DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT
( Delirium in the Hospitalised Elderly )

The Australian Journal of Hospital Pharmacy Volume 31, No. 1, 2001
Oleh: Juli A Moran, Michael I Dorevitch

Diterjemahkan oleh : IKA SYAMSUL HUDA MZ, MD. dkk.
Topik lain: Klik di sini.  Medical Record Software 1.02:   DOWNLOAD

Abstrak

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. Delirium biasanya disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk menginduksi/mendapatkan delirium. Meskipun sebelumnya delirium dipercaya sebagai kondisi "self limiting" (sembuh sendiri) daya pulih sempurna adalah perkecualian. Prognosis-nya buruk. Dengan kematian yang bermakna meningkatkan biaya perawatan dan kebutuhan untuk perawatan rumah tambahan, rehabilitasi, dan perawatan rumah jangka panjang.

Pengantar

Delirium (diketahui juga sebagai sindroma otak akut) adalah sebuah diagnosis klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan sebagai variasi kognitif dan gangguan tingkah laku (Tabel 1). Ini biasanyan merupakan sebagian problem umum di antara pasien rawat RS dan insidensinya meningkat dengan umur. Delirium sebelumnya dipercaya sebagai kondisi yang sembuh sendiri (self limiting), sekarang nyata bahwa delirium mempunyai prognosis buruk, meningkatkan biaya rawat, peningkatan kebutuhan institusional, rehabilitasi dan perawatan rumah. Meskipun kurang serius delirium menyebabkan Delirium secara sering tidak dikenali diantara pasien lansia yang dirawat..

Epidemiologi

Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami 'sindroma parsial' (memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi kriteria diagnosis DSM-IV). Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan sebagian sedang memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda(sign) lagi setelah tiga hari atau lebih perawatan atau pembedahan. Levkoff dkk. pada studi 325 usila di RS melaporkan hanya 10 % delirium dengan 31%nya timbul selama perawatan. Juga pada studi 225 pasien rawat di unit geriatri akut dilaporkan oleh O'Keeffe dan Lavan 18% delirium selama perawatan dengan 29% terjadi kemudian. Lama rata-rata gejala , yang memenuhi kriteria DSM-III adalah 7 hari, meskipun 5% menetap lebih dari 4 minggu setelah didiagnosis. 38% nya dengan perburukan yang baru dari orientasi dan daya ingat yang masih tetap buruk selama sebulan, pada saat 32% mengalami perbaikan gejala.

Patofisiologi

Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas kortikal dan subkortikal. Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat karena penurunan metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna tetap tidak jelas.Hal lain delirium dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat pada otak akibat diinduksi stress.

Etiologi

Delirium disebabkan kompleks yang saling mempengaruhi diantara faktor predisposisi (Tabel 2) dan pencetus (Tabel 3). Pasien dengan beberapa faktor predisposisi mungkin menjadi delirium dibanding pasien tanpa faktor tersebut. Ada hubungan terbalik antara predisposisi host dan beratnya pencetus dengan banyaknya pasien mengalami sebagai akibat hal sepele (ringan). Pasien tanpa faktor resiko biasanya membutuhkan penyebab agak berat (seperti kecelakaan otak bermakna) untuk menginduksi delirium, meskipun penting untuk diingat pasien yang mempunyai delirium sebagai akibat penyebab minor, yang mungkin tak dikenali, yang mendasari demensia.

Tabel 2. Faktor predisposisi.
Tabel 3. Faktor pencetus (presipitasi).

Obat dan Delirium

Preparat farmasi, bebas atau degan resep dapat menyebabkan delirium pada lansia dan menyebabkan 11-30 % perawatan RS. Studi terhadap 432 pasien umur > 65 tahun di sebuah RS Universitas, Rudberg dkk menunjukkan bahwa 43 % kasus delirium berhubungan dengan obat. Lindley dkk menunjukkan bahwa 26 % dari 416 ( 6,3%) perawatan pasien usila di RS Pendidikan sebagai akibat reaksi obat tak dapat diinginkan, 50% karena obat-obatan yang tak cocok.

Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara khusus beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.Obat-obatan yang melewati sawar darah otak menyebabkan delirium. Delirium karena toksisitas obat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan 'indeks terapi sempit', meskipun beberapa obat seperti digoxin dilaporkan menyebabkan delirium pada keadaan normal. Pasien dengan intoksikasi alkohol dapat menyebabkan delirium selama perawatan meskipun withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari setelah dirawat, seperti withdrawal hipnotik dan sedatif.

Obat-obatan secara umum dapat menyebabkan delirium seperti pada tabel 4. Obat paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik, antikolinergik dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati pada lansia, khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini harus dipakai sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat hipoglikemi, khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang juga bermanifestasi konfusio.

Tabel 4. Obat-obat yang menyebabkan delirium.

KLINIS

Diagnosis delirium dibuat klinis. Gambaran khasnya adalah fluktuasi kognisi, biasanya memburuk pada malam hari dan membaik dengan relatif. Biasanya terdapat efek kognitif multipel termasuk kurangnya perhatian, daya ingat dan fungsi lebih tinggi yang terjadi akut beberapa jam sampai dengan hari. Gangguan persepsi termasuk halusinasi (khususnya visual) dan delusi (biasanya penganiayaan) dan kejadian dari proses pikiran yang abnormal adalah umum terjadi..

Jarang terjadi gangguan dari siklus tidur-bangun dengan gambaran awal insomnia dan mimpi buruk. Gambar klasik delirium termasuk kurang istirahat, rasa gembira, pembicaraan yang tertekan, tertawa, berteriak dan hiperaktifitas otonom (seperti diaforesis, takikardi dan cemas). Perilaku ini dapat mengganggu RS atau rumah perawatan dan suatu saat sulit diatasi.

Meskipun delirium adalah problem kognitif pasien, itu dapat menyebabkan keluhan somatik termasuk 'gait' dan gangguan keseimbangan dengan peningkatan jatuh, depresi, gangguan menelan (meningkatkan resiko aspirasi) dan inkotinensia urin serta alvi.

Sampai 2/3 pasien delirium tetap tak terdiagnosa oleh dokter. Dalam studi prospektif 229 lansia yang dirawat di RS tersier Francis dkk menemukan dokter mendiagnosa hanya 8 dari 50 (16%) pasien yang memenuhi kriteria DSM III dari delirium. Beberapa studi lain memperkirakan 32-67% pasien delirium tetap tak terdiagnosa. Sebab kunci tak terdiagnosanya delirium adalah banyak pasien tidak memperlihatkan tingkah laku psikomotor hiperalert yang dapat dikenali seperti di atas. Sebagian besar pasien delirium ternyata hipoalert, diam dan kurang gerak, sering terjadi penyimpangan tidur ( mengigau) dengan percakapan pelan dan inkoheren. Pada lingkungan RS yang sibuk mereka dianggap sebagai pasien model dari diagnosa delirium diabaikan. Francis dkk memperlihatkan kurang dari � dari 22% dengan delirium mempunyai tingkah laku mengacau meski > 50% menjadi inkotinensia urin.

Fluktuasi delirium juga mengacaukan diagnosa seperti pasien dengan mengacau malam hari mungkin tampak normal pada saat kunjungan bangsal Dr di pagi hari. Ini digabung dengan fakta bahwa test kognitif jarang dikerjakan di RS. Pada studi 100 pasien dengan bedah elektif dan emergency di sebuah RS Universitas Ni Chonchubhair dkk menunjukkan 10 point Abbreviated Mental Test Score (AMTS) secara rutin pada saat masuk dan 3 hari kemudian. Mereka mendapatkan penurunan > 2 angka post operatif mempunyai sensitifitas 93 % dan spesifisitas 84% untuk mendeteksi delirium seperti DSM III. Juga riwayat yang baik dari fungsi kognitif jarang diambil oleh staf RS, yang akan melengkapi riwayat lengkap untuk membedakan delirium dan demensia. Ada kuosioner; misalnya Informant Questionnaire on Cognitive Decline in Elderly (IQCOPE) yang akan menolong diagnosa demensia pada pasien lansia.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan delirium di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis awal, pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus, tindakan suportif dan, bila perlu, pengobatan.

Pencegahan

Delirium merupakan suatu masalah yang umum dan serius yang paling baik dicegah, meskipun identifikasi awal delirium yang nyata dapat membantu mengurangi lamanya gejala. Pasien resiko tinggi hendaklah diidentifikasi sesegera mungkin melewati penyaringan pada saat atau sebelum masuk rumah sakit (Tabel 2). Hal ini khususnya penting untuk persiapan bedah dan hendaklah rutin pada saat klinik preoperatif. Pada suatu penelitian 100 pasien tua delirius O'Keeffe dan Lavan menunjukkan bahwa ko-eksis dari pre-eksis gangguan kognitif, sakit berat dan peningkatan urea serum memperkirakan awitan delirium pada 100% pasien. Serupa, Francis dkk. pada suatu penelitian pasien lansia menunjukkan bahwa mereka dengan tiga atau lebih faktor resiko spesifik (sodium abnormal, sakit parah, demensia, atau hipotermia, pemakaian obat psiko-aktif dan uremia) mempunyai 60% insiden delirium. Demikian jelas bahwa sarana pengkajian diperlukan untuk mendiagnosis dan pemantauan delirium dan untuk mengkajian keampuhan pengobatan.

Metode Pengkajian Konfusio (Tabel 5) telah dikembangkan oleh Inouye dkk. untuk dipakai oleh klinisi non-psikiatrik. Ia didasarkan pada kriteria DSM-IIIR dan dibenarkan penilaiannya oleh psikiatris.

Tabel 5. Metode Pengkajian Konfusio
  1. Awitan akut dan fluktuasi arah DAN
  2. Tanpa perhatian (seperti mudah kebingungan) DAN
  3. Pikiran tak teratur ATAU
  4. Perubahan tingkat kesadaran (termasuk lengar atau sangat waspada).

Penelitian intervensi untuk mengurangi insiden delirium didasarkan pada pendekatan medik geriatrik umum, perawatan, intervensi keluarga dan perubahan praktek anestesi, termasuk pengendalian tekanan darah perioperatif. Sementara kebanyakan tipe intervensi menunjukkan keuntungan, sedikit yang bermakna secara statistik. Tetapi, beberapa penelitian ini mempunyai keterbatasan (untuk contoh, sejumlah kecil ), dan kebanyakan terfokus pada penatalaksanaan lebih dari pada pencegahan. Gustafson dkk. mengembangkan suatu program intervensi untuk 111 pasien lansia dengan patah tulang leher femur, termasuk pengkajian dokter pre- dan pasca operasi, bedah awal, penatalaksanaan agresif hipoksia perioperatif dan hipotensi dan penatalaksanaan komplikasi perioperatif. Mereka menemukan bahwa insiden, keparahan dan lama delirium dikurangi, dengan hubungan pengurangan pada komplikasi pasca operasi dan lama tinggal. Serupa, pada suatu penelitian 852 pasien rawat inap medik umum usia di atas 70 tahun, Inouye dkk. menunjukkan pahwa pedoman untuk tatalaksana enam faktor resiko delirium ( gangguan kognitif, kesulitan tidur, imobilitas, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan dehidrasi ) secara bermakna menurunkan resiko terjadinya delirium ( odds ratio 0,06 ). Mereka juga menunjukkan bahwa sekali delirium terjadi, intervensi tidak merubah keparahan dan lama, menduga bahwa pencegahan primer delirium adalah pendekatan terbaik.

Pemeriksaan

Sekali pasien telah terdiagnosis dengan delirium adalah sangat penting untuk menegakkan penyebabnya. Pada lansia, delirium mungkin hanya sebagai fakta atas masalah medis yang mendasari. Riwayat dan pemeriksaan yang rinci hendaklah dibentuk, maupun meninjau kembali pengobatan, khususnya psikoaktif dan jumlah obat terdahulu. Pada kenyataan, beberapa penatalaksanaan baru dimulai di rumah sakit, khususnya perioperatif, hendaklah ditinjau kembali dan seluruh pengobatan yang tidak perlu hendaklah dihentikan. Halusinasi visual, apabila ada, menduga suatu masalah yang dikenali sebagai obat bius atau demenia. Pemeriksaan darah rutin hendaklah diminta (tabel 6), maupun pencarian yang menyeluruh untuk infeksi, terutama dada dan saluran kencing, yang mungkin sebaliknya tanpa gejala. Sasaran lain pemeriksaan hendaklah dikerjakan seperlunya, termasuk uji fungsi tiroid, elektrokardiograf, gas darah arteri, vitamin B12 dan folat. Penggunaan rutin elektroensefalogram (EEG), komputer tomografi otak dan punksi lumbar adalah kontroversial, oleh karena spesifisitasnya yang rendah. Meskipun beberapa klinisi meminta pemeriksaan komputer tomografi otak pada pemeriksaan awal delirium, hasilnya rendah jika tidak karena delirium sebab intrakranial yang diduga, didasarkan pada neurologi fokal, tanda peningkatan tekanan interakranial, antikoagulan atau perkembangan konfusio setelah jatuh atau cidera otak. Spesifisitas EEG jatuh dengan peningkatan usia dan demensia dan ia pada umumnya tidak di-indikasikan. Punksi lumbar mempunyai peranan yang terbatas oleh karena hasilnya sangat rendah, kecuali kalau terdapat kenampakan spesifik yang mencurigai meningitis.

Tabel 6. Pemeriksaan rutin untuk delirium
  • Urea dan elektrolit
  • Glukosa
  • Darah Lengkap
  • Kalsium
  • Fosfat
  • Tes fungsi hati

    Tindakan Pendukung

    Tindakan pendukung termasuk membuang faktor-faktor yang memicu konfusio, keakraban dan rangsangan lingkungan optimal. Sangat penting memaksimalkan persepsi sensorik dengan meyakinkan pasien menggunakan kacamata atau alat bantu pendengaran dan penerangan malam digunakan untuk menghindarkan kesalahanpersepsi sensorik. Pasien hendaklah seringkali dinilai dan diamankan oleh staf, selama jaga dan perubahan staf hendaklah diminimalkan. Staf hendaklah menggunakan perintah sederhana dan hendaklah lemah lembut. Idealnya, pasien semestinya ditempatkan di ruangan pribadi dan penahanan fisik dan gangguan tidur hendaklah dihindari. Orientasi semestinya dimaksimalkan dengan penggunaan jam atau penanggalan, dan peletakan objek yang diakrabi di samping tempat tidur. Kehadiran yang sering oleh anggota keluarga hendaklah digiatkan dan penting untuk mendidik dan mengamankan mereka dari dasar sementara delirium pada umumnya.

    Penting untuk mencegah secara agresif dan mengobati komplikasi yang berkaitan dengan delirium. Apabila diperlukan, analgesik hendaklah diberikan pada jadwal yang ketat. Cairan dan asupan makanan mestnya dipantau ketat, dengan pertimbangan dini nutrisi tambahan atau konsul ahli gizi. Pasien mungkin memerlukan bantuan dengan makanan atau cairan subkutan atau intravena. Pengurangan dosis diuretik dan obat-obat terkeluarkan lewat ginjal mungkin diperlukan. Konstipasi mestinya dicegah dengan menggunakan pencahar. Pemakaian kateter hendaklah dicegah oleh karena resiko trauma dan infeksi; inkontinensia sendiri bukanlah indikasi untuk pemasangan kateter. Pasien hendaklah segera dimobilisasi untuk menghindari resiko signifikan terjadinya atelektasis, penekanan area, kontraktur dan perburukan keadaan umum, yang mana seluruhnya mungkin menyumbang peningkatan morbiditas dan lama rawat. Pada kasus diijinkan diperlukan, pengayoman mungkin diperlukan.

    Tatalaksana Farmakologi

    Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik delirium untuk mengurangi kecemasan dan agitasi meungkin diperlukan untuk meyakinkan keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan delirium hipoaktif biasanya tidak membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik mungkin diperlukan apabila ada bukti distres halusinasi. Pasien agitasi dan disruptif seringkali terlihat tumpang tindih dengan bangsal rutin, khusunya pada malam hari, dan mendesak untuk dibuat sedasi.

    Sayangnya, baru sedikit penelitian yang dirancang baik mengenai pemberian obat pada delirium. Kebanyakan penulis menyarakan antipsikotik, khususnya haloperidol, sebagai pengobatan lini pertama untuk delirium. Therapeutic Guideline: Psychotropic Australia merekomendasikan lini pertma benzidiazepin apabila khayalan atau halusinasi tidak terjadi. Breitbart dkk. melakukan suatu percobaan acak pada 30 pasien AIDS yang memenuhi kriteria DSM untuk delirium. Haloperidol dan klorpromazine menunjukkan persamaan keampuhan, sedangkan terapi lorazepam terbatas oleh efek samping.

    Meskipun terdapat ada banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan delirium, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua obat. Obat-obat hendaklah diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan pemberian dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis multipel hendaklah diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur untuk pengobatan seringkali perlu meninjau kembali respon pasien, efek samping, dan kelanjutan kebutuhan pengobatan. Haloperidol populer karena awitan kerjanya cepat, keampuhan dan rendah efek samping, meskipun ia mungkin tidak cocok untuk pasien dengan kecenderungan gangguan gaya berjalan atau keseimbangan ekstrapiramidal. Ia mempunyai sedikit toksisitas kardiovaskular tetapi dapat menyebabkan efek samping ekstrapiramidal (ESEP), akatisia (yang mungkin meningkatkan agitasi), diskinesia tardif dan sindrom neuroleptik maligna. Efek-efek ini lebih nyata dengan peningkatan umur, dosis dan lama pengobatan. Puncak awitan kerja adalah 20 sampai 40 menit setelah suntikan intramuskular dan beberapa menit setelah dosis oral. Ia mempunyai paruh waktu 10-19 jam dan tidak ada metabolit aktif, meskipun ESEP dapat secara potensial lebih lama daripada paruh waktu obat. Acuan praktis yang diterbitkan American Journal of Psychiatry dan Therapeutic Guideline: Psychotropic menyarakan penggunaan dosis kecil haloperidol oral, seperti 0.25-1.5 mg setiap empat jam, meskipun yang lebih muda atau pasien lebih agitasi mungkin membutuhkan dosis lebih tinggi pada interval yang lebih sering. Oleh karena peningkatan potensinya, intramuskular haloperidol digunakan pada dosis lebih kecil, misalnya 0.125-0.25 mg. Sudah jelas bahwa dosis 5 mg intramuskular yang seringkali digunakan untuk pasien lanjut usia pada perawatan di rumah sakit adalah tidak tepat. Pengawasan kardiak adalah sangat esensial pada kasus yang jarang apabila infus berlanjutan dubutuhkan.

    Droperidol merupakan pilihan cadangan untuk pemakaian parenteral. Ia bekerja lebih cepat, lebih sedatif, mempunyai waktu paruh lebih pendek, dan kemungkinan lebih ampuh daripada haloperidol dengan lebih sedikit ESEP. Biasanya dosis mulai pada lansia adalah 2 mg. Tetapi, sedasi mungkin menjadi suatu masalah pada pasien lebih tua, dan terdapat resiko lebih tinggi hipotensi, khususnya apabila diberikan secara intravena.

    Fenotiazin lain, misalnya tioridazin dan klorpromazin, pada dosis awal 12,5-25 mg, juga telah digunakan karena keampuhan mereka dan khasiat sedatif-nya, meskipun ketenaran mereka mundur oleh karena kardiotoksis. Efek samping lain adalah antikolinergik, terlalu sedasi dan hipotensi postural. Klormetiazol, suatu sedatif kerja-pendek, mungkin berguna untuk sindrom tarikan, meskipun terapi jangka lama membawa resikonya ketergantungan, dan tidak dipakai secara rutin.

    Sekarang telah terdapat penelitian multipel dan laporan kasus yang menunjukkan keampuhan obat-obat atipik seperti risperidon, olanzapin, klozapin, quetiapin untuk pengobatan agitasi atau psikosis yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer atau terapi dopaminergik untuk penyakit Parkinson. Obat ini pada umumnya telah ditoleransi dengan insidensi lebih rendah terjadinya ESEP daripada antipsikotik tradisional. Tetapi, hanya terdapat sedikit laporan kasus dan tidak ada uji yang berkaitan dengan pemakaian mereka untuk delirium. Dengan bukti yang lebih jauh ini mungkin berguna sebagai cadangan antipsikotik yang lebih tradisional.

    Peranan benzodiazepin untuk pengobatan delirium adalah kontroversial, mungkin oleh karena kekurangan data yang tersedia pada terapi tunggal. Acuan Terapetik: Psikotropik menganjurkan 5-10 mg diazepam (2 mg pada sangat tua atau getis) per oral sebagai terapi lini pertama untuk pengendalian anxietas dan agitasi. Tetapi, kebanyakan pengarang merasakan bezodiazepin kurang penting daripada antipsikotik, dan beberapa kejadian menduga bahwa benzodiazepin dikontraindikasikan oleh karena efek samping mereka dan durasi singkat dari puncak efek.

    Kebanyakan pengarang setuju bahwa benzodiazepin terpilih hendaklah kerja pendek dengan tidak ada metabolit aktif seperti lorazepam (paruh-waktu 10-15 jam), dan dapat diberikan secara parenteral. Terdapat sedikit penelitian yang berkaitan dengan dosis optimal. Oxazepam, obat kerja pendek lain, juga sering dipakai pada dosis oral 15-30 mg, khususnya jika terdapat insufisiensi hepatik.

    Apabila benzodiazepin intramuskular diperlukan untuk agitasi akut, Acuan Terapetik: Psikotropik menganjurkan midazolam intramuskular, pada dosis 1,25 mg pada yang sangat tua atau getis. Midazolam lebih umum dipakai untuk perawatan paliatif dan psikiatri akut dan penggunaannya dengan pengawasan ketat. Penyerapan intramuskular dapat tidak dapat diprediksi, keterbatasan pemakaiannya pada usia lanjut.

    Meskipun peranan binzodiazepin sebagai pengobatan lini pertama untuk semua kasus delirium tidak jelas, tidak ada pertanyaan bahwa mereka obat lini pertama paling utama untuk narkotika dan tarikan alkohol di mana dosis lebih tinggi obat kerja lama adalah lebih utama. Jika terdapat riwayat pemakaian alkohol sebelumnya, diazepam 5-10 mg regular per oral hendaklah diberikan, dengan tiamin 100 mg per hari. Benzodiazepin mungkin juga mempunyai peranan pada pasien dengan epilepsi yang diketahui (sebagai obat antipsikotik paling utama yang diketahui terhadap ambang kejang lebih rendah), atau jika pasien parkinsionisme.

    Efek samping benzodiazepin meliputi sedasi, penghambatan tingkah laku, penekanan pernapasan, ataksia, jatuh, amnesia, depresi, ketergantungan, anjalan insomnia, tarikan dan delirium. Benzodiazepin dapat tidak umum menyebabkan respon parodoksikal dimana pasien menjadi lebih agitasi dan konfusi. Mereka hendaklah dihindarkan pada pasien dengan ensefalopati dan insufisiensi pernapasan.

    PROGNOSIS

    Meskipun secara tradisional dianggap sebagi keadaan yang hilang sendiri, ia sekarang jelas diketahui bahwa terdapat banyak keluaran yang menyimpang yang berhubungan dengan perkembangan delirium. Selama masuk di rumah sakit ia menunjukkan bertanggungjawah terhadap penurunan fungsional, peningkatan resiko komplikasi dapatan rumah sakit seperti jatuh, luka tekanan dan inkontinensia urinari dan tinggal di rumah sakit yang lama. Pada pemberhentian, peneltian menunjukkan terdapat peningkatan resiko penurunan fungsional pada aktifitas hidup sehari-hari, peningkatan pendaftaran masuk fasilitas perawatan jangka lama, dan peningkatan resiko masuk kembali. Jauh dari hidup singkat yang tak menyenangkan yang sebelumnya telah dipertimbangkan, banyak penelitian yang mempertunjukkan delirium menetap pasca pemberhentian. Levkoff dkk. menunjukkan bahwa dari 125 pasien lansia delirius, hanya 4% yang resolusi lengkap pada saat pemeberhentian, dan kurang dari 25% resolusi dari seluruh gejala baru pada 3 dan 6 bulan setelah pemberhentian. Delirium juga mempunyai hubungan dengan peningkatan mortalitas, meskipun ini tidak jelas apakah ini karena dasar penyakit medisnya dan ko-morbiditasnya atau karena delirium itu sendiri. Keseluruhan mortalitas delirium mendekati 30%, dengan mortalitas 12-bulanan 35-40% dan mortalitas 5-tahunan 50%.

    KESIMPULAN

    Delirium merupakan masalah umum dan serius yang mempengaruhi bagian yang bermakna perawatan di rumah sakit penderita lanjut usia. Ini berhubungan dengan keluaran yang jelek dalam pengertian peningkatan lama perawatan dan biaya pemeliharaan kesehatan, komplikasi perawatan di rumah sakit, pemberhentian status fungsional dan tujuan, dan mortalitas. Penyebab delirium biasanya multifaktorial, dengan banyak faktor pemicu yang potensial dapat dicegah. Ia memerlukan perhatian bahwa pasien yang lebih rentan hanya membutuhkan sangat kecil pengaruh untuk menyebabkan delirium. Semestinya terdapat pencarian dan perbaikan yang agresif terhadap seluruh penyebab potensial, termasuk infeksi dan abnormalitas metabolik. Pengobatan semestinya ditinjau ulang sepenuhnya dengan penghentian seluruh obat yang tidak diperlukan. Terdapat keperluan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan dan deteksi awal delirium. Pegawai rumah sakit hendaklah waspada pada pasien-pasien itu yang barangkali berkembang menjadi delirium, dan sangat disarankan bahwa seluruh pasien mempunyai suatu pengkajian kognitif yang menyeluruh pada pendaftaran masuk, ditambah dengan riwayat sebelum sakit secukupnya, khususnya pada yang akan menjalani operasi. Presipitan yang diketahui, khususnya faktor iatrogenik dan lingkungan, hendaklah dihindari, dan pegawai mengawasi pasien secara hati-hati untuk tanda-tanda delirium, terutama penampakan hipoaktif. Sekali delirium telah ditegakkan, suport dan tindakan farmakologik yang tepat hendaklah dilaksanakan. Delirium merupakan kelainan yang potensial yang membinasakan yang barangkali selanjutnya terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan populasi lanjut usia. Bagaimanapun, dengan perhatian yang baik kepada pasien, faktor kesakitan dan rumah sakit, ia semestinya dimungkinkan untuk meminimalkan dampak terhadap lansia yang dirawat.

    Thankyou,
    IKA SYAMSUL HUDA MZ, MD.
    Mailto:[email protected]

    Link:
    1.  GERIATRI INDONESIA
    2.  FINANCY
    3.  BUSSINESS OPPORTUNITY
    4.  MIDI INDONESIA

    Add Me!   Kembali ke:  Abstrak

    Hosted by www.Geocities.ws

    1