Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Inggris melalui

Program-Program Continuous Improvement

 

Oleh

 

Prof. Drs. Bambang Yudi Cahyono, M.Pd, M.A., Ph.D.

Guru Besar bidang Applied Linguistics,

Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris,

Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

 

 

Yang saya hormati, Bapak/Ibu/Saudara

¨       Rektor selaku Ketua Senat Universitas Negeri Malang

¨       Ketua dan Anggota Komisi Guru Besar Senat Universitas Negeri Malang

¨       Para Anggota Senat Universitas Negeri Malang

¨       Para Pejabat Struktural Universitas Negeri Malang

¨       Para dosen, sejawat akademik, dan mahasiswa Universitas Negeri Malang

¨       Para undangan dan hadirin semuanya,

 

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

            Marilah kita bersyukur kepada Allah swt, karena hanya atas rahmat dan inayah-Nya lah kita bersama dapat hadir dalam acara akademis yang sangat mulia pada hari ini. Saya juga ingin mengajak hadirin muslim untuk menyampaikan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw.

            Dalam pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Applied Linguistics ini, perkenankanlah saya untuk memaparkan pentingnya peningkatan kompetensi guru bahasa Inggris. Guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya. Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, kesadaran akan peran pentingnya guru tampak semakin meluas. Hal ini terbukti dari adanya dua konferensi internasional akhir-akhir ini yang menekankan pentingnya peran guru dalam pembelajaran bahasa Inggris (English Language Teaching). Konferensi pertama, the 55th TEFLIN International Conference yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing di Indonesia di Jakarta 4-6 Desember 2007, mengambil tema “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Pembelajaran Bahasa Inggris” (Human Resource Development in English Language Teaching). Konferensi kedua, the Seventh International Conference  yang diselenggarakan oleh konsorsium ITB Bandung, the British Council dan the University of Leeds di Bandung 15-17 April 2008, mengambil tema “Kompetensi dan Kualifikasi Guru dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia” (Teachers' Competencies and Qualifications for ELT in Indonesia). Dua konferensi tersebut menandaskan pentingnya penggarapan faktor guru  dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran bahasa Inggris.

Dalam pidato ini saya ingin menyampaikan pentingnya peranan program-program continuous improvement, atau dalam bahasa Indonesianya, ‘perbaikan berkelanjutan’, untuk peningkatan kompetensi guru bahasa Inggris. Secara khusus, saya akan  melaporkan hasil penerapan Program Continuous Improvement Learning untuk meningkatkan kompetensi guru bahasa Inggris di Kabupaten Jombang.

 

Pre-service dan In-service Education

            Kita telah mengenal dua jenis pendidikan dalam pengembangan profesi guru, yaitu pendidikan pra-jabatan (pre-service education) dan pendidikan dalam-jabatan (in-service education). Pendidikan pra-jabatan berfungsi untuk mempersiapkan calon-calon guru, sedangkan pendidikan dalam jabatan diperuntukkan bagi mereka yang telah bertugas sebagai guru di berbagai tingkat pendidikan.

            Di negara kita, tanggung jawab untuk mempersiapkan tenaga kependidikan bahasa Inggris melalui pre-service education diemban oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) seperti Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan universitas-universitas konversi IKIP yang memberikan program kependidikan (teacher training) dan non kependidikan. Sebagai penyedia tenaga kependidikan, LPTK memiliki seperangkat kurikulum yang dipergunakan untuk mempersiapkan para mahasiswa menjadi guru bahasa Inggris yang berkualitas. Sebagai contoh, pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang, sebuah universitas yang memiliki mandat ganda untuk menyediakan tenaga kependidikan dan non kependidikan, para mahasiswa yang juga calon guru bahasa Inggris diharuskan menempuh antara 146 hingga 160 kredit untuk menyelesaikan pendidikan sarjana. Matakuliah yang ditawarkan mencakup matakuliah pengembangan kepribadian, matakuliah keilmuan dan keterampilan, dan matakuliah keahlian bidang studi yang meliputi keterampilan berbahasa Inggris (English language skills), ilmu bahasa (linguistics), sastra (literature), dan pembelajaran bahasa Inggris (English language teaching), serta beberapa matakuliah pilihan dan penunjang penulisan skripsi (Widayati & Anugerahwati, 2006).           

Dalam rangka mewujudkan ketercapaian keahlian bidang studi bahasa Inggris, LPTK memiliki kelenturan dalam memberikan berbagai matakuliah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Misalnya, untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris, program Intensive Course (IC) telah diperkenalkan di sejumlah LPTK (Djiwandono, 1999) dan program IC tersebut terbukti berhasil (Cahyono, 2002). Sebagian LPTK lain berupaya memenuhi kebutuhan guru bahasa Inggris bagi pembelajar muda melalui pemberian matakuliah English for Young Learners (lihat Sutarsyah, 2004) dan berusaha menopang kebutuhan pemakaian bahasa Inggris di dunia usaha melalui penawaran matakuliah English for Business (lihat Rusli, 2004). Singkatnya, calon-calon guru bahasa Inggris telah dipersiapkan secara cukup matang melalui pre-service education di berbagai LPTK.

            Tanggung jawab untuk mengembangkan para guru bahasa Inggris melalui in-service education pada umumnya diemban antara lain oleh LPTK, kantor diknas di tingkat propinsi maupun kota/kabupaten, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris. Sebagai contoh, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, sebagai salah satu LPTK, sejak akhir 2005 hingga akhir 2007 tercatat telah menyelenggarakan sepuluh kali lokakarya pembelajaran bahasa Inggris untuk para guru bahasa Inggris dari berbagai tingkat pendidikan. Salah satu lokakarya, yaitu yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2007, mengambil tema “Metodology Pembelajaran Bahasa Inggris” (English Language Teaching Methodology) dan dihadiri tidak kurang dari 150 pengajar bahasa Inggris, dari Jawa Timur, terutama Malang Raya, dan beberapa kota dari luar propinsi. Yang menggembirakan, kiprah untuk memberikan in-service education secara konsisten kepada para guru bahasa Inggris ini telah diikuti oleh sejumlah LPTK lain di Malang dan kota-kota lain di Jawa Timur. Tak kalah pentingnya dalam penyediaan pendidikan dalam jabatan adalah peran MGMP. Berdasarkan percakapan informal dengan sejumlah guru bahasa Inggris di Jombang, Malang, dan Sidoarjo, saya mengetahui bahwa MGMP bahasa Inggris, sebagai forum komunikasi guru, memberikan kontribusi yang tidak kecil dalam memberdayakan para anggotanya melalui pertemuan reguler yang diisi presentasi dan diskusi guru yang memperoleh pengalaman baru atau yang dianggap berhasil dalam mengembangkan atau menerapkan inovasi pendidikan.

Lembaga swasta, lembaga patungan, lembaga luar negeri atau pusat pembelajaran bahasa Inggris juga turut serta dalam pengembangan profesionalisme guru bahasa Inggris melalui berbagai kegiatan. Sebagai contoh, Regional English Language Office yang merupakan bagian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, sejak akhir 2003, selalu menyelenggarakan diskusi meja bundar (round table discussion/RTD) mengenai bidang terkait dengan pembelajaran bahasa Inggris (English language teaching). Program RTD yang ke-89 dilaksanakan 23 April 2008 di RELO Centre Jakarta dengan tema “Mengatasi permasalahan dan menghadapi tantangan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia” (ELT in Indonesia: Overcoming the obstacles and meeting the challenges) (Herrini, 2008). The Indonesian-Australian Language Foundation (IALF) dalam programnya yang bertajuk Learning Assistance Programme for Islamic Schools (LAPIS) memberikan pelatihan bahasa Inggris bagi para guru bahasa Inggris di madrasah melalui divisinya yang bernama English Language Teaching for Islamic Schools (ELTIS). Lembaga-lembaga partikulir yang bergerak dalam bidang pengembangan keterampilan guru bahasa Inggris, seperti Progress Institute yang berbasis di Makassar dan Innovation Institute yang berbasis di Malang menyelenggarakan lokakarya pembelajaran bahasa Inggris untuk para guru bahasa Inggris dari kota-kota tersebut dan sekitarnya. Sebagai contoh, pada 10 Februari 2008, Progress Institute bekerjasama dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sulawesi Selatan dan English First (EF) Makassar, menyelenggarakan lokakarya nasional dengan tema “English Language Teaching, Globalization, and Intercultural Learning” di Makassar dan, pada 29 Maret 2008, Innovation Institute mengadakan lokakarya nasional dengan tema “Tips in the Teaching of English Language Components” di Malang.

 

Hadirin yang terhormat,

            Perkembangan terakhir dalam in-service education untuk para guru bahasa Inggris sebagaimana disebut di atas, merupakan fenomena yang sangat menggembirakan. Hal ini disebabkan karena semakin meluasnya penyediaan program in-service education untuk guru bahasa Inggris.

 

Manfaat dan Aksesibilitas In-service Education

            Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi para guru bahasa Inggris di berbagai program in-service education memberikan kontribusi pada upaya pengembangan profesionalisme pengajar bahasa Inggris (Agustina, 2008; Ghozali, 2008; Prihantoro, 2008). Misalnya, Ghozali (2008) melaporkan bahwa para guru bahasa Inggris yang telah mengikuti lokakarya tentang bagaimana menerjemahkan kurikulum bahasa Inggris ke dalam praktek pembelajaran bahasa Inggris mengaku bahwa mereka mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam proses pembelajaran bahasa Inggris lantaran keikutsertaan mereka dalam lokakarya tersebut.

            Sayangnya, walaupun program in-service education seperti itu cukup efektif dalam meningkatkan profesionalisme guru bahasa Inggris, tidak semua guru bahasa Inggris berkesempatan untuk mengikuti program-program in-service education setelah menyelesaikan pendidikan mereka di LPTK. Mereka tidak dapat mengikuti program seperti itu karena sejumlah alasan, antara lain pertimbangan finansial, pembatasan kuota peserta, faktor geografis seperti jarak yang jauh, dan kekhasan sifat program yang ditawarkan (misalnya, lokakarya pemakaian pusat studi mandiri (self-access centre) tidak terkait langsung dengan kebutuhan sehari-hari di kelas para guru bahasa Inggrus atau tidak dapat diterapkan karena sekolah pada umumnya tidak memiliki fasilitas studi mandiri).

Singkat cerita, meskipun para guru bahasa Inggris itu secara normatif perlu selalu mengikuti perkembangan inovasi pembelajaran bahasa Inggris, pada kenyataannya tidak banyak para guru yang merespon dengan cepat pada tuntutan perkembangan itu. Misalnya, pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) untuk semua bidang studi, termasuk bahasa Inggris, di sekolah menengah pada tahun 2004 tidak direspon selekasnya oleh para guru, misalnya dengan berusaha mencari tahu apa sebenarnya KBK itu dan bagaimana menerapkannya di kelas. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Septy (2005), para guru bahasa Inggris perlu memiliki pengetahuan mengenai kurikulum bahasa Inggris dan memiliki keterampilan dalam “membuat rancangan pembelajaran menurut kurikulum bahasa Inggris.” Oleh karena itulah, upaya dalam meningkatkan pengetahuan para guru mengenai kurikulum baru tersebut dan bagaimana cara menerapkannya di kelas merupakan hal yang sangat penting (Yuliasri, 2006; Yuliasri & Haryanti, 2006).

 

Laporan Penelitian Studi Kasus Penyediaan Akses In-service Education

Mengingat bahwa tidak banyak guru yang memiliki akses pada program-program in-service education, adanya gagasan untuk melaksanakan program in-service education di tingkat regional merupakan sumbangsih berharga untuk perkembangan profesionalisme para guru. Pembuatan program seperti itu selaras dengan semangat pemerintah dalam mendelegasikan kekuasaan ke daerah sebagai pengejawantahan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam pidato ini saya akan menyampaikan hasil sebuah penelitian studi kasus mengenai penerapan sebuah inovasi program in-service education untuk mengembangkan profesionalisme para guru di Jombang, khususnya guru bahasa Inggris, melalui program “Continuous Improvement Learning” (Program CIL). Program CIL merupakan program kerjasama antara LP3 Universitas Negeri Malang dan Pemerintah Daerah Jombang. Program tersebut dilaksanakan pada tahun 2006 dan dihadiri oleh 40 guru bahasa Inggris tingkat SMP dan 35 guru bahasa Inggris tingkat SMA di kota kabupaten tersebut. Laporan penelitian studi kasus ini memfokuskan pada Program CIL untuk para guru SMP yang berpartisipasi dalam program tersebut.

Istilah “continuous improvement learning” itu diadopsi dan dikembangkan dari istilah continuous improvement (CI) yang berarti “perbaikan berkelanjutan”. Istilah learning ditambahkan dalam program CIL tersebut untuk menempatkan program itu dalam konteks pendidikan. Menurut ensiklopedia virtual Wikipedia, konsep “perbaikan berkelanjutan” berasal dari istilah dalam bahasa Jepang, Kaizen, yang bermakna “perubahan ke arah yang lebih baik”. Aslinya, istilah Kaizen itu dipakai untuk menyebut alat pembayaran yang digunakan dalam Kaizen Games, sebuah permainan yang menekankan perlunya peningkatan poin perolehan. Secara filosofis, Kaizen bertujuan untuk menghindari pencampakan sesuatu. Artinya, dalam menangani sesuatu amatlah penting bagi seseorang untuk “melakukan pemilahan dan memadukannya secara lebih baik” (Wikipedia, 2008: 1). Menurut Imai (1997), pengarang buku Gemba Kaizen, Kaizen merupakan sebuah pendekatan manajemen yang murah-meriah karena kelenturan, kepraktisan, dan efektifitas penerapannya.

Continuous improvement (CI) dipergunakan dalam berbagai konteks selain pendidikan. Dalam dunia perdagangan, CI digunakan untuk mengacu kepada program yang bertujuan untuk “mengairahkan kerjasama kelompok, menciptakan lingkungan kerja positif, memperbaiki kualitas dan meningkatkan kepuasan konsumen” (Gaunt, 2005: 5). Dengan merujuk pada filosofi Kaizen, Gaunt menyatakan bahwa “CI perlu diterapkan untuk menghindari pemborosan dan mengurangi biaya dalam upaya meningkatkan laba usaha”. Mabrouk (2007: 1) menambahkan bahwa CI mendorong para pekerja yang berada di garis depan untuk “memperbaiki kinerja operasional tanpa harus menunggu restu dari atasan”. Lebih tegas lagi, Bryce (2007: 1) menyatakan, “beban tanggung jawab untuk meningkatkan keterampilan dalam profesi yang Anda pilih terletak pada ANDA sendiri, bukan atasan Anda”.

 

Hadirin yang terhormat,

Dengan mengacu pada konsep continuous improvement dan penerapannya dalam lingkungan kerja, Program CIL pada dasarnya bertujuan untuk lebih memberdayakan para guru bahasa Inggris agar dapat mencari peluang untuk mengembangkan diri mereka. Bagian berikut dari pidato ini mendeskripsikan Program CIL beserta penerapannya, dan memaparkan pendapat dan evaluasi para guru bahasa Inggris yang menjadi peserta program mengenai program tersebut.

 

Program CIL dan Pelaksanaannya

            Tujuan program CIL adalah untuk mengembangkan kemampuan para guru bahasa Inggris dalam mencapai taraf di mana mereka dapat memperbaiki belajar mereka sendiri secara berkelanjutan. Pelaksanaan Program CIL dibagi menjadi empat tahap. Program diawali dengan sesi pelatihan dan lokakarya (the training and workshop session) yang berisi penjelasan umum mengenai Program CIL dan tujuannya dalam membantu para guru dalam mengembangkan keterampilan professional mereka. Sesi ini juga memberi para guru pengetahuan mengenai aspek-aspek kurikulum dan bagaimana menerapkannya di kelas bahasa Inggris. Tahap kedua dari Program CIL, pengajaran nyata (the real teaching), memberikan kesempatan kepada para guru untuk mempraktekkan apa yang dipelajari dari sesi pelatihan dan lokakarya di samping pengalaman mereka sendiri. Tahap ketiga berupa sesi penyajian makalah (the paper presentation session) yang merupakan forum bagi para guru untuk melakukan refleksi mengenai apa yang telah dipelajari dan dipraktekkan. Tahap terakhir adalah konferensi (conference) yang bertujuan untuk memberikan motivasi agar para guru terus berupaya memperbaiki belajar dan meningkatkan kompetensi untuk profesionalisme mereka. Keempat tahap dalam Program CIL tersebut akan dipaparkan dalam bagian berikut.

 

Tahap 1: Sesi Pelatihan dan Lokakarya

            Melalui sekolah mereka, para guru diundang untuk menghadiri sesi pelatihan dan lokakarya di sebuah tempat yang ditentukan di Jombang, di luar lingkungan sekolah mereka. Tahap pelatihan dan lokakarya ini berlangsung selama satu minggu. Materi pelatihan dan lokakarya mencakup topik-topik umum yang penting untuk pengembangan profesionalisme guru, yang meliputi kebijakan pendidikan (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, 2006), prinsip-prinsip penelitian tindakan kelas (Mukhadis, 2006), dan sejumlah topik mengenai Kurikulum (Berbasis Kompetensi) 2004 Bahasa Inggris dan aspek-aspek kurikulum. Topik-topik yang disajikan dalam sesi pelatihan dan lokakarya adalah sebagai berikut:

¨       Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Jombang

¨       Peningkatan Profesionalitas Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas

¨       Telaah Kurikulum (Berbasis Kompetensi) 2004 Bahasa Inggris

¨       Pembelajaran Inovatif Bahasa Inggris

¨       Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris

¨       Pemilihan Media Pembelajaran Bahasa Inggris

¨       Penilaian/Asesmen Pembelajaran Bahasa Inggris

¨       Perencanaan Pembelajaran Bahasa Inggris

Dalam rangka pendalaman materi untuk topik-topik terkait dengan KBK, para guru diminta untuk menghasilkan sejumlah perangkat pembelajaran dan menentukan komponen-komponen dalam proses belajar dan mengajar. Setelah mengikuti penyajian materi telaah kurikulum 2004 bahasa Inggris (Fachrurrazy, 2006), partisipan dilibatkan dalam lokakarya pengembangan silabus. Berdasarkan materi-materi lain yang diberikan dalam sesi pelatihan dan lokakarya ini (Cahyono, 2006; Iragiliati, 2006; Laksmi, 2006; Suryati, 2006; Widayati, 2006), para guru diminta untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran bahasa Inggris yang dapat digunakan di kelas, sampel materi untuk belajar mengajar, dan instrumen untuk melakukan penilaian belajar siswa. Selain itu, para guru juga diminta untuk menghasilkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang akan digunakan dalam tahap kedua dari Program CIL itu. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dikembangkan berdasarkan perangkat pembelajaran dan komponen pembelajaran yang lain.

 

Tahap 2: Pengajaran Nyata

            Dalam tahap pengajaran nyata, yang berlangsung tujuh minggu, para guru diminta kembali ke sekolah mereka masing-masing untuk menerapkan apa yang telah dipelajari dalam sesi pelatihan dan lokakarya. Dalam dua minggu terakhir masa pengajaran nyata, mereka diundang untuk berkumpul di sekolah tertentu (yaitu SMP Negeri 2 Jombang) untuk mengajar siswa sekolah tersebut. Setiap pengajar diberi dua kali kesempatan mengajar dalam dua minggu, yang masing-masing berlangsung 50 menit, berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah mereka siapkan.

            Ketika mengajar, para guru diobservasi oleh fasilitator untuk melihat cara mereka mengajar dan menerapkan rencana pembelajaran di kelas. Para fasilitator adalah para instruktur dalam sesi pelatihan dan lokakarya. Sebuah format evaluasi digunakan untuk mengevaluasi performansi para guru. Format evaluasi, yang dikembangkan berdasarkan skala Likert memiliki rentang nilai yang bervariasi dari “kurang”, “cukup”, “baik”, dan “sangat baik”, mengukur sepuluh aspek kompetensi, yaitu kompetensi dalam:

¨       Membuka pelajaran,

¨       Menyajikan materi,

¨       Mengajukan pertanyaan untuk memancing pemikiran,

¨       Merancang dan menggunakan media pembelajaran,

¨       Melaksanakan strategi pembelajaran,

¨       Menggunakan pengetahuan kebahasaan,

¨       Mengelola kelas,

¨       Mengatur waktu untuk kegiatan pembelajaran,

¨       Menilai hasil pembelajaran,

¨       Menyimpulkan dan menutup pelajaran.

Format evaluasi juga memiliki bagian kosong yang dapat digunakan oleh fasilitator untuk memberikan komentar mengenai berbagai aspek yang mungkin belum tercantum dalam daftar kompetensi. Komentar itu digunakan sebagai dasar untuk memberikan balikan bagi para guru setelah mereka menyelesaikan tahap pengajaran nyata.

            Hasil evaluasi fasilitator mengenai pengajaran nyata tersebut dianalisis dengan menghitung jumlah nilai berskala empat itu. Jumlah nilai total kesepuluh butir evaluasi dihitung dan dikalikan dengan 2,5 untuk menghasilkan nilai maksimal 100. Hasil akhir penghitungan nilai kompetensi menunjukkan bahwa sebagian besar pengajar (29 pengajar) memperoleh nilai yang termasuk dalam kategori “baik,” dengan rentang nilai 62.5 hingga 87.5 dan lebih dari seperempat dari semua jumlah peserta (11 pengajar) memperoleh nilai dalam kategori “sangat baik” (88 ke atas). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa para pengajar bahasa Inggris itu mengikuti tahap pembelajaran nyata dengan sungguh-sungguh dan berhasil mencapai kualitas maksimal dalam sepuluh kompetensi yang diukur.

 

Tahap 3: Penyajian Makalah

            Menyusul tahap pengajaran nyata, para guru diminta untuk menulis makalah yang harus dipresentasikan dalam tahap penyajian makalah yang dilakukan pada hari tertentu berselang tiga minggu dari masa pengajaran nyata. Topik-topik makalah dapat didasarkan pada pengalaman mengajar atau pada hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di kelas para guru. Dari semua makalah yang dikumpulkan, empat makalah terpilih untuk penyajian. Topik keempat makalah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Penelitian tindakan kelas sebagai sarana mencapai profesionalisme guru
  2. Menggunakan media pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris siswa
  3. Mengembangkan kemampuan siswa dalam belajar nouns, adjectives, dan verbs melalui mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris
  4. Menggunakan gambar seri untuk mengembangkan kemampuan menulis siswa.

Dua makalah pertama merupakan karya kolaboratif yang ditulis oleh sejumlah guru, sedangkan dua makalah yang lain merupakan makalah penyajian peserta secara individual. Makalah-makalah tersebut disajikan dalam sidang pleno yang dihadiri oleh semua partisipan. Sebagian dari partisipan tersebut diberi tugas sebagai moderator dan penulis.

 

Tahap 4: Konferensi

            Dalam tahap terakhir, konferensi sehari, para guru menghadiri kuliah umum mengenai pentingnya pemeliharaan “continuous improvement learning” dan mengenai program sertifikasi guru.

 

Penilaian dan Pendapat Guru mengenai Program CIL

            Pada saat Program CIL berlangsung, upaya dilakukan untuk memperoleh balikan mengenai pelaksanaan program dari para guru yang berpartisipasi. Pada akhir sesi pelatihan dan lokakarya (Tahap 1), sebuah kuesioner dibagikan kepada para guru. Butir-butir dalam kuesioner dikembangkan menurut topik-topik yang disajikan dalam sesi pelatihan dan lokakarya. Para guru diminta untuk mengevaluasi apakah topik-topik yang disajikan berguna. Lima pilihan jawaban diberikan dalam bentuk skala Likert, yang bervariasi dari “sangat berguna”, “berguna”, “biasa saja”, “tidak berguna”, dan “sangat tidak berguna”. Pada akhir tahap penyajian makalah (Tahap 3) , empat guru (2 pria dan 2 wanita) dipilih secara random dan diwawancarai untuk memperoleh pendapat mereka mengenai program CIL dan bagaimana program tersebut mempengaruhi tugas mereka sebagai pengajar bahasa Inggris.

 

Evaluasi Guru Mengenai Topik-topik Program CIL

            Data yang diperoleh dari para guru menunjukkan bahwa Program Cil merupakan sebuah model program yang menjanjikan untuk dapat membantu guru mencapai “continuous improvement learning”. Hasil analisis data kuesioner yang direspon oleh 28 guru menunjukkan bahwa materi pelatihan dan lokakarya dipandang berguna. Tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi respon yang masuk dalam kategori “berguna” dan “sangat berguna”. Dua respon positif tersebut dipadukan karena keduanya secara langsung menunjukkan kebergunaan topik-topik dalam sesi pelatihan dan lokakarya.

 

Tabel 1

Distribusi Frequensi (f) Respon mengenai Kebergunaan Topik-topik Program CIL

yang Masuk Kategori “Berguna” dan “Sangat Berguna” (N = 28)

 ___________________________________________________________________________

            Topik                                                                                                              f           %

____________________________________________________________________________

Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Jombang                                                18        64

Peningkatan Profesionalitas Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas                18        64

Telaah Kurikulum (Berbasis Kompetensi) 2004 Bahasa Inggris                        22        79

Pembelajaran Inovatif Bahasa Inggris                                                                  27        96

Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris                                                          22        79

Pemilihan Media Pembelajaran Bahasa Inggris                                                   24        86

Penilaian/Asesmen Pembelajaran Bahasa Inggris                                                26        93

Perencanaan Pembelajaran Bahasa Inggris                                                          26        93

____________________________________________________________________________

 

Tabel di atas menunjukkan bahwa semua topik berguna. Tetapi, para guru memandang bahwa materi yang berkaitan dengan pembelajaran dan kurikulum lebih bermanfaat daripada topik-topik umum seperti kebijakan pendidikan dan penelitian tindakan.

 

Pendapat Guru mengenai Program CIL

            Data wawancara menunjukkan bahwa Program CIL mendapatkan apresiasi yang tinggi dari para guru di Jombang. Beberapa pertanyaan diajukan kepada guru yang menghadiri program tersebut dan jawaban mereka direkam. Dari sejumlah pertanyaan yang dikemukakan kepada para guru, tiga pertanyaan perlu dikemukakan di sini karena terkait dengan tingkat keberhasilan Program CIL dan pelaksanaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang lain pada dasarnya diajukan untuk tujuan sosial. Ketiga pertanyaan tersebut menyangkut apakah para guru menyukai Program CIL, apakah Program CIL mempengaruhi tugas mereka dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas, dan apa yang paling menarik dari Program CIL.

            Ketika ditanya mengenai apakah para guru menyukai Program CIL, secara umum mereka menyatakan bahwa Program CIL baik dan bermanfaat. Guru 1 mengatakan, “Menurut pendapat saya, program ini sangat baik karena kita mendapat tambahan ilmu pengetahuan mengenai penyiapan pembelajaran dan kita juga melakukan pengajaran nyata”. Guru 2 menambahkan, “Saya sangat suka Program CIL karena kita perlu meningkatkan kompetensi kita, khususnya dalam bahasa Inggris.” Guru 3 mendukung kedua guru sebelumnya dengan menyatakan, “Ya, saya sangat menyukai program ini. Saya memperoleh informasi baru, tambahan ilmu pengetahuan, dan juga pengalaman dari rekan-rekan guru lain yang dapat meningkatkan kemampuan saya dalam mengajar di sekolah”. Respon para guru tersebut menunjukkan perhatian mereka pada berbagai tahap Program CIL. Sementara Guru 1 menekankan pentingnya sesi pelatihan dan lokakarya dan tahap pengajaran nyata, Guru 2 terkesan dengan sesi pelatihan dan lokakarya, juga tahap-tahap yang lain dalam Program CIL, yang disampaikan dalam bahasa Inggris sehingga ia dapat pajanan dan bisa mempraktekkan bahasa Inggrisnya. Guru 3 lebih rinci lagi dalam memberikan jawaban karena ia menekankan aspek pengalaman yang dapat diperoleh dari partisipan lain dan pengaruh Program CIL pada proses pembelajaran yang menjadi tugasnya sebagai guru.

            Para guru yang diwawancarai juga memandang bahwa Program CIL dalam tataran tertentu mempengaruhi tanggung jawab mereka sebagai guru bahasa Inggris. Sebagai contoh, merespon pertanyaan tentang apakah Program CIL mempengaruhi tugas mereka sebagai guru, pendapat salah satu guru cukup mewakili apa yang disampaikan guru-guru yang lain. Guru 4 ini menyatakan, “Ya, jelas. Saya selalu mencoba mempraktekkan apa yang saya peroleh untuk mengajar di kelas, sebab saya merasa bahwa metodologi pembelajaran yang saya miliki masih belum cukup untuk meningkatkan kemampuan siswa saya”. Tetapi, salah seorang guru yang lain, Guru 2, mengatakan bahwa Program CIL tidak mempengaruhi cara mengajarnya karena kondisi kelasnya kurang memenuhi syarat. Guru ini menyatakan, “Belum tentu, sebab metode dalam Program CIL terlalu ideal, tidak sesuai dengan kelas saya”.

            Menyangkut bagian Program CIL yang paling menarik, para guru memiliki pendapat yang berbeda. Guru 1 menyatakan bahwa topik mengenai media pembelajaran bahasa Inggris paling menarik. Katanya, “Media merupakan hal yang paling menarik karena saya bisa memperoleh pendapat mengenai bagaimana membuat media yang baik, yang sangat berguna dalam proses belajar dan mengajar”. Guru yang lain, Guru 3, mengatakan bahwa pengajaran nyata dan sesi penyajian makalah sangat disukai. Ia mengatakan, “Hemat saya, pengajaran nyata cukup baik, juga seminar seperti ini dapat meningkatkan wawasan kita dan dapat mengembangkan pemikiran kita tentang pembelajaran bahasa Inggris”.

            Selain hasil analisis pendapat para guru tersebut, perlu dikemukakan bahwa delapan belas bulan setelah pelaksanaan Program CIL, pada 31 Januari 2008, saya menghubungi salah seorang guru yang menjadi peserta Program CIL, yaitu Ibu Evita Anggraeni, yang bertugas sebagai pengajar di SMP Negeri 2 Jombang. Saya menanyakan kepadanya apakah Program CIL bermanfaat baginya setelah waktu berlalu sekian lama. Ibu Evita ini menulis sebagai berikut:

 

“Pengetahuan yang saya dapat dari Program CIL sangat bermanfaat. Semua fasilitator OK. Saya merasa bahwa saya banyak memperoleh peningkatan setelah Program CIL, dibandingkan dengan pengetahuan saya sebelum mengikuti Program tersebut. Saya sangat bersemangat untuk belajar dan belajar. Saya telah menghadiri sejumlah kesempatan pelatihan setelah Program CIL, termasuk salah satu pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan tingkat propinsi. Saya merasa memiliki kepercayaan diri sebab saya telah menjadi peserta Program CIL.  Kadang-kadang saya membantu rekan-rekan guru di lingkungan sekolah saya.”

 

            Hasil analisis respons kuesioner dan transkripsi wawancara menunjukkan bahwa Program CIL diterima oleh para guru yang berpartisipasi. Sementara sejumlah guru memiliki pendapat yang berbeda mengenai bagian yang paling penting dari Program CIL, semua guru memandang bahwa Program CIL baik dan bermanfaat. Data juga menunjukkan bahwa Program CIL dalam tataran tertentu mempengaruhi tugas dan tanggung jawab peserta sebagai guru bahasa Inggris, khususnya jika lingkungan sekolah mereka mendukung. Hasil korespondensi yang dilakukan selang waktu beberapa lama juga menunjukkan bahwa Program CIL efektif dalam memotivasi guru untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya mengenai pembelajaran bahasa Inggris.

            Perlu dicatat bahwa sejak awalnya, Program CIL tersebut dilaksanakan secara top-down dari Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang kepada para guru di kota kabupaten tersebut. Tetapi, respons para guru menunjukkan bahwa mereka memiliki minat yang besar terhadap program-program perbaikan seperti Program CIL. Untuk memberikan penekanan pada pentingnya sikap guru terhadap profesionalisme mereka, saya ingin menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh Pettis (2002). Ia menyatakan:

 

Going to the occasional workshop because it is organized for us, or because we are funded by employers, although mutually beneficial to a degree, is not enough for our own and our profession’s well-being. Each of us, I believe, must be personally committed to seeking out additional opportunities to learn and develop. (p. 396)

 

dalam bahasa Indonesianya, kurang lebih sebagai berikut:

 

Bila kita menghadiri sebuah lokakarya oleh karena kesempatan itu sudah disiapkan untuk kita, atau kita menghadirinya karena kita dibiayai oleh atasan kita, meskipun sama-sama bermanfaatnya, hal itu masih belum cukup untuk diri kita sendiri dan profesi kita. Menurut keyakinan saya, setiap diri kita secara pribadi perlu berkomitmen untuk mencari kesempatan-kesempatan tambahan untuk belajar dan meningkatkan diri.

 

 

Hadirin yang terhormat,

Terlepas dari kenyataan bahwa Program CIL itu pada hakekatnya bersifat top-down untuk para guru dari Jombang, respons guru pada kuesioner dan wawancara, serta pengakuan Ibu Evita, merupakan indikasi bahwa mereka memiliki sikap positif terhadap upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme mereka. Bila hal ini benar, gagasan continuous improvement (CI) dalam tataran tertentu telah berhasil diperkenalkan kepada para guru yang berpartisipasi dalam Program CIL.

 

Kesimpulan

            Berdasarkan pengkajian pada Program CIL, dapat disimpulkan bahwa penetapan empat tahap pelaksanaan program secara teori dan prakteknya sangat baik Sesi pelatihan dan lokakarya berfungsi sebagai jembatan penghubung pengetahuan awal para guru mengenai berbagai aspek kurikulum bahasa Inggris dan pelaksanaan dan kecenderungan-kecenderungan baru dalam metodologi pembelajaran bahasa Inggris. Tahap pengajaran nyata memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan kurikulum baru dengan wawasan yang lebih baik mengenai komponen-komponen pembelajaran. Sesi penyajian makalah mendorong para guru untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar melakukan kegiatan mengajar sehari-hari dengan cara melaporkan pengalaman mengajar mereka atau dengan menulis mengenai topik yang menjadi perhatian mereka. Konferensi tidak secara langsung terkair dengan tugas guru di kelas, tetapi kesempatan berkonferensi merupakan hal yang penting untuk memberikan bekal pengetahuan kepada guru mengenai apa yang terjadi dalam sistem pengembangan profesional guru secara nasional dan bagaimana mereka dapat berkontribusi pada sistem itu dengan cara mengembangkan diri mereka untuk menjadi guru yang profesional.

            Selain itu, respons para guru mengenai Program CIL menunjukkan bahwa program tersebut sangat bermanfaat untuk pengembangan profesional. Tujuan Program CIL dapat tercapai karena kolaborasi peran Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang dan institusi (LP3 Universitas Negeri Malang) yang merancang isi dan pelaksanaan program tersebut. Program CIL merefleksikan keberhasilan kebijakan pemerintah daerah tersebut dalam mengadopsi program in-service education yang penting untuk perkembangan profesional guru di wilayah kabupaten itu. Oleh karena itu, patut disarankan bahwa program continuous improvement seperti itu dapat diadopsi atau dikembangkan oleh para pembuat kebijakan, khususnya pemerintah daerah atau pemerintah propinsi di negeri ini. Pelaksanaan program seperti itu akan menjamin distribusi otonomi dalam penyediaan in-service education bagi guru bahasa Inggris di Indonesia. Yang lebih penting lagi, program seperti itu dapat membantu para guru untuk mengembangkan komitmen mereka dalam melaksanakan perbaikan berkelanjutan dalam profesi mereka.

 

Hadirin yang terhormat,

            Perlu sedikit disinggung pula pentingnya kesadaran akan continuous improvement (CI) dengan maraknya isu sertifikasi guru. Dengan program sertifikasi, dorongan guru untuk berpartisipasi dalam kegiatan akademik seperti seminar dan lokakara tampak sangat besar.  Tetapi nada miringlah yang kita dengar. Misalnya, ada pernyataan bahwa, “Guru lebih sebagai pengumpul sertifikat daripada memahami pengetahuan yang diberikan dalam acara seminar” (Kompas, 7 April 2008). Memang sebagian seminar dan lokakarya yang ada tidak dikelola dengan penuh tanggung jawab (misalnya panitia tidak membatasi jumlah peserta atau panitia menerbitkan sertifikat sebanyak topik yang disajikan dalam satu event seminar atau lokakarya). Menurut pengalaman saya dalam menyelenggarakan in-service education yang diselenggarakan di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang untuk para guru bahasa Inggris, kebutuhan guru untuk meningkatkan diri memang sangat besar, sebagaimana tercermin dalam format-format evaluasi yang diisi oleh peserta. Kalaupun kesadaran untuk continuous improvement (CI) dan komitmen guru untuk mengembangkan diri menemui momentum dan tumbuh bersamaan dengan hangatnya program sertifikasi, saya berpikir hal tersebut merupakan satu manfaat lebih untuk menunjang upaya peningkatan profesionalisme para guru, khususnya guru bahasa Inggris.

 

PENUTUP

Hadirin yang saya hormati,

            Untuk mengakhiri pidato pengukuhan ini, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut serta menghantarkan tercapainya predikat Guru Besar di Universitas Negeri Malang yang saya cintai ini.

            Alhamdulillahi Rabbil Alamiin, saya panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan anugerah kehidupan yang baik dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Semoga ilmu dan capaian prestasi akademik yang tinggi ini senantiasa mendapat ridlo-Nya.

            Terima kasih saya yang tak terhingga saya haturkan kepada kedua orangtua dan saudara-saudara saya. Almarhumah ibu, Titik Muharti, selalu berdoa untuk kebaikan dan keberhasilan saya, baik dalam studi maupun dalam kehidupan. Almarhum ayah, Langkis Pujosumarto, menjadi panutan perjuangan dalam kehidupan saya. Ketika saya utarakan keinginan saya untuk memperoleh Akte Kelahiran sebagai persiapan melanjutkan studi di perguruan tinggi, dengan memboncengkan saya, beliau mengayuh sepeda onthel kiloan meter menuju rumah sahabat-sahabatnya untuk meminta tanda tangan kesaksian kelahiran saya. Capaian ilmu dan martabat yang agung ini saya dedikasikan kepada kedua orang tua saya, teriring doa semoga Allah swt dapat menerima pahala dan mengampuni dosa-dosa mereka. Amin. Kakak-kakak saya, Mbak Mud, Mas Lilik (alm.), Mas Johny, Mas Herry, Mbak Ani, dan Mbak Lucy berandil besar dalam pencapaian prestasi ini.

            Saya juga berterima kasih kepada semua guru yang telah mengajar dan mendidik saya di SD Negeri Kemasan II, Kediri; SMP Negeri III Kediri, dan SMA Negeri II (Smada) Kediri.  Termasuk juga guru bahasa Inggris saya Pak Eddy (SMA Negeri II Kediri) dan Pak Yoso (Kursus Bahasa Inggris Diponegoro) Kediri yang berperan besar dalam membuat saya mencintai bahasa Inggris. Terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman begadangan dalam belajar dari Smada, khususnya yang tergabung dalam geng Slowndex (slow and ndesit), yaitu Adi, Agus, Prie, Pras, Mendiang Sasono, Totok, Yitno, dan Yusuf yang turut memberi warna indah pada malam-malam masa sekolah, teriring denting gitar dan nasi pecel Dhoho.

            Terima kasih saya sampaikan kepada semua dosen saya dan teman-teman kuliah dalam berbagai jenjang pendidikan dan kolega di tempat kerja. Dosen-dosen saya di Pendidikan Bahasa Inggris, FPBS, IKIP MALANG, memberikan landasan yang kuat pada penguasaan bahasa Inggris saya dan kecintaan saya pada pendidikan bahasa Inggris. Pak Adnan, Pak Ali, Pak Baradja, Bu Kasihani, Pak Nardi, Pak Sadtono, Pak Seno, Pak Zuchridin (semuanya profesor), Pak Don (alm.), Pak Bowo (alm.), Pak Harmanto, Pak Harsono, Pak Muhni, Pak Murdib, Pak Nurhadi, Bu Oka, Bu Rumbilin, Pak Sabrony, Pak Sas, Pak Setyadi, Pak Sudja’i, dan Pak Yus, dan Pak Zaini (alm.), terima kasih. Saya sampaikan terima kasih juga pada dosen-dosen saya di Pendidikan Bahasa Inggris, PPS, IKIP MALANG, Pak Nuril (alm.), Pak Samsuri, dan Pak Wahab (semua profesor) menjadi panutan saya dalam berkarya. Terima kasih juga untuk teman-teman dosen menjadi mitra dalam hari-hari mengajar di Jurusan Sastra Inggris, yaitu Pak Amri, Pak Andi, Bu Andreani, Pak Arif S, Pak Arief H, Pak Effendy, Bu Emmy, Bu Eni, Bu Fu, Pak Gunadi, Bu Ivone, Pak Kukuh, Bu Loeki, Bu Mika, Bu Mimil, Bu Mirry, Pak Nasrul, Bu Nunung, Bu Nur, Bu Nurul, Pak Razy, Pak Sigit, Bu Sintha, Bu Siu, Bu Utami, Bu Utari, Bu Wied, Bu Yati, Pak Yazid, dan Pak Yo. Saya juga berterima kasih kepada teman-teman saya semasa program S1 Pendidikan Bahasa Inggris, antara lain Agung, Agus, Amelia, Budi, Erlyn, Frater, Hartono, Inawati, Laily, Linda, Ninik, Nuri, Ratna, Rena, Riris, Soeparto, Suryani, dan Toetoek,

            Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada para guru saya dari mancanegara yang memberikan teladan akademik dan etos kerja sebagai dosen universitas berkelas dunia, baik dalam hal mengajar, membimbing mahasiswa, maupun dalam berkarya akademik, antara lain Glenn Fulcher (Academic Advisor ketika mengikuti the British Council International Summer School on Writing in the Classroom di the University of Surrey, Guildford, Inggris 1995), Patsy Lightbown, Merlisa Horst, dan Alex Sharma (Thesis Supervisors ketika mengambil program Master of Arts di Concordia University, Montreal, Kanada, tahun 1998-2000); Peter Hale (Academic Advisor ketika mengikuti American Summer School Institute di University of Illinois at Chicago, tahun 2001); Gillian Wigglesworth, Neomy Storch, Tim Macnamara, dan Noriko Iwashita (Thesis Supervisors dan dosen ketika mengambil program Doctor of Philosophy di the University of Melbourne, Australia, tahun 2002-2005), dan Agnieszka Alboszta (Academic Advisor ketika mengikuti Online Course on Critical Thinking Skills dari the University of Oregon, Eugene, Amerika Serikat, tahun 2006). Selain itu saya juga berterima kasih kepada para dosen saya di berbagai program English for Academic Purpose, seperti Estrella (Continuing Education Language Institute, Montreal, 1998), Nicky (Indonesian-Australian Language Foundation, Bali, 2001), dan Homer (Hawthorn Language Institute, Melbourne, 2002).

            Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para mitra kerja dari dalam negeri maupun mancanegara yang telah memberikan kepercayaan kepada saya atas program-program akademik yang saya ikuti atau saya laksanakan, antara lain Petronella (Director of Tyndale English Course, Montreal), Arief Budiman, Michael Ewing, Sander Adeelar (Melbourne Institute of Asian Language Studies), Ismet Fanany (Deakin University), Karen Moni (The University of Queensland, Australia), Gloria Poedjosudarmo (Virtual Forum for Language Teachers, RELC, Singapore), Craig Dicker, Damon Anderson, Michael Rudder, Kun Herrini (Regional English Language Office, Jakarta), Caroline Bentley (IALF, Bali), dan Muhammad Kamirul Kabilan  serta Malachi Edwin Vethamani (MELTA, Malaysia).

            Kepada para pejabat dan mantan pejabat di lingkungan Universitas Negeri Malang, saya juga ingin menyampaikan terima kasih atas peran dan dukungannya selama ini. Mereka adalah Dra. Utami Widiati, M.A., Ph.D. dan Dr. Yazid Basthomi, M.A. (Kajur dan Sekjur Jurusan Sastra Inggris), Dr. Dawud, M.Pd, Dr. Nurul Murtadho, M.Pd, Dr. Suharmanto, dan Drs. Eko Budi Winarno (Dekan, PD I, PD II, dan PD III Fakultas Sastra), Prof. Dr. Marthen Pali (Direktur PPS), Prof. Dr. Suparno dan Prof. Dr. Ah. Rofi'uddin (Rektor dan PR II UM), Prof. Saleh Marzuki (mantan PR I) dan Prof Dr. Imam Syafi’ie (Ketua Komisi Guru Besar Senat dan mantan Rektor UM).

            Tak kalah pentinya adalah ucapan terima kasih kepada keluarga saya, yang telah menyertai saya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah Uswatun Chasanah (isteri saya), Nur Luthfi Hidayatullah (anak pertama, Ketua English Conversation Club di SMA Negeri 5 Malang), Nur Aida Ikrima (anak kedua, Ketua OSIS SMP Lab UM), dan Sindy Cahya Vidya (anak ketiga) yang masih balita, juga mertua saya ibu Hj Khumaiyah, serta keluarga besarnya, termasuk prepean saya yaitu Drs. H. Muh. Khasairi, M.Pd (Kajur Sastra Arab, FS UM).

            Akhirnya marilah kita bersyukur dan memohon kepada Allah swt agar kita tetap berada dalam Rahmat dan InayahNya. Semoga pula, Allah tetap membimbing saya, sehingga hari ini dapat menjadi titik awal untuk berkarya di bidang akademik yang lebih baik sesuai dengan amanah agung yang diberikan ini. Sekian dan terima kasih.

 

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

 

Daftar Pustaka

           

Agustina, N. Q. 2008. Teacher Professional Development. Dalam The 55th TEFLIN International Conference Proceedings, hal. 78-86.

Bryce, T. 2007. Continuous Development. Articlesbase: A Free Online Articles Directory. (Online) (http://www.articlesbase.com/careers-articles/continuous-improvement-203597.html). Diakses 31 Januari 2008.

Cahyono, B. Y. 2002. How English Intensive Course Program Affects the English Proficiency of Students of Teachers’ Colleges in Indonesia. K@ta, 4(1): 23-35.

Cahyono. B. Y. 2006. Perencanaan Pembelajaran Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Djiwandono, M. S. (1999). English Language Teacher Education: Rewriting S1 National Curriculum. TEFLIN Journal, 10(1): 17-30.

Fachrurrazy. 2006. Telaah Kurikulum (Berbasis Kompetensi) 2004 Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Gaunt, K. 2005. Continuous Improvement – It is About the Money. Manufacturer, 2: 5-6. (Online). (http://www.plantemoran.com/NR/rdonlyres/03790A6C-D74E-4801-AE71-B6665F44F692/0/MFR_2005_Issue_2.pdf). Diakses 31 Januari 2008.

Ghozali, I. 2008. Teacher Development through Teacher Community Learning: An Alternative Model for Focused Changes. Dalam The 55th TEFLIN International Conference Proceedings, hal. 60-63.

Herrini, K. 2008. RELO RTD mailing-list, mail diposting oleh Kun Herrini, 21 April 2008

Imai, M. 1997. Gemba Kaizen: A Commonsense Low-Cost Approach to Management. New York: McGraw-Hill.

Iragiliati, E. 2006. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang. 2006. Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Jombang. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Laksmi, E. D. 2006. Penilaian/Asesmen Pembelajaran Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Mabrouk, K. 2007. Culture for Continuous Improvement. (Online). (http://www.iienet2.org/Details. aspx?id=9862) Diakses 31 Januari 2008.

Mukhadis, A. 2006. Peningkatan Profesionalitas Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Pettis, J. 2002. Developing Our Professional Competence: Some Reflections. In J. C. Richards & W. A. Renandya (Eds.), Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice (hal. 393-396). Cambridge: Cambridge University Press.

Prihantoro. 2008. Setting up Standards for Professional English Teacher: An Attempt to Promote ELT Professionalism. Dalam The 55th TEFLIN International Conference Proceedings, hal. 91-97.

Rusli, R. S. 2004. The S1 Graduates’ English Language Competence as Expected by Stakeholders. In B. Y. Cahyono & U. Widiati (Eds.), The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indonesia (hal. 233-240). Malang: State University of Malang Press.

Septy, A. P. 2005. Implementation of Standards for English Teachers in Indonesia. Makalah disampaikan dalam the 53rd TEFLIN International Conference, Yogyakarta, 4-6 December.

Suryati, N. 2006. Pembelajaran Inovatif Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Sutarsyah, C. 2004. Designing an English for Young Learners Course as a Part of English Department Curriculum. In B. Y. Cahyono & U. Widiati (Eds.), The Tapestry of English LanguageTeaching and Learning in Indonesia (hal. 281-289). Malang: State University of Malang Press.

Widayati, S. & Anugerahwati, M. 2006. Katalog Jurusan Sastra Inggris. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Widayati, S. 2006. Pemilihan Media Pembelajaran Bahasa Inggris. Makalah disampaikan dalam Program Continuous Improvement Learning untuk Guru Bahasa Inggris di Kabupaten Jombang, 5-9 Juni.

Yuliasri, I. & Haryanti, R.P. 2006. The Need for Well-Designed Training Prior to Application of a New Curriculum. Makalah disampaikan dalam the 41st RELC International Seminar, Singapore, 24-26 April.

Yuliasri, I. 2006. Teachers’ Difficulties and Expectations in the Application of CompetenceBbased Curriculum. Makalah disampaikan dalam the International Conference on Competence-Based English Teaching: Theory and Reality, Bandung, 21-23 Februari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1