Part 2..

 

Angin telah menerbangkan semua rasa piluku dengan menghembuskan masa depan yang begitu abu-abu. Aku sekolah seperti biasa. Sekolah di asrama memang sangat membuat perubahan padaku, mulai dari aku lebih disiplin, lebih mandiriku, lebih bertoleransi dengan yang lain dan yang terpenting aku lebih menjunjung tinggi kejujuran. Detik,menit,jam,hari,minggu,bulan, dan tahun pun berganti. Kini aku telah duduk dibangku kelas XI. Masa dimana yang kata kakak seniorku sih masa-masa yang paling santai. Tapi itu tak menjadi sugesti buatku untuk bermalas-malasan. “sas, are you okay?” tanya Elia sambil menempelkan tangannya di jidatku. “yeah, actually I got fever  but it’s okay it will be fine soon” tanggapku “if you feel sick I suggest to you to go to clinic, then you can take rest there” saran Elia “no, I’ll be okay. Thankyou.” jawabku. Ke klinik? Buat apa ? toh ini cuman demam, bentar lagi juga sembuh. Ntar kalo ke klinik bisa-bisa aku ketinggalan pelajaran. Gak ketinggalan pelajaran aja kadang-kadang aku masih gak ngerti apalagi kalo ketinggalan pelajaaran, gumamku. Aku memang bukan orang yang “perasa sakit” aku selalu berpikir semua penyakit itu bisa sembuh kalo kita semangatin , ya semangat. Cuman itu kuncinya.

Detik-detik jam kini berlari secepat angin. Air yang semula mengalir tenang sekarang mulai menjadi arum jeram. Kedamaian disekolah ini kini pun berubah menjadi ketegangan. Canda tawa yang sering terdengar kini lambat laun mulai menghilang ntah mereka berlari kemana. Keseriusan siswa-siswi pun tak dapat disembunyikan lagi, tak ayal bila rasa letih menghantui anak-anak asrama menjelang hari pertempuran begitu juga yang aku rasakan saat ini.  “sasya!” teriak Chaca. “yes, what’s going on?” jawabku. “ your nose!” ujarnya sambil telunjuknya menahan lubang kirinya untuk mengisyaratkan padaku. “darah.” gumamku, aku  kemudian menyekanya menggunakan tissue dan berlari menuju toilet. “ah, mungkin mimisan. Aku butuh istirahat sedikit” gumamku sambil senyum kecil. Pelajaran masih berjalan, kini saatnya pelajaran guru sabar yang sebenarnya agak humoris dengan kacamata harry potter khasnya, badannya tinggi dan tak lupa logat jawanya yang membuat anak kelas terkadang tertawa mendengarnya. Ia guru yang berbeda, Ia tak mau diajak berfoto bersama, tak seperti wali kelas yang lain. Ia juga tak mau diajak jalan-jalan, ditarik pada saat assemblly, dia juga bukan orang yang teriak dan tepuk tangan paling kencang padaa saat kami perfom, dia juga bukan guru yang suka meladeni siswa untuk menjabat tangannya. Ia memang guru yang cerdas tapi itu tak ayal lagi buatku, semua guru disini lulusan terbaik dari universitasnya masing-masing. Semua siswa tau akan hal itu. Tapi ada yang beda bagiku dengan bapak yang satu ini. Ia selalu memberi motivasi dengan 27 murid dikelasku, ia selalu percaya kami bisa.  Mungkin itu semua hanya untuk membesarkan hati kami dari remidial-remidial dan tumpukan tugas yang kami dapatkan namun bagiku itu  lebih dari cukup untuk menghadirkan setitik kepercayaan dihatiku kalau aku bisa mewujudkan mimpiku yang ke-49 yaitu, kuliah diluar negeri. Ia bapak nomor satu buatku.   

“oke, time’s up. We will continue tomorrow”  ujar pak putra yang sekaligus seebagai penutupan proses belajar mengajar  pada hari ini. Aku masih disibukkan dengan piket giliran kelas. Setelah semua selesai aku pun langsung menuju asrama. Diperjalanan menuju asrama pandanganku kabur aku seperti orang yang kehilangan keseimbangan. Aku masih mencoba untuk berjalan namun tetap tak bisa, dan akhirnya aku pingsan.  Putih. Aku coba melihat sekelilingku dan tak ada seorangpun. Aku hanya mendengar percakapan dua orang dibalik tirai. “jadi kapan sasya harus di kemo dok?” tanya salah satu orang dibalik tirai. “ya secepatnya bu.” Jawab dokter. Kemoterapi ? aku terkena penyakit mengerikan itu ? ya tuhan mimpi buruk apa ini?. Tiba-tiba bu putri muncul dari balik tirai sambil memandangku dengan sedih, aku hanya tersenyum kepadanya. “Gak apa-apa kok bu, sasya siap di kemo.” Ujarku. Bu putri menghampiriku sambil memelukku erat-erat.

Burung besi begitu cepat membawaku ke Rumah sakit Pelni. Aku langsung memasuki ruangan kemoterapi.Dinding yang putih bersih dan alat-alat aneh lainnya  seakan memberi ucapan selamat datang kepadaku. Tak buang waktu aku pun lansung di kemo. Semua berjalan dengan lancar hingga pada titik puncak dimana zat kimia keras yang diluncurkan kebadanku mulai perlahan-lahan melahap tumor ganas yang menggerogoti tubuhku. Sakit sekali. Mungkin kalian tak akan pernah tahu betapa sakitnya. Setelah kemoterapi selesai aku masih dirawat secara intensif. Pikiranku melayang pada banyaknya pelajaran yang tertinggal olehku. Aku hanya bersabar dengan semua ini. Kemoterapi yang begitu sakit tak berlangsung hanya sekali ini berlangsung selama tiga kali. Tubuhku hanya seperti boneka yang terbungkam pada saat itu. Aku tahu ini sangat sakit tapi aku tak mau meneteskan air mataku di depan wanita empat kepala  yang selalu duduk disamping tempat tidurku  untuk menemaniku. Dia alasan aku bertahan melawan penyakit ini. Ya, karena dia. Karena ibuku. Aku masih bertahan hingga pada akhirnya dokter mendiagnosa bahwa kanker ditubuhku telah hilang. Aku senang bukan main. Aku sangat bersyukur kepadaNya setidaknya ia masih membiarkanku bernafas lebih lama.

Aku sekolah kembali. Tatapan senang, teriak sambutan hangat dan tawa teman-temanku sagat berarti buatku. Tak ada seorangpun melihat dengan tatapan sedih atau  prihatin. Aku banyak ketinggalan pelajaran dan aku masih semangat untuk mengejar  semua pelajaran itu. Aku tak berhenti berharap untuk bisa menjadi siswa yang mendapat  beasiswa keluar negeri karena bagiku, selain matahari, selain langit yang berwarna cerah adalah harapan. Teman-temanku membantu aku untuk menjelaskan materi yang ketinggalan. Aku tak menyangka robot-robot yang setiap harinya hanya bergulat dengan buku dan selalu bersaing ternyata masih ada kabel persahabatan,tolong menolong dan pengertian di tubuhnya. Mimpi-mimpi besarku bangkit kembali. Aku terus berusaha hingga akhirnya tes seleksi penerimaan beasiswa pun digelar. Aku tak ingin kehilangan harapan. Aku tetap mengikuti seleksi tersebut. Setelah satu bulan aku menunggu pengumuman beasiswa pun ditempelkan di mading sekolah. Jariku mencoba mencari nama sang pemimpi. Jariku berhenti di satu nama dan senyum lebar pun mengembang di wajahku.

 

-oooooooo-