BUKU TAMU     KIRIM ARTIKEL      LINK FAVORIT     DISKUSI      KONTAK      BERITAHU TEMAN     POLLING  

 

Terima Kasih Telah Menghampiri :

Silah Unduh Artikel & Hasil Penelitian:

 

Menunggu Lagi Kebijakan UN 2006

Oleh : Falah Yunus

 

*) Falah Yunus seorang pedagang yang tertarik pada dunia pendidikan

 

Ada kiat-kiat yang saya perhatikan dilakukan oleh sekolah dan siswa dalam mempersiapkan diri sungguh-sungguh agar sukses dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) 2006 ini. Dalam hal ini siswa sedang memberlakukan dirinya dalam kedaaan prihatin atau sedang menerapkan kata “bersakit-sakit dahulu, berbahagia kemudian”, adapun kiat-kiat itu adalah:  1. Bimbingan cara-cara belajar yang efektif yang diberikan oleh BP/BK di sekolah. Seperti cara membaca cepat, cara berkonsentrasi, cara memahami materi soal, cara mengerjakan soal, cara mengisi LJK dengan pinsil 2B; 2. Tiap hari secara sungguh-sungguh siswa belajar  3 (tiga) mata pelajaran yang di UN 2006; 3. Pemberian motivasi untuk berprestasi baik dari guru, orang tua dan terutama dari siswa itu sendiri untuk lulus dan mengingat kegagalan yang tidak diberi waktu untuk mengulang, kecuali tahun depan atau kalau mau ikut ujian Kejar Paket C; 4. Tidak selalu bersumber dari guru dan belajar hanya dari satu buku sumber melainkan dari berbagai buku sumber serta buku-buku latihan UN yang banyak beredar di toko-toko buku atau mungkin disediakan  di perpustakaan sekolah; 5. Tutor sebaya yaitu siswa yang kurang mampu dibantu oleh siswa yang lebih mampu untuk memahami materi dan soal-soal latihan UN; 6. Belajar berkelompok yang bisa memungkinkan siswa berdiskusi bersama untuk memahami materi dan memecahkan soal-soal latihan UN; 7. Siswa mengikuti bimbingan belajar baik yang diadakan di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar; 8. Siswa belajar secara serius dengan mempelajari materinya, lalu mengerjakan latihan soal-soal. Jika punya buku latihan/kumpulan soal bisa dikerjakan dan di beri nilai sendiri untuk mengetahui kemajuan keberhasilan belajar; 9. Siswa mengenvampingkan hal-hal yang mengganggu konsentrasi dan mengurangi waktu belajarnya seperti mengurangi menonton TV, mengurangi bermain game, mengurangi jalan-jalan hanya untuk iseng, mengurangi sementara aktivitas yang menjadi hobby, mengurangi penggunaan handphone yang hanya untuk lifestyle ketimbang sebuah alat komunikasi. Biasanya orang tua juga tanggap dengan berusaha mengurangi beban siswa dalam membantu pekerjaan orang tua; 10. Perhatian ekstra dari guru disekolah dan terutama dari orang tua/wali kepada anaknya yang bertujuan agar belajar dengan semangat, serius, dan lebih lama dan tidak loyo/kecapekan. seperti pemberian sarapan dan makanan yang bergizi, pemberian  hukuman dan penghargaan yang sifatnya membangun; 11. Pemberlakuan jam belajar oleh Pemerintah atau pihak dinas pendidikan kepada pelajar dimulai dari jam 18.00 – 22.00; 12. Pemberian support dari adik-adik kelas, OSIS, Pemerintah, Disdik, masyarakat, dan stakeholder lainnya seperti pemberian kartu ucapan, spanduk, atau cara-cara publikasi lainnya yang intinya mendorong para pejuang muda itu untuk sukses melaksakan UN 2006;  13. Berdo’a dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon keberhasilan, kemudahan mengerjakan soal, kelulusan dengan memuaskan. Jika orang Islam selain berdo’a juga melakukan sholat sunnah seperti sholat dhuha dan solat Lail. Ingat kata Latin ‘ora et labora’ (berusaha dan berdo’a).

 

Saya yakin pihak sekolah maupun pihak penyelenggara bimbel akan memberikan bimbingan dan Try Out kepada siswa dengan cara : 1. Menyediakan guru bimbel yang berkompetensi, rajin dan berusaha keras; 2. Bersungguh-sungguh memberikan bimbel dari materi UN dengan berbagai strategi, seperti membuat soal-soal latihan dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi dari contoh-contoh hasil Unas tahun lalu, memberikan penguatan materi dengan lebih mendalam, memberikan teknik cara cepat mengerjakan soal-soal latihan; 3. Membuat latihan soal maupun soal Try out yang valid dan reliable sehingga soal itu betul-betul dapat digunakan sebagai alat ukur keberhasilan belajar siswa. 4. Melakukan Try Out sekurang-kurangnya tiga kali, mengoreksi, dan mengkomunikasikan hasil Try Out kepada siswa sehingga siswa tahu dimana letak kekurangan dan kelebihannya dalam memahami materi dan mengerjakan soal serta mengkomunikasikan kepada orang tua/wali agar dapat lebih memperhatikan putra-putrinya.  

Namun apa yang dianggap pihak sekolah, orang tua dan siswa yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk berhasil kenyataanya ketika Try Out bahkan dengan Try Out soal  Pra Unas yang dianggap soalnya mendekati soal UN, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Sebagaimana di lansir Harian Kaltim Post (12 April 2006), kelulusan Pra-UN di bawah 50 Persen,  bahkan di kabupaten Malinau khusus jenjang SLTA, tingkat kelulusan nol persen atau tidak lulus sama sekali. Ini cambuk atau warning buat Kepala sekolah untuk memberi pengayaan materi menghadapi UN di bulan Mei ini.

 

Lalu apa yang bisa diperbuat oleh sekolah untuk mendongkrak nilai UN 2006 agar mendapat nilai mata pelajaran minimal mencapai angka 4,26 tapi dengan rata-rata nilai 4,51, dan ternyata tidak berhasil?. Menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyatakan standard nilai ujian nasional yang ditetapkan 4,51 merupakan standard nilai yang cukup rendah dan harus terus ditingkatkan hingga 7,5 untuk kedepannya. Dalam hal ini mutu pendidikan identik dengan prestasi belajar, sehingga keberhasilan UN merupakan indikator keberhasilan mutu pendidikan.

 Sejujurnya ada kejadian tahun-tahun yang lalu dalam pelaksanaan Ebtanas/UNAS yang menggunakan cara untuk menyiasati agar siswanya sukses. Cara-cara ini bisa dilakukan  pada sekolah-sekolah yang kurang mempunyai percaya diri bisa terjadi pada sekolah yang ingin menjaga harga diri serta sekolah yang memang menginginkan siswanya lulus tanpa mempedulikan dia mampu atau tidak, antara lain: 1. guru mata pelajaran yang UN kan berbisik-bisik memberi kunci jawaban, 2. pemberian kunci jawaban dari guru kepada siswa dengan tidak kentara misalnya kunci jawaban di tulis di dinding WC sehingga siswa bisa mengakses dengan pura-pura meminta ijin kepada pengawas untuk buang air kecil; 3.  tanpa pengawas silang atau pengawasan silang yang dilonggarkan yang memungkinkan siswa bisa bekerjasama, menyontek, 4. pengaturan tempat duduk sedemikian rupa yang memungkinkan jawaban dari siswa pintar  bisa diakses dengan mudah oleh siswa yang kurang pintar; 5. Sekolah menggiring siswa agar dalam ujian para peserta dapat saling membantu, 6. Memberi perintah kepada siswa hanya mengerjakan misalnya 20 soal saja sedang selebihnya akan diselesaikan oleh guru-guru yang telah ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai tim sukses; 7. Penggunaan SMS lewat handphone untuk mendistrbusikan jawaban antar teman; 8. Memeriksa kembali LJK oleh tim sukses  bentukan Kepala Sekolah sebelum LJK dikirimkan ke Subrayon atau Rayon atau ke Disdik  dan cara-cara kreatif atau cantik lainnya. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam semangat perjuangan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

Jika ini dianggap tidak jujur atau tidak  bijaksana oleh nurani kita, lalu siapa yang tidak jujur atau tidak bijaksana sebenarnya, dari sekolah (para guru-guru) atau dari pihak pembuat kebijakan (Depdiknas)?. Seperti dikatakan Suyanto, selama ini hasil UAN atau ebtanas tidak pernah ditindaklanjuti upaya perbaikan pendidikan (Kompas, 7 April 2004). Sekolah yang bisa membawa siswanya mencapai nilai ebtanas murni (NEM) tinggi mendapat penghargaan, dan konyolnya dimaknai sebagai sekolah unggul. Akhirnya sekolah hanya berfokus pada UN saja dimana  guru melakukan taktik pengajaran yang ditujukan untuk membawa anak didik pintar menembus pintu testing. Bahkan, ditemukan sejumlah sekolah dasar (SD) di Kota Batu, Jawa Timur, menggunakan seluruh waktu semester terakhirnya khusus untuk latihan testing.

Lalu apa makna pelajaran lainnya yang tidak termasuk di UN-kan. Apa berarti mata pelajaran lain itu tidak penting?,   Bagaimana dengan makna kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi dengan prinsip penilaian berbasis portofolio. Sekarang sedang dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh siswa yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Ternyata UN bertentangan dengan kurikulum berbasis kompetensi karena UN hanya menilai dari aspek kognitif saja.

Pelajaran lain akhirnya seolah-olah hanya dijadikan pelengkap saja. Praktikum yang bisa mengembangkan kemampuan analisis siswa, uji kompetensi di SMK yang bisa dijadikan tolak ukur ketrampilan siswa untuk prasyarat memasuki dunia kerja, ujian sekolah, ujian keagamaan di MTs dan MA hanya diujikan kepada siswa dengan mudah sekolah memberi nilai lulus, karena sekolah ingin membantu meringankan beban siswa dalam menghadapi UN, agar siswa lebih berfokus pada UN.

Namun pada akhirnya saya setuju dengan program UN sebagai upaya untuk mengukur mutu pendidikan seperti juga diterapkan di negara Malaysia dan Jepang, hanya standar mereka lebih tinggi dari kita, ini mengingat masih belum ada alternative lain yang lebih pas untuk mengukur mutu pendidikan.  Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa ujian nasional alias UN yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat dengan menetapkan standar kelulusan tertentu merupakan upaya untuk melecut motivasi semua kalangan agar meningkatkan mutu pendidikan. Dengan melaksanakan ujian berstandar nasional, semua pihak, terutama siswa dan guru, akan terpacu untuk belajar dan bekerja keras (Kompas, 4/1/05).

 

Namun kekhawatiran akan kegagalan siswa UN 2006 karena standar kelulusan yang tinggi itu masih ada. Ada ide-ide ingin menyiasati UN segera dimulai dengan membentuk tim sukses UN yang bermain cantik, tidak kasar, tidak kentara dengan tingkat kelulusan siswa antara 98 -100%. Namun ada juga yang ingin apa adanya, artinya siswa mengerjakan soal dengan pengawasan ketat dan tanpa bantuan dari siapapun.  Jika demikian alangkah bijaknya jika para pembuat kebijakan itu membuat kebijakan yang bijaksana berpihak pada kemaslahatan rakyat banyak, dan kemaslahatan dunia pendidikan dengan mempertimbangkan :

  1. Batas minimal kelulusan siswa, terasa berat untuk diberlakukan pada setiap daerah secara sama mengingat kualitas, fasilitas dan tenaga guru yang berbeda yang akan menghasikan kualitas siswa yang berbeda, jadi tidak bisa asal disamakan.

  2. Banyak diantara guru yang memang kompetensi mengajarnya masih kurang dan banyak yang tak layak mengajar.  Pernah diadakan uji kompetensi guru oleh Disdik Prop. Kaltim di Samarinda untuk mata pelajaran matematika, bahasa Inggris dan matematika pada tahun 2005 kemarin yang sebagian besar nilainya rendah alias belum lulus. Disadari atau tidak guru punya peran utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Di Kaltim menurut Kepala Dinas Pendidikan Kaltim Syafruddin Pernyata mengatakan, jumlah guru yang tidak layak mencapai 20.394. Angka ini lebih besar dibanding jumlah guru yang layak mengajar yakni 14.430 guru (Kaltim Post, 10 Mei 2006). Rendahnya  mutu guru disebabkan adanya praktik KKN dalam perekrutan/seleksi guru sehingga bisa terjadi kemampuan guru rendah tapi bisa diangkat menjadi guru, penghasilan guru yang dibawah 2 juta membuat kesulitan guru dalam mengembangkan kompetensinya dan mengembangkan etos kerjanya karena tekanan biaya hidup, namun juga perlu diakui bahwa guru bisa berasal dari lulusan perguruan tinggi yang kurang bermutu pula. Bisa dikatakan jika gurunya belum pintar begitu juga siswanya, dan ini berarti para guru perlu ditingkatkan kembali kompetensinya.

  1. Adanya jumlah kemiskinan yang semakin meningkat karena belum stabilnya iklim investasi yang dapat membuka lapangan kerja dan dampak kenaikan BBM. Menurut laporan BPS Kaltim kenaikan warga miskin di Kaltim  mencapai 76,31% dari 318.200 jiwa pada tahun 2004 menjadi 561.023 pada tahun 2005. Artinya ada dari warga miskin itu adalah para orang siswa yang pasti mengalami kesulitan biaya dalam membayar biaya pendidikan putra-purinya. Jika putra-putrinya ada yang gagal UN maka pasti semakin berat biaya yang ditanggung orang tua/wali siswa dari warga miskin itu.

  2. Banyaknya siswa yang gagal UN 2006 pada saat bangsa sedang mengalami keprihatinan saat ini bisa menuai banyak kekecewaan yang bisa menuai banyak kecaman pula. Namun mudahan-mudahan tidak timbul gejolak kemarahan yang anarki.

  3. Pembangunan pendidikan sekarang hampir dipastikan korup mengingat penyakit mental bangsa kita yang KKN dan Kroniisme yang sulit dikikis. Seperti PSB lewat belakang. Perekrutan kepala sekolah yang berbiaya tinggi, sarat unsur politis. Proyek pendidikan yang di markup dan korup seperti pembangunan yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun 4 kelas hanya menjadi 2 kelas. Proyek pengadaan fasilitas sekolah yang digelembungkan harganya. Guru dan siswa yang mangkir mengajar dan belajar karena budaya etos kerja bangsa kita yang rendah  walaupun sejak otonomi daerah ada guru yang mendapat insentif dari Pemkot/Pemkab . Pemberian nilai pelajaran yang dikorup sehingga siswa sering mendapat nilai baik di raportnya  padahal tidak sepadan dengan kemampuan siswanya, dengan adanya kejadian UN baru disadari bahwa selama ini guru masih kurang dalam mengajar, dalam menyusun alat evaluasi dan dalam pemberian nilai hasil evaluasi, di sadari bahwa siswa telah menggeser nilai-nilai kepribadiannya menjalani budaya santai, baru disadari bahwa orang tua juga berhak untuk memberi pendidikan kepada anaknya bukannya menggantungkan kepada guru, dan pemerintah harus menyadari bahwa keberhasilan pendidikan merupakan cermin keberhasilan pemerintahannya. Bisa dilogikakan pada pendidikan yang korup bisakah mutu ditingkatkan, masalahnya mendidik itu lebih banyak bersentuhan dengan hati dan pengabdian karena yang dikelola itu manusia bukan benda.  

 

Sebagai langkah kedepan saya berharap agar perekonomian di Indonesia, Kaltim dapat  tumbuh kembali dan disertai dengan kestabilan politik. Investor merasa aman dalam menanamkan modal di Indonesia apalagi disertai dengan semangat untuk membantu Indonesia bangkit dari keterpurukan dan berpihak pada buruh. Bukan investor yang mengaku Indonesia banget, justru memindahkan investasinya ke negara lain. Adanya investor yang menanam modal di tanah air kita  akan menumbuhkan lapangan pekerjaan dan adanya lapangan pekerjaan akan memerlukan SDM yang dalam era global tentu diperlukan yang unggul baik intelektual, mental maupun spiritual dengan etos kerja yang unggul pula. Adanya permintaan SDM akan menyadarkan pentingnya anak bangsa untuk meningkatkan kompetensinya agar bisa bersaing di dunia kerja. Ini akan membuat pendidikan menjadi berbenah dalam meningkatkan mutu outputnya, pada saat itulah pendidikan berlomba-lomba meningkatkan mutu entah lewat mode UN atau mode lain.   Bukannya sekarang, menurut Menakertrans, karena belum membaiknya iklim investasi tahun (2006) ini pengangguran terbuka  meningkat menjadi 10,8 juta jiwa. Belum membaiknya iklim investasi juga membuat banyak pekerja yang terancam pemutusan hubungan kerja (Kaltim Post, 18 April 2006).  Ini artinya siswa akan mempunyai motivasi yang tinggi untuk mencapai prestasi belajar  jika telah tersedia jaminan lapangan bekerja bagi mereka dengan kriteria tertentu sesuai dengan keinginan dunia kerja. Kalau begitu timbul pertanyaan, mana yang diprioritaskan usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau mengusahakan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik?.  Jika ada pemerintah yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik sehingga lapangan kerja terbuka daripada peningkatan mutu pendidikan, jangan disalahkan. Siapa tahu ia berpikiran bahwa pendidikan sistem persekolahan tidak bisa sebagai penggerak pembangunan, mengutip Gass (1984) dalam tulisannya “Education versus Qualification” menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.  Yeah, rupanya para pengambil kebijakan  perlu memikirkan lagi cara mengurus pendidikan, jika menganggap pendidikan lebih penting. Namun jika pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik lebih penting, pengambil kebijakan boleh mengatakan: “setelah itu muncul dengan sendirinya usaha-usaha meningkatkan mutu dan perluasan pendidikan”.

 

Kalau saya sih maunya ketiga-tiga jalan saling isi mengisi yaitu pertumbuhan ekonomi, kestabilan politik dan kebijakan pendidikan yang mendorong kompetisi di dunia pendidikan. Cuma satu syaratnya “mari bertakwa kepada-NYA"

                                                     Sumber : Kaltim Post, 29-30 Mei 2006

Cari di sini

Site  Web

powered by FreeFind

 

 

Komentar Pada Tulisan Ini :

 

 

Last Update:

 

Since June,18.2000

Copyright ©2000, Guruvalah Inc., All Rights Reserved  

Hosted by www.Geocities.ws

1