Sejarah
Wirasaba (pamali hari naas sabtu paing)
Adipati Warga Utama I mempunyai empat orang anak, yaitu (1) seorang putri yang menikah dengan putra Mranggi Kejawar (Jaka Kaiman), (2) Ki Ageng Senon, (3) Ki Ngabehi Wargawijaya dan (4) seorang putri yang dinikahkan dengan putra Ki Demang Toyareka.


  • Fitnah Ki Demang Toyareka

    Perkawinan putri bungsu dengan putra Ki Demang Toyareka ini 'elik'. Oleh karena itu, perkawinan ini diceraikan dengan hukum Islam oleh Sang Adipati.


    Tidak lama kemudian, Sultan Pajang meminta kepada seluruh adipati bawahannya agar mengirimkan seorang putri untuk dijadikan "pelara-lara". Sang Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya (bekas menantu Ki Demang Toyareka) kepada Sultan Pajang. Putra Demang Toyareka amat marah mendengar bekas istrinya diserahkan kepada Sultan Pajang. Oleh karena itu, ia bersama lima orang pengiringnya pergi ke Pajang untuk meminta keadilan Sultan Pajang. Kemudian orang-orang Toyareka berjemur di dekat pohon beringin kembar dan diperiksa oleh gandek. Putra Demang Toyareka menyatakan bahwa istrinya diserahkan kepada Sultan oleh Sang Adipati Wirasaba. Pengaduan itu kemudian dilaporkan kepada Sultan. Sultan sangat marah dan menjatuhkan hukuman mati bagi Adipati Wirasaba yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Wirasaba setelahmenyerahkan putrinya. Sultan bagai keranjingan iblis tanpa memeriksa wanita yang bermasalah itu. Lalu, beliau mengirimkan tiga orang gandek untuk melaksanakan eksekusi terhadap Adipati Wirasaba dimanapun dapat ditemukan.
    Sultan pulang ke istana dan memeriksa putri Wirasaba. Ternyata pengaduan putra Demang Toyareka tidak benar. Sang Adipati Wirasaba tidak bersalah. Karena itu, Sultan mengirimkan kembali tiga orang gandek untuk mencegah hukuman mati yang ditimpakan kepada Adipati Wirasaba.


      
  • (pamali sang adipati)
    |atas|


  • Hari Naas Sabtu Paing

    Sementara itu Adipati Wirasaba dalam perjalanannya pulang mampir di rumah sahabatnya, yaitu Kiai Ageng Bener. Di situ, Sang Adipati disuguh nasi dengan lauk pindhang banyak dan duduk di bale bapang (bale malang). Ketika sedang menikmati hidangannya, Sang Adipati melihat ada tiga orang gandek menyusulnya. Sang Adipati menanyakan keperluan mereka. Namun, ketiga orang gandek itu mempersilahkan Sang Adipadi untuk menyelesaikan hidangannya.


    Pada saat itu, tiga orang gandek yang menyusul telah datang. Mereka melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan agar hukuman mati dibatalkan. Tetapi ketiga gandek yang sedang menunggu Sang Adipati tidak tahu isyarat itu. Bahkan isyarat itu dianggap sebagai tanda untuk segera melaksanakan perintah Sultan Pajang. Sudah menjadi takdir, Sang Adipati ditusuk dadanya dan luka parah. Di situ, kedua rombongan gandek bertengkar saling menyalahkan. Meskipun luka, Sang Adipati sempat menasehati mereka agar tidak bertengkar dan melaporkan kepada Sultan bahwa hukuman mati telah dilaksanakan tanpa dicegah oleh gandek yang datang kemudian. Sang Adipati juga menyatakan bahwa kesalahpahaman gendek dan perintah Sultan adalah sarana takdir atas kematiannya.

    Ki Tolih sebagai tawanan memberanikan diri mengikuti sayembara. Akhirnya, Ki Tolih berhasil menaklukkan kuda itu dengan mudah. Ternyata kuda milik baginda raja kemasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah. Sebagai seorang pemenang sayembara, Ki Tolih menolak hadiah raja. Yang diminta adalah keris gajah Endra yang dibawanya dari Negeri Keling. Ki Tolih kemudian mengembara dan sampai di daerah Kaleng dan mengabdi pada Adipati Kaleng. Rakyat Kaleng hidup makmur, murah sandang dan pangan.


    Sebelum meninggal, Sang Adipati memberikan pamali kepada keturunannya :
    
    
             /4/ anak putu aja ana kang met mantu/
    wong ing Toyareka benjing/
    lan aja nganggo ing besuk/
    jaran wulu dhawuk abrit/
    poma ing wawekas ingong//

    /5/lawan aja nganggo bale bapang besuk/
    lan aja ana kang mangan/
    iwak banyak wekas ingsun/
    aja lungan dina pahing/
    poma iku wekas ingong//


    |atas|

  • Pamali Sakral

    Legenda gari pahing memang tidak terlepas dari keempat pamali lainnya, bahkan kelima pamali itu merupakan pamali sakral dan bukan pamali yang profan. Kelima pamali itu merupakan satu kesatuan yang saling berinterrelasi dan memunculkan makna yang utuh.


    Pamali yang pertama terkait dengan Toyareka. Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristiwa. Toya artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur. Pamali yang pertama terkait dengan Toyareka. Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristiwa. Toya artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur.
    Pamali yang pertama terkait dengan Toyareka. Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristiwa. Toya artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur.

    Sebuah penghargaan untuk Dian Nuswantoro
    "sebagai awal untuk yang lebih baik"


    | Babat 1 || Babat 3 || Babat 4 || Back |





    catatan kaki :
    Pamali Adipati Warga Utama I menjadi kisah legendaris bagi keturunannya, khususnya masyarakat Banyumas. Pamali hari sabtu pahing dalam teks ini memang dilengkapi dari tradisi lisan dan teks-teks lain Babat banyumas dengan hari sabtu. Ada kemungkinan, teks sejarah Wirasaba merupakan teks yang tua yang hanya menyebut hari pahing saja.


  • Hosted by www.Geocities.ws

    1