Full Gospel Indonesia

Info

 
 

Files

 

Siaran

 

 

 

 

 

Spiritual Leadership - 19

 

A Life of Continuous Discipline

(Hidup Disiplin)

Oleh: David Yonggi Cho

 

 

            Agar dapat menjadi hamba yang lebih menyenangkan hati Tuhan, kita harus menjadi teladan Kristen yang baik, tidak hanya di depan publik, tapi juga dalam kehidupan pribadi.  Bagaimana kita bisa menjadi hamba Tuhan yang demikian?

 

            Pertama-tama, kita harus terlebih dahulu bertumbuh di dalam roh.  Sebelum Yesus memikul salib menuju Kalvari, Yesus berdoa, “dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.” (Yohanes 17:19)

 

            Yesus Kristus adalah Anak Allah.  Ia tidak perlu menguduskan diriNya sendiri.  Tetapi, Ia menguduskan dirinya karena Ia menginginkan murid-muridNya agar berbuat demikian juga.

 

            Hubungan antara seorang pendeta dengan jemaatnya adalah saling mempengaruhi.  Sederhana saja, jika ada suatu tindakan yang dilakukan oleh sang pendeta, maka itu akan mempengaruhi setiap jemaatnya. Sebaliknya, apabila sang pendeta menjadi kudus, maka itu akan mengakibatkan kekudusan dari seluruh jemaat.

 

            Seorang pendeta membangun sebuah gereja di Amerika Selatan.  Tidak peduli seberapa sering ia menekankan pada jemaatnya tentang pentingnya berdoa, mereka tetap tidak akan berdoa.  Ia memperingatkan, memohon, dan meminta kepada mereka, tetapi semuanya itu sia-sia.

 

            Ketika ia sedang bergumul untuk menemukan jawabannya, sebuah ayat menarik perhatiannya, “dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran” (Yohanes 17:19).  Ia berpikir, “Hal itu benar.  Saya tidak seharusnya menyuruh mereka berdoa.  Seharusnya sayalah yang orang pertama yang harus berdoa dan saya seharusnya mengajari mereka berdoa dengan menjadi teladan.”  Keesokan harinya, pendeta tersebut berlutut di altar dan mulai berdoa.  Tidak lama setelah itu, semakin banyak jemaat di gerejanya yang mulai berdoa, dan kemudian gereja tersebut berubah menjadi “gereja yang berdoa” dimana para jemaatnya berdoa dengan kuat.

 

            Tindakan spiritual yang berasal dari sang pendeta cepat atau lambat akan mempengaruhi jemaatnya.  Namun, daripada hanya kata-kata, sikap dan kepribadian sang pendeta mempunyai pengaruh yang lebih besar.  Jika seorang hamba Tuhan hidup kudus, maka jemaatnya juga akan hidup kudus.  Jika seorang hamba Tuhan tidak takut mengorbankan dirinya, maka jemaatnya juga tidak akan takut untuk mengorbankan dirinya.

            Hal ini tertulis dalam Matius 15:14, “Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang.”

 

            Jika pendeta tersebut adalah penganut teologi modern, maka jemaatnya akan cenderung ke arah teologi modern.  Jika seorang pendeta berfokus pada kerohanian, maka jemaatnya juga akan menjalani kehidupan yang rohani.  Jika orang yang munafik memimpin suatu pelayanan, maka jemaatnya juga akan menjadi munafik.  Sebagai hamba Tuhan, kita tidak boleh melupakan bahwa kehidupan iman kita sangat berpengaruh terhadap jemaat yang kita pimpin. Oleh karena itu, yang paling utama dari semuanya, seorang pendeta harus sepenuhnya menyerahkan diri kepada Yesus Kristus, hidup kudus, dan sepenuhnya taat kepada Tuhan.  Maka kita dapat menolong jemaat kita agar terberkati dan membawa perubahan besar di dalam kehidupan mereka.

 

            Ada banyak pendeta yang sangat pintar berkhotbah, meskipun kehidupan pribadi mereka tidak dapat dibanggakan.  Apabila saya melihat pendeta yang seperti itu, saya selalu berpikir, “Bagaimana mungkin dia dapat berpikir bahwa ia dapat menolong orang lain untuk berubah apabila dirinya sendiri saja perlu perubahan besar?”

 

            Jemaat kita akan berubah apabila kita berubah.  Jika kita telah dipanggil oleh Tuhan untuk memimpin suatu jemaat, kita harus selalu menguji diri kita.  Sebagai tambahan, dengan menjaga kekudusan kita sendiri, maka kita akan memungkinkan jemaat kita untuk menjadi kudus pula.

 

Yang kedua, kita harus melatih diri kita untuk berpikir dengan jelas.  Banyak orang-orang sukses mempunyai kemampuan untuk berpikir dengan jelas.  Mereka yang tidak berpikir dengan jelas tidak dapat sukses, tidak peduli mereka bekerja dimanapun.

 

Di antara orang-orang yang datang kepada saya untuk melakukan konseling, ada banyak orang yang berbicara tanpa fokus yang jelas. Mereka menceritakan sedikit tentang ini dan sedikit tentang itu sehingga saya tidak mengerti apa yang mereka katakan.  Kemudian saya bertanya kepada mereka, “Tolong katakan kepada saya dengan jelas mengapa anda datang menemui saya.”

 

Banyak pendeta gagal karena berbagai alasan.  Salah satunya karena mereka tidak mampu untuk mengatakan dengan jelas tentang apa yang ingin mereka sampaikan.  Seringkali ketika saya mendengarkan beberapa khotbah, saya tidak dapat mengerti apa yang dikatakan oleh sang pengkhotbah.

 

Apabila seorang pengkhotbah tidak dapat berpikir dengan jelas, maka khotbahnya cenderung menjadi panjang dengan banyak kalimat yang kompleks. Sebaliknya, dengan pengkhotbah yang berpikir dengan jelas cenderung berbicara dengan sederhana dan jelas. Seorang pengkhotbah yang bicaranya meloncat kesana kemari selama khotbah tidak akan bisa berhasil di dalam pelayanannya.    

 

Ketika saya berdiri di atas mimbar tanpa banyak berdoa dan tanpa persiapan khotbah yang sungguh-sungguh, maka hal itu akan segera kelihatan.  Saya menjadi sering menarik nafas panjang dan cenderung mengulang kata-kata yang sama tanpa arah yang jelas.  Apabila hal ini terjadi, khotbah menjadi hal yang melelahkan bagi saya. Ketika saya pulang ke rumah, istri saya pasti mengatakan kepada saya, “Khotbahmu hari ini tidak jelas dan tanpa poin.”

 

Ketika saya mengesampingkan segala sesuatu dan menghabiskan waktu untuk berdoa, saya menjadi mampu untuk berdiri di atas mimbar dan menyampaikan pendahuluan, inti dan kesimpulan dari khotbah saya dengan jelas dan terfokus.  Persiapan ini mengijinkan saya untuk menyampaikan pesan dari Tuhan.

 

Seorang hamba Tuhan, baik ia sedang menyampaikan khotbah untuk cell group yang kecil ataupun untuk kumpulan yang besar, haruslah terlatih untuk berpikir dengan jelas dan jauh ke depan.

 

Kadang-kadang ketika saya mengunjungi suatu rumah dimana nyonya rumahnya terkenal dengan masakannya, sang nyonya rumah menyajikan beberapa hidangan.  Namun, semuanya terlihat bagus dan terasa enak.  Tetapi di beberapa rumah, meskipun mereka memenuhi meja makan mereka dengan berbagai macam makanan, tetap saja makanan tersebut tidak dapat membuat mulut saya berair.  Untuk hal semacam itu, lebih baik jika mereka tidak menghabiskan banyak waktu dan uang untuk menyiapkan makanan tersebut.

 

Apabila kita menyampaikan khotbah, pertama-tama kita harus memiliki fokus yang jelas dan kemudian kita harus menambahinya dengan bumbu sehingga membuat mulut orang berair.

 

 Khotbah dari seorang pengkhotbah yang memiliki fokus yang jelas di dalam pikirannya tidak akan memakan banyak waktu.  Namun, seseorang  yang tidak  memiliki fokus yang jelas akan memakan banyak waktu untuk menjelaskan sesuatu, dan itu akan membuat bosan para pendengarnya. Lamanya waktu berkhotbah yang paling baik adalah sekitar 30 menit.  Untuk pertemuan sel, khotbah seharusnya hanya 5-10 menit.  Apabila khotbah anda berlangsung lebih lama, anda mungkin berada dalam bahaya karena berbicara terlalu banyak tentang hal-hal yang tidak perlu.

 

Apabila kita menyelidiki khotbah Yesus, maka kita akan menemukan bahwa Tuhan Yesus berbicara dengan jelas dan sederhana serta menunjuk pada poin yang tepat seperti yang Ia maksudkan. Yesus tidak pernah berkhotbah dengan kata-kata yang sulit atau rumit.

 

            Oleh karena itu, jika kita ingin menyampaikan khotbah yang hebat, mula-mula kita harus melatih diri kita sendiri dulu untuk berpikir dengan jelas. Agar memiliki pikiran yang jelas, kita harus membaca Alkitab lagi dan lagi, merenungkannya, dan mempersiapkan diri kita dengan banyak berdoa.

 

            Yang ketiga, kita harus belajar untuk memanfaatkan waktu kita dengan seefektif mungkin.  Banyak para hamba Tuhan memberikan alasan dengan berkata bahwa mereka terlalu sibuk membuat rencana untuk segala sesuatu di dalam pelayanan mereka. Ketika kita menyelidiki lebih dekat, kita menemukan bahwa tidak banyak yang mereka capai.  Namun, apabila tanpa rencana, meskipun mereka sibuk kesana kemari, mereka tidak akan mencapai apa-apa.  Walaupun hanya 10 atau 15 menit saja, seorang hamba Tuhan harus belajar untuk memprioritaskan dan memanfaatkan waktu mereka secara efektif.  Mereka yang tidak dapat memprioritaskan waktu mereka dan menggunakannya secara efektif tidak akan mampu untuk meningkatkan atau mengembangkan diri mereka.

           

            Banyak para hamba Tuhan yang bekerja di distrik datang ke gereja pagi-pagi setiap pagi dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah seharian.  Ketika mereka pulang di malam hari, mereka kelelahan, sehingga mereka tidak punya waktu lagi untuk membaca Alkitab, berdoa, belajar, atau melakukan aktifitas peningkatan diri lainnya. Mereka seharusnya menggunakan setiap waktu luang mereka untuk peningkatan diri. 

 

            Dulu salah satu keran di rumah saya bocor dan perlu diperbaiki.  Karena sudah malam, saya menaruh sebuah ember di bawah keran tersebut dan pergi tidur.  Keesokan paginya ember itu kepenuhan dan air dimana-mana.  Meskipun kebocoran itu hanya meneteskan satu tetes setiap kali, namun tetesan tersebut memenuhi ember tersebut.  Hal itu membuat saya sadar bahwa waktu sependek apapun dapat membawa hasil yang besar apabila waktu itu dipergunakan untuk maksud yang baik.

 

            Selama bertahun-tahun saya bangun pagi-pagi di pagi hari untuk membaca Alkitab dan berdoa, dan saya juga mempersiapkan waktu utnuk belajar bahasa asing sebelum makan pagi.  Kemudian saya pergi ke gereja dan kapanpun saya mempunyai waktu luang, bahkan 5 menitpun, saya menggunakannya dengan bijaksana.  Saya selalu  mempunyai setumpuk buku yang belum dibaca di atas meja saya sehingga saya dapat meraihnya dan membacanya kapanpun saya punya waktu.  Saya juga selalu membawa sebuah buku bersama dengan saya untuk alasan yang sama.  Saya menggunakan sebuah pembatas buku sehingga saya dapat meneruskan apa yang saya baca.  Tak lama kemudian, saya terkejut menemukan pembatas buku saya sudah hampir di akhir buku.

 

            Saya kembali ke rumah sekitar jam 7 p.m. dan makan malam bersama keluarga saya.  Setelah itu saya menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk belajar.  Meskipun saya bisa membaca koran atau menonton TV, saya tidak merasa nyaman untuk melakukannya. Ketika saya menambahkan semua waktu-waktu pendek saya yang sepertinya tidak berarti, saya mendapatkan suatu jumlah waktu yang tidak dapat diejek.  Saya selalu mempraktekkan metode manajemen waktu ini dan saya percaya bahwa metode tersebut banyak membantu pelayanan saya.

 

            Saya yakin banyak yang sudah melihat selimut kapas yang dikirimkan oleh orang-orang Amerika sebagai bagian dari paket bantuan.  Selimut-selimut tersebut dibuat dengan menjahit sisa-sisa kain yang kecil-kecil.

 

            Ketika saya diundang untuk memimpin suatu kebaktian di sebuah gereja di California, saya melihat suatu komunitas wanita sedang mengumpulkan koin-koin. Mereka menyumbangkan koin-koin yang mereka simpan sehabis berbelanja.  Tidak lama setelah mereka mengumpulkan koin-koin tersebut, ternyata jumlah totalnya melebihi 50.000 US dolar.

 

            Setiap dari kita harus memanfaatkan bagian dari waktu kita yang terbuang untuk mempelajari bahasa asing, yang mungkin sudah pernah kita pelajari beberapa waktu yang lalu. Beberapa orang dari anda mungkin berpikir, “Oh, apa gunanya mempelajarinya sekarang?”  Tetapi empat atau lima tahun kemudian, anda akan melihat perbedaan besar antara orang yang memanfaatkan bagian dari waktunya yang terbuang dengan orang yang tidak memanfaatkannya. Ketika kita memanfaatkan bagian dari waktu yang terkecil sekalipun untuk peningkatan diri, maka kita akan menemukan diri kita jauh lebih baik di masa yang akan datang.  

 

            Di masa lalu, saya mengalami kejadian yang mengejutkan diri saya sendiri.  Tiba-tiba saya ingin belajar bahsa Jerman sehingga saya mulai mempelajarinya setengah jam di pagi hari dan setengah jam lagi di malam hari. Meskipun waktunya kelihatannya tidak cukup untuk menguasai suatu bahasa, tidak lama kemudian saya menemukan diri saya sedang membaca koran berbahasa Jerman.  Tentu saja saya telah belajar sedikit bahasa Jerman ketika masih di SMU. Tetapi hal tersebut adalah akibat dari pemanfaatan waktu yang bijaksana, termasuk bagian yang terkecil.  Apabila kita memanfaatkan waktu kita dengan efisien untuk peningkatan diri, maka kita dapat meraih hal-hal besar.  Tidak akan sulit sama sekali untuk menghabiskan 30 menit di pagi hari dan di malam hari dengan sia-sia.  Namun, waktu tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal besar.

 

Kemudian saya mulai belajar bahasa Perancis dan bahasa Jepang.  Saya terus melakukannya selama beberapa waktu.  Sekarang saya dapat dengan bebas berkhotbah dalam bahasa Jepang.  Untuk bahasa Perancis, saya telah mencapai poin dimana saya sekarang dapat berbicara dalam bahasa Perancis.  Kapanpun saya mempunyai kesempatan, saya memberitahu orang-orang di sekitar saya, “Pelajari dan praktekkan bahasa lain.”  Seperti yang kita ketahui, dunia telah mengglobal dan mengenal satu atau dua bahasa asing telah menjadi suatu keharusan.

 

Jika kita tidak melanjutkan usaha kita untuk meningkatkan diri dan bertumbuh, kita akan berada di posisi stagnan (tetap).  Jika saya tidak memilih untuk meningkatkan diri saya hari demi hari, saya tidak akan berada di tempat saya berada sekarang.  Ketika kita selalu berusaha untuk memperbaharui diri kita, kita akan menemukan diri kita terus menerus bertumbuh.

 

Besok kita harus menjadi lebih baik daripada hari ini.  Saya berdoa supaya anda memanfaatkan waktu secara efektif, bahkan bagian waktu yang terkecil sekalipun, untuk terus meningkatkan diri anda dalam kehidupan sehari-hari.

 
 
1
Hosted by www.Geocities.ws