Spiritual
Leadership 30
The
Pastor`s Self-Examination
(Mengoreksi
Diri)
Oleh David
Yonggi Cho
Seorang
hamba Tuhan yang pekerjaannya adalah menggembalakan
orang-orang sambil berkhotbah dan mengajar mereka,
selalu berada dalam bahaya akan kehilangan fokus
sehingga ia menjadi tidak efektif dan tidak menghasilkan
buah. Kapan saja saya menghadiri suatu pertemuan dengan
hamba Tuhan lainnya, saya kadang-kadang menjadi kecewa
dan sedih. Ketika mereka berdiri di hadapan jemaat,
mereka berusaha untuk tampil seperti pembawa pesan Tuhan
yang serius dan kudus. Namun, ketika mereka sedang
berkumpul bersama hamba Tuhan lainnya, beberapa
menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan hal-hal
yang tidak berarti, termasuk bertukar gurauan yang tidak
bermanfaat. Kapanpun saya menghadiri pertemuan yang
seperti itu, saya tidak dapat melakukan apa-apa kecuali
berpikir bahwa beberapa hamba Tuhan seperti makam yang
dicat, yang terlihat bagus dari luar tetapi dalamnya
kosong.
Oleh karena
itu, para hamba Tuhan harus selalu mengambil waktu untuk
mengoreksi diri di hadapan Tuhan. Pengkoreksian diri ini
harus dilakukan dengan penuh kejujuran dan tanpa
gangguan.
Tentu saja
para hamba Tuhan bukanlah malaikat atau orang yang
sempurna. Mereka menjadi hamba Tuhan bukan karena mereka
memiliki standar moral atau etika yang lebih tinggi
dibandingkan yang lainnya. Mereka menjadi hamba Tuhan
bukan karena doa mereka jauh lebih baik ataupun karena
mereka memiliki bakat atau karena mereka berbicara lebih
lancar dibandingkan yang lain. Mereka mendapatkan posisi
sebagai hambaNya karena Tuhan telah memilih mereka
sebagai pembawa pesanNya.
Para
pendeta harus merobohkan menara Babel mereka yang keliru
bahwa mereka lebih baik daripada yang lainnya. Pandangan
semacam itu merupakan gagasan yang salah yang
bertentangan dengan Tuhan.
Sekarang
ini ada banyak orang biasa yang jauh lebih baik daripada
hamba-hamba Tuhan yang memimpin mereka. Mereka lebih
berserah kepada Tuhan, lebih benar, lebih setia, dan
lebih mau berkorban. Dalam beberapa hal, mereka lebih
dewasa secara roh daripada para pendeta.
Para hamba
Tuhan dapat diandaikan seperti keledai yang dinaiki oleh
Yesus menuju Yerusalem. Kita semua seperti sang keledai
yang pekerjaannya membawa Yesus ke kota Yerusalem.
Jika
seorang pendeta berpikir bahwa ia dihargai dan dihormati
oleh jemaatnya karena ia memang berhak mendapatkannya,
maka pendeta tersebut membuat kesalahan besar. Jemaat
tidak mengelu-elukan anda, sang keledai, tetapi mereka
mengelu-elukan Yesus yang anda bawa di punggung anda.
Tampaknya kita yang dielu-elukan karena orang-orang
menghamparkan baju mereka dan ranting pohon palem di
kaki sang keledai karena keledai tersebut membawa Yesus.
Jika keledai tersebut berbuat kesalahan dan berpikiran
bahwa orang-orang mengelu-elukannya dan keledai itu
menjadi bangga, maka ia akan ditarik dan dicambuk. Jika
sang keledai terus tidak mematuhi tuannya karena harga
dirinya, maka ia akan dimasukkan ke tempat pemotongan.
Mari
berpikir secara logis. Siapa yang mau menghamparkan
bajunya di tanah agar seekor keledai berjalan di
atasnya? Para hamba Tuhan harus selalu merendah dan
melayani Kristus karena Dialah yang memimpin mereka.
Dengan demikian, kita harus memberikan segala kemuliaan
bagi Kristus, dan kita sendiri harus berdiri di belakang
karena demikianlah seorang hamba seharusnya.
Selain itu,
agar kita tetap berada dalam keadaan berserah
sepenuhnya, kita harus mengambil waktu untuk mengkoreksi
diri kita sendiri. Untuk melakukan hal ini, kita perlu
memilih waktu dan tempat dimana kita dapat menikmati
saat-saat tenang bersama Tuhan. Kemudian tanpa gangguan
apapun, kita harus memalingkan telinga kita kepada suara
Roh Kudus yang berbicara melalui suara hati kita. Jika
hamba Tuhan berbicara terlalu banyak, mereka cenderung
gagal. Selama waktu pengkoreksian diri, kita perlu
berdiam diri dan belajar mendengarkan suara Tuhan.
Salah satu
alasan Elia gagal adalah karena ia terlalu banyak
berbicara selama berdoa. Ia gagal memiliki saat-saat
tenang dimana ia dapat mendengarkan suara Tuhan melalui
suara hati. Ketika berada di Gunung Karmel, Elia
mendapat gangguan dari luar yang cukup berarti. Elia
sibuk bertengkar dengan para penyembah berhala dengan
mendengarkan suara mereka dan suaranya sendiri. Karena
inilah ia tidak bisa mendengar suara Tuhan.
Kemudian
Elia mendengar suara ancaman dari Ratu Isabel dan ia
sepenuhnya kehilangan suara Tuhan. Dalam ketakutan akan
suara manusia, ia kabur. Gambaran Elia yang berhasil
menjadi hilang. Elia berubah menjadi pengecut yang putus
asa, yang mengharapkan kematian.
Kemudian
Elia pergi ke Gunung Horeb dan mengambil waktu untuk
mengkoreksi diri serta mendengarkan suara Tuhan. Setelah
ia dapat mendengarkan suara Tuhan, ia diperbaharui.
Para hamba
Tuhan tidak boleh membiarkan telinga mereka dipenuhi
dengan suara-suara yang berasal dari luar, tetapi para
hamba Tuhan harus mengambil waktu dalam kamar doa atau
tempat yang tenang untuk mendengarkan suara Tuhan yang
berasal dari dalam. Rasul Paulus mengatakan, "Suara
hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus." (Roma 9:1)
Kita harus selalu rajin melatih diri kita untuk
memalingkan telinga kita dengan rendah hati kepada suara
Roh Kudus yang datang lewat suara hati kita.
Saya
seringkali mengambil waktu untuk merefleksi diri.
Kapanpun saya melakukannya, saya selalu terkejut dengan
suara yang saya dengar. Suara Roh Kudus yang saya dengar
melalui suara hati saya tidak dapat disangkal. Suara
yang saya dengar melalui suara hati saya seperti pedang
yang tajam. Ia memberitahu saya apa yang telah saya
lakukan dengan salah dan apa yang telah saya lakukan
dengan benar.
Para hamba
Tuhan harus selalu memasang telinga mereka kepada suara
Roh Kudus. Mereka yang kehilangan suaraNya akan
melewatkan rancangan terbaik Tuhan bagi kehidupannya dan
akan berkecil hati seperti Elia. Seseorang memiliki
kecenderungan alami untuk meminta ijin dan membenarkan
perbuatannya. Namun, kita tidak boleh meminta ijin untuk
melewatkan saat-saat tenang kita bersama Tuhan. ) Kita
harus mendengarkan suaraNya.
Ketika
hamba Tuhan memalingkan telinganya terhadap suara yang
dari dalam, berterima kasih akannya dan mengoreksi diri
mereka, maka mereka dapat terus membangun dan
meningkatkan diri. Namun, jika mereka mengabaikan suara
tersebut dan mengikuti keinginan mereka sendiri, mereka
akan menjadi seperti kereta api yang keluar dari relnya,
yang hanya berjalan sebentar sebelum tiba-tiba berhenti
dan berakhir dalam suatu bencana yang besar.
Ketika kita
menemukan diri kita tanpa jalan keluar yang jelas,
mula-mula kita harus berdoa dan menunggu suara Tuhan.
Jika kita membuat keputusan berdasarkan hikmat dan
pengalaman kita sendiri, seringkali kita akan mengalami
kejatuhan.
Dikatakan
bahwa Jenderal de Gaulle dari Perancis pernah menasehati
Presiden Kennedy, " Apabila kamu menghadapi suatu
masalah yang kelihatannya tidak ada jalan keluarnya,
daripada mendengarkan suara orang lain, lebih baik
mendengarkan suara yang datang dari dalam dirimu."
Keputusan yang utama harus dibuat dari hati anda, bukan
dengan pikiran rasional anda.
Kadang-kadang
saya melupakan prinsip ini dan mendengarkan orang lain
sebelum membuat keputusan. Namun, setiap kali pada
akhirnya saya menyesali keputusan tersebut. Akal manusia
hanyalah suatu sarana yang membentuk suara dari hati
nurani. Akal manusia hanyalah suatu roda kenyataan. Ia
merupakan suara Tuhan yang berbicara melalui suara hati
yang berperan sebagai roda kemudi.
Oleh karena
itu, kapanpun dan apapun yang dikatakan oleh Roh Kudus
kepada kita melalui suara hati kita, kita harus
meresponsnya dengan patuh. Biarlah suara tersebut
menjadi pembimbing di dalam kehidupan kita. Selain itu,
agar dapat mendengarkan lebih baik, kita tidak boleh
lalai untuk memiliki saat-saat tenang untuk mengoreksi
diri.
Catatan :
"Spiritual
Ledership" ini terus berlanjut sepanjang tahun
2004, welcome para hamba Tuhan mengirim artikel untuk
topic ini ke [email protected],
sehingga bisa kita sharingkan di milis ini.
Ev.Bambang
Wiyono