Bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah
partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai
politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari
Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973.
Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai
politik. Kelima partai politik tersebut yaitu :
1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di
Bandung.
Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian
berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh
penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah
pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan gatot
mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van
Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini
diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.
Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang
pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29
Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung
dalam Serikat Rakyat
Indonesia
atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun,
PNI
Palembang,
PNI
Sulawesi,
kemudian Partai Republik
Indonesia
Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai
kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada
Konggres Serrindo yang pertama di Kediri. Dalam Kongres tersebut PNI
dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne- Demokrasi yang merupakan
asas dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk
menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan
asas ini diasosiasikan sebagai "kebangkitan kembali PNI
1927" yang pernah didirikan Bung Karno.
Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno
yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh
beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa
Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen.
PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun
1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari
partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan
mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua
adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan
kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika
dukungan cukup merata menyebar di seluruh
Indonesia,
ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di
Aceh,
Sumatra
Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%. Di kawasan
Jawa di bagian sebelah utara
Bandung
PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan
daerah Islam atau daerah Masyumi. Di
Bandung
daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah
kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang
dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga
seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.
2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu
itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945
yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari
partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia)
di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di
Jakarta
dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar.
3. Partai Katolik
Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama
PKRI (Partai Katolik Republik
Indonesia)
merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang
dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada
tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di
Yogyakarta
yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh F.S. Harijadi
kemudian diganti oleh I.J. Kasimo dengan nama Pakepalan Politik
Katolik Djawi (PPKD). Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740
suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.
4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang
didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan
Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh
dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol
Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang
Pemilu 1955. Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui
pemilu dan duduk di Konstituante.
IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun
sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu,
Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada
peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober.
Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara
melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka
datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank,
meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk
membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi
persoalan internal tentara. Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun
dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya,
antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya
pada tahun 1955. Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat
serius. Bung Karno tidak bisa dilawan. Diantara tahun-tahun inilah
Nasution kemudian mendirikan IPKI.
Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada
tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang
besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum,
mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan
partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan
golongan karya atau menjadi partai sendiri.
Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah
berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden
Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa
IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri
lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit
menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga
dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa
Barat kurang lebih 290.000-an orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu
memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di
DPR.
5. Murba
Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar
dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat
Jelata dan Partai
Indonesia
Buruh Merdeka.
Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang "Kepartaian di
Indonesia" seri Pepora No. 8,
Jakarta,
1981, istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang
terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri".
Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme- kapitalisme dengan
tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme.
Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan
riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu
1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya
mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).
Proses fusi terjadi sebenarnya hanya untuk menjamin kemenangan
kekuatan Orde Baru. Pada saat itu penguasa Orde Baru mengaktifkan
Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang proses
pembentukannya didukung oleh militer. Tap MPRS No.XXII/MPRS/ 1966
tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan disebutkan agar
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR)
segera
membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan
kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.
Gagasan agar supaya fusi untuk pertama kali tahun 1970. Tepatnya 7
Januari tahun 1970. Soeharto memanggil 9 partai politik untuk
melakukan konsultasi kolektif dengan para pimpinan 9 partai politik
tersebut. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan
gagasan pengelompokan partai politik dengan maksud untuk menghasilkan
sebuah masyarakat yang lebih tentram lebih damai bebas dari konflik
agar pembangunan ekonomi bisa di jalankan. Partai politik dikelompokan
ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok materiil
spirituil yang menekankan pada aspek materiil dan kedua adalah
spirituil materiil yang menekankan pada aspek spiritual. Kelompok
materiil spirituil menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok
spirituil materiil itu kemudian menjadi Partai Persatuan pembangunan.
Setelah diskusi-diskusi seperti itu tokoh-tokoh partai
coba
mulai bertemu dan mulai mendiskusikan gagasan ini. Pertemuan kemudian
berlanjut pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima
partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI (Partai
Nasiona
Indonesia),
Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba. Ide pengelompokan yang
dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan
ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang
sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai
kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret
1971. Karena partai sangat lamban, mulai muncul gerakan di sejumlah
daerah yang paling terkenal adalah di Jawa Barat. Panglima daerah di
Jawa Barat pada waktu adalah Jenderal Darsono melakukan buldoser
secara besar-besar ke partai di Jawa Barat. Muncul gagasan tentang dwi
partai. Partai yang cuma dua di Indonesia. Dan korban paling utama
pada waktu itu adalah Partai Nasional Indonesia.
Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M
Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5
Jakarta,
lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad
Sukarmadidjaja (IPKI), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), VB Da
Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik) serta M Siregar dan
Sabam Sirait (Parkindo), mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai
pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran
terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh
karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai
menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim,
satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya. Namun
pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai
yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh
tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud.
Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut
berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian
deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya.
Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari
Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait. Tim
perumus menghasilkan "Pernyataan Bersama" yang ditanda
tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi (PNI), M Siregar
(Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), achmad sukarmadidjaja (IPKI)
dan Sukarni (Murba).
Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden
Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen
Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI),
Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba),
VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam
Sirait (Parkindo).
Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali
melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar. Maksud
pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang
telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil
pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama "Kelompok Demokrasi
Pembangunan" dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24
Oktober 1972. Meskipun sebelumnya banyak muncul usulan-usulan nama
yang diajukan oleh masing-masing partai, antara lain oleh Lo Ginting (Partai
Katolik) yang mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi Kesejahteraan"
atau "Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan". Maruto
Nitimihardjo (Murba) mengusulkan nama "Kelompok Gotong-Royong"
, karena kata "gotong royong" dianggap merupakan perasaan
pancasila dan dapat menghindari polarisasi. Usep Ranawidjaja (PNI)
keberatan karena bisa ditafsirkan dan dikaitkan dengan Orde Lama. M
Supangat (IPKI) mengusulkan dibentuk "Badan Kerjasama"
sebagai sifat pengelompokan yang dinamakan "Kelompok Pembangunan"
. Sabam Sirait (Parkindo) mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi
dan Pembangunan" atau "Kelompok Sosial Demokrat".
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari
1973 tepat jam 24.00 dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok
Pusat (MPKP) yang mengadakan pembicaraan sejak jam 20.30 di Kantor
Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73
Jakarta,
Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik
menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia
meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama
untuk fusi menjadi :
1. Partai Demokrasi Pancasila
2. Partai Demokrasi Pembangunan
3. Partai Demokrasi Indonesia
Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni
dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan
Sabam Sirait Mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan
FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan
mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri
mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dengan
dideklarasikannya fusi kelima partai tersebut, maka lahirlah Partai
Demokrasi Indonesia.
Setelah deklarasi fusi tersebut, selanjutnya untuk memenuhi poin 3
Deklarasi fusi, dibentuk tim penyusun Piagam Perjuangan, AD/ART,
struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan melaksanakan fusi
tersebut. Tim yang dikenal sebagai Tim 10 itu semula diketuai Sunawar
Sukowati (PNI) tapi kemudian diganti Sudjarwo (PNI) karena penugasan
Sunawar sebagai duta besar.
Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk,
Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai
terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI
sebagai berikut :
I. MAJELIS PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 25 orang) :
II. DEWAN PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 11 orang)
DPP PDI bersama Tim 10 pada tanggal 8-10 Juni 1973 di Cibogo
Bogor
berhasil menyelesaikan AD/ART PDI dan telah disahkan dalam rapat DPP
PDI tanggal 26 Juli 1973 serta dikukuhkan dalam rapat MPP PDI di
kediaman hasyim Ning pada tanggal 4 Agustus 1973. Sementara Piagam dan
Program Perjuangan Partai dikukuhkan dalam rapat MPP PDI tanggal 19-20
September 1973.
Untuk memenuhi poin 4 Deklarasi Fusi, kelima partai yakni PNI,
Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba mengadakan forum internal
masing-masing partai. PNI menyelenggarakan Munas tanggal 27-28 Januari
1973 di
Jakarta
yang memutuskan bahwa masalah fusi dengan partai-partai lain tidak
dipersoalkan dan menyetujui kebijakan DPP PNI dalam menghadapi fusi.
Parkindo mengadakan Sidang Dewan Partai VII yang diperluas pada
tanggal 8-10 Juli 1973 di Sukabumi hasilnya menyetujui kebijakan DPP
Parkindo berfusi dalam PDI. Partai Katolik melaksanakan Sidang Dewan
Partai yang diperluas pada tanggal 25-27 Februari 1973 di
Jakarta
dan hasilnya menyetujui kebijakan DPP untuk berfusi. IPKI melaksanakan
Musyawarah Dewan Paripurna Nasional IV di Tugu-Bogor pada tanggal
25-27 mei 1973 dan Murba melaksanakan Sidang Dewan Partai pada tanggal
1-3 Agustus 1973 yang masing-masing menyetujui kebijakan DPP nya untuk
berfusi.
Terbentuknya DPP diiringi terbentuknya kepengurusan Cabang (kepengurusan
tingkat kabupaten) sebanyak 154 Cabang. Tahun 1974 kepengurusan Cabang
bertambah 77 Cabang, tahun 1975 bertambah 20 Cabang, tahun 1976
bertambah 6 Cabang.
Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama
pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni
1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni
1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas). Dalam praktik,
Munas I ini mengambil nama "Konpernas" (Konsultasi dan
Penataran Nasional) di
Jakarta
tanggal 20-24 september 1973. Konpernas dihadiri utusan Dewan Pimpinan
Daerah (DPD), MPP, Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), Anggota Fraksi
PDI di DPR, dan tokoh-tokoh Pemerintah seperti mayjen Ali Murtopo,
Mayjen Subiyono (Wakil Dephankam), JB sumarlin (Wakil Bappenas),
Mayjen Sunandar (Wakil Mendagri), Sulaiman (Wakil Menlu) dan Prof
Sunario (Wakil Dewan Harian Angkatan 1945).
Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 - 13 April 1976. Pelaksanaan
Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di
dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah
memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi
Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah
disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar.
Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP,
maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian
politik bersama Bakin.
Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di
Jakarta,
meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul
Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas
penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI
tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema :
"Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka
Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk
Mensukseskan Pembangunan" .
Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat.
Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Kongres
II PDI tetap berjalan. Pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan
Kongres tersebut dan Presiden Soeharto yang membuka acara Kongres II
PDI.
Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan- kesepakatan diantara
partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya
menyepakati bahwa fusi telah tuntas.
Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan
antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok hardjanto mendesak
diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya
menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI
diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto
menginginkan sebelum Pemilu. Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan
sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji
Pondok Gede,
Jakarta.
Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal
dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan
PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan
pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah
Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri
Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono.
Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres
IV PDI di
Medan.
Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel
Tiara,
Medan,
Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres
tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing
dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono,
Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama
Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.
Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang
didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum
didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati
belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum
memungkinkan.
Kongres IV PDI di
Medan
dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar.
Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang
para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos
masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara
tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi
sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana
Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob
Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Kondisi demikian
membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed
mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin
Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993
akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI .
Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di
Medan,
muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk
tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu
menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC
berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September
1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka
meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui
Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993
di Asrama Haji Sukolilo,
Surabaya.
Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam
bursa
calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan
fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk
menghadang laju Megawati ke dalam
bursa
pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI
Sumatera
Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka
persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati.
Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak
maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar
peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak
dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum
DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto.
Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri
bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan
Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP
PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23
Desember 1993 di
Jakarta
dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua
Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode
1993-1998.
Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI.
Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui
oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu
kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke
daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar
Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil
dirangkulnya untuk menggelar Kongres.
Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas
diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni
1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait,
Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak
Kongres.
Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap
menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji
Medan
dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan
lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung
ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di
persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap
orang-orang yang melintas.
Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara
besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa
yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu
berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa
Gambir Berdarah".
Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres
Medan,
namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah
mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres
Medan
dan menyatakan PDI hasil Kongres
Medan
sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden
Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres
Medan
yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku
Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para
pengikutnya semakin terpojok.
Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi"
dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27
Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah
yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan Peristiwa "Sabtu Kelabu 27 Juli" yang banyak
menelan korban jiwa.
Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih
tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang
dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati
melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak
ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah
kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan
warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan
hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.
Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan
Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan
reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar.
Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan
Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam
negeri tetapi juga dari luar negeri.
Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati
menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di
Denpasar
Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri
oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres
Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai
acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa,
Denpasar
sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati
warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.
Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali
menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi.
Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk
mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai,
NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI.
Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh
Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan
Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999,
Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1
Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal,
kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran
Senayan
Jakarta.
Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang
begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai
pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153
orang. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil
Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang
Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4.
Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI
Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan
Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP
sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan
diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi
organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.
Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1
April 2000 di Hotel Patra Jasa
Semarang-Jawa
Tengah. Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul
calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul
antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua
DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul
pula
nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di
dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang
mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan
umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati
Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota
Banjarmasin
mengusulkan Eros Jarot sebagai KetuanUmum DPP PDI Perjuangan.
Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri
sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara
aklamasi tanpa pemilihan karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama
Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.
Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati
diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH
Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI.
Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa
perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai
penguasa melekat di PDI Perjuangan.
Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu
meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun
2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua
dengan 109 kursi di DPR.
Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret
2005 di Hotel Grand
Bali
Beach,
Denpasar
Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun
1998. Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan
yaitu 28 Maret - 2 April 2005.
Menjelang Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan, sudah banyak
muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP
PDI Perjuangan antara lain Guruh Soekarnoputra yang digagas oleh Imam
Mundjiat Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Laksamana Sukardi,
Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.
Masing-masing calon tersebut giat melakukan penggalangan kekuatan di
daerah. Disamping itu kelima calon tersebut beberapa kali mengadakan
pertemuan-pertemuan di beberapa hotel di Jakarta salah satunya
pertemuan di Sahid Jaya Hotel. Di kemudian hari kelima calon ini
bergabung menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan "Kelompok
Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan" yang mengusung satu nama calon
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yaitu Guruh
Sukarno
Putra.
Di dalam sidang paripurna pertama, sidang sempat ricuh saat pembahasan
tata tertib yang diikuti beberapa peserta walk out dari arena sidang.
Namun sidang paripurna tetap berlangsung setelah Ir. Sutjipto selaku
pimpinan sidang mengajukan penawaran kepada peserta yang menolak Pasal
7 tata tertib untuk berdiri dan yang menyetujui tetap duduk, ternyata
dari 1822 peserta hanya beberapa orang yang berdiri dan sidang
dilanjutkan kembali.
Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005
setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh
peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua
Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010. Susunan pengurus DPP PDI
Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan sebagai berikut :
Ketua Umum : Megawati Soekarnoputri
Sekretaris Jendral : Ir. Pramono Anung W.
Wakil Sekjen Bidang Internal : Mangara M. Siahaan
Wakil Sekjen Bidang Eksternal : Agnita Singedekane Irsal
Wakil Sekjen Bidang Fungsi Pemerintahan : Sutradara Gintings
Bendahara : Philip Widjaja
Wakil Bendahara Bidang Dana : Daniel Budi Setiawan
Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi Kekayaan : NGA. Sukma Dewi Djakse
Bidang Internal
Ketua Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu : Tjahjo Kumolo
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi : Suwarno
Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi : Alexander Litaay
Ketua Bidang Sumberdaya dan Dana : Murdaya Poo
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat & Media : Panda Nababan
Bidang Eksternal
Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa & Olahraga : Maruarar Sirait
Ketua Bidang Buruh Tani & Nelayan : Jacob Nuwawea
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan : Guruh Soekarno Putra
Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah & Koperasi : Ir. Mindo Sianipar
Ketua Bidang Agama & Kerohanian : Prof.Dr.Hamka Haq
Ketua Bidang Organisasi Kemasyarakatan : Dudhie Makmun Murod
Ketua Bidang Informasi & Komunikasi : Ir. Daryatmo Mardiyanto
Ketua Bidang Lingk Hidup & Pengabdian Masyarakat : Sonny Keraf
Bidang Fungsi Pemerintahan
Ketua Bidang Keamanan dan Pertahanan : Theo Syafei
Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat : Adang Ruchiyatna
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan : Ir. Emir Moeis
Ketua Bidang Luar Negeri : Dr. Arief Budimanta
Ketua Bidang Dalam Negeri / Otonomi Daerah : Ir. Sutjipto
Ketua Bidang Hukum & Hak Azasi Manusia : Firman Jaya Daeli
Pada tanggal 25 April 2005, kepengurusan DPP PDI Perjuangan hasil
Kongres II PDI Perjuangan dilaporkan ke Departenmen Kehakiman dan HAM
dan pada tanggal 30 Mei 2005 Menteri Hukum dan HAM menerbitkan surat
keputusan nomor :
M-01.UM.06.08
Tahun 2005 yang menerima perubahan kepengurusan dan AD-ART hasil
Kongres tersebut.