Title: Kritik terhadap Ekonomi Neo-Klasik: Suatu Pengantar menuju pendekatan ekonomi politik baru
Writer: Harry Wibowo

Fakta "kegagalan pasar" dalam seluruh aspeknya, sebenarnya kini telah luas diakui. Kecuali tentu bagi para ekonom kolot dan bebal, mereka tetap ngotot bahwa pasar--betapapun tak sempurnanya--masih bermanfaat untuk mengalokasikan kelangkaan sumber daya secara efisien. Menurut premis dasar aliran neo-klasik ini (baik yang Keynesian maupun kaum 'Moneterist'), barometer pasar: seperti tingkat harga, besarnya upah, tingkat suku bunga, pendapatan nasional, dsb., masih mencerminkan perubahan-perubahan "perminataan-penawaran." Teori "keseimbangan umum" yang menjadi dasar terbentuknya mekanisme pasar serta kekuatan tawar-menawar antar orang dalam sebuah sistem ekonomi, masih terus digunakan untuk menjelaskan, menganalisa, bahkan merencanakan perekonomian. Bagi kaum neo-klasik yang 'moneterist', persaingan bebas merupakan doktrin yang mesti dijunjung tinggi: peran negara hanya akan membuat mekanisme pasar terdistorsi sehingga alokasi sumber daya secara efisien tidak terjadi. Sementara, walaupun mengkritik para pembela "mekanisme pasar" dengan menganjurkan campur tangan negara untuk merangsang kegiatan ekonomi--karena kekuatan pasar tidak berjalan sebagaimana dibayangkan (pasar tidak sempurna)--para pengikut Keynes tetap berdiri pada asumsi dasar yang hampir sama dengan para penganut mekanisme pasar, yakni dipertahankannya preferensi subyektif dari para pelaku ekonomi. Perbedaan di antara mereka hanya terletak pada penekanan sisi permintaan atau penawaran serta lingkup atau cakupan di mana analisa ekonomi harus dilakukan. Ekonom neo-klasik lebih menekankan sisi penawarannya (ekonomi mikro, teori produktivitas marjinal, teori harga serta penawaran uang, dsb.), sedangkan pengikut Keynes lebih menekankan sisi permintaannya (ekonomi makro, permintaan agregat: tingkat upah, tabungan, investasi, dsb.).

Dalam tulisan singkat ini, saya akan menunjukkan bahwa premis dasar dan pra-andaian dari ekonom neo-klasik maupun Keynesian di mana pengandaian-pengandaian yang menjadi landasan teori mereka, sudah tak dapat lagi menjelaskan kenyataan konkrit yang kita hadapi saat ini. Pada tingkat "dunia", sejarah masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa sehingga landasan teori ekonomi neo-klasik yang bermula di abad ke XVIII maupun "revisi" terhadapnya (Keynesian) di tahun-tahun 1930-an, ternyata harus dipertanyakan relevansinya dengan kenyataan sosial yang ada sekarang. Pada tingkat "indonesia", dengan bantuan disiplin sejarah dan sosiologi, kelak ditunjukkan bahwa model ekonomi "rumah tangga (house hold)--perusahaan (privat enterprise)--negara (state)" seperti yang diajarkan dalam mata kuliah pengantar ekonomi makro pada berbagai fakultas ekonomi di setiap universitas, tidak relevan dengan kenyataan ekonomi yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negeri bekas jajahan.

I. Keruntuhan Mekanisme Pasar
Adam Smith (1776), bapak pendahulu ilmu ekonomi (baca: "political economy") mencirikan pasar sebagai arena di mana harga-harga tampil sebagai bentuk pengungkapan "nilaian" (valuation). Namun ia gagal menjelaskan asal usul nilai (value) dan penentuan harga-harga, meskipun secara umum metafisika teori ekonomi mencakup kekuatan pasar bebas. Tangan gaib (the invisible hand)nya Adam Smith yang terkenal, yang berupaya memanfaatkan kodrat keserakahan manusia bagi pemecahan terbaik masalah kelangkaan sumber daya dan alokasinya, tidak serta merta memecahkan masalah "untuk siapa" alokasi itu ditujukan.

Keterkaitan antara pencirian pasar sebagai titik perhatian utamanya dan pembenaran metafisisnya tentang pertukaran bebas sebagai alat untuk mensejahterakan manusia, merupakan jalur yang hilang (missing links) mulai dari tulisan-tulisan Adam Smith hingga karya-karya teoritis ekonom neo-klasik saat ini.

Titik awal pendirian filosofis mereka bahwa setiap orang dibekali citra dan karsa sehingga mampu memperhitungkan setiap "tindakan untuk memaksimalkan kesejahteraan atau kegunaan pribadi". Kehendak dan selera setiap orang dengan sendirinya menjadi preferensi (pra-acuan) yang membatasi pola pilihan konsumsinya, termasuk kesenangan dan keserakahannya. Keinginan setiap orang, di satu pihak, menentukan kemampuannya untuk memenuhi selera kepuasannya melalui kegiatan "produktif", sementara di pihak lain, produktivitas ditingkatkan oleh individu yang mengkhususkan diri, dalam produksi komoditi yang khusus melalui pembagian kerja, dan kemudian melalui pemisahan antar individu sebagai konsumen (sisi permintaan) dan produsen (sisi penawaran). Semua ini menyebabkan saling ketergantungan antar individu yang memerlukan pertukarannya melalui pasar, dengan tingkat pertukaran atau harga relatif yang ditentukan oleh manfaat relatif setiap orang akan konsumsi barang dan selera. Keputusan mengkonsumsi dan keinginan mereproduksi suatu barang atau jasa dikoordinasikan dengan memanfaatkan keinginan yang khusus, misalnya kewiraswastaan, melalui masukan produktif yang dipadukan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Pemilik masukan (misalnya bahan mentah atau bahan baku) menerima imbalan yang ditentukan oleh manfaat konsumennya akan sesuatu barang (produk), lalu memutar kembali masukan produktif (jasa tenaga kerja atau kesenangan negatif serta jasa modal atau konsumsi yang tertunda) yang dipasok menurut imbalan yang ditawarkan, upah dan sewa yang respectively dengan pengusaha menerima keuntungannya bagi peranannya yang terpusat. Jadi, penentuan kegiatan ekonomi merupakan maksimalisasi manfaat individu dari konsumsinya. Karena setiap orang memiliki selera tertentu, dengan demikian juga preferensi tertentu yang khusus, selera ini hanya akan berkembang bagi masyarakat secara keseluruhan jika terjadi pertukaran bebas di mana tak seorangpun melakukan kontrak untuk membeli dan menjual tanpa kepentingan dirinya sendiri. Dalam lingkungan serupa ini, kepentingan individu (manfaat pribadi) dikonsolidasikan kembali dalam kepentingan sosial yang lebih luas (manfaat bagi setiap orang). Tak ada konflik kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, dengan bentuk ideal pemerintahan ialah majelis perwakilan di mana konsumen yang rasional bisa dikembangkan. Kebijaksanaan selanjutnya dari analisa ini ialah penciptaan lingkungan yang menyediakan kebebasan penuh bagi setiap keputusan konsumsi perorangan, di mana negara berperan menggerakkan kembali kekuatan pemaksa terhadap "pasar" dan untuk mendesakkan kontrak sukarela di antara individu agar pasar berjalan sempurna.

Penolakan terhadap campur tangan yang terlampau aktif dari pemerintahan (negara) ke dalam perekonomian dikemukakan oleh varian "neo-konservativ" aliran ini, yang percaya pada gagasan-gagasan "leisses freire", seperti Milton Friedman (pemenang Nobel Ekonomi 1974). Nilai kedudukan pasar bebas menjelmakan dirinya dalam bentuk harga-harga di mana setiap orang secara bebas mampu menanggapi kekuatan individu lainnya. Tentu saja, banyak ahli ekonomi sangat yakin akan proses pasar sebagai mekanisme atau cara yang terbaik untuk menjamin "kebahagiaan" semua orang.

Untuk tujuan tulisan ini, perhatian kita akan lebih diarahkan untuk melihat landasan filosofis di mana pendirian teoritisi aliran neo-klasik ini berasal, yakni asumsi tentang pemilikan individu dan politik kebebasan. Secara ringkas doktrin mekanisme pasar memprasyaratkan dan mempraandaikan:

    1. Hubungan pertukaran dyadic (duaan), baik pada tingkat agen-agen, prinsipal, perusahaan, kelompok, antar wilayah ataupun negara. Kegiatan pertukaran ini dilakukan oleh semua pihak untuk memperoleh manfaat. Dalam keadaan tertentu, yang dipostulatkan oleh pengandaiannya, semua pihak yang terlibat dalam jaringan pertukaran barang maupun jasa tersebut akan memperoleh manfaat sesuai dengan "preferensi subyektif" masing-masing orang.
      Melalui mekanisme harga, memungkinkan hubungan produksi (sebagai kasus khusus dari pertukaran tak langsung) dipadukan ke dalam hubungan pertukaran. Dengan demikian dalam paham ekonomi neo-klasik, nilai ekonomi muncul karena interaksi antar individu yang terpisah dari hubungan produksinya dan tidak mengakar pada nilai kerjanya. Hubungan pertukaran komoditi berlangsung menurut preferensi subyektif setiap individu, yang diungkapkan sebagai suatu urutan konsisten dari sejumlah komoditi yang dianggap tersedia di satu pihak, dan langka di pihak lainnya.
      Dari mana asal usul individu ini? Bagaimana setiap individu mampu melakukan pertukaran? Apakah dasar dari preferensi individu itu? Dan, oleh otoritas siapakah "bakat, citra dan karsa" diberikan? Seluruh pertanyaan ini dipandang tidak relevan oleh paham mekanisme pasar.
    2. Hubungan pertukaran selalu berada dalam keseimbangan umum. Jika muncul ketidakstabilan di dalam interaksi permintaan-penawaran, maka dipostulatkan ketidakstabilan itu akan tetap menuju kepada keseimbangan umum, entah dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
      Dalam kenyataan ekonomi, terbukti bahwa ketidakseimbangan pasar (distorsi harga, inflasi ataupun stagnasi) sering berlangsung tanpa henti. Resesi ekonomi 1870-an, depresi besar 1930-an dan stagflasi yang berlangsung sekarang ini, membuktikan bahwa teori "general equilibrium" tidak mampu menjelaskan krisis ekonomi yang berkepanjangan, karena dalam konjungtur atau "bussiness cycle" jangka panjang keadaan ketakseimabgan lebih dominan ketimbang keseimbangan.
    3. Preferensi (subyektif) kekuatan yang selalu sama. Jika terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik (monopoli, oligopoli) maka hal ini akan diabaikan, atau dianggap tidak berlaku. Sementara itu, skala preferensi biasanya dianggap sebagai "nomor urut". Meskipun dalam kurva-kurva isokuan teori "ekonomi mikro" dan teori "permainan" (game theory) misalnya, diperkenankan permodelan dengan bilangan kardinal, tetapi pertanyaan "preferensi itu didasarkan atas apa?" tidak pernah terjawab.
    4. Interaksi dan tanggapan para pelaku ekonomi berwatak rasional. Ukurannya adalah terukur, terbilang dan berada dalam kondisi kepastian yang mutlak. Jika terjadi irasionalitas, misalnya karena selera konsumen tidak sesuai dengan penawaran, maka model ekonomi neo-klasik ini menganggapnya sebagai "patologis" atau tak sesuai.
      Justru dalam kondisi perekonomian dewasa ini, kita selalu mengalami kasus di mana "rational expectation" tak dapat dilakukan. Contohnya kasus menurunnya harga minyak dunia pada dasawarsa 80-an merupakan hal yang bertolak belakang sama sekali dari perkiraan pada awal dasawarsa 1970-an.

II. Alternatif Reformis atas Mekanisme Pasar
Ketidakpuasan terhadap penjelasan mekanisme pasar ala Smith, sudah dimulai oleh David Ricardo pada awal abad ke XIX. Optimisme terhadap manfaat sosial sistem pasar berbalik menjadi pesimisme, karena karya-karya Adam Smith telah terjebak pada kerutinan impak psikologis serta kerja monoton akal budi manusia. Dengan mengolah kembali perumusan "preferensi subyektif" Smith tentang pasar, Ricardo mengembangkan garis argumen lain yang dimulai dengan proposisi bahwa "sementara mekanisme pasar berlangsung, asal usul nilainya berada di dalam dan lebih ditentukan oleh keputusan untuk memproduksi ketimbang keputusan mengkonsumsi. Dengan mengajukan dua asumsi tentang alam dunia fisik (katakanlah: peningkatan penawaran barang-barang subsistensi, juga meningkatnya jumlah populasi tenaga kerja, dan lebih banyak lahan yang digunakan untuk perkebunan, maka produktivitas pertanian akan menrun), ia menyimpulkan bahwa suatu saat operasi pasar bebas akan menjurus pada kemandegan ekonomi, di mana sebagian besar penduduk hidup pada tingkat subsistensi, sementara kelompok pemilik tanah mengkonsumsi secara conspiciusly surplus ekonomi. Tetapi, seperti halnya Adam Smith, Ricardo tak pernah memecahkan sepenuhnya soal dtereminasi nilai. Meskipun selanjutnya, seperti kita ketahui, dari teori nilai kerja Ricardolah ilmu ekonomi berkembang pada dua kutub yang saling bertolak belakang, yakni aliran neo-klasik dari Mill-Marshall hingga Keynes (abad ke XX) yang bisa dibilang revisionis di satu pihak dan di pihak lain: aliran sosialis radikal (mendalam-mengakar).

Perbedaan penting antara ekonom setelah Ricardo dan sebelumnya terletak pada:

  • pusat perhatian pada keputusan produksi (sisi penawaran)
  • masalah distribusi output
  • dan mulai muncul kepercayaan bahwa mekanisme pasar bisa tidak berjalan sempurna, tidak efisien serta menjurus pada stagnasi produksi.

Selain itu, premis mendasar tentang selera dan kehendak konsumen yang bebas sudah mulai diganti dengan faktor-faktor lain di mana selera atau citra bisa dikendalikan bahkan dibentuk melalui kontrol terhadap lingkungan, technical know how dan teknologi.

Bandung, 1 Desember 1988

__._,_.__



 
 
Karl Marx
A Contribution To The Critique of Political-Economy Page
  
Edi Cahyono's Experience
Nur Rachmi's World
Oey's Renaissance
Semsar Siahaan's Galery
George Grosz
Satu Mei
Yayasan Penebar Page
Melawan Kanker
Hosted by www.Geocities.ws

1