ANAK
ANAK
Teman2,
Saya diberkati luar biasa
ungkapan teman2 yang banyak pengalaman dibawah ini.
Anak
adalah harta yang tak ternilai! Begitulah yang sering kita dengar dari
mulut para orang tua (yang sudah punya anak tentunya). Tak heran, banyak
yang begitu ”menjaga’ bahkan sangat ”memanjakan” dengan harapan,
anak bisa bahagia, gembira dan tentu saja kelak bisa menjadi manusia
yang berguna. Harapan yang ideal bukan?.
Anak
bukanlah robot yang bisa diatur kesana kemari seenaknya. Anak bukan
seperti televisi yang bisa dipindah-pindahkan chanellnya hanya dengan
menekan remote control. Ada yang mengatakan, anak seperti keramik. Jika
pecah, susah untuk merekatkannya lagi, lalu bagaimana orang tua
sebaiknya memperlakukan anak? Benarkah anak sekarang punya potensi
sebagai pemicu konflik?
Wawancara
dengan Dra.Lisa Nathalia MS. PhD
Bagaimana
pendapat ahli tentang posisi anak dan bagaimana orang tua harus
menempatkan posisinya? Warta plus Bethany mewawancarai Dra. Lisa
Nathalia MS,. Ph.D., Direktur HRD Indonesia dan Eaglewan Institute.
Ditemui di kantornya, ibu dari Siska, Dimas dan Amel ini menjawab dengan
santai, terkadang diselingi tawanya yang renyah. Berikut petikan
bincang-bincangnya. :
Bagaimanakah
orang tua seharusnya menempatkan anak dalam keluarga?
Kalau
berkata dari keadaan sekarang ini, sebaiknya orang tua tidak terlalu
memaksakan kehendaknya kepada anak. Banyak kasus yang orangtua ingin
anaknya menurut pada kehendak dan keinginan orang tuanya, akhirnya anak
malah berontak. Berikan sedikit kebebasan untuk memilih dan mengambil
keputusan sendiri.
Kapan
sebaiknya anak diberi kebebasan untuk memilih dan mengambil keputusan
sendiri?
Yang
harus diberikan sejak dini sebaiknya adalah kedisplinan. Penerapan
kedisplinan dalam keluarga bisa melalui aturan-aturan dalam rumah
tangga. Anak harus diajar memahami aturan dan menaati aturan dalam
keluarga. Ini akan membentuk karakter anak.
Terus
kapan anak mulai diberi kebebasan?
Biasanya
tuntutan kebebasan mulai muncul ketika anak menjelang usia remaja.
Mereka mulai ingin mengambil keputusan sendiri. Sebagai contoh dalam
menentukan sekolahnya. Sebaiknya orang tua lebih bijak dalam memberikan
pilihan bagi si anak. Orang tua harus memahami apa sebenarnya bakat dan
minat si anak.
Seberapa
pentingkah itu?
Banyak
kasus yang akhirnya memunculkan banyak konflik. Banyaka anak frustasi
karena paksaan orangtua dalam memilih sekolah atau jurusan tertentu.
Akibatnya si anak tidak bisa mengembangkan diri dan kemampuannya. Gejala
ini terlihat ketika menjelang kelulusan sekolah atau wisuda. Si anak
menjadi lega karena sudah menuruti kemauan dari orang tua.permasalahan
ini mesti dikomunikasikan antara kemauan anak dan orang tua.
Sebagai
bangsa timur bukankah berkomunikasi dengan orang tua secara terbuka itu
sulit?
Ini
bukan masalah budaya saja, memang kalau dikalangan kita, jika orang tua
punya usaha maka bisa dipastikan orang tua menghendaki anaknya akan
mewarisi usahanya tersebut. Tetapi
sekarang ini tuntutan dan arah perkembangan jaman menghendaki agar ada
keterbukaan di dalam keluarga. Lebih demokratis. Apalagi kalau mau
mendidik anak dengan benar. Jadi kalau sudah masalah sekolah dan masa
depan si anak, sebaiknya orang tua melibatkan anaknya. Anak perlu diajak
bicara. Mereka boleh memiliki masa depan yang juga merupakan impian
mereka. Kita sebagai orang tua tidak ada salahnya mendukung impian si
anak. Malahan ini merupakan
suatu keharusan.
Lalu
sejauh mana intervensi orang tua diperkenankan?
Kalau
secara ilmiah sih tidak ada ukuran tingkat intervensi orang tua dalam
kehidupan anak. Meski kenyataannya di Indonesia banyak ditemukan fakta
dan data kalau intervensi orang tua terhadap anaknya sangat kuat. Yang
terbaik adalah dengan melihat karakter anaknya terlebih dahulu. Kalau si
anak bertipe kurang inisiatif dan cenderung pendiam maka intervensi atau
pengaruh orang tua sangat diperlukan. Tetapi kalau si anak memiliki
inisiatif dan aktif, lebih baik orang tua tidak banyak campur tangan.
Karena kalau orang tua ikut campur bisa jadi si anak akan berontak dan
jadi frustasi. Banyak kasus kalau anak marah pada orang tua larinya
adalah ke narkoba. Karena ia ingin melampiaskan dengan cara menyakiti
orang tuanya. Ini adalah bagian dari ungkapan kesakitan si anak. Ini
semua bisa jadi karena orang tua kurang memahami si anak.
Bagaimana
supaya orang tua tahu dan mampu mengembangkan minat serta bakat anak?
Kuncinya
ya belajar. Orang tua harus mau belajar bagaimana mengenali bakat dan
minat anaknya. Karena ini bisa dipelajari. Misalkan dengan banyak
membaca buku-buku psikologi terapan yang berkaitan dengan permasalahan
minat dan bakat anak. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana membuat
anak agar selalu happy. Banyak kasus dimana orang tua mengikutkan
anaknya pada beragam kegiatan pasca sekolah, baik berupa les atau kursus
sampai si anak tidak punya waktu lagi untuk bermain atau mengembangkan
diri. Ini tidak baik bagi perkembangan si anak ke depan.
Lho,
banyak kegiatan kan bagus buat anak?
Kalau
si anak punya kegiatan yang sangat padat di luar jam sekolah kemudian
sampai malam, maka si anak akan cepat lelah dan bisa mengalami stress
berat. Alasan orangtua masuk akal juga karena dengan memberi les
tambahan, harapannya si anak bisa jadi juara kelas. Tetapi
kenapa tidak dipilih saja pelajaran mana si anak yang lemah atau kurang.
Jadi tidak usah semua pelajaran. Kalau sudah stress di anak tidak llagi
merasa senang atau nyaman.
Berkaitan
dengan masalah bakat dan minat, bagaimana pula mengembangkan kecerdasan
emosional EQ dan kecerdasan spiritual SQ pada anak yang belakangan lagi
marak?
Berdasarkan
pengalaman, yang lebih menentukan masa depan seorang anak adalah
kecerdasan emosional atau EQ dan kecerdasan spiritual atau SQ. Maka
sejak dini EQ dan SQ ini juga harus diperhatikan perkembangannya.
Kenyataan memberikan bukti banyak manajer-manajer atau pimpinan
perusahaan atau organisasi yang tidak berani mengambil resiko atau
berubah. Demikian juga dengan jumlah pelamar pegawai negeri yang tidak
pernah berkurang. Ini menunjukkan orang hanya menginginkan kenyamanan
alias keamanan. Sikap demikian menggambarkan bahwa mental kita itu masih
penakut tidak berani mengambil resiko.
Mengapa
mental penakut atau tidak berani mengambil resiko itu sampai muncul?
Ini
sangat berkaitan dengan masa kecil dimana masa anak-anak bertumbuh dan
berkembang. EQ dan SQ akan bertumbuh kembang dengan baik dalam sebuah
keluarga yang penuh keterbukaan. Karena mengembangkan emosi amat
berkaitan dengan perasaan. Bagaimana ia merasa dihargai dan dibutuhkan
oleh anggota keluarga yang lain.
Kemudian
yang sering turut menghambat adalah banyaknya aturan-aturan dari orang
tua maupun lingkungannya seperti sekolah yang harus dipatuhi. Di satu
sisi aturan ini baik, tetapi juga bisa membuat anak kehilangan
keberanian untuk kesana dan kesini. Di kemudian hari kondisi demikian
akan mempengaruhi kemampuan dalam pengambilan keputusan. Ada kepatuhan
tetapi tidak mandiri
Kemudian
bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) anak?
Langkah
yang sederhana dalam mengembangkan SQ anak misalkan dengan memberikan
ayat-ayat al-kitab yang aplikatif sehingga bisa menjadipegangan bagi si
anak. Hal yang mungkin kurang kita perhatikan adalah bahwa alam bawah
sadar kita bisa dipengaruhi kalau diperdengarkan sesuatu secara terus
menerus dan berulang-ulang. Lagu bisa dijadikan contoh kasus ini. Kalau
kita dan anak-anak sering mendengarkan lagu rohani maka secara tidak
sadar kita selalu teringat akan syair dan llagu tersebut. Sehingga akan
meresap dan ikut mengontrol tindakan kita. Jadi kalau anak suka
mendengarkan lagu-lagu rohani itu sangat positif.
Hal
lain yang ikut mempengaruhi perkembangan SQ anak ?
Yang
utama dan terpenting adalah orang tua harus memberikan contoh perilaku
yang fair kepada anak. Karena anak-anak juga tahu dan merasakan kalau
orang tua berbohong. Orang tua juga harus bersikap adil dan terbuka
kepada anak. Tidak menyembunyikan sesuatu.
Dalam
keluarga, bagaimana memberikan kasih sayang secara adil bagi anak-anak ?
Orang
tua jangan sekali-kali membanding-bandingkan antara anak yang satu
dengan yang lainnya. Karena bisa menimbulkan dendam atau iri diantara
anak. Akan muncul tembok penghalang komunikasi yang besar. Ini akan
membawa sampai mereka besar.
Si
anak tidak menjadi apa yang diinginkannya tetapi ingin meniru saudara
yang disayang oleh orang tuanya. Kalau dia gagal, maka anak akan
frustasi. Maka dia akan menjadi bayang-bayang bagi saudaranya itu.
Tetapi
berlaku adil bagi anak bukanlah seperti di A dapat sepatu baru maka si B
mendapat sepatu juga.
Melainkan membelikan sesuai dengan kebutuhan. Kalau si A butuh baju maka
dibelikan baju, kalau si B butuh sepeda ya sepeda. Dan disampaikan
kepada anak kalu ini namanya menyayangi sesuai dengan kebutuhan.
Pengaruh psikologis perbedaan kasih sayang sangat besar bagi seorang
anak. Jangan sampai anak merasa kurang dikasihi dibanding kakak atau
adiknya.
Tetapi
bagaimana dengan orang tua yang sibuk, misalkan seperti ibu Lisa sendiri
?
Dalam
keluarga yang utama adalah memberikan perhatian kepada anak. Saya
misalkan kalau bertemu dengan anak-anak, saya selalu bercerita apa yang
saya kerjakan. Bahkan saya melibatkan mereka dalam pekerjaan. Ada yang
saya minta untuk membantu menerjemahkan. Ini sengaja saya lakukan agar
anak juga memahami apa dan bagaimana pekerjaan saya. Kemudian kalau ada
waktu senggang, biasanya akhir pekan, kami sekeluarga jalan-jalan atau
makan malam bersama. Kalau pas di Surabaya ya tiap malam makan bersama.
Ini untuk menjaga kebersamaan di keluarga. Nah kalau pada
akhir pekan saya berhalangan maka ya harus dicari hari
penggantinya. Bahkan kadang saya ikut dalam kegiatan mereka. Kalau
perlu ikut pula ke lapangan melihat mereka main sepak bola meski baju
kotor kena tanah. Ini tidak masalah asal anak dan orang tua bahagia.
Nara
sumber :
dr.Soetjipto,
SpKJ spesialis jiwa,
Pdt.
Judianto konselor
rumah tangga Dra. Lisa Nathalia,
MS., Ph.D konselor anak Gereja
Bethany Indonesia di Surabaya
Pdt.
Dra. Melly
Riva
,
MA
,
konselor, acara keluarga
di radio Sangkakala
Bambang
Wiyono
HP
0812 327 3886