu... ."

Dengan segan dia menjawab, "Cantik," katanya pendek. "Rambut hitam dan dengan mata yang besar dan terang. Dia sangat mungil, sungguh mungil, kamu tahu," tiba-tiba dia bisa bicara lagi, "dan sedikit gila. Tidak bisa lain. Sering dia memakai nama lain ... Inge Simone, Kathlene, entah siapa lagi, setiap hari nama baru ... atau Susemarie. Dia sedikit gila, dan dia sering tidak meminta bayaran... ."

Aku mencengkeram lengannya kencang-kencang, "Jak," kataku, "sekarang aku akan menembakkan yang putih. Aku pikir, aku mendengar sesuatu."

Nafasnya tersendat. "Ya," bisiknya, "tembakkanlah yang putih, aku mendengar mereka datang, kalau tidak aku bisa gila... ."

Aku memegang erat lengannya, menyiapkan pistol isyarat yang sudah diisi peluru, mengacungkannya di atas kepala lalu menembak; suara gemuruhnya seperti kiamat, dan ketika cahayanya menyebar seperti cairan perak yang lembut - seperti kelap-kelip hujan salju di Hari Natal, seolah bulan mencair dan menyatu pasrah dengan bumi - aku tidak punya waktu lagi untuk melihat wajahnya. Sebenarnya aku tidak mendengar apa pun, sama sekali, dan aku menembakkan isyarat putih itu hanya untuk melihat wajahnya, wajah seorang calo tulen. Tetapi aku tidak punya waktu lagi untuk itu, karena dari tempat di mana tadi terdengar suara teriakan dan lengkingan seorang perempuan yang mabuk itu, di situ, dalam terang, muncul kerumunan sosok-sosok bisu yang menunduk ke tanah dan kemudian tiba-tiba dengan suara "Hurra" yang bikin gila, mereka menyerbu maju. Aku pun tidak sempat lagi untuk menembakkan isyarat merah, karena di belakang dan di depan kami, menyibak tirai perang menyelimuti kami... .

Aku harus menarik Jak dari lobang itu dan ketika dengan susah payah aku berhasil menariknya, sambil berteriak karena rasa takut aku membungkuk padanya, supaya setidaknya dalam maut masih bisa melihat wajahnya, dia berbisik pelan: "Tuan, ingin bersenang-senang...?" Lalu dengan keras dan sekonyong-konyong aku jatuh di atas tubuhnya oleh hentakan tangan liar yang mengerikan. Tetapi mataku tidak melihat apa pun lagi kecuali darah, lebih hitam dari pada malam, dan wajah seorang pelacur yang menghadiahkan dirinya tidak untuk apa pun, malah masih memberi sesuatu....*** Judul asli: "Jak, der Schlepper", diterjemahkan oleh Dewi Noviami.


 

Horison, Juli 2000

(Edisi 10 Tahun Cerpen Terbaik Horison)


 

Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu

Oleh: Budi Darma

 

Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.

 

Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini, kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya tidak begitu tinggi.

Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh kurus jangkung itu juga gemetar.

Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret ada sebuah gelas, terletak di se­buah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku, dan judul buku-buku itu tidak mung­kin dibaca karena sinar lampu sangat samar.

Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia men­de­kati dinding di sebelah kanan. Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan ke­mu­­dian beberapa buku. Tubuhnya agak mem­bong­kok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.

Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak ter­kejut juga dia ketika dia merasa dijawil. Dan ta­hulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang me­nuding-nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.

Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat tidur ada pula se­bu­ah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu ada­lah, mengapa di dekat tempat tidur tidak ada potret se­orang la­ki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang ter­gan­tung di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu ti­dak bertanya, karena perempuan itu sudah menje­laskan:

"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."

Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu su­dah ditarik oleh perempuan itu untuk mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat, beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.

Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu meng­udal-udal beberapa pakaian dari dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.

Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur, perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.

"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya perempuan itu.

"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya menga­gum­i dia. Matanya sungguh menakjubkan. Alangkah se­nangnya kau menjadi istrinya."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."

"Apa lagi?"

"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wa­jahnya. Dia pasti mempunyai wibawa besar, wi­ba­wa tinggi. Saya mengaguminya."

"Hanya itu?"

Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:

"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur pan­jang, untuk memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat har­kat, martabat, dan derajat sesamanya."

"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"

Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan kecil memotret di­rinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai Wartawan ketika diadakan per­te­muan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu cepat anak perempuan itu memotretnya, ke­mu­dian berjalan bergegas dan menyelinap di antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu berusaha menemui anak perem­puan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak pe­rem­puan itu terlepas dari tangannya.

"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perem­puan itu. "Karena itulah potretnya saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya sa­ya taruh di bawah potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-be­kas bibirnya masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-gosokkan ke payudara sa­ya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi pa­yu­­dara saya. Dan buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."

Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa se­ko­nyong-konyong siang tadi dia menemukan sebuah su­rat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan kepada sekretarisnya, beberapa ba­wah­annya, dan juga beberapa pesuruh siapa ge­rang­an yang menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu bah­wa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki men­cu­rigakan secara berkala mengitari kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki men­cu­ri­gakan selalu menghadangnya dekat pintu, ke­mu­dian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya di de­kat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Ke­mudian dia sering melihat laki-laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang me­mi­sahkan kantornya dengan kebun kacang. Dan se­tiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki men­curigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.

Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang telah meng­an­tar­kannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.

"Dari sekian banyak laki-laki yang saya ke­nal, dialah laki-laki yang saya cintai," kata perempuan itu lagi. Dan kemudian pe­rempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi, mengenai buku-buku itu lagi, dan akhir­nya mengenai payudaranya.

"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah dia menjelek-jelekkan sekian banyak pe­rem­­puan lain. Senang sekali dia memban­ding-bandingkan payudara saya dengan payu­da­ra mereka, dan tentu saja tubuh saya de­ngan tubuh mereka. Dia bercerita menge­nai perem­puan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan nada sangat melecehkan me­reka, dan tentu saja de­ngan nada mengagung-agung­kan saya. Betul yang kau ka­ta­kan tadi, dia laki-laki me­ng­agumkan, sangat me­nga­gum­kan. Bagi saya, mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih meng­a­gum­kan dibanding dengan Nabi Yusuf. Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, semen­ta­ra dia suka merayu, ya­itu merayu sekian banyak pe­­­rem­puan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan sa­­­ya, menjilati kaki sa­ya. Setiap kali didekati pe­rem­puan, Nabi Yu­suf selalu mengingatkan perempuan yang men­de­katinya dan juga dirinya sendiri akan masa depan ma­nusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika seorang perempuan berusaha merayu­nya dan me­nga­ta­­kan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat indah, ber­ka­talah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perem­puan merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'

Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat ber­be­da. Dia selalu melihat ke depan, tanpa mau me­nger­ti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa per­nah mengatakannya, dia selalu berpikir un­tuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa, memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi di­ri­nya sendiri. Sering dia bercerita menge­nai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usa­ha dagangannya kalau perlu dengan menak­luk­kan musuh-musuhnya, kemudian membangun ru­mah-rumah yatim piatu, mendirikan sekolah-seko­lah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa ­lagi. Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi sekaligus sa­ngat membenci orang-orang malas dan tidak mem­pu­nyai otak. Dalam keadaan lelah dia men­datangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus meng­­­­­­­­hidangkan kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci tubuhnya ada­lah pertanda keagungannya, demikian pula setiap de­ngan nafasnya."

"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"

"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."

Belum selesai dia mencium tangan kanan perem­puan itu, perempuan itu sudah menyodorkan tangan kirinya.

"Ulangilah pertanyaanmu tadi."

"Manakah anak perempuan yang memotret da­hulu?"

"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata kau bermaksud un­tuk menanyakan apakah saya mempunyai anak pe­rem­puan, saya dapat menjawab bahwa saya tidak mem­punyai anak perempuan. Ketahuilah anak pe­rem­­puan suka rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya tidak akan mengijinkannya memotret."

"Mengapa?"

"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang. Setiap orang harus ber­hemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak su­ka anak perempuan, sebab dia sering mengatakan bah­wa anak perempuan hanya memboroskan saja. Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."

"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"

"Memang saya sering menemui kesulitan dalam me­ngorek apa yang sebenarnya berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pas­ti menyimpan rahasia mengapa dia tidak menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengo­rek­­nya, ketika dia mengigau dalam tidurnya. Mes­ki­pun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan ti­dak jelas, sehingga sulit bagi saya untuk menaf­sir­kan­­nya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.

Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perem­pu­an, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu se­tan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil na­ma­nya, justru akan mencelakakan keponakan suami­nya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Ne­geri Sodom juga hancur lebur, setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk me­ne­gak­kan ketaqwaan di negeri itu, mengkhianati sua­mi­nya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, se­orang wanita, yang berusaha mencelakakan Nabi Yu­suf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Tro­ya adalah juga perang untuk memperebutkan perem­­puan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mam­pu mengalahkan nafsunya sendiri, dan perempuan ter­lanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."

Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di lantai dan menjilati kakinya.

"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," ka­ta­nya.

Se­telah selesai menjilati seluruh bagian tubuh pe­rem­puan itu dan setelah selesai mengucapkan selamat ting­gal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu se­gera ditutup dari dalam, kemudian laki-laki itu me­lon­cat keluar melalui pagar tanaman.

Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut be­nar. Ketika memasuki sebuah gang, dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang ba­ru saja ditinggalkannya masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-ce­lah kulitnya terasa begitu asing, karena yang ter­cium olehnya adalah keringat perempuan itu.

Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan di­rinya Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mung­­­­­­­­­kin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah? Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.

Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk me­­nyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan itu.

Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang mem­bu­at potret di dinding itu, perempuan itu hanya men­ce­ritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah mu­sim kemarau panjang ada seorang anak perempuan me­ngan­tarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak pe­rem­puan itu sama sekali tidak pernah datang ke­ sa­na lagi.

Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ke­ti­ka seekor kucing hitam melintas di gang dan me­mo­tong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli bahwa dia sedang ber­pa­pasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika ku-cing itu melompat ke tempat agak tinggi dan menyo­rotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu me­rasa keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.

Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-laki itu terus ber­jalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu min­ta minum karena merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi un­tuk meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.

Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi, seharusnya dia ber­jalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia me­mu­­tuskan untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.

Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya sebuah lampu ke­cil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia ti­dak ke sana seben­tar, me­­­­­­­­nim­­­­ba, dan mi­num?

"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke su­mur. Namun, sebelum dia benar-benar dekat de­­­­­ngan sumur, seorang la­ki-laki menegor dia.

"Mengapa malam-ma­­­­lam begini kamu ber­ada di sini?"

Dengan cepat dia me­nge­nal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat se­per­ti mata burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi men­dong­kol dan selalu naik tu­run, sementara urat-urat tangannya mem­beng­kak me­nutupi ke­dua ta­ngan­nya, dan tangan-tangan itu be­nar-benar ku­rus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu me­nga­wasinya di kantor.

"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan sekali lagi.

Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan, dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi. Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut, ke­mu­­dian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tin­dak-tindak maksiat.

Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus kerongkongannya sen­diri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat be­sar, naik turun, dan sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan kenang-kenangan.

Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur. Dan tepat ketika dia memegang tali tim­ba, laki-laki mencuri­ga­kan berkata:

"Minumlah sepuas-pu­­­as­mu, kalau perlu sam­­­­­­pai meletus perut­mu, karena sumur ini ada­­­­lah milik saya."

Dia melemparkan tim­­ba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sa­ngat dalam. Ketika laki-laki mencurigakan men­ce­ritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali ti­dak mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur ta­li ke bawah, sampai akhir­nya timba me­nyen­tuh air. Kemudian perla­han-lahan pula dia me­narik tali timba ke atas.

Laki-laki men­curi­ga­kan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun kacang tidak jauh dari kantor laki-laki ber­tu­buh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa per­ke­lahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan ke­bun kacang itu meskipun uang­nya telah lama di­te­rima sebelumnya. Belum lama laki-laki men­cu­rig­akan itu berhasil memiliki tanah milik­nya sendiri, ter­dengar berita bahwa kebun ka­cang itu akan di­caplok oleh laki-laki bertubuh kurus jang­kung untuk per­luas­an kantornya. Laki-laki men­curi­gakan ini belum mau percaya, dan karena itu ber­usa­ha mencari pen­je­lasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk men­cari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.

Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jang­kung minum. Tubuhnya merasa agak segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya. Dia hanya berpikir, alang­kah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum da­ri gelas di atas rak buku, sebab, setiap kali perem­pu­­an itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan di­ji­lat-jilat.

Masih sempat dia me­lihat laki-laki men­cu­rigakan, sebelum dia melangkah untuk kem­bali ke gang tadi. Dia me­rasa benar-benar ji­jik melihat laki-laki men­­curigakan. Mata la­ki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, me­nyem­bunyikan keli­cikan tanpa tara. Leher laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang pan­­­­jang, meng­ingat­kannya pada leher bu­rung onta yang dira­cun­nya sewaktu dia ber­jalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kul­di itu, bagaikan bu­ah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang me­nurunkan siksa ba­gi manusia entah sam­pai kapan.

Ingin sekali dia ce­pat-cepat mening­gal­kan laki-laki mencuri­ga­kan. Namun, belum sem­pat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke arahnya, ke­mu­dian menghadangnya. Rasa jijiknya makin me­le­dak. Sam­bil berusaha keras mengibaskan rasa jijiknya, dia meng­ambil jalan ke samping kiri.

Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa punggungnya pa­tah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di ha­dap­an­­nya lagi, dia terpaksa membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah menjadi dua bagian. Ketika akhirnya re­bah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya, dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki mencurigakan mem­bong­kok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.

Dengan tenang, laki-laki mencurigakan meng­gu­mam:

"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah ma­sa­lah permukaan. Perkelahian dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering berkelahi, tapi perkelahian-per­ke­lahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya menik­ma­ti satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya me­nyim­pan jiwa iblis. Dan saya bangga akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya me­lihat kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam ji­wamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis kebang­gaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan se­tiap kali merasa takut, pasti saya ber­tin­dak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya menang."

Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-kata perempuan tadi:

"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."

Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***

 

(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)


Jaring-jaring Merah

Oleh: Helvy Tiana Rosa

 

Apakah kehidupan itu? Cut Di­ni, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup ada­lah cabikan luka. Serpihan tan­pa mak­na. Hari-hari yang me­rang­gas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa me­men­­­dam amarah. Bukan, bukan pa­­da rembulan yang mengikutiku sa­­at ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal se­batas luka. Seperti juga hidup itu.

 Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan se­­panjang tiga kilometer dari Seu­rue­­ke, menuju Buket Tangkurak, be­­­bukitan penuh belukar dan pepo­hon­an ini. Dadaku telah amat se­sak, tetapi langkahku makin ku­per­cepat. Lolong anjing malam ber­sa­hut-sahutan, seiring darah yang te­rus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.

“Ugh!”

Aku tersandung gundukan ta­nah. Dalam remang malam, ku­li­hat dua ekor anjing hutan me­ngo­rek-ngorek sesuatu, dan pergi sam­bil menyeret potongan mayat ma­nu­sia. Mereka menatap­ku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?

 Oi, tahukah anjing-anjing bu­duk itu, aku melihat tiga sampai tu­juh mayat sehari mengambang di su­­ngai dekat rumahku! Aku juga per­nah melihat Yunus Burong dite­bas lehernya dan kepalanya diper­ton­tonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditem­bak di atas sebuah truk ku­ning. Darah me­reka muncrat ke ma­na-mana. Aku melihat te­tang­–gaku Rohani di­te­lanjangi, diper­ko­sa beramai-ra­mai, sebelum ru­mah dan suaminya dibakar. Aku me­lihat saat Geuchik Harun diikat pa­da sebuah pohon dan ditembak ber­ulangkali. Aku me­lihat semua itu! Ya, semuanya. Ju­ga saat mere­ka membantai … ke­luar­ga­ku, tan­pa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas pan­jang. Jangan me­na­ngis­ lagi, Inong! Ke­ring airmatamu nanti. Meski le­lah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju per­lahan. Dengan ta­­ngan kosong ku­ra­up gundukan tanah me­rah di ha­da­panku. Terus tanpa henti ku­gu­nakan kedua cakar tangan ini. Ke­ri­ngatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan ta­nah merah. Sedikit pun tak kuhi­rau­­kan bau bang­kai manusia yang me­nyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba se­su­atu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Ca­karku terus menggali. Ku­te­mu­kan beberapa teng­korak, lalu re­mah-remah da­ging manusia. Ah, di ma­na? Di mana tangan kurus Mak?­­ Mana jari manis dengan cin­cin khas itu? Juga cincin tembaga ber­batu hijau dan arloji tua yang dike­nakan ayah saat orang-orang ber­sen­­jata itu membawanya da­lam keadaan luka parah. Di ma­na? Di ma­­na tangan-ta­ngan mereka? Di ma­na tu­lang-tulang mereka di ta­nam? Di mana wajah tampan Ham­­­­zah? Yang mana teng­korak­nya?

Se­kujur tubuhku gemetar me­na­han buncahan duka. Aku meng­gali, terus meng­gali. Hing­ga aku se­ma­kin le­mas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa wak­tu lalu digiring ke bukit ini.

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara se­rang­­­­­ga malam, ku­ping­ku men­de­ngar langkah-langkah orang. Se­pa­tu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka me­nu­ju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, me­nya­­nyi nyaring, dengan iringan da­wai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara se­se­orang gusar.

“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, su­dahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya ter­ta­wa dan menangis. ”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si lo­reng-loreng itu. Me­re­ka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku ber­nyanyi ber­sama bulan, awan dan udara ma­lam. Bersama desir angin, bu­rung hantu dan lolong an­jing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami me­nyanyi, kami menari bungong jeum­pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Ham­zah yang telah me­mi­nang­ku, melintas di depan rumah de­ngan se­pe­danya. Dahulu. Ya, dahulu….

***

 

“Inong….”

Aku menggeliat. Cahaya men­tari masuk dari ce­lah-celah bilik. Ha­ngat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, men­co­ba duduk.

“Dari mana, Inong? Aku men­cari­­mu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Bu­ket Tangkurak, subuh tadi.”

Kutatap seraut wajah dalam khe­­­rudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut mem­be­lai kepalaku.

“Aku cuma jalan-jalan. Aku ti­dak mengganggu orang," jawabku sekenanya.

“Aku tahu. Kau anak ba­ik. Kau tak akan meng­gang­gu­ siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Ber­ba­ha­ya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sen­­dirian,” kata Cut Dini sam­­­bil mem­beri­ku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “The­ri­moung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat pe­duli. Ma­ta­­­nya pun selalu me­na­tapku penuh pancaran ka­sih.

Aku kembali merebahkan ba­dan di atas dipan. Sebe­nar­nya aku tak tahu banyak ten­tang Cut Dini. Aku be­lum begitu lama menge­nalnya. Orang-orang bilang ia ang­go­ta … apa itu … LSM? Juga akti­vis masjid. Ia kem­bali ke Aceh sete­lah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di an­tara para te­tangga, yang sudi ber­teman de­nganku. Ia mem­be­ri­ku ma­kan, mem­perhatikanku, men­ceritakan banyak hal. Aku senang se­kali.

Dulu, setelah keluargaku diban­tai dan aku dice­mari beramai-ra­mai, aku seperti terperosok dalam ku­bangan lumpur yang dalam. Se­kuat tenaga kucoba un­tuk mun­cul, menggapai-gapai permu­ka­an.  Na­mun tiada tepi.  Aku tak bi­sa bang­kit, bahkan me­nyen­­­tuh apa pun, ke­cua­li semua yang ber­na­ma kepa­hit­an. Aku memakan dan memi­num nyeri setiap hari.  Sampai aku ber­temu Cut Dini dan bisa menjadi bu­rung. Segalanya te­­rasa lebih ri­ngan.

Tetapi tetap saja aku senang ber­­­­­­­teriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang le­­­wat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan me­ma­sungku. Ka­­ta mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang me­­larang. Cut Dini juga yang meng­ingatkanku untuk mandi dan ma­kan. Ia menyisir rambutku, me­ng­ajak­­ku ke dokter, ke pe­nga­jian, atau sekedar jalan-jalan.

“Baju yang koyak itu jangan dipa­kai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

“Aku suka,” kataku pen­dek. “Ini baju yang di­ja­hitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menya­kiti­mu lagi,” ka­ta­nya pelan.

Kupandang baju ungu mu­da yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di ­belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah ke­­ring di sana.

“Aku ingin memakainya,” lirih­ku. “Apa aku gila?” ta­nyaku.

Cut Dini menatap bola ma­­­­­­­­­­­­­­­­­taku dalam. “Menurut­mu?”

Aku menggeleng kuat-ku­at. Meng­garuk-garuk ke­pa­la­ku.

“Kau sakit. Kau sangat ter­pu­kul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia meng­gi­git bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan mem­bung­kus baju itu de­ngan ko­ran.

Aku mengangguk-angguk. Te­rus mengangguk-angguk, sambil meng­goyang-go­yang­kan kedua ka­kiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

“Sudahlah.”

 Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Sua­ranya kadang berubah. Aku se­perti mendengar Hamzah me­ng­a­ji —lewat pe­nge­ras suara— di mu­sala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar ba­­­caan Al-Quran.

 

***

 

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku ter­bang tinggi dan ka­dang menukik seke­tika. Aku hinggap di ranting-ranting po­hon belakang dan me­matuki buah-bu­ah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…­ha…ha, aku tertawa gelak-ge­lak.

“Siapa kalian?” tiba-tiba ku­de­ngar suara Cut Dini ber­getar, di ru­ang tamu yang merangkap ka­mar ti­durku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu meng­intip ke da­lam le­wat jendela yang ra­puh. Dua lelaki tegap de­ngan ram­but cepak me­nyo­dor­kan se­su­atu pada Cut Di­ni.

“Kami orang ba­ik-baik. Kami ha­nya ingin mem­be­ri­kan sum­bang­an sebesar li­ma ra­­­­­tus ri­bu rupiah pa­da Inong.”­

Aku nyengir. Li­ma ratus ri­bu? Horeeee! Apa bisa bu­at be­li sa­yap?

“Kami minta ia tidak me­nga­­ta­kan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda se­ba­gai walinya me­nan­da­ta­ngani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Menga­pa? Kugerak-gerakkan kepalaku me­natap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

 “Tidak!! Bagaimana de­ngan pe­merkosaan dan pe­nyik­­saan se­lama ini, pen­jagal­an di rumoh geu­dong, mayat-mayat yang ber­se­rakan di Bu­ket Tangkurak, Jem­ba­tan Ku­ning, Sungai Tamiang, Cot Pang­­lima, Hutan Krueng Cam­pli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi.  “La­­­lu per­­kam­pungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber­pan­­dangan.  “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan ma­sya­ra­­­kat.”

“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Ke­nyataannya ma­­syarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang ter­paksa menjadi cuak, memata-matai dan meng­ang­gap teman sen­diri sebagai pengikut Hasan Tiro da­ri Ge­ra­kan Aceh Merdeka. Te­tapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”

 “Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lu­pa­kan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan me­nu­kik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka de­­­ngan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka de­ngan panci dan peng­gorengan. Me­reka berteriak-teriak seper­ti anak ke­cil dan berebutan ke luar ru­mah. Pas­ti itu ayah orang yang mem­perkosaku! Pasti ia te­man para pem­­bunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-na­kuti or­­­ang! Paling tidak mereka cu­ak! Aku benci cuak!

“Inong….”

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di ke­ja­uh­an.

“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” kata­nya.

“Mengapa aku tak pernah di­ajak salat?” protesku. “Dulu aku sha­lat bersama keluargaku, se­be­lum aku bisa jadi burung,” tukasku.

“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

 

***

 

“Keluar, Zakariaaa! Ke­lu­ar! Atau kami bakar rumah ini!!”

Aku terbangun dan meng­ucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-ge­dor. Ayah berjalan ke arah pin­tu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang meng­­­­angkat Mak dan memba­wa­nya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzi­kir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki ber­­­­se­ra­gam. Kurasa ia seorang pe­mim­pin.  “Zakaria dan ke­lu­ar­ga­nya membantu anak buah Hasan Tiro se­jak la­ma!”

Warga desa menunduk. Me­re­ka tak mampu mem­bela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Pu­luh­­an orang ini telah membakar be­berapa rumah!

“Jangan ada yang menunduk!”

Aku gemetar mendengar ben­tak­an itu.

“Ayo lihat mereka. Kali­an sama dengan warga Ma­ne… beker­ja­sa­ma de­ngan GPK!” suaranya la­gi.

“Kami bukan GPK!”­su­a­ra Ma’e. Ulon hana teup­heu sapheu!”

“Lepaskan mereka. Ka­lian sa­lah sasaran!” Ya Allah, itu suara Ham­zah!

“Angkut orang yang bicara itu!”

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, la­lu…ia diinjak-injak! Dan diseret per­gi. Air­ma­ta­ku menderas.

“Siapa lagi yang mau mem­be­la?”tantang lelaki penyiksa itu po­ngah.

“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria ha­nya seorang muadzin. Jiiban­dum ureung biasa.” Sa­mar-samar ku­lihat kepala de­sa kami itu diikat pa­da se­batang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”

Aku meronta, me­nen­dang,­ meng­­gigit, mencakar, hing­ga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat me­rejam-rejam tubuhku!

 “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak se­kuat-kuatnya.

“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan meng­gon­cang-goncang ba­dan­ku.

Air­mataku menganak su­ngai, tetapi aku tak bisa ba­ngun, sebab aku berada di da­­­lam jaring! Banyak orang se­pertiku di sini, di dalam ja­ring-jaring merah ini.

“Inong, istighfar….”

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­­ayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini ber­jatuhan ke sana ke ma­ri. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloo­o­o­o­ong! Di mana sayapku? Di ma­na? Di mana tangan Mak de­ngan cin­cin khas di jari ma­nisnya? Aku ingin menggeng­gamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­gerakkan jaring ke sana ke ma­­ri. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, ter­kelupas dan berdarah. Aku men­jerit-jerit dalam perang­kap. Di ma­na sayapku? Aku ingin ter­bang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah ke­banggaanku hanya tersisa nes­ta­pa!!

Tak ada yang mendengar. Se­buah pelukan yang sangat erat ku­rasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan ber­cam­pur dengan aliran air di pipiku.

“Allah tak akan mem­biarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sem­buh, Inong! Semua sudah ber­lalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Te­gar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”

Ka­bur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus de­ngan kerudung putih itu. Ia me­­ngusap airmataku.

Lalu tak jauh di hada­pan­ku, ku­lihat beberapa o-rang. Di antara­nya ber­se­ra­gam. Tiba-tiba takutku na­ik lagi ke ubun-ubun. Aku meng­­gi­gil dan men­de­kap Cut Dini erat-erat.

“Ia hanya satu dari ribu­an kor­ban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami kea­dil­an. Bapak sudah lihat sen­­diri. Oknum-oknum itu men­­jarah segalanya dari pe­­rem­puan ini!”

Takut-takut kuintip lela­ki tegap yang sedang me­na­tap­­ku ini. Apa­kah ia mem­­bawa jaring-jaring un­tuk menangkapku lagi?

“Pergiiiii! Pergiiii se­mua­aaa!” te­riakku. “Per­gii­ii­iiii!” aku menjerit seku­at-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku men­­­­­ceracau.  Sekujur ba­dan­­ku ber­ge­tar, terasa ber­pu­­tar. Orang-orang ini ter­sen­tak, me­na­tapku kasih­an.  Hah, apa peduliku?! Aku ingin ber­te­riak, me­nga­­muk, mem­porak­po­ran­­­dakan apa dan siapa pun yang a­da di hadapanku! Aku….

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku ber­­teriak, tak ada suara yang kelu­­­ar. Aku menangis tersedu-se­du, tak ada airmata yang mengalir.  A­ku mengamuk panik, teta­pi kaku. A­ku mencari bunyi, men­cari bening, men­­­­cari gerak. Tak ada apa pun. Cu­ma luka nga­nga.

“Inong…, mereka akan mem­ban­tu kita….”

Aku terkapar kembali. Meng­gele­par. Berdarah da­lam jaring.***

 

Cipayung, 1998

 

 

Referensi:

- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.

- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).

- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.

 

Daftar istilah:

Buket Tangkurak  : Bukit Tengkorak

Geuchik              : Kepala Desa

Cuak                                     : orang yang jadi mata-mata tentara

Ma’e                                     : panggilan untuk Ismail

Mak                                      : Mak

rumoh geudong                      : rumah gedung (tempat penjagalan)

Mane                                    : nama desa di Pidie

ureung-ureung                       : orang-orang

that                                     : sekali

ulon hana teupheu sapheu        : saya hanya orang biasa

therimoung ghaseh                  : terima kasih

kherudoung                            : kerudung

 

(Dimuat dalam Horison, April 1999)

 


Pemahat Abad

Oleh: Oka Rusmini

 

Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.

“Siapa itu?”

“Titiang.1 Luh Srenggi.”

“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya.

"Katakan padaku, siapa kau?!”

"Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu.2 Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu ter­de­ngar gugup.

“Siapa tadi namamu?” Kopag mulai menenangkan dirinya sendiri.

“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh dengan keju­juran, kasih sa­yang, dan sangat tulus. Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi me­ngirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah sua­ra ini milik seorang perempuan?

Ketika Kopag akan meng­ambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Ta­ngan mereka bersentuhan. Ko­pag semakin gelisah. Kulit pe­rem­puan itu terasa seperti kulit kayu. Luar biasa. Perem­puan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan se­ba­tang pohon, atau seonggok ka­yu yang paling sakral se­ka­li­pun.

Baru kali ini Kopag me­ra­sa­kan bisa menikmati hidup­nya. Dia bisa memberikan pe­ni­laian yang begitu objektif ter­ha­dap benda hidup yang ber­na­­ma manusia. Biasanya dia ha­nya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan     orang-orang terdekatnya. Apa pun yang dikatakan orang-        orang di sekitarnya, Kopag ha­rus patuh. Kali ini, dia merasa me­nemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin me­na­nam­kan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.

“Apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?” Suara Kopag terdengar getir, “bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?”

“Kebenaran mereka? Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” Suara Kopag terdengar penuh tekanan. Pikir­an­nya kacau!

Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang bisa dilihatnya dengan matanya. Tapi, apakah orang-orang yang me­mi­liki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika di­la­hir­kan mampu menangkap seluruh rahasia ke­hi­dup­an ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan di­sem­bunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Ko­pag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi. Kecantikan yang dia lihat dengan pi­­kiran, perasaan, dan keindahannya sendiri. Salah­kah?

Kecantikan perempuan muda itu adalah ke­can­tik­an yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti le­kuk­­an kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang bisa menangkap ke­can­tik­an­nya­. Menghar­gai keindahan yang dititipkan alam padanya. Bah­kan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ke­tika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya sa­lah pada kriteria yang telah di­be­rikan Kopag terhadap pe­rem­puan?

 

***

Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah menge­nali­nya dan membedakan dirinya ber­­beda dengan manusia lain­nya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus me­nun­jukkan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan Brah­­­mana, kasta tertinggi da­lam struktur masyarakat Bali. Ayah­nya seorang laki-laki sa­ngat ter­hor­mat dan memiliki ke­du­dukan tinggi di peme­rin­tah­an. Dia juga memiliki puluhan galeri lukis dan patung. Sayangnya laki-laki itu memiliki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan. Kata orang, laki-laki itu bisa tidur dengan seluruh perem­puan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap makhluk yang memiliki lubang bisa dimasuki. Suatu hari, se­te­lah berbulan-bulan tidak pulang, laki-laki itu pulang dalam kondisi yang menyakitkan. Tubuhnya kurus dan pucat. Belum lagi hutangnya yang tiba-tiba saja me­num­puk. Seluruh kekayaan ludes. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki itu memaksa perempuan yang di­nikahinya untuk bersetubuh. Perempuan itu me­no­lak. Dia tahu, laki-lakinya akan menitipkan daging binatang di rahimnya. Apa artinya kekuatan seorang perempuan? Terlebih, sejak kecil dia terbiasa dididik menjadi perempuan bangsawan yang menghormati laki-lakinya. Dia hamil. Lahirlah seorang laki-laki yang mereng­gut nyawa perempuan itu.

Laki-laki itu harus berperan sebagai laki-laki buta untuk menebus kelahiran dan hidupnya sendiri. Alang­­kah ajaibnya kalau hidup juga bisa diper­main­kan, bisa dibuat sebuah pementasan. Seperti sebatang kayu dengan lekuknya yang begitu menggairahkan, di sanalah dunia itu dibuat untuk laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengan aroma bumi dan hidup hanya merasakan kegelapan sebagai bahasanya, hi­dup­nya. Kehidupan yang sering dimaki Kopag ter­nya­ta cukup demokratis. Dia memberi Kopag poin, yang tentu saja tidak dimiliki orang-orang. Dia bisa mengubah kayu kering menjadi sebuah karya seni yang memikat para intelektual seni rupa. Kopag telah merekonstruksi sejarah seni rupa. Kopag tidak saja memahat kayu, dia memahat pikirannya, otaknya, ju­­ga impian-impiannya. Untuk pertama kali, alam me­­­­­­­­­­­­nyerah pada kekuasaannya, seperti Kopag juga me­nyerah pada kebutaan yang harus dia kenakan se­tiap saat. Kebutaan yang mengikuti dia terus-me­ne­rus.

 

***

Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Dise­n­tuh­nya kayu kering yang selama ini selalu mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pa­gar kein­dahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering me­nyesakkan kuping.

“Apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Me­re­pot­kan!” Suara perempuan muda itu selalu meng­ge­li­­sahkannya. Ada-ada saja yang diributkannya. Ta­na­­man di halaman samping rusak atau terinjak ka­ki­nya, kembang sepatu yang baru ditanam pe­rem­puan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah di dapur.

Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinga­nya. Bagaimana mungkin perempuan konon kata orang-orang di desa­nya sangat cantik dan santun itu bisa berkata begitu kasar. Teriakannya saja bisa me­mandulkan pisau pahatnya. Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. Karena dia bukan kaum Brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Je­ro Melati. Karena perempuan Sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.

Orang-orang di luar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki. Aneh sekali, Kopag sering berpikir, bagaimana sesungguhnya se­buah penilaian yang objektif dalam hubungan antar­manusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa ka­sar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan se­l­uruh laki-laki di Griya.

Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain san­di­wara yang ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk masuk dalam lingkungan keluarga Brahmana. Perempuan itu benar-benar serius untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki Brahmana, dia harus menunjukkan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan ke­luarga bangsawan. Itu yang dira­sakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menyalaminya. Getar­an tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membu­suk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir. Bau itu seolah berlomba-lomba meloncat dari bi­birnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas. Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa ber­untunglah kakaknya bisa mendapat­kan perempuan tercantik di desa.

Masih kata Gubreg, Ni Luh Putu Sari yang sejak menikah dan masuk menjadi keluarga Griya bernama Jero Melati itu memiliki kulit yang sangat indah. Postur tubuhnya seperti putri-putri raja Bali.

“Luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”

“Seperti apa perempuan cantik itu, Gubreg? Tolong kau kata­kan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan. Saat ini aku mencoba percaya pada matamu.”

Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Ko­pag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tua­nya. Ida Bagus Made Kopag memiliki tubuh yang sa­­­­­­­­­­ngat bagus. Tinggi, dan tangannya juga sangat ce­katan memahat patung-patung. Sejak kecil kakek­nya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan ka­yu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau se­sekali mendatangkan guru yang mengajari­nya mem­baca.

“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayah­nya. Pertumbu­hannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Kar­ma­nya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi. Aku masih percaya kehidupan itu bisa diajak bicara. Kau bisa lihat, kan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memiliki seluruh mata ma­nu­sia yang ada di bumi ini. Lihat, dia mampu mem­buat pa­tung-pa­tung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik, Gubreg. Anggap dia anakmu!” Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum ber­pulang.

“Gubreg, kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu? Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg, rasa apa yang sering membuatku meluap, apa ini rasa yang di­miliki laki-laki? Ini wujud kelelakian itu?” suara Kopag terdengar pelan.

Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang dua puluh lima tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braile. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari Prancis, Frans Kafkasau.

Laki-laki setengah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang diterjemahkannya, tentang Michelangelo Buo­norrty, yang konon, kata Frans, pematung jaman Renaisans.

Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada-ada saja yang ditanyakan Kopag padanya.

“Kau tidak ingin menjawabnya, Gubreg?”

“Jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak bisa menjelaskan seperti Frans. Tanyakan pada laki-laki bule itu!” Suara Gubreg ter­dengar penuh nada kecemburuan.

Laki-laki tua itu seka­rang ini jadi cepat marah. Dadanya sering mendidih. Rasanya baru mendengar satu huruf keluar dari bibir laki-laki Prancis itu se­luruh isi perutnya seperti ke­luar. Jengkel! Waktu Ko­pag sekarang habis un­tuk diskusi. Laki-laki bule itu telah memberinya di­dik­an yang baru, perhatian yang lain. Kopag tidak lagi membutuhkannya. Ada yang hilang dalam tubuh laki-laki tua itu. Kehilangan yang dalam. Bagi Gubreg, Kopag sudah bagian dari nafasnya. Sejak kecil, dialah yang mengajari Kopag mempelajari tekstur kayu. Seluruh ilmu memahat dia alirkan dalam tubuh bocah kecil yang tidak berdaya itu. Dia juga yang mengajarinya bahwa semua benda punya jiwa, ter­masuk rangkaian pisau-pisau pahatnya. Gubreg pun mengajari Kopag menelanjangi tubuh pisau-pisau pahat, dan menikmati aroma ketajamannya yang luar biasa indahnya. Dia ingat teriakan Kopag ketika pertama kali menyentuh tubuh-tubuh pisau yang telanjang itu. Waktu itu umur Kopag tujuh tahun.

“Gubreg, tubuhku gemetar setiap menyentuh pisau-pisau ini. Keruncingannya, ketajamannya, begitu indah. Begitu penuh misteri. Luar biasa, Gub­reg.”

Kilatan matahari menjilati keruncingan pisau pa­hat itu. Gubreg menyaksikan, betapa sinar ma­ta­hari yang perkasa itu menja­di patah dan tak berdaya ke­tika menyentuh sedikit saja keruncin­gannya. Pisau justru seperti menantang matahari untuk bersabung. Di tangan Kopag pisau itu jadi begitu dingin, angkuh dan selalu lapar.

Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga bisa menja­wab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gub­reg takut. Takut sekali menjawab perta­nyaan tentang esensi menjadi laki-laki.

***

 

Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.

“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag ter­de­ngar penuh rasa ingin tahu.

“Tentang apa lagi, Ratu?”

“Kecantikan perempuan.”

“Titiang...titiang tidak bisa menceritakan kecan­tikan perem­puan pada Ratu. Semua orang, Ratu, me­mi­liki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu....”

Suara Gubreg ter­de­ngar patah. Berkali-kali dia menarik nafas. Dia me­nger­­­­ti. Sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga per­nah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wu­jud manusianya. Begitu parah, dan teramat meng­ge­­lisahkan ketika tubuh­nya mulai lapar dan me­mer­lukan tubuh lain untuk santapan. Rasa itu tiba-ti­ba saja muncul kembali da­­lam otak, dan tulang-tulangnya yang mulai rapuh membantunya merangkai masa lalunya kembali.

Waktu itu Gubreg seorang laki-laki kumal empat belas tahun. Sering sekali dia disuruh mengantar Da­yu Centaga mandi di sungai Badung. Tubuh perem­puan itu seperti ular yang melingkar dan menjepit ba­tang-batang tubuhnya. Kakinya kram setiap me­lihat tubuh basah itu naik ke atas dengan kain yang hanya sebatas dada. Kaki perempuan itu putih, dan mampu meledakkan otaknya. Terlebih, Dayu Cen­ta­­­ga selalu menyuruh Gubreg menggosok pung­gung­nya dengan batu kali. Aroma tubuh perempuan itu sampai hari ini masih mele­kat erat di tubuhnya. Aro­ma itu tak bisa dihapus oleh usia yang dipinjam Gub­reg pada hidup. Lama-lama Gubreg merasakan sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Dia geli­sah, dia luka, karena kelaparannya adalah kelaparan yang tidak pada tempatnya. Sebagai laki-laki Sudra, ke­­ba­nyakan, dia sadar tubuhnya tidak boleh melahap tu­buh perempuan Brahmana. Perempuan junjungan­nya, perem­puan yang sangat dihormatinya. Tak ada yang bisa diceritakan kegelisahannya, dia adalah laki-laki tak berguna, yang hidup dari belas kasihan ke­luar­­ga Dayu Centaga. Setiap mengingat batas yang ada an­tara dirinya dan Dayu Centaga, Gubreg selalu me­rasakan tubuhnya dilubangi. Dia sering terjaga tengah malam dengan nafas yang memburu. Hyang Widhi, Gubreg sadar rasa laparnya sudah tidak bisa diben­dung lagi. Tubuhnya jadi pucat. Ke­luarga Griya mencari­kan dia seorang Balian, dukun.

Balian tua itu memberinya jampi-jampi. Tubuhnya dilingkari asap yang sa­ngat menyesakkan aliran pernafasannya. Ka­ta Balian itu, Gubreg sempat membuang kotoran di pinggir sungai. Kebetulan si penunggu sungai sedang beristirahat. Masih kata Balian tua itu, tadinya penunggu sungai itu juga ingin mengganggu Dayu Centaga. Berkat kekuatan Gubreg, Dayu Centaga tidak terkena. Justru Gubreglah yang kena ke­­­marahan si penunggu sungai. Untuk me­ngem­­­balikan kesehatan Gubreg, keluarga Griya membawa sesaji untuk penunggu sungai.

Gubreg tidak bisa bercerita tentang kela­par­an tubuh laki-lakinya. Dia pasrah ketika Balian tua...memandikan tubuhnya di pinggir sungai. Kata­nya agar roh jahat tidak mengenai keluarga Griya. Untuk menghormati kebaikan keluarga Griya, Gubreg bersedia menjalankan runtutan upacara itu.

Tak seorang pun tahu, komunikasi Balian tua itu dengan dunia gaib salah. Gubreg tidak sakit, tidak juga kesambet setan. Dia rasakan perubahan pada tu­buhnya, karena aliran sungai dalam tubuhnya bukan lagi aliran sungai kecil, tetapi sudah menyer­upai air bah. Dan Gubreg tahu air dalam tubuhnya memer­lu­kan muara. Demi Hyang Widhi, dia merasakan cin­ta yang dalam pada Dayu Centa­ga. Cinta yang tidak mungkin dihapus. Cinta yang membuatnya jadi batu, dingin, tidak lagi bisa menikmati kegairahan manu­sia­wi sebagai manusia. Sampai sekarang, menjelang tujuh puluh lima, Gubreg masih setia mengabdi di Griya. Tanpa istri, tanpa kegaira­han sebagai laki-laki.

Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa ke­can­tikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat te­lah dititipkan alam pada tubuhnya.

Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.

“Gubreg, kau belum juga jawab pertanyaanku,” suara Kopag terdengar pelan. Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”

“Yang mana?”

“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guemica. Pada dasarnya aku se­lalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini se­la­lu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, ber­dialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melu­kai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otak­ku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu arti se­tiap impian. Impian-impian yang dimiliki oleh po-hon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, mem-besarkan tubuhnya, sam­pai akhir­nya potongan-po­tongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Sua­tu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang pe­rem­­puan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang kuterjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada ke­liar­an Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan pe­rem­puan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau te­l­ah memberiku mata yang lain.”

Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami se­suatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin di­sam­paikan Kopag, seorang anak yang dibesarkan de­ngan cara-caranya, diajar memahami kehidupan. Gub­reg bahkan rela bocah laki-laki itu mencuri lembar de­­mi lembar rahasia perjalanan dan rasa sakitnya se­ba­gai laki-laki yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi.

Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali bisa hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang ini keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ce­ri­wis, perempuan itu bebas menggunakan uang Ko­pag semau­nya. Bahkan, kakak Kopag sendiri bisa mem­buka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang paling diakui di Bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari Jerman dan Prancis.

Gubreg tahu tak ada yang diinginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang. Hanya satu yang ditangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.

 

***

“Kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,” suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.

“Bagaimana kalau dia kawin dengan calon yang telah kusiap­kan.”

“Jero sudah punya calon?”

“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”

“Siapa?”

“Adik perempuanku,” jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap mata perempuan itu tajam. Untuk per­tama kali dia merasa­kan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu. Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.

“Kau harus bisa meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu ter­dengar mirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perem­puan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati bisa menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau dihayati memiliki keindahan tersendiri.

 

***

“Gubreg. Aku ingin bicara!” Kali ini suara Kopag terdengar serius. Gubreg mencoba memahami ke ma­na kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil. Kopag seperti linglung, dia terus me­nge­­lilingi studionya.

“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”   

“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.

“Maaf Ratu, titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”

“Apa kata mereka.”

“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan me­milihkan calon istri untuk Ratu.” Gubreg meng­ang­­kat wajahnya, ingin sekali dili­hatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.

“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku ti­dak bisa diubah!”

“Siapa?”

“Luh Srenggi.”

“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik. Luh Srenggi, apa­kah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah perempuan yang menyiapkan se­luruh keperluan Kopag, membersihkan studionya me­nyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahat­nya? Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip makhluk yang mengerikan, kakinya pincang, pung­gungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memiliki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya be­gitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna ke­can­tikan? Gubreg menarik nafas memegang da­da­nya kuat-kuat.

“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap ma­lam, Gubreg. Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Ku­litnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika kujatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang menga­lahkan kecantikan kayu-kayuku. Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun bisa menan­dingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”

Gubreg ambruk. Sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.***

 

1.  Saya

2. Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali

 

(Dimuat dalam Horison, Maret 2000)

 


Menjadi Batu

Oleh: Taufik Ikram Jamil

 

Dinihari.

“Pasti dari Jim,” kata hatiku.

Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Ber­kali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.

“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” ka­ta Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh me­reka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”

Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan ter­sen­tak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan men­jadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.

“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lan­jut­nya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.

Beberapa saat ia terdiam.

“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”

“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.

“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari ke­luargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hu­bungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini pu­nya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar ba­giku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan ke­luarganya —sebelum kawin— memang po­hon penelitianku, tetapi aku tak pemah meng­ang­gap­nya sebagai sesuatu yang ber­asal dari luar diriku, sehingga ke­tika aku me­ne­li­ti­nya atau orang kampung se­ka­lian, aku me­rasa meneliti diriku sen­diri,” kata Jim.

Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, se­kitar 150 km dari sini, lan­tas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bu­jang bedeng­kang waktu itu; tak lama se­­telah ber­kawan akrab de­ngan Jim, ia yang kawin de­ngan orang se­kam­pungnya, tetap meman­du Jim di la­pang­an. Tak meng­he­rankan kalau di antara ke­duanya terjalin hu­bung­an an­­­­­tara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya se­te­lah tiga tahun menetap di desa Ni­ru, aku menjadi pe­rantara hubungan mereka ber­dua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yak­ni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang meng­hadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau da­tang dengan alasan yang tidak jelas walau­pun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.

Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya ti­dak­lah terlalu istimewa bagiku, barangkali di­se­bab­kan perhatian kami yang berbeda dan semua per­masalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa pe­nelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, se­be­narnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di te­ngah ladang minyak yang kaya raya dengan per­alatan cang­gihnya. Belum lagi pembangunan per­ke­bunan besar-besaran yang tak terbayangkan se­be­lum­nya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum di­nik­mati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi ba­nyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.

“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”

“Teruskan, teruskan....”

“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”

Aku menarik napas. Tam­paknya aku harus mela­kukan tindakan karena sudah tiga ka­li ia menel­epon, keta­kut­annya terasa semakin besar. Tetapi belum sem­­­pat aku me­nye­lidiki keberadaannya se­per­ti tin­dakan apa yang di­ha­rap­­kannya dariku, hubungan ka­mi terputus. Cukup lama aku mem­biar­kan gagang telepon melekap di  telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....

 

***

Dinihari.

Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku ter­le­tak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Se­bentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia me­no­lak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihat­an menyala karena butir-butir keringat seperti tersim­bah cahaya pelita yang merah kekuning-ku­ningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia me­n­cang­kung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan mem­ben­tang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Me­ne­nga­dah. Cahaya bulan se­peng­gal dan kerlip-kerlip bin­tang yang ter­sapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang ke­san elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.

Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ka­ki­nya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyer­gap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.

“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.

“Jangan!”

“Bontik?”

“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar me­nying­sing,” kata Niru.

“Atau Katik, Leman, Ra­ut, dan... .”

Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim meng­ikuti arah mata itu dengan pan­dangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebe­lum­nya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim me­nyadari ke­beradaan Niru dan keluarganya seperti se­k­a­­­­rang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu ber­jalan ke luar, ke pinggir hutan se­latan. Sinar mau­pun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta be­deng-be­deng­nya yang di­pan­dang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau ti­dak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.

Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim me­mang mengatakan bahwa apa yang terjadi se­ka­rang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Se­telah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang de­ngan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya menge­luar­kan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah men­jadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu te­lah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam se­ma­kin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.

“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi ma­na mungkin aku mempertahankan ketidak­per­ca­ya­an itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sen­­diri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia ber­tanya, “Kau percaya cerita ini?”

“Percaya.”

“Kau percaya?”

“Karena kau tak mungkin berbohong.”

“Ya, aku tak mungkin berbohong.”

“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus ber­bi­cara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang meng­­hilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”

“Bagaimana kau tahu?”

Aku berdehem.

“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.

“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”

“Dan menjadi batu se­be­narnya bukan pilihan kan?  Te­tapi mengapa mereka men­jadi batu?”

Aku ingin menjawab per­ta­nyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan se­ba­gai hujatan_  tentang men­ja­di batu tersebut terus sa­ja me­lun­cur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nan­­ti­lah .... Ya, nanti saja. Apa­lagi waktu itu, ti­ba-tiba sa­­ja sambungan telepon ter­putus dan aku hanya dapat men­­­de­ngar suara tut ... tut ... tut ....

“Sungguh aku tak dapat me­ngerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”

Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, semen­tara sekian pertanyaanku kepada Niru ha­nya­lah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab perta­nya­anku. Ia hanya mau mengenang ma­sa-masa lam­pau, soal-soal kemesraan, dan berc­e­rita tentang ka­yang­an yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat me­nakut­­­­­kan aku. Aku takut,” sam­bung Jim, terdengar suar­a­nya tersendat-sendat.

 

***

Sampai menjelang subuh, telepon masih ter­len­tang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama me­nung­­gu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena su­ara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku me­nge­rang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jen­dela, aku melihat bulan tergantung yang caha­ya­nya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya re­mang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya ter­ke­pang, kadang-kadang bergoyang-goyang se­ba­gai tanda bahwa ia me­nyenangi bacaan itu.

“Mengapa kau tak per­nah bercerita tentang ham­­­­­­­­­­paran batu yang ber­ben­tuk manusia dan per­alatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim su­atu malam, mungkin tu­­­­juh tahun yang lalu. Ia me­lihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan ke­pa­da­ku. Pandangannya ti­dak lepas dari mataku me­s­­­­kipun aku sudah meng­­­­­­­ambil majalah ter­sebut sambil lewat saja, tak sedikit pun mem­ba­canya kecuali me­man­dang gambar-gambar ham­­paran batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada ham­paran batu yang berbentuk manusia dan peralatan hi­dupnya sehari-hari di sini?”

Sebagai jawabannya aku memandang langit-la­ngit, kemudian kembali memandang majalah itu dan men­cari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku me­man­dang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin le­laki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi ge­lom­bang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mem­persempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.

Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya me­nye­­ngat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil me­li­hat kelakuanku itu sambil meng­­angkat bahu. Me­nyu­­lut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian me­nga­takan ingin keluar. Tak di­ajak­nya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar ba­sa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, se­orang teman lama. Dini ha­ri, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.

Keesokannya, pagi-pa­gi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Air­nya. Aku agak terkejut ka­re­na hal ini di luar prog­ram­nya semula. Katanya, ia akan berada di sini ba­rang sepekan dalam urus­an apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia su­dah merindukan keluar­ga­nya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sen­diri­nya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah be­berapa hari lalu saat ia meneleponku dan me­nya­ta­kan keinginannya untuk datang ke sini.

“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi pro­fe­sor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal me­nge­nai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti se­karang.

Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat te­lepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti da­hulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada peru­bah­an, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru se­ma­kin terang benderang dengan berbagai fasilitas, ter­ma­suk hotel dan warung telepon yang boleh dika­ta­kan tidak begitu jauh dari rumah Niru.

Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibe­linya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah  orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah ber­diri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.

Waktu itu aku tak sem­­­­­pat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kam­pung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khu­sus untuk meng­a­ta­kannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui te­lepon. Aku berniat se­kali mengatakan hal ini kepa­danya ketika ia pu­lang nanti. Tak ada mak­sud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baik­lah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.

 

***

Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap mu­ka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.

“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”

Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.

“Bertenang?” tanyanya kemudian.

“Pulanglah dulu ke sini.”

“Bertenang dan pulang?”

Aku mengogam.

“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”

“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”

“Kemudian membawa aku pulang?”

“Ya.”

“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ke­tika....”  Kalimat Jim terputus.

“Ketika kau melihat semua orang di desa itu men­jadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku me­nyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan men­ja­dikan­nya sebagai titik awal untuk menceritakan pe­nga­­lamannya yang lain menjelang subuh itu.

“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan ke­luar­ganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Da­­ri sinilah kemudian aku tahu bahwa semua pen­duduk desa ini sudah men­­jadi batu yang pro­ses­nya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Ki­ni mereka semuanya su­dah menjadi batu,” kata Jim.

Bermacam-macam su­­­­­­­­sunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang men­jadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri berce­kak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah se­orang manusia yang menjadi batu di halaman, se­dang­kan istri dan tiga orang anaknya berada di be­lakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan mu­ka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.

Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai ping­­gangnya sejajar dengan lantai kaki kanan meng­him­pit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepa­la­nya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan me­no­­pang kepalanya, sementara tangan kiri melempai meng­­ikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Ma­ta­nya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, se­hing­ga alat indera tersebut seperti menyala dan me­lahir­kan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.

Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat  ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebalik­nya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya me­ne­rima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pu­la ke rentangan yang menolak.

Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.

Ia kemudian terhenyak di anak tangga ru­mah Ni­ru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit si­sa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipe­kik­nya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengan­tar­kan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.

“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud men­jem­put­ku pulang. Di mana letak dirimu sebagai ma­nu­sia?”

Aku diam.

“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang ber­kumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.

“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.

Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian me­nyan­darkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang di­alaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”

Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***

 

(Dimuat dalam Horison, September 1997)


Para Pemburu

Oleh: Agus Noor

 

Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami me­man­dangi­nya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beri­stirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Mele­takkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.

Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, se­belum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengala­man kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hi­dup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal mem­buru sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.

Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan bina­tang buruan. Kami tak pernah ter­go­­da menjadi petani atau peda­gang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seor­ang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-ce­rita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh da­lam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam be­lu­kar. Kami sudah tahu bagai­ma­­na menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kan­dung­an. Kami mengembara dari satu benua ke benua lain­nya, untuk memburu bina­tang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hi­dup, tetapi lebih untuk ke­bang­ga­an dan kehormatan.

Sampai kemudian kami me­nyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, bina­tang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunu­hi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamn­ya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun ke tahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 ta­hun, tetapi masih sanggup berlari mengejar antelope, kemudian menghan­tam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.

Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami ka­takan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.

“Perburuan tak mungkin berhenti!”

“Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!”

“Takdir tak bisa dihentikan.”

“Lantas bagaimana?”

“Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!”

“Memburu apa?”

Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian ter­lontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Me­reka kami lepas ke tengah hu­tan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu men­jadikan kami begitu ba­ha­gia. Bahkan membuat kami le­bih merasa sempurna sebagai pem­buru. Memburu budak-bu­dak itu lebih mengasyikkan da­ri­pada memburu binatang. Me­re­ka lebih menantang untuk ka­mi tak­luk­kan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka de­ngan perburuan macam itu. Lan­­­tas, perlahan-lahan, kebia­sa­an baru tumbuh dalam ke­hi­dupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, “Masuk­lah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Ja­ngan cemas, meski kami akan memburu kalian, ka­lian masih punya kesempatan untuk memper­panjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, daripada ma­ti di tiang gantun­gan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Ang­gap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik ber­sama kalian... .”

Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upa­cara kehor­matan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pe­saki­tan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang meng­gai­rahkan.

Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan per­main­an semacam itu. Ketika kisah-kisah kami men­jalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku ka­­mi, mendatangi kami, untuk ikut menikmati per­bu­ruan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori ke­murnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang kepada ka­mi itu adalah para jenderal, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki ke­­bia­saan berburu se­per­ti kami dan memiliki la­han-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tem­pat-tem­pat itu untuk kami kelola dan kem­bang­kan sebagai ladang perburuan yang le­bih me­nan­­tang dan menye­nang­kan. Bahkan mereka men­­­janjikan kami lahan-lahan perburuan yang le­bih luas. Para jen­deral me­nyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensub­sidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan ke­pa­la negara mem­per­silah­kan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya ke­sem­patan memburu para penjahat yang telah di­vo­nis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang pa­ling menyenangkan ka­mi buru. Malah sering para raja dan kepala negara mem­­beri kemudahan ka­mi dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para de­mons­tran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang se­lama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah bu­ruan kami.

Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.

“Ini darah seorang penyair untukmu, jangan se­dih... .” Gelas kami beradu, dan kami tertawa ba­hagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!

Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, meng­gu­lung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Ka­mi, yang telah menjadi se­ke­lompok pemburu yang pa­ling kuat, dengan du­kun­gan dana yang me­lim­pah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir da­lam ge­las-gelas kami, men­­jadi tak tertandingi. Kami ber­diri di puncak menara per­adaban, sendiri. Itu se­ring membuat kami ter­usik sunyi. Apakah arti ke­kuat­an bila tak ada tan­tangan yang sepadan? Tak ada lagi yang sanggup me­la­wan kami. Ketika ka­mi menjarah perem­puan dan membunuhi anak-anak, ketika kami mem­bu­ru ri­buan orang Yahudi un­tuk kami kirim ke kamp kon­sen­trasi, ketika kami me­nem­ba­ki anak-anak Pa­­lestina, ketika kami mem­­­­buru dan membantai       orang-orang muslim di Bos­­nia, ketika kami me­ngirim pasukan pem­bu­ru ke ba­nyak negara untuk me­luluhlantakkan apa sa­ja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami? Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepadan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.

“Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biar­kan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini.”

Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyaran­kan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.

“Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?”

“Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebe­lum maut menjemputku, aku ingin menikmati per­bu­ruan yang paling menggair­ahkan.”

“Apa hubungannya dengan para kiai itu?”

“Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menye­diakan malaikat untuk kita buru!”

Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami mengge­lembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?

“Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!”

“Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersu­lang, me­nyam­but hari depan kami yang gi­lang gemilang. Panji per­bu­ruan berkibar. Kami segera meng­himpun topan. Kami se­gera menge­luarkan selu­ruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami da­tang­kan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan.

“Kami ingin Jibril,” kata ka­mi kepada mereka. “Kami tak mau tahu, bagaimana ca­ra kalian mendatangkan Jib­ril bagi kami. Apakah kalian akan shalat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?”

Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.

“Baiklah,” tegas kami, “kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa men­da­tang­kan Jibril bagi kami, kami akan membikin per­hi­tungan sendiri... .”

Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah ista­na kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke se­buah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di ping­gir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesung­guhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelepah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali li­ma tombak. Bagaimana tempat sekecil itu me­nam­pung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.

“Kalian jangan bercanda!” teriak kami.

“Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril.”

“Baiklah... .”

Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka. Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah ber­himpitan, bagaimana mung­kin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai ke­mu­dian semua kiai telah ma­suk dalam masjid itu. Dan ka­mi mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, se­pan­jang hari sepanjang malam. Gema itu melam­bung, menyentuh langit. Ka­dang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Se­perti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang mel­ayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami me­ma­garbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau ditipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berja­ga, takut me­re­ka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.

Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus ma­rah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat ka­mi tambah cemas menunggu, kemudian kembali me­ngirim utusan untuk menemui para kiai di dalam mas­jid itu. Tetapi seperti yang perta­ma, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, mem­­­­per­ingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?

Jangan salahkan kami. Dan kami segera me­nyer­bu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemara­han kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu ber­ge­me­re­takan, dan api melahap cepat, membumbung.

Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.

Pada saat itulah, seseorang di antara kami ber­te­riak, mem­buat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semes­ta.

“Jibril!!”

“Jibril!!”

Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?

“Buru!”

Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tom­bak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat ca­ha­ya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.

“Kejar!”

Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-ta­hun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah per­buruan paling menakjubkan bagi kami. Setelah ber­abad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah ber­ma­cam pengalaman perburuan membuat kami jadi pem­buru sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya per­bu­ruan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket te­rus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami ren­tangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perang­kap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Ke mana pun Jibril melesat, kami memburunya.

Sam­pai kami tiba di pinggir telaga ini, yang me­nyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami ki­ni benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat me­ngu­bur­kan­nya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.

“Ke sana!” seseorang dari kami berteriak, dan lang­sung mele­sat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap ca­ha­ya-Nya.

Ma­ka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pem­buruan abadi kami.***

 

Yogyakarta, 1995-1998

(Dongeng Buat Mas Danarto)

 

(Dimuat dalam Horison, Januari 2000)


Gank

Oleh: Syahril Latif

 

1

Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.

Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.

Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua  orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.

Apalah arti sebuah nama.

 

2

Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lom­pat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.

3

Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan pen­duduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi per­be­da­an­nya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.

 

4

Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.

 

5

Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.

Ada juga satu dua rumah gedung yang ber­pe­ka­rang­an luas dan bertaman,  membuat ke­ha­di­r­an­nya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang se­ge­ra mengundang tamu atau teman kami yang da­tang berkunjung,  bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”

“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.

“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”

“Rumah pegawai Bea Cukai.”

“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”

“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”

“Kok sama hebatnya?”

“Maklum, menjabat bagian basah.”

“Bagian apa?”

“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau per­izinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?

 

6

Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.

 

7

Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-meng­antar sayuran atau makanan kecil. Kadang menum­pang menjahit baju anak di rumah tetangga yang pu­nya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.

 

8

Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam per­teng­karan kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang be­ran­­tem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih ber­sungut-sungut, anak-anak mereka sudah ber­baik­an kembali.

 

9

Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-ma­cam­lah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk dise­ngat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:

“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uuna­kum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buu­na­kum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tu­una­kum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsauna­kum, Tsuunakum ....”

Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, meng­asyik­kan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.

 

10

Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dir­a­ha­sia­kan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh me­nitikkan air liur.

 

11

Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian men­­­cari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.

 

12

Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali se­bu­lan pada petang Jumat, orang tua-tua kami me­nga­­dakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-mu­da, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya keha­dir­an kami melegakan hati mereka.

Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple se­ma­­lam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pa­­gi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak ber­ke­­pu­tusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau di­bawa mendengar pengajian, tanda setan sedang me­ngen­cinginya!”

Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?

 

13

Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-mu­da pun tak mau ketinggalan duduk meng­ge­rom­bol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, per­sis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga sis­kamling. Kami menyebutnya ‘markas’.

Se­mua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak ke­na: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Se­se­kali kami larut juga dalam irama gambus.

 

14

Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka su­dah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya di­suruh pulang.

 

15

Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Ham­zah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.

Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ke­tika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang ti­dak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.

 

16

Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi maha­sis­wa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agak­nya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau diku­bur­nya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.

“Maklum, deh,” tambah yang lain.

Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.

Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?

George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tols­toy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Bo­ris Pasternak atau Thomas Elliot!

Pokoknya: berat!

 

17

Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu ke­lom­pok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.

Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara ter­se­nyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayak­nya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia te­lah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Ga­yanya mirip-mirip Rendra, maunya.

Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada sua­ra­nya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan su­a­ra­nya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.

Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa. 

Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!

 

18

Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.

Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.

Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.

Sejak itu kami kehilangan seorang teman kong­kow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.

Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah pe­rusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.

Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul ber­bohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak me­mung­kinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tem­­po, dan ia tak mau jadi ba­han tertawaan teman-te­mannya.

Sebenarnya, Najib me­ra­sa sangat terhimpit, tapi di­lakoninya terus. Sampai ka­pan?

Dan kami, dan semua orang di gang, merasa ber­ke­wa­jiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan pe­ra­sa­annya.

 

19

Sebaliknya, siapa sang­ka, jika Allah ber­kehen­dak mem­beri hida­yah ke­pa­da hamba­nya, Tony Han­do­ko yang agak ugal-ugal­­­an itu, anak pe­­­­­gawai pajak yang ge­dongan itu, bersi­ke­ras pa­da papa­nya mau masuk pe­san­­tren. Ketika hal itu di­sampaikan, bu­­­­­­­kan main ka­get­nya sang papa, ba­gai­kan disambar petir di siang bo­long. Kaget, heran, be­rang, bingung, tak alang ke­palang.

Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi san­tri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omel­an tak berkeputusan, bagaikan rentetan tem­bak­an senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya meng­ang­gap keputusan Tony itu benar-benar gila.

Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bung­kem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sam­pai papanya reda dan terhenyak di kursi.

Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman da­lam perjalanannya. Bahkan ia minta aku me­ne­mani­nya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.

 

20

Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami te­rima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibu­nya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”

Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa­ pulang buat sebentar, bukan?”

“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma,  saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, du­nia dan kesenangan melulu.… Apa dengan keka­ya­an itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, ha­nya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”

Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fit­nah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pe­nga­jian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.

Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.

Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, men­jadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa me­ma­­afkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia

 

21

Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Be­lakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”

Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hen­daklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang de­mi­ki­an itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar me­reka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengam­pun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma bin­ti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tu­buh­nya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang te­lah sam­pai masa haid tidak bo­leh ter­lihat kecuali ini dan ini,” dan beliau me­nu­n­juk kepada mu­ka dan kedua tela­pak ta­ngannya.

Sebenarnya, masih ada be­­­­be­rapa ayat dan hadis, tapi Sau­dara-saudara dapat men­ca­rinya sendiri dalam Al-Qur­an, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diri­wa­yatkan oleh Muslim dan Ah­mad!

Pokoknya, sejak Aisah men­­­­jadi eskrim, maaf, eks­trim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjuluki­nya dengan  “pa­kai­an ninja”. Tapi Aisah  tak acuh  saja.

Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi ba­rang sepotong pun baju model lain. Kayaknya se­mua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, mi­di, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau di­ha­nyut­kan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).

“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.

“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”

“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu se­be­lum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pa­kai­an padamu kalau hanya jilbab melulu?”

“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidak­ta­hu­anku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”

Mantap sekali ia, fikirku.

Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah  mendapat kerepotan di se­ko­lahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar pe­r­­aturan seragam sekolah, walau warnanya sudah pu­tih di atas dan abu-abu di bawah (sudah di­se­suai­kan Aisah). Namun ia tetap di­anggap me­langgar. Soal­­nya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan pan­jang dan rok yang kom­prang kedodoran itu! 

Kepala Sekolah sudah mem­­­beri peringatan be­be­rapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesu­dah­an­nya. Yang kutahu Aisah te­tap tegar. Berkata man­tap ke­pada kami anak-anak gang.

“Salah apa saya jika saya meng­amalkan ajaran agama sa­ya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga ne­ga­ra untuk memeluk suatu aga­ma atau ke­per­ca­ya­an dan un­tuk beribadah sebagaimana yang dia­jar­kan oleh agama mau­pun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hu­kumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Se­ko­lah?!”

“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.

Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?!       Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”

Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.

Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, ka­tanya sambil setengah  berbisik, mencorongkan ke­dua telapak tangannya ke moncong:  “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya  orang­-orang PKI yang sangat anti agama?”

“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.

Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”

“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.

“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.

 

22

Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, su­ka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘mar­kas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dang­dut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:

“Indung-indung kepala lindung

Hujan di udik di sini mendung

Anak siapa pakai kerudung

Mata melirik kaki kesandung...”

Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum diku­lum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, ber­ka­ta: “Alangkah manisnya anak ini...?”

 

23

Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah ber­jalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.

“Waduh, alimnya.”

“Sorangan wae?”

“Mari, gue anterin, yuk?”

“Ntar lu digampar bokapnya!”

“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”

Dan macam-macam lagi.

Namun Aisah  diam  saja. Jalan terus.

“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”

“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”

Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”

Anak-anak pada sorak kegirangan.

Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-bu­ru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lan­tang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.

“Ada cowoknya, Mek!”

Lalu kutarik Aisah ke  toko kaset.

“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.

“Tidak.”

“Anak-anak berengsek!”

“Mereka cuma iseng.”

“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”

“Kasih hati bagaimana?”

 “Salam mereka kau  jawab. Cuekin aja!”

“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”

“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.

 

24

Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main eng­klek, main loncat karet, tiba-tiba seperti di­sung­lap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang in­dah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat can­tik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.

Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara lu­­­as. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nya­nyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.

Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau ber­ganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang ber­kun­jung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menon­ton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pe­main film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang pa­ling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!

Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:

“Baru lagi, ni yee?!”

 

 

25

Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.

Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.

“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.

Dari bacaan berat mana pula Hamzah mem­peroleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak ta­hu.

26

Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pa­da Hamzah apakah ia mencintai Maryam.

“Tidak!” jawabnya tegas.

Aku terperangah.

 

27

Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang se­der­hana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan ber­henti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.

Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.

 

28

Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat ku­tang­kap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda bakti­nya buat mereka yang telah bersusah payah, mem­besar­kannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.

 

29

Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.

Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning  bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.

Najib mungkin sedang mencampur minuman ha­ram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayah­nya sedang mengaji di rumah. Batinnya ter­te­kan. Namun ia tak bisa berbuat lain.

Se­dang mengapakah Martin sekarang? Lakon apa­kah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet to­koh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pu­lang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia se­karang.

Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.

 

30

Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-te­man sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi mem­biayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”

 

31

Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti bia­sa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, To­ny Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***

 

 

(Dimuat dalam Horison, Agustus 1990)

 


 

Lonceng

Oleh: Motinggo Busye

 

Jam dengan merk Jung­­­­­­hun itu belakangan ini me­nyeng­sarakanku. Istri­ku men­jadi perem­­pu­an yang ba­wel. Ini karena ulah jam itu. Pa­da­hal ba­­rang itu kami beli untuk me­­­nambah kebahagiaan istri­­ku dan aku. Tinggi jam itu se­ting­gi tubuh­ku. Bila lon­ceng­nya ber­bu­nyi, ma­ka ter­de­ngar­lah sebuah nyanyi. Nya­­nyi­an ini me­­­ngisi kalbu is­­tri­ku dan kal­bu­ku sen­diri.

 

Walaupun akhirnya me­­­­­­­­­­nge­­­sal­kan, tetap saja aku men­­­­coba me­metik ke­nang­­an lama yang in­dah se­­te­­­lah jam Jung­hun itu me­ngisi ru­ang te­ngah ru­mah kami. Kami dulu mem­­­­­­­­­per­tim­bang­kan­nya cukup la­ma un­tuk memu­tus­kan di ma­na ha­rus dile­tak­­kan jam yang se­besar itu. Jika di­taruh di ru­ang ta­­mu, ke­­­lak ta­muku akan ce­pat pu­­lang, se­­bab ke­ha­dir­­­­an­nya me­­rasa dikon­trol oleh jam. Se­­­dangkan kami ber­­­dua mem­bu­tuh­kan ta­mu.

“Sebentar lagi kita akan me­raya­kan ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh lima, ya Sam?” ujar istriku suatu sore. Sore itu, aku dan Ina sedang du­duk-du­duk berdua sembari minum teh dan ma­­kan jeruk. “Hari itu ulang tahun per­ka­winan perak kita.”

“Kamu tentu ingat tanggalnya, Ina,” kataku.

“Betul, Sam. Kita menikah pada 10 November dua puluh lima tahun yang lalu.”

“Kalau begitu tinggal 4 hari lagi.”

“Ingat enggak, siapa yang da­tang pada pesta kita itu?”

“Mantan pacarmu,” kataku.

“Juga mantan pacarmu,” kata­nya.

Kami ketawa bersama. Kami su­ka mengulangi lelucon yang sa­ma itu setiap ada bekas teman se­ke­­­­las hadir. Tentu lelucon ini me­nam­­bah semarak su­­­a­­mi-istri. Orang yang kurang rasa humor mung­kin heran. Mereka harus diberitahu, bah­wa mantan pacar istriku adalah aku, dan mantan pacarku adalah istriku Ina.

Ku­ingat sekali, hanya untuk per­kawinan perak itu saja kami berdua sangat sibuk.

Kami telah pergi ke Pasar Glo­dok untuk mencari sebu­ah ba­rang yang bisa dipajang di rumah dan punya kesan abadi. Setelah dua tiga toko ka­mi masuki, tak ada satu pun benda yang berkenan di hati kami berdua. Ketika ka­mi lewati bebe­rapa toko, se­cara menda­dak dan se­­­­rentak lang­kah kami ber­henti. Ter­­dengar satu nada indah mirip la­gu yang menyentuh pera­sa­an ka­mi. Aku dan istriku saling me­natap.

“Kita menemukan pilihan jam an­tik,” ujar istriku.

“Ini benar-benar abadi,” ka­ta­ku.

“Tanyakan harganya, Sam,” kata istriku. Makin larut perkawi­nan kami, makin sering aku disuruh istriku dengan nada setengah me­me­­­rintah. Apa suami-suami yang lain di dunia ini juga seperti itu, aku tak tahu dan tak perlu tahu.

Istriku melotot setelah aku sebut­­kan harga yang diberitahu­kan pemilik toko jam itu.

“Merknya Junghun,” ujar sang pemilik toko. "Merk ini nomor satu. Di toko saya cuma tinggal satu ini.”

“Ya kurangilah separoh­nya,” ujar istriku.

Kebiasaan istriku adalah sama de­ngan kebiasaan ba­nyak perem­pu­an di jagat ini: me­nawar terlalu ren­dah dan berlama-lama untuk je­nis satu barang. Kadang su­dah per­gi kembali lagi ke toko seba­gai­ma­na terjadi pada hari itu.

“Coba Nyonya cari di se­lu­ruh Glodok ini. Cuma saya yang jual merk Junghun ini, dan ini juga satu-satunya.”

Istriku telah dikunci tanpa al­ter­natif. Lalu, ketika uang di­hitung, ku­­­­rang sedikit. Se­ba­­­­­gai­­mana biasa, aku meng­ge­nap­i kekurangan itu. Ke­tika se­tiba di rumah, istriku bi­lang, “Sebenar­nya aku menguji apa­­kah kau masih kikir. Maka ku­ting­­­galkan bebera­pa lembar di tas­ku agar kamu ikut mem­ba­y­ar juga, Sam.”

Memang begitu. Dari masa ber­pa­­­caran dulu, kami meng­anut aliran navy-navy. Kami me­niru para pe­laut yang suka ba­yar ma­sing-ma­sing bila ma­kan di restoran. Ke­bi­a­sa­an ini bukan selalu buruk. Kami jus­­­­­­tru menciptakan hu­mor baru ke­ti­ka ha­rus ber-navy-na­vy.

Jam Junghun te­­lah kami taruh di ru­ang tengah. Dia se­­­la­ma tiga ha­ri ka­mi tunggu ber­­bu­­nyi. Saat itu ada­lah pu­kul 00.00 pada ha­ri 10 No­vember.

Ketika lon­ceng­­nya berbunyi me­­­nya­nyikan irama in­­dah itu, aku me­­re­mas jari tangan istri­­ku. Ketika lon­­­ceng­­nya berbunyi 1 kali, re­­­­­­mas­an­ku lebih ku­at lagi. Dan ketika ge­­­­­ma 12 kali masih menden­gung, aku dan istriku berpe­luk­an.

Lonceng jam itu memberikan zat rohaniah pada diri kami. Ke­be­tul­an kami berdua menyukai musik kla­sik. Tapi irama lagu lon­ceng jam ini melebihi seluruh musik klasik ke­sukaan kami.

Bertahun-tahun kami menik­ma­t­i duduk berdua menunggu lon­ceng jam itu bernyanyi setiap se­perem­pat jam. Ketika pada se­per­empat jam, dia me­nya­nyi­kan satu bait saja. Ke­tika setengah jam, dia me­nya­nyikan dua bait. Ketika tiba tiga per­­em­pat jam, tiga bait, dan pada waktu satu jam, empat bait kom­plit.

“Kita tak pernah merasa tua oleh lonceng jam ini ya, Sam?” kata is­­­triku.

“Ya. Padahal jam ini su­dah 15 tahun di rumah kita,” kataku.

“Mungkin kamu betah di rumah karena lonceng ini,” kata istriku lagi.

“Tapi aku betah di rumah bukan karena lonceng jam ini. Aku betah di rumah ka­re­na sudah memasuki pen­siun, dan terutama karena ada­nya kamu.”

“Sudah gaek masih gom­bal,” kata istriku.

Per­nah juga istriku ber­ta­nya, “Ke­na­pa kamu tidak kawin lagi saja, Sam?”

Makin tua dia masih pen­cem­­bu­ru seperti dulu. Te­ta­pi perta­nya­an itu agak aneh di telingaku.

“Aku tahu, ketika aku ha­rus ber­­­henti sewaktu kita menikah su­dah pasti ada se­orang gadis yang se­nang,” ka­tanya.

”Si Aimah,“ sam­bung­nya.

Peraturan kantor me­mang, jika ada dua orang me­­nikah di satu ru­ang kerja, yang perempuan harus di­ber­­­­­hentikan dengan hormat. Jadi Ina cuma berdinas 1 tahun kerja saja.

Orang yang sama sekelas di SMA, sama pula di per­gu­ruan ting­gi, dan sama pula selesainya, akan sa­­ma nasibnya jika melamar di kan­tor yang sama di bidang yang sa­ma pula: jika menikah, yang pe­rem­pu­­an harus mengalah menjadi pe­nung­gu rumah.

“Kalau aku bicara soal si Ai­mah, kamu suka mem­bisu. Pa­da­hal dia amat mencintaimu, Sam.”

Aku memilih diam. Akhirnya aku bertengkar juga karena dia lagi-lagi menyebut nama Aimah.

“Kalau kamu kawin sama Ai­mah, mungkin kamu sudah pu­nya anak dan cucu. Perkawinan kita 40 ta­hun tanpa anak dan cu­cu,” ucap­nya. Dan inilah yang bi­kin aku ma­rah dan kami berteng­kar.

Ke­tika pertengkaran itu terjadi, lon­­ceng jam menyanyikan lagu itu. Se­­belum empat bait lagu itu ber­ge­tar, aku dan Ina sudah ber­peluk­an.

“Kita tak perlu bertengkar lagi. Yang ada di sini adalah aku, kamu dan jam dengan loncengnya itu.”

Tetapi, ajaib sekali. Biasanya kalau jam itu mati, aku bisa mem­per­­­baikinya. Yaitu menaikkan kere­kan rantai tiga bandulan itu, lalu menyetel jarum panjang dan jarum pendeknya untuk menyesuai­kan waktu. Kali ini loncengnya ber­bu­nyi tidak cocok lagi dengan wak­tu. Dia tidak berbunyi 12 kali pada waktu pukul 12.

“Kau bilang dulu kamu me­ngu­a­­sai ilmu listrik. Tapi kenapa be­tulin jam saja sudah salah. Bah­kan ngawur. Pukul 12 bunyinya 6 kali.”

“Sudahlah. Jangan jadi nenek sihir lagi, Ina,” kataku.

“Itu logis saja, Sam. Aku kan ti­dak bilang kamu tolol.”

“Sudah, diam kamu. Kamu ma­kin tua makin cerewet.”

“Kamu makin tua makin tolol.”

“Aku mau keluar.”

“Mau cari Aimah?”

“Bawel kamu.”

Aku mencari ahli jam. Menurut pemilik toko di Glodok itu, ada orang Arab di Tanah Abang, nama­nya Mahboub Assegaf, ahli pem­be­tu­lan jam dan piano. Ke­tika aku tiba di rumah Arab itu, orang di ru­mah itu mengatakan, bahwa “Ami Assegaf” sudah wa­fat. Kalau mau beli buah kur­ma dan kismis, ada diju­al di sini.

“Aku tak bertemu de­ngan orang Arab itu,” ka­ta­ku pada Ina.

“Oh si Aimah itu turunan Arab ya?”

“Coba tenang, Ina. Kita ju­al saja jam Junghun ini. Ki­ta beli yang baru,” ka­taku.

Dia marah. Bah­­kan men­cak-men­cak. Dia ka­ta­kan, "Jam ini pe­nuh ke­nang­an. Ber­­tahun-tahun dia membuat kita berdua menik­mati irama lon­cengnya yang pernah ber­nya­­nyi merdu. Jangan, Sam, kita tak boleh merusak ke­nang­an yang dibe­rikannya.”

Aku mengalah. Tapi itu tidak ber­­arti aku tak 'kan bertengkar lagi de­­­ngan Ina. Dan aku gigih terus mem­­perbaikinya. Dan istriku terus pula menertawakan kegagalanku wa­lau tanpa perkataan “tolol”.

Dua tahun menjelang ulang ta­hun perkawinan emas kami, aku te­rus berusaha agar jam Junghun itu bisa menyanyi lagi, dan bunyi­nya ha­rus tepat 12 kali pada pukul 00.00 te­ngah malam 10 November. Di­mulai dengan cekcok mulut lagi, aku pergi ke Jatine­gara. Seorang tu­kang arloji kubawa ke rumahku. Istriku senyum mence­mo­oh­inya.

“Tenang dulu, Ina. Dia ini ahli jam generasi pe­ne­rus ayah­nya. Bah­­­­kan dia mengenal Ami Mah­boub Assegaf,” kataku ketika mem­­­­­perkenalkan tukang arloji itu ke­pa­da Ina.

Istriku mendehem. Anak muda itu bekerja keras. Keringat mem­basahi bajunya, sekaligus me­nye­barkan bau ketiaknya di ruang te­ngah kami yang nyaman. Akhirnya dia berkata putus asa: “Maaf, jam ini berbunyi 36 kali."

“Cukup, Nak. Memang dia gila,” kata istriku.

Yang mulai menjadi korban jam Junghun adalah Ina. Dia mulai ber­­­­langganan dokter spesialis pe­nyakit dalam. Ia menderita tekanan da­rah tinggi. Suatu malam dia men­jerit karena satu mimpi buruk. Ka­ta­nya, jam gila itu berbunyi 120 kali.

“Sabar, Ina. Kita jangan panik. Manusia tidak boleh ditak­lukkan oleh benda yang bermerk Jung­hun. Aku akan coba perbaiki sen­di­ri. Manusia harus mengalahkan ben­da mati ini,” kataku yakin.

Istriku menyebut lagi perkataan “tolol” itu. Ini menambah sema­ngat­­­ku, sampai aku berhasil! Aku me­­rayakan pesta emas 50 tahun per­­kawinan kami. Tengah malam pu­­kul 00.00 jam itu bernyanyi em­pat bait komplit, lalu mende­n­ting­kan loncengnya 12 kali. Sa­yang, saat itu istriku tidak men­dengar­nya, dan tak 'kan pernah men­de­ngar­nya.

Ya, kurayakan pesta emas per­kawinan itu seorang diri, diir­ingi kemerduan lonceng jam Junghun yang amat sangat indah.*** 

 

 

(Dimuat dalam Horison, September 1999)


 

Lelaki Tua dari Noumea

Oleh: Waluya DS

 

Seperti biasanya untuk menghilangkan ketegangan urat-urat badannya lelaki tua itu mengambil bubble bath. Sering satu atau dua jam merendam diri sambil mempermainkan buih-buih sabun yang memenuhi bath tub dia bisa merasakan kesendiriannya dan melupakan persoalan-persoalan yang menjerat perasan  serta pemikiran. Buih-buih sabun itu semakin bertambah setiap kali dia berkecimpung.

Diamatinya kedua telapak tangannya yang penuh dengan buih-buih  sabun yang memantulkan warna-warni pelangi. Sesekali ditiupnya buih-buih itu dan beberapa gelembung melayang berputar-putar. Dan setiap kali gelembung-gelembung sabun itu pecah dia merasakan satu kekecewaan seperti tergugah dari impian yang mempesonakan. Persis seperti masa ka­nak-kanaknya di halaman belakang rumahnya di Nou­mea, dengan pipa dari semacam rumput kering dia menghembus air embun dan belasan gelembung beterbangan dipermainkan angin. Suatu kali, satu gelembung tetap bergantung di ujung pipa rumput ke­­ring itu tak mau pergi. Dengan hati-hati dihem­bus­nya gelembung itu yang semakin membesar. Warna-warni pelangi terpantul dengan indahnya. Juga nampak bayangan dirinya yang lucu. Dia pikir bila gelembung ini terbang nanti bersama potret dirinya itu, dia pasti akan bisa melihat rumah-rumah, pe­po­hon­an serta sungai-sungai dari angkasa. Tapi dia be­lum mau melepaskan gelembung itu karena dia takut potret dirinya itu nanti akan merasa sendiri dan sepi di angkasa. Diamatinya dengan lebih teliti ge­lembung itu, mungkin ada awan atau saudaranya yang lain di dalam gelembung itu. Dengan hati-hati ditusuknya ge­­­lembung itu dengan ujung jarinya. Dan dia begitu tertegun, permainan dan impiannya justru mengu­kuh­­­kan rasa sepi dan sendiri.

“Di negeri leluhur kita, Nak, kau tak akan pernah merasa sepi atau sendiri.” Begitu tutur ibunya suatu hari waktu dia merengek karena tak ada kawan ber­main dan beberapa saudara tuanya tak ada di rumah, se­dang kedua orang tuanya selalu sibuk dengan usaha dagang mereka.

“Ceritakanlah negeri leluhur itu padaku, Ibu?”

Bila ada waktu ibunya dengan tak bosan-bosan ber­cerita dongeng-dongeng Panji, Ken Arok, Da­mar­wulan, Joko Tingkir, Aryo Jipang, Ki Pemanahan, Su­tawijoyo, bahkan juga bagaimana keramatnya Kreto Kencono Kanjeng Susuhunan. Dongeng-dongeng itu be­gitu indah dan memukau. Dan dia tak bisa me­nge­r­ti ke­napa orang tuanya me­ning­gal­kan Negeri Le­lu­hur yang begitu mempesona. Setiap perta­nya­an yang dilontarkannya selalu lewat tanpa terjawab.

Hanya secara kebetulan su­atu hari salah seorang sau­­­­da­ranya begitu jengkel dengan pertanyaan yang selalu ber­ulang-ulang memberikan ja­wab­an yang cukup memuas­kan.

“Rupanya dongeng-dongeng ibu telah begitu me­ra­cunimu, Rio.”

“Namaku Aryo dan bukan Rio,” protesnya. Dia le­bih senang dipanggil dengan nama sebenarnya yang lebih punya bobot karena nama Aryo mencerminkan da­rah bangsawan yang mengalir di tubuhnya.

“Nah, apa kataku, Rio. Kebanggaan yang baru kau tunjukkan itu tak ada artinya sekali di sini. Jangan kau biarkan angan-anganmu menggelembung dan me­nelan dirimu sendiri nanti.”

“Tapi namaku bukan Rio,” potongnya.

“Kau mau tahu jawabanku atau mau protes me­lulu?”

Dia hanya mengangguk karena jawaban sau­da­ra­nya terasa lebih penting daripada mempertengkarkan namanya.

“Bagus. Kau sudah menunjukkan satu kemajuan ke arah pemikiran yang praktis dan realistis. Lu­pa­kan­­lah dongeng-dongeng dan Negeri Leluhur itu. Le­bih baik kau coba membina hidupmu di sini; itu lebih penting.”

“Tapi itu hidupku sendiri.”

“Aku hanya ingin su­pa­ya kau tak kecewa nanti. Setiap adat dan ke­bu­dayaan punya kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dicomot di sana-sini. Kau hanya harus terima utuh.”

“Maksudmu?”

“Dengan bapak kita di Negeri Leluhur dahulu, dia merasa terpenjara oleh adat dan kebudayaan yang lebih merupakan beban daripada usaha manusia un­tuk memuliakan hidupnya. Sebagai putra seorang pa­ngeran yang dilahirkan oleh salah seorang selir, bapak merasa tidak punya tempat dan hak.

Pertemuannya dengan Tuan van Stifhout, pendeta Belanda yang akhirnya membaptisnya sebagai orang Kristen telah membukakan lembaran baru dalam hidupnya. Dengan salah seorang anggota jemaah ge­re­ja yang lain Babah Loo Cin Yong, bapak me­la­ku­kan usaha dagang bersama yang cukup berhasil. Se­bagai keluarga bangsawan jadi Kristen dan punya usa­ha dagang dengan orang Cina terlalu memalukan keluarga. Banyak usaha di­la­kukan untuk mendepak ba­pak. Salah satu di antaranya, waktu itu kau masih dalam kan­­­dungan, ada huru-hara yang dilakukan oleh kalangan tentara penjajah Belanda yang didalangi Tuan Sneevliet. Di­de­sas-desuskan bahwa bapak ikut terlibat hanya karena per­nah terlihat berbicara dengan Tuan Semaun yang me­ru­pakan kader Tuan Sneevliet. Dan juga diberitakan bahwa usaha dagang bapak sebenarnya hanyalah usaha terselubung untuk me­mu­dahkan gerakan kader-kader Komunis. Tentu hasil usa­ha dagang itu juga dipakai untuk membiayai ke­gi­at­­an mereka. Orang selalu dengan gampang men­ce­lupkan tangan untuk ikut mengeruhkan suasana, bu­kan? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan, karena cintanya pada kita semua, bapak mem­bawa kita untuk memulai hidup baru di Nou­mea.

Pernah kudengar bapak sedang bicara pada ibu bahwa bapak tidak menyesal sama sekali me­ning­gal­kan Jawa. Bahkan dia merasa beruntung meng­am­­­bil keputusan sebelum tuduhan atas dirinya men­ja­di-jadi. Beberapa tahun setelah kita menetap di Nou­mea, bapak de­ngar khabar bahwa orang-      orang Komunis atau yang dicurigai sebagai Ko­mu­nis di­bu­ang ke Digul oleh pemerintah pen­ja­jahan.”

Jawaban saudara­nya itu justru menim­bul­kan be­be­rapa perta­nya­an baru. Kenapa ha­rus meri­saukan martabat keluarga yang sebetulnya tidak dengan tulus menerima bapaknya sebagai bagian dari keluarga itu? Bukankah tanggung jawab bapaknya sebenarnya ha­nya pada keluarga mereka sendiri? Seharusnya ba­pak­nya lebih baik tetap di Jawa untuk membuk­ti­kan bah­wa dia tak ada hubungan sama sekali dengan ka­um Komunis. Dengan melarikan diri bukankah ini justru memperkuat tuduhan yang sebenarnya, bukan?

Semua perayaan itu selalu menggodanya, namun dia hanya diam saja karena sudah berjanji tak akan ber­tanya-tanya lagi. Memang tidak gampang me­mi­sah­kan benang yang kusut. Lebih baik memulai satu kehidupan yang baru seperti nasehat saudaranya. Tapi tak bisa di sini, di Noumea yang semasa bukan tempatnya. Dia betul-betul merasa tersisih mencari tempat berpijak meskipun saat ini hanyalah dalam dongeng-dongeng dan kerinduan pada Ratu Adil. Mung­­­kin dongeng-dongeng dan riwayat bapaknya se­be­tulnya tak pernah ada. Bagaimana kalau semua itu hanya tutur kata untuk menghiburnya saja? Tapi se­ti­ap kali melihat sekelilingnya, orang-orang Pe­ran­cis, orang-orang Kanak, dan dirinya begitu berbeda. Hanyalah orang Kanak orang pribumi. Orang Pe­ran­cis datang dari Eropa dan dirinya pasti punya tanah asal.

Betapa gembiranya ia ketika suatu hari sebuah ka­pal berlabuh dengan kelasi-kelasi yang bisa ber­bi­ca­ra bahasa Jawa yang sedikit-sedikit dia bisa me­nger­ti. Kapal itu bernama Dewa Ruci, sebuah nama yang pernah didengar dari dongeng ibunya. Dan para kelasi itu bilang kapal ini akan jadi kapal pelatih bagi pelaut-pelaut Indonesia. Dia merasa tidak begitu ak­rab dengan nama Indonesia. Para kelasi itu men­je­las­­kan bahwa daerah ini hampir meliputi sebagian besar daerah Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan pulau Jawa hanyalah sebagian kecil dari Indonesia. Dia merasa bangga ketika tahu bahwa tak ada pemerintah penjajahan lagi. Semua urusan ketatanegaraan sudah diatur oleh orang pribumi sendiri. Sedang Nga­yog­yakar­ta Hadiningrat menjadi daerah istimewa di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono.

Dia merasa begitu bahagia bahwa ternyata do­ngeng ibunya bukan hanya omong kosong belaka. Ta­pi ternyata punya pijaksana yang nyata bahwa ke­tu­runan Parikesit masih punya kekuasaan di pulau Ja­wa. Apalagi ketika dia tahu bahwa Sri Sultan men­ja­bat wakil presiden. Tiba-tiba dia merasa punya tu­gas yang harus diemban untuk mengembalikan ke­kua­saan mutlak Sri Sultan.

“Kau sudah gila, Rio! Lupakanlah angan-anganmu itu. Kita semua punya hidup yang harus diurus di sini. Kau kira orang-orang Jawa di sana tak mampu mengatasi tantangan hidup mereka dan memerlukan uluran tanganmu?” damprat saudaranya ketika dia me­rasa sebagai titisan Nabi Musa yang harus mem­ba­wa orang-orang Jawa di Kaledonia kembali ke t­a­nah leluhur.

“Tapi bukankah itu justru kelebihan kita?” be­la­nya. “Lihatlah orang-orang Perancis ke mana mereka berkiblat. Daerah ini bukanlah daerah Pasifik, tapi dae­rah Perancis Selatan. Kehidupan dan tata cara mereka tak ada yang berubah bukan? Lalu bagaimana dengan pendatang-pendatang Vietnam? Mereka me­ngi­rimkan uang dan senjata untuk melanjutkan per­juang­an melawan kekuatan Komunis. Kalau kita tak mau tahu-menahu soal asal-usul kita dan hanya me­mi­kirkan hidup kita di sini saja, kita tak akan jauh ber­beda dengan orang Kanak. Mereka menjadi go­long­an minoritas dan kehilangan hak di tempat me­re­ka sendiri. Kau tahu satu-satunya kesalahan me­re­ka justru karena mereka tidak berasal dari mana-mana.”

“Bicaramu sudah begitu ngawur. Mungkin kami harus mengundang dokter jiwa untuk memeriksamu.

Dengarkan kami baik-baik, Rio. Akhir-akhir ini kami semua merasa begitu khawatir tentang kegila­an­mu yang semakin parah. Kami sadar meng­hadapi beban mental merawat Jatmiko yang mati tidak hidup pun tidak, begitu berat. Apalagi masih ha­rus me­nga-suh cucumu Dewi bukan soal yang gampang.

Sadarlah, Rio, dan jangan kau biar­kan kegilaanmu itu berlarut-larut. Cobalah turun tangan bersama ka­mi mengembangkan keluarga. Dengan melakukan hal-hal yang positif akan mengembangkan self esteem­mu.”

Dia merasa usahanya membujuk sanak saudaranya sia-sia belaka. Tak ada seorang pun selain istrinya yang setia mencoba memahami jalan pikirannya.

Memang langkah per­ta­ma mewujudkan im­pi­an­nya itu semakin kabur se­telah Jatmiko, anak sa­tu-satunya mendapatkm kecelakaan ketika me­nye­lam di laut. Dia di­te­mu­kan dalam keadaan lum­puh. Kata dokter otaknya sudah rusak karena ke­ku­rangan zat asam. Jatmiko memang masih hidup. Ta­pi yang ada tinggallah tu­buh­nya yang harus di­tung­­­­­gu kerelaannya melepaskan dunia yang fana.

Rasa kehilangan Jatmiko bisa segera terobati ka­rena sepenuhnya perhatiannya tertumpah pada Dewi yang kehilangan ibunya waktu dilahirkan. Tumbuh harapannya suatu hari nanti Dewi akan bertemu de­ngan salah seorang pangeran dari Jawa dan mereka akan menurunkan Ratu Adil yang senantiasa di­nan­ti­kan itu. Dewi memang tumbuh menjadi wanita yang anggun semampai dengan tingkah yang lembut mempesona di samping otaknya yang cukup ce­mer­lang.

Untuk menjembati pertemuan Dewi dengan pa­nge­ran dari Jawa itu Dewi dikirimkannya ke Mel­baou­rne untuk menggali ilmu di Universitas Monash. Dari seorang kawan dia mendengar bahwa di Monash ada seorang Profesor Yahudi yang ahli dalam bidang politik di Indonesia dan juga seorang Profesor Be­lan­da yang ahli dalam masalah Mataram. Namun se­te­lah beberapa tahun di Melbourne, lewat surat-su­rat­nya Dewi tidak pernah menyebutkan penge­ta­hu­an barunya soal Jawa. Dia begitu tertegun mem­ba­ca surat terakhir Dewi padanya:

Jangan marah, Kakek, dari Profesor-profesor itu aku tak belajar apa-apa sama sekali. Mata inti dari ku­liah-kuliah mereka bisa dengan gampang ku­da­pat­kan dari buku-buku. Soalnya setiap orang bisa punya pen­dapat. Dan pendapat tanpa diberi ujud nyata da­lam perbuatan bagiku tak ada nilainya sama sekali. Aku lebih menemukan arti serta diriku sendiri dengan belajar melukis di Victorian College of The Arts.

Sekali lagi gelembung-gelembung impiannya re­tak. Tapi dia masih belum merasa bahwa impian itu su­dah di luar jangkauannya. Dia merasa perlu pergi ke Melbourne untuk memberi beberapa petunjuk pada Dewi.

“Jangan tergesa-gesa marah, Rio. Bukan salah De­wi kalau dia tidak mengerti rencanamu. Dewi bukan se­­bangsa serdadu yang hanya menjalankan perintah tan­­­pa berpikir atau mengajukan pertanyaan.” bujuk dan peringatan istrinya yang hampir selama per­ka­win­an mereka hanya se­la­lu mengiyakan kehen­dak­nya dan hampir tidak per­nah menyatakan pendapat sen­diri.

Dia harus merasa tetap tawakal dan sabar. Banyak garis bengkok yang masih bisa diluruskan pikirnya. Tanpa memberi khabar pa­da Dewi, dia dan istri­nya menuju ke Australia. Se­telah mendarat di la­pang­an terbang Tullama­rine mereka langsung menuju Hotel Windsor di bi­lang­an kota. Melbourne terasa begitu teratur dan ra­pi. Sedang kesan pertamanya seperti be­gitu formal dan konservatif. Dia begitu senang bahwa Hotel Win­d­­­­­­­sor adalah hotel yang mapan pu­nya sentuhan ko­lo­nial. Tidak seperti hotel-hotel mo­dern yang baru yang begitu trendi.

Setelah makan siang mereka menelpon Dewi yang tidak menyangka sama sekali bahwa kakek dan ne­nek­nya ada di Melbourne.

“Kakek dan nenek menginap di hotel apa?”

“Windsor di Spring Street,” jawabnya sambil mem­be­rikan nomor kamar mereka.

“Wah, itu hotel yang mewah. Kakek dan Nenek seperti sedang berbulan madu saja,” goda Dewi wa­laupun dia tahu bahwa kakeknya selalu punya selera yang tinggi. “Untung tidak ke Southern Cross, salah-salah kakek dan nenek bisa dikira turis dari Jepang.”

Sejauh ini dia masih merasa bisa mengontrol ke­adaan. Dia pikir kalau Dewi memang tertarik pada dunia seni mungkin lebih baik dikirim ke Yogyakarta. Di situ ada perguruan tinggi seni lukis dan sekaligus ju­ga merupakan pusat kegiatan kesenian tradisionil Jawa yang adi luhung. Berada di Yogya pasti akan meng­hasilkan pengalaman langsung mengenal dan terlihat dalam tata cara adat istiadat Jawa. Dan pe­lu­ang untuk ketemu dengan Sang Pangeran Jawa itu juga akan lebih besar.

“What a lovely surprise,” Dewi dengan wajah yang ber­seri-seri muncul di depan kamar ketika dia mem­bu­ka pintu, langsung memberikan ciuman di ke­dua belah pipinya. “I have a surprise for both of you too. Tapi kenalkan dulu, John. Ini Rio dan Handayani, ka­kek dan nenekku.”

Ya Allah ya Rabbi. Tak ada angin, tak ada men­dung dan hujan tapi geledek se­gera menyambar. Se­jak ka­pan Dewi berbahasa Ing­gris pada mereka. Mung­kin karena ada John; tapi paling tidak pada mu­lan­ya Dewi seharusnya me­nyapa da­lam bahasa Ja­wa. Tapi ma­salah beri­kut­nya yang disam­pai­kan oleh Dewi secara ka­lem itu me­nyam­­­­bar se­per­ti ledakan bom atom Perancis di Atol. Dewi se­dang me­nantikan ke­lahiran anak pertamanya!

Mer­asa dirinya sebagai pri­­yayi Jawa dia tak bisa me­nun­jukkan perasaannya yang se­be­narnya. Sedapat mung­kin di­usa­hakan me­nun­jukkan sikap kebija­k­sa­na­an calon seorang eyang buyut. John ternyata me­mang calon sang ayah yang tinggal bersama Dewi se­lama dua tahun belakangan ini. Tapi mereka tidak pernah me­nye­butkam rencana kawin sama sekali. Se­belum mereka pergi, karena John ha­rus memberi kuliah dalam waktu setengah jam lagi, ter­nyata dia ma­sih bisa menahan diri dengan meng­ajak mereka makan bersama malam nanti.

“Ya, Dewi akan telpon dulu nanti waktu pulang dari periksa di ahli kandungan,” ucap Dewi sebelum pergi.

Dia tidak bisa mengerti sama sekali bahwa Dewi bicara hamil di luar perkawinan tanpa rasa rikuh atau ma­lu, bahkan seperti bangga sekali. Dihem­pas­kan­nya badannya ke kasur dan langit-langit kamar seolah berputar. Dari bathroom terdengar bunyi kran dibuka. Gemericik air mengingatkannya pada kolam hias di halaman depan rumahnya.

“Lebih baik kau mandi dulu, Rio. Air sudah ku­siap­kan semua,” kata istrinya sambil men­g­hampiri­nya. “Kita bisa bicara dengan tenang nanti.”

Dia lepaskan semua pakaiannya dan dibiarkannya terpuruk di karpet. Sebentar lagi istrinya pasti akan membenahi. Dengan telanjang dia berjalan me­nye­be­rang kamar menuju ke bathroom. Sebelum masuk ke bath tub dilihatnya bayangan tubuhnya di kaca, masih nampak cukup tampan untuk seumurnya. Dia membaringkan dirinya di bath tub dengan hanya kepalanya yang menyembul keluar. Da­lam hati dipujinya istrinya yang selalu de­ngan baik menyiapkan air un­tuknya, tidak ter­lalu panas dan campuran bubble bath cukup creamy dan kaya akan buih.

“Mandi yang bersih, Rio, kau banyak sekali kokot bolot seperti kuli yang ti­dak per­nah mandi.” Dia ingat ibu­nya se­la­lu me­ne­gurnya bi­la ia ter­la­lu la­ma ber­main-main saja di bath tub. Se­ka­rang tidak pernah ada se­­­orang pun yang meng­gang­gunya. Bia­sa­nya bila sudah ter­la­lu lama istrinya pasti ma­suk ke bathroom de­­ngan membawa han­duk yang bersih atau piyama.

“Rio, kau mau piyama atau ganti pakaian untuk nan­­­ti ma­lam sekaligus?” ta­nya istri­nya mem­ba­ngun­­­­­­­­­­­­­­­­­­­kan­nya dari se­ga­la ke­nangan.

“Beri aku pakaian yang ber­sih, aku kepingin jalan-jalan se­bentar di Bourke Street.”

Istrinya hanya mengangguk dan ce­pat-cepat keluar karena mendengar bunyi telpon ber­dering. Dia tersenyum sendiri, ingin dia me­nye­but istrinya Sembadra karena begitu bakti dan setia seperti istri Arjuna. Dikeringkannya tu­buhnya dengan handuk lalu ditaburinya dengan talek yang lembut baunya.

“Dewi yang baru saja telpon,” kata istrinya sambil memberinya sepasang pakaian yang bersih. “Dia bi­lang kalau kita mau makan yang agak kerakyatan kita bisa ke Victoria Street, ke restauran Vietnam. Tapi kalau kita kepingin makanan Barat dengan suasana yang tidak terlalu formal, lebih-lebih kalau kau mau mencoba sausages atau sate buaya sebagai entree, kita bi­sa ke Grill Room di basement, pintu masuknya dari Little Collins. Lalu kita bisa dapat supper di Graund Floor untuk ngobrol sambil men­dengarkan permainan piano.” Dia tidak begitu mengacuhkan kata-kata istri­nya dan sibuk me­nge­nakan pakaiannya yang bersih.

“Rio kau dengarkan aku atau tidak?”

Lama tak ada jawaban. Sesaat ke­mudian dia ber­ba­lik menghadapi istri­­­nya.

“Ya. Dan aku begitu heran bahwa kau hanya te­­nang-tenang seolah-olah tak punya pendapat sen­diri.”

“Pendapat dalam hal apa?” tanya istrinya.

“Kau tahu kenapa kita kemari!? Untuk apa kita ke Melbourne?”

“Kau jangan mem­ben­­­­­­­­takku seperti itu, Rio.”

Dia begitu tersentak ketika untuk pertama kalinya istrinya berani menegurnya.

“Dewi! Dia, dia....”

“O, itu. Kuharap kita bisa berbicara secara lebih beradab,” potong is­tri­nya. Dia begitu geram men­de­ngar kata-kata istrinya yang datar tapi cukup tajam.

“Sejak kapan kau ikut memusuhiku?”

“Kau mau mendengarkan pendapatku atau hanya mau memancing pertengkaran saja?”

Dia hanya melotot tak bisa percaya bahwa wanita yang sedang bicara di depannya adalah istrinya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya.

“Kalau soal impian gilamu mengenai Negeri Le­luhur itu terus terang saja aku tak punya. Mes­kipun keturunan orang Jawa aku hanyalah wong cilik ke­tu­runan kuli kontrak. Aku tak mau bicara, aku tak punya pendapat karena aku tidak tahu sama sekali soal Negeri Leluhur itu. Tapi soal De­wi, ya dia hamil, Rio. Anak yang dia kandung itu adalah buyut kita sendiri.

Kau boleh punya ukuran moral yang tinggi untuk hidupmu sendiri, Rio. Tapi kau tak boleh memak­sa­kan ukuran itu untuk hidup orang lain.”

Dia menarik napas pan­jang dan melangkah me­nu­ju ke jendela sambil setengah berkata pada dirinya sen­diri, “Kesalahanku kenapa aku tidak pernah berusaha mencari saudara-saudara ba­pakku di Jawa. Kalau aku tahu mereka, dulu Dewi pasti kukirim ke sana.”

“Kau tahu, Rio, kesalahanmu justru kenapa kau se­lalu bicara apa maumu saja dan tidak pernah memikirkan keinginan dan pikiran orang lain.”

Hening dan mereka berdua saling bertatapan.

“Aku mau pesan minuman, kau mau juga?” tanya istrinya.

Dia tidak menjawab dan istrinya pergi menelpon room service memesan sebotol anggur kesenangannya dan minta diberi dua gelas.

“Jangan kau anggap aku melawanmu, Rio. Aku bicara dengan jujur se­per­ti ini karena aku men­cintaimu. Aku ti­dak peduli apakah kau men­cintaiku atau ti­dak. Apakah kau ang­gap aku ini babu atau istrimu itu tidak soal ba­giku. Cinta yang tu­lus adalah cinta yang tan­pa pamrih. Ia adalah pengorbanan itu sen­diri.”

Tiba-tiba dia tidak tahan melihat air mata meleleh di pipi istrinya. Namun ia mencoba menutupi keharuannya. Dibu­ka­nya pin­tu ketika pela­yan datang membawa pesanan istrinya. Di­tan­datanganinya nota bon supaya bill itu di­ma­sukkan dalam re­keningnya nanti. Pela­yan itu ter­se­nyum lebar menerima tip yang lumayan.

“Shall I open the bottle now, Sir?”

Dia hanya mengangguk dan pelayan itu membuka botol serta menuangkan anggur ke kedua gelas untuk dia dan istrinya. Dia reguk anggur itu setelah si pe­layan pergi.

“Rio, apa yang kita cari dalam hidup ini selain kebahagiaan? Bagiku yang lain-lain tidak soal selama Dewi merasa bahagia untuk dirinya sendiri.”

Dia hanya mengangguk dan pelan-pelan terasa pundaknya yang berat menjadi ringan. Istrinya meman­dang­nya dengan pan­dang­an tidak per­ca­ya.***

 

(Dimuat dalam Horison, Maret 1990)


 

Tempat yang Terindah untuk Mati

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

 

Kami, 10.000 pasukan berkuda, akhirnya keluar dari hutan itu. Di hadapan kami kini terbentang padang stepa yang begitu luas bagaikan tiada bertepi. Setelah hampir berminggu-minggu hanya merayapi jalan setapak di antara pohon-pohon dan semak belukar, padang yang terbuka itu bagaikan pelepasan yang lebih dari memadai untuk melampiaskan kerinduan kami akan kebebasan, lepas dari kungkungan jurang dan tebing yang serba menjulang dan mencekam.

“Pacu!”

Orang-orang yang berada paling depan sebenamya tidak usah menunggu diperintah untuk memacu ku­da­nya, bahkan kuda-kuda itu sendiri bagaikan tidak lagi menunggu perin­tah untuk segera memacu diri me­reka, melesat secepat-cepatnya bagaikan berpacu de­ngan angin dingin yang bertiup begitu kencang menggigilkan tulang.

“Pacu!  Pacu!  Pacu!”

Kami semua berpacu sepanjang padang stepa yang terbuka sambil berteriak-teriak menuntaskan kegem­bi­raan kami. Kuda-kuda kami berpacu dengan riang, de­ngan tenaga baru yang seolah-olah begitu saja da­tang dari langit. Kuda-kuda kami menggebu, melesat dan menggebu, seperti mengerti betapa jiwa kami te­lah lama begitu tertekan dalam perjalanan berat me­­nempuh hutan yang rapat, gelap, dan penuh de­ngan rintangan. Kami menggebu begitu laju, seolah-olah bahkan jiwa kami kalau bisa lepas dari belenggu badan, mendesing menuju kebebasan. Namun se­ka­rang, cuma inilah yang bisa kami lakukan, berpacu me­lawan angin, dan berteriak-teriak meluapkan ke­gem­­biraan kami.

“Huuuu!  Huuuuu!  Huuuu!”

Satu per satu penunggang kuda yang keluar dari hu­tan segera melaju. Kami, 10.000 pa­sukan berkuda, ber­­­de­rap me­laju menuju cakrawala. Padang stepa di­se­limuti salju yang tipis, dingin angin bagaikan me­ngi­ris wajah-wajah kami yang sebetulnya toh cuma tampak matanya saja. Seluruh tubuh ka­mi terbungkus jubah bulu bi­na­tang yang tebal dan berat. Kami juga mengenakan topi dan se­pa­tu dari kulit binatang ber­bulu te­bal. Semuanya terbungkus, be­­gitu juga ta­ngan kami yang me­me­gang kendali. Para pembawa pan­ji, bendera, dan umbul-umbul kini membuka jalan ke depan. Bendera raksasa yang berkibar dan menyibak angin itu terlihat menggetarkan. Kuda-kuda kami sa­ling berpacu dengan perkasa, bumi bergetar oleh de­rap pasukan yang melaju dan menggebu.

Kaki-kaki kuda kami bagaikan tak mengenal lelah, berpacu dan berpacu, surai kuda-kuda kami yang te­bal melambai-lambai dengan megah dan seluruh ge­rak tubuh mereka bagaikan menari dengan indah. La­ngit hanya biru. Cahaya matahari menyiram padang. Setiap orang memacu kudanya ke cakrawala yang me­­lingkar 360 derajat. Hutan di belakang kami kini ba­­gaikan titik-titik hitam, dan segera lenyap di balik ka­ki langit. Kami bagaikan ber­pa­cu di atas per­ma­da­ni tanpa te­pi. Selama berjam-jam kami akan ber­pacu dan kami akan ta­hu bahwa pemandangan ini ti­­dak akan pernah berubah. Di te­li­nga kami angin bersiut dan men­deru. Kami terus-menerus ber­derap sepanjang padang. Ka­mi bersedia membayar se­ga­la­nya untuk perasaan merdeka yang kami dapatkan. Jangankan berpacu yang begitu meng­gem­bi­rakan, bah­kan perjalanan ber­ming­gu-minggu di dalam hu­tan yang melelahkan pun kami lakukan asalkan kami bisa mencapai tempat tujuan. Kami tahu, perjalanan kami masih jauh lagi, ki­ni kami mengambil peluang untuk meraih kegem­bi­raan.

Kuda-kuda kami terus berpacu dengan laju. Ku­da-kuda memang lebih dari sekadar bagian hidup ka­mi. Tanpa kuda, apalah artinya kami? Kuda-kuda ka­mi selalu mengerti apa yang kami inginkan, dan me­re­ka selalu memenuhi segala kehendak kami dengan memuaskan. Kami tidak mengerti apa jadinya hidup kami tanpa kuda. Kami selalu bepergian, selalu ber­pin­dah, selalu bertualang. Kami selalu berpindah se­suai dengan pergantian musim, perjalanan angin, dan per­edaran bintang. Semua ini tak bisa lancar tanpa ku­da sepanjang pengembaraan. Kini kami semua su­dah siap menempuh perjalanan yang terakhir, dan ku­da-kuda kami tetap setia mengikuti sampai akhir tu­juan. Kuda-kuda kami masih terus berderap, bagai ber­­pacu dengan angin. Telinga ka­mi semua penuh de­ngan de­sau, yang kadang-kadang ter­de­ngar seperti sebuah percakapan, namun yang maknanya seperti selalu menghindari kepastian.

Sampai di manakah suatu per­jalanan berakhir? Apa­kah mung­kin suatu perjalanan ber­akhir? Apakah mesti suatu per­ja­lanan berakhir? Sudah ber­ta­hun-ta­hun kami mengembara dan kami tidak pernah merasa ya­kin kapan suatu perjalanan bi­sa berakhir. Kami me­ngembara dan menjelajah se­ge­nap per­mu­kaan bumi untuk mencari suatu akhir, namun sampai se­karang tia­­da satu alasan pun bisa meng­hentikan ka­mi. Kami me­­­­­nyeberangi sungai, ka­mi mendaki celah-celah gu­nung, kami mengarungi gurun pasir, dan kini kami ber­­­­­­­pacu di tengah padang tanpa tepi, tapi kami tidak ju­ga ingin berhenti. Kami bi­sa berhenti dan menetap di suatu tempat untuk satu, dua, bahkan bisa lima ta­­­hun, namun kami selalu be­rangkat kembali. Rumah kami sekarang adalah perjalanan itu sendiri.

Padang stepa yang terbuka masih tidak mem­per­li­­hatkan apa-apa kecuali hamparan rumput kering yang kelabu dengan polesan salju. Begitu luasnya pa­dang gurun ini sehingga kami me­rasa berjalan di tem­pat. Apa­kah yang terjadi di tempat-tem­pat lain ketika ka­mi berpacu? Pa­nah seorang pemburu sedang me­lesat ke jantung seekor rusa ke­tika kami berpacu. Bu­rung-bu­rung kondor beterbangan me­ling­kar di langit mengincar pe­ngem­­bara yang sekarat ke­haus­an ketika kami berpacu. Seekor ikan salmon me­nang­kap umpan dan tersendal pancing ke udara ketika kami berpacu. Benarkah se­ekor gajah menegakkan belalainya dan me­leng­king­kan bunyi terompetnya nun entah di mana ketika ka­mi berpacu? Seseorang mendayung perahu menuju ma­tahari terbenam ketika kami berpacu.

Kami berpacu, berpacu, dan berpacu.

“Huuuuu!  Huuuuuu!  Huuuuuuu!”

Kami berderap dan berpacu memburu matahari yang terbenam ke balik cakrawala. Langit yang tadi ba­gai tempurung raksasa membiru kini semburat me­rah terbakar. Matahari terasa betapa berat, menancap kemerahan bagai kuil yang menanti penziarah dari se­genap penjuru bumi. Kami berderap dan berpacu me­nuju matahari itu. Langit masih membara. Kami, 10.000 pasukan berkuda, menjadi bayang-bayang ke­hitam­an yang melesat ke suatu arah. Kalau matahari itu menghilang di balik cakrawala, kami harus mem­burunya ke balik cakrawala.

 

***

Tempat itu dinamakan Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Ada sepuluh danau di lem­bah yang luas mem­ben­tang itu dan seharusnya ada sepu­luh rembulan meng­apung di atas sepuluh danau. Namun, ketika ka­­­­­mi akhir­nya sampai ke lembah itu, musim dingin be­­lum ber­a­khir sehingga sepuluh danau itu masih men­­jadi dataran salju. Bila bulan yang perak itu mun­cul di langit malam, caha­ya­nya dipantulkan kem­ba­li oleh permukaan danau yang diselimuti salju. Di se­tiap danau itu setiap 1.000 orang dari kami berkemah. Di Lem­bah Sepuluh Rem­bu­lan inilah kami akan me­nunggu 100.000 saudara-saudara kami.

Seseorang dari kami tam­pak meniup seruling di ke­jau­h­an itu. Ia meniup seru­ling sambil duduk di se­buah batu di atas tebing, seolah-olah berhadapan de­ngan rem­bulan - bahkan rem­bulan se­perti turun ke bu­mi hanya untuk mendengarkannya me­niup seru­ling.

Tapi apakah rembulan me­ngerti arti lagu seruling itu? Seruling itu berkisah tentang riwayat kami yang panjang dengan bahasa kami sendiri. Apakah rem­bu­­lan bisa memahami, betapa nun di sebuah benua yang jauh bertahun-tahun yang silam suku kami ber­ke­mas untuk sebuah perjalanan yang tak kami ketahui ka­pan akan berakhir? Apakah rembulan mengerti, be­tapa berat penderitaan su­­­ku kami sepanjang per­ja­­lan­an mengarungi benua itu, menghadapi segenap rin­­tangan alam maupun suku-suku musuh kami? Apa­kah rembulan mampu me­nang­kap gelora sema­ngat pe­­­­­ngem­­­­­­­­­­baraan kami? Tak te­r­­hi­tung lagi berapa           orang te­lah mati dan berapa bayi te­lah dilahir­kan se­pan­­jang per­ja­lanan dari kampung ke kampung, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, semenjak begitu banyak ta­hun yang telah lama berlalu.

Ia meniup seruling di atas tebing. Berkisah ten­tang kafilah panjang yang me­­nyeberangi gurun, orang-orang yang mengendarai ku­da dengan tertunduk, dan anak-anak yang tidur de­ngan­ gelisah di dalam ge­ro­bak-gerobak penuh barang dan bahan makanan, se­me­ntara seorang nenek tua ber­s­­­e­nandung dengan suara bu­ruk tentang tanah air yang su­dah mereka ting­galkan.

Lembah Sepuluh Rem­bu­lan adalah suatu lembah ger­sang dengan dataran yang sangat luas. Kami mem­­­­­biar­kan kuda kami men­jilati lelehan salju dan me­­rum­put di sana-sini. Ka­mi siapkan kantung-kan­tung tidur dan selimut ka­mi. Bukit-bukit batu yang men­ju­lang dan membentuk lembah ini melindungi kami dari angin sehingga kami bisa menyalakan api ung­gun. Di setiap api unggun ma­sih tampak orang-orang membakar sisa-sisa daging per­bekalan mereka dan me­­­­­ngunyahnya dengan la­hap. Beberapa orang ma­sih mi­num susu hangat yang ber­aroma teh, dan men­de­ngar­kan seseorang ber­ce­rita.

"Maka sang raja pun ja­tuh cinta kepada wanita dari negeri seberang itu...."

Kami selalu mem­bu­tuh­kan cerita, seruling, dan kuda. Kami me­mu­ja rem­bu­­lan dan matahari. Kami me­­­­nyem­bah langit, kami me­­nyembah bumi. Ka­mi men­­­­cintai keindahan se­per­ti men­cin­tai kehidupan itu sendiri.

Apakah yang akan kami lakukan selama hari-hari penantian kami? Tidur tanpa ten­da adalah suatu sik­saan yang berat bagi ka­mi, karena musim dingin yang se­lalu ber­angin akan terus-menerus menguji ke­ta­bah­­­an hati kami. Barangkali kami akan me­man­­faat­kan waktu untuk berburu, bu­kan hanya karena daging bi­na­tang buruan kami pe­r­lu­kan untuk menimbun per­be­kalan yang mulai me­ni­pis, tapi juga karena kulit ber­­­bulunya yang tebal kami butuhkan un­tuk membuat tenda. Apabila 100.000 sau­­­­­­­dara-saudara kami tiba, me­reka yang sebagian terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang tua, akan mem­butuhkan tenda-tenda itu. Tenda-tenda kami ada­­lah­ tenda yang besar dan hangat, sudah berabad-a­bad bentuk tenda kami ti­dak pernah berubah. Di da­lam tenda itu kami bisa me­masak sekaligus meng­ha­ngat­­­kan diri kami.

Ketika kami semua ber­siap tidur dan memandang bi­n­tang gemintang di la­ngit, peniup seruling itu ma­sih di sana, melanjutkan ke­rinduannya yang panjang akan kampung halaman ka­mi yang terletak di sebuah da­­tar­an tinggi di tepi su­ngai, dengan latar belakang pe­­gunungan yang menjulang megah. Seruling itu meng­ingat­­kan kami kembali kepada kampung hala­man leluhur kami yang sungainya tidak pernah mem­beku, di mana bila senja tiba di tepi sungai akan ter­de­ngar derai tawa ce­ria gadis-gadis yang mandi, se­men­­tara di kejauhan terdengar gemerincing anting-anting dari daun telinga yang panjang itu di­cuci. Suara-suara itu dibawa angin ke bukit-bu­kit di mana anak-anak gembala me­main­kan serulingnya sambil tiduran di atas ker­bau -- inikah sebabnya suara se­ru­ling itu mem­buat kami diam? Kami sedih. Kami pas­rah. Kadang kami tidak tahu apa yang ha­rus kami perbuat.

Kemudian, ketika suara seruling itu le­nyap ke ba­lik malam barangkali kami masih mendengarnya di dalam mimpi-mimpi ka­mi, menjelma gambar-gambar yang ber­ke­le­bat dari masa lalu kami. Betapa selalu masa la­lu ber­ada dalam diri kami, dan kami menyu­kai­nya ka­re­­na memang tidak pernah ingin kehilangan masa lalu ka­mi yang semakin hari serasa semakin in­dah.

Kami sudah menempuh perjalanan yang panjang dan kini kami ingin tidur. Angin masih terus bertiup dan tak akan pemah berhenti. Kami mengerti betapa angin akan mengembara ke segenap penjuru bumi, ba­h­kan ia menyeberangi samudera mahaluas, meng­hu­bungkan kami dengan segenap unsur kehidupan. Betapa segala hal di muka bumi ini saling berkaitan.

Kemudian, tinggal kesunyian di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami, 10.000 pasukan berkuda, tertidur dengan pulas, tiada yang mendengkur sama sekali. Di Lembah Sepuluh Rembulan hanya terdengar desau angin. Gemeretak api unggun segera berakhir. Tinggal bara api menyala diam-diam, makin lama makin menghilang. Maka terlihatlah gerak cahaya rembulan yang memantul di dinding-dinding batu. Rupa-rupanya bulan yang turun mendengarkan suara seruling mengangkasa kembali. Bertengger di atas sana. Sesekali tertutup awan.

 

***

Setahun kemudian seorang pengawal di atas te­bing berteriak.

“Hooooiiiii!  Mereka sudah datang!”

Kami semua segera melompat ke atas kuda, dan memacunya ke tempat-tempat yang tinggi. Sebagian yang lain malah langsung keluar dari celah lembah, dan terbentanglah di hadapan kami pemandangan yang menggembirakan itu, pemandangan yang kami nan­tikan. Tak kurang dari 100.000 saudara-saudara kami muncul dengan meyakinkan dari balik kaki la­ngit.

Hari sudah menjelang senja, langit bagai tenda rak­sasa berwarna ungu. Saudara-saudara kami masih merupakan sosok-sosok hitam yang seolah-olah ber­jalan di tempat. Dengan perasaan yang sangat tidak sabar dan menggebu-gebu, kami berlari-lari turun dari bukit, langsung melompat ke atas kuda kami. De­ngan segera, kami menggebu menyambut 100.000 sau­dara-saudara kami yang masih merupakan sosok-so­sok hitam di kaki langit itu. Ketika saudara-saudara kami melihat kami datang menyambut mereka, se­ba­­gian dari mereka yang mengendarai unta dan ber­kuda segera melesat ke depan ingin segera bertemu de­ngan kami.

Senja itu langit yang ungu serasa begitu cerah. Tia­da yang lebih menggairahkan selain kehendak yang menggebu menjumpai orang-orang tercinta. Mereka semua telah menempuh perjalanan yang panjang di jalan yang telah kami rintis. Tentulah jumlah mereka sudah tidak genap 100.000 orang lagi. Tentu ada yang mati dan lahir sepanjang perjalanan, seperti yang sudah-sudah, kami baru akan mengetahuinya nanti.

Kemudian kami melihat panji, bendera, dan um­bul-umbul yang sama. Ber­­­kibar dengan megah, ber­ge­tar-getar dalam tiupan angin. Se­mua ini meng­ge­tar­kan jiwa kami dan kami merasa betapa setiap detik dalam hidup ka­mi sangat mem­­­­­­­punyai arti. Ka­­mi meng­gebu dengan pe­ra­­saan rindu dan penuh de­ngan cinta. Seperti apakah mereka kini?

“Huuu! Huuuu!  Huuuu!”

Kaki-kaki kuda, berderap dan berpacu. Sosok-so­sok hi­tam itu makin lama makin mem­besar. Mereka yang ter­depan akhirnya bertemu mu­ka dengan kami. Masing-ma­sing dari kami kemudian ber­henti dan ber­hadapan. Rom­bong­an yang terdepan itu ma­sih me­nan­ti mereka yang ter­seok di belakang, dengan ge­ro­bak, kereta, gajah dan unta. Lebih banyak lagi yang ber­ja­lan kaki.

Kami semua turun dari kuda.

“Akbar!"

“Abdul!”

Kami semua berpelukan dengan penuh rindu dan penuh dendam. Kami tahu hari-hari akan menjadi lebih berat, namun kami juga tahu hari-hari kami akan lebih menggembirakan. Suku kami telah bersatu kem­­bali di bawah langit dan bumi yang sama. Wajah-wa­jah mereka tampak lelah dan kuyu, seluruh pa­kai­an mereka usang dan kelabu, penuh dengan debu, na­mun betapa dari sinar mata mereka terpancar jiwa pas­­rah dan ikhlas, siap me­nem­­­­­­­­­­puh perjalanan untuk ma­­­­­ti. Kami menyatu kembali da­lam gairah kehidupan yang pa­nas. Angin begitu dingin, na­­­mun tiada akan ada satu pun halangan kini bagi kami untuk meng­ung­kapkan suka­cita kami.

Begitulah kami akan mem­baca puisi di tepi danau, me­na­ri di atas perahu, memetik kecapi di puncak bu­­kit, dan melakukan meditasi bersama dari malam sampai pagi di ba­wah rembulan dan mata­ha­ri. Kami menatap saudara-sau­dara kami yang baru tiba dan merasa sedih meskipun gem­bira. Betapa mereka be­gitu tabah, dan kini begitu ku­­rus. Wanita dan anak-anak kami berambut kasar dan merah. Semua orang tam­pak tak terurus, tapi siapakah yang akan bisa tam­pak terurus dalam perjalanan panjang, menyeberang dari benua ke benua hanya untuk selalu pergi dan tak akan pernah kembali?

Kami terus-menerus saling berpelukan dengan je­rit dan tangis yang makin menjadi-jadi.

“Sarita!”

“Maneka!”

Mengapa kita bisa terus-menerus memikirkan se­se­orang meskipun kita berjarak begitu jauh dari se­se­orang itu dan telah berpisah begitu lama sehingga kadang-ka­dang se­benamya susah mem­­­­­­­­­­­­­­per­ta­han­kan ingatan atas seseorang itu dari hari ke hari dalam su­atu perjalanan yang terus-me­nerus berubah warna? Na­mun, betapa tiada jarak lagi ki­ni bagi kami. Ka­mi semua menemukan ma­sing-masing keluarga, kami berjalan kem­bali ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan sambil me­­­nye­nan­dung­kan lagu syu­kur dari hati. La­ngit mem­ber­kati kami. Pa­du­an suara lagu kami dipan­tul­kan kembali oleh dinding-din­ding tebing dan se­mua ini hanya meng­ingat­kan be­tapa kami sebagai ma­nusia sungguh memiliki nilai yang hakiki.

Kami membagi diri kami berdasarkan pemukiman di sepuluh danau sehingga setiap 10.000 orang dari sau­dara-saudara kami yang baru tiba akan bergabung dengan setiap 1.000 orang dari pasukan berkuda ka­mi. Kami tahu kami akan menyanyi dan menari malam ini. Kami akan membakar daging rusa dan kami akan memakannya sepuas hati. Kami akan membagi arak dan anggur dan kami akan menuangkannya ke atas daging bakar yang merah berasap membangkitkan lapar.

Kami begitu siap untuk ba­hagia, tapi kami me­na­han ke­gembiraan meluap kami se­ba­gai bekal me­na­han pen­de­ri­taan pada masa-masa yang akan datang. Ka­mi tidak ber­ma­buk-mabukan dan lupa da­rat­an, kami menyalurkan ke­ba­hagiaan kami dengan suatu cara yang hanya kami bisa melakukannya. Maka begitu­lah kami segera bekerja begitu tiba di Lembah Sepuluh Rem­bulan. Kami mendirikan ten­da bagi orang-orang yang sa­kit, kami mengatur pe­nge­lom­pokan sesuai dengan asal-usul setiap keluarga di kampung kami. Saudara-saudara kami yang baru da­tang itu begitu lelah dan begitu kurus se­hing­ga agaknya kami masih akan bertahan beberapa lama lagi di sini sebelum kelak ber­kemas dan berangkat kembali.

Kini semuanya sudah berada di Lembah Sepuluh Rembulan. Kami yang telah tinggal di sini selama setahun, bisa melihat bagaimana sepuluh rembulan itu mengapung di atas sepuluh danau selama musim pa­nas yang tetap saja dingin. Saudara-saudara kami yang 100.000 orang itu datang pada musim dingin, ja­di mereka hanya melihat sepuluh danau yang mem­beku. Bahkan ketebalan es di atas danau itu mampu menahan beban gajah yang berjalan di atasnya. Ga­jah-gajah yang kami bawa berbulu tebal, begitu juga un­ta dan kuda-kuda kami. Mereka begitu jinak, begitu mengerti, dan begitu penurut sehingga kami sungguh berterima kasih dengan segala pengorbanan mereka da­lam perjalanan kami.

Dalam perjalanan itu 53 orang dari kami me­ning­gal, dan kami menguburkannya di tengah jalan, se­men­tara itu 53 bayi dilahirkan sehingga jumlah sau­dara-saudara kami yang baru datang itu tetap genap berjumlah 100.000 orang. Adapun pasukan berkuda yang merintis jalan masih tetap berjumlah 10.000 orang.

Begitulah selama beberapa bulan yang tenang ka­mi tinggal di Lembah Sepuluh Rembulan. Pada musim semi danau masih membeku, namun rerumputan men­jadi lebih hijau. Ketika tiba musim panas, kami se­mua, 110.000 orang, berkemas dan bersiap me­lan­jutkan perjalanan.

Kami berangkat pada pagi subuh. Bulan masih meng­gantung di langit. Dari atas tebing kami me­no­leh untuk terakhir kalinya ke Lembah Sepuluh Rem­bu­lan. Kami melihat sepuluh rembulan mengapung di atas sepuluh danau, dan setiap orang yang me­li­hat­nya tersenyum dalam hati.

 

***

Sudah berbulan-bulan kami terus berjalan. Ketika matahari terbenam kami semua beristirahat dan tidur. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat lagi. Kami semua, 110.000 orang, melangkah perlahan-lahan menapaki jalan yang telah dikodratkan bagi kami. Begitulah kami berjalan, berjalan, dan berjalan mengarungi gurun, menempuh ngarai, menembus badai, dan menyeberangi sungai. Kami tidak pernah memacu kuda kami kecuali jika kami putuskan ber­henti sebentar untuk berburu. Kami terus-me­ne­rus berjalan dengan hati yang terpaut kepada cahaya. Ada semacam cahaya dari langit dalam hati yang terus-menerus bergerak setiap kali kami me­lang­kah mendekatinya. Kami, 110.000 anak manusia terus-menerus melang­kah, kuda dan unta melangkah pelan tapi pasti seperti doa yang diucapkan perl­a­han, khusyuk dan meyakinkan.

Kami jarang bercakap-cakap di an­tara kami karena hati kami sekarang ha­nya berisi penyerahan diri kepada ke­hi­dup­an. Bayi-bayi seperti tahu diri untuk ti­dak menangis, bahkan mata mereka pun bagai menatap sesuatu yang penuh dengan pesona. Barang­k­ali mereka juga melihat cahaya itu yang hanya bisa dita­tap dengan mata hati di langit jiwa ma­sing-masing yang mengerti dari mana hi­dup ini datang dan ke mana hidup ini per­gi. Kami berjalan menapaki jalur di an­ta­ra lembah, mendaki gunung-gunung batu, dan me­na­paki gigir-gigirnya yang mengerikan. Kami, 110.000 orang, de­ngan bayi di gendongan, orang sa­kit da­lam tanduan, dan hewan-hewan peliharaan yang tak bo­leh ditinggalkan, merayap di jurang yang curam, jalanan setapak berlumut yang begitu licin dan terlalu se­ring memelesetkan.

Kadangkala tiba saatnya seorang wanita harus me­la­hirkan di tengah jalan, maka sebagian dari kami pun berhenti mengurusnya, sementara yang lain me­ne­ruskan perjalanan. Rombongan kami membentuk ba­ris­an yang panjang bila melewati celah yang curam, menyebar seperti semut bila tiba di padang terben­tang. Mereka yang telah menjadi tua, lemah, dan lum­puh kami naikkan ke atas gajah-gajah kami yang ma­sih setia. Gajah-gajah ini berbadan besar, namun se­perti tidak mendapat halangan jika berjalan di dalam hutan, kaki mereka yang besar menapak dengan lin­cah di jalan setapak dan keseimbangan gajah-gajah ini sangat baik dalam pendakian dinding-dinding yang curam. Tentu mereka tahu jalan yang terbaik buat ga­jah sehingga kadang-kadang mereka harus me­mi­sah­­kan diri untuk bertemu lagi di suatu tempat lain. Kadang-kadang perpisahan ini bisa sampai berhari-hari lamanya, tapi kami rombongan 110.000 orang dengan segala hewan peliharaan tidak pernah benar-benar saling terpisah.

Begitulah di antara kami kemudian ada yang me­ninggal dan kami pun segera menguburnya tanpa me­ninggalkan upacara yang diharuskan. Semua orang yang pergi mendahului mati dalam pelukan cahaya. Mata mereka mengatakannya. Mereka yang mati da­lam perjalanan ini sebenarnyalah mati dalam ke­ba­ha­giaan. Arwah mereka membubung menyusuri ca­ha­ya, menuju sebuah dunia di alam sana yang hanya bisa dihayati setelah kematian. Itulah dunia yang kami rin­dukan, dunia yang kami impikan dari abad ke abad, dari dongeng ke dongeng, dari segala keinginan dan ke­hendak yang sejak lama terlukis di gua-gua leluhur ka­mi yang begitu gelap di mana mereka merindukan cahaya keabadian.

Kami melangkah, menapak pelan, terus-menerus ber­jalan, dengan kepastian bahwa jalan cahaya itu akan kami temukan. Setelah bertahun-tahun me­nem­puh perjalanan yang serasa alangkah panjang dari be­nua ke benua, kami kemudian merasa terbimbing oleh tan­da-tanda cahaya dalam jiwa kami yang penuh de­ngan keyakinan. Dari gurun ke gurun rombongan ka­mi berjalan, sudah lama juga kami tidak menjumpai tem­pat pemukiman maupun binatang. Dalam ke­nang­an kami masih tergambar dengan jelas betapa di tem­pat-tempat yang kami lewati pemandangan ter­pam­pang begitu indah sehingga kami kadangkala merasa terkecoh karena mengira inilah tempat yang kami rin­dukan. Namun kami tahu, meskipun matahari ter­be­­nam yang jingga itu begitu memukau di latar langit yang ungu, ini bukanlah tempat yang dimaksudkan dalam mimpi-mimpi kami tentang tempat yang ter­in­dah untuk menuju kematian karena tempat itu me­mang tidak terletak di muka bumi ini.

Tentu saja kami masih selalu teringat betapa pada awal keberangkatan segalanya terasa meng­gem­par­kan. Kami berangkat meninggalkan sebuah negeri di sebuah pulau yang segera menjadi kosong. Kami me­lewati desa dan kota yang penduduknya melihat ka­mi lewat bagai pawai panjang dari sebuah tontonan yang mengherankan. Sebegitu buruknyakah kehi­dup­an sehingga kematian bisa menjadi impian terindah bagi 110.000 orang yang tadinya hidup tenteram di tepi sebuah sungai dengan latar belakang pegunungan biru yang menjulang bagai tempat persemayaman dewa-dewa dari suatu dunia entah di mana bagai ne­geri yang hanya ada dalam dongengan? Kami pergi me­­ninggalkan kampung halaman kami dengan me­ning­galkan segala kebahagiaan yang telah kami da­pat­kan demi panggilan dari cahaya dalam mimpi-mim­pi kami.

Dunia kami memang berubah semenjak menerima tanda-tanda yang begitu memikat untuk diberi tang­gap­an. Kami semua bisa mengalami mimpi-mimpi yang sama dari malam ke malam yang penuh ke­aneh­an di mana bunyi genderang terdengar dari langit dan dari seberang sungai bagaikan terdengar paduan suara yang mengalun merdu dan menyejukkan. Kami se­mua terpana dan terpesona dan merasa segala-galanya tiada berarti lagi selain keinginan untuk menuju sum­ber suara dan mimpi-mimpi itu. Dari hari ke hari, se­­makin banyak tanda-tanda dalam mimpi-mimpi ma­lam kami dan betapa kami semua semakin merasa bahwa hanya dengan menuju tempat yang kami ingin­­­kan itulah terletak arti kehidupan kami. Maka begitulah hidup kami berubah ketika mendadak kami semua harus berkemas mempersiapkan sebuah per­ja­lanan yang belum bisa diketahui berapa lama dan ka­pan akan berakhir. Orang-orang tua di kampung me­ngatakan bahwa suku kami selalu mengalami hal-hal yang demikian semenjak abad-abad yang telah la­ma silam. Kami tak lagi mengerti apakah mimpi-mimpi kami merupakan warisan darah yang ditu­run­kan ataukah memang datang dari langit malam yang penuh dengan khayalan.

Langit merah di kaki langit. Kami, 110.000 anak manusia, masih terus-menerus berjalan di atas bumi yang fana.

 

***

 

Kemudian, tibalah kami pada suatu pagi di mana kami setelah bangun dari tidur yang panjang merasa tidak usah berjalan ke mana-mana lagi. Kami tahu betapa ketika kami menutup mata dan kemudian mem­bukanya lagi, kami telah melakukan perjalanan bersama cahaya ke suatu tempat yang tiada tertera da­­­lam peta mana pun di muka bumi. Memang masih se­perti gunung-gemunung tapi bukan gunung-ge­munung, memang masih seperti hamparan salju yang ter­poles di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal tapi bukan hamparan salju yang terpoles-po­les di sana-sini dengan hewan-hewan ternak ber­bu­lu tebal, memang, memang, memang langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi tapi bu­kan langit yang ungu membiru dan menggelap di kaki langit masih seperti sesuatu yang terdapat di muka bumi.

Garis cahaya yang meluncur sepanjang kaki langit melingkari kami. Tanpa diperintah setiap orang lantas melakukan semua persiapan untuk menanti saat itu. Ka­mi membasuh wajah dan telapak tangan kami dengan segantang air dari masing-masing perbekalan kami. Kami menanak sarapan pagi kami dengan per­ca­kapan sesedikit mungkin dan kami makan per­la­han-lahan tapi pasti untuk meyakinkan betapa kami akan menyambut saat-saat terbaik dalam hidup kami de­­ngan perut terisi. Semua orang mempersiapkan di­ri­nya tanpa kata tanpa angan-angan tanpa pertanyaan karena semua ini telah mengisi jiwa dan pikiran kami selama melakukan perjalanan bertahun-tahun meng­ikut­i cahaya di dalam langit jiwa kami.

Inilah pagi yang berembun dan berkabut yang per­lahan-lahan berpendar menampakkan siapa berada di selatan dan siapa berada di utara. Dari balik kabut itu, tampak kuda-kuda kami yang perkasa menatap kami dengan pandangan seolah-olah mengerti ten­tang segala hal yang akan terjadi. Pastilah dunia ini begitu luas dan begitu penuh kemungkinan sehingga jalan cahaya dalam impian ternyata mampu me­nam­pung 110.000 orang seketika lengkap dengan hewan-hewan peliharaan dan itu pun ternyata belum apa-apa. Kemudian kabut menjadi semakin tipis, me­ngam­bang, dan pergi. Kami tahu semuanya akan pergi dan berlalu seperti juga berakhimya perjalanan kami yang terlalu sulit untuk bisa diceritakan dengan kata-kata.

Langit ungu muda. Tiada mega di langit -- kami me­rasa saat-saat itu memang segera akan sampai. Sembari berjalan kian kemari setelah mengenakan busana terbaik yang kami miliki, kami menikmati setiap detik dari saat-saat kebahagiaan kami yang fa­na. Kami belum lagi mengerti kebahagiaan macam apakah yang masih bisa kami dapatkan lagi dalam ke­hidupan yang abadi. Hewan-hewan peliharaan ka­mi pun seperti tampak mempersiapkan diri. Gajah-ga­jah, unta-unta, dan kuda-kuda, mereka pun banyak yang mati sepanjang perjalanan, namun kami selalu men­dapatkan gantinya. Kami merasa sangat ber­te­ri­ma kasih kepada hewan-hewan peliharaan kami dan ka­mi merasa lebih dari layak bisa membawanya mem­bubung ke Negeri Cahaya.

Maka langit pun terkuak dan kami terkesiap. Kami hanya bisa menunduk dan merendahkan diri, hanya tegak di atas lutut kami. Tubuh kami bergetar dengan hebat dan kami merasa kecut. Tiada suara yang meng­ge­legar, namun dada kami berdebar bagaikan ter­de­ngar suara yang menggelegar. Cahaya yang terang me­nyi­laukan segera memutihkan dunia kami. Kami te­tap menunduk dengan perasaan tercekat, namun kami me­lihat segala-galanya memutih diserap cahaya. Pa­dang rumput memutih, panji, bendera dan umbul-um­bul kami yang berwarna merah pun memutih, se­gala-galanya memutih. Kami mencoba mengingat se­ga­la sesuatu yang berwarna dari kenangan dan mim­pi-mimpi kami, namun cahaya itu menembus dunia angan-angan kami sehingga segala sesuatu yang kami pandang dengan mata terbuka maupun tertutup ber­war­na putih. Kulit hewan peliharaan kami pun me­mu­tih, seperti juga seluruh busana terbaik yang kami ke­nakan, sepatu, kulit dan rambut kami, segalanya me­mutih lantas mengertap berkilauan seperti cahaya itu sendiri.

Begitulah kami semua, kemudian tidak bisa saling melihat karena di sekitar kami hanya cahaya yang ber­denyar-denyar menyilaukan membuat kami ma­sing-masing untuk pertama kalinya merasa sangat sen­­diri setelah dari hari ke hari hampir selalu bers­a­ma-sama semenjak dilahirkan di kampung kami. Tia­da lagi angin bertiup, tiada lagi debu mengepul, kuda-kuda berpacu, bayi menangis, dan suara seruling dari atas tebing pada malam bulan purnama. Sungguh se­mua ini terlalu menarik untuk ditinggalkan, namun se­perti juga air sungai dari sebuah sumber mata air di puncak gunung yang mengalir menuju lautan, be­gitu pula kami jalani kodrat kehidupan kami dengan tulus dan penuh keyakinan dengan perasaan bahwa semua ini memang suatu anugerah yang ter­lalu me­nye­nangkan. Begitulah kami menyerahkan diri de­ngan segala dosa dalam tubuh dan jiwa untuk disu­ci­­kan oleh cahaya itu sebelum kami berangkat ke akhir tujuan kami.

Lantas kami alami bagaimana jiwa kami dilun­cur­kan. Dari kelam ke kelam, dari cahaya ke cahaya, ke­­lak-kelok labirin yang memusingkan, gua pelangi yang menyilaukan.

Kami berangkat melewati tujuh rembulan, tujuh ma­tahari, dan berdoa di dalam tujuh kuil di atas awan. Langit yang berlapis-lapis memeluk jiwa kami dan ka­­mi kemudian merasa mampu berada di segala arah, dari barat sampai ke timur, dari selatan sampai ke uta­ra, secara serentak tanpa harus merasa berada di tem­­pat yang berlain-lainan. Begitulah rombongan ka­mi, 110.000 anak manusia, bangkit kembali dari tumpuan lutut kami dan kembali menaiki kuda-kuda ka­mi menyusuri jalan cahaya di langit yang telah ter­hampar di hadapan kami.

Kini kami semua telah menjadi anak cahaya yang memutih dan tidak saling mengenal perbedaan-per­be­daan kami karena kami semua hanyalah anak-anak ca­­haya yang saling menyilaukan dan saling me­lu­pa­kan. Hanya zat yang hanya bisa merasa bahagia di ja­­l­an yang terindah menuju kematian. Tiada lagi yang bi­sa kami lakukan selain meneruskan perjalanan, de­ngan atau tanpa badan, sendiri-sendiri maupun be­r­sama rombongan. Tiada yang lebih penting lagi kini se­­lain perjalanan menuju ketiadaan. Tiada yang lebih berharga lagi selain keindahan dalam kematian.

 

***

Kulihat di sepanjang langit, kemah-kemah awan. Apakah aku harus berhenti, atau meneruskan per­ja­lanan? Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari sua­tu perjalanan panjang ke satu tujuan kurindukan di­riku sendiri yang selalu berbisik perlahan-lahan. Se­makin jauh aku berjalan, semakin aku terikat kepada ke­nangan, semakin aku merasa diriku bukan bagian dari rombongan. Sudah begitu jauh aku berjalan, de­ngan segala derita dan pengabdian, dalam penyucian cahaya berkilatan, betapa bisa cahaya kesaksian tiada melihat kebohongan?

Kulihat satu per satu dari kami, 109.999 anak ca­ha­ya, ditelan gua-gua kebahagiaan di atas awan. Ba­rangkali ini memang tempat yang terindah untuk ma­ti. Aku melihat seribu cahaya berenang dan ber­ke­le­bat­an. Kulihat 109.999 anak cahaya melebur ke da­lam cahaya gemerlapan. Tinggal aku sendirian, me­nai­ki kuda putih di atas awan, melihat-lihat pe­man­dang­an.***

 

Ulaanbaatar - Jakarta, Maret-Juni 1996

 

(Dimuat dalam Horison, Juli 1996)


Enclave*

Oleh: Ramadhan KH

 

 “Arigato gozaimasu! Arigato gozaimasu!” (Terima kasih! Terima kasih!), Okayama-san me­ng­ucapkan kata-kata itu sam­bil membungkukkan ba­dan­nya dalam-dalam, be­be­rapa kali. Sungguh, de­ngan pe­rasaan haru dan sua­ra hik­­­mat ia lepaskan isi ha­ti­nya itu dengan tulus. Ia me­rasa benar-benar gembira. Gem­­­­­­bira sekali. Wajahnya jadi cerah seperti langit yang ada di atasnya.

Beberapa meter di depannya berdiri Pak Marta yang menerima ucapan terima kasih Okayama itu.

“Massugu! Massugu! Maju lagi! Maju lagi! Ayo, ke sana lagi! Lihat dari sana, dari tepian yang lebih jauh.” Pak Marta menganjurkan Okayama supaya melang­kah lebih jauh, melihat lautan itu dari tempat yang le­bih dekat ke pantai, sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Hay! Hay!” kata Okayama sambil lari-lari kecil, mengikuti anjuran Pak Marta. Ia senang mengikuti petunjuk Pak Marta, sahabat besannya, orang yang dirasakannya benar menjadi penolongnya di hari tua.

Di sebuah onggokan ia berhenti, lalu menatap ke kejauhan. Nikmat benar dirasakannya menerawang, mengikuti goresan kaki langit, menyapu lautan yang biru dan mengikuti gelombang yang beruntun bergantian sampai ke pantai.

“Tempat ini bagus sekali. Negeri ini indah sekali,” gumamnya, lalu menarik senyum sendirian.

Dari kejauhan ia berteriak dalam bahasa yang jauh daripada dikuasainya, tetapi sudah mulai dipelajarinya dengan tekun: “Bagusu-neh, bagusu-neh,” (Bagus, bagus) sambil melambai-lambaikan tangannya.

Seraya melangkah ia mereka-reka kembali ren­ca­na­nya yang sudah bermalam-malam bersama menan­tunya, Subarkah, membicarakannya. Dan tentu saja ia pernah merundingkannya juga dengan anaknya, Michiko, yang kali ini tertinggal di Osaka, tidak ikut terbang ke Jakarta.

“Bagusu-neh! Bagusu-neh!” ulangnya di depan Pak Marta.

“Senang? Senang punya tanah ini?” tanya Pak Marta dalam bahasa Jepang.

“Aaahh, senang, senang,” kata Okayama. “Tetapi ... tetapi ... ini bukan tanah saya. Ini tanah Subarkah dan Michiko. Bukan tanah saya.” Ia seperti mau menjelaskan kepada semua pihak, kepada penduduk di kampung itu, kepada pepohonan dan binatang-binatang yang ada di sana, bahwa tanah itu bukan miliknya, melainkan milik anaknya dan menantunya. Tetapi hati kecilnya tidak bisa membohonginya. Ia merasa, ia memilikinya juga, karena uang yang dibe­likan tanah itu adalah uang simpanannya. Dan ia gem­bira, sangat gembira, bahwa Subarkah mene­tap­kan, tanah itu atas nama istrinya, Michiko, di da­lam surat-surat jual belinya. Malahan terakhir sudah di­cantumkan dalam sertifikatnya, bahwa tanah itu milik Michiko, Nyonya Subarkah.

Pak Marta mengajak bicara Okayama-san dalam bahasa Jepang. Ia masih bisa berbicara dalam bahasa yang dulu pernah dikuasainya dengan benar selama jaman Jepang. Waktu itu ia duduk di sekolah mene­ngah di Bogor dan terkenal di antara sesama teman seko­lahnya sebagai murid yang paling pintar bahasa Je­pangnya.

Kalau tidak terpatahkan oleh kekalahan Jepang dalam peperangan, kemungkinan besar ia sudah dikirimkan ke Negeri Sakura untuk melanjutkan sekolahnya.

Bicaralah lagi Okayama-san dalam bahasanya. “Saya sekali lagi mesti mengucapkan terima kasih kepada Pak Marta-san, sudah menolong anak-anak saya, sehingga mereka mendapatkan tanah ini. Bagus sekali tanah ini. Kalau terlaksana, anak-anak saya akan mendirikan rumah di sini, dengan kebunnya yang bagus. Apa pohon kaki (kesemek, bahasa Jepang) bisa tumbuh di sini?”

“O, bisa tentu bisa. Disebutnya di sini, pohon kesemek,” jawab Pak Marta.

“Apa bunga anggrek bisa tumbuh di sini?”

“Bisa, bisa,” jawab Pak Marta meyakinkan sambil menatap Okayama. “Semua tanaman bisa hidup di sini. Lihat itu, pohon-pohon kelapa bagus-bagus di sini. Lihat, pohon pisang, pisang yang disukai Oka­yama-san, pisang raja, pisang ambon, pisang lumut, bisa hidup di sini. Asal diurus. Tanahnya, dicampur sedikit dengan tanah dari kebun saya di Cisaat. Bakal jadi bagus. Tidak ada tanaman yang tidak bisa tum­buh di sini. Tapi jangan minta pohon sakura tentunya. Hahahaha,” Pak Marta tertawa, diikuti oleh Oka­ya­ma-san. Juga Subarkah, sang menantu yang juga ada di sana mendampingi sang mertua, tertawa lebar. Ia pun senang bisa membuat mertuanya gembira. Bukan spesial karena istrinya jadi pemi­lik tanah itu di sana, melainkan karena mer­­tua­nya bisa mendapat kesi­buk­an yang bakal disukainya: bercocok tanam, di hari tuanya.

Bahwa Okayama-san, kini merasa senang, uang­nya bisa dipakai anaknya untuk membeli tanah di te­­pi pantai di daerah Sukabumi Selatan itu, adalah dise­babkan pengetahuannya bahwa di Jepang musta­hil ia bisa membeli tanah seluas itu. Di Jepang, apalagi di seputar Tokyo, orang menjual tanah dengan ukur­­an jengkalan, bukan meteran, karena mahalnya, se­ju­ta Yen sejengkal. Sekarang, di tepi Samudera Hindia yang elok itu, Michiko, anaknya, bisa memiliki tanah seluas satu hektar lebih. “Untuk siapa lagi uangku itu kalau bukan untuk Michiko (anak tung­gal­­nya),” Okayama pernah berpikir. Sebab itu ia be­ri­kan uang senilai empat puluh juta rupiah, sebegitu yang diper­lukan Michiko, untuk membeli ta­nah di kam­pung Sindanglaut, di tepi pantai di Sukabumi Se­lat­an itu. Okayama yang sudah pensiun dan diting­galkan istri­nya meninggal tiga tahun yang lalu, punya rencana ber­libur tiga kali dalam setahun, dan setiap kali berada di Sindanglaut untuk barang dua atau tiga bulan.

Di atas tanah seluas satu hektar lebih milik Michi­ko itu, sekarang sudah ada rumah kecil yang masih seder­hana. Tapi nanti rumah tua itu akan diganti de­ngan bangunan yang bagus. Okayama sudah punya gambar bentuk rumah yang akan dibangunnya di atas tanah milik keturunannya itu. Sebuah rumah potong­an Jepang dengan jendela-jendela dan atap potongan khas Jepang. Dan gambaran itu buat Okayama seka­rang, dengan uang yang sudah diperhitungkannya cukup, bukan mimpi pagi. Rencananya pun sudah bisa mulai dilaksanakan.

 

***

Okayama-san bersahabat kental dengan Kaku­tani-san. Mereka sama-sama duda. Tinggal tidak berjauhan. Dan sewaktu Okayama sudah berada lagi di Osaka, segera ia bercerita kepada Kakutani bahwa ia baru saja membeli tanah di Indonesia. Ia ceritakan de­ngan terperinci sekali berapa harga tanah yang dibelinya, atas nama siapa, di mana letaknya Sidang­laut itu, pemandangan seputar itu, dan sebagainya dan sebagainya.

“Dan bagusnya, bagusnya pemandangan di sana! Luar biasa! Pasti kamu pun akan suka,” kata Oka­yama-san kepada Kakutani-san yang juga mem­punyai cukup uang simpanannya.

“Dan istimewa lagi,” cerita Okayama kepada Kakutani, “dari tempat itu, selain ada laut yang bagus, ada daerah yang masih dihuni oleh badak, badak yang terkenal. Kesukaan kamu kan masuk hutan, melihat bina­tang langka?”

“Ya, ya. Apa sungguh begitu?”

“Sungguh!” kata Okayama meyakinkan.

“Tapi, bagaimana saya bisa membeli tanah di sana? Saya kan tidak punya menantu orang Indonesia,” kata Kakutani dengan nada rendah, seperti sudah tidak punya harapan.

“Mengapa kamu tidak punya akal?” kata Oka­yama. “Kamu kan belum punya istri lagi. Kalau saya seusiamu (--Kakutani lebih mu­da--), saya akan kawin lagi. Dan... akan mengambil wa­nita Indonesia. Cantik-can­tik lho, hahaha....”

Kakutani seperti kena gon­cangan yang membuat ia sa­dar. Ia pun pernah bertemu de­ngan ibu Subarkah, besan Oka­yama, waktu datang di Osaka. Dan terkenang sam­pai sekarang, bahwa wanita itu benar cantik walaupun sudah ada usia. “Pasti ia can­tik sekali waktu mudanya,” komentar Kaku­tani di dalam hatinya waktu ia pertama kali melihat­nya. Tetapi ia tidak punya keinginan lebih jauh, karena ayah Subarkah masih ada.

“Cantik-cantik?” Kakutani seperti mau tambah diyakin­kan, dengan nada suara se­per­ti berhasrat.

“Beneran. Cantik-cantik. Kalau kita jalan ke Sindang­laut itu, kita bisa lewat di se­buah kampung yang nama­nya Kadupandak. Saya per­nah di­ba­wa oleh kenalan saya lewat di sana. Di Kadu­pan­dak itu ba­nyak sekali yang cantik. Sung­guh! Kamu bisa bergairah lagi jika lewat di kam­pung itu. Saya pun waktu lewat di sana, merasa jadi muda kembali. Hahaha! Dan... dengan uangmu yang ada di bank se­­­karang, kamu bisa dapatkan seorang. Kebiasaan mereka pun baik-baik. Mereka tidak perlu kita ajar lagi supaya tinggal di rumah. Itu sudah kebiasaan mereka.”

Kakutani jadi berpikir beneran. Dan terbetik has­rat­nya: “Kalau istriku setia, dan mau menerima ke­bia­saanku, dan bisa membeli tanah yang luas, me­nga­­pa pula aku mesti simpan uang itu? Dengan uang cuma sebegitu mustahil aku bisa membeli tanah di negeriku sendiri ini. Kalau istriku menyenangkan, mengapa aku harus kikir dengan tidak memberikan uang kepadanya untuk bisa memiliki tanah yang luas dan bagus, dengan pemandangan yang indah seperti yang diceritakan Okayama? Aku pun tentu bisa me­nik­­matinya.” Ia pun ingat, bahwa ia sekarang sudah se­batang kara.

 

***

Saatnya pun tiba. Kakutani dan Okayama sudah ada di Jakarta.

Malahan ini yang kedua kalinya sudah. Mereka berdua menginap di sebuah hotel di jalan Thamrin, dan sudah pergi ke Sindanglaut.

Cepat sekali prosesnya, Kakutani memperlihat­kan seorang wanita yang luma­yan cantiknya kepada Okaya­ma. Ia, pada mulanya, tidak ceritakan bahwa Nurse­ha, be­gitu nama perem­puan yang dibawanya, dite­mu­kan­nya di sebuah panti pi­jat.

“Kami akan kawin,” kata Kakutani kepada Okayama.

Waktu ada kesempatan ber­­dua Kakutani dan Okaya­ma, Kakutani bercerita bahwa Nur­seha memenuhi hasratnya dan tidak banyak permintaan­nya. “Hanya meminta supaya sa­ya ma­suk agamanya. Dan saya se­pakati. Nampaknya aga­­­­manya kuat. Cuma keada­an eko­no­mi­nya saja yang per­nah membawa dia ke tempat pan­ti pijat,” kata Kakutani se­te­­lah didesak di mana mere­ka bertemu.

“Kalau sudah begitu, apa bisa ia sekarang tinggal di rumah?” tanya Okayama yang ragu.

“Ia berjanji. Dan kamu yang mengatakan bahwa pe­­rem­puan Indonesia itu bisa ting­­­­gal di rumah, bukan? Nulse­ha (--ia tidak bisa meng­ucap­kan r--) sendiri sudah janji, cuma kalau ber­sa­ma saya ia akan ke luar rumah.” Kakutani sudah bisa melupakan apa yang telah terjadi dan dialami Nurseha sebelum ini. Ia bisa meng­hapus apa yang sudah-sudah. Yang dipenting­kannya hari depannya.

“Bagus, bagus kalau begitu,” kata Okayama. ”Dan soal tanah itu, bagaimana?” tanya Okayama lagi setelah ia ingat pada tanah yang sudah diinjaknya bersama, di samping tanah Michiko.

“Jadi. Tentu saja jadi. Itu kan benar bagus. Dan benar murah,” kata Kakutani. “Sesudah kami nikah, saya akan belikan istri saya tanah yang itu.” Kakutani menarik wajah bangga dan serius.

“Kapan akan nikah?” tanya Okayama-san.

“Secepatnya,” jawab Kakutani-san.

 

***

Benar juga. Tidak lama setelah itu. Kakutani dan Nurseha melangsungkan perhelatan di Sukabumi, disaksikan oleh Okayama. Pernikahan itu dilaksa­na­­kan di depan penghulu, setelah Kakutani meme­nuhi syarat yang diminta oleh Nurseha dan keluar­ganya.

Tanah di Sindanglaut yang berdempetan dengan milik Michiko pun kemudian dibeli Nurseha atas namanya. Lebih luas daripada yang dimiliki Michiko dan lebih mahal harganya. Tetapi terbeli oleh Nurseha yang membuat surat janji, bahwa kalau sampai ia dan suaminya bercerai, uang senilai pembelian tanah itu akan dikembalikan. Nurseha merasa pintar. Ia sudah menghitung, bahwa nilai tanah akan cepat naik, dan uang rupiah tak akan bisa mengejar harga tanah. Tetapi Kakutani-san merasa pintar juga, ia merasa senang, bahwa ia nanti bisa berlibur di tempat yang ba­gus itu, di tepi pantai yang lautnya biru, cerah langit­­nya, dan gelombangnya amat memikat. Apalagi di pagi hari, atau di sore menuju senja. Dan ia pegang surat-surat tanah itu.

“Mustahil aku bisa punya tanah sebagus itu dan seluas itu di negeriku sendiri,” pikir Kakutani. “Aku akan sering saja berada di sana.”

 

***

Di sebuah organisasi di kotanya, Kakutani punya sahabat akrab, Kanazawa-san, tempat ia mence­rita­kan rahasia hidupnya. Sebab itu pula ia tak ber­alang­­an men­ceritakan tentang tanah yang dibelinya, atas na­ma Nurseha yang pernah ditemukannya di sebu­ah pan­ti pijat, tapi sekarang sudah jadi istrinya.

Kanazawa-san, pemborong bangunan, tergerak juga hatinya. Ia pun ingin memiliki tanah sebagus seperti yang diceritakan temannya. “Benar murah,” pikir­nya, setelah ia membandingkan dengan harga tanah di negerinya. Soal jarak Jepang - Indonesia, tak dirasakannya jauh. Ia pun sudah beberapa kali mem­baca brosur-brosur tentang perjalanan ke Indone­sia dan apa yang bisa dilihat di negeri di se­belah selatan itu.

“Tapi bagaimana kami bisa membeli tanah di sa­na?” tanya Kanazawa kepada teman akrabnya.

“Bisa. Pasti bisa. Kata orang di sana, di sana segala bisa diatur. Pasti ada cara-caranya. Apalagi sekarang, segala di sana sudah terbuka. Kita diajak oleh mereka untuk datang ke sana, untuk usaha. Tetapi yang pasti lagi, kita bisa tinggal di sana semusim-semusim. Ka­lau musim dingin di sini, dan kamu merasa encok di sini, kita bisa tinggal di sana. Di sana kan selalu ada ma­tahari. Percayalah, kamu akan senang tinggal di sana. Pantainya bagus. Lautnya bagus, bagus sekali. Kamu tidak akan bisa membeli tanah seluas itu de­ngan seluruh kekayaanmu yang kamu miliki di sini. Tentu yang ukurannya luas yah,” kata Kakutani.

 

***

Kanazawa-san terbang bersama Kakutani dan Okayama ke Jakarta. Lalu mereka pergi ke Sindang­laut. Kanazawa-san takjub melihat daerah pantai Samudera Hindia itu.

“Bagaimana cara membelinya?” tanya Kanazawa.

“Ini, ini orangnya yang bisa membantu kita,” kata Kakutani sambil menunjuk seorang laki-laki yang bekerja di Kecamatan di Sidanglaut, yang tempo hari mengatur pembelian tanah untuk Michiko dan Nurseha.

“Bapak ini, Pak Kosasih, bisa menolong kita,” kata Okayama sambil memegang tangan Kosasih.

Kosasih yang pernah membantu kedua orang itu dengan urusan tanah di sana, dengan kebutuhannya, tersenyum lebar. Ia tentu saja senang. Sudah dua kali ia pernah mengatur jual beli tanah dengan orang- orang Jepang itu dan memasukkan uang ke kantong­nya sendiri lebih dari lumayan. Tetapi, sebenamya hati nuraninya pernah goyang, terasa tak menentu, tetapi keuntungan yang diperolehnya menghapus kegelisah­annya itu. “Tak ada kesalahan saya,” pikir­nya. “Yang satu kali untuk menantunya bersama anak­­­­­­­nya. Yang kedua kali untuk istrinya. Orang kita-ki­ta juga. Sah-sah saja,” pikirnya.

Okayama dan Kakutani lalu mengajak bicara Ko­sasih yang sudah siap untuk membantu. Sudah tergitik juga hati Kosasih oleh gambaran bahwa kali ini ia bisa beruntung banyak lagi. Ia mengetahui, ada sebi­dang tanah luas yang juga tidak jauh letaknya da­ri tanah Michiko. Tanah itu bekas perkebunan ke­cil, tapi sudah tidak terurus. Dan akan dijual. Teta­pi terhalang oleh beberapa rumah kampung dari ta­nah Michiko.

“Tidak jadi soal. Rumah-rumah kampung itu bisa dipindahkan,” kata Kosasih dengan menarik senyum lebar. Ia pun yakin, bahwa yang dikatakannya itu bisa jadi kenyataan. “Apa yang tidak bisa dengan uang?” pikirnya.

Ketiga orang Jepang itu pergi ke tanah bekas perkebunan kecil itu, dibarengi oleh Kosasih dan dua orang kawannya, seorang yang lebih tua, Ramdan, seorang lagi yang lebih muda, Garnida.

Ada kekurangan di tanah bekas perkebunan kecil itu yang terasa oleh Kanazawa-san. Tetapi Kosasih, lewat Okayama yang sudah tambah pintar berbahasa Indonesia, bisa meyakinkan, bahwa kekurangan yang dirasakan oleh Kanazawa itu nanti bisa diatasi. Tanah itu tidak nempel pada pantai.

Kanazawa-san menginginkan membuat semacam hotel di sana.

“Tetapi hotel akan laku kalau menempel pada laut,” kata Kanazawa kepada Okayama dan Kaku­tani.

Kosasih seperti bisa menangkap apa yang diingin­kan oleh Kanazawa. Sebab itu ia cepat berkata kepa­da Okayama: “Kami bisa atur. Tidak ada yang tidak bisa diatur di sini. Tanah yang menghalang-halangi itu, antara lahan ini dan laut, bisa diatur supaya jadi jalan ke pantai. Supaya nyambung jadi bagian tanah ini,” kata Kosasih sambil menarik wajah senyum dan meyakinkan. Ia pun yakin dengan uang segala bisa beres. Ia merasa, bahwa atasan-atasannya yang ada di Kecamatan dan di Kabupaten akan setuju, se­ham­par­an tanah yang ada di tepi laut itu digabungkan saja dengan tanah bekas perkebunan kecil itu.

Ia berpikir lagi. “Ini jadinya proyek pemba­ngun­an.” Kata "pembangunan" itu melintas sejenak saja di kepalanya, tapi menyebabkannya jadi merasa kuat. Kata pembangunan itu mengubah kesulitan yang tadi pernah mengganjal sebentar di hatinya.

“Pasti bisa! Pasti bisa!” kata Kosasih kepada Ka­na­zawa. Kemudian kepalanya digerakkannya meng­hadap ke arah Kakutani, lalu ke arah Okayama, me­minta dukungan. Ia menunggu kepastian.

Ketiga orang Jepang itu mengangguk-angguk. Lalu mereka berbicara dalam bahasa mereka. Kosa­sih mendengarkan saja, tak mengerti sepatah kata pun, tapi harapan menyelinap di antara perasaannya.

“Ya, asal benar bisa diatur begitu, tuan Kanazawa tertarik," kata Okayama.

 

***

Selang beberapa waktu, Okayama-san, Kakutani-san dan Kanazawa-san sudah berada di Indonesia lagi. Mereka tidak membuang waktu. Sindanglaut mereka tuju.

Masing-masing mengatur kepemilikannya. Oka­ya­ma yang sekali ini didampingi Michiko dan suami­nya, Subarkah, sudah mulai dengan membangun ru­mah yang mereka cita-citakan. Rumah tua sudah di­bong­kar. Tiang-tiang baru sudah dipancangkan. Ka­ku­tani-san pun langsung mengukur-ukur tanah yang akan dipakai untuk bangunan rumah yang bakal dihuni bersama Nurseha. Ia tidak kepalang bergerak, segala bahan yang diperlukannya sudah ia siapkan dari dan di negerinya. Tinggallah nanti ia mencari tu­kang-tukang yang bakal diperbantukan kepada arsitek Jepang yang bakal membangun rumahnya itu.

Kanazawa-san dikerumuni oleh pegawai-pegawai dari Kecamatan Sindanglaut. Beberapa orang pega­wai Kabupaten Sukabumi pun ada di sekelilingnya.

Rencana bangunan hotel sudah siap. Soal tanah yang menghalang-halangi sudah terpecahkan. De­ngan duit, apa yang tidak bisa dibereskan di kampung ini, pikirnya. Dan ia sudah jadi lebih pandai, atas an­jur­an penasihatnya ia sudah menggaet orang di Ja­kar­ta penguasa penting.

Penghuni beberapa rumah yang menghalang-ha­langi antara tanah Michiko dan Kanazawa pun sudah sepakat untuk pindah. Entah berapa ongkos memin­dahkan mereka yang sebenarnya. Orang-orang Jepang itu tidak tahu. Uang siluman tak jelas masuk ke kan­tong saku siapa. Tanah yang menghalangi-halangi per­kebunan kecil dengan laut itu pun sudah diatur oleh orang-orang di kantor Kecamatan, di kantor Ka­bupaten, malahan di kantor Gubernuran, sehingga bi­sa dipakai untuk keperluan Kanazawa-san yang pu­nya uang banyak. Kanazawa-san nampak tenang-tenang saja. Sebab memang setelah diperhitungkan­nya, masih jauh lebih murah daripada jika harus mem­­bangun di negerinya.

Maka pembangunan dimulai di daerah itu.

Nampak sekali ada kesibukan di wilayah yang tadinya kampung itu. Dan bertambah lagi kericuhan di daerah itu, karena bukan saja Okayama-san, Ka­ku­­tani-san dan Kanazawa-san yang membangun di sa­na, melainkan ada Saito-san, ada Tanaka-san, Ta­ka­­hashi-san dan beberapa lagi orang Jepang yang bu­kan saja tertarik, melainkan sudah mulai membangun di daerah yang tadinya masih ladang tegalan, sawah musiman dan kebun terlantar itu.

Orang-orang Jepang itu mendengar kemungkinan-kemungkinan itu dari mulut ke mulut. Brosur-brosur pariwisata pun sampai pada mereka. Dan semua meng­­­hitung: tanah di Sindanglaut itu benar-benar ja­uh lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Tokyo, atau yang di Osaka atau yang di Okinawa se­ka­li­pun. Mereka seperti sudah berpikir, bahwa dunia ini untuk kita semua, untuk semua penghuni bumi. “Untuk siapa saja, untuk kita, yang bisa membelinya dan membangunnya,” pikir mereka. Untuk pihak yang pintar, pikirnya. Ya, semua kedudukan pun bisa kita capai, pikir mereka. Dan mereka ingat pada beberapa kursi yang ada di sejumlah negara di luar negeri me­re­ka yang sudah diduduki oleh bangsa mereka, ke­tu­runan mereka.

 

***

Maka ramailah pembangunan di Sindanglaut. Ke­ba­nyakan peralatan dan malahan bahan-bahannya pun didatangkan dari Jepang. Sebab kebanyakan pe­milik tanah itu _lewat menantu, istri, sahabat dan pel­bagai cara dan ilmu yang tak jelas duduk per­ka­ra­nya_ memungkinkan rumah-rumah dan bangunan lain­nya di sana berbentuk seperti di kampung asal me­reka. Sampai-sampai bangunan yang seperti toko dan hotel pun disusun dan berbentuk bangunan Jepang.

 

***

Pak Marta datang di Sindanglaut. Ia pun sudah mendengar kabar dari orang tua Subarkah, sahabat kentalnya, bahwa di kampung di tepi Samudera Hin­­dia itu sudah berdiri satu daerah enclave, daerah kan­tong Jepang.

“Siapa yang salah?” pikirnya, lalu ia sebentar merenung.

Ia menjawab sendiri: Okayama-san adalah mertua Subarkah. Michiko adalah istri Subarkah. Nurseha ada­lah istri Kakutani. Kanazawa-san adalah pengu­sa­ha yang diajak datang untuk menanam modal. Ia sudah bergabung dengan anak-anak pembesar di Jakarta. Saito-san idem dito. Okahara-san sami ma­won. Anaka-san menempuh jalan yang juga tidak se­be­rapa sulit dirasakannya. Kosasih sudah punya ru­mah baru dan istri baru di Sukabumi dan keluyuran dengan mobil Suzuki yang paling mutakhir. Garnida sudah naik motor Honda yang paling diidam-idam­kan­nya dan paling disenanginya.

Lebih dari duapuluh orang Jepang sudah mem­ba­ngun di daerah Sindanglaut itu, di atas tanah yang le­­bih dari dua ratus hektar. Jangan ditanya asal usul tanah itu: tanah wakaf pun sudah berubah catatan­nya.

Tinggallah Ramdan yang berjongkok menatap orang-orang yang sedang mengangkat-angkat kayu dan besi itu dari kejauhan. Bukan saja hatinya ter­gang­gu, gamang, untuk ikut serta dalam pem­bangun­an itu, tetapi ia sudah tua. Melangkah pun su­dah sa­kit­-sakitan. Di hatinya ia merasa tertinggal, kare­na rumahnya pun sudah tergusur.

“Tetapi siapa di daerah ini yang tidak tergusur, Pak Marta?!” kata Ramdan kepada Pak Marta yang duduk di kursi di depannya. Suara Ramdan terdengar melas sekali, menyayat hati orang yang diajaknya bicara.

Pak Marta tidak sanggup menatap wajah Ramdan yang sudah kurus dan keriput itu. Ia arahkan tatapan­nya ke kejauhan, ke langit yang bersih, ke kaki langit, ke lautan yang biru, ke ombak yang bergelombang.

“Pilihanku benar,” kata Pak Marta kepada Ram­dan yang tetap jongkok di dekatnya. “Tempat ini bagus, benar bagus. Tetapi....” Ia tidak meneruskan ingatannya. Ia seperti menelannya.

“Jangan jongkok terus begitu, Bapak,” ajak Pak Marta kepada Ramdan. “Duduklah di sini. Di sini masih ada kursi.”

Ramdan mengikuti ajakan Pak Marta, bangkit dan duduk di kursi.

“Bagaimana perasaan Bapak melihat kampung ini sekarang?” tanya Pak Marta. Ia sendiri diliputi bebe­rapa pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Ia gundah, terjepit antara sesal dan senang. Ia ingat, permulaannya amat sederhana. Kelanjutan­nya jadi amat serius.

Dengan ragu, Ramdan, orang tua itu, menjawab: “Entahlah. Dulu saya pernah benci kepada orang-orang Jepang itu, Pak Marta.”

Pak Marta cepat mengerti.

Sementara itu Kosasih datang. Ia menarik wajah gembira. Mukanya pun nampak licin, bersih. Sudah gemukan bentuk badannya dibanding dengan beberapa bulan yang lalu. Pakaiannya serba baru dan mencolok. Kendaraannya, mobil Suzuki diparkirnya di halaman kantornya. Percakapannya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa. Ia merasa berjasa, ter­utama kepada istri-istrinya, anak-anaknya, orang tua­nya, mertua-mertuanya. Ia sudah bisa membelikan mereka pelbagai barang modern yang biasa dita­yang­kan di televisi yang ia saksikan di rumahnya.

“Berapa umur Bapak?” tanya Pak Marta kepada Kosasih. “Tidak mengalami jaman Jepang?”

“Ah, saya belum lahir waktu itu,” jawab Kosasih.

“Bapak bekerja di Kecamatan, kan?” kata Pak Marta.

“Ya, Pak. Tadinya saya mau dipindahkan ke Su­ka­bumi, tapi saya menolak. Daerah ini mesti diba­ngun, Pak.” Ia setengah membusungkan dada. Hati kecil­nya berbisik jujur. “Di sini lebih meng­un­tung­kan.”

Di tengah itu Garnida muncul dengan menaiki motornya.

“Wah, kamu sudah punya motor segala sekarang, yah,” kata Pak Marta.

“Alhamdulillah, Pak,” kata Garnida.

“Maju yah. Hasil kerja di sini?” tanya Pak Marta.

Ramdan mengetahui silsilah pembelian motor itu. Maka ia menyelip menyambung pembicaraan: “Ru­mah­nya, rumah orang tuanya, digusur, Pak. Ia pindah ke kampung di balik bukit itu.”

“Ya, Pak Kosasih membujuk kami, Pak,” kata Garnida. Ia bicara sesungguhnya. Ia tidak menatap ke masa depan, juga tidak pernah berkenalan dengan buku-buku tentang masa lampau. Ia terhitung pe­mu­­da masa sekarang yang diusik oleh pelbagai ta­yang­an barang jualan di layar kaca dan hanya me­mi­kir­kan masa ini, hari ini, saat ini, detik ini.

Sekali Garnida bertatapan muka dengan Ramdan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tak ada jembatan penghubung yang mengaitkan pembicaraan serius di antara mereka. Dan yang tua serta yang muda, sudah seperti kelelahan jika harus berpikir.

Suasana pun seperti direka untuk jadi demikian.

Sementara itu pembangunan di daerah enclave ber­­jalan terus, mengikuti pihak yang menginginkan. ***

 

*) Enclave = Daerah kantong.

 

(Dimuat dalam Horison, September 1997)

 


Horison, Agustus 2000


Jati Diri

Oleh: Nh Dini

 

Pak RT tergesa masuk, bertanya kepada istrinya:

“Mana Iwan?”

“Belum kelihatan.”

“Jum’atan apa tidak dia.”

Istrinya tidak menang­gapi, karena Pak RT se­perti berbicara kepada di­ri­nya sendiri.

Perempuan itu sibuk menghitung bungkusan gula pasir yang baru se­lesai dia timbang. Satu on, seperempat, setengah dan satu kilo-an. Kini ma­sing-masing menge­lompok, di­ta­ta di rak warung. Te­tang­­ga lebih banyak mem­­­­­­­­beli kurang dari satu ki­lo. Maka kan­tung-kan­tung plastik kecil lebih ban­yak terisi di rak-rak itu.

Sudah tiga tahun ba­paknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering men­­­da­pat persenan ke­un­tung­an menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia me­mang mahir mem­pe­nga­ruh­i calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai make­lar tanah dan rumah.

Pada suatu ketika, uang yang dia terima cu­kup untuk membeli se­buah rumah reyot di ping­­gir jalan, tidak jauh dari pa­sar Jatin­galeh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Se­mua tergantung pada komisi yang di­sepakati.

Iwan adalah sulung dari empat anak.

Pak RT bukan kepala keluarga teladan, karena anaknya lebih dari dua, lebih dari tiga. Sekarang se­te­lah rezeki semakin deras datang, dia bahkan se­ma­kin mengkhianati program pemerintah: dia ingin me­nambah dua atau tiga anak lagi. Dia pikir, buat apa rezeki kalau tidak untuk membangun keluarga besar! Padahal, tempat yang telah dia miliki itu sudah sangat pas. Dua anak lelaki, dua perempuan. Ke­betulan yang pe­rem­puan ber­ada di tengah-tengah. orang Jawa bi­lang: Sendang kapit pan­curan.1

Ketika ayahnya men­jadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil de­la­pan tahun. Dan se­jak ayah­­nya mem­­­­­punyai ke­­­dudukan ter­sebut, se­ka­ligus meng­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­urus­i mu­da­-mudi kam­­pung, se­kaligus se­lalu repot di to­ko material bangunan, se­mua­nya berubah bagi Iwan.

Dia merasa hidup le­bih leluasa. Dia bebas, ka­­rena bisa berbuat apa pun sesuai kemauan­nya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk ma­kan siang. Sore ketika ke­­banyakan ke­luar­ga ber­kum­pul, Pak RT ma­sih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pu­lang sebelum pu­kul tu­juh, dia berge­gas mandi lalu pergi lagi me­mim­pin pertemuan ini atau itu di salah satu ru­ang­an kan­tor kelu­rah­an.

Jika ada tetangga yang usil bertanya me­nga­pa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering ada­lah “Saya ha­rus ke per­temuan.”

Atau:

“Muda-mudi itu ha­rus ada yang meng­arah­kan.”

Adik Iwan sudah be­rang­kat remaja, men­ja­di gadis kecil dan berani mem­pro­tes:

“Bapak pergi-pergi terus! Kalau tidak di toko, selalu di kelurahan!”

Anak-anaknya sangat hafal de­ngan jawaban Pak RT:

“Di toko aku tidak mengang­gur! Aku mencari uang buat kalian! Buat kita!”

Yuni, adik Iwan yang paling ce­rewet menginginkan ayahnya ka­dang­kala datang ke sekolah meng­am­bil rapor seperti orang tua-    orang tua lain.

“Aku tidak punya waktu,” itu­lah jawaban Pak RT. Lalu diter­us­kan: “Biar ibumu yang pergi.”

Iwan hidup di luar, nyaris men­jadi anak jalanan, menggerom­bol bersama teman-teman sesama se­ra­gam SMU di perhentian bis, di warung-warung kopi atau di kios ro­kok yang juga menyediakan mi­nu­man pembakar tenggorokan. Rokok yang dihisap bukan lagi merk dikenal, melainkan lintingan da­un kering yang mampu mem­bi­kin perasaan melayang-layang. Tu­buh Iwan kurus kering. Tetapi tak sa­tu­ pun anggota keluarganya mem­perhatikan.

Semua nampak bahagia. Ke­luar­ga Pak RT kelihatan sejahtera. Pen­duduk sekitar tetap banyak yang tidak mampu. Tapi mereka me­nyukai Pak RT yang selalu pe­nuh pengabdian.

Rumah berganti ubin. Kini lan­tainya keramik putih berkilau. Ba­gi­an depan, seluruh kepanjangan dinding tertutup bahan yang sama, sehingga terang memantulkan ca­ha­ya hari. Ketika rumah di sam­ping dijual, Pak RT langsung mem­be­linya. Dia bikin sebuah ruangan polos, menjadi bangsal aula cukup besar. Di situ tikar digelar. Lalu dilengkapi meja-meja pendek. Ka­tanya, “Ini untuk pertemuan-per­te­mu­an. Pintu-pintu bisa dipasang atau di­copot. Bapak-bapak, PKK, mu­da-mudi rapat di sini. Dengan be­gitu, Mak kalian dan aku tidak akan sering berada di luar.”

Di waktu itulah ibu Iwan ber­ka­ta kepada suaminya, “Bikinkan aku warung. Se­ka­rang anak-anak sudah besar, aku ti­dak perlu memngawasinya. Aku ingin mencari uang sendiri. Beri aku modal. Kecil-kecilan saja. Ha­nya kebutuhan rumah tangga se­­ha­ri-hari.”

Ternyata dagangan itu pun ber­jalan lancar. Yang dijajakan di wa­rung bertambah: alat-alat tulis, bah­­­­kan perangko, meterai, obat-obatan.

Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang. Dan ka­rena rezeki berlimpahan, pem­ban­tu yang dua orang ditambah satu lagi. Kadang-kadang menjadi tiga jika saudara ibunya Iwan da­tang dari lereng gunung Sumbing. Kemenakan, adik atau saudaranya ipar, siapa saja yang berasal dari de­sa sama. Pembantu itu bisa bertam­bah lagi di saat tetangga da­tang mengobrol. Kebanyakan pen­duduk di sana tidak se­be­run­tung keluarga Pak RT. Mereka se­lalu kekuran­gan. Selalu ada yang le­wat, lalu singgah, lalu membantu mengerja­kan ini atau itu. Ke­mu­di­an, tiba-tiba, dia ingat harus me­na­nak nasi atau menjemur cucian. Ibu­­nya Iwan tidak lupa menyum­pal­­kan uang dua ribu ke dalam geng­­gaman si tetangga. Di lain wak­tu, ada tetangga yang berani berkata, “Kalau boleh, minta gula dan kopinya saja sedikit.”

Dan kalau itu sudah diberikan, ada yang sampai hati menunjuk stoples di atas rak, sambil katanya:

“Apa boleh minta tehnya? Buat satu kali cem-ceman2 saja.”

Ibunya Iwan baik hati.

Sama seperti suaminya, dia ter­ke­nal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak me­no­long dan membantu penduduk se­ki­tar. Itulah salah satu sebab me­nga­pa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana.

Pada suatu siang, Iwan sengaja memperlihatkan diri, turut ber­sem­­­­bahyang Jum’at di belakang ayah­nya. Mereka pulang bersama, berjalan kaki menuju rumah yang terletak tidak jauh dari masjid. Ka­li itu Iwan bahkan makan siang di me­ja keluarga. Yang terkumpul ada­lah ibu, ayah dan dua adiknya.

Sambil makan, Iwan menge­luar­kan kalimat yang sejak beberapa pe­kan didiktekan teman-teman­nya. Dia minta dibelikan ken­da­ra­an.

"Tidak usah baru, Pak. Asal masih bagus jalannya. Buat seko­lah.”

Pak RT punya sebuah kijang. Untuk toko, semula dia sediakan satu kendaraan bak terbuka. Tapi pe­kan kemarin dia tambah satu la­gi, karena seorang kenalan ter­de­sak kebutuhan uang, menawarkan­nya kepadanya. Bisa dibayar dua ka­li. Kebetulan memang ba­paknya Iwan sedang berpikir-pikir akan menambah sarana penataran pe­sa­­nan yang semakin sering datang. Orang terus membangun. Di ma­na-mana orang memerlukan kayu, ba­tu atau pasir. Sekarang, ken­da­ra­an yang kedua itu melulu hanya untuk mengangkut bahan-bahan kotor. Sedangkan yang pertama, se­lain buat keperluan toko, akan le­bih mudah disewakan buah pin­dahan atau lainnya jika bak be­la­kang selalu kelihatan bersih.

“Apa kamu naik kelas nanti kok minta dibelikan kenda­raan,” suara Pak RT tidak bertanya. “Ka­mu sudah memperbaiki pres­tasimu di kelas? rapormu yang pa­ling akhir jelek sekali, bukan?”

Ru­panya si ayah masih ingat juga bahwa anak sulungnya men­ce­­tak empat angka di bawah se­dang di catur wulan yang lalu. Hal ini agak mengejutkan Iwan. Ka­re­na dalam keseharian, Pak RT tidak pernah menunjukkan kepedulian tentang kehadirannya. Lebih-lebih menyuruhnya belajar.

“Kalau punya kendaraan sen­di­ri, aku bisa mengantarkan Yuni setiap pagi,” Iwan kelihatan tidak was-was mengenai angka-angka di rapornya.

“Itu benar,” tiba-tiba si ibu ikut urun bicara. “Apa lagi ini nanti mu­sim hujan, kendaraan umum selalu da­tang terlambat karena jalan ma­cet. Anak-anak repot, kena hu­jan...”.

“Di kelas, tinggal aku yang be­lum punya kendaraan,” kata Iwan la­gi. Dan dia tidak khawatir ayah­nya akan menyelidiki kebe­na­r­an­nya. Kebohongan memang sudah men­dasari hidup Iwan. Yang dia ka­takan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering me­­nga­takan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan de­mikian. Kadang-kadang, ke­nya­taan dan harapannya sudah begitu me­nyatu, sehingga dia sendiri ter­je­rat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.

Teman-temannya menyuruh Iwan mengambil uang di warung Mak. Kini teman-teman itu me­nyu­­lut api pemberontakan ter­ha­dap Pak RT:

“Ayahmu kaya. Baru saja mem­beli kendaraan lagi untuk toko­nya. Pa­dahal seharusnya kamu yang dibelikan kendaraan! Minta saja! Kalau kamu punya roda dua, kita bisa cari uang. Bisa turut berpacu di Jatidiri,” begitu kata Herman, temannya yang paling menonjol. Di mana ada kegiatan ber­ke­lom­pok, Herman-lah yang menge­pa­lai.

Stadion Jatidiri besar. Se­be­tul­nya merupakan kebanggaan pen­du­duk ibu kota propinsi. Tetapi pe­manfaatannya sangat kecil. Rum­put ilalang bertumbuhan nya­ris setinggi orang. Jika pertandin­gan akan diselanggarakan di sana, barulah bagian-bagian tertentu di­rapi­kan. Sudut dan selinapan yang dekat pagar dibiarkan, se­hingga ta­naman dan perdu liar berduri ber­desakan menjadi sarang aneka bi­natang melata. Di sanalah, di wak­­tu malam, terjadi kebut-ke­but­­an. Pemuda-pemuda tanggung memacu kendarasan mewah ber­o­da empat atau dua, sampai mobil-mobil dan kendaraan roda dua lain yang setengah rongsokan. Mereka tidak hanya melampiaskan nafsu mengatasi lawan dengan kece­pat­an. Di sana mereka juga meng­ham­ba­kan diri pada kemaksiatan ber­ju­di.

“Benar,” kata kawan Iwan yang lain. “Kalau Khodir yang bawa ken­da­­raanmu, pasti kita menang. Lalu kita bisa bikin oplosan lain. Aku men­dapat resep baru dari te­tang­ga yang datang dari gu­nun­gkidul...,” dan yang disebut Khodir meng­ang­guk-angguk. Dia yang paling lama memiliki kendaraan. Seusai seko­lah, menjadi kernet om­­­prengan. K­a­rena badannya le­bih tinggi dan besar dari anggota ke­lompok itu, se­mua teman Iwan sungkan kepa­da Khodir.

Iwan termakan oleh gosokan itu.

Tetapi Pak RT tidak termakan oleh rayuan si anak. Dan karena merasa permintaannya tidak bakal terpenuhi, Iwan meninggalkan ru­mah sebelum keluarga selesai me­nyu­nyah pisang. Dia keluar ma­sih mendengar omelan Mak ter­ha­dap suaminya, “Sampeyan3 ini bagaima­na! Pu­nya anak lelaki, sulung, ti­dak di­man­ja. Minta kendaraan saja...”.

Lalu alur keseharian kembali se­perti semula, berlanjut biasa.

Hanya, pada suatu pagi ketika Mak akan membuka warung, ter­ke­jut bukan kepalang karena ua­ng yang dia selipkan di belakang stop­les di rak paling atas hilang. Sam­pul coklat masih ada tetapi kosong. Terakhir dia masukkan uang kemarin malam, jumlahnya men­­dekati tujuh ratus ribu.

“Pasti Iwan yang mengambil!” kata Mak seorang diri. Dia mengira ana­k­nya marah karena per­min­ta­annya ditolak Pak RT.

Mak tunggu anak sulung itu se­ha­rian. Baru muncul hampir pe­tang. Mak takut bicara kasar, dia tung­gu lagi sampai anak itu mandi, lalu akan mengenakan baju. Mak tu­rut masuk kamar. Alangkah ter­ke­jut dia melihat tulang iga Iwan yang mencuat, dadanya kerem­peng. Rupanya baru kali itulah dia me­nyadari betapa kurusnya si su­lung yang dia bangga-banggakan.

Mak bertanya mengapa meng­ambil uang sebanyak itu. Biasanya, pa­gi Iwan dan Yuni disuruh meng­ambil uang sendiri di kotak di da­lam laci. Tidak banyak. Paling-pa­ling lima ribu. Kalau ada ke­per­lu­an sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, un­tuk apa uang itu.

Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Her­man. Dia mau buka usaha, ka­sih­an ti­dak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”

Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.

“Nanti kalau usahanya ber­ja­lan, Herman akan mengem­ba­li­kan. Malahan mungkin dengan bu­nga,” kata Iwan lagi.

Mak lega.

“Apa usaha temanmu?”

“Bengkel kecil-kecilan, di muka sekolah, bersama tukang pompa ban.”

Lalu Iwan terburu-buru, me­nutup kancing baju, menggosok ram­but dengan kain apa saja yang tersampir di sana.

“Mau ke mana?” Mak bertanya. “Makan dulu! Kamu kurus. Muka­mu pucat. Tadi siang kamu juga ti­dak pulang makan.”

“Aku jajan bakso tadi,” Iwan menyahut, sudah menyambar tas dan melangkah ke pintu kamar akan keluar, berhenti lalu katanya “Minta Rp 10.000, Mak”.

“Ke mana?” Mak masih meng­ikuti, tangannya mengulurkan satu lembar sepuluh ribuan.

“Mau belajar bersama teman-teman. Besok pagi langsung ke se­kolah.”

Mak harus puas dengan jawab­an tersebut, karena si sulung su­dah berlalu. Rambutnya masih ba­sah dan belum disisir. Tapi tidak apa-apa, Iwan pergi untuk belajar di rumah kawannya. Hati Mak tenang. Di sana tentu disuguhi ma­kan­an. Apa lagi, anaknya bawa uang, bisa jajan. Banyak makanan dijajakan di malam begitu. Mak berpikir, lebih baik mengetahui anaknya berada di rumah teman, tidak keluyuran. Itu baik.

Itu memang baik jika memang demikianlah kejadian yang se­sungguhnya. Dan yang se­sung­guhnya terjadi ialah, dua hari ke­mu­d­ian orang tua diminta datang mengambil rapor. Seperti biasa, Mak yang berangkat. Kepala se­ko­­lah menemuinya bersama se­ke­lompok orang tua lain di ruang ter­sendiri. Juga hadir dua guru.

Rupanya, anak-anak mereka tidak naik kelas. Rapor anak-anak itu semakin lama semakin jelek. Khodir berkali-kali mangkir, Her­man sudah dua bulan tidak masuk. Iwan sendiri, tidak nampak di sekolah sejak empat hari.

“Dia berangkat sekolah setiap pagi,” istri Pak RT berkata mem­be­­la anaknya.

Seorang guru melihat ke buku catatan, menanggapi, “Hari Senin masih masuk, tapi Selasa, Rabu sampai hari ini tidak kelihatan.”

Dan yang lebih-lebih menge­jut­kan para orang tua kedua teman Iwan, ialah anak-anak mereka su­dah setengah tahun tidak mem­ba­yar uang sekolah.

“Kami menerima uang tes, ma­ka kami memberi kelonggaran meng­­­­ikuti tes untuk akhir catur wulan. Kami kira, ibu-ibu akan melunasi uang sekolah sekarang,” ka­ta kepala sekolah.

“Bukankah Herman membuka usaha di depan sekolah?" Ibu Iwan merasa perlu mengutarakan pe­ngetahuannya.

“Usaha apa?” hampir serempak mereka yang berada di sana ber­tanya. Yang paling nampak adalah ibu­ Herman.

Mendengar itu, Maknya Iwan men­jadi ragu. Dengan suara terba­ta-bata, katanya, “Buka reparasi kecil-kecilan bersama tukang ban...” dan Mak itu hampir me­le­pas lanjutan ka­li­mat, bahwa Iwan mengambil uang banyak sekali dari warungnya untuk ‘dipinjamkan’ kepada te­man­nya itu.

Ketika kepala sekolah merasa sudah cukup mengorbankan wak­tu­­nya untuk mereka, dia me­mu­tus­kan:

“Se­baik­nya ibu-ibu berbicara kepada anak-anak Anda. Jangan sam­pai terlanjur mendapat penga­ruh buruk dari jalanan. Kecuali An­da, Ibunya Iwan. Anak Ibu pu­lang ke rumah setiap hari, bukan?”

Mak kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab secara tepat. Sejak si sulung lulus SLTP, dia menganggapnya sudah besar. Sudah tahu sendiri apa yang harus dikerjakan. Pak RT tidak pernah menyuruh-nyuruh anak itu ber­buat begini atau begitu. Jadi Mak juga meniru suaminya. Sekarang, ka­lau Iwan pulang makan, mandi atau untuk keperluan lain, Mak senang. Tetapi kalau anak itu tidak kelihatan, ya dia pasrahkan saja ke bawah Lindungan Yang Maha Ku­a­­sa.

“Dia pulang sore. Katanya ba­nyak tambahan pelajaran,” akhir­­nya itulah yang dikatakan Mak.

“Memang banyak ekstra kuri­ku­ler, Bu. Tetapi saya jarang me­li­hat Iwan mengikuti tambahan pelajaran itu,” sahut seorang guru.

Petang itu Pak RT pulang se­te­lah panggilan shalat Maghrib di­ku­mandangkan. Tergesa-gesa dia mandi dan melunasi tiga rekaat, la­lu mengenakan baju berkerah dan sarung.

Sementara itu orang mulai ber­da­tangan memasuki ruang perte­mu­an. Kaum muda lelaki dan pe­rem­puan, pria-pria lajang atau yang telah berumah tangga tapi lebih suka menghindar dari kerepotan anak tak hentinya memasuki pintu di sebelah ruang tamu Pak RT.

Tanpa menunggu lama, masing-masing tamu sudah mendapat ja­tah teh manis. Gelas-gelas itu di­le­takkan oleh pembantu di atas me­­ja rendah yang berderet di te­ngah, mengelilingi tiga atau empat pi­ring berisi kudapan. Para pe­la­yan sudah terdidik. Begitu pula pa­ra pendatang. Walaupun tidak se­mua dari mereka itu aktif men­ger­jakan sesuatu guna membantu ke­lancaran organisasi kampung, te­tapi semua tahu bahwa mengikuti pertemuan di rumah Pak RT tidak pernah rugi. Selain di situ suasana cerah, juga selalu banyak makanan dan rokok. Mereka pulang ber­pe­lu­ang mengantongi paling sedikit satu pak kretek atau filter, sesuai pilihan masing-mas­ing.

“Maaf! Maaf! Saya terlambat!” kalimat itu selalu mengiringi ma­suk­nya Pak RT ke dalam ruangan.

Dan selalu ada yang menjawab,  “Tidak apa-apa. Pak RT orang yang sibuk. Kami mengerti.”

Disambut dari sisi lain:

“Ya benar. Kami semua tahu bahwa Pak RT pasti hadir mes­ki­pun kami harus menunggu. Pak RT tetap belum pernah terlambat meng­­iku­ti rapat kami!”

“Sebetulnya malahan kami yang merepotkan Bu RT. Kami min­­­ta maaf, selalu merepotkan ibu. Ini kami sudah mulai me­nik­m­ati hidangan,” kata-kata lain yang dimaksudkan lebih manis ter­de­ngar dari pojok lain.

“Silahkan! Silahkan! Direrus­kan saja,”tanggap Pak RT sambil me­nempatkan dirinya di atas tikar, lalu mendongak ke arah dalam, serunya, “Bu! Tehnya ditambah!”

Pembantu-pembantu me­yo­rong­kan ceret berisi tambahan mi­num­an.

Untuk beberapa saat terdengar pembicaraan.

“Anu 4, Pak RT, ini kami sedang memperbincangkan berita yang di­dengar tukang rokok di depan Ka­rang­rejo. Ada sopir taksi yang di­rampok katanya.”

“Ya, saya juga dengar,” sahut Pak RT, mulutnya mengunyah go­reng­an bergedel jagung penuh mi­nyak. “Apa beritanya sudah ma­suk koran atau televisi?”

“Kok belum ada. Padahal ka­ta­nya, sopir taksinya ditusuk pakai obeng,” seseorang menjelas­kan.

“Di mana kejadiannya?” Pak RT bertanya.

“Di situ saja! Di dekat Jatidiri!”

“Wah, dekat sekali! Kok polisi tidak sampai ke sini ya.”

“Yang saya dengar, satu pelaku sudah diringkus. Yang lain-lain ka­bur!”

“Ya, mengenai itu juga saya de­ngar. Penjual mi ayam pagi-pagi di depan toko saya yang cerita be­gitu.” Pak RT mengambil satu ber­ge­­del lagi, menyumpalkannya di an­tara gigi besarnya.

“Ayo kita mulai membicarakan lapangan volly saja! Jangan ngurusi rampokan. Itu biar diurus polisi!” kata seorang lelaki yang duduk ti­dak jauh dari pintu masuk.

“Betul! Betul! Kalau tidak, kita tidak akan selesai sampai besok pagi,” sahut suara lain.

Rundingan yang disebut rapat pun dimulai. Serius atau santai. Yang penting Pak RT tidak makan lagi. Dia kelihatan sibuk, berbi­cara, membantah, mengata­kan ga­gas­an­­nya. Begitu nampak terpi­kat dia sehingga sejak me­lang­kah­kan kaki ke dalam rumah petang itu, tak satu kali pun ingat apakah di­a sudah melihat anak sulungnya ha­­ri itu. Dia juga belum diberitahu oleh istrinya bahwa Iwan tidak na­ik kelas atau pun mangkir seko­lah pekan itu.

Pertemuan demikian diusaha­kan berakhir pukul sembilan. Atau paling lambat setengah sepuluh. Tetapi tidak jarang Pak RT mena­han dua atau tiga tetangga. Me­re­ka ngelantur mengobrol. Televisi di sudut ruang dinyalakan, mereka san­tai menonton, tiduran atau ber­sandar ke dinding. Pak RT mem­biarkan pintu terbuka, memanggil pen­jaja makanan apa saja: mi kop­yok, bakso atau sate. Mereka ma­kan dan berbicara, sementara ko­tak kaca dibiarkan terus menyiar­kan tayangan yang dipilih.

Malam itu, tiga tamu belum me­ninggalkan ruang pertemuan. Mereka bersama Pak RT menik­ma­ti sate ayam dengan lontong ke­nyal.

Sebuah jip memasuki kampung pukul sepuluh lebih sedikit. Satu ka­­li bertanya kepada tukang be­cak, kemudian berhenti di de­pan rumah Pak RT. Dua orang tu­run, langsung menuju pintu yang ter­bu­ka. Bau daging bakar ber­bum­bu memenuhi udara malam lem­bab.

“Selamat malam,” lelaki yang terdekat dengan pintu melongok­kan kepala memberi salam.

Pak RT bangkit dari tikar, me­ne­mui si pendatang. Mata ba­pak itu melirik ke kejauhan. Ada tiga lelaki lain. Seorang di tengah-te­ngah halaman, seorang di pagar, se­orang lagi duduk di belakang kemudi.

“Bapak Rajiman?”

“Ya, saya sendiri,” sahut Pak RT.

Terdengar suara bebincang ren­dah. Kelihatan kepala Pak RT ter­te­gak. Satu kali menengok ke arah dalam rumah. Dia menggan­deng le­ngan orang yang baru da­tang, me­nariknya menjauhi pintu.

Dua menit kemudian Pak RT masuk kembali, langsung menuju ke rumah induk. Dia memanggil-manggil. Sesaat berlalu, jelas ter­den­gar bahwa waktu istirahat seisi rumah terganggu. Nama Iwan di­se­­­but-sebut. Percakapan yang ka­cau menyusul perbantahan di an­ta­ra penghuni. Tiba-tiba ada suara pembantu lain yang lebih jelas, “Sudah hampir seminggu Gus Iwan tidak pulang.”

Lalu Pak RT muncul di pintu, sudah mengenakan celana pan­jang. Katanya singkat kepada tamunya yang baru menikmati daging sate, “Maaf, saya harus pergi. Sila­kan Anda pulang. Biar pintu di­tu­tup.”

Lima menit berlalu sejak ke­da­tang­an tamu baru itu, Pak RT me­nye­tir kendaraannya mengikuti jip ke­luar kampung. Seorang tetangga du­duk di sampingnya. Dia me­na­war­kan diri menemani Pak RT ke kantor polisi.

Serse memberitahu bapaknya Iwan, bahwa Khodir ditangkap di terminal Jatingaleh. Dia berlari ke­tika polisi menyelidiki kasus pe­ram­pokan dan penusukan sopir taksi dinihari sebelumnya. Karena tidak mau berhenti sewaktu di­pang­­gil, kakinya ditembak. Maka ketahuan bahwa dia membawa senjata tajam. Di sakunya terdapat bungkus rokok berisi lintingan gan­­ja siap pakai. Juga sebuah ko­tak korek api penuh butiran obat terlarang. Belum ketahuan pasti jenis apa.

Khodir mengaku bahwa dia me­lakukan perampokan dibantu oleh Herman dan Iwan. Pak RT harus memberitahu polisi alamat se­mua kenalan atau saudara yang mungkin dijadikan tempat ber­sem­bunyi kedua remaja itu.

“Saya tidak tahu apa maunya anak-anak ini!” kata Pak RT se­per­ti kepada dirinya sendiri. “Saya dan ibunya membanting tulang me­mutar otak untuk mencari uang. Supaya mereka hidup layak, bisa sekolah. Tetapi nyatanya... .”

Tetangga di sebelah Pak RT ti­dak berani mengeluarkan penda­pat. Dia adalah satu dari mereka yang selalu dibantu Pak RT supaya bi­sa hidup berkecukupan. Tugas­nya malam itu adalah menema­ni Pak RT. Bukan untuk berbica­ra.**­*­

 

1. Sumber air/telaga terletak di antara   dua pancuran.

2. Teh kental

3. Kamu

4. Kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya dipakai karena gugup atau              sungkan

 


Horison, September 2000


 

Upacara Hitam

Oleh: Abrar Yusra

 

Langit di atas kepalaku terpentang biru, me­ngi­rim­­kan sinar matahari yang menerobos menyilaukan mata. Dan panas terik seolah membakar udara pantai. Namun di bagian kota lainnya langit digantungi men­dung gelap dan bumi di bawahnya mungkin di­si­ram hu­jan. Pada hari pemakaman ayahku alam pun tidaklah adil.

Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah, di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakaman­nya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya. Tapi apa peduliku. Siapa tahu, jangan-jangan mereka justru tertawa di hati masing-masing!

Di deretan depan kulihat adik-adikku. Masing-masing memasang muka dan pakaian berkabung yang sedemikian pantas, katakanlah tidak memalukan — termasuk Aditi kecil. Tapi aku tahu hati mereka lebih cerah karena ayah sudah meninggal dunia. Sebab yang paling merisaukan sebenarnya adalah saat-saat ayah bergulat di pembaringan, melawan pende­ritaan di hari-hari sekaratnya yang panjang. Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku. Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.

Aku menatap matahari. Silau.

Aku memandang khalayak. Gelap. Tidak, silau juga.

Masih berbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja. Ganjilnya, sewaktu-waktu dalam waktu pendek ayah pun berteriak-teriak dan tubuhnya menggelepar-gelepar melawan sakit. Ayah berkata, bagaikan organ-organ di dalam tubuhnya dipelintir tanpa ampun oleh tangan-tangan buas yang tak kelihatan.

“Di sini,” bilang ayah, sambil menepuk perut dan menitikkan airmata kesakitan, “tapi sudah hilang sendiri!”

Ayah malah mencoba tertawa. Seolah hanya diserang penyakit yang lucu. Ya, serangan sakit itu datang sendiri dan hilang pula sendiri. Ayah pun ragu apakah ia betul-betul sakit,  perlu diobati atau tidak. Tapi ayah merasa perlu mendatangi sendiri seorang dokter spesialis di pusat kota.

“Tak ada gejala penyakit apa-apa,“ kata dokter.

Kami anak-anak ayah tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter. Sebab seperti semacam misteri, nyatanya serangan sakit demikian datang lagi lantas hilang lagi. Maka ayah kami bawa ke dokter spesialis yang lain dan tak ada hasilnya. Lalu kami mendatangkan sendiri seorang dokter ke rumah di pinggiran kota, juga tanpa hasil apa pun.

Rencana untuk membawa ayah atau mendatangkan dukun ditolak ayah mentah-mentah.

“Jangan,” cemooh ayah tertawa, seolah ia sudah sembuh. “Masa panitia yayasan rumah sakit diobati dukun kampung?”

Serangan penyakit aneh itu mulanya sekali dalam 20 hari. Tapi makin lama makin sering. Baru saja sekali enam hari, lalu sekali tiga hari! Kini sewaktu-waktu ayah bisa terserang rasa sakit, kapan saja di mana saja. Kami benar-benar kalang kabut. Sesudah berlangsung beberapa bulan masih belum ada dokter yang mampu mengenal penyakit ayah, apalagi mengobatinya. Dan sejak ayah mengalaminya di dalam mobil lalu ketika sedang berpidato, maka ayah tidak kami perkenankan keluar rumah sendiri.

“Lebih baiklah kalau ayah di rumah saja,” kataku.

Ayah sendiri sudah mulai menolak berbagai undangan rapat dan ceramah yang biasanya tak pernah dilakukannya.

Berita bahwa ayah sakit segera terbetik ke mana-mana. Maka para pengunjung pun pada berdatangan ke rumah. Ada yang ketawa sebab mendapati ayah biasa-biasa saja. Malah ayah bisa tertawa keras meskipun tubuhnya lebih kurus. Namun jika serangan penyakitnya datang, makin sering saja, tak peduli sedang ada tamu atau tidak, ketika sedang tidur atau lagi ngomong baik-baik, tiba-tiba ayah menggelepar-gelepar dan berteriak-teriak keras kesakitan, lalu mengerang-erang melepaskan kata-kata tak jelas yang berlepotan dari mulutnya.

Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun.

 Malam itu para pengunjung sudah pada pulang. Yang tinggal hanya para tetangga, di antaranya tanpa bersuara main halma atau main kartu. Nampaknya seperti untuk bersenang-senang. Aku suka sikap terbuka para tetangga demikian. Mereka datang memang untuk sekedar menghibur atau menunjukkan rasa akrab pada kami tapi bukan menunggu atau mengharapkan kesembuhan si sakit. Siapa pun maklum bahwa kematian ayah memang tinggal soal waktu saja lagi.

Sudah larut dinihari. Adik-adik sudah pada tidur. Aku di kamar tidur ayah dihinggapi perasaan aneh: aku serasa mau sinting karena ayah tak sembuh-sembuh juga. Dan di ruang tengah kedengaran tamu terakhir yang sebelumnya bersamaku menunggui ayah sedang menu­tup daun-daun jendela.

Maka kudengar langkah-langkah memasuki pintu kamar. Nah, si kakek itu lagi, rupanya ia sudah selesai menutup jendela-jendela. Konon ia teman ayahku dulu.

“Bagaimana beliau?” ia bertanya. “Kambuh lagi?”

Aku mengangguk. Ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa malam itu serangan sakit ayah paling menjadi-jadi. Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!

Aku serasa mau gila. Tak tahan menyaksikan tubuh ringkih itu kembali menggelepar-gelepar. Tak ada daya untuk melawan perkosaan penyakitnya. Yah, seolah mataku dapat mengikuti atau membayangkan suatu makhluk tak dikenal bergedencak dalam tubuh ayah seperti seekor binatang liar seradak-seruduk di bawah selimut. Seolah menampik hidup dan penderitaan, maka:

“Jangan!” rintih ayah tak jelas. “Ampun, ampun!”

Lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang amat lemah, ayah seperti memohon:

“Biarkan aku mati, mati!”

Maka ayahku menangis, barangkali juga pingsan lagi. Keterlaluan penderitaan orang tua itu. Aku gemas kenapa ayah tidak mati-mati juga. Hanya kematian yang mungkin mengakhiri penderitaannya. Rasanya berdosa membiarkan ayah hidup eh sakit teraniaya demikian. Maka aku berdoa untuk kematian ayahku. Tapi  kematian rupanya tidaklah ditentukan oleh permintaan dan desakan seseorang. Ayahku meraung lagi. Seolah raung itu pun menghabiskan cadangan tenaganya.

“Harus kaulakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi. “Saya bisa membantumu.”

Aku menatapnya tak berdaya. Seolah mau bilang apa pun akan kulakukan asal ayahku tak dizalimi penyakit yang misterius itu lagi.

Lalu ia bilang dengan suara tenang tapi terang,

“Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggeris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern. Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmu-ilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?”

Aku hanya melongo. Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. Itu seperti dongeng dari dunia dan zaman lain. Ia tersenyum.

“Sederhananya ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dalam mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam!”

Panjang juga uraiannya. Tapi sejauh yang dapat kutangkap, cukuplah di sini kukatakan bahwa ilmu hitam terkutuk itu mengakibatkan maut pun menolak tubuh ayahku, karena iblis yang dengan persumpahan bersarang dalam diri ayahku takkan mati-mati sampai hari kiamat, sebab demikian firman Tuhan tentang iblis. Lalu ditambahkannya dengan suara tenang juga:

“Si iblis itulah yang menzalimi beliau. Maka jalan terbaik bagimu, yah, kaupungut saja Si Hitam. Maka beliau akan meninggal dengan tenteram!”

Ketika tubuh ringkih ayah menggelepar-gelepar lagi maka aku seolah benar-benar sedang dalam cengkeraman mimpi buruk. Sebab kubayangkan, _tidak, seolah kulihat nyata_, Si Hitam sedang sewenang-wenang seradak-seruduk di sana. Tak dapat kubayangkan bahwa iblis itu, benar-benar iblis, akan terus memperkosa ayahku. Tapi Si Hitam terus bergedencak menyiksa ayahku yang terkapar tidak hidup dan tidak mati. Maka tanpa pikir lagi kukatakan pada si kakek bahwa aku mau memungut Si Hitam, jika memang hanya itulah cara agar Si Hitam keluar dari tubuh ayahku — sesuai dengan persum­­pahan ayahku!

Tak usahlah kukisahkan bagaimana dengan bantuan si kakek itu, kami berhasil membebaskan ayah dari penderitaannya. Maka Si Hitam jahat itu kini mendiami diriku, meskipun aku tak merasakannya! Dan ayah pun, yang sempat sadar pada detik-detik terakhir, akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tubuh capek berkeringat, serta mulut komat-kamit begitu lemah...!

Kini di bawah matahari, di tengah khalayak ramai yang memenuhi bukit-bukit kuburan jelaslah bahwa memang ayahku sudah meninggal dan dihormati penduduk kota selayaknya. Kematian adalah pantas dan wajar bagi setiap orang. Tapi itulah suatu kematian paling ganjil yang pernah kukenal, bahkan paling terkutuk. Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tak pernah membayangkan bahwa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu. 

Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang terhormat, yang berjuang dengan cara-cara terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memperdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya! Dengan perasaan kosong kulihat mayat ayahku diturunkan ramai-ramai ke lubang kuburan gelap, hina dan memalukan. Kalau aku tidak malu, malah sepertinya aku ingin  mencincang-cincang mayatnya dengan pisau, atau kampak atau apa! Apakah Si Hitam mulai membuatku jahat?

Maka matahari yang menyilaukan ini, upacara pemakaman dan khalayak ini pun kurasakan sebagai bagian dari takdirku yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahku, benar-benar tidak adil dan menakutkan seperti mimpi buruk! Dalam hati aku menyumpah-nyumpah karena aku kehilangan makna diriku sendiri. Betapa terkutuk nasibku!***  

 

Jakarta, 1992


 

 

Menyiram Bunga di dalam Cermin

Oleh: Yus R. Ismail

 

“Bercerminlah dengan khusuk, maka kamu akan melihat diri sendiri,” kata suara entah dari mana yang selalu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku ini.

Setiap tengah malam aku terbangun dan mencari-cari cermin. Betapa sunyi keinginan ini. Bukankah setiap hari aku menjadi aku, menjadi diri sendiri, karena aku memang bukan seorang pemain sinetron atau drama. Aku toh bukan Dedi Mizwar yang biasa memerankan Naga Bonar atau apa dan siapa saja.

Tapi sering aku tiba-tiba asing dengan diri sendiri. Begitu banyak perilaku yang tidak bisa dimengerti mengapa pernah aku lakukan. Dan begitu banyak keinginan yang tidak aku lakukan. Aku tidak bebas lagi bergerak, berekspresi, menerjemahkan hati menjadi apa saja.

Aku merasa tubuhku ini bukan lagi rumah pribadiku. Di dalamnya, bisa jadi telah dibangun kamar-kamar yang sadar atau tanpa sadar telah aku kontrakkan kepada entah apa dan siapa. Tubuhku menjadi media ekspresi penghuninya yang bukan aku saja itu. Maka tanganku, mulutku, kakiku, mataku, lidahku, bisa bergerak selain diperintah olehku.

Kesadaran itulah yang mendorongku untuk bercermin, setidaknya untuk mengetahui siapa saja penyatron ruang-ruang tubuhku yang sadar atau tanpa sadar sempat kukosongkan itu. Bila sudah mengetahuinya, aku ingin mengusirnya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Setiap suara entah dari mana itu bergaung memenuhi kesumpekan ruang tubuhku, aku pontang-panting mencari cermin. Aku memasuki wc-wc umum, mushola, gereja, candi, hotel, diskotik, tapi selalu berakhir dengan kelelahan. Semua cermin yang kutemukan tidak bisa lagi dipergunakan. Semua cermin telah retak dan pecah.

Tapi keinginan yang mencekam itu selalu membangun kelelahanku menjadi orang yang pantang menyerah. Maka aku menemukan cermin itu saat keinginan yang sunyi itu menusuk-nusuk seluruh tubuhku dengan pisau cekamannya. Seluruh anggota tubuhku mengalirkan darah. Aku merasakan suatu kesakitan yang nikmat saat darah itu mengucur setetes demi setetes. Aku teringat masa kecil saat emosi telah memuncak aku melepaskannya dengan tangisan yang keras dan merasa tenang setelah tangis itu berhenti. Teringat kelegaan dari tangisan di waktu kecil itu, tiba-tiba aku tidak bisa yakin apakah cairan yang keluar dari seluruh tubuhku itu benar-benar darah atau air mata.

Keraguan itu menjadikan aku merasa sekali waktu cairan yang keluar dari tubuhku itu benar-benar air mata dan di waktu lain benar-benar sebagai darah. Perubahan keyakinan itu memang begitu menyakitkan. Kesedihan, kepapaan, kesendirian, kesunyiaan, ketakberdayaan, ketaksempurnaan, kepedihan, semuanya menjadi silet-silet yang  tanpa henti menoreh-noreh tubuhku. Tapi kesakitan itu pun aku rasakan menjadi kenikmatan yang tiada bandingannya. Barangkali kesakitan dan kenikmatan adalah dua hal yang menempati satu ruang kesadaran.

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sebenarnya tidak perlu cermin. Tubuhku telah terpantul di mana-mana. Di tanah, angin, kabut, daun, batang, sampah, air, api, tubuhku terpampang seperti jutaan potret dari yang beragam betuk dan rupa.

 

***

PANGGIL apa saja maka aku akan menoleh. Namaku memang tidak jelas.  Tapi ketidakjelasan itu merupakan kejelasanku. Bila bertemu denganku, di mana saja, jangan ragu-ragu untuk menyapa. Aku suka membicarakan apa saja dengan siapa saja. Tapi bila ingin ngobrol menghabiskan malam atau menghabiskan waktu menjadi tanpa ukuran, temui saja aku di kebun bunga.

Sejak kecil cita-citaku memang menanam bunga. Aku selalu terkenang dengan sebuah lukisan (yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat) tentang seseorang sedang menyiram bunga dengan latar belakang langit senja yang kemerahan. Aku tak pernah lupa bagaimana air menetes dari ujung daun, bagaimana angin bergurau dengan tangkai mawar, bagaimana tanah menguapkan bau yang khas, dsb.

Lukisan penyiram bunga dengan latar belakang kemerahan langit senja yang entah di mana dan kapan pernah aku lihat itu terpantul kembali di setiap potret diri yang kulihat di mana-mana dan apa saja yang tiba-tiba kulihat sebagai cermin.

“Mau kamu mencoba menyiram bunga?” tanya si penyiram itu ketika aku begitu takjub dengan matanya. Di matanya, aku melihat berbagai metamorfosa menjadi warna-warna yang artinya tak terjangkau pengetahuan ilmu semiotikku. Ada pucuk yang diam-diam menjadi kesegaran daun menjadi kelelahan daun kering dan menjadi cekaman musim gugur. Ada kuncup yang menjadi keindahan bunga mekar menjadi keresahan kelopak-kelopak yang tanggal dan menjadi kesadaran kesementaraan. Dan begitu banyak lagi metamorfosa lainnya.

“Mau menyiram bunga?” tanya si penyiram itu sekali lagi. Dengan gembira aku mengangguk dan menghampiri. Aku ingin merasakan lebih dalam getaran metamorfosa dari banyak hal itu. Tapi begitu air jatuh dari gayungku, aku lupa dengan metamorfosa itu. Aku telah terbawa air, mengalir ke mana saja yang kumau. Aku menyusuri daun dan batang sambil mengingat kesakitan hutan yang ditebang dan di bakar. Aku meresap ke dalam tanah sambil mengingat hektaran hutan menjadi gurun tandus.

Aku mendengar kesakitan hutan itu seperti jeritan badai yang terus berdebur. Eh, aku tak yakin, ini sebuah jeritan atau geraman dari dendam. Aku tidak bisa membedakan suara keduanya. Sampai aku sadar bahwa badai itu hadir di dalam tubuhku, mengobrak-abrik ruang-ruang tubuhku. Aku banting-banting di tengah lautan yang kuciptakan sendiri. Entah berapa lama aku pingsan, karena tahu-tahu aku berada di pantai yang tenang dan pagi yang anggun. Aku merasa tubuh ini sakit-sakit, begitu lelah. Pantai apakah ini?

“Mau ikut denganku?” tanya seseorang dengan ransel besar di punggungnya yang mengingatkanku akan perjalanan yang panjang dan jauh.

“Pantai apakah ini?” Aku malah balik bertanya.

“Kuta.”

Beberapa jenak aku tercenung. Benarkah ini pantai Kuta? Melihat dari tanda-tandanya aku merasa ini Pantai Panjang.

“Ya, Pantai Panjang  juga bisa. Atau Pangandaran. Atau Pelabuhan Ratu.”

Aku memandang orang yang aneh itu.

“Apa perlunya nama. Kamu bisa menamakan pantai apa saja sesukamu. Karena semua nama akan cocok dengan pantai ini.”

Siapa sebenarnya orang ini? Orang gila atau makhluk angkasa luar? Karena aku diamkan cukup lama, orang beransel besar itu terbang. Saat itulah aku yakin bahwa orang itu adalah angin. Aku menyusulnya sambil berteriak, “Aku ikut!”

Kami mendaki bukit menuruni gunung masuk ke lembah menyusup ke lorong-lorong. Bertahun-tahun kami mengembara. Barangkali sepanjang hidup ini akan dihabiskan untuk mengembara. Barangkali hidup memang pengembaraan itu sendiri seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya yang kubaca di toko buku entah di daerah mana. Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi.

Barangkali benar bahwa nama-nama tempat tidak penting bagi seorang pengembara. Kami banyak menyaksikan beragam peristiwa di setiap tempat. Kami merasa peristiwa itulah yang lebih penting dibanding dengan nama-nama. Tapi sayang kami tidak mencatat peristiwa-peristiwa itu. Tidak bisa terbayangkan, berapa banyak kertas dan tinta yang akan kami habiskan bila setiap peristiwa dicatat. Tapi kertas dan tinta itu bukanlah alasan yang tepat mengapa kami tidak mencatat. Kami seperti punya kesepakatan bahwa sebaiknya memang tidak dicatat dan dibicarakan. Kami tidak bisa membayangkan, bila seluruh peristiwa itu tercatat, berapa milyar pembaca yang akan sakit.

Peristiwa-peristiwa itu memang penuh dengan darah dan rasa perih. Sepanjang sejarah, rasa sakit barangkali bagian dari hidup. Sungai-sungai mengalirkan air mata. Suara tangis terdengar di mana-mana. Air mata siapa lagi itu kalau bukan milik kita, karena hanya kita yang menghuni dunia ini. Maka kami, aku dan angin, pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil merasakan rasa sakit sendiri-sendiri.

Setiap kaki melangkah meninggalkan suatu tempat, kami merasa begitu banyak tempat yang belum kami kunjungi. Kami tahu tempat-tempat itu pun akan menyediakan hidangan kesakitan-kesakitan lain begitu kami datang, tapi kami tidak bisa tidak mengunjungi tempat-tempat itu. Barangkali merasakan kesakitan-kesakitan di tempat-tempat yang berbeda itu adalah hidup kami.

Keyakinan itu terus berada di hatiku sampai rasa lelah dan sakit tidak bisa lagi aku tahan. Aku sadar bahwa aku tidak seperti angin yang ditakdirkan sebagai pengembara. Aku pingsan entah berapa lama. Dan begitu terbangun, aku berada di sebuah taman yang entah bernama apa dan di mana. Saat kulihat ke sekeliling, aku yakin bahwa taman ini adalah lukisan yang terpantul di potret diri dari cermin-cermin itu.

“Mengapa berhenti menyiram bunga?“ kata seseorang yang sebelumnya kukenal sebagai si penyiram bunga itu. Tapi aku tidak mengacuhkannya. Aku lebih tertarik dengan matahari yang membuat langit memerah itu. Sinar lembutnya disambut hangat lebah-lebah yang tanpa lelah mencari madu dari bunga ke bunga. Eh, aku baru sadar di taman ini pun ada ulat yang terus-terusan memakan daun dan mengerek batang. Memandangnya sambil mencoba memahami kunyahan mulutnya aku merasa begitu dekat dengan ulat. Atau aku pun adalah ulat? Ah, aku tak mau mengikuti pengembaraan yang melelahkan itu. Aku tak mau pergi dengan ulat seperti yang pernah kulakukan dengan air dan angin.

Aku berdiri dan pergi.

“Mengapa tidak menyiram bunga lagi? Dengan menyiram, kamu bisa pergi ke mana saja. Ingatlah, kita tidak bisa tidak pergi. Kita tidak bisa merasa sakit dan perih. Karena sakit dan perih adalah hidup kita....”

Dan entah apa lagi yang diucapkan si penyiram bunga bermata penuh metamorfosa itu. Dia barangkali tidak sadar bahwa kepergianku dari taman itu pun adalah pengembaraan.***

 


Horison, Oktober 2000


Segenggam Kurma

Oleh: Tayih Salih

 

Ketika itu aku pasti masih sangat muda. Aku tidak ingat tepatnya berapa umurku, tetapi aku ingat betul bahwa bila orang melihatku bersama kakekku, mereka akan menepuk kepalaku dan mencubit pipiku — hal-hal yang mereka tidak lakukan pada kakekku. Yang aneh adalah bahwa aku tidak pernah pergi bersama ayahku, kakekkulah yang akan membawaku ke mana pun ia pergi, kecuali pada pagi hari, ketika aku ke mesjid untuk belajar Quran. Mesjid, sungai, dan ladang itu — semua itu adalah hal-hal terpenting dalam kehidupan kami. Sementara kebanyakan anak-anak seusiaku menggerutu kalau harus ke mesjid untuk belajar Quran, aku malah senang melakukannya. Sebabnya, aku cepat menghafal Quran dan Syeh selalu memintaku untuk berdiri dan memperdengarkan ayat dari Sang Maha Pengampun kapan saja ia menerima tamu, yang akan menepuk kepala dan pipiku seperti yang mereka lakukan ketika melihatku bersama kakekku.

Sungguh, aku dulu mencintai mesjid, dan aku juga mencintai sungai itu. Segera setelah selesai membaca Quran pada pagi hari, aku akan melemparkan batu tulis kayuku dan melesat menuju ibuku, cepat seperti jin, dengan tergesa-gesa menelan sarapanku, dan berlari untuk menyelam di sungai. Ketika lelah berenang ke sana-ke mari, aku duduk di pinggir sungai dan memperhatikan patahan air yang mengalir menjauh ke arah Timur, dan bersembunyi di belakang hutan kecil rimbunan pohon akasia yang tebal. Aku suka membiarkan khayalanku dan membayangkan sebuah suku raksasa tinggal di belakang hutan itu, orang-orang tinggi dan kurus dengan janggut putih dan hidung tajam, seperti kakekku. Sebelum kakekku bisa menjawab pertanyaanku yang banyak, ia akan menyeka ujung hidungnya dengan jari telunjuknya, terasa lembut dan tebal dan putih seperti kain wol — belum pernah dalam hidupku aku menyaksikan sesuatu yang lebih putih atau lebih indah. Kakekku pasti juga luar biasa tinggi, karena aku tidak pernah melihat orang di seluruh daerah ini yang menyapanya tanpa harus mendongakkan kepalanya, atau belum pernah kulihat kakekku memasuki rumah tanpa harus membungkukkan badan begitu rendahnya sehingga aku mengingat bagaimana sungai akan mengalir memutar di belakang hutan kecil pepohonan akasia. Aku menyayanginya dan akan membayangkan diriku, pada saat aku sudah menjadi laki-laki dewasa, tinggi dan langsing sepertinya, berjalan dengan langkah-langkah yang lebar.

Aku yakin bahwa aku adalah cucu kesayangannnya, tidak heran, karena sepupu-sepupuku adalah gerombolan anak yang bodoh dan aku — begitu kata orang — adalah anak yang pandai. Aku biasanya tahu saat kakek menginginkan aku tertawa, saat untuk diam; juga aku akan mengingat saat-saat ia berdoa dan akan membawakan untuknya sajadah dan mengisi tempat air untuk wudhunya tanpa perlu ia memintanya. Ketika ia tidak memiliki kegiatan lain, ia suka mendengarkan aku membacakan ayat Quran dengan suara penuh irama, dan aku bisa mengatakan lewat wajahnya bahwa ia tersentuh.

Suatu hari aku bertanya tentang tetangga kami, Masood. Aku berkata pada kakekku, “Menurutku kakek tidak suka pada tetangga kita Masood?”

Yang dijawabnya, sesudah menyentuh ujung hidungnya, “Orang itu culas dan aku tidak suka orang macam itu.”

Aku berkata kepada kakek, “Apa sih orang culas itu?”

Kakekku menundukkan kepalanya sejenak, kemudian, memandangi luasnya ladang, ia berkata, “Kau lihat tanah yang ujungnya di padang pasir sampai ke tepi Sundai Nil? Ratusan feddans. Kau lihat semua pohon kurma itu? Dan pohon-pohon itu — sant, akasia, dan sayal? Semua ini jatuh ke pangkuan Masood, diwarisi olehnya dari ayahnya.”

Memanfaatkan kakekku yang membisu, aku mengalihkan pandanganku darinya ke daerah yang luas yang tadi diterangkan oleh kata-katanya. “Aku tidak peduli,” aku berkata pada diriku sendiri, “siapa yang memiliki pohon-pohon kurma itu, semua pohon itu ataupun tanah hitam yang pecah-pecah ini, yang kutahu itu adalah tempat bagi impian-impianku dan tempatku bermain.”

Kakekku kemudian melanjutkan, “Ya, anakku, empat puluh tahun yang lalu semua ini menjadi milik Masood — dua pertiga dari semua itu sekarang menjadi milikku.”

Ini jadi berita untukku, karena kubayangkan bahwa tanah ini sudah menjadi milik kakek sejak Tuhan menciptakannya.

“Tidak satu feddan pun milikku ketika aku pertama kali menjejakkan kaki di desa ini. Masood saat itu adalah pemilik semua kekayaan ini. Posisinya berubah sekarang, dan kupikir bahwa sebelum Allah memanggilku aku akan membeli sisanya yang sepertiga juga.”

Aku tidak tahu mengapa aku merasakan ketakutan pada kata-kata kakekku — dan rasa kasihan kepada tetangga kami Masood. Aku ingin sekali kakek tidak melakukan apa yang dikatakannya! Aku ingat Masood menyanyi, suaranya yang indah dan tawanya yang keras yang menyerupai suara air yang berdeguk. Kakek tidak pernah tertawa.

Aku bertanya pada kakek mengapa Masood menjual tanahnya.

“Perempuan,” dan dari cara kakek mengatakan kata itu aku merasa bahwa “perempuan” adalah sesuatu yang buruk sekali. “Masood, anakku, adalah lelaki yang doyan kawin. Setiap kali ia kawin ia menjual satu atau dua feddan padaku.” Aku dengan cepat menghitung bahwa Masood pastinya sudah menikahi sekitar sembilan puluh perempuan. Lalu kuingat tiga istrinya, penampilannya yang jorok, keledainya yang lambat dan pelananya yang tak terpelihara, galabia-nya dengan lengan baju yang robek. Aku sudah melakukan semua kecuali membersihkan pikiranku dari pikiran-pikiran yang berdesakan masuk ke kepalaku pada saat aku melihat laki-laki itu mendekati kami, dan kakek dan aku saling bertukar pandangan.

“Kami akan memanen kurma hari ini,” kata Masood. “Kalian tidak ingin ke sana?”

Walaupun begitu, aku merasa bahwa ia tidak betul-betul menginginkan kakek hadir di sana. Namun, kakek melompat berdiri dan aku melihat matanya bersinar sesaat dengan kecerahan yang luar biasa. Ia menarik tanganku dan kami menuju ke tempat panen kurma milik Masood.

Seseorang membawakan kakekku bangku yang ditutupi dengan penutup dari kulit sapi, sementara aku tetap berdiri. Di sana ada begitu banyak orang, tetapi biarpun aku kenal mereka semua, aku punya banyak alasan untuk memperhatikan Masood, jauh dari kerumunan orang banyak ia berdiri seolah itu bukan urusannya, walaupun kenyataannya pohon-pohon kurma yang akan dipanen adalah miliknya. Terkadang perhatiannya tersita pada bunyi rumpun besar kurma yang hancur terjatuh dari ketingggian. Sekali ia meneriaki seorang anak laki-laki yang bertengger di puncak pohon kurma dan ia sudah mulai menggarap rumpunan kurma dengan sabitnya yang panjang dan tajam, “Awas jangan sampai kau potong jantung kurmanya.”

Tak ada yang memperhatikan apa yang dikatakannya dan anak laki-laki itu terus duduk di puncak pohon kurma, dengan cepat dan penuh tenaga, menggarap cabang dengan sabitnya sampai rumpun kurma mulai jatuh seperti sesatu yang turun dari surga.

Namun, aku sudah mulai berpikir tentang kata-kata Masood “jantung kurma.” Aku membayangkan pohon kurma sebagai sesuatu yang punya perasaan, sesuatu yang memiliki jantung yang berdetak. Aku ingat ucapan Masood padaku ketika ia suatu kali melihatku mempermainkan cabang pohon kurma muda, “Pohon kurma, anakku, seperti manusia, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.” Dan aku merasakan rasa malu di dalam diri yang tidak beralasan.

Ketika sekali lagi aku memandang luasnya tanah yang membentang di hadapanku, aku melihat teman-temanku berkerumun seperti semut di seputar batang pohon kurma, mengumpulkan kurma dan memakan sebagian besarnya. Kurma-kurma dikumpulkan menjadi tumpukan yang tinggi. Aku melihat orang berdatangan dan menimbang kurma ke dalam wadah timbangan dan menuangnya ke dalam kantung-kantung, yang kuhitung ada tiga puluh. Kerumunan orang bubar, kecuali Hussein si pedagang, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami sebelah Timur, dan dua laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku mendengar bunyi siulan dan melihat kakek sudah jatuh tertidur. Lalu aku perhatikan Masood tidak mengubah cara berdirinya, kecuali ia memasukkan potongan tangkai ke dalam mulutnya dan sedang mengunyahnya seperti orang membuat perutnya kenyang dengan makanan yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mulut yang masih penuh.

Tiba-tiba kakek bangun, melompat di atas kakinya, dan berjalan menuju kantung-kantung kurma. Ia diikuti Hussein si pedagang, Mousa di pemilik ladang di sebelah ladang kami, dan dua orang yang tak dikenal. Aku melirik Masood dan menyaksikannya sedang mendekati kami dengan luar biasa perlahan, seperti seseorang yang ingin mundur tetapi kakinya memaksa maju. Mereka membentuk lingkaran di seputar kurma dan mulai memeriksanya, beberapa mengambil satu dua kurma untuk dimakan. Kakek memberiku segenggam penuh, yang kemudian kukunyah. Aku melihat Masood memenuhi kedua tangannya dengan kurma dan membawanya ke dekat hidungnya, lalu mengembalikannya.

Kemudian aku menyaksikan mereka membagi kantung-kantung itu di antara mereka. Hussein si pedagang mengambil sepuluh; masing-masing orang tak dikenal itu mengambil lima, Mousa si pemilik ladang di sebelah ladang kami di sisi Timur mengambil lima, dan kakek mengambil lima. Aku yang tak mengerti apa pun melihat kepada Masood dan menyaksikan matanya bergerak ke kanan dan ke kiri layaknya dua ekor kucing kecil yang tidak tahu jalan pulang ke rumah.

“Kau masih berhutang lima puluh pound padaku,” kata kakekku kepada Masood. “Kita bicarakan itu nanti.”

Hussein memanggil pembantu-pembantunya dan mereka menggiring keledai, dua orang asing itu membawa unta, dan kantung-kantung kurma itu dipunggah ke atas punggung binatang-binatang itu. Salah satu keledai mengeluarkan suara ringkikan yang membuat mulut unta-unta itu berbusa dan mengeluh ribut sekali. Aku merasa mendekati Masood, merasakan tanganku mengarah padanya seolah aku ingin menyentuh keliman pakaiannya. Aku mendengarnya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti rintihan domba yang akan dijagal. Untuk alasan yang tak kuketahui, aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku.

Aku berlari ke kejauhan. Mendengar kakekku memanggilku, aku sedikit ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Aku merasa pada saat itu bahwa aku membencinya. Aku mempercepat langkahku, sepertinya aku membawa di dalam diriku sebuah rahasia yang ingin kuhindari. Aku mencapai tepi sungai di dekat belokan di belakang hutan kecil pohon akasia. Kemudian, tanpa tahu mengapa, aku meletakkan jariku ke dalam tenggorokanku dan memuntahkan kurma yang sudah kumakan.*** Tayeb Salih (Al-Tayeb Salih), dilahirkan pada tahun 1929 di desa Al-Debba di Sudan Tengah. Tentang desanya itu, ia pernah me­nyatakan bahwa ia masih merasa tinggal di sana mengembara ke mana-mana. Masa ke­cil­nya dihabiskannya di desa itu. Keluarganya adalah petani dan guru. Ia mendapatkan pen­di­dikan tinggi di Universitas Khartoum, yang ke­mudian dilanjutkannya di beberapa univer­sitas di Inggris. Ia pernah menjadi guru di Su­dan, namun sebentar kemudian ia bekerja di BBC sebagai perencana siaran drama dalam bahasa Arab. Salih mulai menulis tahun 1953, tetapi kumpulan cerpennya yang pertama, yang hanya berisi tiga cerpen baru terbit tahun 1968. Cerpen "Segenggam Kurma" ini diambil dari kumpulan tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Denys Johnson-Davies, yang kemudian bersama sejumlah cerpen Afrika lain dikumpulkan oleh Charles R. Larson dalam Under African Skies. Mo-dern African Stories, 1997, Edinburg: Payback Press. Cerpen ini diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.


Horison,  November 2000


 

Syahdan Pada Dahulu Kala

Oleh: Nadine Gordimer

 

Seseorang telah memintaku untuk        menyumbangkan sebuah antologi cerita anak-anak. Kujawab bahwa aku tidak menulis cerita anak-anak. Orang itu mengatakan bahwa dalam suatu kongres/pameran buku/seminar yang diadakan baru-baru ini, seorang pengarang telah menghimbau agar setiap penulis menulis sekurang-kurangnya satu cerita anak-anak. Terpikir olehku untuk mengiriminya selembar kartu pos untuk menyatakan bahwa aku tidak sepaham dengan pendapatnya. Aku boleh menulis apa saja yang kuinginkan.

Kemarin malam aku terbangun tiba-tiba tanpa mengetahui apa yang mengejutkan diriku.

Sebuah suara dalam diriku?

Suatu bunyi.

Bunyi berderit-derit bagai langkah kaki yang diseret satu demi satu di atas papan seolah membawa beban yang berat. Kupasang telinga. Kupusatkan pendengaran. Bunyi berderat-derit itu bergema lagi. Aku menanti untuk mendengar kalau-kalau ada tanda yang menunjukkan bahwa kaki itu bergerak lagi dari satu kamar ke kamar lain. Aku tidak memiliki terali besi. Tak ada pistol di bawah bantalku. Namun aku juga kini merasa cemas seperti orang-orang lain yang serba waspada. Lagi pula kaca rumahku tipis bagai lapisan embun, mudah pecah seperti gelas anggur. Tahun lalu, seorang perempuan telah dibunuh (kata orang) di siang bolong. Anjing garang yang mengawal seorang duda tua dan koleksi jam antiknya telah dijerat sebelum ditikam oleh seorang buruh biasa yang telah di-PHK tanpa dibayar upahnya.

Kupandangi pintu, sambil membayang-bayangkan sesuatu dalam kepala --bukannya melihat-- di dalam gelap. Kutentramkan diri, tetapi degup jantungku tak menentu seperti menghantami jantungku. Tak dapat aku menumpukan pendengaranku karena gangguan yang ada pada siang hari. Kuteliti tiap bunyi yang paling perlahan sekalipun, mengenalinya baik-baik sambil memilah-milah kemungkinan ancamannya.

Namun, aku dilatih agar jangan merasa takut atau terancam. Tak ada bobot manusia yang menekan di papan itu. Bunyi deritan itu hanya disebabkan perasaan yang tertekan. Aku merasa ada di tengah-tengah tekanan itu. Rumah yang melingkupi tubuhku saat aku sedang tidur dibangun di atas bekas tanah pertambangan. Nun jauh di bawah kamarku, di dasar rumah ini, penggalian yang bertingkat-tingkat saat penambangan dan lorong jalanan tambang-tambang emas telah melongsorkan bebatuannya serta menyebabkan tanah ini jadi berongga. Jika ada permukaan yang bergetar, ia mungkin runtuh atau longsor 3000 kaki ke bawah. Seluruh rumah bergetar sedikit dan menyebabkan batu, semen, kayu, dan kaca yang menyangga rumah menjadi longgar. Degupan jantungku menurun seperti ayunan terakhir di atas zilofon, kayu yang dibuat oleh para penambang pelarian Chopi dan Tsoinga yang pernah berada di bawah sana, di bawahku, dalam perut bumi. Tingkat tempat adanya runtuhan mungkin tak digunakan lagi, air bertetesan dari rekahannya, atau mungkin ada orang yang pernah dikubur di situ dengan batu nisan yang menyedihkan.

Sukar bagiku untuk mencari tempat guna mengistirahatkan pikiran dan tubuhku. Merelakan diri tidur kembali. Akupun bercerita pada diriku sendiri; kisah dalam tidur.

Di dalam sebuah rumah di pinggiran metropolitan, tinggallah sepasang suami-istri yang saling menyayang serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang amat mereka cintai. Mereka memiliki seekor kucing dan seekor anjing yang amat disayangi anak kecil itu. Mereka memiliki sebuah mobil dan sebuah trailer karavan yang digunakan untuk pergi berlibur. Ada pula sebuah kolam renang yang berpagar untuk mengelakkan anaknya dan teman-teman mainnya agar tidak terjatuh ke dalam kolam dan mati lemas. Mereka mempunyai seorang pembantu rumah yang amat bisa dipercaya, serta seorang tukang kebun yang rajin. Jadi, manakala mereka hendak memulai kehidupan yang bahagia untuk selama-lamanya, mereka telah dinasihati oleh seorang tukang sihir tua yang bijaksana, yaitu ibu sang suami, agar jangan mengambil siapapun di tepi jalan. Mereka tergolong masyarakat yang diberi kemudahaan dalam pengobatan, anjing peliharaan mereka diberi peneng, diri mereka diasuransikan dari musibah kebakaran, kerusakan akibat banjir, dan perampokan, serta menjadi anggota siskamling di lingkungan itu yang memberi mereka sekeping papan pengumuman di pintu pagar betuliskan "Dalam Lindungan Keamanan", mencegah kemungkinan perampokan, yang mungkin bertopeng hingga sulit diduga apakah ia orang kulit putih atau kulit hitam.

Sukar untuk mengasuransikan rumah, kolam renang, atau mobil mereka dari kerusakan akibat kerusuhan. Kerusuhan memang terjadi, tapi di luar kota, di mana orang kulit hitam ditempatkan. Orang-orang itu dilarang masuk kawasan pinggiran kota besar, kecuali pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, tak ada yang perlu dicemaskan, ucap sang suami pada istrinya. Namun sang istri masih merasa cemas kalau-kalau suatu hari nanti orang-orang ini akan turun ke jalan dan merusak papan bertuliskan DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu. Membuka pintu pagar, lalu memaksa masuk. Jangan mengomel saja, ucap sang suami, di sana ada polisi dan tentara, gas air mata dan senapan untuk mengusir mereka. Namun, saking cintanya, untuk menenangkan hati sang istri, juga karena bus-bus dibakar, mobil-mobil dilempari batu, dan anak-anak sekolah ditembaki polisi di kawasan pemukiman kulit hitam sana, jauh dari pandangan dan pendengaran orang-orang di kawasan tepian kota besar, sang suami telah memasang pagar berlistrik. Siapa yang menurunkan tanda DALAM LINDUNGAN KEAMANAN itu dan akan membuka pintu pagar, mesti menyatakan niatnya dengan menekan tombol dan berbicara melalui alat penerima yang disambungkan ke rumah. Anak kecil itu sungguh tertarik dengan alat tersebut dan menggunakannya sebagai walkie talkie dalam permainan polisi dan pencuri, bersama-sama dengan kawan-kawan yang sebaya dengannya.

Kerusuhan telah dapat ditanggulangi, tetapi pencurian banyak terjadi di kawasan tepian kota besar, dan seseorang pembantu rumah yang dapat dipercayai telah diikat dan dikunci di dalam almari oleh pencuri ketika ia diamanati untuk menjaga rumah majikannya. Pembantu rumah pasangan suami istri dan anak kecil itu merasa sedih dengan nasib malang yang menimpa rekannya. Seperti biasa, dengan tanggung jawab menjaga harta pasangan itu dan anak kecil mereka, pembantu rumah tersebut telah meminta majikannya untuk memasang terali pada pintu dan jendela rumah, serta memasang alarm. Sang istri berkata, benar ucapan pembantu itu. Ikutilah nasihatnya. Maka pada setiap pintu dan jendela rumah yang didiami oleh mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya itu, mereka melihat pohonan dan langit melalui terali, dan jika kucing piaraan anak mereka coba memanjat masuk melalui ventilasi untuk menemaninya tidur pada waktu malam sebagaimana yang biasa ia lakukan, kucing itu pun menyentuh alarm dan membangunkan seisi rumah.

Alarm tersebut nampaknya sering dijawab oleh alarm-alarm lain dari rumah-rumah lain yang disentuh oleh kucing piaraan mereka atau digigit tikus. Bunyi alarm yang nyaring, meraung dan menjerit, bersipongang satu sama lain, dan berselang-seling di halaman-halaman rumah, hingga akhirnya tidak diindahkan lagi oleh penduduk kawasan itu. Bunyinya dianggap biasa, sama dengan bunyi katak menguak hingga tidak mencemaskan para pencuri untuk mengambil kesempatan dan menggergaji terali-terali besi, lantas menerobos masuk, mengambil peralatan elektronik seperti hi-fi, televisi, tape recorder, kamera, radio, barang-barang berharga dan pakaian, serta kadang-kadang membongkar apa saja yang ada dalam lemari es jika merasa sangat lapar, bahkan berani istirahat sejenak untuk meminum wiski yang diambil dari dalam kabinet atau dari bar. Perusahaan asuransi tidak membayar ganti rugi untuk sebuah minuman malta sekalipun, kerugian besar hanya diketahui oleh pemiliknya saja. Pencuri-pencuri itu tidak langsung menghargai apa yang telah diminum oleh mereka.

Akhirnya, tibalah saat ketika banyak pembantu rumah dan tukang kebun yang tidak dapat dipercaya datang beramai-ramai memenuhi tepian kota besar itu, akibat menganggur. Setengahnya mendesak agar diambil bekerja: mencabut rumput, mengecat atap; atau apa saja. Tetapi sang suami dan sang istri teringat akan peringatan agar jangan mengambil orang yang tak dikenal. Sebagian dari mereka meminum minuman keras dan mengotori jalan raya dengan botol-botol kosong. Sebagian lagi meminta sedekah, menunggu sang suami atau sang istri ke luar dari pintu pagar yang berlistrik itu. Mereka duduk dengan kaki terjuntai ke dahan pohonan yang bagai sebuah lorong hijau di jalan raya. Sebuah kawasan tepi kota yang cantik jadi rusak oleh kehadiran mereka. Kadang mereka tertidur di depan pagar pada siang hari. Sang istri tidak sampai hati melihat orang yang kelaparan. Ia lalu menyuruh pembantu rumahnya mengantarkan roti dan teh. Tetapi pembantunya berkata bahwa mereka adalah para bandit yang akan mengikat dia dan menguncinya dalam lemari. Sang suami berkata, betul katanya, ikuti nasehatnya. Kau hanya membikin mereka jadi makin beringas dengan roti dan tehmu itu.  Mereka mencari peluang kalau-kalau… . Dan sang suami pun membawa masuk sepeda roda tiga anaknya dari taman setiap malam karena jika rumah itu benar-benar selamat, setelah dikunci rapat-rapat dan alarm dinyalakan, seseorang mungkin masih dapat memanjat tembok atau pagar yang berlistrik itu untuk masuk ke dalam taman.

Benar katamu, ucap sang istri, kalau begitu tembok itu sebaiknya ditinggikan lagi. Dan perempuan sihir tua yang bijak itu, yaitu ibu sang suami, membayar untuk tambahan batu bata sebagai hadiah Hari Natalnya kepada anak dan menantunya. Si anak kecil pun mendapat pakaian orang angkasa dan sebuah buku cerita dongeng.

Tetapi, setiap minggu terdapat banyak berita tentang perampokan di siang bolong dan di malam yang sepi, bahkan pada waktu subuh, meskipun pada bulan purnama di musim panas yang indah, sebuah keluarga sedang menikmati makan malam ketika kamar tidur di tingkat atas dibongkar. Pasangan suami istri yang sedang berbincang tentang perampokan bersenjata terkini yang berlaku di pinggir kota itu telah diganggu oleh kemunculan kucing peliharaan anak mereka yang coba memanjat tembok setinggi tujuh kaki itu, berkali-kali, mula-mula memanjat ke atas dengan kaki depannya di permukaan dinding tembok, kemudian melompat dengan gerakan yang cantik dan mendarat dengan mengibas-ngibaskan ekornya ke dalam kawasan rumah. Tembok putih itu dikotori oleh bekas jejak kucing dan di bagian luar tembok yang menghadap jalan terdapat bekas jejak dari tanah merah yang lebar seperti tapak sepatu yang tersarung di kaki penganggur-penganggur yang membuang waktu tanpa tujuan.

Ketika sang suami, sang istri dan anak kecil membawa anjing mereka berjalan-jalan di kawasan kediaman mereka, mereka tidak lagi berhenti sejenak untuk menikmati keindahan pagar mawar di halaman yang kesemuanya kini tertutup di balik pagar serta tembok-tembok dengan peralatannya. Sang suami, sang istri, dan anak kecil mereka membuat pilihan menakjubkan. Sebuah pilihan yang murah, yaitu memasang pecahan kaca yang ditancapkan di atas semenan tembok dengan jerajak besi yang berujung tajam. Ada juga usaha untuk mencontoh kehalusan seni bangunan penjara berbentuk vila Spanyol (besi-besi tajam yang dicat merah jambu) dengan pasu-pasu berbentuk labu yang ditempel dengan lukisan klasik (besi-besi tajam yang panjangnya 12 inchi berlekak-lekuk dan bercat putih). Separuh tembok dilekatkan dengan papan kecil yang ditulis dengan nama dan nomor telepon perusahaan yang bertanggung jawab memasang peralatan tersebut. Sedang anak lelaki mereka dan anjingnya berlari ke muka, sang suami dan istri membandingkan setiap bentuk yang paling berkesan, dan selang beberapa minggu, saat mereka sedang berhenti di hadapan sebuah dinding tembok tanpa berkata-kata, keduanya membuat keputusan untuk memilih sebuah bentuk yang paling baik saja, yakni bentuk yang paling sederhana namun luhur yang direncanakan seperti bentuk kamp tahanan: tidak berbunga-bunga, kuat dan sederhana. Di sepanjang tembok, terbentang gulungan besi yang keras, berkilat, tajam bergerigi serta bercabang mata pisau. Ini semua menyulitkan orang untuk coba memanjat dan merangkak ke dalam gulungan itu tanpa dia tersangkut pada gulungan itu. Sama sekali tak ada jalan ke luar bagi mereka yang terlibat di situ. Setiap percobaan hanya akan menyebabkan darah keluar lebih banyak lagi. Semakin terkait, kulit makin terkoyak dan luka makin jadi dalam. Sang istri terpesona memandangnya. Betul katamu, ucap sang suami, siapapun akan berpikir dua kali… dan mereka mulai menimbang nasihat yang tercatat di atas papan kecil yang dilekatkan di tembok. Hubungi GIGI NAGA. Masyarakat ingin keselamatan yang mutlak.

Keesokan harinya, sekumpulan pekerja datang merentangkan gulungan berduri dan berpisau di sekeliling tembok rumah, di mana tempat sang suami, sang istri dan anak lelaki mereka yang kecil tinggal bersama-sama dengan anjing dan kucing peliharaan mereka dengan penuh kebahagiaan buat selama-lamanya. Cahaya matahari memancar dan cahayanya menerpa mata pisau bergerigi yang mengelilingi rumah tersebut, menyilaukan. Sang suami berkata, tak mengapa. Kilau itu akan hilang nanti. Sang istri berkata, tidak mungkin, mereka menjamin gulungan itu tahan karat. Dan sang istri menunggu hingga si anak kecil pergi bermain, lalu berkata, saya harap si kucing peka. Sang suami berkata, jangan cemas sayang, kucing selalu melihat sebelum melompat. Mereka benar, karena sejak hari itu, kucing mereka hanya tidur di kamar si anak dan bermain di taman saja, tidak pernah coba melanggar pagar keamanan itu.

Pada suatu malam, sang ibu membacakan sebuah kisah dongeng pada sang anak dari buku yang dihadiahkan oleh perempuan sihir tua yang bijak pada hari Natal. Pada keesokan harinya, si anak beraksi seperti seorang putra raja yang gagah berani melepas dan membabat duri-duri tebal untuk masuk ke istana dan mengecup sang puteri yang tidur serta menyadarkannya kembali. Si anak membawa tangga ke tembok. Ia menyusupkan diri ke dalam gulungan yang berkilat itu semuat-muat badannya. Kaitan yang pertama mengenai lututnya. Lalu tangannya, kepalanya. Ia menjerit kesakitan dan meronta semakin ke dalam gelungan itu. Pasangan pembantu rumah dan tukang kebunlah yang pertama kali melihat peristiwa itu, lalu segera berlari mendapati si anak kecil dan menjerit bersama-sama dengannya. Tukang kebun yang rajin itu telah luka tangannya ketika mencoba menyelamatkan si anak. Datanglah kemudian sang suami dan sang istri dengan tergopoh menuju taman. Dalam pada itu, entah apa sebabnya (mungkin kucing, agaknya) alarm pun menggila di tengah-tengah jeritan mereka, sementara si anak yang bermandi darah dikeluarkan dari gulungan dengan menggunakan gergaji, pemotong kawat, kapak, dan sebagainya. Mereka -sang suami, sang istri, pembantu rumah yang dipercayai yang tengah diserang histria, dan tukang kebun yang menangis- membawa anak itu masuk ke dalam rumah.*** Nadine Gordimer, lahir di Transvaal, 1923. Cerpenis dan novelis Afrika Selatan ini banyak mendapat penghargaan di bidang sastra, antara lain: Booker Prize, the W.H. Smith Commmonwealth Literature Award, dan the Scottish Arts Council Neil M. Gunn Fellowship. Dia seorang dosen tamu di Royal Society of Literature, dan anggota kehormatan American Academy and Institute of Art and Letters. Kumpulan cerpennya antara lain Livingstone Companions, Not dor Publication, Friday's Footprint, Selected Stories, A Soldier's Embrace, Jump and Other Stories, dan Something Out There. Nobel Sastra diraihnya pada tahun 1991. Diterjemahkan oleh Agus dan Nikmah Sarjono


Hosted by www.Geocities.ws

1